Anda di halaman 1dari 17

PRAKTIKUM II FARMAKOLOGI

MENENTUKAN LD50 (LETHAL DOSE) SUPERMETRIN 100 ec PADA TIKUS

KELOMPOK 1 / FARMASI- C

1. NOUR LENA 201810410311001


2. NOER AINI MILA SAFITRI DEVI 201810410311002
3. SAFIRA REZBITA SYAWALIANNIS 201810410311003
4. AULI RIZKY MAHARANI SISWANDI 201810413011004
5. FITRI AULFA 201810410311009
6. NARENDRA DIAKSA 201810410311010
7. DESTY HANING PRASTIWI 201810410311011

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2019
I. TUJUAN PRAKTIKUM

1. Mengamati perubahan aktivitas perilaku setelah pemberian supermetrin secara per


sonde.
2. Menentukan LD50 supermetrin pada tikus.
II. DASAR TEORI
Pestisida merupakan suatu zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk
mengendalikan, mencegah dan menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, jasad
renik yang dianggap hama serta semua zat atau campuran zat yang digunakan untuk
mengatur pertumbuhan tanaman dan pengering tanaman.
Pestisida bersifat atau memiliki efek buruk, bukan hanya pada tumbuhan tetapi jjuga
pada kesehatan manusia atau lingkungan. Pada mamalia efek utama yang ditimbulkan
adalah menghambat aseilkolin esterase yang menyebabkam aktivitas kolienergik yang
berlebihan perangsangan reseptor kolinergik secara terus menerus akibat pnumpukan
asetilkolin yang tidak terhidrolisis. Penghambat asetilkolinesterase juga menimbulkan
polineuropati (neurotoksisitas) mulai terbakar sampai kesemutan, terutama dikaki
akibat kesukaran sensorik dan motorik dapat meluas ke tungkai dan kaki (terjadi
ataksia).
Penilaian keamanan obat/zat kimia perlu dilakukan untuk menentukan seberapa toksik
zat tersebut ke manusia. Hal tersebut dapat dilkukan dengan tahapan berikut:
1. Menentukan LD50
2. Melakukan percobaan toksisitas sub akut dan kronis untuk menentukan no effect
level.
3. Melakukan percobaan karsinogenitas, teratogenitas dan metagenesis yang
merupaka bagian dari penyaringan rutin.

Supermetrin

Supermetrin merupakan kelompok insektisida golongan piretroid sintetik. Piretroid


adalah kelompok insektisida organik yang digunakan secara luas sejak tahun 1970 dan
saat ini pengembangannya sangat cepat. Supermetrin merupakan racun kontak dan
racun perut yang penggunaannya selain untuk pengendalian serangga juga untuk lahan
pertanian. (Magallona,1990).

Target utama insektsida piretroid adalah ganglion sistem saraf pusat serangga.
Piretroid memiliki sejumlah karakteristik penting antara lain, bekerja cepat pada
serangga, aplikasi dosis rendah, tidak berbau, non residual (untuk generasi pertama),
kelarutan dalam air rendah dan toksikk terhadap tikus. Piretroid bekerja secara cepat
dan menimbulkan paralisis terhadap serangga. (Wirawan, 2006).

Piretroid adalah racun axonic, yaitu beracun pada selaput saraf. Insektisida ini terikat
pada protein saraf yang dikenal voltage-gate sodium chanel. Pada keadaan nomal,
protein membuka untuk memberikan rangsangan pada sistem saraf dan menghentikan
sinyal saraf. Piretroid terikat pada gerbang ini, dan mecega menutup secara normal
yang menghaasilkan rangsangan saraf secara berkelanjutan. Hal tersebut
menyebabkan tremor dan gerakan inkoordinasi. (Wirawan, 2006)

Mekanisme Kerja Supermetrin

Mekanisme kerjanya yaitu, menghambat enzim asetilkolinesterase sehingga terjadi


akumulasi. Pada enzim dihambat mengakibatkan jumlah asetilkolin meningkat dan
berikatan dengan reseptor muskarinik dan nokotinik pada sistem pusat dan perifer.
Ach yang ditimbun dalam sistem saraf pusat akan menginduksi tremor, inkoordinasi
dan kejang-kejang dalam sistem saraf autonom, akumulasi AchE ini akan
menyebabkan diare, urinasi tanpa sadar, bronkokonstriksi dan miosis. Akumulasnya
pada taut neuromuskular akan mengakibatkan konstraksi otot yang diikuti kelemahan
hilangnya reflek dan paralisis. (Farmakologi dan Terapi Ed. 5. 2011 Fakultas
Kedokteran UI)

