Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia mempunyai kecenderungan ke arah kebaikan maupun
kejahatan dam dengan akal manusia dapat membedakan keduanya, karenanya
manusia harus membentuk dirinya ke arah kesempurnaan, serta menurut
logika al-Qur`an manusia memiliki segala kesempurnaan yang potensial dan
harus mengarahkan dirinya untuk menerapkan kecenderungan-kecenderungan
ke dalam tindakan yang pantas. Disinilah eksistensi manusia bisa mengarah ke
tingkat yang melebihi malaikat bahkan bisa jatuh ke arah yang lebih buruk
dari binatang yang paling buas.
Manusia dalam pandangan filsafat barat pada abad ke-20, terkenal
dengan filsafat eksistensinya, memandang manusia sebagai terbuka, manusia
adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Untuk itulah
manusia bereksistensi dalam arti menciptakan dirinya secara aktif, berbuat,
menjadikan dan merencanakan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu eksistensi?
2. Bagaimana eksistensi dan peranan manusia dalam pandangan filsafat?
3. Bagaimana eksistensi dan peranan manusia dalam pandangan islam?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Eksistensi Manusia dan Peranannya dalam Pandangan Filsafat


Secara etimologi, eksistensialisme berasal dari kata eksistensi,
eksistensi berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence; dari bahasa latin existere
yang berarti muncul, ada, timbul, memilih keberadaan aktual. Dari kata ex
berarti keluar dan sistere yang berarti muncul atau timbul. Beberapa
pengertian secara terminologi, yaitu pertama, apa yang ada, kedua, apa yang
memiliki aktualitas (ada), dan ketiga adalah segala sesuatu (apa saja) yang di
dalam menekankan bahwa sesuatu itu ada. Berbeda dengan esensi yang
menekankan kealpaan sesuatu (apa sebenarnya sesuatu itu seseuatu dengan
kodrat inherennya).1 Sedangakan eksistensialisme sendiri adalah gerakan
filsafat yang menentang esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi
manusia.2
Eksistensialisme adalah filsafat yang mengandung segala gejala
dengan berpangkal kepada eksistensi. Pada umumnya kata eksistensi berarti
keberadaan, tetapi di dalam filsafat eksistensialisme ungkapan eksistensi
mempunyai arti yang khusus. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam
dunia.3 Cara manusia berada di dalam dunia berbeda dengan cara berada
benda-benda. Benda-benda tidak sadar akan keberadaannya, juga yang satu
berada di samping yang lain, tanpa hubungan. Tidak demikianlah cara
manusia berada. Manusia berada bersamasama dengan benda-benda itu.
Benda-benda itu menjadi berarti karena manusia. Di samping itu, manusia
berada bersama-sama
dengan sesama manusia. Untuk membedakan dua cara berada ini di dalam
filsafat eksistensialisme dikatakan bahwa benda-benda “berada,” sedangkan
manusia “bereksistensi.” Jadi, hanya manusialah yang bereksistensi. Kata
eksistensi berasal dari kata eks (keluar) dan sistensi, yang diturunkan dari kata
kerja sisto (berdiri, menempatkan). Oleh karena itu, kata eksistensi diartikan
manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Manusia sadar

1
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 183.
2
Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 185.
3
Dr. Muhammad Kristiawan M.Pd, Filsafat Pendidikan The Choice is Yours, (Yogyakarta:
Valia Pustaka, 2016), h. 226.

