Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

FARMAKOTERAPI
SEPSIS

I Putu Gede Panca Putra Yudana


172200062

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI


FARMASI KLINIS
TAHUN 2018
SEPSIS

A. DEFINISI

Sepsis merupakan infeksi aliran darah yang bersifat invasif dan ditandai dengan
ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air kemih.
Sepsis neonatorum saat ini masih menjadi masalah yang belum dapat terpecahkan dalam
pelayanan dan perawatan bayi baru lahir. Di negara berkembang, hampir sebagian besar bayi
baru lahir yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis. Hal yang sama ditemukan
pula di negara maju pada bayi yang dirawat di unit perawatan intensif bayi baru lahir. Di
samping morbiditas, mortalitas yang tinggi ditemukan pula pada penderita sepsis bayi baru
lahir (IDAI, 2008)
Berdasarkan perkiraan World Health Organitation (WHO) hampir semua (98%) dari 5
juta kematian neonatal terjadi di negara berkembang. Lebih dari dua pertiga kematian itu
terjadi pada periode neonatal dini dan 42% kematian neonatal disebabkan infeksi seperti:
sepsis, tetanus neonatorum, meningitis, pneumonia, dan diare. Menurut hasil Riskesdas 2007,
penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari di Indonesia adalah gangguan pernapasan 36,9%,
prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain.
Penyebab kematian bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan kongenital 18,1%,
pneumonia 15,4%, prematuritas dan bayi berat lahir rendah (BBLR) 12,8%, dan respiratory
distress syndrome (RDS) 12,8%. Di samping tetanus neonatorun, case fatality rate yang
tinggi ditemukan pada sepsis neonatorum, hal ini terjadi karena banyak faktor infeksi pada
masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. Angka kematian sepsis
neonatorum cukup tinggi 13-50% dari angka kematian bayi baru lahir. Masalah yang sering
timbul sebagai komplikasi sepsis neonatorum adalah meningitis, kejang, hipotermi,
hiperbilirubinemia, gangguan nafas, dan minum (Depkes, 2007).
Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi, yaitu sepsis,sepsis berat, dan
syok septic. Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti kegagalan organ akibat
hipoperfusi. Syok septic adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten setelah diberikan
resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi jaringan. Pada 10% -30 % kasus syok septic
didapatkan bakterimia kultur positif dengan mortalitas mencapai 40-150%. Tanda dan Gejala
Syok Sepsis
1. Demam tinggi > 38,9 ̊C, sering diawali dengan menggigil kemudian suhu turun
dalam beberapa jam (jarang hipotermi).
2. Takikardia (denyut jantung cepat) lebih cepat dari 100 denyut / menit.
3.  Hipotensi (sistolik < 90 mmHg)
4. Petekia, leukositosis atau leokopenia yang bergeser ke kiri, trombositopenia
5. Hiperventilasi dengan hipokapnia
6. Gejala lokal misalnya nyeri tekan didaerah abdomen, periektal
Syok septik harus dicurigai pada pasien dengan demam, hipotensi, trombositopenia atau
    

koagulasi intravaskuler yang tidak dapat diterangkan penyebabnya.

B. PENYEBAB (ETIOLOGI)

Secara umum penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan prosentase
60 sampai 70% kasus. Produk yang berperan penting adalah lipopolisakarida (LPS), yang
merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. Struktur lipid A
dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci,
Pneumococci, Streptococci dan bakteri gram positif lainnya jarang menyebabkan sepsis,
dengan angka kejadian 20 sampai 40%. Selain itu, jamur oportunistik, virus atau protozoa
dilaporkan dapat menyebabkan sepsis walau jarang (Guntur, 2006 dalam Adriana, 2015).

C. PATOGENESIS

Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi pelepasan mediatormediator inflamasi


