Disusun Oleh:
Pembimbing:
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan refarat ini yang berjudul “Tetanus dan
Antitetanus”. Penulisan refarat ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Bambang Prayugo, Sp. B selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
dalam penyelesaian refarat ini.
Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi
positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal. Penulis menyadari
bahwa penulisan refarat ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam penulisan
refarat selanjutnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Tujuan........................................................................................ 2
1.3 Manfaat...................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3
2.1 Definisi....................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi.............................................................................. 3
2.3 Etiologi....................................................................................... 4
2.4 Patogenesis................................................................................. 5
2.5 Manifestasi Klinis...................................................................... 7
2.6 Diagnosis.................................................................................... 9
2.7 Penatalaksanaan.......................................................................... 10
2.8 Komplikasi................................................................................. 12
2.9 Pencegahan................................................................................. 13
BAB III KESIMPULAN........................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 15
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Tingkat keparahan tetanus yang tidak disengaja tergantung pada distribusi
kejang otot, dengan kasus-kasus lokal yang melibatkan beberapa kelompok otot
dan kasus-kasus umum yang melibatkan seluruh otot rangka. Insiden global
tetanus diperkirakan sekitar satu juta kasus setiap tahun. Angka kematian akibat
tetanus sangat bervariasi di seluruh dunia, tergantung pada akses ke layanan
kesehatan, dan mendekati 100% jika tidak ada perawatan medis.2
1.2 TUJUAN
1.3 MANFAAT
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan
spasme, yang diakibatkan oleh toksin dari Clostridium tetani. Tetanus merupakan
penyakit yang bisa mengenai banyak orang, tidak mempedulikan umur maupun
jenis kelamin. Tetanus didefinisikan sebagai keadaan hypertonia akut atau
kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan dan
leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, dan terdapat riwayat luka
ataupun kecelakaan sebelumnya.3
2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada Negara maju angka kejadian penyakit tetanus kecil, karena angka
cakupan imunisasi sudah cukup baik. Namun pada Negara berkembang, tetanus
masih merupakan masalah kesehatan publik yang sangat besar. Dilaporkan
terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh dunia, dengan angka kejadian
18/100.000 penduduk pertahun serta angka kematian 300.000 – 500.000 pertahun.
Sebagian besar kasus pada Negara berkembang adalah tetanus neonatorum,
namun angka kejadian pada dewasa juga cukup tinggi. Hal ini mungkin
dikarenakan program imunisasi yang tidak adekuat.3
3
Angka kejadian tetanus di Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 1997
– 2000 di Indonesia, angka kejadian tetanus 1,6-1,8 per 10.000 kelahiran hidup,
dengan angka kematian akibat tetanus neonatorum sebesar 7,9%.3
WHO memperkirakan pada tahun 2008, 59.000 bayi baru lahir meninggal
akibat tetanus neonatorum. Pada tahun 2008, terdapat 46 negara yang masih
belum eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatorum (TMN) diseluruh kabupaten,
salah satunya adalah Indonesia.4
2.3 ETIOLOGI
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um memiliki
sifat:5
- Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
- Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
- Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam
suhu tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15 menit),
kekeringan dan desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar
kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora
mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama
bertahun-tahun.
- Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada
tanah di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini
terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda,
domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.
- Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan
tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun
juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang
dapat menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik
yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin
4
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air,
labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan
dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5
ng/kgBB atau 175 ng untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
- Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak
memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga
tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase dan indol positif.
2.4 PATOGENESIS
Clostridium tetani memerlukan tekanan oksigen yang rendah untuk
berkembang biak dan bermultiplikasi.3
C.tetani memproduksi 2 toksin yakni tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanolisin tidak berhubungan dengan pathogenesis penyakit. Tetanospasmin atau
secara umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang mengakibatkan
manifestasi dari penyakit tersebut. Tetanospasmin adalah protein tunggaal dengan
berat molekul 150kDa, yang terbagi menjadi 2 rantai, rantai berat (100kDa) dan
rantai ringan (50kDa) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Toksin ini
ditransportasikan secara intra axonal menuju nuklei motoric dari saraf pusat.3
Spora C.tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara
inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari
sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob
5
yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing.
Bakteri ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya
tanpa supurasi. Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetative
melepaskan toksin soluble tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap
manifestasi klinis tetanus.3
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf melalui otot dimana terdapat
suasana anaerobic yang memungkinkan C.tetani untuk hidup dan memproduksi
toksin. Lalu setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan
secara retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja.3
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari
motor neuron pada medulla spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas
muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Spasme otot sangat nyeri
dan dapat menyebabkan fraktur serta rupture tendon. Otot- otot rahang, wajah,
dan kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang
lebih pendek kemudian diikuti oto- otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer
pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonomy tanpa
6
inhibisi menyebabkan gangguan control autonomic dengan overaktivitas
simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat
pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Peningkatan toksin terhadap
neuron bersifat ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan
ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah
terapi dimulai.3
Tetanus memiliki gejala klinik yang luas dan beragam. Namun dapat
dibedakan menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya :
1. Tetanus Localized
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien
dengan tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot
terbatas pada otototot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda- tanda sistemik.
Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-
7
lahan menghilang, dapat sembuh dengan sendirinya. Tetanus lokal dapat
berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan
dan jarang menimbulkan kematian.3
2. Tetanus Cephalic
Tetanus cephalic juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan
(insiden sekitar 6%) dan meliputi gangguan pada otot yang diperantarai
oleh susunan saraf perifer bagian bawah. Biasa terjadi setelah kecelakaan
pada daerah wajah dan leher. Gejalanya sering membingungkan, seperti
disfagia, trismus, dan focal cranial neuropathy. Namun, seiring dengan
perjalanan penyakit dapat timbul parese wajah, disfagia, serta gangguan
pada otot ekstraokular. Pada beberapa kasus tetanus cephalic,
mengakibatkan tetanus ophthalmologic, supranuclear oculomotor palsy,
serta sindroma Horner.7
3. Tetanus Generalized
Tetanus generalized adalah tetanus yang paling sering dijumpai.
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Gejalanya adalah,
trismus, kekakuan otot maseter, punggung, serta bahu. Gejala lain, juga
bisa didapatkan antara lain opistotonus, posisi dekortikasi, serta ekstensi
dari ekstremitas bawah.
Tanda khas dari tetanus generalized adalah trismus (lockjaw) yaitu
ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot maseter.
Peningkatan suhu antara 2-4 0C juga dapat terjadi pada tetanus
generalized. Spasme otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak
menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile).
Spasme otot- otot somatic yang luas menyebabkan tubuh penderita
membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus
dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen
yang teraba seperti papan.8
8
Gambar 3: Kiri ke kanan (Risus Sardonikus, Opistotonus)
4. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C.tetani yang masuk
melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk
disebabkan proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena
penggunaan alat maupun obat- obatan yang terkontaminasi spora C.tetani.3
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus
general. Gejala awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap
3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus
menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus.3
2.6 DIAGNOSIS
9
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang
khas terutama pada rahang sangat membantu. Anamnesis yang teliti dan terarah
selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti
diagnostik dan prognostik.9
2.7 PENATALAKSANAAN
10
mengatasi kejang, perawatan luka atau port’d entre lain. Sedangkan
penatalaksanaan khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.9
PENATALAKSANAAN UMUM
- Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.
- Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus
memberikan obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah
kejang mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan
obatobatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya
aspirasi.
- Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
- Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
11
mengalami spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang
perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan
pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan
telah memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari.
Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap 2
hari).9
PENATALAKSANAAN KHUSUS
- Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang
diberikan adalah metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading
dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam
selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-
100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap
penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia > 8
tahun). Penyulit yang ada diberikan antibiotik yang sesuai.9
- Antiserum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai
imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas
tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-
6000 IU IM.9
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (<
6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS
profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka.
Dosis untuk anak < 7 tahun: 4 IU/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis
untuk anak ≥ 7 tahun: 250 IU IM dosis tunggal.
12
2.8 KOMPLIKASI
2.9 PENCEGAHAN
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptic yang hati-
hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
13
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka.
Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.3
BAB III
KESIMPULAN
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, jika dinding sel kuman lisis
maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Secara klinis tetanus ada 4 macam: tetanus umum, tetanus local, tetanus
sefalik dan tetanus neonatorum.
14
DAFTAR PUSTAKA
15
8. Edlich RF, Hill LG, et al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of
Long-Term Effects of Medical Implants.2003;13(3):139-54.
9. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010; hal.
322-9
16