2
bahwa dirinya ada. Bereksistensi oleh Heidegger disebut Dasein, dari kata da
(disana) dan sein (berada) sehingga kata ini berarti berada di sana, yaitu di
tempat. Manusia senantiasa menempatkan diri di tengah-tengah dunia
sekitarnya sehingga ia terlibat dalam alam sekitarnya dan bersatu dengannya.
Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama
dengan benda-benda, sebab manusia sadar akan keberadaannya itu. Ajaran
eksistensialisme tidak hanya satu. Sebenarnya eksistensialisme adalah suatu
aliran filsafat yang bersifat teknis, yang terjelma dalam berbagai macam
sistem, yang satu berbeda dengan yang lain.4 Sekalipun demikian ada juga
ciri-ciri yang sama, yang menjadikan system itu di antaranya adalah sebagai
berikut.
1) Motif pokok adalah apa yang disebut eksistensi, yaitu cara manusia
berada. Hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara
khas manusia berada. Pusat perhatian ini ada pada manusia. Oleh
karena itu, bersifat humanistis.
2) Bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti
menciptakan dirinya secara aktif, bereksistensi berarti berbuat, menjadi,
merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari
keadaannya.
3) Di dalam eksistensialisme manusia dipandang sebagai terbuka. Manusia
adalah realitas yang belum selesai, yang masih harus dibentuk. Pada
hakikatnya manusia terikat pada dunia sekitarnya, terlebih-lebih sesama
manusia.
4) Eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang konkrit,
pengalaman yang eksistensial. Hanya arti pengalaman ini berbeda-beda.
Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan
segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers
kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian,
penderitaan, perjuangan dan kesalahan.

1. Eksistensialisme Menurut Martin Heidegger

4
Dr. Muhammad Kristiawan, M.Pd, Filsafat Pendidikan The Choice is Yours, (Yogyakarta:
Valia Pustaka, 2016), h. 227.

3
Martin Heidegger (1889-1976) dilahirkan di Baden, Jerman, dan
mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika
Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas
Freiburg di mana ia mengajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (pencetus
fenomenologi). Menurut Heiddegger, eksistensialisme lebih dikenal sebagai
bentuk gaya berfilsafat, pokok utamanya adalah manusia dan cara beradanya
di tengah-tengah makhluk lainnya. Heidegger dianggap mempunyai pengaruh
yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme. Ia berusaha
mengartikan makna keberadaan atau apa artinya bagi manusia untuk berada.
Pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan mendasar dalam cakupan wilayah
ontology (ajaran tentang yang berada). Karangannya yang sangat berkesan
ialah Being and Time dan Introduction to Metaphysics. Kebanyakan tulisannya
membahas persoalan-persoalan seperti “What is being?” (apa maknanya bila
suatu entitas dikatakan ada?), “Why is there something rather than nothing at
all?,” begitu juga judul-judul tentang eksistensi manusia, kegelisahan,
keterasingan, dan mati. Heidegger sangat kritis pada manusia zaman sekarang.
Manusia yang hidup pada zaman modern hidup secara dangkal dan sangat
memperhatikan kepada benda, kuantitas, dan kekuasaan personal. Manusia
modern tidak mempunyai akar dan kosong oleh karena telah kehilangan rasa
hubungan kepada wujud yang sepenuhnya.
Benda yang konkrit harus ditingkatkan, sehingga manusia itu terbuka
terhadap keseluruhan wujud. Hanya dengan menemukan watak dinamis dari
eksistensilah, manusia dapat diselamatkan dari kekacauan dan frustasi yang
mengancamnya. Seseorang hanya hidup secara otentik sebagai suatu anggota
dari kelompok yang hanya tergoda dengan benda-benda dan urusan hidup
sehari-hari. Tetapi, jika ia mau, manusia dapat hidup secara otentik dan
memusatkan perhatiannya pada kebenaran yang ia dapat mengungkapkannya,
menghayati kehidupan dalam contoh kematian, dan begitu memandang
hidupnya dengan perspektif yang baru.5
Memahami eksistensialisme, memang bukan hal yang mudah. Banyak
pendapat perihal definisi dari eksistensi. Tapi, secara garis besar, dapat ditarik
benang merah, diantara beberapa perbedaan devinisi tersebut. Bahwa, para

