Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

ILMU PENYAKIT TROPIS

PENYAKIT LEPRA

NAMA :LIDYA RISWANDA TA’EK

NIM : 1707010290

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Penyusunan makalah ini dimaksudkan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular.

Sehubungan dengan penyelesaian tugas makalah tentang “Penyakit Kusta” ini,


dengan rasa rendah hati penulis mengucapkan limpah terima kasih kepada dosen
pengajar yang telah memberikan tugas ini sehingga penulis menjadi lebih paham
mengenai penyakit kusta, serta semua pihak yang turut membantu dalam
penyelesaian tugas ini.

Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih kurang sempurna oleh karena
itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan guna penyempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Kupang, November 2018

Tim Penulis

1
DAFTAR ISI

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh
peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India. Pada 1995, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang
cacat permanen karena kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita
dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok
penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti India Dan
Vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an
dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri
penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian
menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal
1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan
seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja
tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam
keadaan ini warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat
dari masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap
kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat
mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan
ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di
lingkungan masyarakat.

3
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah definisi, penyebab/etiologi penyakit kusta atau lepra ?
2. Bagaimana distribusi penyakit kusta atau lepra di Indonesia ?
3. Bagaimana epidemiologi penyakit, host, agent dan environment ?
4. Bagaimana tanda, gejala, dan siklus penularan ?
5. Bagaimana pathogenesis/patofisologi, diagnosis dan factor risiko ?
6. Bagaimana pengobatan dan pencegahannya ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi, penyebab/etiologi penyakit kusta atau lepra
2. Untuk mengetahui distribusi penyakit kusta atau lepra di Indonesia
3. Untuk mengetahui epidemiologi penyakit, host, agent, dan environment
4. Untuk mengetahui tanda, gejala, dan siklus penularan
5. Untuk mengetahui pathogenesis/patofisiologi, diagnosis dan factor risiko
6. Untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
a. Pengertian
Penyakit kusta (Morbus Hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun
akibat bakteri tahan asam yaitu Mycobacterum leprae yang secara primer
menyerang saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ lainnya
(WHO, 2010; Noto & Schreuder, 2010). Penyakit kusta adalah penyakit
kronis yang dapat menimbulkan masalah kecacatan (Susanto, 2006). Masalah
yang timbul tidak hanya pada masalah kesehatan fisik saja, tetapi juga
masalah psikologis, ekonomi dan sosial bagi penderitanya (Amiruddin, 2006).
Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit
kusta adalahpenyakit kulit menahun yang disebabkan oleh bakteri tahan asam
Mycobacterium leprae yang awalnya menyerang saraf tepi, kemudian dapat
menyebar menyerang organ lain, seperti kulit, selaput mukosa, testis dan mata
serta jika tidak diobati dengan tepat akan menimbulkan kecacatan fisik pada
penderita. Penyakit kusta muncul diakibatkan karena adanya faktor penyebab.

b. Etiologi
Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang
berbentuk batang panjang, sisi paralel dengan kedua ujung bulat, ukuran
0,3-0,5 mikron x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif, tidak
bergerak, tidak berspora, dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk
kelompok. Pada pemeriksaan langsung secara mikroskopis, tampak
bentukan khas adanya basil yang mengerombol seperti ikatan cerutu,
sehingga disebut packet of cigars (globi). Basil ini diduga berkapsul tetapi

5
rusak pada pewarnaan menggunakan karbon fukhsin. Organisme tidak
tumbuh pada perbenihan buatan.
Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan
waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5
tahun.
Bakteri Mycobacterium leprae dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Secara skematik struktur M. Leprae terdiri dari:


1) Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari
bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas
bentuk M. leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua lipid,
phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan
protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang terdiri dari tiga
molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol
pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang
unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae.
2) Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
a) Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung
lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan

6
yang diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat ,mirip
dengan yang ditemukan pada Mycobacteria lainnya.
b) Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang
dihubungkan melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian
asam–amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun
peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen
diagnostik.
3) Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu
membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan
keluar organisme. Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein
sebagian besar berupa enzim dan secara teori merupakan target yang
baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat membentukm ‘antigen
protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M. leprae yang
sudah terganggu dan dianalisa secara luas.
4) Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material
genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan
protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA
berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari
mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan menunjukkan
bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan
M. tuberculosis dan M. Scrofulaceum

2.2 Distribusi penyebaran di Indonesia


Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per
10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk), pada tahun 2000. Stelah itu
Indoneesia masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif
lambat. Angka prevalensi kusta di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70

7
kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar6,08 kasus per
100.000 penduduk. Selain itu, ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih
diatas 1 per 10.000 penduduk. Angka prevalensi ini belum bisa dinyatakan
bebas kusta dan terjadi di 10 provinsi di Indonesia.
a. Distribusi berdasarkan waktu
Angka tren kasus baru kusta dalam lima tahun terakhir dapat terlihat
dalam grafik berikut.

Sedangkan pada anak, selama periode 2013-2017 angka penemuan


kasus baru pada tahun 2013 merupakan yang tertinggi yaitu sebesar
11,88 per 100.000 penduduk, dapat dilihat pada grafik berikut.

8
Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
beban kusta tinggi (high burden) dan beban kusta rendah (low
burden). Provinsi disebut high burden jika NCDR (New Case
Detection Rate: angka penemuan kasus baru) >10 per 100.000
penduduk atau jumlah kasus baru lebih dari 1000, sedangkan low
burden jika NCDR <10 per 100.000 penduduk dan atau jumlah
kasus baru kurang dari 1.000 kasus.
b. Distribusi berdasarkan tempat
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa di antara tahun 2015-2016
sebanyak 11 provinsi (32,35%) termasuk dalam beban kusta rendah.
Hampir seluruh provinsi di bagian timur Indonesia merupakan
daerah dengan beban kusta tinggi. Selama periode 2015-2016 Jawa
Timur merupakan satu-satunya provinsi di bagian barat Indonesia
dengan angka beban kusta tinggi. Kemudian pada tahun 2017 Jawa
Timur mengalami penurunan menjadi kategori angka beban kusta
rendah sehingga hanya 10 provinsi yang memiliki kategori beban
kusta tinggi.

9
10
11
Dari gambar 3 dibawah ini terlihat bahwa kasus baru kusta terbanyak
di Provinsi Jawa Timur (3.373 jiwa), Jawa Barat (1.813 jiwa), Jawa
Tengah (1.644 jiwa), Papua (968 jiwa) dan Sulawesi Selatan (1.091

jiwa).

12
Dari gambar berikut ini dapat dilihat bahwa jumlah penderita kusta
terbanyak terdapat di provinsi Jawa Timur pada periode tahun 2015-
2917, namun dengan penurunan penderita sebesar 15,95%, sedangkan
provinsi yang mengalami kenaikan jumlah penderita paling tinggi dalam
kurun waktu 2015-1017 terdapat di Provinsi Maluku sebanyak 102,84%

c. Distribusi berdasarkan Orang


Pada anak, beban kusta tinggi terdapat di 14 provinsi pada tahun
2015, dan 9 provinsi pada tahun 2016, dan 11 provinsi pada tahun
2017. Secara rasional presentase kasus baru kusta pada anak selama
periode tahun 2015-2017 mengalami sedikit penurunan, yaitu dari
sebelumnya sebesar 11,22% tahun 2015 menjadi 11,05% di tahun
2017.

13
14
Pada tabel 5 dibawah ini, provinsi dengan kusta terbanyak berjenis
kelamin laki-laki yaitu Kalimantan Selatan (74,49%), Kalimantan
Tengah (73,68%), dan Bali (72,86%). Di beberapa daerah, pria
memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita. Pada
tahun 2017 jumlah kasus baru kusta pada laki-laki sebesar 9.872 dan
perempuan 6.048 kasus.