termasuk di antaranya sitokin. Sitokin terbagi menjadi sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-
inflamasi. Sitokin yang termasuk pro-inflamasi seperti TNF, IL-1, dan interferon γ, bekerja
membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Sedangkan
sitokin anti-inflamasi yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-10, bertugas untuk
memodulasi, mengoordinasi atau merepresi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan
dari kedua respon ini bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak
dalam proses penyembuhan (Chamberlain, 2004). Namun ketika keseimbangan tersebut
hilang, maka respon pro-inflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini
meliputi kerusakan endotelial, disfungsi mikrovaskuler, dan kerusakan jaringan akibat
gangguan oksigenasi, serta kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan,
konsekuensi dari kelebihan respon anti-inflamasi adalah alergi dan immunosupresi. Kedua
proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga menciptakan kondisi
ketidakharmonisan imunologi yang merusak (Chamberlain, 2004 dalam Muljadi 2015).
Skema patogenesis sepsis secara umum dapat dilihat di gambar atas. Penyebab
tersering sepsis adalah bakteri, terutama gram negatif. Ketika bakteri gram negatif
menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan lipopolisakarida
(LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga
membentuk lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab yang beredar di dalam darah akan
bereaksi dengan perantara reseptor CD14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan
mengekspresikan imunomodulator (Chamberlain, 2004). Jika penyebabnya adalah bakteri
gram positif, virus, atau parasit, mereka dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit
oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian
ditampilkan sebagai Antigen Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan
polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen
yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan
perantara T-cell Reseptor (Chamberlain, 2004 dalam Muljadi 2015).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis, maka terjadi aktivasi Universitas
Sumatera Utara sistem komplemen dan sitokin (gambar 2). Limfosit T akan mengeluarkan
substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator akan mengeluarkan
IFN-γ, IL2, dan M-CSF (Macrophage Colony Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan
mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1β, dan TNF α yang merupakan sitokin
pro-inflamantori. IL-1β yang merupakan sebagai imunoregulator utama juga memiliki efek
pada sel endotelial termasuk di dalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2)
dan merangsang ekspresi intercellular adhesionmolecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan
neutrofil tersensitisasi oleh Granulocyte Monocyte-Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
mudah mengadakan adhesi. Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang
menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan
kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk ke dalam radikal
bebas (nitrat oksida) sehingga memengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel
menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan
endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga
terjadi kerusakan organ multipel (Chamberlain, 2004 dalam Muljadi 2015).
Gambar 1. Aktivasi Komplemen dan Sitokin pada Sepsis (Chamberlain, 2004)

Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, dan IL-6 yang
dapat menimbulkan respon fase akut dan peningkatan permeabilitas epitel. Setelah terjadi
reperfusi pada jaringan iskemik, terbentuklah Reactive Oxygen Specific (ROS) sebagai hasil
metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam amino
yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting bagi kesehatan dan fungsi tubuh
yang normal dalam memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus
otot polos pembuluh darah. Namun, bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi
antioksidan seluler, maka dia akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah
kerusakan jaringan (gambar 3) dan bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi
disfungsi neurologi, kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi (Chamberlain, 2004
dalam Muljadi 2015).
Sepsis akan mengaktifkan tissue factor yang memproduksi trombin yang merupakan
suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu gumpalan fibrin di
dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor, juga mengganggu proses
fibrinolisis melalui pengaktivan IL-1 dan TNF-α dan memproduksi suatu plasminogen
activator inhibitor-1 yang kuat menghambat fibrinolisis. Sitokin pro-inflamasi juga
mengaktifkan Activated Protein Cell (APC) dan antitrombin. Protein C sebenarnya
bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif tetapi karena adanya trombin dan trombomodulin,
dia berubah menjadi enzymeactivated protein C . Sedangkan APC dan kofaktor protein S
mematikan produksi trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga
tidak terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja plasminogen activator inhibitor-1
yang menghambat pembentukan plasminogen menjadi plasmin yang Universitas Sumatera
Utara sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin (Vervloet, Thijs, dan Hack,
1998 dalam Muljadi 2015)
Semua proses ini menyebabkan kelainan faktor koagulasi (gambar 4) yang
bermanisfestasi perdarahan yang dikenal dengan koagulasi intravaskular diseminata yang
merupakan salah satu kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa (LaRosa dan Steven,
2010 dalam Muljadi 2015)