5
Dr. Muhammad Kristiawan, M.Pd, Filsafat Pendidikan The Choice is Yours, (Yogyakarta:
Valia Pustaka, 2016),h. 228-229.

4
eksistensialis dalam mendefinisikan eksistensialisme, merujuk pada sentral
kajiannya yaitu cara wujud manusia.
Pemahaman secara umum, eksistensi berarti keberadaan. Akan tetapi,
eksistensi dalam kalangan filsafat eksistensialisme memiliki arti sebagai cara
berada manusia, bukan lagi apa yang ada, tapi, apa yang memiliki aktualisasi
(ada). Cara manusia berada di dunia berbeda dengan cara benda-benda.
Bendabenda tidak sadar akan keberadaannya, tak ada hubungan antara benda
yang satu dengan benda yang lainnya, meskipun mereka saling berdampingan.
Keberadaan manusia di antara benda-benda itulah yang membuat manusia
berarti. Cara berada benda-benda berbeda dengan cara berada manusia. Dalam
filsafat eksistensialisme, bahwa benda hanya sebatas “berada”, sedangkan
manusia lebih apa yang dikatakan “berada”, bukan sebatas ada, tetapi
“bereksistensi”. Hal inilah yang menunjukan bahwa manusia sadar akan
keberadaanya di dunia, berada di dunia, dan mengalami keberadaanya berada
di dunia. Manusia menghadapi dunia, mengerti apa yang dihadapinya, dan
mengerti akan arti hidupnya. Artinya, manusia adalah subjek, yang menyadari,
yang sadar akan keberadaan dirinya. Dan barang-barang atau benda yang
disadarinya adalah objek.6 Manusia mancari makna keberadaan di dunia bukan
pada hakikat manusia sendiri, melainkan pada sesuatu yang berhubungan
dengan dirinya.
Manusia dalam dunianya, menggunakan benda-benda yang ada
disekitarnya. Di sinilah peran aktif manusia yang harus menentukan hakikat
keberdaan dirinya di dunia ini dan mendorong dirinya untuk selalu beraktifitas
sesuai dengan pilihan dirinya dalam mengambil jalan hidup di dunia. Dengan
segala peristiwa kesibukannya, maka manusia dapat menemukan arti
keberadaanya.
B. Eksistensi Manusia dan Peranannya dalam Pandangan Islam
Manusia ada karena diciptakan, sebagaimana makhluk-makhluk yang
lain mereka ada di muka Bumi karena diciptakan oleh Allah SWT. Dengan
kata lain adanya manusia bukan adanya sendiri, melainkan karena diadakan.7
Dalam surat al-Baqarah ayat 29, Allah Berfirman:

6
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra (Bandung : Rosda
Karya, 2006), h. 218-219.
7
Hadari Nawawi, Hakekat Manusia Menurut Islam, (Surabaya : Al-Ikhlash, 1993), h. 80.

5
       

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk


kamu”
Sebagai makhluk Tuhan manusia termasuk makhluk yang paling
sempurna dan paling mulia diantara diantara makhluk-makhluk yang lain.
Selain diberi keistimewaan berupa akal budi sehingga bisa membedakan
kebenaran dan kebatilan atau kejahatan dan kebajikan, manusia juga diberi
bentuk jasmani yang begitu bagus. Diberi panca indera dapat mengenal cita
rasa, diberi tangan kaki agar dapat bekerja dan diberi bermacam-macam
anugerah tubuh yang lain sehingga manusia dapat kelihatan gagah, pantas dan
berwibawa daripada bentuk makhluk hidup yang lain.8 Sebagaimana Allah
berfirman di dalam surat at-Tin ayat 4 :

      

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang


sebaik-baiknya”.
Taqwim menurut Hamka dalam tafsir al-Azharnya adalah pendiriran.
Yaitu bahwasanya diantara makhluk allah diatas permukaan bumi ini, manusia
lah yang diciptakan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk. Bentuk lahir dan
batin, bentuk tubuh dan bentuk nyawa, sehingga dinamai basyar artinya
9
wajah yang mengandung gembira sangat berbeda dengan makhluk lain.