Toksisitas adalah suatu keadaan yang menandakan adanya efek toksik atau racun
yang tedapat pada bahan yang sebagai sediaan single dose atau campuran. Toksisitas
akut diteliti pada hewan percobaan yang menunjukan evaluasi keamanan dari
kandungan kimia untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan tambahan makanan,
kosmetik, obat-obatan dan sediaan biologi. Uji toksisitas dilakukan untuk
mendapatkan informasi atau data tentang toksisitas suatu bahan kimia pada hewan uji
secara umum toksisitas dapat dikelompokkan menjadi uji toksisitas jangka pendek
atau akut dan uji toksisitas jangka panjang. ( Farmakologi dan Toksikologi Ed.3.
2006)

Mekanisme Terjadinya Toksisitas

Mekanisme terjadinya toksisitas obat, berbagai mekanisme dapat mendasari


toksisitas obat. Biasanya relasi toksik merupakan kelanjutan dari efek
farmakodinamiknya. Karena itu, gejala toksisitas merupakan efek farmakodinamik
yang berlebihan. Dalam percobaan toksikologi pada hewan haru digunakan dosis yang
sangat besar, karena ingin menemukan atau ditemukan kelainan jaringan atau efek
toksik yang jelas. Dengan cara ini reaksi yang jarang terjadi bisa dibuat lebih sering.
Bila dosis efek hipotoksis hanya terjadi pada 1 per 10.000 orang, maka diperkirakan
ribuan tikus untuk percobaan dosis ini. Sebelum terlihat 1-2 ekor tikus saja. Selain itu
waktu pada observasi akan jauh lebih pendek apabila juga menggunakan dosis yang
besar, sehingga akan mengurangi biaya pemeriksaan. Namun akan timbul kesulitan
dalam interpretasi hasilnya pada manusia sebab kelainan yang ditemukan tidak dapat
diekstrapolarikan begitu saja pada manusia. Interpretasi ini harus dilakukan dengan
bijak sana dengan memperhitungkan besarnya dosis dan koondisi percobaan.
(Farmakologi dan Terapi Ed. 5, 2011. Fakultas Kedokteran UI)

Uji toksisitas akut merupakan uji toksisitas yang dilakukan dengan memberikan suatu
senyaa yang diuji sebanyak satu kali atau beberapa kali dalam waktu 24 jam. Uji
toksisitas akut dirancang untuk menentukan efek toksis suatu senyaa yang akan terjadi
dalam aktu yang singkat setelah pemejanan atau pemberinnya dengan takaran tertentu.
Salah satu tujuan melakukan uji toksisitas akut adalah untuk menentukan LD50.
LD50 (Lethal Dose 50) adalah dosis yang menimbulkan kematian 50% pada individu.
LD50 dinyatakan sebagi miligram dari zat aktif uji atau kilogram berat hewan uji
(mg/kg). Perhitungan LD50 didasarkan atas perhitungan statistik. Nilai LD50 dapat
berbeda 0,002 sampai 16 kali bila dilakukan berbagai macam laboratorium. Karena itu
harus dijelaskan lebih lanjut tentang prosedur yang dipakai, misal berat badan, umur
tikus, zat pelarut, jantan atau betina, lingkungan dan sebagainya. Uji toksisitas akut
tidak hanya bertujua untuk menentukan nilai LD50 yang merupakan data kuantitatif.
Tetapi juga untuk memperoleh data kualitatif berupa penampakan klinis dan
morfologik efek toksik yaitu dengn cara melihat berbagai perubahan tingkah laku,
adakah stimulan atau depresi SSP, perubahan aktifitas motorik dan pernafasan tikus,
serta untuk mendapatkan gambaran tentang sebab kematian tikus. Oleh sebab itu, uji
toksisitas ini harus dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium klinik dan perubahan
sediaan histologik dari orgam yang dianggap dapat memperlihatkan kelainan
kematian yang timbul oleh kerusakan pada hati, ginjal atau sistem hematopoisis tidak
akan terjadi pada hari pertama tetapi paling cepat hari ketiga.

Manifestasi Keracunan Pestisida

Gejala klinis yang muncul antara lain mual, muntah, nyeri abdomen, kejang bronki,
diare, lakrimasi, hipersalivasi, banyak berkeringat, ansietas, dan hipotensi ini
merupakan efek muskarinik. Nikotinik efek meliputi pelemahan, tremor, hipertensi
dan dapat menyebabkan kematian karena paralisis obat pernafasan. Efek keracunan
pada susunan saraf pusat dapat menyebabkan agitasi, ataksia, kejang dan koma.
(Flanangan et al, 1995; Goldfrank et al, 1990; Olson et al, 1990).
III. ALAT DAN BAHAN
1. Kapas, spuit, kasa, kain, klem
2. Kandang, tikus 3 ekor
3. Alkohol
4. Sutrin 100 ec ( dosis 25 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 400 mg/kg BB)
IV. PROSEDUR KERJA
1. Siapkan sonde yang berisi Sutrin 100 ec untuk masing-masing tikus dengan dosis
dosis 25 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 400 mg/kg BB.
2. Pegang tikus dalam posisi terlentang secara gentle.
3. Berikan Sutrin 100 ec personde pada masing-masing tikus.
4. Amati perubahan perilaku pada masing-masing tikus ( seperti yang tertera pada
lembar pengamatan) dengan seksama.
V. SKEMA KERJA

Disiapkan sonde berisi Sutrin


100 ec

Diambil Sediaan

(Berdasarkan dosis yang telah dihitung)

Pegang Tikus

Dengan posisi terlentang secara gentle

Masukan sediaan pada tikus menggunakan


sonde dengan masing-masing dosis

Tikus 2 (100mg/kgBB)
Tikus 1(25mg/kgBB) Tikus 3 (400mg/kgBB)

Amati Perubahan perilaku tikus,

Catat hasilnya
VI. DOSIS

1. Tikus 1 2. Tikus 2
BB = 192 g/BB = 0,192 kg BB = 177 g/BB = 0.177 kg
Dosis yang diminta = 25 mg/kg BB Dosis yang diminta = 100 mg/kg BB
Dosis yang tersedia = 100 mg/ l Dosis yang tersedia = 100 g/ l

25 mg x 100 mg x
 =  =
1 kg 0,192 kg 1 kg 0,177 kg

X = 4,8 mg X = 17,7 mg

100 mg 4,8 mg 100 mg 17,7 mg


 =  =
1 ml x 1 ml x

X = 0,048 ml = 0,05 ml X = 0,177 ml = 0,18 ml


3. Tikus 3
BB = 126 g/BB = 0,126 kg
Dosis yang diminta = 400 mg/kg BB
Dosis yang tersedia = 100 g/ l

400 mg x
 =
1 kg 0,126 kg

X = 50,4 mg

100 mg 50,4 mg
 =
1 ml x

X = 0,504 ml = 0,50 ml
VII. TABEL PENGAMATAN

No Nomor Postur Aktivitas Ataxi Righting Test Analgesic Ptosi Mati Air
. Eksperimen Tubu Motor a Reflex Kasa s Liur
h
5 1 + - - - + - - - -
2 + + - - + - - - -
3 + + ++ - +++ + - - +
+
10 1 + + - + - - - - -
2 + + - + + - - - -
3 + + ++ - +++ ++ - - +
+
15 1 + + - - + - - - -
2 + ++ - + + ++ - - +
3 + ++ ++ - +++ ++ - - +
+
30 1 + + - - + - - - +
2 + ++ - + + ++ - - +
3 + ++++ ++ - +++ ++ - - +
+
60 1 + + - - + - - - +
2 + ++ - +++ + ++ - - +
3 + ++++ + - +++ ++ - - +
+

Keterangan :

1. Postur Tubuh
+ = Jaga = Kepala dan punggung tegak
++ = Ngantuk = Kepala tegak, punggung mulai datar
+++ = Tidur = Kepala dan punggung datar
2. Aktivitas Motor
+ = Gerak spontan
++ = Gerak spontan bisa dipegang
+++ = Gerak menurun saat dipegang
++++ = Tidak ada gerak spontan saat dipegang
3. Ataksia (Gerakan berjalan inkoordinasi)
+ = Inkoordinasi terlihat kadang-kadang
++ = Inkoordinasi jelas terlihat
+++ = Tidak dapat berjalan lurus
4. Righting Reflex
+ = Diam pada satu posisi miring
++ = Diam pada dua posisi miring
+++ = Diam pada waktu terlentang
5. Test Kasa
+ = Tidak jatuh apabila kasa dibalik dan digoyang
++ = Jatuh apabila kasa dibalik
+++ = Jatuh apabila posisi kasa 90º
++++ = Jatuh apabila posisi kasa 45º
6. Anagesia
+ = Respon berkurang pada saat telapak kaki dijepit
++ = Tidak ada respon pada saat telapak kaki dijepit
7. Ptosis
+ = Ptosis kurang dari ½
++ = ½
+++ = Seluruh palpebra tertutup
8. Air Liur
+ = Air liur sedikit
++ = Air liur banyak
VIII. HASIL PENGMATAN
1. Tentukan onset of action (mula kerja) dari perubahan perilaku seperti biasa.

2. Penetuan LD50 (lethal dosis) dari seluruh kelas (6 kelompok).

Dosis Respon tidur (+/-) pada tikus No. %Indeks yang berespon
1 2 3 4 5 6
25 mg/kg BB - - - - - 0%
100 mg/kg BB + + - - + + 66.66%
400 mg/kg BB + + + + + + 100%
% indikasi yang berespon = jumlah tikus tidur/ jumlah total tikus x 100%
a. Indeks berespon dosis 25 mg/kg BB = 0%
4
b. Indeks berespon dosis 100 mg/kg BB = x 100% = 66,66%
6
6
c. Indeks berespon dosis 400 mg/kg BB = x 100 % = 100%
6
3. Indikasi LD50 dengan menggunakan persamaan regresi y = ax + b
x = dosis a=
y = % indikasi b=
y = ax + b c=

y = ax + b
= 19,730x + 11,279

50−19,730
x =
11,279

x = 2, 684
IX. PEMBAHASAN
Praktikum ini dilakukan untuk mengetahui LD50 atau dosis yang dapat memberikan efek
kematian 50% individu supermetrin pada hewan coba yaitu tikus. Efek yang ditimbulkan
adalah efek kematian. Dari hasil pengamatan setelah pemberian sediaan Supermetrin pada
tikus mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku pada tikus khususnya pada aktivitas yang
dipengaruhi oleh SSP. Hal ini disebabkan efek dari obat Supermetrin sendiri yang
memberikan efek atau pengaruh pada system saraf pusat. Berikut perubahan perilaku yang
terlihat pada tikus.
1. Postur Tubuh
Tes postur tubuh ini bertujuan untuk melihat tingkat kesadaran dari hewan coba
(tikus). Pada tikus I dan III sejak menit ke-5 setelah pemberian obat sampai menit ke-60
tidak menunjukkan reaksi mengantuk dan lain sebagainya, dalam arti tikus masih terjaga.
2. Aktivitas Motor
Tes aktivitas motorik bertujuan untuk mengetahui kemampuan hewan uji dalam
respon suatu rangsangan. Pada tikus I di menit-10 masih dapat bergerak spontan setelah
menit ke-15 bereaksi gerak spontan bila dipegang, Pada tikus II pada menit ke-5
menunjukan tidak menunjukkan adanya perubahan motorik dalam artian tikus masih
memberikan gerak yang spontan. Pada tikus I di menit ke-30 sampai 60 memperlihatkan
gerak spontan ketika dipegang.
Sedangakan di tikus II dimenit ke-30 hingga 60 memperlihatkan gerakan menurun
saat dipegang. Pada tikus III di menit ke-5 memperlihatkan gerak spontan, di menit ke-10
memiliki gerak spontan saat dipegang. Di menit-15, gerakan tikus III mulai menurun saat
dipegang. Dan di menit ke-30 sampai 60 tikus III tidak memiliki gerak yang spontan pada
saat dipegang.

3. Ataksia
Tes ini bertujuan untuk melihat gerakan berjalannya inkoordinasi (tidak ada
kerjasama otot-otot ). Pada tikus I sejak menit ke-5 hingga menit akhir ke-60 tidak
memperlihatkan adanya gerakan inkoordinasi. Pada tikus II menunjukkan gerak
inkoordianasi yang terlihat kadang-kadang dan pada menit ke-60 dia sudah tidak
menunjukkan gerakan inkoordinasi. Pada tikus III kadang-kadang memperlihatkan
gerakan inkoordinasi pada menit ke-10. Di menit ke-15 dan ke-30 memperlihatkan
gerakan inkoordinasi yang jelas terlihat, sedangkan pada menit ke-60 tikus tidak dapat
berjalan lurus.

