Anda di halaman 1dari 9

Aprilia Polakitang

1701410298

Polikistik Ovarium

Definisi
Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan kumpulan gejala dan tanda dari
kelainan hiperandrogen serta anovulasi yang diakibatkan oleh gangguan sistem endokrin.
Kelainan ini dijumpai pada sekitar 20% perempuan umur reproduksi tanpa disertai adanya
penyakit primer pada kelenjar hipofisis atau kelenjar adrenal yang mendasari ataupun sindroma
cushing.
SOPK merupakan suatu sindroma yang memiliki kaitan erat dengan proses
inflamasi kronik, ditandai dengan adanya peningkatan C-reaktif protein (CRP), TNF-α dan
reseptor TNF tipe 2 serta interleukin 6 (IL-6). Pada umumnya penderita SOPK memiliki
timbunan lemak viseral yang banyak dan hal ini berhubungan dengan mekanisme
terjadinya resistensi insulin. Penumpukan lemak viseral memberikan efek parakrin dan
endokrin berupa peningkatan sekresi beberapa marker inflamasi.
Alasan yang paling sering menjadi penyebab pasien dengan sindroma ini datang ke
dokter ialah adanya gangguan pada siklus menstruasi, infertilitas, dan masalah obesitas serta
kelainan lainnya seperti hirsutisme dan akne.

Etiologi
Sampai saat ini, belum diketahui dengan pasti apa yang menyebabkan PCOS. Namun, ada
beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab PCOS, yaitu:

• Kelebihan hormon insulin


Hormon insulin adalah hormon yang menurunkan kadar gula dalam darah. Insulin yang berlebih
akan membuat tubuh meningkatkan produksi hormon androgen dan mengurangi sensitivitas
tubuh terhadap insulin.
• Faktor genetik
Hal ini karena sebagian penderita PCOS juga memiliki anggota keluarga yang menderita PCOS.

Epidemiologi
SOPK merupakan kondisi kelainan endokrin yang menyerang sekitar 5- 10%
wanita pada usia reproduktif. Angka kejadian ini bergantung pada populasi yang diteliti,
prevalensi teritinggi yang pernah dilaporkan adalah 26%.
Meskipun masih diperdebatkan konsensus mana yang digunakan untuk menegakkan diagnosis
SOPK, namun angka kejadiannya dipastikan meningkat dari waktu ke waktu.
Aprilia Polakitang
1701410298

Patofisiologi SOPK

Hingga saat ini, penyebab SOPK masih belum diketahui sepenuhnya.

Berbagai sumber menjelaskan bahwa SOPK terjadi akibat interaksi kompleks antara

faktor genetik dan lingkungan. Dengan berkembangnya teknologi, fokus penelitian

untuk mencari penyebab SOPK terus berubah, dari faktor ovarium, poros

hipotalamus-hipofisis-ovarium, hingga gangguan aktivitas insulin. Ketiga faktor ini

saling berinteraksi dalam mengatur fungsi ovarium.

Faktor genetik pada pasien SOPK diperkirakan terjadi penurunan autosomal

dominan atau terpaut-X. Selain itu, juga dilaporkan adanya penetrasi inkomplit,

penurunan poligenik, dan faktor epigenetik, mutasi tungal juga dapat menghasilkan

fenotip SOPK. Salah satunya adalah polimorfisme pada gen 17- hidroksilase atau

enzim CYP 17 yang berperan dalam produksi androgen.

Lingkungan endokrin pada perempuan dengan anovulasi kronik cenderung berada


pada tahap stabil, yang berarti konsentrasi gonadotropin dan steroid seks cenderung stabil.
Hal ini berbeda dengan konsentrasi siklik pada perempuan normal.

Kelainan Androgen

Hiperandrogenisme adalah salah satu tanda pasien dengan SOPK, ini

diakibatkan produksi berlebih pada ovarium dan kelenjar suprarenal. Sekitar 60-

80% pasien dengan SOPK memiliki konsentrasi Testosteron yang tinggi di sirkulasi.

Androgen yang meningkat pada SOPK mencakup Testosteron, androstenedion,

dehidroepiandosteron (DHEA), dehidroepiandosteron sulfat (DHEA-S), dan

17hidroksiprogesteron (17-OHP). Peningkatan produksi androgen ovarium

disebabkan oleh peningkatan stimulasi bioaktivasi LH oleh insulin. Belum ada


Aprilia Polakitang
1701410298

penjelasan mengapa produksi androgen oleh kelenjar suprarenal juga meningkat

pada SOPK.

Ovarium polikistik memiliki lapisan teka yang tebal dan pada uji in vitro,

ovarium polikistik mensekresikan androgen dalam jumlah besar pada keadaan basal

maupun terhadap stimulasi LH. Belum diketahui penyebab pasti hiperaktivitas ini,

tetapi diperkirakan terdapat gangguan jalur sinyal intrasel.

Gangguan Folikulogenesis

Jumlah folikel primer, sekunder, dan antral kecil pada ovarium polikistik adalah 2-6
kali lebih banyak dibandingkan ovarium normal. Mekanisme yang mendasari hal ini belum
sepenuhnya diketahui, tetapi tampaknya berhubungan dengan gangguan signaling
androgen. Pada beberapa penelitian dilaporkan adanya korelasi positif antara jumlah
folikel dengan kadar Testosteron dan androstenedion serum. Penyuntikan
dihidroTestosteron pada monyet juga menghasilkan morfologi serupa SOPK, yaitu
peningkatan volume ovarium dan jumlah folikel.
Selain efek androgen pada folikel, jumlah folikel yang berlebih juga

mempengaruhi laju perkembangan folikel. Pada SOPK, folikel berkembang dengan

lambat, yang mungkin disebabkan defisiensi sinyal pertumbuhan dari oosit atau efek

inhibisi AMH (Anti Mullerian Hormon) yang berlebih.

Folikel yang berlebih pada SOPK berhenti berkembang ketika diameternya

kurang dari 10 mm, yaitu pada tahap sebelum munculnya folikel dominan.

Berhentinya perkembangan folikel ( follicular arrest ) ini berhubungan dengan

stimulasi insulin yang berlebih, LH yang meningkat dan, lingkungan hiperandrogen,

yang menyebakan tingginya konsentrasi cAMP di dalam sel granulosa. Kadar cAMP

intraseluler yang tinggi akan menghasilkan diferensiasi terminal sel granulosa

sebelum waktunya. Diferensiasi prematur ini menyebabkan sel granulosa bereaksi


Aprilia Polakitang
1701410298

terhadap stimulasi LH untuk mensekresikan estrogen dan progesteron ketika ukuran

folikel ≤ 8 mm.

Insulin juga meningkatkan respon sel granulosa terhadap LH, yang ditunjukkan oleh

adanya luteinisasi prematur pada ovarium pasien SOPK dengan hiperinsulinemia.

Sel granulosa pada SOPK menunjukkan adanya resistensi insulin selektif dimana

terjadi resistensi pada jalur metabolisme glukosa, tetapi tidak pada jalur

steroidogenesis.

Gangguan metabolisme glukosa ini juga tampak berhubungan dengan anovulasi pada

SOPK.

Pada SOPK yang berovulasi, hanya terjadi hipersekresi androgen oleh folikel

sedangkan SOPK anovulasi, terjadi hipersekresi androgen dan estrogen. Estrogen

dalam jumlah besar yang dihasilkan oleh berbagai folikel tersebut memberikan

umpan balik negatif terhadap FSH.

Gangguan Sekresi Gonadotropin

Pada SOPK terjadi hipersekresi LH dengan kadar FSH yang normal atau

cenderung rendah sehingga rasio LH : FSH menjadi besar. Peningkatan kadar LH

disebabkan karena perubahan pola sekresi, terutama peningkatan frekuensi

pulsatilitas LH menjadi 1 pulsasi/jam. Kada FSH yang lebih rendah disebabkan oleh

peningkatan kadar estradiol, estron, dan inhibin B.

Kadar FSH yang secara relatif lebih rendah menyebabkan gangguan

perkembangan folikel, dan tingginya kadar LH meningkatkan produksi androgen

pada ovarium. Konsentrasi androgen yang tinggi pada SOPK menyebabkan

desensitisasi hipotalamus terhadap umpan balik negatif progesteron, yang bersifat


Aprilia Polakitang
1701410298

reversibel bila diberikan obat anti-androgen. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan

sekresi gonadotropin pada SOPK merupakan dampak sekunder dari gangguan

sekresi steroid pada ovarium atau kelenjar suprarenal.

Diagnosis Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)

Tidak ada tes yang dapat dilakukan untuk langsung mendiagnosis PCOS. Oleh
karena itu, biasanya dokter akan menanyakan ada tidaknya gejala polycystic ovarian
syndrome pada penderita. Selain itu, dokter juga akan melakukan pemeriksaan fisik untuk
menemukan tanda-tanda dari penyakit ini.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk melihat adanya pertumbuhan rambut berlebih
atau adanya jerawat yang parah. Pemeriksaan fisik ini juga termasuk pemeriksaan dalam
untuk memeriksa organ reproduksi wanita.
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan, dokter akan melakukan pemeriksaan
penunjang yang meliputi:

• Tes darah, untuk memeriksa kadar hormon androgen, tes toleransi terhadap gula darah,
dan kadar kolestrol yang sering kali meningkat pada penderita PCOS.
• USG panggul, untuk memeriksa ketebalan lapisan rahim pasien dengan bantuan
gelombang suara.

Jika penderita sudah dipastikan menderita PCOS, maka dokter akan melakukan
sejumlah tes lain untuk mendeteksi komplikasi yang mungkin terjadi akibat PCOS.

Pengobatan Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)

Pengobatan bagi tiap penderita PCOS berbeda-beda, tergantung pada gejala yang
dialaminya, seperti kemandulan, hirsutisme, atau jerawat parah. Secara umum, PCOS
dapat ditangani dengan beberapa cara berikut ini:

Non Medikamentosa

Dokter akan merekomendasikan olahraga dan diet rendah kalori untuk


menurunkan berat badan. Hal ini karena gejala sindrom ovarium polikistik akan mereda
seiring penurunan berat badan penderita. Olahraga juga berguna untuk meningkatkan
efektivitas obat dan membantu meningkatkan kesuburan penderita PCOS.

Medikamentosa
Aprilia Polakitang
1701410298

Dokter dapat memberikan kombinasi pil KB dengan obat lain untuk mengontrol
siklus menstruasi. Hormon estrogen dan progesteron dalam pil KB dapat menekan
produksi hormon androgen dalam tubuh. Dokter juga dapat merekomendasikan konsumsi
hormon progesteron saja selama 10-14 hari selama 1-2 bulan. Penggunaan hormon ini
dapat mengatur siklus haid yang terganggu.

Obat-obatan lain yang dapat digunakan untuk menormalkan kembali siklus haid
dan membantu ovulasi adalah:

• Clomifene
• Letrozole
• Metformin

Selain pil KB, untuk mengurangi gejala hirsutisme akibat hormon androgen yang
berlebih, dokter dapat memberikan obat spironolactone. Spironolactone dapat menangkal
efek androgen pada kulit, yaitu tumbuhya rambut yang lebat dan jerawat yang parah.

Komplikasi Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)

PCOS yang tidak ditangani dapat membuat penderitanya


berisiko mengalami komplikasi berikut ini:

• Gangguan tidur
• Gangguan makan
• Gangguan kecemasan dan depresi
• Kemandulan
• Keguguran atau kelahiran bayi prematur
• Hipertensi saat hamil
• Diabetes dan diabetes gestasional
• Hepatitis
• Sindrom metabolik
• Kanker endometrium
Aprilia Polakitang
1701410298

Pencegahan Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS)

PCOS sulit dicegah, tetapi dengan menjaga berat badan ideal, gejala dan risiko
komplikasinya dapat dikurangi. Berikut adalah cara yang bisa dilakukan untuk menjaga
berat badan ideal:

• Batasi konsumsi makanan manis


• Perbanyak konsumsi serat
• Olahraga secara teratur
Aprilia Polakitang
1701410298

DAFTAR PUSTAKA

1. Stefano, P., Angela, F., Giovanni, B.L.S., 2014. Metformin and


gonadotropins for ovulation induction in patiens with polycystic ovary
syndrome : a systematic review with meta-analysis of randomized
controlled trials. Reproductive Bilogy and Endocrinology. (serial online),
[cited 2015 oktober 21]. Available from : URL :
http://www.rbej.com/content/12/1/3.

2. Andon, H., dkk., 2013. Sindroma Ovarium Polikistik. Current Updates in


Polycystic Ovary Sindrome, Endometriosis, Adenomyosis. Andon, H.,
dkk. Sagung Seto, Jakarta. P 1-52
3. Richard, S.L., et al. 2013. Diagnosis and treatment of Polycystic Ovary
Syndrome : An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. Clinical
Guideline Endocrine Society’s.
4. Fritz, M.A, Speroff, L., 2011. Chronic Anovulation and the Polycystic
Ovary Syndrome. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility 8th
Edition. Lippincott Williams & Wilkins. P 495-529
5. Jeffrey R.C., 2014. Polycystic Ovary Syndrome and Hyperandrogenic
States. Jerome, F.S., Robert L.B. Yen & Jaffe’s Reproductive
Endocrinology. 7th Edition.Elsevier Sandera P 485- 511

6. Jennifer, F.K., Tammy, L.L, Sarah, L.B., 2010. An algorithm for


treatment of infertile women with polycystic ovary syndrome. Middle
East Fertility Society Journal. (serial online), [cited 2015 oktober 21].
Available from : URL : www.mefsjournal.com.
Aprilia Polakitang
1701410298

7. Dimitrios, P., et al. 2013. Infertilty treatment in Polycystic Ovary


Syndrome : Lifestyle intervention, medication and surgery. Polycystic
syndrome, Novel Insight into Causes and Therapy. Horn Res. Basel,
Karger, vol 40, p 128-141.
8. Lavanya, R., et al. 2012. Polycystic ovaries and infertility : Our
Experience. J Human Reproductive Society Vol 1. P 65-72.

Anda mungkin juga menyukai