Anda di halaman 1dari 21

REFARAT

Tetanus dan Antitetanus

Disusun Oleh:

Muhammad Hakim Rosli 150100209

Pembimbing:

dr. Bambang Prayugo, Sp. B

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan refarat ini yang berjudul “Tetanus dan
Antitetanus”. Penulisan refarat ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Bambang Prayugo, Sp. B selaku pembimbing yang telah memberikan arahan
dalam penyelesaian refarat ini.
Dengan demikian diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi
positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal. Penulis menyadari
bahwa penulisan refarat ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan dalam penulisan
refarat selanjutnya.

Medan, 20 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................... 1
1.2 Tujuan........................................................................................ 2
1.3 Manfaat...................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3
2.1 Definisi....................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi.............................................................................. 3
2.3 Etiologi....................................................................................... 4
2.4 Patogenesis................................................................................. 5
2.5 Manifestasi Klinis...................................................................... 7
2.6 Diagnosis.................................................................................... 9
2.7 Penatalaksanaan.......................................................................... 10
2.8 Komplikasi................................................................................. 12
2.9 Pencegahan................................................................................. 13
BAB III KESIMPULAN........................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 15

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium Tetani……………………............... 5

Gambar 2. Mekanisme kerja Tetanospamin……………………………... 7

Gambar 3. Risus Sardonikus dan Opistotonus…………………………... 9

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani dan dapat dicegah dengan


imunisasi. Tetanus dapat dikategorikan sebagai kecelakaan atau neonatal. Tetanus
neonatal memiliki prognosis yang lebih buruk dan angka kematian yang lebih
tinggi. Tetanus kecelakaan sering terjadi di negara-negara terbelakang dan
berkembang. Tingkat kematian tetanus karena kecelakaan bervariasi di antara
berbagai penelitian dan tergantung pada banyak faktor, termasuk usia pasien,
keparahan klinis, jenis luka sumber infeksi, waktu inkubasi dan perkembangan,
komplikasi pernapasan, hemodinamik, ginjal, dan infektif yang bersamaan situs
tempat pasien dirawat dan kualitas perawatan yang diberikan.1

Clostridium tetani menghasilkan eksotoksin, seperti tetanolysin dan


tetanospasmin. Fungsi tetanolysin dalam tetanus manusia tidak jelas. Namun, itu
diyakini merusak jaringan sehat di sekitar luka dan mengurangi potensi
pengurangan oksidasi, sehingga mendorong pertumbuhan organisme anaerob.
Tetanospasmin adalah neurotoksin dan umumnya dikenal sebagai toksin tetanus.1

Semua manifestasi tetanus yang dikenali merupakan hasil dari kemampuan


tetanospasmin untuk menghambat pelepasan neurotransmitter dari membran
presinaptik selama beberapa minggu. Gejala hasil dari keterlibatan kontrol
motorik pusat, fungsi otonom dan persimpangan neuromuskuler. Efek tetanus
pada sistem saraf otonom biasanya dimulai pada minggu kedua sebagai sindrom
disfungsi otonom khas yang ditandai oleh hipertensi labil, takikardia, aritmia
jantung, vasokonstriksi perifer, diaforesis, pireksia dan akhirnya hipotensi dan
bradikardia, menunjukkan bahwa sistem simpatis dan parasimpatis terpengaruh.2

1
Tingkat keparahan tetanus yang tidak disengaja tergantung pada distribusi
kejang otot, dengan kasus-kasus lokal yang melibatkan beberapa kelompok otot
dan kasus-kasus umum yang melibatkan seluruh otot rangka. Insiden global
tetanus diperkirakan sekitar satu juta kasus setiap tahun. Angka kematian akibat
tetanus sangat bervariasi di seluruh dunia, tergantung pada akses ke layanan
kesehatan, dan mendekati 100% jika tidak ada perawatan medis.2

1.2 TUJUAN

Tujuan dalam penulisan laporan kasus ini adalah :


1. Memahami tinjauan ilmu teoritis, diagnosis serta penatalaksanaan yang tepat
pada Tetanus dan Antitetanus.
2. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Senior Program Pendidikan Profesi Kedokteran di Departmen Ilmu Bedah,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT

Manfaat yang diharapkan dalam penulisan laporan kasus ini adalah


meningkatkan pemahaman terhadap kasus “Tetanus dan Antitetanus” serta
penanganannya terhadap tingkat layanan primer.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Tetanus adalah penyakit akut yang ditandai oleh kekakuan otot dan
spasme, yang diakibatkan oleh toksin dari Clostridium tetani. Tetanus merupakan
penyakit yang bisa mengenai banyak orang, tidak mempedulikan umur maupun
jenis kelamin. Tetanus didefinisikan sebagai keadaan hypertonia akut atau
kontraksi otot yang mengakibatkan nyeri (biasanya pada rahang bawah dan dan
leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab lain, dan terdapat riwayat luka
ataupun kecelakaan sebelumnya.3

Neonatal tetanus didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada


anak yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari
pertama kehidupannya tapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke 3 sampai ke
28 serta menjadi kaku dan spasme.1 Maternal tetanus didefinisikan sebagai tetanus
yang terjadi saat kehamilan sampai 6 minggu setelah selesai kehamilan (baik
dengan kelahiran maupun abortus).3

2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada Negara maju angka kejadian penyakit tetanus kecil, karena angka
cakupan imunisasi sudah cukup baik. Namun pada Negara berkembang, tetanus
masih merupakan masalah kesehatan publik yang sangat besar. Dilaporkan
terdapat 1 juta kasus per tahun di seluruh dunia, dengan angka kejadian
18/100.000 penduduk pertahun serta angka kematian 300.000 – 500.000 pertahun.
Sebagian besar kasus pada Negara berkembang adalah tetanus neonatorum,
namun angka kejadian pada dewasa juga cukup tinggi. Hal ini mungkin
dikarenakan program imunisasi yang tidak adekuat.3

3
Angka kejadian tetanus di Indonesia masih cukup tinggi. Pada tahun 1997
– 2000 di Indonesia, angka kejadian tetanus 1,6-1,8 per 10.000 kelahiran hidup,
dengan angka kematian akibat tetanus neonatorum sebesar 7,9%.3
WHO memperkirakan pada tahun 2008, 59.000 bayi baru lahir meninggal
akibat tetanus neonatorum. Pada tahun 2008, terdapat 46 negara yang masih
belum eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatorum (TMN) diseluruh kabupaten,
salah satunya adalah Indonesia.4

2.3 ETIOLOGI
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um memiliki
sifat:5
- Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
- Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
- Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam
suhu tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15 menit),
kekeringan dan desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar
kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora
mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama
bertahun-tahun.
- Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada
tanah di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini
terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda,
domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.
- Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan
tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun
juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang
dapat menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik
yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin

4
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air,
labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan
dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5
ng/kgBB atau 175 ng untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
- Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak
memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga
tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase dan indol positif.

2.4 PATOGENESIS
Clostridium tetani memerlukan tekanan oksigen yang rendah untuk
berkembang biak dan bermultiplikasi.3
C.tetani memproduksi 2 toksin yakni tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanolisin tidak berhubungan dengan pathogenesis penyakit. Tetanospasmin atau
secara umum disebut toksin tetanus, adalah neurotoksin yang mengakibatkan
manifestasi dari penyakit tersebut. Tetanospasmin adalah protein tunggaal dengan
berat molekul 150kDa, yang terbagi menjadi 2 rantai, rantai berat (100kDa) dan
rantai ringan (50kDa) yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Toksin ini
ditransportasikan secara intra axonal menuju nuklei motoric dari saraf pusat.3
Spora C.tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara
inokulasi spora dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari
sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob

5
yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda asing.
Bakteri ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya
tanpa supurasi. Spora yang mengalami transformasi ke bentuk vegetative
melepaskan toksin soluble tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap
manifestasi klinis tetanus.3
Tetanospasmin masuk ke susunan saraf melalui otot dimana terdapat
suasana anaerobic yang memungkinkan C.tetani untuk hidup dan memproduksi
toksin. Lalu setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan ditransportasikan
secara retrograde menuju saraf presinaptik, dimana toksin tersebut bekerja.3

Toksin tersebut akan menghambat pelepasan transmitter inhibisi dan


secara efektif menghambat inhibisi interneuron. Tapi khususnya toksin tersebut
menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik
menginhibisi neuron motoric.6 Hal tersebut akan mengakibatkan aktivitas tidak
teregulasi dari system saraf motorik. Selain system saraf motorik, system saraf
otonomik juga terganggu. Transport awalnya terjadi pada neuron motoric
kemudian pada neuron sensorik dan autonomy. Ketika mencapai badan sel toksin
dapat berdifusi keluar mempengaruhi neuron- neuron lain. Apabila terdapat toksin
dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan
dengan ujung- ujung saraf di seluruh tubuh.3

Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang terus menerus


(spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau
cahaya dan hiperaktivitas autonomic.3

Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari
motor neuron pada medulla spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas
muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Spasme otot sangat nyeri
dan dapat menyebabkan fraktur serta rupture tendon. Otot- otot rahang, wajah,
dan kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang
lebih pendek kemudian diikuti oto- otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer
pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonomy tanpa

6
inhibisi menyebabkan gangguan control autonomic dengan overaktivitas
simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat
pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Peningkatan toksin terhadap
neuron bersifat ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan
ujung saraf yang baru sehingga perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah
terapi dimulai.3

2.5 Manifestasi Klinis

Setelah luka terkontaminasi dengan C.tetani, terdapat masa inkubasi


selama beberapa hari (7-10 hari) sebelum gejala pertama muncul. Gejala yang
pertama muncul adalah trismus atau rahang yang terkunci.

Tetanus memiliki gejala klinik yang luas dan beragam. Namun dapat
dibedakan menjadi empat bentuk berdasarkan manifestasi klinisnya :

1. Tetanus Localized
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien
dengan tetanus lokal mengalami spasme dan peningkatan tonus otot
terbatas pada otototot di sekitar tempat infeksi tanpa tanda- tanda sistemik.
Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum perlahan-

7
lahan menghilang, dapat sembuh dengan sendirinya. Tetanus lokal dapat
berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala yang timbul biasanya ringan
dan jarang menimbulkan kematian.3
2. Tetanus Cephalic
Tetanus cephalic juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan
(insiden sekitar 6%) dan meliputi gangguan pada otot yang diperantarai
oleh susunan saraf perifer bagian bawah. Biasa terjadi setelah kecelakaan
pada daerah wajah dan leher. Gejalanya sering membingungkan, seperti
disfagia, trismus, dan focal cranial neuropathy. Namun, seiring dengan
perjalanan penyakit dapat timbul parese wajah, disfagia, serta gangguan
pada otot ekstraokular. Pada beberapa kasus tetanus cephalic,
mengakibatkan tetanus ophthalmologic, supranuclear oculomotor palsy,
serta sindroma Horner.7
3. Tetanus Generalized
Tetanus generalized adalah tetanus yang paling sering dijumpai.
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Gejalanya adalah,
trismus, kekakuan otot maseter, punggung, serta bahu. Gejala lain, juga
bisa didapatkan antara lain opistotonus, posisi dekortikasi, serta ekstensi
dari ekstremitas bawah.
Tanda khas dari tetanus generalized adalah trismus (lockjaw) yaitu
ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot maseter.
Peningkatan suhu antara 2-4 0C juga dapat terjadi pada tetanus
generalized. Spasme otot wajah menyebabkan wajah penderita tampak
menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus (sardonic smile).
Spasme otot- otot somatic yang luas menyebabkan tubuh penderita
membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus
dengan fleksi lengan dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen
yang teraba seperti papan.8

8
Gambar 3: Kiri ke kanan (Risus Sardonikus, Opistotonus)

4. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C.tetani yang masuk
melalui tali pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora masuk
disebabkan proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik karena
penggunaan alat maupun obat- obatan yang terkontaminasi spora C.tetani.3
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus
general. Gejala awal ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghisap
3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk iritabilitas dan menangis terus
menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan opistotonus.3

2.6 DIAGNOSIS

9
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang
khas terutama pada rahang sangat membantu. Anamnesis yang teliti dan terarah
selain membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti
diagnostik dan prognostik.9

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:9

 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka


dengan nanah atau gigitan binatang.
 Apakah pernah keluar nanah dari telinga
 Apakah menderita gigi berlobang
 Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi
yang terakhir.
 Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset).

Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Temuan laboratorium:9

- Leukosit normal atau leukositosis ringan


- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum, SGOT, serum aldolase mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari
luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang
gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

2.7 PENATALAKSANAAN

Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang terdiri


dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi,

10
mengatasi kejang, perawatan luka atau port’d entre lain. Sedangkan
penatalaksanaan khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.9

PENATALAKSANAAN UMUM

- Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.
- Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus
memberikan obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah
kejang mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan
obatobatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya
aspirasi.
- Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
- Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat


ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang
kuat tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan
adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis
yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan
oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian
diazepam 5 mg per rektal untuk BB < 12 kg dan 10 mg untuk BB > 12 kg, atau
dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis
pasien. Alternatif lain untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari
untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari.
Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui OGT. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang
spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai gangguan nafas.
Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau

11
mengalami spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang
perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan
pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan
telah memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari.
Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap 2
hari).9

PENATALAKSANAAN KHUSUS

- Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang
diberikan adalah metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading
dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam
selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-
100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap
penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia > 8
tahun). Penyulit yang ada diberikan antibiotik yang sesuai.9
- Antiserum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai
imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas
tersedia dapat diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-
6000 IU IM.9
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (<
6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS
profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka.
Dosis untuk anak < 7 tahun: 4 IU/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis
untuk anak ≥ 7 tahun: 250 IU IM dosis tunggal.

12
2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada jalan


napas, sehingga pada tetanus yang berat, terkadang memerlukan bantuan
ventilator. Kejang yang berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur
dari tulang panjang, serta rhabdimiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut.
Salah satu komplikasi yang agak sulit ditangani adalah gangguan ototnom, karena
pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan ototnom ini meliputi
hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan bradikardia.3

Pasien dengan tetanus juga berisiko terkena infeksi nosocomial, karena


masa perawatan yang rata- rata agak lama. Kebutuhan nutrisi sering kurang
memadai. Pada kasus dengan spasme abdomen yang cukup berat, pemasangan
kateter vena sentral untuk nutrisi dapat dipetimbangkan, namun cara ini sulit
dilakukan pada Negara berkembang. Pada Negara kita, kita menggunakan terapi
cairan untuk memperbaiki status gizi dan kebutuhan hidrasi pasien.3

2.9 PENCEGAHAN

Tetanus dicegah dengan penangan luka yang baik dan imunisasi.


Rekomendasi WHO tentang imunisasi tetanus adalah 3 dosis awal saat infan,
booster pertama saat umur 4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhir saat dewasa.
Di Amerika, CDC merekomendasikan booster tambahan saat umur 14-16 bulan
disertai booster tiap 10 tahun. Pada orang dewasa yang menerima imunisasi saat
masih anak- anak, namun tidak mendapat booster, direkomendasikan menerima
dosis imunisasi 2 kali dengan selang 4 minggu.3

Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada
keadaan trauma. Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan
kondisi luka khususnya kerentanan terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien.
Tanpa memperhatikan status imunitas aktif pasien, pada semua luka harus
dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik aseptic yang hati-
hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang

13
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka.
Tindakan yang demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus.3

Satu- satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma


dalah reaksi neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek
samping lokal tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid.
Rekomendasi WHO, menganjurkan pemberian imunisasi pada wanita hamil yang
sebelumnya belum pernah diimunisasi, 2 dosis dengan selang 4 minggu tiap
dosisnya. Hal tersebut untuk mencegah tetanus maternal dan neonatal.3

BAB III

KESIMPULAN

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, tanpa gangguan kesadaran.

Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, jika dinding sel kuman lisis
maka dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.

Secara klinis tetanus ada 4 macam: tetanus umum, tetanus local, tetanus
sefalik dan tetanus neonatorum.

Strategi terapi tetanus meliputi penatalaksaan umum yaitu menjaga


kelancaran jalan nafas, oksigenasi, mengatasi kejang, perawatan luka / port
d’entre dan kebutuhan cairan dan nutrisi, serta penatalaksanaan khusus yaitu
pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.

Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor: masa inkubasi, umur, period


of onset, pengobatan, ada tidaknya komplikasi, frekuensi kejang.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Lisboa, T. (2011). Guidelines for the management of accidental tetanus in adult


patients. Rev Bras Ter Intensiva, 394-409.

2. Hassel, B. Tetanus: Pathophysiology, Treatment, and the Possibility of Using


Botulinum Toxin against Tetanus-Induced Rigidity and Spasms. toxins
(Research gate), 73-82; 8 January 2013.
3. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati
S, (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta: Pusat
Penerbitan IPD FKUI; 2014.
4. Current recommendation for treatment of tetanus during humanitarian
emergency, WHO technical note, January 2010

5. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of


Pediatrics. 17th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2007; p. 951-3.
6. Hinfey PB. Tetanus. (Online). https://emedicine.medscape.com/article/229594-
overview, diakses 20 Maret 2020.
7. Dire DJ. Tetanus in Emergency Medicine. (Online).
https://emedicine.medscape.com/article/229594-overview , diakses 21 Maret
2020.

15
8. Edlich RF, Hill LG, et al. Management and Prevention of Tetanus. Journal of
Long-Term Effects of Medical Implants.2003;13(3):139-54.
9. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010; hal.
322-9

16

Anda mungkin juga menyukai