4. Righting Reflex
Pada tes ini bertujuan untuk melihat gerak reflex tubuh dari tikus apabila
dimiringkan baik secara telentang maupun miring. Pada tikus pertama dari menit awal
hingga akhir tidak memperlihatkan righting reflex. Pada tikus II menit ke-15
memperlihatkan diam di dua posisi miring. Dimenit ke-30 tikus diam pada waktu
terlentang, dan menit ke-60 tikus sudah tidak menunjukkan righting reflex lagi.

5. Test kasa
Di tes kasa ini bertujuan untuk memperlihatkan efek ngantuk pada tikus akibat
pemberian obat yang menyebabkan tubuh tikus tidak seimbang bila kasa dibalikkan. Pada
semua tikus di menit ke-5 hingga ke-15, tikus tidak jatuh apabila kasa dibalik dan
digoyangkan. Perbedaan pada masing-masing tikus mulai terlihat antara lain : di tikus I dia
tidak jatuh apabila kasa dibalik dan digoyangkan hingga menit terakhir.
Tikus II jatuh apabila kasa dibalik pada menit ke-30 dan menit ke-60 sudah tidak
memperlihatkan efek lagi. Dan tikus III, di menit ke-30 dia masih tidak jatuh apabila kasa
dibalik dan digoyangkan, tetapi pada menit ke-60 tikus jatuh dalam posisi kasa 450.

6. Analgesik
Bertujuan untuk melihat efek analgesik yang ditimbulkan dari pemberian obat
Diazepam. Sejak menit awal hingga akhir tikus I dan II masih menunjukkan rasa sakit saat
telapak kaki dijepit dengan pinset. Pada tikus III, di menit ke-15 responnya berkurang
pada saat telapak kaki dijepit. Dan di menit ke-30 sampai 60 tikus tidak memberikan
respon sakit pada saat telapak kaki dijepit.

7. Ptosis
Bertujuan untuk melihat palpebral (kelopak mata) pada tikus. Pada tikus I, dari
menit ke-5 sampai ke-15 kelopak mata tikus masih terbuka normal. Di menit ke-30 sampai
ke 60 kelopak mata tikus menutup ½. Di Tikus II , di menit ke-5 sampai 10 kelopak mata
tikus masih terbuka normal. Menit ke-15 kelopak mata tertutup kurang dari ½. Menit ke-
30 kelopak mata tertutup ½ dan kembali tertutup kurang dari ½ pada menit ke-60.

Dari ketiga hewan coba yang memperlihatkan efek tidur yaitu tikus ke-2 dan ke-3.
Dan pada tikus I memperlihatkan efek ngantuk. Selain itu juga menunjukkan efek
hypnosis yang ditandai dengan penurunan reflek-reflek dan ptosis (menutupnya palpebra).
Efek utama dari golongan benzodiazepine adalah sedasi, hypnosis, pengurangan terhadap
rangsangan emosi dan ansieta, relaksasi otot dan antikonvulsi. Dari data kelas yang kami
peroleh, dengan perbedaan pemberian dosis dari ketiga tikus tersebut didapatkan data
respon tidur. Pada tikus I diperoleh 16,6%. Pada dosis 2,5mg diperoleh 66,66%,
sedangkan pada tikus dengan dosis 7,5mg/kgBB diperoleh 100%.
X. DISKUSI
1. Jelaskan mekanisme perubahan seperti diatas ?
XI. KESIMPULAN
1. Akibat variasi dosis, sebagian populasi tikus pada kelas kami mengalami efek sedative
yaitu tikus tertidur.
2. ED50 memperlihatkan sebagian populasi mengalami efek sedative dari obat.
3. Diazepam menyerang langsung saraf pusat sebagai pusat pengendalian tikus. Sehingga
semakin besar dosis yang diberikan semakin terlihat jelas pengaruh pada sisem motoric
tikus.
XII. DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Petunjuk Praktikum Farmakologi I Universitas Muhammadiyah Malang
2. Farmakologi dan Terapi Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FK UI; 2006
3. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta : Balai Penerbit FK UI ; 2008
4. Magallona, E. D., 1990, Pestisida Management, Business Day Corp. Inc Philipines
5. Wirawan, I. A., 2006. Hama Pemukiman Indonesia. Unit Kajian Pengendalian Hama
Pemukiman, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai