Anda di halaman 1dari 23

DELIRIUM

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik


di Bagian/ SMF Ilmu Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

disusun oleh :

SHELLA JOBIWARMA CHANIAGO


NIM. 1407101030247

Pembimbing:

dr.Ibrahim Puteh, Sp.KJ

SMF/ BAGIAN ILMU JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI ACEH

BANDA ACEH

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tugas refrat yang berjudul “DELIRIUM” dapat
diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Karya ilmiah ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Jiwa Fakultas Kedokteran Unsyiah RSUD dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr.Ibrahim Puteh, Sp.KJ yang telah
bersedia meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan tugas ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan
dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat diselesaikan.

Banda Aceh, 24 Oktober 2019


Wassalam,

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i

KATA PENGANTAR........................................................................................ ii

DAFTAR ISI....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6

BAB III KESIMPULAN.................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 22

3
BAB I

PENDAHULUAN

Delirium adalah sindrom, bukan suatu penyakit jadi sindrom delirium adalah kondisi
yang sering dijumpai pada pasien geriatri di rumah sakit. Sindrom ini sering tidak
terdiagnosis dengan baik saat pasien berada di rumah (akibat kurangnya kewaspadaan
keluarga) maupun saat pasien sudah berada di unit gawat darurat atau unit rawat jalan. Gejala
dan tanda yang tidak khas merupakan salah satu penyebabnya. Setidaknya 32% - 67% dari
sindrom ini tidak terdiagnosis, padahal kondisi ini dapat dicegah. Literature lain
menyebutkan bahwa 70% dari kasus sindrom delirium tidak terdiagnosis atau salah terapi.
Sindrom delirium sering muncul sebagai keluhan utama atau tak jarang justru terjadi pada
hari pertama pasien dirawat dan menunjukkan gejala yang berfluktuasi.

Salah satu gangguan yang berkaitan dengan penurunan daya konsentrasi/masalah


pemusatan perhatian adalah delirium. Delirium adalah keadaan dimana penderita mengalami
penurunan kemampuan dalam memusatkan perhatiannya dan menjadi linglung, mengalami
disorientasi dan tidak mampu berfikir secara jernih. Gangguan delirium ini biasanya bersifat
sementara dan biasanya terjadi secara mendadak.

Delirium merupakan suatu keadaan mental yang abnormal dan bukan merupakan
suatu penyakit. Gangguan ini dapat terlihat dengan ditemukannya sejumlah gejala yang
menunjukkan penurunan fungsi mental. Berbagai keadaan atau penyakit seperti dehidrasi
ringan sampai keracunan obat atau infeksi yang bisa berakibat fatal, bisa menyebabkan
delirium.

Gangguan delirium ini sendiri paling sering terjadi pada usia lanjut dan penderita
yang otaknya telah mengalami gangguan, termasuk di sini adalah orang yang sakit berat,
orang yang mengkonsumsi obat yang menyebabkan perubahan pikiran atau perilaku dan
orang yang mengalami demensia.

Melihat dari pengertian di atas, mungkin dapat dikatakan bahwa perbedaan antara
delirium dengan beberapa penyakit/gangguan yang berkaitan dengan masalah penurunan
konsentrasi adalah bahwa delirium ini bersifat sementara dan bukan merupakan suatu
penyakit.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Delirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan
variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Delirium ditandai oleh gangguan kesadaran,
biasanya terlihat bersamaan dengan fungsi gangguan kognitif secara global. Kelainan mood,
persepsi dan perilaku adalah gejala psikiatrik yang umum; tremor, asteriksis, nistagmus,
inkoordinasi dan inkontinensia urin merupakan gejala neurologis yang umum.

Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau hari),
perjalanan yang singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika faktor penyebab
diidentifikasi dan dihilangkan. Tetapi masing-masing ciri karakteristik tersebut dapat
bervariasi pada pasien individual. Delirium dapat terjadi pada berbagai tingkat usia namun
tersering pada usia diatas 60 tahun. Menggigau merupakan gejala sementara dan dapat
berfluktuasi intensitasnya, kebanyakan kasus dapat sembuh dalam waktu 4 minggu atau
kurang. Akan tetapi jika delirium dengan fluktuasi yang menetap lebih dari 6 bulan sangat
jarang dan dapat menjadi progresif kearah demensia.

2.2 Epidemiologi

Delirium adalah sindrom neuropsikiatrik yang sering dialami oleh pasien rawat inap
paliatif. Usia lanjut adalah factor risiko untuk perkembangan delirium. Kira-kira 30%-40%
pasien rawat di rumah sakit yang berusia lebih dari 65 tahun mempunyai suatu episode
delirium. Faktor predisposisi lainnya untuk perkembangan delirium adalah cedera otak yang
telah ada sebelumnya, riwayat delirium, ketergantungan alkohol, diabetes, kanker, gangguan
sensoris dan malnutrisi. Adanya delirium merupakan tanda prognostik yang buruk.

Menurut teks Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorders edisi keempat


(DSM-IV-TR) prevalensi delirium merupakan kelainan yang sering pada sekitar 10%-15%
adalah pasien bedah dan 15%-25% pasien perawatan medis di rumah sakit. Sekitar 30%
pasien dirawat di ICU bedah dan ICU jantung. 40-50 pasien yang dalam masa penyembuhan
dari tindakan bedah pinggul memiliki episode delirium. Usia lanjut merupakan faktor resiko

5
dari terjadinya delirium, sekitar 30%-40% dari pasien yang dirawat berusia 65 tahun dan
memiliki episode delirium.

2.3 Patofisiologi

Pada pasien dengan autisme, studi neuroanatomik dan neuroimaging mengungkapkan


kelainan konfigurasi seluler di beberapa daerah otak, termasuk lobus frontal dan temporal
serta otak kecil. Pembesaran amigdala dan hippocampus sering terjadi pada masa kanak-
kanak. Jelas lebih banyak neuron hadir dalam divisi pilih korteks prefrontal spesimen autopsi
beberapa anak dengan autisme, dibandingkan dengan mereka yang tanpa autisme. Studi
magnetic resonance imaging (MRI) telah menyarankan bukti untuk perbedaan dalam
neuroanatomy dan konektivitas pada orang dengan autisme dibandingkan dengan kontrol
normal. Secara khusus, penelitian ini telah menemukan konektivitas yang berkurang atau
atipikal di daerah otak frontal, serta penipisan corpus callosum pada anak-anak dan orang
dewasa dengan autisme dan kondisi terkait. (Just MA et al., 2014)

Dalam sebuah penelitian yang melibatkan 17 orang dewasa dengan autisme yang
berfungsi tinggi dan 17 subjek kontrol yang disesuaikan dengan usia dan IQ, pencitraan
resonansi magnetik fungsional (fMRI) otak yang menunjukkan representasi saraf dari
interaksi sosial mampu mengidentifikasi individu dengan autisme secara akurat. Pemindaian
dilakukan ketika subjek penelitian memikirkan seperangkat kata kerja interaksi sosial baik
dari perspektif aksi maupun penerima. Yang penting, beberapa perbedaan regional dalam
neuroanatomy berkorelasi secara signifikan dengan keparahan gejala autistik spesifik.
Misalnya, defisit sosial dan bahasa pada orang dengan autisme kemungkinan terkait dengan
disfungsi lobus frontal dan temporal. (Stoner R et al., 2014)

Dalam sebuah studi jaringan otak postmortem dari 11 anak autis dan 11 kontrol yang
tidak terpengaruh, peneliti menemukan gangguan fokus arsitektur kortikal laminar di korteks
10 anak dengan autisme dan 1 kontrol, menunjukkan bahwa penyimpangan otak pada
autisme mungkin telah terjadi sebelum kelahiran. asal Bercak neuron abnormal ditemukan di
lobus frontal dan temporal, daerah yang terlibat dalam fungsi sosial, emosional, komunikasi,
dan bahasa. Karena perubahan itu dalam bentuk tambalan, para peneliti percaya bahwa
perawatan dini dapat memperbaiki otak dan meningkatkan gejala ASD. (Carmody DP et al.,
2010)

6
Pada pemindaian MRI, otak anak-anak dengan kelainan spektrum autisme
menunjukkan mielinisasi yang lebih besar pada korteks frontal medial bilateral dan
mielinisasi yang lebih sedikit pada persimpangan temporoparietal kiri. Demikian pula,
perbedaan spesifik wilayah dalam konsentrasi materi abu-abu, yang terdiri dari sel-sel sel
saraf, dendrit, akson tanpa selenium dan sel glial, juga ditemukan pada otak orang dengan
autisme. Spesimen postmortem dari otak orang dengan autisme menunjukkan pengurangan
untuk reseptor gamma-aminobutyric acid-B (GABAB) di korteks cingulate, wilayah kunci
untuk evaluasi hubungan sosial, emosi, dan kognisi, dan dalam fusiform gyrus, yang penting
wilayah untuk mengevaluasi wajah dan ekspresi wajah. Temuan ini memberikan dasar untuk
penyelidikan lebih lanjut autisme dan gangguan perkembangan meresap lainnya. (Oblak et
al., 2010)

2.4 Etiologi

a. Komplikasi Obstetrik

Banyak individu dengan autisme dan kondisi terkait mengalami kejadian yang tidak
diinginkan pada periode prenatal dan neonatal dan selama persalinan. Tidak jelas apakah
komplikasi obstetri menyebabkan gangguan autistik atau apakah komplikasi autisme dan
obstetri disebabkan oleh masalah lingkungan atau lainnya. Dalam sebuah penelitian besar di
Denmark yang dipublikasikan di JAMA, penggunaan valproate ibu selama kehamilan
dikaitkan dengan peningkatan risiko autisme pada anak secara signifikan. Obat ini sudah
tidak direkomendasikan untuk digunakan pada wanita hamil karena risiko cacat bawaan dan
kemungkinan hubungannya dengan kecerdasan rendah pada anak-anak yang terpapar selama
kehamilan. (Brasic et al., 2007)

Para peneliti menggunakan data pada semua anak yang lahir di Denmark antara tahun
1996 dan 2006. Dari 655.615 anak yang lahir pada periode penelitian, 5437 memiliki
kelainan spektrum autisme, termasuk 2067 dengan autisme masa kecil. Ada 2644 anak yang
terpapar obat antiepilepsi selama kehamilan, 508 di antaranya terpapar valproate. Analisis
menunjukkan bahwa anak-anak yang terpapar valproate memiliki peningkatan risiko 3 kali
lipat untuk gangguan spektrum autisme dan peningkatan risiko 5 kali lipat untuk autisme
masa kanak-kanak yang mendalam dibandingkan dengan anak-anak yang tidak terpapar,
bahkan setelah penyesuaian untuk penyakit kejiwaan orang tua dan epilepsi. (Glasson EJ et
al., 2004)

7
Manajemen wanita dengan epilepsi yang berkeinginan untuk melahirkan anak bisa
menjadi tantangan. Seorang wanita dengan gangguan kejang yang sedang berlangsung
membutuhkan perawatan karena kejang ibu dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas
yang serius bagi ibu dan janin. Untuk menghentikan terapi antikonvulsan ketika seorang
wanita dengan gangguan kejang menjadi hamil untuk menghindari efek teratologis dapat
memicu kejang yang tidak terkontrol yang mungkin berakibat fatal bagi ibu dan janin. Oleh
karena itu dokter yang merawat wanita dengan potensi mengandung anak dapat dengan tepat
memulai percakapan terbuka tentang kehamilan di masa depan. Epilepsi mioklonik remaja
dan gangguan kejang lainnya biasanya menyebabkan kejang selama dewasa sehingga
farmakoterapi sepanjang masa dewasa adalah rencana perawatan yang wajar. Sementara
valproate adalah agen yang sangat baik untuk mengendalikan spektrum yang luas dari
gangguan kejang, penggunaannya pada wanita yang berpotensi mengandung anak penuh
dengan bahaya karena risiko besar menghasilkan gangguan spektrum autisme, spina bifida,
dan cacat lahir lainnya. Percakapan yang jujur antara dokter dan wanita yang berpotensi
mengandung anak tentang risiko dan manfaat obat antiepilepsi spesifik untuk ibu dan janin
diindikasikan. Dokumentasi percakapan ini adalah catatan medis diperlukan. Catatan ini
mungkin berguna di pengadilan jika tindakan hukum dimulai jika seorang anak memiliki
cacat lahir. (Croen et al., 2011)

Paparan ibu terhadap inhibitor reuptake serotonin selektif, terutama selama trimester
pertama, dapat meningkatkan risiko bahwa keturunannya akan mengembangkan kelainan
spektrum autisme. Hipotiroxinemia maternal pada usia kehamilan dini dikaitkan dengan
peningkatan risiko memiliki anak autis, menurut sebuah studi baru yang melibatkan 5.100
wanita dan 4039 anak-anak mereka. Hipotiroxinemia ibu yang parah pada awal kehamilan
meningkatkan kemungkinan memiliki anak autis hingga hampir 4 kali lipat. Pada usia 6,
anak-anak dari ibu dengan hipotiroxinemia berat memiliki skor gejala autis yang lebih tinggi
pada subskala Masalah Perkembangan Pervasif dari Daftar Perilaku Anak dan Skala Respons
Sosial. (Glasson EJ et al., 2004)

b. Faktor Keluarga dan Genetik

Autisme pada anak-anak yang lahir dalam keluarga yang sudah memiliki anak
dengan gangguan spektrum autisme adalah setinggi 18,7%, dan risikonya dua kali lebih
tinggi pada anak-anak yang lahir dari keluarga dengan 2 atau lebih anak-anak dengan
gangguan spektrum autism. Anak perempuan yang lahir dari keluarga yang memiliki anak

8
dengan gangguan spektrum autisme memiliki risiko 2,8 kali lipat mengalami gangguan
seperti itu. Suatu studi kembar telah menunjukkan derajat heritabilitas genetik derajat sedang
untuk gangguan autisme dan spektrum autisme, dengan lingkungan membuat kontribusi besar
untuk pengembangan kondisi ini pada subjek penelitian. (Hallmayer et al., 2011)

Berbagai studi terhadap keluarga telah menyarankan komponen genetik dalam banyak
kasus autisme. Sebagai contoh, beberapa kerabat tingkat pertama asimptomatik dari beberapa
proband dengan autisme memiliki kelainan pada serotonin dan bahan kimia lain yang mirip
dengan proband. Menemukan basis genetik untuk autisme adalah tujuan penelitian yang
menjanjikan. Analisis faktor dataset dari Proyek Genom Autisme telah menyarankan
keterkaitan faktor perhatian bersama dengan 11q23 dan faktor perilaku motorik sensorik
berulang dengan 19q13. Namun, kegunaan klinis dari penilaian keluarga individu dengan
autisme belum ditetapkan. Sementara sepertiga dari kembar monozigot sesuai untuk autisme,
kembar dizigotik sesuai untuk autisme pada tingkat 4-8%, yang sebanding dengan saudara
kandung. Evaluasi neurogenetik terfokus pada anak-anak dengan kelainan spektrum autisme
menghasilkan kelainan genetik pada dua perlima anak-anak. Misalnya, mutasi pada gen
SHANK3 dikaitkan dengan gangguan spektrum autisme. (Durand et al., 2007)

Sindrom X Fragile, suatu kondisi yang berhubungan dengan autisme, dapat


diidentifikasi melalui pengujian genetik. Antagonis terhadap reseptor metabotropik glutamat
dapat membalik gejala pada model tikus dari sindrom X rapuh. Autisme juga dikaitkan
dengan tuberous sclerosis, kelainan dengan mutasi genetik tertentu. (Hallmayer et al., 2011)

c. Paparan Toksik

Paparan terhadap racun, bahan kimia, racun, dan zat lain telah diduga
menyebabkan autisme. Meskipun laporan kasus anekdotal menunjukkan bahwa paparan
seperti itu dapat memainkan peran dalam kasus terisolasi autisme, peran kausatif untuk racun
dalam pengembangan autisme secara umum belum ditunjukkan. Roberts et al telah
melaporkan hubungan antara paparan pestisida organoklorin dicofol dan endosulfan selama
trimester pertama kehamilan dan perkembangan selanjutnya dari gangguan spektrum autisme
pada anak-anak. Calon ibu yang bijaksana dapat disarankan untuk menghindari paparan
pestisida organoklorin. Di beberapa bagian dunia, paparan racun tertentu dapat memengaruhi
tingkat autisme lokal. Sebagai contoh, tingginya insiden autisme di daerah Jepang telah
dihipotesiskan karena efek racun dari ikan tertentu. Meskipun racun dapat berperan dalam
pengembangan kasus autisme yang terisolasi di Jepang, mereka belum terbukti secara umum

9
menjadi penyebab autisme di sana. Penjelasan lain yang mungkin untuk tingginya tingkat
autisme di Jepang adalah pelatihan yang sangat baik dari dokter Jepang; tingkat rendah di
tempat lain dapat mencerminkan kemampuan terbatas dokter untuk mendiagnosis autisme.
(Roberts et al., 2007)

d. Usia orang tua

Meta-analisis dari studi epidemiologi telah menunjukkan bahwa risiko autisme pada
anak meningkat dengan bertambahnya usia kedua orang tua. Sandin et al melaporkan bahwa,
setelah mengendalikan usia ayah, risiko relatif yang disesuaikan untuk autisme adalah 1,52
pada keturunan ibu yang berusia 35 tahun atau lebih tua dibandingkan dengan ibu yang
berusia 25-29 tahun. Hultman et al menemukan bahwa, setelah mengendalikan usia ibu, anak
laki-laki berusia 50 tahun atau lebih tua 2,2 kali lebih mungkin memiliki autisme daripada
anak laki-laki berusia 29 tahun atau lebih muda. (Sandin et al., 2012) (Hultman et al., 2011)

e. Vaksinasi

Beberapa anak telah mengembangkan autisme setelah imunisasi, termasuk inokulasi


untuk campak, gondong, dan rubella. Namun, beberapa penelitian populasi tidak
menunjukkan hubungan antara imunisasi anak dan pengembangan autisme dan kondisi
terkait. Thompson dan rekannya mendeteksi tidak ada hubungan sebab akibat antara paparan
vaksin yang mengandung defisit thimerosal dan neuropsikologis pada usia 7-10 tahun.
Faktanya, pada awal 2010, Lancet menarik kembali artikel 1998 oleh Wakefield et al yang
awalnya mengaitkan autisme dengan vaksinasi campak-mumps-rubella (MMR), mengutip
kekurangan dalam penelitian dan 2 klaim di dalamnya yang "terbukti terbukti." salah. "
Orang tua dapat mengizinkan imunisasi anak yang direkomendasikan tanpa takut
menyebabkan autisme dan kondisi terkait. Kepatuhan terhadap jadwal imunisasi yang
direkomendasikan, termasuk imunisasi untuk campak, gondong, dan rubela, sangat
dianjurkan. (newschaffer et al., 2005)

2.5 Diagnosis dan Asesmen

2.5.1 Penilaian klinis

10
Macam-macam perilaku dan perkembangan yang mengarah ke autisme meliputi
(newschaffer et al., 2005) :

a. Regresi perkembangan

b. Tidak adanya penunjukan protodeclarative

c. Reaksi abnormal terhadap rangsangan lingkungan

d. Interaksi sosial yang tidak normal

e. Tidak adanya permainan simbolik

f. Perilaku berulang dan stereoti9

Regresi perkembangan

Antara 13% dan 48% orang dengan autisme tampaknya perkembangan normal sampai
usia 15-30 bulan, ketika mereka kehilangan keterampilan komunikasi verbal dan nonverbal.
Orang-orang ini mungkin memiliki kerentanan bawaan untuk mengembangkan autisme.
Meskipun regresi dapat dipicu oleh peristiwa lingkungan (misalnya, paparan imun atau
toksik), lebih mungkin terjadi secara kebetulan dengan peristiwa lingkungan lainnya.

Protodeclarative

Menunjuk Protodeclarative adalah penggunaan jari telunjuk untuk menunjukkan item


yang menarik bagi orang lain. Balita biasanya belajar menggunakan penunjuk protodeklaratif
untuk mengomunikasikan keprihatinan mereka terhadap suatu objek kepada orang lain. Tidak
adanya perilaku ini merupakan prediksi diagnosis autisme di kemudian hari. (Lee MS et al.,
2011)

Kehadiran poin protodeclarative dapat dinilai dengan wawancara orang tua atau
pengasuh. Pertanyaan skrining mencakup, "Apakah anak Anda pernah menggunakan jari
telunjuknya untuk menunjuk, untuk menunjukkan minat pada sesuatu?" Respons negatif
terhadap pertanyaan ini menunjukkan perlunya penilaian khusus untuk kemungkinan
gangguan perkembangan yang menyebar. (Lee MS et al., 2011)

Stimulus lingkungan

11
Berbeda dengan balita dengan perkembangan tertunda atau normal, balita dengan
gangguan spektrum autisme jauh lebih tertarik pada pola geometris. Balita yang lebih suka
pola geometris yang dinamis untuk berpartisipasi dalam kegiatan fisik seperti rujukan tari
untuk evaluasi untuk kemungkinan gangguan spektrum autisme. (Lee MS et al., 2011)

Interaksi sosial

Individu dengan autisme mungkin menunjukkan kurangnya interaksi yang sesuai


dengan anggota keluarga. Selain itu, kesulitan dalam interaksi sosial adalah hal biasa. Anak-
anak mungkin memiliki masalah dalam menjalin pertemanan dan memahami niat sosial anak-
anak lain dan sebagai gantinya dapat menunjukkan keterikatan pada objek yang biasanya
tidak dianggap berorientasi anak. Meskipun anak-anak dengan kelainan autistik mungkin
ingin memiliki persahabatan dengan anak-anak lain, tindakan mereka sebenarnya dapat
mengusir calon sahabat ini. Mereka juga dapat menunjukkan keramahan yang tidak sesuai
dan kurangnya kesadaran akan ruang pribadi. (Liptak GS et al., 2011)

Isolasi cenderung meningkat pada masa remaja dan dewasa muda. Wawancara
dengan sampel representatif dari 725 anak muda dengan autisme (usia rata-rata 19,2 tahun)
menentukan bahwa mayoritas pada tahun sebelumnya tidak bertemu dengan teman-teman
atau bahkan berbicara dengan seorang teman di telepon. . (Liptak GS et al., 2011)

Ambang nyeri yang tinggi

Tidak adanya respons khas terhadap rasa sakit dan cedera fisik juga dapat dicatat.
Alih-alih menangis dan berlari ke orang tua saat dipotong atau memar, anak mungkin tidak
menunjukkan perubahan perilaku. Terkadang, orang tua tidak menyadari bahwa seorang anak
dengan gangguan autis terluka sampai mereka mengamati lesi. Orang tua sering melaporkan
bahwa mereka perlu bertanya kepada anak apakah ada sesuatu yang salah ketika suasana hati
anak berubah, dan mungkin perlu memeriksa tubuh anak untuk mendeteksi cedera. (Liptak
GS et al., 2011)

Bahasa

Kelainan bicara sering terjadi. Mereka mengambil bentuk penundaan dan


penyimpangan bahasa. Pembalikan pronominal biasa terjadi, termasuk mengatakan "Anda"
dan bukan "Aku." Beberapa kebiasaan bicara, seperti mengulangi kata-kata dan kalimat
setelah orang lain mengatakannya, menggunakan bahasa yang hanya dimengerti anak, atau

12
mengatakan hal-hal yang artinya tidak jelas, dapat terjadi tidak hanya pada autisme tetapi
juga pada kelainan lain. (Liptak GS et al., 2011)

Bermain

Lee dan rekannya menunjukkan bahwa tidak adanya permainan simbolis pada bayi
dan balita sangat prediktif terhadap diagnosis autisme di kemudian hari. Oleh karena itu,
penyaringan untuk keberadaan permainan simbolis adalah komponen kunci dari penilaian
rutin bayi yang sehat. Tidak adanya permainan pura-pura normal menunjukkan perlunya
rujukan untuk penilaian perkembangan khusus untuk autisme dan cacat perkembangan
lainnya. (Lee MS et al., 2011)

Bermain ganjil dapat mengambil bentuk minat pada bagian-bagian objek daripada
penggunaan fungsional seluruh objek. Sebagai contoh, seorang anak dengan gangguan
autistik dapat menikmati berulang kali memutar roda mobil alih-alih memindahkan seluruh
mobil di tanah secara fungsional. Pemutaran nonfungsional anak laki-laki dengan autisme
diilustrasikan dalam file video di bawah ini. Harap perhatikan bahwa video mewakili
penilaian diagnostik anak. Anak itu diizinkan untuk menunjukkan perilaku abnormal untuk
menunjukkan barang-barang itu di video untuk konfirmasi oleh penipu buta. Jika anak itu
menunjukkan perilaku berbahaya pada dirinya sendiri, seperti perilaku melukai diri sendiri,
atau berbahaya bagi orang lain, seperti menyerang orang lain, maka pemeriksa akan
melakukan intervensi untuk mencegah cedera pada anak dan orang lain. Video tidak dengan
cara apa pun mewakili pengobatan untuk gangguan tersebut. (Liptak GS et al., 2011)

2.5.2 Pemeriksaan Fisik

Penyaringan

Menjaring bayi dengan baik untuk tanda-tanda yang memprediksi gangguan autis
adalah penting. Baron-Cohen dan rekannya mengamati bahwa kelainan dalam permainan
pura-pura, pemantauan tatapan mata, dan penunjukan protodeklaratif yang dicatat pada balita
selama kunjungan anak yang baik di Inggris bermanfaat dalam memprediksi diagnosis
kelainan autis yang terjadi kemudian. (Baron et al., 1996)

Baron-Cohen dan rekan mengembangkan seperangkat alat yang valid dan dapat
diandalkan untuk menyaring gangguan spektrum autisme selama umur, ermasuk Daftar

13
Periksa untuk Autisme pada Balita (CHAT) dan revisinya, Modifikasi CHAT (MCHAT) dan
Quantitative CHAT (QCHAT), untuk bayi baru lahir dan balita, serta Autism-Spectrum
Quotient (AQ), untuk anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Kemungkinan keterbatasan
budaya dari alat-alat ini dalam kelompok etnis yang berbeda di berbagai wilayah geografis
masih harus dibuktikan. (Baron et al., 1996)

Pura-pura bermain

Dalam pemutaran untuk keberadaan permainan simbolis, permainan khayalan lainnya


dapat diganti berdasarkan relevansi budaya. Anak harus merespons dengan tepat aktivitas
pura-pura dibandingkan dengan kebanyakan anak lain dari budaya yang sama. (Baron et al.,
1996)

Pemantauan tatapan

Penilaian pemantauan tatapan normal, disarankan oleh Baron-Cohen dan rekannya,


terdiri dari langkah-langkah berikut: (1) dokter memanggil nama anak itu, menunjuk ke
mainan di sisi lain ruangan, dan berkata, "Oh, lihat! Ada [nama mainan]! "; (2) jika anak
melihat ke seberang ruangan untuk melihat item yang ditunjukkan oleh dokter, maka
perhatian bersama terbentuk, menunjukkan pemantauan tatapan yang normal. (Baron et al.,
1996)

Menunjuk protodeclarative

Baron-Cohen dan rekannya menetapkan protokol berikut untuk menilai keberadaan


penunjukan protodeklaratif:

Katakan kepada anak itu, "Di mana cahayanya?" Atau "Tunjukkan cahayanya".
Respons normal adalah agar anak menunjuk dengan jari telunjuknya pada cahaya sambil
menatap wajah dokter itu Jika anak tidak merespons dengan tepat, prosedur dapat diulangi
dengan boneka beruang atau benda lain yang tidak dapat dijangkau. (Baron et al., 1996)

Gerakan tubuh

14
Kecanggungan berjalan, dan gerakan motorik abnormal adalah fitur karakteristik
gangguan autistik. Manifestasi gangguan attention deficit hyperactivity yang sangat sering
dikaitkan dengan gangguan autistik termasuk hiperkinesis dan stereotip. Gerakan motorik
abnormal yang umum pada anak-anak dengan autisme termasuk mengepakkan tangan, di
mana ekstremitas atas dengan cepat dinaikkan dan diturunkan dengan pergelangan tangan
yang lembek sehingga tangan mengepak seperti bendera di angin. Mengepakkan tangan
biasanya terjadi ketika anak senang atau bersemangat. Ini dapat terjadi dalam kombinasi
dengan gerakan seluruh tubuh, seperti memantul (yaitu, melompat-lompat) dan berputar
(yaitu, terus berputar di sekitar sumbu vertikal di garis tengah tubuh). (Baron et al., 1996)

Anak-anak dengan gangguan autistik juga sering menampilkan tics motorik dan tidak
dapat diam. Karena anak-anak dengan kelainan autis sering mengalami keterbelakangan
mental dan nonverbal, mengungkapkan pengalaman subjektif yang terkait dengan gerakan
seringkali tidak mungkin bagi mereka. Dengan demikian, diagnosis akathisia tidak dapat
diterapkan dalam kasus-kasus ini, karena diagnosis ini membutuhkan verbalisasi sensasi
kegelisahan batin dan dorongan untuk bergerak. (Baron et al., 1996)

Penilaian kepala dan tangan

Kerutan palmaris yang menyimpang dan anomali dermatoglyphic lainnya lebih sering
terjadi pada anak-anak dengan kelainan autistik. Meskipun lingkar kepala anak-anak dengan
autisme mungkin kecil saat lahir, banyak anak-anak dengan autisme mengalami peningkatan
yang cepat dalam tingkat pertumbuhan dari usia 6 bulan hingga 2 tahun. Lingkar kepala
meningkat dalam subkelompok sekitar seperlima dari populasi anak-anak dengan gangguan
autistik tanpa kondisi komorbiditas yang diketahui. Peningkatan lingkar kepala lebih sering
terjadi pada anak laki-laki dan dikaitkan dengan perilaku adaptif yang buruk. Lingkar kepala
dapat kembali normal pada masa remaja. (Just MA et al., 2014)

2.6 Tatalaksana 10,24,25

2.6.1 Pertimbangan Pendekatan

Intervensi intensif individu, termasuk komponen perilaku, pendidikan, dan psikologis,


adalah perawatan yang paling efektif untuk gangguan autistik. Memulai perawatan di awal
masa bayi meningkatkan kemungkinan hasil yang menguntungkan. Dengan demikian,

15
penapisan teratur bayi dan balita untuk gejala dan tanda-tanda gangguan autis sangat penting
karena memungkinkan untuk identifikasi awal pasien ini. (Lee MS et al., 2011)

Individu dengan gangguan spektrum autisme dan gangguan perkembangan pervasif


yang tidak spesifik biasanya mendapat manfaat dari program terapi berorientasi perilaku yang
dikembangkan khusus untuk populasi ini. Anak autis harus ditempatkan dalam program
khusus ini segera setelah diagnosa ditegakkan. (Lee MS et al., 2011)

Orang tua, guru, dokter anak, dan penyedia layanan kesehatan lainnya disarankan
untuk mencari bantuan dari orang-orang yang menguasi program intervensi dini untuk anak-
anak dengan gangguan autistik. Autism Society dapat membantu orang tua untuk
mendapatkan rujukan yang tepat untuk intervensi yang optimal. Dapat dimengerti bahwa
orang tua menjadi lelah dengan kinerja tanpa henti dari perilaku yang menantang oleh anak
mereka dengan autisme. Seorang pendidik atau psikolog perilaku yang terlatih dapat
membantu mengajari mereka cara yang efektif untuk memodifikasi perilaku yang menantang
ini. (Lee MS et al., 2011)

Kemungkinan manfaat dari farmakoterapi harus seimbang terhadap kemungkinan


efek samping berdasarkan kasus per kasus. Secara khusus, venlafaxine dapat meningkatkan
agresi intensitas tinggi pada beberapa remaja dengan autisme. Bukti terbatas, sebagian besar
anekdotal menunjukkan bahwa tindakan diet mungkin bermanfaat pada beberapa anak autis.
Menghindari makanan tertentu, terutama yang mengandung gluten atau kasein, dan
suplementasi dengan vitamin dan mineral tertentu dilaporkan bermanfaat dalam kasus
tertentu. (Lee MS et al., 2011)

National Autism Centre telah memprakarsai Proyek Standar Nasional, yang memiliki
tujuan untuk menetapkan seperangkat standar berbasis bukti untuk intervensi pendidikan dan
perilaku untuk anak-anak dengan gangguan spektrum autisme. Proyek ini telah
mengidentifikasi perawatan yang ada, muncul, dan belum ditetapkan. (Luisseli JK et al.,
2010)

2.6.2 Perawatan Jiwa Rawat Inap

Pada Desember 2015, panel ahli merilis 11 pernyataan konsensus tentang praktik
terbaik untuk perawatan rawat inap anak-anak dengan autisme. Panel merekomendasikan
bahwa anak-anak dengan ASD atau disabilitas intelektual (ID) dapat dirawat di unit rawat
inap umum, dengan akomodasi khusus. Rekomendasi tersebut juga menetapkan informasi

16
yang harus diperoleh dari anak-anak saat masuk, termasuk preferensi anak, sarana
komunikasi, item penguatan, kepekaan indera, dll. Juga ditekankan adalah pentingnya
skrining untuk kondisi medis dan kejiwaan yang terjadi bersamaan. (Luisseli JK et al., 2010)

2.6.3 Terapi Farmakologis

Meskipun 70% anak-anak dengan kelainan spektrum autisme menerima pengobatan,


hanya ada bukti terbatas bahwa efek menguntungkan lebih besar daripada efek sampingnya.
Tidak ada agen farmakologis yang efektif dalam pengobatan manifestasi perilaku inti dari
gangguan autistik, tetapi obat-obatan mungkin efektif dalam mengobati masalah perilaku
terkait dan gangguan komorbiditas. (Lee MS et al., 2011)

Agen antipsikotik generasi kedua risperidone dan aripiprazole memberikan efek


menguntungkan pada perilaku yang menantang dan berulang pada anak-anak dengan
gangguan spektrum autisme, meskipun pasien ini mungkin mengalami efek samping yang
signifikan. Risperidone dan aripiprazole telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan AS (FDA) untuk iritabilitas terkait dengan gangguan autistik. Agen antipsikotik
generasi kedua, ziprasidone, dapat membantu mengendalikan agresi, iritabilitas, dan agitasi.
(Lee MS et al., 2011)

Obat serotonergik dilaporkan bermanfaat untuk meningkatkan perilaku autisme.


Hiperaktif sering membaik dengan terapi methylphenidate. Selain itu, perawatan dapat
diindikasikan untuk kondisi yang mendasarinya. Sebagai contoh, anak-anak dengan
ensefalopati infantil responsif biotin membaik dengan penambahan biotin.

SSRI

Inhibitor reuptake serotonin selektif (SSRI) secara luas diresepkan untuk anak-anak
dengan autisme dan kondisi terkait. Efek menguntungkan pada anak-anak dan remaja dengan
autisme dan gangguan perkembangan meresap lainnya telah dilaporkan dengan fluoxetine,
escitalopram, dan citalopram. (Lee MS et al., 2011)

Sindrom serotonin

Anak-anak dengan kelainan autis berisiko mengalami sindrom serotonin ketika


diobati dengan agen serotonergik. Oleh karena itu, anak-anak yang dirawat dengan agen

17
serotonergik harus dievaluasi pada awal sebelum memulai pengobatan dan kemudian secara
teratur dievaluasi untuk gejala sindrom serotonin menggunakan daftar periksa sindrom
serotonin. (Lee MS et al., 2011)

Efek samping dan kemanjuran pengobatan

Anak-anak dengan kelainan autistik tampak peka terhadap obat-obatan dan mungkin
mengalami efek samping serius yang melebihi efek menguntungkan apa pun. Sebagai contoh,
anak-anak dapat mengembangkan katatonia ketika diobati dengan haloperidol dan
neuroleptik tradisional lainnya. Selain itu, Kem et al mencatat priapisme pada remaja dengan
autisme yang dirawat dengan trazodone. Pedoman praktik dari American Academy of
Pediatrics menekankan pentingnya memiliki beberapa cara yang dapat diukur untuk menilai
kemanjuran obat yang digunakan untuk perawatan anak-anak dengan autisme. Skala
penilaian yang sensitif terhadap pengobatan yang telah digunakan dalam praktik klinis untuk
mengukur efek pengobatan pada perilaku maladaptif termasuk Skala Kesan Global Klinis,
Daftar Periksa Perilaku Aberrant, dan Formulir Penilaian Perilaku Anak Nisonger. (American
Academy of Pediatrics., 2007)

18
BAB III
KESIMPULAN

Autisme adalah disabilitas perkembangan yang dapat menyebabkan tantangan sosial,


komunikasi dan perilaku yang signifikan. Seringkali tidak ada apa-apa tentang bagaimana
orang dengan autisme terlihat yang membedakan mereka dari orang lain, tetapi orang dengan
autisme dapat berkomunikasi, berinteraksi, berperilaku, dan belajar dengan cara yang berbeda
dari kebanyakan orang lain. Kemampuan belajar, berpikir, dan memecahkan masalah orang-
orang dengan autisme dapat berkisar dari yang berbakat hingga yang sangat sulit. Dalam
pendekatan terhadap terapi juga memerlukan pemantauan khusus karena tidak semua terapi
medikamentosa memberikan manfaat yang bagus bagi penderita autism.

19
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and statistical manual of mental


disorders: DSM-5. Washington, D.C: American Psychiatric Association.

2. Antshel KM, Polacek C, McMahon M, Dygert K, Spenceley L, Dygert L, et al.


Comorbid ADHD and anxiety affect social skills group intervention treatment
efficacy in children with autism spectrum disorders. J Dev Behav Pediatr. 2011 Jul-
Aug. 32(6):439-46. [Medline]. 
3. Baron-Cohen S, Cox A, Baird G, Swettenham J, Nightingale N, Morgan K, et al.
Psychological markers in the detection of autism in infancy in a large population. Br J
Psychiatry. 1996 Feb. 168(2):158-63

4. Barbaresi WJ, Katusic SK, Colligan RC, Weaver AL, Jacobsen SJ. The incidence of
autism in Olmsted County, Minnesota, 1976-1997: results from a population-based
study. Arch Pediatr Adolesc Med. 2005 Jan. 159(1):37-44

5. Brasic JR, Holland JA. A qualitative and quantitative review of obstetric


complications and autistic disorder. Journal of Developmental and Physical
Disabilities. 2007;19:337-364:
6. Carmody DP, Lewis M. Regional white matter development in children with autism
spectrum disorders. Dev Psychobiol. 2010 Dec. 52(8):755-63. 

20
7. Croen LA, Grether JK, Yoshida CK, Odouli R, Hendrick V. Antidepressant use
during pregnancy and childhood autism spectrum disorders. Arch Gen Psychiatry.
2011 Nov. 68(11):1104-12.
8. Durand CM, Betancur C, Boeckers TM, Bockmann J, Chaste P, Fauchereau F, et al.
Mutations in the gene encoding the synaptic scaffolding protein SHANK3 are
associated with autism spectrum disorders. Nat Genet. 2007 Jan. 39(1):25-7.
9. Glasson EJ, Bower C, Petterson B, de Klerk N, Chaney G, Hallmayer JF. Perinatal
factors and the development of autism: a population study. Arch Gen Psychiatry. 2004
Jun. 61(6):618-27.
10. Grzadzinski R, Huerta M, Lord C. DSM-5 and autism spectrum disorders (ASDs): an
opportunity for identifying ASD subtypes. Mol Autism. 2013;4:12.
11. [Guideline] Luiselli JK, Bass JD, Whitcomb SA. Teaching applied behavior analysis
knowledge competencies to direct-care service providers: outcome assessment and
social validation of a training program. Behav Modif. 2010 Sep. 34(5):403-14.

12. [Guideline] American Academy of Pediatrics. Management of Children With Autism


Spectrum Disorder. Pediatrics. 2007 Nov;120(5):1183-1215. Available
at http://pediatrics.aappublications.org/content/120/5/1162.full.
13. Handleman, J.S., Harris, S., eds. Preschool Education Programs for Children with
Autism (2nd ed). Austin, TX: Pro-Ed. 2000.
14. Hallmayer J, Cleveland S, Torres A, Phillips J, Cohen B, Torigoe T, et al. Genetic
heritability and shared environmental factors among twin pairs with autism. Arch Gen
Psychiatry. 2011 Nov. 68(11):1095-102

15. Hultman CM, Sandin S, Levine SZ, Lichtenstein P, Reichenberg A. Advancing


paternal age and risk of autism: new evidence from a population-based study and a
meta-analysis of epidemiological studies. Mol Psychiatry. 2011 Dec. 16(12):1203-12.
16. Just MA, Cherkassky VL, Buchweitz A, Keller TA, Mitchell TM. Identifying autism
from neural representations of social interactions: neurocognitive markers of
autism. PLoS One. 2014. 9(12):e113879.
17. Kim YS, Leventhal BL, Koh YJ, Fombonne E, Laska E, Lim EC, et al. Prevalence of
autism spectrum disorders in a total population sample. Am J Psychiatry. 2011 Sep.
168(9):904-12.

21
18. Lee MS, Kim JI, Ernst E. Massage therapy for children with autism spectrum
disorders: a systematic review. J Clin Psychiatry. 2011 Mar. 72(3):406-11
19. Liptak GS, Kennedy JA, Dosa NP. Social Participation in a Nationally Representative
Sample of Older Youth and Young Adults With Autism. J Dev Behav Pediatr. 2011
Apr 15
20. Marshall BL, Napolitano DA, McAdam DB, Dunleavy III JJ, Tessing JL, Varrell J.
Venlafaxine and increased aggression in a female with autism. J Am Acad Child
Adolesc Psychiatry. 2003 Apr. 42(4):383-4. [Medline]. 

21. Newschaffer CJ, Falb MD, Gurney JG. National autism prevalence trends from
United States special education data. Pediatrics. 2005 Mar. 115(3):e277-
82. [Medline]. 
22. Ornoy, A., Weinstein-Fudim, L., & Ergaz, Z. (2015). Prenatal factors associated with
autism spectrum disorder (ASD). Reproductive Toxicology, 56, 155–
169.doi:10.1016/j.reprotox.2015.05.007 
23. Oblak AL, Gibbs TT, Blatt GJ. Decreased GABA(B) receptors in the cingulate cortex
and fusiform gyrus in autism. J Neurochem. 2010 Sep 1. 114(5):1414-23
24. Roberts EM, English PB, Grether JK, Windham GC, Somberg L, Wolff C. Maternal
residence near agricultural pesticide applications and autism spectrum disorders
among children in the California Central Valley. Environ Health Perspect. 2007 Oct.
115(10):1482-9.

25. Sandin S, Hultman CM, Kolevzon A, Gross R, MacCabe JH, Reichenberg A.


Advancing maternal age is associated with increasing risk for autism: a review and
meta-analysis. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry. 2012 May. 51(5):477-
486.e1. [Medline]. 
26. Stavropoulos, K. K.-M. (2017). Using neuroscience as an outcome measure for
behavioral interventions in Autism spectrum disorders (ASD): A review. Research in
Autism Spectrum Disorders, 35, 62–73.doi:10.1016/j.rasd.2017.01.001 
27. Stoner R, Chow ML, Boyle MP, Sunkin SM, Mouton PR, Roy S, et al. Patches of
disorganization in the neocortex of children with autism. N Engl J Med. 2014 Mar 27.
370(13):1209-19.
28. World Health Organization (2018). Autism In Children. https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/autism-spectrum-disorders (akses; 20 September 2019)

22
23

Anda mungkin juga menyukai