Anda di halaman 1dari 13

Case Report Session

* Kepaniteraan Profesi dokter/G1A218060/April 2020

** Pembimbing : dr. Dedy Fachrian, Sp.An

STRATEGI UNTUK MENINGKATKAN KEBERHASILAN RESUSITASI


JANTUNG PARU SERTA TARGET OPTIMAL OKSIGEN DAN
KARBONDIOKSIDA PADA SAAT DAN SETELAH RESUSITASI PADA PASIEN
HENTI JANTUNG

Oleh:

Syukri*

G1A218060

Pembimbing:

dr. Dedy Fachrian, Sp.An **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
LEMBAR PENGESAHAN

STRATEGI UNTUK MENINGKATKAN KEBERHASILAN RESUSITASI JANTUNG


PARU SERTA TARGET OPTIMAL OKSIGEN DAN KARBONDIOKSIDA PADA
SAAT DAN SETELAH RESUSITASI PADA PASIEN HENTI JANTUNG

Oleh:

Syukri, S.Ked

G1A218060

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020

Jambi, April 2020

Pembimbing

dr. Dedy Fachrian, Sp.An


TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi RJP

Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resusitasi (CPR) adalah


upaya mengembalikan fungsi nafas dan atau sirkulasi yang berhenti oleh berbagai
sebab dan boleh membantu memulihkan kembali kedua-dua fungsi jantung dan paru
ke keadaan normal. Bantuan hidup dasar (BHD) atau basic life support (BLS)
termasuk mengenali jika terjadinya serangan jantung, aktivasi respon sistem gawat
darurat, dan defibrilasi dengan menggunakan defibrillator.1

2. Tujuan
Tujuan Bantuan Hidup Dasar (BHD) ialah oksigenasi darurat yang diberikan
secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan
sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan
kekuatan sendiri secara normal. Hal ini adalah untuk mencegah berhentinya sirkulasi
darah atau berhentinya pernapasan. Resusitasi mencegah terjadinya berhentinya
sirkulasi atau berhentinya respirasi yang dapat menyebabkan kematian sel-sel akibat
dari kekurangan oksigen dan memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi
melalui kompresi dada (chest compression) dan ventilasi dari korban yang mengalami
henti jantung atau henti nafas
.
3. Indikasi melakukan RJP
a. Henti Napas
Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak
hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam,inhalasi asp/uap/gas,
obstruksi jalan nafas oleh benda asing, tesengat listrik, tersambar petir,
serangan infrak jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan
lain-lainnya.
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran
udara pernafasan dari korban dan ini merupakan kasus yang harus dilakukan
tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD). Pada awal henti nafas, jantung masih
berdenyut dan nadinya masih teraba, dimana oksigen masih dapat masuk ke
dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan
darah ke otak dan organ-organ vital yang lainnya. Dengan memberikan
bantuan resusitasi, ia dapat membantu menjalankan sirkulasi lebih baik dan
mencegah kegagalan perfusi organ.

b. Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) adalah ketidaksanggupan curah
jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen keotak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat balik normal, jika dilakukan tindakan yang tepat
atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak menetap kalau tindakan
tidak adekuat. Henti jantung yang terminal akibat usia lanjut atau penyakit
kronis tertentu tidak termasuk henti jantung atau cardiac arrest.
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut, kemudian disusun oleh ventrikel asistol dan
terakhirnya oleh disosiasi elektro-mekanik. Dua jenis henti jantung yang
berakhir lebihsulit ditanggulangi kerana akibat gangguan pacemaker jantung.
Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar yang tidak teraba
(karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis), pernafasan berhenti
atau gasping, tidak terdapat dilatasi pupil karena bereaksi terhadap rangsang
cahaya dan pasien tidak sadar. Pengiriman oxygen ke otak tergantung pada
curah jantung, kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap oxygen dan
fungsi pernapasan. Iskemia melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan
menyebabkan kortek serebri rusak menetap, walaupun setelah itu dapat
membuat jantung berdenyut kembali.

4. Resusitasi Jantung Paru (RJP)


Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur
awal pada korban, yaitu memastikan situasi dan keadaan pasien aman atau tidak
dengan memanggil nama atau sebutan Pak!!!, Bu!!!!, Mas!!!, Mbak!!!, dll yang
umum dengan keras disertai menyentuh atau menggoyangkan bahu dengan mantap,
sambil memanggil namanya. Prosedur ini disebut sebagai teknik “touch and talk”. Hal
ini cukup untuk membangunkan orang tidur atau merangsang seseorang untuk
bereaksi. Jika tidak ada respon, kemungkinan pasien tidak sadar. Terdapat tiga derajat
tingkat kesadaran, yaitu, sadar penuh, setengah sadar, dan tidak sadar. Sadar penuh
yang bererti pasien dalam keadaan sadar, berorientasi baik terhadap diri, waktu dan
tempat, setengah sadar yang bererti pasien mengantuk atau bingung, manakala pasien
tidak sadar bererti pasien tidak ada apa-apa respon.
Jika pasien berespon tinggalkan pada posisi dimana ditemukan dan hindari
kemungkinan resiko cedera lain yang bisa terjadi dan analisa kebutuhan tim gawat
darurat. Jika sendirian, tinggalkan pasien sementara, mencari bantuan. Observasi dan
kaji ulang secara regular. Jika pasien tidak berespon berteriak minta tolong.
Kemudian atur posisi pasien, sebaiknya pasien terlentang pada permukaan keras dan
rata. Jika ditemukan tidak dalam posisi terlentang, terlentangkan pasien dengan teknik
log roll, secara bersamaan kepala, leher dan punggung digulingkan. Atur posisi untuk
penolong. Berlutut sejajar dengan bahu pasien agar secara efektif dapat memberikan
resusitasi jantung paru (RJP).
Terakhirnya, nadi karotis diperiksa. Menurut AHA Guideline 2010 tidak
menekankan pemeriksaan nadi karotis sebagai mekanisme untuk menilai henti
jantung karena penolong sering mengalami kesulitan mendeteksi nadi. Jika dalam
lebih dari 10 detik nadi karotis sulit dideteksi, kompresi dada harus dimulai. Penolong
awam tidak harus memeriksa denyut nadi karotis. Anggap cardiac arrest jika pasien
tiba-tiba tidak sadar, tidak bernapas atau bernapas tapi tidak normal (hanya gasping).

1) Airway
Pastikan jalan nafas terbuka dan bersih yang memungkinkan pasien dapat
bernafas.
1) Pemeriksaan Jalan Nafas
Untuk memastikan jalan nafas bebas dari sumbatan karena benda asing. Bila
sumbatan ada dapat dibersihkan dengan tehnik cross finger ( ibu jari diletakkan
berlawan dengan jari telunjuk pada mulut korban). Cara melakukan tehnik cross
finge adalah pertama sekali silangkan ibu jari dan telunjuk penolong. Kemudian,
letakkan ibu jari pada gigi seri bawah korban dan jari telinjuk pada gigi seri atas.
Lakukan gerakan seperti menggunting untuk membuka mulut korban. Akhirnya,
periksa mulut setelah terbuka apakah ada cairan,benda asing yang menyumbat
jalan nafas.

2) Membuka Jalan Nafas


Pada korban yang tidak sadar tonus otot menghilang, maka lidah dan epiglotis
akan menutup faring dan laring sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas.
Keadaan ini dapat dibebaskan dengan tengadah kepala topang dahi (Head tild
Chin lift) dan manuver pendorongan mandibula (Jaw thrush manuver). Cara
melakukan teknik Head tilt chin lift (gambar 1a) ialah letakkan tangan pada dahi
korban,kemudian tekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telapak tangan
penolong. Letakkan ujung jari tangan lainnya dibawah bagian ujung tulang rahang
korban. Tengadahkan kepala dan tahan serta tekan dahi korban secara bersamaan
sampai kepala pasien/korban pada posisi ekstensi. Manakala, cara untuk
melakukan teknik jaw thrust manuvere (gambar 1b) adalah letakkan kedua siku
penolong sejajar dengan posisi korban. Kemudian, kedua tangan memegang sisi
kepala korban. Penolong memegang kedua sisi rahang dan kedua tangan penolong
menggerakkan rahang keposisi depan secara perlahaan. Akhirnya, pertahankan
posisi mulut korban tetap terbuka.
Apabila terdapat benda asing yang mengobstruksi jalur nafas pasien,ia
dikeluarkan. Kemudian cek tanda kehidupan iaitu respon dan suara napas pasien.
Jangan mendongakkan dahi secara berlebihan, secukupnya untuk membuka jalan
napas saja, karena pasien boleh ada cedera leher.
Menurut AHA Guideline 2010 merekomendasikan untuk gunakan head tilt-
chin lift untuk membuka jalan napas pada pasien tanpa ada trauma kepala dan
leher. Sekitar 0,12-3,7% mengalami cedera spinal dan risiko cedera spinal
meningkat jika pasien mengalami cedera kraniofasial dan/atau GCS <8.
Manakala, gunakan jaw thrust jika suspek cedera servikal. Pada pasien suspek
cedera spinal lebih diutamakan dilakukan restriksi manual (menempatkan 1
tangan di ditiap sisi kepala pasien) daripada menggunakan spinal immobilization
devices karena dapat mengganggu jalan napas tapi alat ini bermanfaat
mempertahankan kesejajaran spinal selama transportasi.
(A) teknik Head tilt chin lift

(B) tehnik jaw thrust maneuver

2) BREATHING
Breathing terdiri dari 2 tahap iaitu :
1) Memastikan korban tidak bernafas atau tidak.
Dengan cara melihat pergerakan naik turunya dada (look), mendengar
bunyi nafas (listen) dan merasakan hembusan nafas (feel), dengan teknik
penolong mendekatkan telinga diatas mulut dan hidung korban sambil tetap
mempertahankan jalan nafas tetap terbuka. Ini dilakukan tidak lebih dari 10
detik (gambar 2).
2) Memberikan bantuan nafas
Bantuan nafas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke
hidung, mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan). Bantuan nafas
diberikan sebanyak 2 kali, waktu tiap kali hembusan 1,5 – 2 detik.

3) CIRCULATION
Nilai sirkulasi darah korban dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis,
arteri femorsalis). Berikut merupakan langkah-langkah RJP yaitu :
1. Apabila terdapat denyut nadi maka berikan pernafasan buatan 2 kali
2. Apabila tidak terdapat denyut nadi maka lakukan kompresi dada sebanyak
30 kali
3. Posisi kompresi dada, dimulai dari melokasi processus xyphoideus dan
tarik garis ke kranial 2 jari diatas processus xyphoideus dan lakukan
kompresi kepada tempat tersebut (gambar 6).
4. Kemudain berikan 2 kali nafas buatan dan teruskan kompresi dada
sebanyak 30 kali. Ulangi siklus ini sebanyak 5 kali dengan kecepatan
kompresi 100 kali permenit. (gambar 7)

5. Kemudian check nadi dan nafas korban apabila :


a) Tidak ada nafas dan nadi: teruskan RJP sampai bantuan datang.
b) Terdapat naditetapi tidakan nafas : mulai lakukan lakukan
pernafasan buatan.
c) Terdapat nadi dan nafas : korban membaik.

5. Target Optimal Oksigen Dan Karbondioksida Pada Saat Dan Setelah Resusitasi
Pada Pasien Henti Jantung
Kebutuhan oksigen optimal untuk CPR dan setelah ROSC tetap tidak pasti.
Terlalu sedikit berbahaya, terlalu banyak bisa berbahaya, dan apa yang benar dan
bagaimana seharusnya diukur dan ditargetkan tidak pasti. Pedoman saat ini
merekomendasikan pemberian oksigen inspirasi maksimum yang layak selama RJP
berdasarkan pada premis bahwa mengembalikan kadar oksigen yang terkuras dan
memperbaiki hipoksia jaringan meningkatkan kelangsungan hidup. Data pengamatan
menunjukkan keterkaitan antara tekanan parsial oksigen arteri yang lebih tinggi
selama CPR dan peningkatan ROSC.6, 7, 8, 9
Karena keadaan curah jantung yang
rendah, meskipun pemberian fraksi oksigen yang diinspirasikan tinggi, tekanan
oksigen mitokondria jaringan target tidak mungkin tinggi.10 Setelah ROSC, oksigen
inspirasi harus dititrasi untuk mencapai saturasi oksigen normal (94-98%) setelah
oksidasi dapat dimonitor dengan oksimetri nadi.7,11
Studi observasional menunjukkan bahwa hipoksia setelah ROSC dikaitkan
dengan penurunan kelangsungan hidup untuk keluar dari rumah sakit. 12,13,14 Efek
hiperoksia setelah ROSC kurang pasti. Post-cardiac arrest syndrome termasuk cedera
reperfusi dan stres oksidatif, yang dapat menyebabkan kerusakan saraf. Hyperoxia
diduga meningkatkan stres oksidatif.10 Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa
hiperoksia segera setelah ROSC dikaitkan dengan hasil neurologis yang lebih buruk. 15
Sebuah RCT kecil dari pasien OHCA menunjukkan neuron-spesifik enolase (NSE),
penanda serum untuk cedera saraf, pada pasien pasca-ROSC yang diobati dengan
100% oksigen yang diinspirasikan dibandingkan dengan 30% oksigen inspirasi
selama 60 menit setelah ROSC (tidak ada kelompok menerima kontrol suhu apa
pun).16
Beberapa penelitian menunjukkan keterkaitan antara hiperoksia dan hasil
yang lebih buruk saat keluar dari rumah sakit (kelangsungan hidup secara
keseluruhan, atau kelangsungan hidup dengan fungsi neurologis yang baik) bila
dibandingkan dengan normoksia, sementara yang lain melaporkan tidak ada
hubungan. 7, 12, 49, 17-21 Studi-studi ini sulit ditafsirkan sebagai oksigen yang diilhami
tinggi mungkin merupakan penanda keparahan penyakit, studi belum melihat
oksigenasi segera setelah ROSC (periode waktu di mana penelitian pada hewan
menunjukkan bahaya), durasi aktual ('dosis') dari hiperoksia untuk masing-masing
pasien tidak diketahui dan dampak intervensi lain (misalnya kontrol suhu, target
karbon dioksida) tidak pasti. Sebuah studi kelayakan oksigen titrasi segera setelah
ROSC berjuang untuk mengukur saturasi oksigen yang andal untuk memungkinkan
titrasi oksigen terinspirasikan menggunakan bag-mask.23
Daftar pustaka

1. American Heart Association.2010.Part 4 Adult Basic Life Support in Circulation


Journal
2. Subagjo A, Achyar,Ratnaningsih E, sugiman T, Kosasih A,Agustinus
R.2011.Bantuan Hidup Jantung Dasar BSCL Indonesia.Edisi 2011.Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia ( PERKI)
3. Wiryana IM, Sujana IBG,Sinardja K, Budiarta IG. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. Jakarta: Indeks.2010
4. Latief S.A. Petunjuk Praktis Anestesologi. Edisi kedua. Penerbit FKUI.
Jakarta.2010
5. Miller RD.Anestesia, 5th ed.Churcill Livingstone. Philadelphia.2000.
6. Soar J, Nolan JP, Bottiger BW, Perkins GD, Lott C, Carli P, Pellis T, Sandroni C,
Skrifvars MB, Smith GB, et al. European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2015: Section 3. Adult advanced life support. Resuscitation.
2015;95:100–47.
7. Soar J, Callaway CW, Aibiki M, Bottiger BW, Brooks SC, Deakin CD, Donnino
MW, Drajer S, Kloeck W, Morley PT, et al. Part 4: advanced life support: 2015
international consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency
cardiovascular care science with treatment recommendations. Resuscitation.
2015;95:e71–120.
8. Spindelboeck W, Gemes G, Strasser C, Toescher K, Kores B, Metnitz P, Haas J,
Prause G. Arterial blood gases during and their dynamic changes after
cardiopulmonary resuscitation: a prospective clinical study. Resuscitation. 2016;
106:24–9.
9. Spindelboeck W, Schindler O, Moser A, Hausler F, Wallner S, Strasser C, Haas J,
Gemes G, Prause G. Increasing arterial oxygen partial pressure during
cardiopulmonary resuscitation is associated with improved rates of hospital
admission. Resuscitation. 2013;84(6):770–5.
10. Neumar RW. Optimal oxygenation during and after cardiopulmonary
resuscitation. Curr Opin Crit Care. 2011;17(3):236–40.
11. Nolan JP, Soar J, Cariou A, Cronberg T, Moulaert VR, Deakin CD, Bottiger BW,
Friberg H, Sunde K, Sandroni C. European resuscitation council and European
Society of Intensive Care Medicine Guidelines for postresuscitation care 2015:
Section 5 of the European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation
2015. Resuscitation. 2015;95:202–22.
12. Kilgannon JH, Jones AE, Shapiro NI, Angelos MG, Milcarek B, Hunter K,
Parrillo JE, Trzeciak S, Emergency Medicine Shock Research Network I.
Association between arterial hyperoxia following resuscitation from cardiac arrest
and in-hospital mortality. JAMA. 2010;303(21):2165–71.
13. Bellomo R, Bailey M, Eastwood GM, Nichol A, Pilcher D, Hart GK, Reade M
Egi M, Cooper DJ, Study of Oxygen in Critical Care G. Arterial hyperoxia and
inhospital mortality after resuscitation from cardiac arrest. Crit Care.
2011;15(2):R90.
14. Wang HE, Prince DK, Drennan IR, Grunau B, Carlbom DJ, Johnson N, Hansen
M, Elmer J, Christenson J, Kudenchuk P, et al. Post-resuscitation arterial oxygen
and carbon dioxide and outcomes after out-of-hospital cardiac arrest.
Resuscitation. 2017;120:113–8.
15. Pilcher J, Weatherall M, Shirtcliffe P, Bellomo R, Young P, Beasley R. The effect
of hyperoxia following cardiac arrest - a systematic review and metaanalysis of
animal trials. Resuscitation. 2012;83(4):417–22.
16. Kuisma M, Boyd J, Voipio V, Alaspaa A, Roine RO, Rosenberg P. Comparison of
30 and the 100% inspired oxygen concentrations during early postresuscitation
period: a randomised controlled pilot study. Resuscitation. 2006;69(2):199–206.
17. Janz DR, Hollenbeck RD, Pollock JS, McPherson JA, Rice TW. Hyperoxia is
associated with increased mortality in patients treated with mild therapeutic
hypothermia after sudden cardiac arrest. Crit Care Med. 2012; 40(12):3135–9.
18. Kilgannon JH, Jones AE, Parrillo JE, Dellinger RP, Milcarek B, Hunter K,
Shapiro NI, Trzeciak S, Emergency Medicine Shock Research Network I.
Relationship between supranormal oxygen tension and outcome after resuscitation
from cardiac arrest. Circulation. 2011;123(23):2717–22.
19. Elmer J, Scutella M, Pullalarevu R, Wang B, Vaghasia N, Trzeciak S, Rosario-
Rivera BL, Guyette FX, Rittenberger JC, Dezfulian C, et al. The association
between hyperoxia and patient outcomes after cardiac arrest: analysis of a high-
resolution database. Intensive Care Med. 2015;41(1):49–57.
20. Nelskyla A, Parr MJ, Skrifvars MB. Prevalence and factors correlating with
hyperoxia exposure following cardiac arrest--an observational single centre study.
Scand J Trauma Resusc Emerg Med. 2013;21:35.
21. Ihle JF, Bernard S, Bailey MJ, Pilcher DV, Smith K, Scheinkestel CD. Hyperoxia
in the intensive care unit and outcome after out-of-hospital ventricular fibrillation
cardiac arrest. Crit Care Resusc. 2013;15(3):186–90.
22. Vaahersalo J, Bendel S, Reinikainen M, Kurola J, Tiainen M, Raj R, Pettila V,
Varpula T, Skrifvars MB, Group FS. Arterial blood gas tensions after resuscitation
from out-of-hospital cardiac arrest: associations with long-term neurologic
outcome. Crit Care Med. 2014;42(6):1463–70.
23. Young P, Bailey M, Bellomo R, Bernard S, Dicker B, Freebairn R, Henderson
S,Mackle D, McArthur C, McGuinness S, et al. HyperOxic therapy OR NormOxic
therapy after out-of-hospital cardiac arrest (HOT OR NOT): a randomized
controlled feasibility trial. Resuscitation. 2014;85(12):1686–91.

Anda mungkin juga menyukai