Anda di halaman 1dari 13

ALIH KODE DALAM INTERAKSI JUAL BELI PASAR IKAN ASAP

DESA KEDUNG BOTO, KECAMATAN BEJI, PASURUAN

Rismawati (21801071165)

PBSI 3C

1. Pendahuluan

Kota Kedungboto merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Beji, kabupaten
Pasuruan yang dihuni oleh berbagai etnik, antara lain etnik Jawa, Madura, Tengger, Osing dan
sebagainya. Etnik-etnik tersebut memiliki bahasa daerah masing-masing. Meskipun demikian,
masyarakat Desa Kedung Boto tetap hidup berdampingan secara damai dengan menggunakan
bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing sebagai sarana untuk berinteraksi dan
komunikasi. Masyarakat Desa Kedung Boto dalam berkomunikasi dengan sesama etnik,
terutama dalam ranah sosial, pada umumnya menggunakan bahasa Jawa terkadang menggunakan
bahasa sunda, sedangkan dalam berkomunikasi dengan etnik lain, pada umumnya menggunakan
bahasa Indonesia. Penggunaan beraneka ragam bahasa daerah dan bahasa Indonesia oleh penutur
yang sama dalam masyarakat Desa Kedung Boto, baik secara bersamaan maupun secara
bergantian dapat menyebabkan terjadinya kontak bahasa.

Pedagang Ikan Asap di kawasan Kedung Boto tentunya juga memiliki kemampuan
berbahasa untuk digunakan dalam berkomunikasi dengan pembeli. Sebagian besar dari mereka
menguasai bahasa Jawa, sebab bahasa tersebut merupakan bahasa yang pertama kali dikuasai
(bahasa ibu). Bahasa Indonesia yang dipakai oleh pedagang untuk berkomunikasi merupakan
bentuk-bentuk tuturan untuk menghormati pembeli, karena dilihat dari status sosial atau dari
segi penampilan.

Seorang pedagang Ikan Asap sering kali menggunakan bahasa Indonesia untuk
melayani pembeli. Saat mengetahui pembeli menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa
jawa , pedagang ikut beralih kode menggunakan bahasa daerah yang sama untuk tujuan
mengikuti kode yang digunakan lawan tutur dan untuk membuat suasana menjadi lebih santai.
Pelaku pasar meliputi penjual ikan, penjual kerupuk, penjual minuman dan makanan ringan,
kondisi yang demikian mengakibatkan munculnya percampuran bahasa antar pelaku dan
pembeli. Komunikasi antar pedagang biasanya memakai bahasa daerah yaitu bahasa jawa,
bahasa sunda, bahasa Indonesia atau menggunakan bahasa krama alus. Banyak pedagang
menguasai sedikitnya dua bahasa (bilingual) yang dipakai dalam interaksi jual beli.

2. Rumusan Masalah

2.1 Bagaimana bentuk alih kode dalam interaksi jual beli pasar ikan asap desa kedungboto

kec.beji pasuruan?

2.2 Apa saja faktor-faktor penyebab munculnya alih kode dalam interaksi jual beli pasa ikan asap

desa kedungboto kec.beji pasuruan?

3. Pembahasan

3.1 Bentuk Alih Kode dalam Interaksi Jual Beli Pasar Ikan Asap Desa Kedungboto
Kecamatan Beji Pasuruan

Kode dapat didefinisikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya
mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara
dan situasi tutur yang ada. Poedjosoedarmo (1982: 30) mengatakan kode merupakan suatu sistem
tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur
dengan lawan tutur, dan situasi yang ada. Kode dapat beralih dari varian yang satu kepada varian
yang lainnya. Peralihan kode dapat mengarah dari yang paling formal ke kode yang paling
informal, dari yang paling hormat ke kode yang paling tidak hormat, dari kode yang lengkap ke
kode yang tidak lengkap, dari kode yang kurang dikuasai ke kode yang sudah dikuasai dan
sebaliknya (Poedjosoedarmo, 2001: 24). Kode biasanya berbentuk varian-varian bahasa yang
secara nyata dipakai dalam berkomunikasi dan berinteraksi antara orang satu dengan orang lain.
Bagi masyarakat yang monolingual kode terjadi dari varian-varian satu bahasa, tetapi bagi
masyarakat yang multilingual kode terjadi dari varian satu bahasa atau lebih dari dua bahasa atau
lebih.

Pada dasarnya alih kode merupakan penggantian kode yang berupa bahasa atau ragam
bahasa dari kode yang satu ke kode yang lain pada waktu seseorang bertutur. Menurut
Kridalaksana (1984), pengertian penggantian yang dimaksudkan untuk menyesuaikan diri
dengan peran serta atau situasi lain. Dalam kenyataan sehari-hari, ternyata bahwa ragam bahasa
lebih cenderung memakai alih kode, hal ini disebabkan oleh faktor kemudahan dalam
mendiskripsi suatu peristiwa tutur dengan menghubungkan faktor-faktor yang mempengaruhi
peristiwa tutur. Jadi, apabila seseorang penutur mula-mula menggunakan kode A kemudian
menggunakan kode B, maka peralihan bahasa seperti itu disebut sebagai alih kode. Lebih lanjut
dia juga mengatakan bahwa karena dalam suatu kode terdapat banyak varian, seperti varian
regional, varian kelas sosial, ragam, gaya, register, maka peristiwa alih kode dapat pula berwujud
peralihan dari varian yang satu ke dalam varian yang lain.

Bentuk alih kode menurut Rahardi (2001:20) alih kode dibagi berdasarkan sifatnya
menjadi dua yaitu alih kode intern (internal code switching) dan alih kode ekstern (external code
switching). Menurut Suwito (1983), menjelaskan perbedaan adanya dua macam alih kode, yaitu
alih kode intern dan alih kode ekstern. Alih kode intern yakni yang terjadi antar bahasa daerah
dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah atau beberapa ragam dan
gaya yang terdapat dalam suatu dialek. Adapun yang dimaksud dengan alih kode ekstern adalah
apabila yang terjadi adalah antara bahasa asing dengan bahasa asing. Alih kode intern misalnya
dari bahasa Jawa beralih ke bahasa Indonesia. Alih kode ekstern misalnya dari bahasa Indonesia
beralih ke bahasa Inggris.

Bentuk-bentuk alih kode yang ditemukan dalam tuturan penjual dan pembeli ketika melakukan
transaksi di Pasar Ikan Asap Kedung Boto akan diuraikan sebagai berikut.

1) Alih Kode Intern dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Daerah

Alih kode intern dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah dalam interaksi pedagang dan
pembeli di Pasar Ikan Asap Desa Kedung Boto, Kecamatan Beji, Pasuruan ini terjadi dua
macam peralihan kode bahasa, yakni alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, alih kode
dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, dan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa
Sunda. Berikut akan dipaparkan secara mendalam.

1. Alih kode dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jawa

Penjual 1 : “Ikan patin mbak ?”


Pembeli : “Ikan patinya berapa ?”
Penjual : “Satu kilo dua puluh lima ribu.”
Penjual 1 : “Arep nyandi, mbak ?” (bertemu dengan temannya)
Mba, mau pergi ke mana ?
Penjual 2 : “Aku arep nyang mae Narti.”
Aku mau pergi ke rumah Narti
Pembeli : “Iki uangnya mbak.”

Peristiwa tutur di atas memperlihatkan bahwa penjual dan pembeli menggunakan


dua bentuk bahasa ketika melakukan transaksi di pasar. Kedua bentuk bahasa tersebut adalah
bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Di awal percakapan, baik penjual maupun pembeli
menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi, pembeli beralih kode ke bahasa Jawa ketika
menyapa mitra tuturnya yang mempunyai latar belakang yang sama dengannya. Alih kode
tersebut berbentuk kalimat tanya yang berbunyi arep nyandi Mba? ?‘Mba, mau pergi ke
mana?’. Jadi, yang menyebabkan terjadinya alih kode pada peristiwa tutur di atas adalah
bergantinya peserta tutur.

2. Alih Kode dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia

Pembeli 1 : “Piro lombo ? sakkilo ?”

Berapa cabai ? satu kilo ?

Penjual : “Selawe.”

Rp. 25.000

Pembeli 1 : “Larang banget, oleh kurang ora ?”

Mahal sekali, boleh kurang tidak ?

Penjual : “Oraiso, wes regana pas.”

Tidak bisa, harganya sudah pas

Pembeli 2 : “Ini, berapa mbak ?”


Penjual : “Tiga puluh sekilonya. Harga satu kilo lombok tiga puluh ribu
rupiah.”

Pada peristiwa tutur di atas, para peserta tutur menggunaan bahasa Jawa dan
bahasa Indonesia ketika berinteraksi. Namun, bahasa Indonesia merupakan bentuk alih kode
yang digunakan penjual pada saat bertutur dengan penutur ketiga (pembeli kedua). Bentuk alih
kode yang digunakan penjual berbunyi tiga puluh sekilonya‘harga satu kilo lombok tiga puluh
ribu rupiah’. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada peristiwa tutur di atas penjual
beralih kode karena kehadiran penutur ketiga dan penyesuaian kode.

3. Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Sunda

Peristiwa tutur melibatkan pedagang dan pembeli kaos oblong. Peristiwa tutur terjadi
dalam situasi santai. Hal ini ditandai dengan penggunaan bahasa Indonesia ragam
informalyang dipakai masing-masing penutur. Pembeli dan pedagang mempunyai kesamaan
latar belakang yakni regional Sunda.

Pedagang: “Iya dua puluh ribu, kan gratis satu.”

Pembeli 1: “Buat sahangambil tiga?”

Pembeli 2: “Bukan, kamu beli ini dapat tiga, nanti dibagikan ke kita.”

Pedagang: “Iya...sok mangga.”

Mari silahkan

Pada peristiwa tutur diatas, awalnya pedagang menggunakan bahasa indonesia yang
kemudian beralih kode menggunakan bahasa Sunda. Awalnya, pedagang menggunakan
bahasa Indonesia untuk memberitahukan harga barang yang dipilih pembeli, kemudian
mengetahui pembeli berlatar belakang Sunda, pedagang beralih kode menggunakan bahasa
Sunda untuk membuat suasana lebih akrab dan santai. Peristiwa alih kode pada data diatas ,
ditandai dengan peralihan kode bahasa yang dilakukan oleh pedagang. Pada awalnya
pedagang menggunakan bahasa Indonesia, kemudian beralih kode menggunaan bahasa Sunda.
Penggunaan bahasa Sunda ditandai dengan ‘sok manggak’, ‘mari silahkan’.
3.2 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode dalam Interaksi Jual Beli Pasar Ikan
Asap Desa Kedungboto Kecamatan Beji Pasuruan

Penyebab terjadinya alih kode berhubungan erat dengan pokok persoalan sosiolinguistik
yaitu, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa” (Chaer
dan Leonie Agustina, 2010: 108),. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secaraumum faktor-
faktor penyebab alih kode disebutkan sebagai berikut:

1. Pembicara atau Penutur

Seorang penutur ketika berbicara kepada lawan tutur kadang-kadangdengan sengaja


beralih kodekarena suatu tujuan tertentu, seperti menyindir, menghormati, merendahkan diri,
mengkritik, dan sebagainya.

2. Pendengar atau Mitra Tutur

Setiap penutur biasanya ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tuturnya
dalam masyarakat. Penutur mungkin harus beralih kode untuk mengimbangikode lawan tuturnya.
Suwito (1983) lawan tutur dibedakan menjadi dua golongan, yaitu: (1) Penutur yang berlatar
belakang bahasa yang sama dengan penutur. (2) Lawan tutur yang berlatar belakang yang tidak
sama dengan si penutur.

3. Hadirnya Orang Ketiga

Kehadiran orang ketiga atau orang lain dalam sebuah peristiwa tutur juga dapat
menyebabkan terjadinya alih kode.

4. Perubahan dari Formal ke Informal dan Sebaliknya

Perubahan situasi bicara dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Sebagai contoh
mahasiswa sebelum memulai perkuliahan, sering menggunakan ragam informal untuk
berinteraksi sesama temannya, tetapi begitu kuliah dimulai, bahasa yang digunakan menjadi
ragam formal, maka terjadilah alih kode. Tadinya digunakan bahasa Indonesia ragam santai lalu
berubah menjadi menggunakan bahasaIndonesia ragam formal, kemudiandengan berakhirnya
perkuliahanyang berarti berakhirnya juga situasi formal, dan kembali ke situasi tidak formal,
maka terjadi pula peralihan kode dari bahasa Indonesia ragam formal ke bahasa Indonesia ragam
santai.

5. Perubahan Topik Pembicaraan

Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan
terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan
ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal
disampaikan dengan bahasa tidak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya.

Dalam melakukan kegiatan transaksi jual beli di Pasar Ikan Asap Kedung Boto terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi penjual dan pembeli melakukan alih kode. Faktor-faktor
tersebut sebagai berikut.

1. Pembeli dan penjual saling kenal


Biasanya penjual maupun pembeli yang sudah saling mengenal atau akrab sering
melakukan alih kode. Contoh percakapan:

Pembeli : “Nggawe sopo ngethok pithik.”

Buat siapa memotong ayam

Penjual : “Nggawe orang tadi. Ma Agus apa sampeyan pengin tuku pithik,

sekilo aja, dadi pithike tak kethoki sek.”

Buat orang tadi. Bu Agus mau beli ayam tidak, satu kilo saja, jadi
ayamnya saya potong dulu

Pembeli : “Pinten regane ?”

Berapa harganya ?

Penjual : “35 ewu, sampeyan tuku iki a ?”

35 ribu, kamu beli ini a ?


Pembeli : “Enggeh.”

Iya

Pada percakapan di atas penjual dan pembeli melakukan alih kode. Penjual sudah saling
kenal dengan pembeli, yakni mama Agus. Hal ini dapat dilihat dari penggalan percakapan
penjual kepada pembeli “Ma Agus apa sampeyan pengin tuku pithik, sekilo aja, dadi pithike tak
kethoki sek” (penggalan kalimat 2) yang maknanya adalah Bu Agus beli ayam tidak, sekilo saja
Ibu Agus, jadi ayamnya saya potong dulu. Percakapan tersebut terlihat bahwa penjual sudah
akrab dengan pembeli. Ditemukan bahwa Ibu agus berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa
terhadap temannya, yakni penjual ayam yang beretnis Jawa. Pada awalnya penjual menggunakan
bahasa Jawa untuk berkomunikasi kemudian dijawab oleh pembeli juga menggunakan bahasa
Jawa.

2. Menyesuaikan dengan bahasa pembeli


Alih kode yang juga sering dilakukan adalah disebabkan penjual berusaha
menyesuaikan bahasa yang digunakan oleh pembeli. Agar komunikasi dalam transaksi
jual beli dapat lancar diperlukan bahasa yang dapat dimengerti oleh kedua pembicara,
yakni penjual dan pembeli. Berikut ini adalah percakapan yang
menggambarkan
peristiwa alih kode yang dilakukan penjual menyesuaikan dengan
bahasa pembeli.
Penjual : “Sayur-sayur, Bu.”
Pembeli : “Tuku waluh separo.”
Beli labu setengah
Penjual : “Separo kah, winih iki 20 ewu.”
Setengah sajakah, sebiji yang ini 20 ribu
Pembeli : “Separo aja, mengko ora dimaem maneh kaya wingi.”
Setengah siji, nanti tidak dimakan lagi seperti kemarin
Penjual : “Pancen bener, jejer e 10 ewu. Opo maneh bu ?”
Benar juga, sebelahnya 10 ribu. Apa lagi bu ?
Pembeli : “Iku wae 10 ribu.”
Itu saja 10 ribu

Pada percakapan penjual dan pembeli pada saat membeli sayur,


terlihar bahwa penjual
melakukan alih kode. Pada mulanya penjual pada saat menawarkan sayur
kepada pembeli
menggunakan bahasa Indonesia yang berbunyi “Sayur-sayur, Bu” (penggalan kalimat 1).
Ketika
pembeli datang dan membeli sayur yakni labu dengan menggunakan bahasa
Jawa, penjual pun
beralih menggunakan bahasa Jawa yang berbunyi “Separo kah, winih iki 20 ewu” yang
maknanya adalah ‘setengah sajakah, sebiji yang ini 20 ribu’. Jadi penjual berusaha menyesuaikan
kode bahasa yang digunakan oleh pembeli, yaitu bahasa Jawa (pada penggalan kalimat 2,4,6)
agar komunikasi yang terjalin dapat lancar dan adanya keakraban antara penjual maupun
pembeli. Penutur sering melakukan alih kode untuk mengejar suatu kepentingan.

3. Adanya orang ketiga


Faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan alih kode di Pasar Ikan Asap
Kedung Boto adalah adanya orang ketiga. Orang ketiga yang dimaksud adalah seseorang
yang juga ikut terlibat dalam percakapan. Menemukan penjual yang melakukan alih kode
disebabkan menyesuaikan bahasa temannya yang sama-sama sebagai penjual. Fenomena
alih kode yang dilakukan oleh penjual dapat dilihat pada percakapan transaksi jual beli
ubi di bawah ini.
Pembeli : “Wenak ubi iki ?”
Enak ubi ini ?
Penjual 1 : “Nah, ujare wong wingi wenak.”
Nah, kata orang kemarin enak
Pembeli : “Pinten sakilo ?”
Berapa satu kilo ?
Penjual 1 : “15 ewu aja, wis kathah dituku wong tadi.”
15 ribu saja, sudah banyak dibeli orang tadi
Pembeli : “Delok sek bu.”
Lihat dulu bu
Ketika pembeli memilih ubi, teman dari penjual ubi ini, yakni penjual sayur yang
tempatnya berdekatan menanyakan apakah ada membeli beras. Percakapan antara penjual
tersebut sebagai berikut.
Penjual 2 : “Bu Nurul, ana tuku beras.”
Bu Nurul, ada beli beras
Penjual 1 : “Ana, kulo tuku ing panggonan cak slamet. Wutuh.”
Ada, saya beli di tempat Pak Slamet. Utuh
Penjual 2 : “Pinten rega beras iku ?”
Berapa harga beras itu ?
Penjual 1 : “70 ewu siji karung.”
70 ribu satu karung

Wacana di atas telah memperlihatkan bahwa penjual melakukan alih kode karena
menyesuaikan bahasa yang digunakan oleh lawan bicara. Pada awalnya pedagang sayur
menggunakan bahasa Jawa pada saat melayani pembeli yang bertanya. Pada saat penjual
menjawab pertanyaan dari calon pembelinya yang berbunyi “Nah, ujare wong wingi wenak”
(penggalan kalimat 3) yang maknanya adalah ‘Nah, kata orang kemarin enak’. Peristiwa alih
kode terjadi pada saat penjual ubi menjawab pertanyaan dari temannya yang juga sama-sama
pedagang. Pedagang sayur menanyakan kepada temannya yakni penjual ubi yang berbunyi “ Bu
Nurul, ana tuku beras” (penggalan kalimat 6) yang maknanya adalah ‘Ibu Nurul, kamu ada beli
beras’. Dari percakapan tersebut, penjual mulai beralih kode menggunakan bahasa Jawa untuk
menjawab pertanyaan dari temannya tadi yang berbunyi “Ana, kulo tuku ing panggonan cak
slamaet” (penggalan kalimat7) yang maknanya adalah ‘Ada, aku beli di tempat Pak Slamet.
Utuh’.
4. Penutup

4.1 Kesimpulan

Jenis alih kode yang terjadi dalam interaksi pedagang dan pembeli di Pasar Ikan Asap
Desa Kedung Boto, Kecamatan Beji, Pasuruan terdapat Alih kode berdasarkan arah
peralihannya berupa alih kode intern. Alih kode intern meliputi (a) alih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa Jawa (b) alih kode dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia, dan (c) alih
kode dari bahasa Indonesia ke bahasa sunda.

Beragamnya bahasa yang digunakan dalam dalam proses transaksi jual beli di Pasar Ikan
Asap Kedung Boto Kecamatan Beji, Pasuruan ini, sehingga menimbulkan terjadinya peralihan
bahasa atau alih kode. Kode bahasa yang digunakan oleh masyarakat untuk berkomunikasi
adalah Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Kedua kode bahasa tersebut digunakan oleh
masyarakat di Kecamatan Beji, Pasuruan pada saat proses transaksi jual beli di Pasar. Peristiwa
alih kode yang dilakukan baik penjual maupun pembeli tersebut memiliki sebab. Dalam
melakukan kegiatan transaksi jual beli di Pasar Banjar terdapat beberapa faktor penentu
terjadinya alihkode, yakni 1) pembeli dan penjual sudah saling kenal, 2) menyesuaikan dengan
bahasa pembeli, 3) adanya orang ketiga.

4.2 Saran

Penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan.
Dengan bantuan pedoman dan banyaknya referensi, penulis berharap dapat memperbaiki
penulisan artikel-artikel ilmiah yang lain. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca terutama pada dosen pengampu mata kuliah sosiolinguistik, bapak Prayitno, S.Pd.,
M.Pd.

5. Daftar Rujukan

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1982. Analisis Variasi Bahasa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud.

Kridalaksana. 1984. Kamus Linguistik. Jakrta: Gramedia

Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chaer, Abdul dan Leonika Gustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT
Rineka Cipta.

Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik (Teori dan Problem). Surakarta:Henary


Offiset.

Anda mungkin juga menyukai