1. Keberadaan Manusia Sebagai Makhluk Tuhan

Kedudukan manusia di alam ini yang sering diangkat oleh para pakar
adalah sebagai hamba yang harus beribadah kepada Allah SWT. hal ini
biasaya didasarkan pada petunjuk ayat yang berbunyi:

      

8
Abdul Fatah, Kehidupan Manusia Di Tengah-Tengah Alam Materi, (Jakarta : Rineka Cipta,
1995), h. 16.
9
Hamka, Tafsir al-Azhar, (Surabaya: Pustaka Islam, 1973), h. 185.

6
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Ad-Dzariyat: 56)
Manusia sebagai makhluk yang paling mulia diberi potensi
mengembangkan diri dan kemanusiaannya. Potensi-potensi tersebut merupkan
modal dasar bagi manusia dalam menjalankan berbagai fungsi dan
tanggungjawab kemanusiaannya. Agar potensi-potensi itu menjadi actual
dalam kehidupan perlu dikembangkan dan diiringi pada penyempurnaan-
penyempurnaan melalui upaya pendidikan, karena itu diperlukan penciptaan
arah bangun pendidikan yang menjadikan manusia layak untuk mengembang
misi Ilahi. Beribadah berarti mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam
hidup di dunia ini, termasuk kegiatan duniawi sehari-hari, jika kegiatan itu
dilakukan dengan sikap batin serta niat pengabdian dan penghambaan diri
kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral yakni untuk menempuh hidup
dengan kesabaran penuh bahwa makna dan tujuan keberadaan manusia ialah
“perkenan” atau ridha Allah SWT.
Sesuatu yang amat penting untuk diingat mengenai Ibadat atau
Ubudiyah ini ialah bahwa dalam melakukan amal perbuatan itu seseorang
harus hanya mengikuti petunjuk agama dengan referensi kepada sumber-
sumber seci(Kitab dan Sunnah), tanpa sedikitpun hak bagi seseorang untuk
menciptakan sendiri cara dan pola mengerjakannya. Justru suatu kreasi,
penambahan atau invasi di bidang ibadat dalam pengertian khusus ini akan
tergolong sebagai penyimpangan keagamaan(Bid’ah, Heresy) yang terlarang
keras.10

2. Keberadaan Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Sebagaimana kita ketahui, manusia selain sebagai makhluk individu


yang mempunyai kebebasan berkehendak serta tanggungjawab, dia juga
tegolong sebagai makhluk sosial. Manusia tidak akan bisa hidup dan
memenuhi kebutuhannya seorang diri tanpa adanya bantuan dari orang
lain(makhluk lain).

10
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadinah,
1992), h. 58.

7
Untuk itu dalam berhubungan dengan sesame harus kita niatkan untuk
mencari ridha Allah, sehingga perbuatan negative yang merugikan orang lain
akan terhindari. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Ma`idah ayat 2:

           

      

“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-
Nya.” (QS. Al-Ma`idah: 2)

Ayat tersebut menunjukan bahwa hubungan sosial yang diridhai Allah


adalah yang berkenan dengan perbuatan kebajikan, dan ketaqwaan
kepadaNya. Sedangkan perbuatan dosa dan pelanggaran adalah berada di luar
ridhanya.

3. Keberadaan Manusia Sebagai Makhluk di Alam

Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:

         

”ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:


"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."

Pada ayat ini, menjelaskan bahwa keberadaan manusia di muka bumi


adalah sebagai khalifah Allah. Sebagai khalifah yang dikaruniai ruh tuhan,
manusia dipercayai untuk memikul amanah berupa tugas menciptakan tata
kehidupan yang bermoral di muka bumi. Karenanya manusia tidak
diciptakan sia-sia, melainkan punya tugas yang serius, dan ia bertanggung

8
jawab bagi keberhasilan dan kegagalannya di depan Tuhan dan di depan
sejarah. 11

