Anda di halaman 1dari 2

BAB II

PEMBAHASAN

Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya status kesehatan wanita :
1. Masyarakat / Budaya
a. Wanita yang subur (fertile) akan meningkatkan status suami
b. Keturunan yang banyak dapat meningkatkan sumber daya keluarga
Masyarakat Indonesia sejak dulu mengenal ungkapan yang mengatakan banyak anak
banyak rejeki. Bagi sebagian kalangan ungkapan tersebut diakui kebenarannya, karena
mereka menganggap, kelahiran seorang anak dalam keluarga akan membawa rejekinya
sendiri-sendiri.Oleh karenanya bagi kalngan masyarakat ini jumlah anak dalam
keluarga umunya lebih dari dua, atau lebih dari yang disarankan BKKBN yang
slogannya “Dua anak cukup,laki-laki atau perempuan sama saja”. Namun pada
sebagian masyarakat tertentu, kebijaksanaan program KB yang tertuang dalam slogan
tersebut dinilai masih sulit diterima. Masyarakat Tionghoa misalnya yang masih
menganggap bahwa anak laki-laki dengan perempuan memiliki nilai social budaya
yang berbeda. Mereka menganggap bahwa anak laki-laki nantinya akan mewarisi
marga keturunan bapaknya. Karena anggapan ini pula ada warga masyarakat yang
belum berhenti punya anak jika belum memperoleh anak laki-laki.Preferensi jenis
kelamin laki-laki juga ditemukan pada masyarakat suku Batak, dan Bali. Pandangan
tidak akan berhenti punya anak jika belum memiliki anak laki-laki atau perempuan ini
berdampak besar bagi kesehatan ibu karena meningkatkan resiko kematian ibu, salah
satu komplikasi yang mungkin dialami adalah perdarahan saat persalinan.
c.Status Wanita dipandang Rendah
Dewasa ini status wanita masih dipandang lebih rendah daripada status laki-laki.
Apabila pasangan suami istri mengalami infertile, kebanyakan masyarakat
menganggap wanitalah yang mandul. Sama seperti masyarakat suku Jawa yang
menganut budaya patriaki, dimana seorang kepala keluarga atau laki-laki adalah orang
yang paling berkuasa dikeluarga sehingga budaya ini dapat menimbulkan anggapan
bahwa kesehatan reproduksi adalah masalah perempuan sehingga berdampak
kurangnya antisipasi, kepedulian laki-laki dalam kesehatan reproduksi.
d. Wanita yang tidak subur (infertile) akan dicerai
Dalam kehidupan budaya di Indonesia nilai anak memang masih memiliki arti yang
begitu penting. Ketiadaan anak dalam perkawinan pada waktu lama akan menjadi
masalah, karena keadaan ini akan mengancam keutuhan rumah tangga. Dibeberapa
daerah dalam suatu Negara, infertilitas sering merupakan pemicu terjadinya
ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian atau pengucilan dalam masyarakat
(WHO,1994). Hasil penelitian Hull dan Tukiran (1976) mengenai infertilitas di
Indonesia juga menguatkan isu tersebut. Ditemukan bahwa 1) perempuan infertile
lebih berkemungkinan dicerai atau dimadu (polyginy) ; 2) distigmatisasi ; 3)
perempuan infertile mempunyai kesulitan menemukan fullfil role didalam
komunitasnya sehingga mengalami mobilitas social ; 4) pasangan infertile
menghabiskan banyak waktu dan biaya dalam upaya menemukan ‘perawatan’ bagi
kondisi mereka ; 5) kasus infertilitas bisa menjadi sumber rasa malu pada perempuan
yang telah menikah. Masalah perceraian secara normative dilegitimasi Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana dinyatakan pasangan suami istri
boleh melakukan perceraian atau menikah lagi bila istri tidak sanggup lagi
menjalankan kewajibannya atau memiliki cacat atau kelainan tetap. Dampak lanjutan
dari situasi ini adalah pemberian label yang tidak menguntungkan bagi kaum
perempuan. Label duda dan janda sebenarnya memiliki nilai yang sama secara social,
namun secara budaya, konotasi janda akibat pereraian selalu berkonotasi negative
dimata masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai