Anda di halaman 1dari 35

Stratifikasi Sosial Warga Binaan

Wanita di Rutan Pondok Bambu

Reni Kartikawati

Peneliti Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI


Email: reni.kartikawati@yahoo.com

Abstract

Basically, social stratification does not occur in a total institution


like detention. If it does, it only occurs between the officers and
the convicts. However, social stratification apparently occurs among
female convicts in Rutan Pondok Bambu. Based on that fact, this
research tried to discover the real image of social stratification in
Rutan Pondok Bambu; the factors that form the social stratification,
and the people who form that social stratification. By using
qualitative approach, this research showed that social stratification
does occur among convicts in Rutan Pondok Bambu, which, at
some level, is the same with the stratification found in general
society. Moreover, this research also found four dimensions of
social stratification in Rutan Pondok Bambu. They are power,
prestige, privilege, and skill dimensions of female convicts in
that rutan. Related to that phenomenon, people who form the
social stratification in that rutan are the officers as the technical
executives, who indirectly affect the “culture” among female convicts
in the rutan in forming the social stratification.

Kata kunci: stratifikasi sosial, kekuasaan, prestise, previlese, warga


binaan wanita, Rutan Pondok Bambu
15 4 | R eni k A R T I K A W A T I

Pendahuluan

Dalam setiap masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai, bisa


berupa kekuasaan, kekayaan, ilmu pengetahuan, jabatan, ataupun
hal-hal lain yang bernilai ekonomis. Dari sesuatu yang dihargai inilah
kemudian timbul perbedaan-perbedaan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya dalam masyarakat. Perbedaan-perbedaan itu lalu
membentuk pelapisan sosial (stratifikasi sosial) dalam masyarakat.
Pitirm A. Sorokin (1959) menyebutkan bahwa sistem lapisan
merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat
yang hidup teratur. Dalam masyarakat seperti ini, semakin banyak
kepemilikan atau benda berharga yang mereka miliki, semakin tinggi
pula kedudukan atau lapisan sosialnya di dalam masyarakat tersebut.
Banyak pembahasan serta studi-studi mengenai stratifikasi sosial
dalam masyarakat. Beberapa di antaranya adalah penelitian mengenai
stratifikasi sosial di Jakarta (Sujatmiko 1996) dan juga penelitian
stratifikasi sosial di Cancar, Nusa Tenggara Timur (Lawang 2004).
Secara garis besar Sujatmiko menyimpulkan bahwa penelitiannya
mengenai stratifikasi dan mobilitas sosial, khususnya yang berkenaan
dengan okupasi antar generasi, mendukung teori yang melihat
masyarakat terdiri dari berbagai lapisan sosial (terutama model
Goldthorpe yang Weberian). Sementara itu, Lawang dalam studinya
menemukan tiga dimensi stratifikasi sosial, yaitu kekuasaan, privilese,
dan prestise, serta menemukan bentuk hubungan antara dimensi
sosial tersebut.
Berdasarkan studi-studi tersebut dapat diketahui bahwa stratifikasi
sosial sudah ada sejak dulu. Ini karena pada kenyataannya dalam
masyarakat banyak dijumpai ketidaksamaan atau perbedaan dalam
segala bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, politik.
Stratifikasi sosial itu juga dapat ditemukan di rumah tahanan (rutan)
sebagai sebuah institusi total, yang dalam pandangan Goffman (1961)
dimengerti sebagai institusi yang para penghuninya (narapidana atau
tahanan) diperlakukan secara sama dan dipisahkan dari kehidupan
masyarakat pada umumnya.
Tulisan ini terdiri dari tiga bagian. Pada bagian pertama, saya
akan membahas stratifikasi sosial di rutan. Bagian kedua membahas
dasar-dasar yang membentuk stratifikasi sosial tersebut, dan terakhir
menjelaskan siapa yang membentuk stratifikasi sosial itu. Data
dalam tulisan ini diperoleh dari dari hasil wawancara mendalam

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 155

dan observasi di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Wawancara


mendalam dilakukan terhadap beberapa warga binaan wanita di
rutan tersebut, petugas (sipir) dan pejabat yang berwenang dalam
pengelolaan rutan.

Pelapisan S osial dalam Sebuah I nstitusi Total

Rutan adalah institusi yang menempatkan mereka yang bersalah


untuk ditahan dalam jangka waktu tertentu sebelum menjalani
proses persidangan dan dijatuhkan vonis bersalah oleh hakim.
Mereka yang ditahan disebut sebagai tahanan.1 Namun, di Rutan
Pondok Bambu penghuninya tidak hanya yang berstatus tahanan,
melainkan juga yang berstatus narapidana. 2 Ini karena jumlah
pelaku tindak kriminal oleh wanita bertambah banyak, sementara
bangunan lembaga pemasyarakatan khusus wanita di Jakarta belum
tersedia. Oleh karena itu, Rutan Pondok Bambu sebagai tempat
penahanan sementara beralih fungsi juga sebagai tempat menjalani
masa hukuman bagi narapidana wanita dan anak pria.
Kehidupan seorang tahanan dan narapidana berbeda dengan
kehidupan seseorang dalam masyarakat pada umumnya. Ketika
seseorang berada di rutan, hak-haknya dibatasi oleh peraturan
dan norma yang berlaku di rutan tersebut. Ini karena kebebasan
yang dimilikinya hilang saat hakim sudah menjatuhkan vonis dan
menghilangkan kemerdekaan orang tersebut (Santoso 2007:4). Oleh
karena itu, rutan digolongkan ke dalam salah satu institusi yang
bersifat total (total institution), sebagaimana didefinisikan Goffman
(1961:17):

“Tempat-tempat tingga l dan bekerja sejumla h orang yang


dikondisikan sama dipisahkan dari masyarakat yang lebih luas
untuk waktu yang cukup lama, bersama-sama menjalani kehidupan
dan diatur secara formal berdasarkan jadwal-jadwal yang ketat.”

1 Tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di rumah tahanan yang be-
lum dijatuhi hukuman. Mereka belum tentu dinyatakan bersalah dan bisa dibebaskan
bila dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan tidak ditemukan bukti bahwa
orang tersebut bersalah (Sujatno 2004:40).
2 Narapidana adalah orang yang telah divonis hakim dan dinyatakan bersalah, atau ter-
pidana yang hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Dirjen Pemasyarakatan,
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


15 6 | R eni k A R T I K A W A T I

Istilah institusi total dipakai untuk menganalisis lembaga-


lembaga yang membatasi perilaku individunya melalui proses
birokratis, sehingga menyebabkan terisolasi secara fisik dari aktivitas
normal di sekitarnya, seperti yang terjadi pada rutan atau lembaga
pemasyarakatan (lapas). Dalam konteks rutan, sipir (petugas rutan)
merupakan orang yang berkuasa penuh dalam menentukan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan warga binaanya. Pemenuhan
kebutuhan setiap warga binaan sudah diatur melalui aturan-aturan
yang ketat; mulai dari proses karantina, masuk blok sel, penempatan
kamar sel, dan kegiatan pembinaan. Semua proses ini diawasi, diatur,
dan dijalankan oleh para petugas berdasarkan hirarki kekuasaan yang
ketat.
Implikasinya, semua orang yang berstatus penghuni rutan atau
“bukan petugas”, pada dasarnya memiliki status yang sama. Secara
normatif, tidak ada perbedaan antara narapidana dan tahanan yang
satu dengan lainnya, baik dari latar belakang pekerjaan, status
ekonomi, atribut atau aksesoris yang mereka gunakan. Hal ini
dikarenakan mereka adalah sama-sama orang yang didakwa atau
dijadikan tersangka karena melakukan pelanggaran hukum. Dengan
kata lain, hukum pada dasarnya menjunjung tinggi asas berkeadilan
serta tidak membeda-bedakan kedudukan atau kelas sosial seseorang,
seperti yang tercantum dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Pada masyarakat egaliter seperti di rutan, biasanya pembedaan
kedudukan yang ada hanya berlaku di antara petugas sebagai
pelaksana teknis rutan dengan penghuni rutan (narapidana atau
tahanan) sebagai orang terhukum. Namun kenyataannya, pembedaan-
pembedaan kedudukan ini pun terjadi di antara para penghuni rutan
yang berstatus sebagai narapidana dan tahanan. Ini bisa dilihat pada
kasus sel mewah milik Artalyta Suryani (Ayin), terpidana kasus suap
Jaksa Urip Tri Gunawan pada bulan Januari 2010. Pada saat itu,
Artalyta memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan dihormati, baik
oleh petugas rutan maupun oleh penghuni rutan lainnya. Artalyta
sebagai penghuni rutan yang berstatus narapidana diperlakukan
“sangat spesial” oleh petugas Rutan Pondok Bambu dibandingkan
narapidana lainnya. Hal itu dimulai dari penempatan kamar sel yang
jumlah penghuninya lebih sedikit, hingga diberikannya keleluasaan
untuk keluar masuk blok sel tahanan. Selain itu, dengan julukannya
sebagai “Ratu Rutan”, ia juga memiliki satu ruang kantor dengan
segala fasilitas mewahnya yang berada di luar blok sel tahanan

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 157

layaknya seorang petugas rutan yang memiliki ruang kantornya


sendiri (Koran Jakarta, 13 Januari 2010). Berdasarkan pembedaan-
pembedaan tersebut, maka hingga batas tertentu, muncul pelapisan
sosial, atau stratifikasi sosial menurut konsep sosiologi, di antara
sesama penghuni rutan, khususnya warga binaan wanita yang ada di
Rutan Pondok Bambu.

P ondok B ambu: Rutan I stanaku,


Rutan Penjaraku

Berdasarkan sejarahnya, Rutan Pondok Bambu didirikan pada


tahun 1974 oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta. Pada
awal didirikannya, rutan ini ditujukan bagi para pelanggar peraturan
daerah (perda) seperti tuna susila, tuna wisma, gelandangan, dan
pengemis. Namun, berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman
RI Nomor: M.04.PR.07.03 Tahun 1985 tanggal 20 September
1985, bangunan tersebut dialihfungsikan sebagai Rumah Tahanan
Negara Klas IIA yang fungsinya adalah sebagai tempat penahanan
orang/tahanan negara yang diduga melakukan pelanggaran hukum.3
Menurut data terakhir, per tanggal 13 Januari 2011, penghuni
Rutan Pondok Bambu berjumlah 1.027 orang warga binaan
yang berstatus tahanan dan narapidana. Untuk tahanan sendiri
dikelompokkan lagi berdasarkan jenis kelaminnya, yaitu tahanan
anak pria yang berjumlah 127 orang dan tahanan wanita berjumlah
521 orang. Sedangkan untuk narapidana anak pria berjumlah 43
orang dan narapidana wanita 328 orang, ditambah dengan adanya
anak bawaan (AB) yang berjumlah 8 orang.
Berdasarkan data jumlah narapidana dan tahanan di bagian
register rutan, diketahui bahwa jumlah warga binaan pria anak lebih
sedikit, yaitu 170 orang (AB pria 5 orang), sementara jumlah warga
binaan wanita lebih banyak, yaitu 849 orang (AB wanita 3 orang).
Lebih banyaknya warga binaan wanita dibandingkan warga binaan
anak pria di rutan dikarenakan pada dasarnya rutan ini memang
difungsikan sebagai tempat penahanan tahanan dan narapidana
wanita dewasa.

3 Lihat “Dokumen sejarah Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur.” Dokumen ini penulis
peroleh dari bagian Register, Pelayanan Tahanan Rutan Pondok Bambu, pada 2 Desember
2010.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


158 | R eni k A R T I K A W A T I

Wa r ga B in a a n Wa nit a

Jika digolongkan berdasarkan blok tahanan, terdapat dua blok


tahanan yang menempatkan warga binaannya berdasarkan jenis
tindak pidana yang mereka lakukan. Pertama, Blok Anggrek (Blok
A), yaitu blok tahanan yang dikhususkan bagi warga binaan yang
melakukan tindak pidana kriminal umum. Kedua, Blok Edelweis
(Blok E), yaitu blok tahanan yang dikhususkan bagi warga binaan
kasus narkoba dan psikotropika (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah Warga Binaan Wanita Rutan Pondok Bambu Berdasarkan Status
Warga Binaan dan Tindak Pidana (Per 13 Januari 2011)

Deskripsi Aspek Bentuk Dampak


Blok E 277 orang 196 orang 473 orang
(Narkotika / Psikotropika)

Blok A 244 orang 132 orang 376 orang


(Kriminal Umum)
Jumlah Total 521 orang 328 orang 849 orang
Sumber: Data Warga Binaan di Bagian Registrasi Rutan 2011, diolah kembali

Pada Tabel 1 terlihat bahwa jumlah warga binaan wanita


dengan tindak pidana narkotika/psikotropika lebih besar, yaitu 521
orang dibandingkan warga binaan wanita dengan tindak pidana
kriminal umum (328 orang). Lebih banyaknya jumlah tindak pidana
narkotika/psikotropika di rutan ini juga diikuti dengan jumlah sel di
blok hunian E yang lebih banyak, yaitu 27 sel kamar dibandingkan
dengan jumlah sel di blok hunian A yang hanya memiliki 18 sel
kamar. Selain itu, secara umum terdapat lima jenis kasus tindak
pidana yang paling banyak dilakukan oleh warga binaan wanita
di rutan ini. Dari lima jenis kasus tindak pidana itu, yang paling
banyak (521 kasus) adalah kasus narkotika/psikotropika. Sementara
keempat jenis lainnya berasal dari kasus kriminal umum, yaitu
pencurian sebanyak 129 orang, penipuan 85 orang, penggelapan 76
orang, dan terakhir perjudian 51 orang.

R u t a n Pon d ok B a mb u

Rutan Pondok Bambu berdiri di atas tanah seluas ± 14.586 m²


yang berstatus hak pinjam pakai dari Pemerintah Daerah DKI

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 159

Jakarta. Di tanah tersebut, didirikan beberapa bangunan, mulai dari


gedung perkantoran petugas rutan, blok tahanan, blok karantina,
blok isolasi warga binaan rutan, mushola, dapur, ruang serba guna
serta berbagai fasilitas lainnya seperti lapangan olahraga, poliklinik
rutan, ruang kebaktian, kantin, salon, perpustakaan dan ruang
keterampilan untuk warga binaan.

Grafik 1. Persentase Jenis Tindak Pidana Warga Binaan


Rutan Pondok Bambu, Januari 201

Sumber: Registrasi Rutan 2010, diolah kembali

Sebagaimana terjadi di berbagai lapas atau rutan di Indonesia,


Rutan Pondok Bambu pun mengalami kelebihan kapasitas penghuni.
Dari jumlah total penghuni rutan ini, sekitar 56% adalah warga
binaan yang melakukan tindak pidana narkotika dan psikotropika
(lihat Grafik 1). Dan sebagian besar warga binaan pengguna narkoba
itu rata-rata berasal dari kalangan orang mampu yang seringkali
meminta ”fasilitas tambahan” kepada petugas rutan, misalnya berupa
sel tahanan khusus (di Rutan Pondok Bambu dikenal dengan nama
kamar RPTT [ruang pelanggaran tata tertib]4 dan hanya berisikan

4 Kamar RPTT adalah kamar sel yang seharusnya digunakan bagi mereka yang menjalani
hukuman, namun saat ini kamar sel tersebut dijadikan kamar/sel khusus yang digunakan
oleh para narapidana yang memiliki “uang”. Jumlah narapidana/tahanan yang menghuni
RPTT ini biasanya terbatas antara 3-10 orang saja/ kamarnya dengan berbagai fasilitas
yang lebih baik dibandingkan kamar atau sel biasa. Tentunya hal ini diikuti dengan uang
bayaran per bulan yang cukup mahal dibandingkan kamar besar/biasa, yaitu mencapai Rp.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


16 0 | R eni k A R T I K A W A T I

tiga hingga sepuluh orang untuk setiap selnya), sementara sel biasa
umumnya dihuni dua puluh hingga tiga puluh warga binaan.
Keadaan seperti inilah yang terkadang membuat sel hunian di rutan
seolah-olah penuh (kelebihan kapasitas); hal yang hanya dialami oleh
warga binaan dari kelompok yang tidak mampu. Jadi, sisi lain dari
kelebihan kapasitas adalah adanya ”ketidakadilan” yang dilakukan
petugas di rutan atau lapas terhadap warga binaannya. Ketidakadilan
inilah yang menyebabkan perbedaan jumlah hunian yang tidak
merata antara satu sel dengan sel lainnya (kelebihan kapasitas di sel
hunian tertentu).5
Selain itu, ketidakadilan di rutan juga terjadi dalam pemberian
pelayanan atau pemanfaatan fasilitas. Mereka yang bisa menikmati
pelayanan atau fasilitas adalah warga binaan yang memiliki uang
dan dekat dengan petugas. Mereka lebih diprioritaskan oleh petugas
untuk bisa menikmati pelayanan atau pembinaan yang ada di rutan
dibandingkan penghuni lainnya. Temuan lapangan yang penulis
dapatkan ini diperkuat dengan pernyataan Dirjen Pemasyarakatan
Kemenkum dan HAM Untung Sugiyono, yang mengatakan bahwa
ia tidak membantah soal adanya “kongkalikong” antara petugas dan
narapidana atau antara petugas dan pengunjung. Namun, Untung
Sugiyono beralasan hal itu terjadi karena minimnya pengawasan
akibat berlebihnya daya tampung lapas atau rutan: “Dari kelebihan
kapasitas saja, untuk melakukan pengawasan itu setengah mati. Untuk
melakukan pelayanan yang optimal, setengah mati” (bataviase.co.id, 5
November 2010).

Pe l a pi sa n S osi a l d i R u t a n Pon d ok B a mb u

Berada di dalam kurungan sebuah rutan tidak lantas membuat


seseorang tidak bisa menikmati kehidupannya sebagai seorang
tahanan atau narapidana. Mereka pun tidak lantas terputus dari
komunikasi dengan pihak keluarga, teman atau sahabat, serta
kolega bisnis dan lainnya. Setidaknya itulah yang dirasakan para
tahanan atau narapidana dari golongan orang “berada” pada situasi
tertentu di Rutan Pondok Bambu. Hal ini tentu berbeda dengan
1-1,5 juta /bulannya untuk satu kamar RPT.
5 Seperti yang terjadi di Rutan Pondok Bambu misalnya, ada sel-sel khusus yang jumlah
penghuninya hanya 3-10 orang saja, sedangkan di sel lainnya jumlah penghuni mencapai
20-30 orang per selnya.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 161

yang dirasakan oleh para tahanan atau narapidana dari golongan


tidak mampu. Menurut mereka, rutan adalah sebuah penjara
kehidupan tempat kebebasan mereka terbelenggu, seperti yang
diungkapkan oleh salah seorang narapidana wanita: “ hak hidup
atau kebebasan kita 80% dimiliki oleh mereka ‘penjara’ dan cuma 20%
yang milik kita pribadi, kecuali jika orang tersebut punya uang dan
kuat” (AN, 17 Desember 2010).
Kutipan wawancara tersebut menjelaskan bahwa realita
kehidupan warga binaan di Rutan Pondok Bambu tidaklah
sama antara satu tahanan dengan tahanan yang lain atau satu
narapidana dengan narapidana yang lain. Ada pembedaan-
pembedaan yang mereka rasakan dalam pergaulan sesama warga
binaan ataupun dengan petugas rutan. Hal ini dimulai dari
perbedaan cara mereka berinteraksi dengan petugas dan sesama
warga binaan, cara berpakaian dan berpenampilan, gaya hidup
dan kegiatan keseharian, perbedaan fasilitas–fasilitas yang mereka
dapatkan selama di rutan, hingga hak-hak “khusus” bagi sebagian
warga binaan tertentu yang didapatkan dari petugas rutan selama
mereka berada dalam masa hukuman. Berikut adalah beberapa
foto yang menggambarkan adanya pembedaan-pembedaan antar
sesama warga binaan di Rutan Pondok Bambu:

Gambar 1. Pembedaan Antar Warga Binaan di Rutan Pondok Bambu


Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis dan Bagian Registrasi Rutan , 13 Januari 2011

Berdasarkan foto-foto tersebut, maka sangat terlihat adanya


perbedaan dalam hal gaya hidup, seperti pada foto (a) dan (b);
warga binaan yang memiliki uang lebih memilih makanan yang
sesuai dengan selera makan mereka seperti memesan KFC lewat
petugas rutan, sedangkan warga binaan yang tidak mampu memakan
makanan seadanya yang memang disediakan oleh pihak rutan atau
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186
162 | R eni k A R T I K A W A T I

disebut juga makanan cadongan.6 Begitu juga dengan perbedaan


kegiatan keseharian para warga binaan yang ditunjukkan oleh foto
(c) dan (d). Mereka yang memiliki uang atau berasal dari golongan
mampu umumnya akan memilih mengikuti kegiatan seperti
pembuatan kerajinan mute atau kegiatan keterampilan lainnya yang
disediakan oleh rutan untuk mengisi waktu luang, sedangkan warga
binaan yang tidak memiliki uang dan berasal dari golongan tidak
mampu memilih bekerja menjadi “pelayan” untuk warga binaan lain
agar bisa mendapatkan uang.7
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa hingga batas tertentu
telah terjadi pelapisan sosial di antara sesama warga binaan di Rutan
Pondok Bambu, yang ditandai dengan adanya pembedaan-pembedaan
yang dirasakan oleh warga binaan dari kelompok tertentu.8

Dasar-dasar S tratifikasi S osial


di Rutan P ondok B ambu

Ada tiga aspek yang membedakan kelompok warga binaan yang


satu dengan kelompok warga binaan lainnya, yaitu dari jenis tindak
pidana atau kasus yang dilakukan warga binaan, posisi warga binaan
di rutan, dan latar-belakang pekerjaan warga binaan sebelum masuk
rutan.

Tin d a k Pi d a n a

Jika dilihat dari kasus atau tindak pidana yang dilakukan oleh
warga binaan di Rutan Pondok Bambu, setidaknya terdapat enam
kasus tindak pidana yang secara “khusus” membentuk terjadinya
pembedaan-pembedaan antar sesama warga binaan, antara lain
seperti pada kasus tipikor atau tindak pidana korupsi (pasal 359),
penggelapan (pasal 372-375), narkoba (pasal 359), pencurian (pasal
362-364), penipuan (pasal 378-395), dan terakhir pembunuhan (pasal
338-350). Adanya pembedaan berdasarkan kasus atau jenis tindak

6 Makanan cadongan adalah jatah makanan yang disedikan oleh rutan untuk para tahanan
atau narapidana.
7 Maksud pelayan di sini adalah seperti pembantu rumah tangga. Contohnya mencuci
pakaian warga binaan lain, menggantikan tugas piket kamar, dan lain sebagainya.
8 Pembedaan ini terlihat jelas terutama jika dibandingkan dari latar belakang status eko-
nomi mereka, yaitu antara penghuni rutan yang kaya dan yang miskin.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 163

pidana ini biasanya dikarenakan cara pandang warga binaan antara


satu dengan yang lainnya yang menilai bahwa kasus tindak pidana
tertentu membuat seseorang lebih dipandang/dihargai dibandingkan
warga binaan lain. Hal ini biasanya juga dilihat dari segi kemampuan
ekonomi atau latar belakang sosial dari warga binaan yang melakukan
tindak pidana tersebut, sehingga memengaruhi kehidupan mereka
selama berada di rutan.
Pada kasus tipikor misalnya, para warga binaan yang terkena
tindak pidana ini pada umumnya berasal dari kalangan orang
mampu dan dianggap kaya atau istilah di rutannya disebut sebagai
“bos-bos berduit”. Ketika berada di luar rutan, mereka adalah orang
terpandang. Pada umumnya mereka tinggal di kamar sel khusus
seperti kamar RPTT, dengan berpakaian “modis” dan bermerek9,
ditambah dengan riasan wajah, serta segala aksesoris mulai dari
anting, kalung, jam tangan yang menunjukkan mereka berasal dari
golongan orang mampu. Di rutan ini pun warga binaan dengan
kasus tipikor sangat dihormati lebih daripada kasus lainnya. Mereka
dihormati karena umumnya adalah orang-orang yang berpendidikan
dan punya keahlian, serta memiliki banyak koneksi dengan pihak
luar (kejaksaan, petinggi kepolisian, dan pejabat-pejabat tertentu)
yang tidak semua warga binaan memilikinya.
Untuk itulah, warga binaan dengan kasus tipikor ini diperlakukan
berbeda, dalam artian diberikan ‘aneka keistimewaan’ yang tidak
didapatkan oleh semua warga binaan lain, seperti keleluasaan untuk
keluar masuk blok sel tanpa harus di-bon10, serta membawa telepon
genggang yang warga binaan lainnya umumnya tidak memiliki
atau bahkan tidak diperkenankan untuk memakainya.11 Adanya

9 Hal ini dilihat dari pengalaman penulis ketika masih magang di rutan, dimana ada salah
satu warga binaan yang menitipkan uang Rp. 500.000,- kepada penulis untuk dibelikan
kaos/baju oblong untuk tidur dengan merek baju Guardiano di salah satu outlet baju ter-
nama di Margocity Depok. Kisaran harga satu kaosnya adalah Rp. 150.000/item.
10 Bon adalah istilah untuk mengeluarkan para narapidana/tahanan dari sel baik untuk
dipekerjakan oleh para petugas maupun ketika warga binaan ingin izin keluar sel/kamar
mereka.
11 Berdasarkan pengamatan di rutan, petugas memang melarang seluruh warga binaan
tanpa terkecuali untuk membawa handphone karena takut akan disalahgunakan oleh war-
ga binaan, seperti untuk transaksi narkoba, membuat rencana untuk melarikan diri, dan
lain sebagainya. Namun, pada kenyataanya banyak warga binaan, khususnya mereka yang
memiliki kedekatan khusus dengan petugas di bagian tertentu, diperbolehkan membawa
handphone, dengan syarat tidak diketahui oleh petugas keamanan/KAM. Kalaupun keta-
huan mereka biasanya memilih jalan damai (istilah kepolisiannya “86”) dengan membayar

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


16 4 | R eni k A R T I K A W A T I

perlakuan ‘spesial’ ini juga dikarenakan mereka sangat “royal” dalam


memberikan banyak sumbangan uang untuk membantu pendanaan
kegiatan rutan untuk seluruh warga binaan. Oleh karena itu, mereka
dihargai oleh sesama warga binaan maupun petugas rutan, seperti
terlihat dalam kutipan wawancara berikut:

“..Ada, mereka yang dihormati disini ya karena kontribusi mereka


di rutan banyak, . Jadi setiap ada event-event apa mereka suka
nyumbang “royal”, kaya bunda Ari (nama samaran) yang kasus
tipikor, bunda Mira (nama samaran) juga kasus tipikor dan dia
seorang dokter , pokonya mereka yang dari kalangan berada dan
berkontribusi lebih buat Rutan pasti dihargai dan diseganin..”
(Wawancara dengan AN, 25 November 2010)

Selain kasus tipikor, terdapat pula kasus lain yang umumnya


cukup dihargai dan juga mendapatkan perlakuan “istimewa” dari
petugas maupun warga binaan lain, seperti kasus penggelapan dan
narkoba, khususnya mereka yang menjadi pengedar sekaligus bandar
narkoba. Hal yang membedakan antara warga binaan kasus tipikor
dengan kasus penggelapan atau penggedar narkoba hanyalah dilihat
dari segi keahlian mereka, yang tidak semuanya memiliki keahlian
khusus seperti para pelaku kasus tipikor. Dari segi pemilihan kamar
sel pun tidak semua warga binaan dengan kasus penggelapan dan
narkoba memilih tinggal di kamar RPTT karena biayanya yang
cukup mahal.
Selanjutnya adalah tiga kasus terakhir yang membedakan
satu kelompok warga binaan dengan warga binaan lainnya, yaitu
kasus tindak pidana pencurian, penipuan, dan pembunuhan, yang
umumnya berlatar belakang ekonomi golongan bawah atau tidak
mampu. Untuk hidup lebih baik di rutan, biasanya warga binaan
kasus pencurian dan penipuan harus bekerja menjadi “pelayan” atau
korve napi istilah dalam rutannya, bagi warga binaan lain yang kaya.
Hal ini mereka lakukan agar bisa mendapatkan uang untuk biaya

sejumlah uang, biasanya kisaran Rp. 600 ribu–Rp. 2 juta, tergantung dari merek dan digu-
nakan untuk apa handphone tersebut. Harga damai ini pun masih bisa di “nego” dengan
petugas KAM yang bersangkutan agar mereka tidak dihukum kurungan di selti (seltikus),
istilah untuk sel/kamar tahanan khusus yang berukuran kecil dan gelap yang digunakan
untuk menghukum tahanan/narapidana yang melakukan kesalahan seperti berkelahi,
membawa handphone, dan lain-lain.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 165

kamar dan keperluan sehari-hari lainnya selama di rutan. Dilihat dari


segi penampilan pun warga binaan kasus pencurian, penipuan, dan
pembunuhan ini sangat berbeda dengan kasus tindak pidana tipikor,
penggelapan serta narkoba. Warga binaan dengan kasus pencurian,
penipuan, dan pembunuhan umumnya tidak menggunakan riasan
wajah atau aksesoris tertentu; juga tidak mendapatkan perlakuan
“spesial” dari petugas seperti memiliki akses keluar masuk blok
dan tidak diperkenankan memiliki telepon genggang. Selain itu,
dibandingkan dengan warga binaan kasus tipikor yang dihormati,
warga binaan kasus pencurian, penipuan dan pembunuhan,
dipandang rendah oleh warga binaan lainnya.
Untuk kasus tindak pidana pembunuhan, warga binaan yang
terkena kasus tindak pidana ini umumnya tidak berpendidikan dan
tidak memiliki keahlian apapun di rutan. Untuk kebutuhan sehari-
hari mereka kerap meminta “jatah” uang dari warga binaan lain
dengan cara “memalak” uang, khususnya kepada para warga binaan
yang baru masuk. Oleh karena itu, mereka diberi julukan sebagai
brengos12 yang ditakuti sekaligus juga dikucilkan oleh warga binaan
lain karena sikapnya yang kasar, sok jagoan, dan suka mencari ribut.

Posi si Wa r ga B in a a n d a l a m R u t a n

Di samping jenis tindak pidana atau kasus dari warga binaan,


terdapat aspek lain yang juga memengaruhi adanya pembedaan
antara satu kelompok warga binaan dengan warga binaan lainnya,
yaitu posisi atau kedudukan mereka di dalam rutan. Adanya
pembedaan berdasarkan posisi atau kedudukan warga binaan ini
terkait dengan istilah atau panggilan khusus bagi warga binaan
tertentu. Dengan panggilan tersebut, mereka memiliki posisi atau
kedudukan yang membuat mereka mendapatkan “hak-hak khusus”
dan “keistimewaan” tersendiri dibandingkan warga binaan lainnya.
Terdapat tujuh istilah nama atau panggilan khusus untuk warga
binaan di Rutan Pondok Bambu yang menggambarkan posisi atau
kedudukan mereka dalam struktur di rutan, yaitu istilah pemuka,
tamping, korve blok, palkam, brengos, korve napi, dan warga binaan
biasa.

12 Brengos adalah sebutan untuk mereka warga binaan yang sering berkelahi atau menjadi
“preman” di dalam sel/kamar/blok tahanan.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


16 6 | R eni k A R T I K A W A T I

Pemuka adalah seorang warga binaan berstatus narapidana


yang secara sukarela membantu petugas rutan dalam melakukan
pembinaan terhadap seluruh warga binaan lain. Dengan
statusnya sebagai seorang pemuka, kedudukannya sebagai seorang
narapidana jelas berbeda daripada narapidana lainnya. Seorang
pemuka memiliki kedudukan atau posisi yang lebih tinggi dan
paling dihormati dibandingkan dengan warga binaan lain pada
umumnya. Bisa dibilang pemuka adalah warga binaan nomor satu
di rutan.
Menjadi seorang pemuka tidaklah mudah; hanya warga
binaan tertentu saja yang bisa mendapatkan posisi tersebut.
Untuk menjadi seorang pemuka, warga binaan harus memenuhi
kriteria khusus, seperti memiliki keahlian tertentu yang berbeda
dengan warga binaan lain, berpendidikan serta berkelakuan baik
agar menjadi panutan atau contoh bagi warga binaan lain. Yang
paling menentukan seorang warga binaan bisa menjadi seorang
pemuka adalah kemampuan finansial yang kuat serta memiliki
koneksi dengan pihak luar. Hal ini karena pemuka selain bertugas
membina warga binaan, juga membantu petugas dalam pendanaan
untuk penyelenggaran kegiatan pembinaan tersebut. Oleh karena
itu, dibutuhkan modal yang besar–setidaknya menurut ukuran
warga binaan yang lain–agar seseorang bisa menjadi pemuka
rutan.
Namun demikian, dengan menjadi pemuka rutan seorang
warga binaan dapat memiliki aneka “keistimewaaan” selain
kedudukannya yang lebih tinggi dibandingkan warga binaan
lainnya. Aneka keistimewaan tersebut dapat berupa potongan
remisi umum untuk tiap tahunnya yang lebih besar (1/3) daripada
warga binaan lainnya; memiliki akses keluar masuk blok tahanan;
diizinkan untuk memakai telepon genggang sebagai sarana
komunikasi13, dan banyak lagi kemudahan lainnya. Jika dilihat dari
proses pengangkatannya, seorang warga binaan bisa menduduki
posisi menjadi seorang pemuka dengan cara mengajukan diri
sendiri kepada kepala rutan.
Tamping, kependekan dari tahanan pendamping, yaitu warga
binaan, khususnya mereka yang sudah berstatus narapidana,

13 Karena biasanya seorang pemuka memiliki koneksi yang cukup banyak dengan pihak
luar.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 167

yang dipekerjakan atau diperbantukan oleh petugas rutan pada


bagian unit kerja tertentu. Umumnya seorang tamping dipilih
oleh petugas rutan bagian unit kerja bersangkutan tempat dimana
tamping tersebut dipekerjakan. Jika dilihat dari posisinya sebagai
warga binaan, seorang tamping berada di bawah kedudukan
pemuka. Hal ini terlihat dari beberapa hak “khusus” dan
perlakuan istimewa yang lebih banyak didapatkan oleh seorang
pemuka dibandingkan tamping.
Terdapat beberapa syarat untuk menjadi seorang tamping,
seperti yang tertulis dalam SK (Surat Keputusan) pemilihan
tamping, yaitu pertama, sudah mendapat putusan masa hukuman
dan berstatus narapidana. Kedua, berkelakuan baik selama di rutan
dan memiliki keahlian tertentu khususnya di bidang komputer bagi
tamping yang dipekerjakan di unit kerja administrasi keamanan
(KAM), pelayanan tahanan, register, dan binker perpustakaan dan
pelaporan, serta keahlian lainnya untuk di bagian tertentu. Ketiga,
harus berpendidikan minimal SMA, dan terakhir memiliki masa
tahanan/hukuman kurang dari 2 (dua) tahun. Namun demikian,
persyaratan tersebut tidaklah mutlak. Dalam kesehariannya,
pemilihan tamping bisa saja atas kemauan petugas di bagian unit
tertentu yang mempekerjakannya. Sebagai contoh, banyak tamping
yang tidak memiliki keahlian khusus seperti menjahit, mengajari
mengaji, membuat kerajinan tangan, atau lainnya, namun karena
mereka banyak uang dan “royal”14 kepada petugas serta suka
memberikan jatah uang “ngemel”15, maka mereka dipilih oleh
petugas bagian tertentu untuk menjadi tamping di bagian unit
kerjanya.
Dengan menjadi tamping, seorang warga binaan juga bisa
mendapat perlakuan “spesial”, seperti memiliki akses keluar
masuk blok tahanan karena harus bekerja di unit bagian rutan;
diperbolehkan membawa atau memakai telepon genggam oleh
petugas yang mempekerjakannya16; serta hampir sama dengan
14 Royal adalah bahasa untuk mengambarkan warga binaan yang suka memberikan uang
dan membantu petugas rutan untuk acara atau kegiatan yang diadakan pihak rutan.
15 Ngemel adalah memberikan uang tips kepada petugas, biasanya adalah petugas paste
blok atau KAM yang sering lewat di blok sel tahanan mereka, baik dalam bentuk rokok
ataupun membelikan jatah makan siang/sore/malam kepada mereka.
16 Para tamping boleh memakai telepon genggam asalkan tidak dibawa masuk ke dalam
blok tahanan dan hanya boleh digunakan saat sedang istirahat kerja di unit bagian rutan,
bila sampai diketahui pihak KAM, mereka harus menanggung sendiri akibatnya.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


16 8 | R eni k A R T I K A W A T I

pemuka rutan, tamping juga umumnya cukup dihormati oleh


warga binaan lain dan mendapatkan tambahan remisi khusus.
Korve blok, hampir sama dengan tamping, korve blok adalah
warga binaan yang juga dipekerjakan oleh petugas rutan, namun
ruang lingkup pekerjaannya lebih terbatas, yaitu hanya membantu
petugas keamanan di bagian blok tahanan atau disebut juga
petugas paste blok. Untuk pemilihan korve blok, pihak rutan
tidak memiliki kriteria khusus seperti pemilihan tamping atau
dengan dikeluarkannya SK (surat keputusan) khusus. Korve blok
tidak dituntut untuk memiliki keahlian atau pendidikan yang
tinggi. Mereka biasanya dipilih berdasarkan kedekatan dengan
petugas paste atau orang yang sangat dipercaya oleh petugas paste.
Tugas utama seorang korve blok adalah memegang kunci blok sel
kamar para warga binaan, baik penguncian maupun pembukaan
sel kamar warga binaan (mengkeong17), serta siap sedia menjaga
kawasan blok, seperti membantu memanggilkan warga binaan
yang mendapat kunjungan, dan pemanggilan sidang. Untuk
pekerjaannya tersebut, seorang korve blok haruslah orang yang
sanggup bangun pagi dan tidur larut malam.
Dengan menjadi korve blok, seseorang memiliki keleluasaan
untuk keluar masuk blok sel atas seizin petugas paste blok. Mereka
pun diizinkan memiliki telepon genggam, walupun tidak semua
korve blok memilikinya, layaknya tamping dan pemuka rutan.
Walaupun demikian, seorang korve blok biasanya cukup dihormati
dan ditakuti oleh warga binaan lain karena kedekatannya
dengan petugas paste (KAM). Kedudukan korve blok di rutan
bisa dikatakan sejajar dengan tamping, yaitu sama-sama berada
di bawah posisi pemuka rutan. Namun dibandingkan dengan
tamping, korve blok tidak mendapatkan jatah remisi tambahan.
Palkam adalah istilah untuk warga binaan yang memiliki posisi
sebagai ketua kamar, yang tugasnya membuat peraturan yang harus
ditaati oleh seluruh penghuni kamar sel tanpa terkecuali. Untuk
menjadi palkam, seorang warga binaan harus memiliki kriteria-
kriteria khusus, seperti bisa memimpin dan mengatur narapidana
lain. Biasanya warga binaan yang sudah lama menjalani masa
tahanan dan mengetahui kondisi kehidupan di rutan akan lebih

17 Meng-”keong” adalah istilah penguncian kamar ketika para tahanan atau narapidana
dikurung atau dimasukkan ke dalam sel/kamar tahanan.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 169

mudah menjadi palkam. Selain itu, seorang palkam juga mesti


memiliki rasa tanggung jawab, punya keahlian dalam bernegosiasi
dengan petugas serta warga binaan lain, dan biasanya orang yang
dituakan dalam kelompoknya, juga cukup kaya dibandingkan
warga binaan biasa lainnya.
Setiap sel kamar memiliki seorang palkam yang dipilih
berdasarkan kriteria atau kehendak dari penghuni satu kamarnya.
Seorang palkam hanya berkuasa atau berpengaruh terhadap
kelompoknya saja. Di luar kelompok kamarnya, palkam18 memiliki
kesamaan dengan narapidana lainnya. Tidak seperti seorang
pemuka atau tamping, seorang palkam tidak bekerja atau dipilih
oleh petugas rutan serta tidak harus memiliki pendidikan yang
tinggi dan keahlian khusus. Namun begitu, seorang palkam
pastilah dihormati dan ditakuti oleh warga binaan lain, khususnya
dalam satu sel kamarnya.
Korve napi adalah sebutan bagi warga binaan yang bekerja
untuk “melayani” sesama warga binaan lain di dalam blok sel
kamar. Biasanya korve napi berasal dari kalangan tidak mampu
dan saat di rutan pun ia berada di posisi kelompok yang lemah
karena tidak memiliki uang untuk biaya hidup selama di rutan.
Selain itu, mereka pun umumnya tidak pernah dikunjungi oleh
sanak-saudaranya, sehingga untuk keperluan atau biaya hidup
selama di rutan, mereka harus bekerja “melayani” sesama
narapidana yang membutuhkan jasa mereka dengan imbalan
uang. Arti dari “melayani” itu adalah menyiapkan makanan,
pakaian, dan keperluan lainnya yang dibutuhkan “bos”-nya. Per
minggunya, mereka bisa dibayar pada kisaran Rp 35.000-75.000,
tergantung berat beban kerja yang mesti mereka lakukan.
Korve napi memiliki kedudukan yang rendah, karena selain
tidak memiliki uang dan menjadi pelayan, mereka juga umumnya
tidak berpendidikan, serta tidak memiliki keahlian khusus agar
bisa hidup lebih baik di rutan. Jika dilihat dari segi penampilan

18 Dalam identifikasi penulis, setidaknya terdapat 19 orang palkam di blok A kriminal


umum dan 27 orang palkam di blok E narkoba. Dari masing-masing palkam ini terkadang
mengadakan pertemuan untuk membuat aturan tersendiri yang berlaku di bloknya agar
penghuni kamar satu sama lainnya tidak saling menganggu dan membuat keributan. Jika
sampai terjadi keributan di dalam blok antar satu kamar dengan kamar yang lain, maka
yang pertama kali bertanggung jawab dan dipanggil oleh petugas KAM (Keamanan Rutan)
dalam keributan tersebut adalah palkamnya.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


170 | R eni k A R T I K A W A T I

pun mereka sangat sederhana, tidak memakai riasan wajah ataupun


aksesoris tertentu dan tidak pula memiliki telepon genggam seperti
warga binaan lainnya yang kaya.
Brengos adalah istilah bagi warga binaan yang sering berkelahi,
sok jagoan atau menjadi “preman” di dalam sel/kamar/blok
tahanan. Biasanya yang menjadi brengos adalah mereka yang
terlibat kasus pembunuhan atau penganiayaan. Mereka umumnya
dihukum dengan masa tahanan yang cukup lama, sehingga merasa
sangat berkuasa dan sering mencari ribut atau menganggu warga
binaan yang baru masuk. Berbeda dengan posisi atau kedudukan
warga binaan lain yang menjadi pemuka, tamping atau palkam,
seorang brengos umumnya tidak memiliki kriteria apapun, seperti
pendidikan atau keahlian. Untuk mendapatkan uang di rutan,
ia cukup mengandalkan kekuatan dan keberaniannya dalam
“memeras” warga binaan lain atau warga binaan yang baru masuk,
dengan dalih “uang keamanan”.
Terakhir adalah posisi sebagai warga binaan biasa. Warga
binaan biasa adalah para tahanan atau narapidana yang berasal
dari kalangan yang cukup berada, tidak kaya dan tidak pula
miskin atau berada di tengah-tengah golongan warga binaan
lainnya. Walaupun ada juga sebagian dari warga binaan biasa ini
yang berasal dari kalangan orang yang berkecukupan, namun ia
tetap memilih untuk hidup biasa dengan menjadi warga binaan
pada umumnya tanpa harus menduduki posisi istimewa di dalam
rutan. Untuk biaya hidup sehari-hari di rutan, warga binaan biasa
ini hanya mengandalkan jatah kiriman uang dari keluarga atau
kerabat. Walaupun demikian, kedudukan mereka sebagai warga
binaan biasa cukup dihormati dan tidak dipandang rendah seperti
kedudukan warga binaan yang menjadi korve napi atau brengos.
Jika dilihat dari perolehan posisi warga binaan di Rutan Pondok
Bambu tersebut, maka bisa dikatakan bahwa status sosial yang
mereka dapatkan itu terkait dengan kerja keras yang mereka lakukan
atau dalam istilah sosiologi disebut achieved status. Dengan achieved
status ini seorang warga binaan bisa diberikan kepercayaan dan
dihormati oleh warga binaan lain bahkan petugas, sebagai tamping,
palkam, dan korve blok. Namun, dalam perkembangannya status
sosial warga binaan di dalam lingkungan rutan dapat berkembang
menjadi assigned status, status yang diberikan karena usaha dan
kepercayaan warga rutan (warga binaan dan petugas).

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 171

L a t a r - be l a k a n g Pe k e r ja a n Wa r ga B in a a n

Aspek terakhir yang membuat adanya pembedaan antara kelompok


warga binaan adalah latar-belakang pekerjaan warga binaan sebelum
masuk rutan. Ada delapan jenis pekerjaan asal warga binaan. Pertama
adalah direktur/pengusaha. Warga binaan dengan latar-latar belakang
seperti ini sejak awal sudah diperlakukan khusus, baik oleh petugas
rutan maupun warga binaan lain. Misalnya, ia meminta secara
langsung ke petugas yang berwenang untuk ditempatkan terpisah
dari warga binaan lainnya (mendapatkan sel khusus/RPTT). Warga
binaan yang tinggal di RPTT ini biasanya mendapatkan berbagai
keistimewaan fasilitas.
Dengan menempati kamar RPTT tersebut, secara otomatis warga
binaan itu akan mendapatkan perlakuan istimewa, seperti memiliki
akses keluar masuk tanpa harus di-bon oleh petugas atau tamping dan
diberikan kelongaran waktu penguncian kamar sel (istilah penjaranya
masuk “keong”) lebih lama daripada kamar sel biasa. Kamar biasa
mulai di-keong oleh petugas pada pukul 17.00 WIB, sedangkan
RPTT pukul 23.00 WIB.

“Di sini mainnya duit mulu. Ya kaya gini kamar RPTT itu kamar
digembok jam 11 malem, kalo kamar biasa jam 5 sore udah
digembok, udah gitu kalo kamar RPTT pada punya handphone
kan pasti, tapi petugas kayanya tutup mata deh, mereka kayanya sih
ada “jatahnya” buat petugas, kalo pun sidak paling cuma formalitas
aja, buat nyerem-nyeremin doang.” (Wawancara dengan NK, 30
Desember 2010)

Menurut pendapat warga binaan lain, warga binaan mantan


direktur/pengusaha tersebut memang diperlakukan “lain”. Ia mencuri
perhatian warga binaan lainnya sebab penampilannya berbeda
daripada kebanyakan warga binaan, seperti memakai pakaian
bermerek, riasan wajah serta berbagai aksesoris. Jadi, mereka terlihat
berbeda dan sangat memperhatikan penampilan meskipun berada di
rutan.
Warga binaan lainnya seperti dokter, karyawan kantor, artis/
publik figur serta pendidik (guru atau dosen), umumnya juga cukup
dihormati di rutan. Mereka memang tidak sekaya mantan direktur/
pengusaha, namun karena berpendidikan dan memiliki keahlian,
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186
172 | R eni k A R T I K A W A T I

terutama bagi dokter atau pendidik, mereka sangat dihormati oleh


warga binaan lainnya. Biasanya para petugas rutan akan meminta
mereka untuk menjadi tamping di unit tertentu, seperti tamping
pendidikan bagi yang berlatar-belakang pendidik, tamping poliklinik
bagi dokter atau tamping administrasi bagi warga binaan yang dulunya
berprofesi karyawan kantor, yang umumnya memiliki keahlian
menggunakan komputer dan membuat laporan. Dengan kehaliannya
itu, warga binaan seperti ini bisa mendapatkan keleluasaan untuk
keluar masuk blok dan memakai telepon genggang.

Tabel 2. Aspek-aspek Pembedaan Warga Binaan Wanita Rutan Pondok Bambu


Aspek-aspek yang Simpulan
membedakan
Jenis tindak pidana Berdasarkan jenis tindak pidana, warga
binaan pada lapisan pertama yang sangat
dihargai adalah warga binaan dengan kasus
tindak pidana tipikor. Lapisan kedua yang
cukup dihargai, yaitu kasus tindak pidana
pengedar narkoba dan kasus penggelapan,
serta lapisan terakhir yang kurang/tidak
dihargai adalah kasus tindak pidana
pembunuhan, penipuan, dan pencurian.
Kedudukan di rutan Berdasarkan posisi atau kedudukan warga
binaan di rutan, warga binaan pada lapisan
pertama yang paling dihargai adalah pada
posisi pemuka rutan. Lapisan kedua yang
cukup dihargai adalah posisi tamping,
palkam, korve blok, dan lapisan terakhir
yang kurang/tidak dihargai adalah posisi
warga binaan biasa, brengos dan korve
napi.
Pekerjaan asal Berdasarkan pekerjaan asal sebelum masuk
rutan, warga binaan pada lapisan pertama
yang paling dihargai adalah warga binaan
mantan direktur/pengusaha. Lapisan kedua
yang cukup dihargai adalah mantan dokter,
karyawan kantor, artis dan pendidik, serta
lapisan terakhir yang kurang/tidak dihargai
adalah mantan pekerja buruh, PRT, dan
pengangguran.

Kehidupan sehari-hari warga binaan berlatar-belakang dokter,


artis, karyawan kantoran dan pendidik, di rutan hampir sama
dengan warga binaan mantan direktur/pengusaha. Mereka umumnya
memakai riasan wajah dan berpakaian cukup modis, walaupun tidak
mengunakan barang-barang bermerek. Mereka pun tetap menjaga
penampilan selama di rutan. Tapi hanya sebagian saja dari mereka

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 173

yang memilih tinggal di kamar RPTT, walaupun sebetulnya mereka


mampu untuk memilih kamar tersebut.
Terakhir adalah pembedaan berdasarkan latar-belakang tiga
pekerjaan yang memiliki nilai pembeda relatif sama. Umumnya
mereka berasal dari kalangan tidak mampu, kurang pendidikan dan
hanya mempunyai sedikit keahlian. Mereka adalah warga binaan
dengan latar-belakang pekerjaan buruh, pembantu rumah tangga
(PRT), dan pengangguran. Untuk mendapatkan uang dan bertahan
hidup di rutan, biasanya mereka menjadi pelayan bagi warga binaan
lainnya. Keberadaan mereka di rutan kurang atau bahkan tidak
dihargai oleh warga binaan lainnya.
Berdasarkan ketiga aspek yang membentuk pembedaan warga
binaan tersebut, yaitu jenis tindak pidana (kasus), kedudukan di
rutan, dan latar-belakang pekerjaan warga binaan, dapat disimpulkan
bahwa masing-masing aspek itu, hingga batas tertentu, dapat
memunculkan lapisan-lapisan sosial di Rutan Pondok Bambu (lihat
Tabel 2).

A ktor yang M embentuk S tratifikasi S osial

Pelapisan sosial di rutan selain disebabkan oleh pembedaan-


pembedaan yang muncul di antara sesama penghuni rutan, juga
disebabkan oleh “sistem korup” yang dilakukan oleh para petugas.
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana cara petugas memperlakukan
secara berbeda para tahanan dan narapidana dari kelompok tertentu.
Misalnya, mereka yang memiliki kedudukan pada lapisan atas,
yaitu seorang pemuka, warga binaan kasus tipikor, serta mantan
direktur/pengusaha, diberikan “hak istimewa” berupa pemberian
remisi tambahan yang lebih besar dibandingkan warga binaan dari
lapisan bawah; kemudahan dalam pengurusan pembebasan bersyarat
(PB), cuti bebas (CB), cuti menjelang bebas (CMB); serta mendapat
fasilitas kamar yang lebih baik.
Dengan demikian, secara tidak langsung ada dua aktor yang
membentuk adanya pelapisan sosial di rutan, yaitu warga binaan itu
sendiri dan petugas, sebagai pihak yang berkuasa dan berwenang
dalam menegakkan peraturan di rutan. Antara petugas, sebagai aktor
yang berperan dalam membentuk pelapisan sosial di rutan dengan
warga binaan terbentuk dua pola hubungan sosial, yaitu subordinat
dan hingga batas tertentu superordinat. Pola hubungan subordinat
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186
174 | R eni k A R T I K A W A T I

terbentuk jika petugas rutan berinteraksi dengan warga binaan yang


berada pada lapisan atas. Petugas rutan akan memosisikan dirinya
berada di bawah posisi warga binaan tersebut. Hal ini terjadi karena
warga binaan tersebut biasanya banyak memberikan bantuan dana
atau pemberian “uang insentif” bagi kepentingan rutan, khususnya
bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi petugas rutan. Sedangkan
pola hubungan superordinat terbentuk antara petugas dengan
warga binaan yang berada di lapisan bawah. Artinya, petugaslah
yang berada di atas (superordinat), sedangkan warga binaan berada
di posisi bawah (subordinat). Secara singkat, pola hubungan sosial
antara warga binaan dengan petugas rutan tersebut dapat dilihat
pada Bagan 1.

Keterangan: Segitiga warna oranye menunjukkan posisi warga binaan di rutan.


Sedangkan segitiga warna abu-abu menunjukkan posisi petugas di Rutan
Bagan 1. Posisi Hubungan Sosial Antar Warga Binaan Dengan Petugas

Berdasarkan bagan tersebut dapat diketahui bahwa di Rutan


Pondok Bambu, hubungan sosial antara warga binaan dengan petugas
berbeda-beda. Hal ini memengaruhi otoritas petugas rutan ketika
berhadapan dengan warga binaan. Pada lapisan pertama, misalnya,
petugas berada di atas warga binaan lapisan bawah sehingga dapat
menjalankan otoritasnya secara maksimal dan akan sejajar ketika
berhadapan dengan warga binaan di lapisan menengah. Namun,
pada lapisan ketiga, ketika berhadapan dengan warga binaan lapisan
atas, posisi petugas seolah-olah berada di bawah warga binaan dan
membuat otoritasnya seolah-olah tidak berlaku.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 175

S tratifikasi S osial di Rutan P ondok B ambu

Berdasarkan hasil pengamatan di Rutan Pondok Bambu,


ditemukan adannya pembedaan berdasarkan aspek (1) jenis tindak
pidana warga binaan, (2) posisi warga binaan di dalam struktural
rutan, serta (3) pekerjaan asal warga binaan sebelum masuk rutan.
Pembedaan-pembedaan inilah yang memunculkan lapisan sosial di
dalam kehidupan warga binaan wanita di rutan, yaitu lapisan atas,
menengah dan bawah.

Tipikor Pemuka Direktur

Pengedar Tamping Dokter


Narkoba Palkam Artis
Penggelapan Karyawa
Korve
blok n Kantor
Pendidik
Pembunuhan
Warga Buruh
Pencurian PRT
Binaan
Penipuan Pengan
Brengos
Korve gguran
Napi

1 2 3

Keterangan: 1. Berdasarkan jenis tindak pidana


2. Berdasarkan posisi struktural
3. Berdasarkan pekerjaan asal warga binaan
Bagan 2. Lapisan-Lapisan Sosial Warga Binaan Wanita di Rutan Pondok Bambu

Dari visualisasi Bagan 2 bisa dilihat bahwa pembagian kelompok


warga binaan pada lapisan atas, seperti terlihat dalam segitiga (1), (2),
dan (3), dahulunya berasal dari golongan atas dalam masyarakat luas,
seperti pada jenis pidana tipikor yang digolongkan ke dalam jenis
kejahatan kerah putih (white collar crime). Kejahatan kerah putih
ini, biasanya dilakukan oleh seseorang yang dihormati masyarakat
dan memiliki status sosial yang tinggi dalam karier atau jabatannya.
Sebagai contoh, warga binaan mantan direktur/pengusaha yang
berasal dari masyarakat golongan atas, biasanya masuk rutan karena
terlibat dalam kasus tindak pidana korupsi di kantornya. Dari kasus
dan pekerjaan asal warga binaan ini juga, kedudukan seorang warga
binaan dalam rutan dapat ditentukan apakah berada di lapisan atas

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


176 | R eni k A R T I K A W A T I

dengan menjadi pemuka atau di lapisan tengah dengan menjadi


tamping atau palkam dan sebagainnya.
Adanya kedudukan-kedudukan warga binaan dalam lapisan
sosial atas, menengah, dan lapisan sosial bawah ini dalam istilah
sosiologi disebut stratifikasi sosial. Di Rutan Pondok Bambu, hal ini
muncul karena adanya sesuatu yang dihargai dan bernilai, sehingga
menimbulkan pembedaan-pembedaan dalam kehidupan warga
binaannya. Pembedaan inilah yang dalam situasi tertentu membentuk
suatu jenjang secara bertingkat, yang dalam sosiologi dinamakan
lapisan atau strata. Dalam strata tersebutlah warga binaan wanita di
Rutan Pondok Bambu ini dimasukkan. Jadi, stratifikasi yang ada di
rutan tidak hanya terbentuk di antara petugas rutan dengan warga
binaannya, seperti yang terjadi dalam rutan sebagai institusi total,
melainkan juga terbentuk di antara sesama warga binaannya.

D im e n si- d im e n si S t r a t if ik a si S osi a l

Jika dilihat dari dimensi-dimensi stratifikasi sosial seperti yang


dikemukakan Weber, yaitu kekuasaan, prestise, dan privilese,
maka di dalam kehidupan warga binaan di Rutan Pondok Bambu
ditemukan satu dimensi lainnya, yaitu keahlian. Dengan demikian,
ada empat dimensi stratifikasi sosial warga binaan wanita di rutan,
yaitu kekuasaan, prestise, privilese, dan keahlian.
Hampir sama dengan kondisi masyarakat di luar rutan, warga
binaan di dalam Rutan Pondok Bambu pun memiliki sekelompok
kecil orang yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan ini mereka gunakan
untuk menguasai dan mengatur kehidupan warga binaan lainnya
serta untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan tersendiri. Mereka
memiliki tingkatan yang jelas, baik dalam struktur kelembagan
di rutan maupun kekuasaan ketika berada di dalam blok kamar
tahanan masing-masing. Masing-masing dimensi kekuasaan ini
memiliki fungsi sosial yang berbeda. Dimensi kekuasaan ini terbagi
menjadi dua, yaitu formal dan non-formal. Kekuasaan formal
dibentuk dengan sengaja dan keberadaannya disahkan resmi oleh
pihak rutan melalui perundang-undangan. Contoh dari kekuasaan
formal itu adalah jabatan pemuka, tamping, korve blok. Jabatan ini
sudah ada sejak masa kolonial Belanda dan masih berlaku sampai
saat ini. Sedangkan kekuasaan non-formal dibuat oleh warga binaan
sendiri berdasarkan kesepakatan bersama di dalam blok tahanan.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186
S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 17 7

Pemuka

Tamping

Korve blok

Narapidana/Tahanan/Warga binaan

Bagan 3. Kekuasaan Formal Warga Binaan Wanita Rutan Pondok Bambu

Penulis mendapatkan data bahwa warga binaan yang memiliki


kekuasaan formal biasanya adalah mereka yang memiliki keahlian
tertentu, seperti bisa menggunakan komputer dan membuat laporan.
Selain itu, kebanyakan dari mereka adalah orang berpendidikan
dan mau bekerja membantu petugas serta berasal dari warga binaan
golongan kelas ekonomi atas yang memiliki kemampuan finansial
memadai. Dalam hal pembagian kekuasaan, seorang pemuka
memiliki kewenangan untuk membantu petugas dalam pembinaan
keseluruhan warga binaan. Sedangkan untuk tamping, mereka
memiliki kewenangan membantu petugas melakukan pembinaan
warga binaan pada satu bagian unit kerja tertentu. Sedangkan korve
blok, wilayah kekuasaan kerjanya berada di dalam blok sel tahanan
masing-masing. Dalam hal ini setiap blok tahanan wanita di Blok
A (kriminal umum) dan Blok E (narkoba) di kuasai oleh dua korve
blok yang tugasnya membantu pekerjaan petugas paste blok.
Mereka yang memiliki jabatan formal biasanya memanfaatkan
jabatannya untuk memiliki kekuasaan dalam stratifikasi sosial di
rutan. Mereka inilah yang menjadi penghubung antara petugas
dengan warga binaan lain. Dengan menjadi pemuka, tamping atau
korve blok, seorang warga binaan akan lebih dihormati dan disegani
oleh warga binaan lain. Biasanya warga binaan biasa akan takut jika
bermasalah dengan seorang pemuka, tamping, atau korve blok.
Berbeda dengan kekuasaan yang terbentuk secara formal,
kekuasaan non-formal hanya berlaku di dalam kamar sel masing-

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


178 | R eni k A R T I K A W A T I

masing dan tidak secara resmi dilegalkan oleh petugas. Setiap kamar
sel memiliki ketua kamar (palkam) yang tugasnya membuat peraturan
kamar untuk para penghuninya. Palkam adalah pemegang kekuasaan
terbesar jika berada di dalam sel kamar masing-masing. Tidak ada
campur tangan petugas rutan terkait dengan pemilihan palkam dan
pembentukan aturan di kamar sel yang dikuasainya. Sekalipun ada
warga binaan di dalam sel kamar yang menjabat sebagai tamping,
tapi jika dia sudah berada di dalam kamar sel, maka peraturan yang
harus diikuti adalah peraturan palkam kamar selnya.
Namun, palkam bukanlah warga binaan biasa. Dia dipilih karena
memiliki kharisma, baik karena pintar, tegas, mampu bergaul
dan menerima pendapat warga binaan lain serta, yang terpenting,
orang lama yang tahu seluk-beluk peraturan rutan. Tidak tertutup
kemungkinan warga binaan yang sudah menjabat sebagai tamping
juga menjabat sebagai palkam. Hal ini akan memberikan kekuasaan
yang lebih besar terhadap warga binaan tersebut. Tapi dengan
memiliki dua kekuasaan sekaligus, ada kemungkinan warga binaan
itu akan sulit membagi waktunya. Hal ini karena sebagai tamping,
ia akan menghabiskan lebih banyak waktunya di luar blok tahanan,
sedangkan sebagai palkam, ia harus berada di dalam blok sel tahanan
untuk mengatur warga binaan lain di kamar selnya masing-masing.

Palkam

Brengos

Warga Binaan Biasa

Korve Napi

Bagan 4. Kekuasaan Non-Formal Warga Binaan Wanita Rutan Pondok Bambu

Dalam hal ini kekuasaan palkam adalah berasal dari kesepakatan


warga binaan satu selnya untuk “mau diatur dan dipimpin”. Jika
penghubung antar petugas dengan warga binaan terkait urusan diluar

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 179

blok sel tahanan Rutan adalah pemuka, tamping atau korve blok,
maka untuk penghubung antar warga binaan dengan petugas Rutan
serta warga binaan dengan warga binaan lain ketika ada masalah
di dalam sel kamar adalah palkam selaku ketua kamar. Contohnya
jika terjadi keributan atau masalah di dalam kamar sel, maka orang
pertama yang akan di panggil oleh petugas KAM Rutan adalah
kepala kamarnya atau palkamnya.
Jabatan non-formal lainnya adalah brengos atau “preman kamar”,
yaitu warga binaan yang jika dilihat dari kedudukannya dalam
lapisan sosial di rutan berada di lapisan bawah setelah palkam, seperti
posisi korve napi dan warga binaan biasa. Tetapi, ketika dimasukkan
ke dalam kekuasaan non-formal, posisinya berada di lapisan tengah.
Hal ini dikarenakan sifatnya yang kasar, sok jagoan dan suka
mencari ribut dengan warga binaan lainnya, terutama yang lemah
dan baru masuk, membuat keberadaannya ditakuti warga binaan
lainnya. Namun, tetap saja orang yang berkuasa dan kewenangannya
diakui oleh penghuni kamar sel adalah palkam.
Dalam kekuasaan non-formal, warga binaan biasa dan korve
napi menempati posisi terbawah dalam stratifikasi sosial. Jika
dibandingkan dengan korve napi, warga binaan biasa memang lebih
tinggi posisinya. Namun, ketika dimasukkan ke dalam kekuasaan
non-formal, keduanya sama-sama tidak memiliki kekuasaan apapun
dibandingkan palkam dan brengos. Oleh karena itu, keduanya
menempati lapisan paling bawah dalam struktur kekuasaan non-
formal. Berdasarkan struktur kekuasaan non-formal, kedudukan
masing-masing kategori warga binaan dalam stratifikasi sosial dapat
dilihat pada Bagan 4.
Berdasarkan Bagan 3 dan 4 tersebut, dapat disimpulkan bahwa
terdapat dua dimensi kekuasaan di dalam stratifikasi sosial warga
binaan di Rutan Pondok Bambu, yaitu dimensi kekuasaan formal
dan non-formal. Masing-masing dimensi kekuasaaan tersebut
memiliki fungsi sosialnya sendiri yang bisa mempengaruhi warga
binaan lainnya. Namun, warga binaan yang memiliki kekuasaan
terbesarlah yang menempati lapisan atas dalam stratifikasi sosial di
rutan.
Dimensi stratifikasi sosial lainnya adalah prestise, yang dapat
diartikan sebagai kehormatan sosial yang diterima seseorang
dalam suatu struktur sosial tertentu. Di Rutan Pondok Bambu,
ada beberapa kelompok narapidana yang menempati lapisan atas

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


18 0 | R eni k A R T I K A W A T I

dalam diimensi prestise ini. Mereka adalah sekelompok warga


binaan yang mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang
tinggi dari sesama warga binaan lain. Biasanya mereka sebelumnya
mempunyai status terhormat di luar rutan, seperti para narapidana
atau tahanan mantan direktur sebuah perusahaan, dokter, pendidik,
artis terkenal atau publik figur. Dalam pergaulan sehari-hari di rutan,
mereka tidak sombong dan mau bergaul dengan siapa saja sehingga
sangat dihormati, dalam bentuk sapaan, salam, rasa sungkan, dan
sebagainya, baik oleh petugas maupun warga binaan lain. Jadi,
prestise itu diperoleh bukan hanya karena mereka berasal dari lapisan
atas dan punya banyak uang, tetapi juga karena sikap mereka yang
baik dan tidak sombong terhadap warga binaan lain.
Dimensi kekua sa a n sela njutnya ada la h privilese, ya ng
berkaitan dengan kesempatan dalam bidang ekonomi, dalam
bentuk kemampuan warga binaan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya di rutan. Orang yang menduduki lapisan atas dalam
dimensi privilese ini, menurut Weber, akan ditandai dengan
adanya hak istimewa atas barang dan kesempatan ideal maupun
material. Di rutan, hal ini bisa dilihat dari gaya hidup warga
binaan, mulai dari pemilihan kamar sel RPTT bagi mereka
yang memiliki uang banyak, pemilikan telepon genggam mahal
, pemakaian baju-baju bermerek dan modis, hingga riasan wajah dan
berbagai aksesoris yang digunakan. Selain itu, mereka yang berada
pada dimensi privilese atas ini juga pada situasi tertentu diperlakukan
“spesial” oleh petugas maupun warga binaan lainnya.
Saya mengidentifikasi dimensi privilese ini dalam tiga lapisan
sosial, yaitu atas, tengah, dan bawah. Privilese sosial atas umumnya
dimiliki oleh kelompok warga binaan yang memiliki uang banyak dan
mampu memenuhi segala kebutuhan hidup tanpa menggantungkan
diri pada fasilitas yang diberikan negara terhadap warga binaan.
Untuk mendapatkan fasilitas yang lebih baik, umumnya mereka
memanfaatkan penguasaan di bidang sumber daya lainnya, salah
satunya kemampuan finansial. Selama berada di rutan, mereka tidak
pernah memakan nasi cadongan dan tidak mengambil jatah kasur
yang disediakan rutan. Dengan kekayaannya, mereka justru sedikit
banyak membantu pendanaan acara-acara yang diadakan rutan dan
membantu warga binaan yang kurang mampu.
Seperti halnya kelompok privilese atas, warga binaan yang masuk
ke dalam kategori privilese menengah pun memiliki kemampuan

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 181

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa tergantung pada


pemberian narapidana lain atau fasilitas yang diberikan oleh rutan.
Bedanya, mereka hanya memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sendiri, tanpa kemampuan untuk membantu
mendanai acara-acara yang diselenggarakan rutan. Umumnya,
mereka juga menghuni kamar sel biasa seperti warga binaan lainnya.
Walaupun demikian, kedudukan mereka di dalam kamar lebih tinggi
dibandingkan warga binaan yang masuk ke dalam kategori privilese
bawah. Selain itu, mereka juga tidak mengambil jatah makanan
cadongan, melainkan membelinya di kantin rutan.

Privilese Atas

Privilese Menengah

Privilese Bawah

Bagan 5. Stratifikasi Sosial Warga Binaan Wanita Pada Dimensi Privilese

Warga binaan ya ng ma suk ke da la m kategori privilese


bawah dapat diidentifikasi dari ketidakmampuan mereka untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya selama berada di rutan. Mereka
menggantungkan hampir seratus persen kebutuhan hidupnya pada
fasilitas yang disediakan negara di rutan. Mereka tidak pernah
dikunjungi oleh keluarga. Untuk mendapatkan uang selama di rutan,
mereka biasanya memberikan jasa atau menjadi pelayan bagi warga
binaan lain dari lapisan privilese atas atau menengah. Secara singkat,
pelapisan sosial pada dimensi privilese tersebut dapat dilihat pada
Bagan 5.
Berdasarkan bagan tersebut dapat diketahui bahwa dua kelompok
warga binaan yang mempunyai privilese pada lapisan sosial atas
adalah pelaku tipikor dan pengedar narkoba, serta satu kelompok
warga binaan mantan direktur/pengusaha. Dalam kehidupan
kesehariannya di rutan, mereka mampu memenuhi kebutuhannya
sendiri dan turut serta membantu pendanaan acara-acara di rutan.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


182 | R eni k A R T I K A W A T I

Selain itu, mereka juga dilayani oleh warga binaan lain dari privilese
bawah, yaitu mereka yang terkena kasus pencurian dan penipuan
serta berlatar-belakang pekerjaan buruh, PRT dan pengangguran,
dalam bentuk mencuci pakaian, menyetrika, dan menyiapkan
makanan.
Dimensi terakhir dalam stratifikasi sosial di Rutan Pondok Bambu
adalah keahliaan, yang yang bisa menjadikan seorang warga binaan
naik kedudukannya atau mengalami mobilitas sosial19 di dalam
stratifikasi sosial di rutan. Seorang warga binaan yang memiliki
keahlian tertentu seperti menjahit, memasak, merias di salon, serta
mengajar mengaji Al-Qur’an dan sebagainya, akan lebih dihargai
baik oleh petugas maupun sesama warga binaan lainnya. Sedangkan
yang tidak memiliki keahlian apapun, cenderung akan disepelekan,
kecuali bagi yang memiliki kekayaan.
Warga binaan yang memiliki keahlian tersebut biasanya akan
diminta untuk membantu petugas di bagian tertentu sesuai
keahliannya. Sebagai contoh, di bagian koperasi yang membawahi
kantin-kantin di rutan, biasanya petugas akan mempekerjakan warga
binaan yang bisa memasak untuk menjadi tamping. Sedangkan di
unit bimbingan kegiatan, khususnya keterampilan menjahit atau
rohani Islam, petugas akan mempekerjakan para tamping yang
bisa menjahit atau mengaji. Jadi, walaupun mereka tidak memiliki
kekayaan seperti warga binaan di lapisan atas, namun tetap dihormati
dan dihargai oleh warga binaan lain karena keahliannya. Pada tahap
inilah warga binaan tersebut bisa naik ke stratifikasi yang lebih tinggi
atau mengalami mobilitas sosial vertikal.

Penutup

Pelapisan sosial di dalam Rutan Pondok Bambu hingga batas


tertentu terbentuk oleh sistem korup berupa penyimpangan-
penyimpangan aturan kekuasaan serta wewenang dari petugas
rutan selaku pelaksana teknis aturan hukum. Hal ini secara tidak
langsung menyebabkan terjadinya pembedaan-pembedaan di dalam

19 Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu
kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang
lainnya. Dalam hal ini warga binaan yang memiliki keahlian tertentu bisa berpindah dari
lapisan bawah ke lapisan tengah dalam stratifikasi sosial warga binaan di Rutan Pondok
Bambu (Soekanto 1982).

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 183

kehidupan warga binaan di rutan, yang kemudian “‘membudaya”


hingga membentuk stratifikasi sosial (lihat Tabel 3).
Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa empat dimensi stratifikasi
sosial di Rutan Pondok Bambu (kekuasaan, prestise, previlese dan
dimensi keahlian) terbagi lagi ke dalam lapisan-lapisan sosial (atas,
tengah dan bawah), yang menggambarkan adanya perbedaan strata
dari para warga binaannya. Hal inilah yang menentukan kedudukan
warga binaan wanita tersebut di dalam stratifikasi sosial di rutan:
atas, menengah atau bawah.

Tabel 3. Sistem Startifikasi Sosial Warga Binaan Wanita


di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur
Lapisan Kekuasaan Prestise Privilese Keahlian
Atas Pemuka Palkam Mantan Tipikor dan Mantan Mantan
direktur, pengedar direktur/ direktur,dokter,
dokter, dan narkoba Pengusaha pendidik
pendidik
Tengah Tamping Brengos Karyawan Pengge- Artis, Karyawan
dan korve kantor dan lapan dokter dan kantor, artis,
blok artis/publik karyawan dan buruh
figur kantoran
Bawah Warga Warga Pengang- Pembunuhan, Buruh, PRT, PRT dan
binaan binaan guran Pencurian, pengang- pengangguran
biasa biasa dan Penipuan guran
korve napi

Jadi, di rutan atau penjara, sebagai sebuah institusi total,


“kediaman” orang (narapidana atau tahanan) diasingkan dari
masyarakat luas dalam periode yang relatif lama dan kelakuan
mereka diatur secara ketat oleh norma-norma yang dijalankan oleh
dan melalui kekuasaan sipir (petugas), ternyata juga ditemukan
stratifikasi sosial. Hal ini pada hakikatnya sama saja dengan
kehidupan masyarakat di luar rutan, sekalipun stratifikasi sosial
di rutan tidak sekompleks stratifikasi dalam masyarakat. Hal ini
berbeda dengan pendapat Goffman (1961) yang melihat tak ada
stratifikasi sosial di institusi total seperti rutan.
Jadi, di rutan atau penjara, sebagai sebuah institusi total,
“kediaman” orang (narapidana atau tahanan) diasingkan dari
masyarakat luas dalam periode yang relatif lama dan kelakuan
mereka diatur secara ketat oleh norma-norma yang dijalankan oleh
dan melalui kekuasaan sipir (petugas), ternyata juga ditemukan
stratifikasi sosial. Hal ini pada hakikatnya sama saja dengan

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


18 4 | R eni k A R T I K A W A T I

kehidupan masyarakat di luar rutan, sekalipun stratifikasi sosial


di rutan tidak sekompleks stratifikasi dalam masyarakat. Hal ini
berbeda dengan pendapat Goffman (1961) yang melihat tak ada
stratifikasi sosial di institusi total seperti rutan.

Daftar Pustaka

Coser, Lewis. 1957. Social Conflict and The Theory of Social Change,
British Journal of Sociology 8:3. September 1957.
Creswell, John W. 2002. Research Design: Qualitative, Quantitative,
and Mixed Method Approaches. London: Sage Publication Inc.
Dianti, Laila Dewi. 2002. “Mobilitas Okupasi Antar Generasi :
Perbandingan Antara Anak Laki-Laki dan Perempuan (Studi
Stratifikasi Pada Kelurahan Depok Jaya, Depok).” Skripsi Sarjana
Sosiologi FISIP UI.
Dirjen Permasyarakatan. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
tentang Permasyarakatan.
Dokumen Berita Acara Penerimaan Tahanan Baru. Bagian Kesatuan
Pengamanan Rutan Pondok Bambu.
Dokumen Jumlah Tahanan dan Narapidana Sesuai Jenis Kejahatan.
Bagian Register, Pelayanan Tahanan Rutan Pondok Bambu, Per
13 Januari 2011.
Dokumen Kegiatan Harian Rutin Warga Binaan. Bagian Bimbingan
Kegiatan Rutan Pondok Bambu.
Dokumen Menu Makanan Warga Binaan Rutan Pondok Bambu, Per
01 Januari 2011-31 Desember 2011.
Dokumen Penyusunan SOP Tugas Bagian Kesatuan Pengamanan
Rutan (KAM).
Dokumen Sejarah Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur. Bagian
Register, Pelayanan Tahanan.
Dokumen Tata Cara Mendapatkan Remisi Berdasarkan Ketentuan
Departemen Hukum dan HAM.
Edgell, Stephen. 1993. Class. London and New York: Penerbit
Routledge.
ELSAM. 1996. Hak-Hak Narapidana. Penerbit: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat.
Geertz, Clifford. 1973. Thick Description: Toward an Interpretive
Theory of Culture. In The Interpretation of Cultures: Selected Essays.
New York: Basic Books.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186
S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 185

Goffman, Erving.1961. Asylums: Essays on The Social Institution of


Mental Patients and Other Inmates. New York : Penguin Books.
Ika, Granita dan Arya Ronald, dkk. 2004. “Rumah Tinggal Suku
Sasak Desa Rembitan Nusa Tenggara Barat Kajian Hubungan
Stratifikasi Sosial Dengan Nilai-Nilai Rumah Tinggal.” Teknosains,
601-616. Diakses pada tanggal 17 Oktober 2004 (http: //www.
digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/)
“Inilah Curhat Tahanan Rutan Pondok Bambu.” Diakses pada
tanggal 13 Januari 2011, pukul 19.26 WIB (http://megapolitan.
kompas.com/read/2010/01/13/20383878/Inilai.Curhat.Tahanan.
Rutan.Pondok.Bambu)
Karuk, Mujiarto. 2010. “Rumah Tahanan.” Diakses pada tanggal
21 Oktober 2010, pukul 15.00 WIB. (http://www.metro.polri.
web.id/rumah-tahanan).
“Keluhan Pungli di Rutan Pondok Bambu.” Diakses pada tanggal
21 Oktober 2010, pukul 13.35 WIB. (http://berita.liputan6.com/
hukrim/201001/259033/Napi.Rutan.Pondok.Bambu.Keluhkan.
Pungli)
Lawang, Robert M.Z. 2004. Stratifikasi Sosial di Cancar Manggarai
Flores Barat Tahun 1950-an dan 1980-an. Depok: FISIP-UI Press.
Majalah Tempo. Cara Asyik Menikmati Penjara. Edisi 11-17 Januari
2010.
“Mencuri Tiga Buah Kakao Nenek Minah diHukum Penjara.”
Diakses pada tanggal 19 Mei 2011, pukul 20.15 WIB. (http://
www.detiknews.com/read/2009/11/19/mencuri-3-buah-kakao-
nenek-minah-dihukum-1-bulan-15-hari)
Nasution, Adham. 1983. Sosiologi. Bandung: Penerbit Alumni.
Neuman, Lawrance. W. 1997. Social Research Methods, Qualitative
and Quantitative, 3rd Edition. USA.
Panjaitan, Petrus Irawa dan Pandapotan Simorangkir. 1995. Lembaga
Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Primandini, Putri. 2008. “Dampak Kelebihan kapasitas terhadap
Narapidana (Studi Kasus pada Lembaga Permasyarakatan Klas
IIA Bogor).” Skripsi Sarjana Kriminologi FISIP UI.
Putri, Astrid Yuskarina. 2007. “Pemenuhan Hak Anak yang
Berhadapan dengan Hukum di Rumah Tahanan Negara (Studi
Kasus “X” dan “Y” di Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur).
Skripsi Sarjanan Kriminologi FISIP UI.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186


18 6 | R eni k A R T I K A W A T I

Ratna, Nyoman Kutha. 2002. “Stratifikasi Sosial di Bali.” Dinamika


Kebudayaan, 145-153.
Santoso, Mardi. 2007. “Stratifikasi Sosial Di Lembaga Pemasyarakatan
Klas I Cipinang.” Tesis Program Studi Pengkajian Ketahanan
Nasional, Program Pasca Sarjana UI.
Soekanto, Soerjono. 1982. Memperkenalkan Sosiologi. Jakarta: Penerbit
CV. Rajawali.
Soekanto, Soerjono. 1992. Struktur Masyarakat: Beberapa Teori
Sosiologi tentang Masyarakat. Jakarta: Penerbit CV Rajawali
Soemardjan, Sel., & Soemardi, Soelaeman. 1964. Setangkai Bunga
Sosiologi. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Solahuddin. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Acara
Pidana, & Perdata: KUHP, KUHAP, KUHPdt. Penerbit:
Visimedia.
Sorokin, Pitirim A. 1959. Social and Cultural Mobility, Collier-
Macmillan Limited, London: The Free Pres of Glencoe
Sujatno, Adi. 2004. Sistem Permasyarakatan Indonesia (Membangun
Manusia Mandiri). Jakarta: Direktorat Jenderal Permasyarakatan.
Sujatmiko, Iwan Gardono. 1996. “Stratifikasi dan Mobilitas Sosial
(Suatu Studi Awal Masyarakat Jakarta).” Jurnal Sosiologi Indonesia
No.1/1996.
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Thomas, Murray. 1975. Social Strata In Indonesia: A Study of West
Java Villagers. Jakarta: CV. Antarkarya.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186

Anda mungkin juga menyukai