Untuk menjalankan tugas-tugas yang dimaksudkan itu, agar dapat


berjalan dengan lancar, Allah SWT memberikan seperangkat perlengkapan
yang diperlukan manusia. Perlengkapan pertama dan utama adalah berupa
potensi tauhid yang berlandaskan surat al-A`raf ayat 172, dengan
sinyalemen selanjutnya berupa penyempurnaan bentuk kejadian dan
penghembusan ruh yang berlandaskan surat al-Hijr ayat 29. Pernyataan
Allah SWT ini menurut Hasan Langgulung mengisyaratkan akan adanya
sifat-sifat Tuhan (walaupun dalam kadar yang terbatas) pada diri manusia,
demikian dikutip Said Agil Husin Al-Munawar.12
Manusia dinyatakan sebagai khalifatullah di muka bumi karena ia
memiliki fakultas nafsu yang tidak dimiliki oleh malaikat. Meurut al-Razi,
objek nafsu manusia adalah perolehan pengetahuan dan kekuasaan dalam
tingkatan tak terbatas. Nafsu ini akhirnya juga diputuskan oleh keterbatasan
manusia yang membuatnya tidak mungkin mencapai kekuasaan melampaui
dunia materi dan pengetahuan Tuhan, melainkan sesuai dengan kapasitas
moral dan intelektual yang dimiliki. Aspek nafsu atau keinginan manusia
yang tak terbatas adalah mencari pengetahuan dan kekuasaan atau dunia.13

Menurut M. Quraish Shihab bahwa di dalam al-Qur`an terdapat kata


khalifah dalam bentuk tunggal sebanyak dua kali, yaitu dalam surat al-
Baqarah ayat 30 dan surat Shad ayat 26. Dan dalam bentuk plural (jamak),
yaitu khalaif dan khulafa’ yang masing-masing diulang sebanyak empat kali
dan tiga kali.

Keseluruhan kata tersebut menurutnya berakar pada kata ”khulafa”


yang pada mulanya berarti “di belakang”. Dari sini, kata khalifah
menurutnya seringkali diartikan sebagai “pengganti” (karena yang

11
Ahmad Syafii Maarif, Membumikan Islam, (Surakarta: Pustaka Pelajar, 1995),h. 9-10.
12
Said Agil Husin Al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur`ani Dalam Sistem Pendidikan
Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005),h. 71.
13
Majid Fakhry, Etika Dalam Islam, (Surakarta: Pustaka Pelajar, 1996),h.116.

9
menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang
digantikannya).14

M. Quraish Shihab selanjutnya menguraikan segi penggunaan dari


istilah-istilah tersebut. Dengan mengacu kepada ayat yang artinya: “Dan
Daud membunuh Jalut, Allah memberinya kekuasan/kerajaan dan hikmah
serta mengajarkannya apa yang Dia kehendaki…”. M.Quraish Shihab
mengatakan bahwa kekhalifahan yang dianugrahkan kepada Daud as
bertalian dengan kekuasaan mengolah wilayah tertentu. Hal ini diperolehnya
berkat anugrah Ilahi yang mengajarkan kepadanya al-hikmah dan ilmu
pengetahuan.15 Disebutnya istilah kekhalifahan yang dikaitkan dengan upaya
Tuhan yang mengajarkan al-hikmah dan ilmu pengetahuan sebagaimana
disebutkan itu memberikan petunjuk yang jelas tentang adanya kaitan yang
erat antara pelaksanaan fungsi kekhalifahan dengan pendidikan dan
pengajaran, yaitu bahwa untuk dapat melaksanakan fungsi kekhalifahan itu
seseorang perlu dibekali dengan pengetahuan.
Selanjutnya jika diamati dengan seksama, nampak bahwa istilah
khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) yang berarti penguasa politik hanya
digunakan untuk nabi-nabi, yang dalam hal ini nabi Adam as. Dan tidak
digunakan untuk manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa
digunakan istilah khala’if yang di dalamnya mempunyai arti yang lebih luas
yaitu bukan hanya sebagai penguasa politik tetapi juga penguasa dalam
berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan dengan pembicaraan dengan
kedudukan manusia dalam alam ini, nampaknya lebih cocok digunakan
istilah khala’ifdari pada kata khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam
penggunaan sehari-hari adalah bahwa manusia sebagai khalifah di muka
bumi. Pendapat demikian memang tidak ada salahnya, karena dalam istilah
khala’if sudah terkandung makna istilah khalifah. Sebagai seorang khalifah
ia berfungsi menggantikan orang lain da menempati tempat serta
kedudukannya.16
Oleh karena itu, semakin baik interaksi manusia dengan manusia, dan
interaksi manusia dengan Tuhan, serta interaksinya dengan alam, pasti akan

14
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h.156.
15
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h.157.
16
Fakhruddin Muhammad al-Razi, Tafsir al-Fakhr al-Razi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h.180.

10
semakin banyak yang dapat dimanfatkan dari alam raya ini. Karena ketika
itu mereka semua akan saling membantu dan bekerja sama dan Tuhan di atas
mereka akan merestui.
Semakin kokoh hubungan manusia dengan alam raya dan semakin
dalam pengenalan tehadapnya, akan semakin banyak yang dapat
diperolehnya melalui alam raya ini. Dan keharmonisan hubungan
melahirkan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Perkembangan inilah
yang merupakan arah yang dituju oleh masyarakat religious yang Islami
sebagaimana digambarkan oleh al-Qur’an yang mengibaratkan masyarakat
Islam yang ideal:

       

“…seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu


menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di
atas pokoknya…”. (QS. Al-Fath: 29)
Keharmonisan tidak mungkin tercipta kecuali jika dilandasi oleh rasa
aman. Karena itu pula, setiap aktivitas istikhlaf (pembangunan) baru dapat
dinilai sesuai dengan etika agama, apabila rasa aman dan sejahtera
menghiasi setiap anggota masyarakat. Dengan kata lain, pembangunan yang
dihiasi oleh etika agama adalah yang mengantar manusia menjadi lebih
bebas dari penderitaan dan rasa takut.
Kesabaran dan ketabahan merupakan etika atau sikap terpuji, karena ia
adalah kekuatan, yaitu kekuatan seseorang dalam menanggung beban atau
menahan gejolak keinginan negatif. Keberanian merupakan kekuatan karena
pemiliknya mampu melawan dan menundukkan kejahatan, dan kasih sayang
dan uluran tangan adalah juga kekuatan.
Arah yang dituju oleh ikhtilaf adalah kebebasan manusia dari rasa
takut, baik dalam kehidupan dunia ini atau yang berkaitan dengan persoalan
sandang, pangan dan papan, maupun ketakutan-ketakutan lainnya yang
berkaitan dengan masa depannya yang dekat atau yang jauh di akhirat kelak.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Eksistensi berasal dari bahasa Inggris yaitu excitence; dari bahasa latin
existere yang berarti muncul, ada, timbul, memilih keberadaan aktual. Dari
kata ex berarti keluar dan sistere yang berarti muncul atau timbul. Beberapa
pengertian secara terminologi, yaitu pertama, apa yang ada, kedua, apa yang
memiliki aktualitas (ada), dan ketiga adalah segala sesuatu (apa saja) yang di
dalam menekankan bahwa sesuatu itu ada.
Menurut Heiddegger, eksistensialisme lebih dikenal sebagai bentuk
gaya berfilsafat, pokok utamanya adalah manusia dan cara beradanya di
tengah-tengah makhluk lainnya. Manusia dalam dunianya, menggunakan
benda-benda yang ada disekitarnya. Di sinilah peran aktif manusia yang harus
menentukan hakikat keberdaan dirinya di dunia ini dan mendorong dirinya
untuk selalu beraktifitas sesuai dengan pilihan dirinya dalam mengambil jalan
hidup di dunia. Dengan segala peristiwa kesibukannya, maka manusia dapat
menemukan arti keberadaanya.

12

Anda mungkin juga menyukai