15
2.3 Epidemiologi penyakit
A. Host, Agent dan Environment
1. Host
2. Manusia merupakan reservoir untuk penularan kuman seperti
Mycobacterium tuberculosis dan morbus Hansen, kuman tersebut dapat
menularkan pada 10-15 orang. Menurut penelitian pusat ekologi kesehatan
(1991), tingkat penularan kusta di lingkungan keluarga penderita cukup
tinggi, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3
orang di dalam rumahnya. Di dalam rumah dengan ventilasi baik, kuman
ini dapat hilang terbawa angin dan akan lebih baik jika ventilasi
ruangannya menggunakan pembersih udara yang bisa menangkap kuman.
Hal yang perlu diketahui tentang host atau penjamu meliputi karakteristik;

16
gizi atau daya tahan tubuh, pertahanan tubuh, hygiene pribadi, gejala dan
tanda penyakit dan pengobatan. Karakteristik host dapat dibedakan antara
lain : umur, jenis kelamin, pekerjaan , keturunan, pekejaan, ras dan gaya
hidup.
3. Agent
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan
tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Kusta adalah penyakit yang
disebabkan oleh bakteri M. Leprae yang menyerang kulit, saraf tepi di
tangan maupun kaki, dan selaput lendir pada hidung, tenggorokan dan
mata.
Kuman ini satu genus dengan kuman TB dimana di luar tubuh manusia,
kuman kusta hidup baik pada lingkungan yang lembab akan tetapi tidak
tahan terhadap sinar matahari. Kuman kusta dapat bertahan hidup pada
tempat yang sejuk, lembab, gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-
tahun lamanya. Kuman Tuberculosis dan leprae jika terkena cahaya
matahari akan mati dalam waktu 2 jam, selain itu. Seperti halnya bakteri
lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan
kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80% volume sel
bakteri dan merupakan hal esensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan
hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media
yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk yang memiliki rentang
suhu yang disukai, merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam
rentang 25-40 0C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-370C.
Pengetahuan mengenai sifat-sifat agent sangat penting untuk
pencegahan dan penanggulangan penyakit, sifat-sifat tersebut termasuk
ukuran, kemampuan berkembangbiak, kematian agent atau daya tahan
terhadap pemanasan atau pendinginan.

4. Environment

17
Lingkungan yang dapat menyebabkan penyakit kusta berupa lingkungan
fisik, yaitu:
a) Suhu Rumah
M. Leprae yang bertahan hidup lama dalam temperatur kamar
dapat mempertinggi risiko penularan kusta antar anggota keluarga
yang menderita penyakit kusta. Pertumbuhan optimal kuman kusta
pada suhu 270- 30 0C (Depkes RI, 2012).
b) Pencahayaan Alami di dalam Rumah
Pencahayaan di dalam rumah diukur menggunakan luxmeter.
Pencahayaan minimal yang ada di dalam rumah yaitu 60 lux. Hal ini
ditetapka oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1077/Menkes/Per/V/2011 Tentang Pedoman Penyehatan
Udara Dalam Ruang Rumah.
c) Jenis Lantai
Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
ketentuan persyaratan kesehatan rumah tinggal menyatakan bahwa
lantai rumah harus kedap air dan mudah dibersihkan.
Menurut penelitian Enis (2009) ditemukan bahwa karakteristik
rumah yang berhubungan dengan terjadinya penyakit kusta
diantaranya adalah jenis lantai.
d) Luas Ventilasi Rumah
Dampak dari ventilasi yang tidak memenuhi syarat yaitu
pertukaran oksigen didalam rumah dapat berkurang sehingga dapat
menyebabkan penyakit yang dapat menular lewat udara tertular
dengan orang serumah dengan penderita. Dengan adanya ventilasi
serta digunakan sesuai peruntukannya maka sinar matahari serta
udara dapat masuk maka sehingga dapat mencegah pertumbuhan
bakteri (Makinan, 2012).

18
Hasil penelitian Norlatifah, dkk. (2010) menunjukan bahwa
secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi
fisik rumah dengan kejadian kusta. Rumah responden banyak yang
tidak memiliki ventilasi lebih dari 10% dari luas lantai.
e) Kepadatan Hunian Kamar
Menurut penelitian yang dilakukan Rismawati (2013)
didapatkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian kamar
dengan kejadian kusta multibasiler. Responden dengan kepadatan
hunian kamar tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3,231 kali
lebih besar menderita kusta multibasiler bila dibandingkan
responden dengan kepadatan hunian kamar memenuhi syarat.
f) Kelembaman
Menurut Kepmenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999,
kelembaban yang baik yaitu berkisar antara 40 - 70 %. Berdasarkan
penelitian Wicaksono, dkk. (2015) hasil analisis univariat
didapatkan bahwa pada variabel kelembaban, untuk kelompok kasus
mayoritas mempunyai ruangan tidur yang kelembabannya tidak
memenuhi syarat (90%).

2.4 Gejala dan siklus penularan


A. Gejala
Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), diagnosis penyakit kusta
ditetapkan dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama penyakit
kusta yaitu:
1) Bercak pada kulit yang mengalami mati rasa; bercak dapat berwarna
putih (hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous),
penebalan kulit (plakinfiltrate) atau berupa nodul-nodul. Mati rasa
dapat terjadi terhadap rasa raba, suhu, dan sakit yang terjadi secara
total atau sebagian;

19
2) Penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan
gangguan pada fungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami
mati rasa, saraf motorik mengalami kelemahan otot (parese) dan
kelumpuhan (paralisis), dan gangguan pada saraf otonom berupa kulit
kering dan retak-retak.
Gejala pada penderita kusta yang dapat ditemukan biasanya penderita
mengalami demam dari derajat rendah hingga menggigil, nafsu makan
menurun, mual dan kadang-kadang diikuti dengan muntah. Penderita kusta
juga mengalami sakit kepala, kemerahan pada testis, radang pada pleura,
radang pada ginjal,terkadang disertai penurunan fungsi ginjal, pembesaran
hati dan empedu, serta radang pada serabut saraf (Zulkifli, 2003).

B. Siklus penularan
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan
tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si
penderita, yakni selaput lendir hidung. Beberapa ahli mengatakan bahwa
penyakit kusta menular melalui saluran pernapasan dan kulit (Chin, 2006).
Agustin dan Nurjanti (2002) mengatakan bahwa penyakit kusta tidak
hanya ditularkan oleh binatang seperti armadillo , monyet dan mangabey.
Mycobacterium leprae hidup pada suhu bagian tubuh manusia yang
memiliki suhu yang lebih rendah yaitu mata, saluran pernapasanbagian
atas, otot, tulang, testis, saraf perifer dan kulit (Burn, 2010). Namun ada
beberapa penelitian bahwa kuman dapat masuk melalui kulit yang lecet di
bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Penularan terjadi
jika M. Leprae yang hidup keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam
tubuh orang lain. Secara teoritis penularan ini terjadi dengan kontak yang
lama dengan penderita. Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh
pejamu diperkirakan adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan
melalui kontak kulit yang tidak utuh (Kemenkes RI, 2007).

20
Berikut ini adalah bagan penularan penyakit kusta.

2.5 Pathogenesis/patofisiologi, diagnosis dan factor risiko


A. Patogenesis
Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara
orang yang terinfeksi dengan orang sehat. Dalam penelitian terhadap insiden,
tingkat infeksi untuk kontak lepra lepramatosa beragam dari 6.2 per 1000 per
tahun di Cebu, Philipina hingga 55.8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia
diperkirakan adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus
lepramatosa menunjukan adanya sejumlah organisme di dermis kulit.
Bagaimana masih belum dapat dibuktikan bahwa organism tersebut dapat
berpindah ke permukaan kulit. Walaupun telah ditemukan bakteri tahan asam
di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan bakteri tahan asam
di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak
menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru Job
etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar dilapisan
keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini menbentuk
sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar
keringat.
Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah
ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa
hidung pada kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga
10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa sebagian besar pasien
lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di secret hidung penderita. Devey

21
dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari pasien lepromatosa dapat
memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi
tanda tanya. Saat ini diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang
masuknya bakteri.
Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti
berusaha mengukur masa inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum
dilaporkan beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi. Masa
inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan
berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non endemik. Secara umum telah
ditetapkan masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

B. Diagnosa penyakit kusta


Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak
penyakit lain. Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan gejala
yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan
untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan
berbagai penyakit yang lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan
pasien. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda cardinal
(tanda utama), yaitu :
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hipopigmentasi)
atau kemerah-merahan (eritematous). Mati rasa dapat bersifat kurang rasa
(nipestesi) atau tidak merasa sama sekali (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf
tepi. Gangguan fungsi saraf bisa berupa gangguan fungsi sensorik seperti
mati rasa, gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot atau

22
kelumpuhan, gangguan fungsi otonom seperti kulit kering, retak,
pembengkakan.
3. Basil tahan asam (BTA) positif
Bahan pemeriksaan BTA diambil dari kerokan kulit, cuping telinga dan
bagian aktif suatu lesi kulit. Untuk tujuan tertentu kadang diambil dari
bagian tubuh tertentu (biopsy). Seseorang dinyatakan sebagai penderita
kusta bilamana terdapat sekurang-kurangnya dua dari tanda-tanda cardinal
diatas atau bila terdapat tanda (BTA) positif diambil dari bagian kulit yang
dicurigai. Bilamana terdapat hanya salah satu dari empat tanda pertama 1-
4, maka pemeriksaan laboratorium diulang lagi, terutama bila hanya
terdapat tanda infiltrate. Dan apabila tidak adanya cardinal sign bisa
dinyatakan tersangka (suspek) kusta.

C. Faktor risiko
Timbulnya penyakit kusta diduga dipengaaruhi oleh beberapa fakor, antara
lain:
1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada
masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan
(praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah) dan
meningkatkan kesehatannya. Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah
satu unsur yang menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang,
baik dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial (Soekidjo
Notoatmodjo, 2005: 26; Budioro, 1997:113).
Menurut hasil penelitian Maria Christiana tahun 2009
menyimpulkan bahwa responden yang mempunyai pendidikan rendah
memiliki risiko terkena kusta 7,405 kali lebih besar dibandingkan
responden yang berpendidikan tinggi.
2. Tingkat Pengetahuan

23
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu
seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata,
hidung, telinga dan sebagainya). Secara sendirinya, pada waktu
penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat
dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek yang
berbeda-beda (Soekidjo Notoatmodjo, 2005:50). Pengetahuan yang baik
diharapkan menghasilkan kemampuan seseorang dalam mengetahui
gejala, cara penularan penyakit kusta dan penanganannya.
3. Personal Hygiene
Personal hygiene adalah tindakan pencegahan yang menyangkut
tanggung jawab individu untuk meningkatkan kesehatan serta
membatasi menyebarnya penyakit menular, terutama yang ditularkan
secara kontak langsung (N ur Nasry Noor, 2006: 24).
Menurut hasil penelitian Yudied A. M tahun 2007 bahwa personal
hygiene meliputi kebiasaan tidur bersama, pakai pakaian bergantian,
handuk mandi secara bergantian serta BAB di kebun pada masyarakat
Pragaan menyebabkan penularan penyakit kusta.
4. Riwayat Kontak
Kusta merupakan penyakit infeksius, tetapi derajat infektivitasnya
rendah. waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan
tampaknya kebanyakan pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa anak-
anak. Insidensi yang rendah pada pasien-pasien yang merupakan
pasangan suami istri (kusta yang diperoleh dari pasangannya)
memberikan kesan bahwa orang dewasa relatif tidak mudah terkena.
Penyakit ini timbul akibat kontak fisik yang erat dengan pasien yang
terinfeksi, dan risiko ini menjadi jauh lebih besar bila terjadi kontak
dengan kasus lepromatosa. Sekret hidung merupakan sumber utama
terjadinya infeksi di masyarakat (Robin Graham Brown, 2005:24).
5. Lama Kontak