D. FAKTOR RESIKO

1. Usia
Pada usia muda dapat memberikan respon inflamasi yang lebih baik dibandingkan
usia tua.
2. Jenis kelamin
Perempuan kurang mungkin untuk mengalami kematian yang berhubungan dengan
sepsis dibandingkan laki-laki di semua kelompok ras / etnis. Laki-laki 27% lebih
mungkin untuk mengalami kematian terkait sepsis. Namun, risiko untuk pria Asia itu dua
kali lebih besar, sedangkan untuk laki-laki Amerika Indian / Alaska Pribumi
kemungkinan mengalami kematian berhubungan dengan sepsis hanya 7%.
3. Ras
Tingkat mortalitas terkait sepsis tertinggi di antara orang kulit hitam dan terendah di
antara orang Asia.
4. Penyakit komorbid
Kondisi komorbiditas kronis yang mengubah fungsi kekebalan tubuh (gagal ginjal
kronis, diabetes mellitus, HIV, penyalahgunaan alkohol) lebih umum pada pasien sepsis
non kulit putih, dan komorbiditas kumulatif dikaitkan dengan disfungsi organ akut yang
lebih berat.
5. Genetik
Pada penelitian Hubacek JA, et al menunjukkan bahwa polimorfisme umum dalam
gen untuk lipopolysaccharide binding protein (LBP) dalam kombinasi dengan jenis
kelamin laki-laki berhubungan dengan peningkatan risiko untuk pengembangan sepsis
dan, lebih jauh lagi, mungkin berhubungan dengan hasil yang tidak menguntungkan.
Penelitian ini mendukung peran imunomodulator penting dari LBP di sepsis Gram-
negatif dan menunjukkan bahwa tes genetik dapat membantu untuk identifikasi pasien
dengan respon yang tidak menguntungkan untuk infeksi Gram-negatif
6. Terapi kortikosteroid
Pasien yang menerima steroid kronis memiliki peningkatan kerentanan terhadap
berbagai jenis infeksi. Risiko infeksi berhubungan dengan dosis steroid dan durasi terapi.
Meskipun bakteri piogenik merupakan patogen yang paling umum, penggunaan steroid
kronis meningkatkan risiko infeksi dengan patogen intraseluler seperti Listeria, jamur,
virus herpes, dan parasit tertentu. Gejala klinis yang dihasilkan dari sebuah respon host
sistemik terhadap infeksi mengakibatkan sepsis.
7. Kemoterapi
Obat-obatan yang digunakan dalam kemoterapi tidak dapat membedakan antara sel-
sel kanker dan jenis sel lain yang tumbuh cepat, seperti sel-sel darah, sel-sel kulit. Orang
yang menerima kemoterapi beresiko untuk terkena infeksi ketika jumlah sel darah putih
mereka rendah. Sel darah putih adalah pertahanan utama tubuh terhadap infeksi. Kondisi
ini, yang disebut neutropenia, adalah umum setelah menerima kemoterapi. Untuk pasien
dengan kondisi ini, setiap infeksi dapat menjadi serius dengan cepat. Menurut Penack O,
et al., sepsis merupakan penyebab utama kematian pada pasien kanker neutropenia
8. Obesitas
Obesitas dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan
sepsis akut. Menurut penelitian Henry Wang, Russell Griffin, et al. didapatkan hasil
bahwa obesitas pada tahap stabil kesehatan secara independen terkait dengan kejadian
sepsis di masa depan. Lingkar pinggang adalah prediktor risiko sepsis di masa depan
yang lebih baik daripada BMI. Namun pada penelitian Kuperman EF, et al diketahui
bahwa obesitas bersifat protektif pada mortalitas sepsis rawat inap dalam studi kohort,
tapi sifat protektif ini berhubungan dengan adanya komorbiditas resistensi insulin dan
diabetes.

E. TERAPI SEPSIS

1. Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed therapy)
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen jaringan
yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri. Pendekatan ini
telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan dengan resusitasi
cairan dan pemeliharaan tekanan darah yang standar. Tujuan fisiologis selama 6 jam
pertama resusitasi sebagai berikut:
a. Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg
b. Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
c. Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70%
d. Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan
oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik)
2. Tiga kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis
a. Terapi cairan Karena syok septik disertai demam, vasodilatasi, dan diffuse
capillary leakage, preload menjadi inadekuat sehingga terapi cairan merupakn
tindakan utama.
b. Terapi vasopressor Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial
pressure dan organ perfusion adekuat). Vasopressor potensial: nor
epinephrine, dopamine, epinephrine, phenylephrine.
c. Terapi inotropik Bila resusitasi cairan adekuat, kebanyakan pasien syok septik
mengalami hiperdinamik, tetapi kontraktilitas miokardium yang dinilai dari
ejection fraction mengalami gangguan. Kebanyakan pasien mengalami
penurunan cardiac output, sehingga diperlukan inotropic: dobutamine,
dopamine, dan epinephrine.
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). (2008). Buku Ajar Respirologi anak, edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
Departemen Kesehatan Repbuklik Indonesia, 2007. Penatalaksanaan Sepsis Neonatarum.
Jakarta. Departemen Republik Indonesia
Adriana Aditya. 2015. Makalah Syok Sepsis. Surabaya : Universitas Airlangga
Anonim. 2014. Infeksi Pada Pembuluh Darah Dikaitkan Dengan Syok Sepsis. Makasar :
Politeknik Kesehatan Makasar
H Yessica Putri. 2014. Faktor Risiko Sepsis Pada Pasien Dewasa di RSUP Dr.Kariadi. Jawa
Tengah : Universitas Diponegoro
Muljadi Riki. 2015. Nilai Shock Index Sebagai Prediktor Mortalitas Terhadap Penderita
Sepsis Dan Sepsis Berat. Sumatera Utara : Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai