Reni Kartikawati
Abstract
Pendahuluan
1 Tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di rumah tahanan yang be-
lum dijatuhi hukuman. Mereka belum tentu dinyatakan bersalah dan bisa dibebaskan
bila dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan tidak ditemukan bukti bahwa
orang tersebut bersalah (Sujatno 2004:40).
2 Narapidana adalah orang yang telah divonis hakim dan dinyatakan bersalah, atau ter-
pidana yang hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Dirjen Pemasyarakatan,
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan).
3 Lihat “Dokumen sejarah Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur.” Dokumen ini penulis
peroleh dari bagian Register, Pelayanan Tahanan Rutan Pondok Bambu, pada 2 Desember
2010.
Wa r ga B in a a n Wa nit a
Tabel 1. Jumlah Warga Binaan Wanita Rutan Pondok Bambu Berdasarkan Status
Warga Binaan dan Tindak Pidana (Per 13 Januari 2011)
R u t a n Pon d ok B a mb u
4 Kamar RPTT adalah kamar sel yang seharusnya digunakan bagi mereka yang menjalani
hukuman, namun saat ini kamar sel tersebut dijadikan kamar/sel khusus yang digunakan
oleh para narapidana yang memiliki “uang”. Jumlah narapidana/tahanan yang menghuni
RPTT ini biasanya terbatas antara 3-10 orang saja/ kamarnya dengan berbagai fasilitas
yang lebih baik dibandingkan kamar atau sel biasa. Tentunya hal ini diikuti dengan uang
bayaran per bulan yang cukup mahal dibandingkan kamar besar/biasa, yaitu mencapai Rp.
tiga hingga sepuluh orang untuk setiap selnya), sementara sel biasa
umumnya dihuni dua puluh hingga tiga puluh warga binaan.
Keadaan seperti inilah yang terkadang membuat sel hunian di rutan
seolah-olah penuh (kelebihan kapasitas); hal yang hanya dialami oleh
warga binaan dari kelompok yang tidak mampu. Jadi, sisi lain dari
kelebihan kapasitas adalah adanya ”ketidakadilan” yang dilakukan
petugas di rutan atau lapas terhadap warga binaannya. Ketidakadilan
inilah yang menyebabkan perbedaan jumlah hunian yang tidak
merata antara satu sel dengan sel lainnya (kelebihan kapasitas di sel
hunian tertentu).5
Selain itu, ketidakadilan di rutan juga terjadi dalam pemberian
pelayanan atau pemanfaatan fasilitas. Mereka yang bisa menikmati
pelayanan atau fasilitas adalah warga binaan yang memiliki uang
dan dekat dengan petugas. Mereka lebih diprioritaskan oleh petugas
untuk bisa menikmati pelayanan atau pembinaan yang ada di rutan
dibandingkan penghuni lainnya. Temuan lapangan yang penulis
dapatkan ini diperkuat dengan pernyataan Dirjen Pemasyarakatan
Kemenkum dan HAM Untung Sugiyono, yang mengatakan bahwa
ia tidak membantah soal adanya “kongkalikong” antara petugas dan
narapidana atau antara petugas dan pengunjung. Namun, Untung
Sugiyono beralasan hal itu terjadi karena minimnya pengawasan
akibat berlebihnya daya tampung lapas atau rutan: “Dari kelebihan
kapasitas saja, untuk melakukan pengawasan itu setengah mati. Untuk
melakukan pelayanan yang optimal, setengah mati” (bataviase.co.id, 5
November 2010).
Pe l a pi sa n S osi a l d i R u t a n Pon d ok B a mb u
Tin d a k Pi d a n a
Jika dilihat dari kasus atau tindak pidana yang dilakukan oleh
warga binaan di Rutan Pondok Bambu, setidaknya terdapat enam
kasus tindak pidana yang secara “khusus” membentuk terjadinya
pembedaan-pembedaan antar sesama warga binaan, antara lain
seperti pada kasus tipikor atau tindak pidana korupsi (pasal 359),
penggelapan (pasal 372-375), narkoba (pasal 359), pencurian (pasal
362-364), penipuan (pasal 378-395), dan terakhir pembunuhan (pasal
338-350). Adanya pembedaan berdasarkan kasus atau jenis tindak
6 Makanan cadongan adalah jatah makanan yang disedikan oleh rutan untuk para tahanan
atau narapidana.
7 Maksud pelayan di sini adalah seperti pembantu rumah tangga. Contohnya mencuci
pakaian warga binaan lain, menggantikan tugas piket kamar, dan lain sebagainya.
8 Pembedaan ini terlihat jelas terutama jika dibandingkan dari latar belakang status eko-
nomi mereka, yaitu antara penghuni rutan yang kaya dan yang miskin.
9 Hal ini dilihat dari pengalaman penulis ketika masih magang di rutan, dimana ada salah
satu warga binaan yang menitipkan uang Rp. 500.000,- kepada penulis untuk dibelikan
kaos/baju oblong untuk tidur dengan merek baju Guardiano di salah satu outlet baju ter-
nama di Margocity Depok. Kisaran harga satu kaosnya adalah Rp. 150.000/item.
10 Bon adalah istilah untuk mengeluarkan para narapidana/tahanan dari sel baik untuk
dipekerjakan oleh para petugas maupun ketika warga binaan ingin izin keluar sel/kamar
mereka.
11 Berdasarkan pengamatan di rutan, petugas memang melarang seluruh warga binaan
tanpa terkecuali untuk membawa handphone karena takut akan disalahgunakan oleh war-
ga binaan, seperti untuk transaksi narkoba, membuat rencana untuk melarikan diri, dan
lain sebagainya. Namun, pada kenyataanya banyak warga binaan, khususnya mereka yang
memiliki kedekatan khusus dengan petugas di bagian tertentu, diperbolehkan membawa
handphone, dengan syarat tidak diketahui oleh petugas keamanan/KAM. Kalaupun keta-
huan mereka biasanya memilih jalan damai (istilah kepolisiannya “86”) dengan membayar
sejumlah uang, biasanya kisaran Rp. 600 ribu–Rp. 2 juta, tergantung dari merek dan digu-
nakan untuk apa handphone tersebut. Harga damai ini pun masih bisa di “nego” dengan
petugas KAM yang bersangkutan agar mereka tidak dihukum kurungan di selti (seltikus),
istilah untuk sel/kamar tahanan khusus yang berukuran kecil dan gelap yang digunakan
untuk menghukum tahanan/narapidana yang melakukan kesalahan seperti berkelahi,
membawa handphone, dan lain-lain.
Posi si Wa r ga B in a a n d a l a m R u t a n
12 Brengos adalah sebutan untuk mereka warga binaan yang sering berkelahi atau menjadi
“preman” di dalam sel/kamar/blok tahanan.
13 Karena biasanya seorang pemuka memiliki koneksi yang cukup banyak dengan pihak
luar.
17 Meng-”keong” adalah istilah penguncian kamar ketika para tahanan atau narapidana
dikurung atau dimasukkan ke dalam sel/kamar tahanan.
L a t a r - be l a k a n g Pe k e r ja a n Wa r ga B in a a n
“Di sini mainnya duit mulu. Ya kaya gini kamar RPTT itu kamar
digembok jam 11 malem, kalo kamar biasa jam 5 sore udah
digembok, udah gitu kalo kamar RPTT pada punya handphone
kan pasti, tapi petugas kayanya tutup mata deh, mereka kayanya sih
ada “jatahnya” buat petugas, kalo pun sidak paling cuma formalitas
aja, buat nyerem-nyeremin doang.” (Wawancara dengan NK, 30
Desember 2010)
1 2 3
D im e n si- d im e n si S t r a t if ik a si S osi a l
Pemuka
Tamping
Korve blok
Narapidana/Tahanan/Warga binaan
masing dan tidak secara resmi dilegalkan oleh petugas. Setiap kamar
sel memiliki ketua kamar (palkam) yang tugasnya membuat peraturan
kamar untuk para penghuninya. Palkam adalah pemegang kekuasaan
terbesar jika berada di dalam sel kamar masing-masing. Tidak ada
campur tangan petugas rutan terkait dengan pemilihan palkam dan
pembentukan aturan di kamar sel yang dikuasainya. Sekalipun ada
warga binaan di dalam sel kamar yang menjabat sebagai tamping,
tapi jika dia sudah berada di dalam kamar sel, maka peraturan yang
harus diikuti adalah peraturan palkam kamar selnya.
Namun, palkam bukanlah warga binaan biasa. Dia dipilih karena
memiliki kharisma, baik karena pintar, tegas, mampu bergaul
dan menerima pendapat warga binaan lain serta, yang terpenting,
orang lama yang tahu seluk-beluk peraturan rutan. Tidak tertutup
kemungkinan warga binaan yang sudah menjabat sebagai tamping
juga menjabat sebagai palkam. Hal ini akan memberikan kekuasaan
yang lebih besar terhadap warga binaan tersebut. Tapi dengan
memiliki dua kekuasaan sekaligus, ada kemungkinan warga binaan
itu akan sulit membagi waktunya. Hal ini karena sebagai tamping,
ia akan menghabiskan lebih banyak waktunya di luar blok tahanan,
sedangkan sebagai palkam, ia harus berada di dalam blok sel tahanan
untuk mengatur warga binaan lain di kamar selnya masing-masing.
Palkam
Brengos
Korve Napi
blok sel tahanan Rutan adalah pemuka, tamping atau korve blok,
maka untuk penghubung antar warga binaan dengan petugas Rutan
serta warga binaan dengan warga binaan lain ketika ada masalah
di dalam sel kamar adalah palkam selaku ketua kamar. Contohnya
jika terjadi keributan atau masalah di dalam kamar sel, maka orang
pertama yang akan di panggil oleh petugas KAM Rutan adalah
kepala kamarnya atau palkamnya.
Jabatan non-formal lainnya adalah brengos atau “preman kamar”,
yaitu warga binaan yang jika dilihat dari kedudukannya dalam
lapisan sosial di rutan berada di lapisan bawah setelah palkam, seperti
posisi korve napi dan warga binaan biasa. Tetapi, ketika dimasukkan
ke dalam kekuasaan non-formal, posisinya berada di lapisan tengah.
Hal ini dikarenakan sifatnya yang kasar, sok jagoan dan suka
mencari ribut dengan warga binaan lainnya, terutama yang lemah
dan baru masuk, membuat keberadaannya ditakuti warga binaan
lainnya. Namun, tetap saja orang yang berkuasa dan kewenangannya
diakui oleh penghuni kamar sel adalah palkam.
Dalam kekuasaan non-formal, warga binaan biasa dan korve
napi menempati posisi terbawah dalam stratifikasi sosial. Jika
dibandingkan dengan korve napi, warga binaan biasa memang lebih
tinggi posisinya. Namun, ketika dimasukkan ke dalam kekuasaan
non-formal, keduanya sama-sama tidak memiliki kekuasaan apapun
dibandingkan palkam dan brengos. Oleh karena itu, keduanya
menempati lapisan paling bawah dalam struktur kekuasaan non-
formal. Berdasarkan struktur kekuasaan non-formal, kedudukan
masing-masing kategori warga binaan dalam stratifikasi sosial dapat
dilihat pada Bagan 4.
Berdasarkan Bagan 3 dan 4 tersebut, dapat disimpulkan bahwa
terdapat dua dimensi kekuasaan di dalam stratifikasi sosial warga
binaan di Rutan Pondok Bambu, yaitu dimensi kekuasaan formal
dan non-formal. Masing-masing dimensi kekuasaaan tersebut
memiliki fungsi sosialnya sendiri yang bisa mempengaruhi warga
binaan lainnya. Namun, warga binaan yang memiliki kekuasaan
terbesarlah yang menempati lapisan atas dalam stratifikasi sosial di
rutan.
Dimensi stratifikasi sosial lainnya adalah prestise, yang dapat
diartikan sebagai kehormatan sosial yang diterima seseorang
dalam suatu struktur sosial tertentu. Di Rutan Pondok Bambu,
ada beberapa kelompok narapidana yang menempati lapisan atas
Privilese Atas
Privilese Menengah
Privilese Bawah
Selain itu, mereka juga dilayani oleh warga binaan lain dari privilese
bawah, yaitu mereka yang terkena kasus pencurian dan penipuan
serta berlatar-belakang pekerjaan buruh, PRT dan pengangguran,
dalam bentuk mencuci pakaian, menyetrika, dan menyiapkan
makanan.
Dimensi terakhir dalam stratifikasi sosial di Rutan Pondok Bambu
adalah keahliaan, yang yang bisa menjadikan seorang warga binaan
naik kedudukannya atau mengalami mobilitas sosial19 di dalam
stratifikasi sosial di rutan. Seorang warga binaan yang memiliki
keahlian tertentu seperti menjahit, memasak, merias di salon, serta
mengajar mengaji Al-Qur’an dan sebagainya, akan lebih dihargai
baik oleh petugas maupun sesama warga binaan lainnya. Sedangkan
yang tidak memiliki keahlian apapun, cenderung akan disepelekan,
kecuali bagi yang memiliki kekayaan.
Warga binaan yang memiliki keahlian tersebut biasanya akan
diminta untuk membantu petugas di bagian tertentu sesuai
keahliannya. Sebagai contoh, di bagian koperasi yang membawahi
kantin-kantin di rutan, biasanya petugas akan mempekerjakan warga
binaan yang bisa memasak untuk menjadi tamping. Sedangkan di
unit bimbingan kegiatan, khususnya keterampilan menjahit atau
rohani Islam, petugas akan mempekerjakan para tamping yang
bisa menjahit atau mengaji. Jadi, walaupun mereka tidak memiliki
kekayaan seperti warga binaan di lapisan atas, namun tetap dihormati
dan dihargai oleh warga binaan lain karena keahliannya. Pada tahap
inilah warga binaan tersebut bisa naik ke stratifikasi yang lebih tinggi
atau mengalami mobilitas sosial vertikal.
Penutup
19 Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu
kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang
lainnya. Dalam hal ini warga binaan yang memiliki keahlian tertentu bisa berpindah dari
lapisan bawah ke lapisan tengah dalam stratifikasi sosial warga binaan di Rutan Pondok
Bambu (Soekanto 1982).
Daftar Pustaka
Coser, Lewis. 1957. Social Conflict and The Theory of Social Change,
British Journal of Sociology 8:3. September 1957.
Creswell, John W. 2002. Research Design: Qualitative, Quantitative,
and Mixed Method Approaches. London: Sage Publication Inc.
Dianti, Laila Dewi. 2002. “Mobilitas Okupasi Antar Generasi :
Perbandingan Antara Anak Laki-Laki dan Perempuan (Studi
Stratifikasi Pada Kelurahan Depok Jaya, Depok).” Skripsi Sarjana
Sosiologi FISIP UI.
Dirjen Permasyarakatan. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
tentang Permasyarakatan.
Dokumen Berita Acara Penerimaan Tahanan Baru. Bagian Kesatuan
Pengamanan Rutan Pondok Bambu.
Dokumen Jumlah Tahanan dan Narapidana Sesuai Jenis Kejahatan.
Bagian Register, Pelayanan Tahanan Rutan Pondok Bambu, Per
13 Januari 2011.
Dokumen Kegiatan Harian Rutin Warga Binaan. Bagian Bimbingan
Kegiatan Rutan Pondok Bambu.
Dokumen Menu Makanan Warga Binaan Rutan Pondok Bambu, Per
01 Januari 2011-31 Desember 2011.
Dokumen Penyusunan SOP Tugas Bagian Kesatuan Pengamanan
Rutan (KAM).
Dokumen Sejarah Rutan Pondok Bambu Jakarta Timur. Bagian
Register, Pelayanan Tahanan.
Dokumen Tata Cara Mendapatkan Remisi Berdasarkan Ketentuan
Departemen Hukum dan HAM.
Edgell, Stephen. 1993. Class. London and New York: Penerbit
Routledge.
ELSAM. 1996. Hak-Hak Narapidana. Penerbit: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat.
Geertz, Clifford. 1973. Thick Description: Toward an Interpretive
Theory of Culture. In The Interpretation of Cultures: Selected Essays.
New York: Basic Books.
Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 17, No. 2 , Ju li 2012: 153 -186
S T R AT I F I K A SI SOSI A L WA RG A BI N A A N WA N I TA | 185