24
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan
jelas, penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat
dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan
(James C hin, 2000: 348).
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan
tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae
yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam
tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara
penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi
dengan cara kontak yang lama dengan penderita (Depkes RI, 2007: 9).
6. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan disini yaitu pekerjaan atau mata pencaharian sehari-
hari yang dilakukan responden, digolongkan menjadi pekerjaan ringan
(tidak bekerja, pelajar, pegawai kantor) dan pekerjaan berat (pekerja
bangunan, buruh, tukang batu, pekerja bengkel, penjahit, buruh angkut,
pembantu, petani dan nelayan)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Laily Af’idah
(2012) tentang analisis faktor risiko kejadian kusta di Kabupaten Brebes
tahun 2010, prosentase jenis pekerjaan yang berisiko kusta sebesar
85,5% dan yang tidak berisiko sebesar 14,5%. Uji statistik menunjukkan
bahwa ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan kejadian kusta.
7. Jenis Kelamin
Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki- laki lebih
banyak terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1.
Walaupun ada beberapa daerah yang menunjukkan insidens ini hampir
sama bahkan ada daerah yang menunjukkan penderita wanita lebih
banyak (Marwali Harahap, 2000: 261).
Kusta dapat mengenai laki- laki dan perempuan. Menurut catatan
sebagian besar negara di dunia kecuali dibeberapa negara di Afrika

25
menunjukkan bahwa laki- laki lebih banyak tersera ng dari pada wanita.
Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena
faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit
menular lainnya laki- laki lebih banyak terpapar dengan faktor risiko
sebagai akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 2007: 8).
8. Umur
Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Namun demikian, jarang
dijumpai pada umur yang sangat muda. Pernah dijumpai penderita kasus
tuberkuloid pada usia di atas 70 tahun sangat jarang. Frekuensi
terbanyak adalah 15-29 tahun (Marwali Harahap, 2000: 261).
Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta
menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan
insiden karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui.
Dengan kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat
diketemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik
seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada
saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik
umur. K usta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi
sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang
terbanyak adalah pada umur muda dan produktif. Diagnosis umur kusta
pada fenomena Lucio diketahui antara umur 15 hingga 71 tahun dengan
rata-rata umur 34 tahun (Depkes RI, 2007: 8; Latapi’s Lepromatosis,
2005:177).
9. Jarak Rumah
Faktor lingkungan merupakan faktor yang memudahkan seseorang
kontak dengan kuman kusta (Mycobacterium leprae). Lingkungan fisik
(physical environment) yang ada di sekitar kita sangat berarti bagi
kehidupan kita. Kondisi lingkungan sekitar secara terus- menerus
memberikan pemaparan pada kita, jika lingkungan sesuai dengan

26
kebutuhan aktivitas manusia, maka dia akan mendorong bagi kondisi
yang baik, dan jika kondisi lingkungan tidak sesuai dengan kebutuhan
sangat berpengaruh terhadap kesehatan. Daerah endemitas yang tinggi
serta kontak orang-orang dengan penderita dengan kuman kusta akan
lebih sering daripada daerah dengan endemitas rendah (Wayne M.
meyers, 2000:251).
Dua hal yang terkait dengan tempat tinggal, yaitu penataan rumah
(yang berhubungan dengan ukuran, tata ruang, dan penampilan) dan
kepadatan. Menyangkut kepadatan berarti berhubungan dengan jarak
rumah satu dengan yang lain. Kepadatan perumahan selain secara
psikososial sering menimbulkan konflik-konflik antar anggota
masyarakat, banyaknya hazard yang potensial dapat mengganggu
kesehatan fisik maupun mental.

2.6 Pengobatan dan pencegahan


A. Pengobatan
Kemoterapi kusta dimulai pada tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal
(monoterapi DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB,
sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan
monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persister serta
terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap
DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan pengobatan
kusta dengan Multy Drug Therapy (MDT) untuk tipe MB maupun PB.
Tujuan pengobatan adalah :
1. Memutuskan mata rantai penularan
2. Mencegah resistensi obat
3. Memperpendek masa pengobatan
4. Meningkatkan keteraturan obat

27
5. Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah
ada sebelum pengobatan.
Dengan matinya kuman maka sumber penularan dari pasien, terutama tipe
MB ke orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi sebelum pengobatan
tidak dapat diperbaiki oleh MDT. Bila pasien kusta tidak minum obat
secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi kebal/resisten terhadap
MDT, sehingga gejala penyakit menetap, bahkan memburuk. Gejala baru
dapat timbul pada kulit dan saraf.
B. Pencegahan
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit yang dapat segera ditangani
dan dicegah. Cara mencegah penularan penyakit kusta, yaitu :
a. Segera melakukan pengobatan sejak dini secara rutin terhadap penderita
kusta, agar bakteri yang dibawa tidak dapat lagi menularkan kepada orang
lain.
b. Menghindari atau mengurangi kontak fisik dengan jangka waktu yang
lama.
c. Meningkatkan kebersihan diri dan kebersihan lingkungan.
d. Meningkatkan atau menjaga daya tahan tubuh, dengan cara berolahraga
dan meningkatkan pemenuhan nutrisi.
e. Tidak bertukar pakian dengan penderita, karena basil bakteri juga terdapat
pada kelenjar keringat.
f. Memisahkan alat-alat makan dan kamar mandi penderita kusta.
g. Untuk penderita kusta usahakan tidak meludah sembarangan, karena basil
bakteri masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
h. Isolasi pada penderita kusta yang belum mendapatkan pengobatan. Untuk
penderita yang sudah mendapatkan pengobatan tidak menularkan
penyakitnya pada orang lain.
i. Melakukan vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan penderita kusta.

28
j. Melakukan penyuluhan terhadap masyarakat mengenai mekanisme
penularan kusta.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

29
Penyakit kusta (Morbus Hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun akibat
bakteri tahan asam yaitui Mycobacterum leprae yang secara primer menyerang
saraf tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ lainnya (WHO,
2010; Noto & Schreuder, 2010). Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang
dapat menimbulkan masalah kecacatan (Susanto, 2006). Terjadinya cacat pada
kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta
maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra.
Penularan kusta terjadi jika M. Leprae yang hidup keluar dari tubuh penderita
dan masuk ke dalam tubuh orang lain.
Faktor resiko penyakit ini yaitu tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan,
personal hygine, riwayat kontak, lama kontak, jenis pekerjaan, jenis kelamin,
umur dan jarak rumah. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang dapat
segera ditangani dan dicegah.

3.2 Saran
Diketahui bahwa masih banyaknya kasus penyakit kusta di Indonesia, penulis
memberi saran agar kita sebagai masyarakat harus tetap menjaga pola hidup
kita agar tidak mudah tertular penyakit. Juga kepada pemerintah maupun tenaga
kesehaan sebaiknya dapat menangani masalah ini dengan tepat.

DAFTAR PUSTAKA

http://digilib.unila.ac.id/6730/13/BAB%20II.pdf

30
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/22370/Chapter
%20II.pdf;sequence=4

http://eprints.undip.ac.id/42543/2/BAB_II.pdf

http://www.academia.edu/18474911/Epidemiologi_Penyakit_Menular_Kusta

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin_kusta.pdf

http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-zulkifli2.pdf

http://eprints.ung.ac.id/6342/5/2012-1-13201-811408003-bab2-13082012035518.pdf

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjfm8
SWt7reAhXLtI8KHTH6D3QQFjADegQIBhAC&url=http%3A%2F
%2Fwww.pusdatin.kemkes.go.id%2Fdownload.php%3Ffile%3Ddownload
%2Fpusdatin%2Finfodatin%2FinfoDatin-kusta-2018.pdf&usg=AOvVaw1t0A-
7cvLOuvse3E6Hu_9r

http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/37321/Chapter
%20II.pdf;sequence=4

http://dinus.ac.id/repositori/docs/ajar/Penyakit_KUSTA_baru.ppt

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjY2O
Dcm8DeAhWIWisKHX_kD0YQFjABegQIAhAB&url=https%3A%2F
%2Fslideus.org%2F323608080-indikator-evaluasi-program-pengendalian-kusta-
docx&usg=AOvVaw0eQE7eLNqlofJQvnctBEHx

31

Anda mungkin juga menyukai