Anda di halaman 1dari 7

RIZKI AMELIA HERYANTO

11170700000187
4E
UTS PSIKOLOGI ABNORMAL DAN PATOLOGI

1. Karena validitas beberapa kategori diagnosis masih dipertanyakan. DSM sebagai panduan
diagnosis yang digunakan oleh para ahli kesehatan mental dikritik untuk perlu lebih peka
terhadap faktor budaya dan etnis dalam assessment diagnosisnya karena simtom kriteria
diagnosis dalam DSM ditentukan oleh para klinisi, psikolog, dan pekerja sosial yang
kebanyakan dididik di Amerika Serikat padahal DSM digunakan oleh klinisi, psikiater dan
psikolog di seluruh dunia. Klinisi yang tidak mengetahui latar belakang budaya individu
mungkin dapat salah mengklasifikasikan perilaku individu sebagai perilaku abnormal,
padahal perilaku tersebut masih berada di dalam spektrum perilaku normal di budaya
individu tersebut. Perilaku abnormal juga mungkin saja memiliki bentuk yang berbeda di
budaya lain dan beberapa pola perilaku abnormal mungkin saja hanya ditemukan pada
budaya tertentu. Oleh karena itu, panduan diagnosis tersebut harus direvisi untuk memeriksa
bagian mana yang bekerja dengan baik dan bagian mana yang perlu direvisi untuk
meningkatkan penggunaan klinis dari panduan diagnosis tersebut. Contohnya anoreksia
nervosa. Tekanan untuk menjadi kurus sangatlah umum sehingga diet telah menjadi pola
makan normatif di kalangan wanita muda Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan idealisasi
tubuh yang kurus pada wanita diilustrasikan dengan body mass index juara kontes
kecantikan Miss America yang semakin menurun dari waktu ke waktu. Namun, gangguan
makan kurang umum ditemukan di negara non-Barat yang tidak mengasosiasikan tubuh
kurus dengan kecantikan wanita. Seperti di negara Afrika Ghana, kekurusan ekstrem
dihubungkan dengan berpuasa untuk alasan keagamaan bukannya karena kekhawatiran akan
berat badan. Contoh lain adalah homoseksualitas dimana meskipun gay dan lesbian lebih
rentan untuk mengembangkan masalah psikologis seperti kecemasan dan depresi namun
tidak berarti bahwa masalah psikologis tersebut diakibatkan oleh orientasi seksual. Remaja
gay di masyarakat saat ini harus menerima bahwa seksualitas mereka dipandang dengan
prasangka dan kebencian yang mengakar oleh masyarakat. Proses untuk mendapatkan rasa
penerimaan diri di tengah masyarakat yang begitu intoleran sangatlah sulit sehingga banyak
remaja gay dan lesbian mempertimbangkan untuk mengakhiri hidupnya. Kecemasan dan
depresi yang dialami gay dan lesbian bukan karena orientasi seksualnya tetapi karena sikap
intoleran masyarakat. Sehingga pada tahun 1973, APA mengeluarkan homoseksualitas dari
daftar gangguan mental sejak tahun 1973.
(jilid 1 halaman 22-23, 116-120, jilid 2 halaman 8-9)
2. Kecemasan merupakan kondisi umum dari ketakutan atau perasaan tidak nyaman.
Kecemasan merupakan respon normal terhadap ancaman tetapi kecemasan menjadi
abnormal ketika kecemasan melebihi proporsi dari ancaman yang sebenarnya atau ketika
ancaman muncul tanpa sebab – yakni bila bukan merupakan respons terhadap perubahan
lingkungan. Mengacu pada kriteria abnormalitas, suatu perilaku dikatakan sudah abnormal
apabila perilaku tersebut :
- Perilaku yang tidak biasanya terjadi. Kecemasan yang normal adalah jika apa yang
dicemaskan individu juga dicemaskan oleh orang lain, seperti mencemaskan aspek
kehidupan (kesehatan, hubungan sosial, ujian, karir, hubungan antar negara, dan kondisi
lingkungan). Namun kecemasan yang menjadi abnormal merupakan kecemasan yang
muncul tanpa sebab dan bukan merupakan respon terhadap lingkungan, seperti dalam
kasus The Case of Michael (dalam Psikologi Abnormal oleh Nevid, Rathus, Greene,
2014) dimana Michael mengalami serangan panik secara tiba-tiba tanpa ada tanda atau
pemicunya saat ia berada di lampu merah.
- Mengalami distres personal yang signifikan. Mencemaskan aspek aspek kehidupan
bermanfaat bagi individu karena kecemasan membuat individu melakukan pemeriksaan
medis atau memotivasi untuk belajar menjelang ujian. Tetapi dalam kasus Michael, dia
merasa sangat terganggu secara emosional dan membuatnya sangat tidak nyaman
sehingga akhirnya Michael memutuskan untuk menepikan mobilnya sampai dirinya
merasa tenang.
- Perilaku berbahaya. Kecemasan dalam tahap abnormal dapat membahayakan individu
itu sendiri. Dalam kasus Michael, jika dia tidak menepikan mobilnya, Michael bisa
kehilangan fokus kemudi karena desakan desakan yang luar biasa untuk keluar dari
mobil dan hal itu bisa saja membahayakan nyawanya karena Michael sedang berada di
jalan.
(jilid 1 halaman 6-8, 182-183)
3. A) Terapi perilaku dalam menangani gangguan obsesif kompulsif dilakukan dengan teknik
exposure with response prevention. Komponen exposure melibakan pemaparan situasi yang
menumbuhkan pemikiran obsesif. Bagi banyak orang, situasi tersebut sulit dihindari. Klien
dapat diminta untuk secara sengaja memunculkan pemikiran obsesif dengan cara
meninggalkan rumah dalam kondisi berantakan atau tidak terkunci. Komponen response
prevention melibatkan penghindaran perilaku kompulsif agar tidak kembali muncul.
Individu yang kompulsif tidak boleh memeriksa kembali apakah pintu sudah dikunci.
Melalui response prevention, orang dengan OCD belajar menoleransi kecemasan yang
dipicu oleh pemikiran obsesif mereka sembari dicegah untuk melakukan ritual
kompulsifnya. Dengan proses exposure secara berulang, kecemasan pada akhirnya mereda.
b) CBT (Cognitive Behaviour Therapy) juga sering digabungkan dengan ERP dimana
komponen kognitif melibatkan memperbaiki cara berpikir yang terganggu (distorsi
kognitif). CBT menghasilkan manfaat yang kurang lebih sama dengan penanganan SSRI
dan mungkin memberikan hasil yang lebih bertahan lama.
c) Antidepresan SSRI (fluoksetin, paroksetin, dan klomipramin) meningkatkan
ketersediaan neurotransmitter serotonin di otak. Namun sebagian besar orang yang
ditangani dengan SSRI terus mengalami simtom OCD.
Beberapa orang dengan OCD mungkin akan mendapatkan keuntungan dari kombinasi
penanganan psikologis dan obat-obatan.
(jilid 1 hal 218-219)
4. Menurut Model Diatesis Stress, orang yang rentan berfantasi, sangat mudah dihipnosis, dan
terbuka untuk diubah kesadarannya memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan
orang lain untuk mengembangkan pengalaman disosiatif ketika dihadapkan dengan
kekerasan traumatis. Konsep DID merepresentasikan sebuah cara menangani dan selamat
dari kekerasan masa kecil yang parah dan repetitif. Anak yang mengalami tindak kekerasan
yang parah akan membentuk kepribadian alter yang memungkinkan anak untuk melarikan
diri secara psikologis dari penderitaan yang dialaminya. Seiring waktu, kepribadian alter
dapat menjadi stabil sehingga menyulitkan seseorang untuk mempertahankan suatu
kepribadian yang utuh. Pada masa dewasa orang orang dengan kepribadian ganda mungkin
menggunakan kepribadian alternya untuk menghalau ingatan traumatis masa kecilnya dan
menutupi reaksi emosional mereka sehingga mereka dapat melupakannya dan memulai
kehidupan baru dalam bentuk kepribadian alter.
(jilid 1 halaman 248)
5. Gangguan factitious adalah kondisi dimana orang memalsukan atau mengarang simtom-
simtom fisik atau psikologis yang mereka rasakan tetapi tanpa motif yang jelas. Simtom-
simtomnya tidak memberikan keuntungan atau penghargaan eksternal yang jelas. Sehingga
gangguan factitious berperan sebagai kebutuhan psikologis yang mendasari seseorang untuk
berpura pura sakit atau membuat dirinya sakit sehingga gangguan ini diklasifikasikan
sebagai jenis gangguan mental atau psikologis. Namun tidak sama dengan malingering,
yaitu kondisi dimana orang mungkin akan berpura-pura sakit karena ingin mendapatkan
penghargaan atau insentif seperti menghindari pekerjaan atau untuk mendapatkan tunjangan
disabilitas. Malingering mungkin dianggap menipu dan berlaku tidak jujur tetapi tidak
dikategorikan sebagai gangguan psikologis dalam DSM.
(jilid 1 halaman 251-252)
6. Psikiater Aaron Beck menghubungkan perkembangan depresi dengan pengadopsian cara
berpikir yang bias dan terdistorsi secara negatif di masa awal kehidupannya yang disebut
segitiga kognitif dari depresi dimana individu memiliki pandangan negatif tentang diri
sendiri, pandangan negatif tentang lingkungan, dan pandangan negatif tentang masa depan.
Teori kognitif menyatakan bahwa orang-orang yang mengadopsi cara berpikir negatif seperti
itu memiliki resiko yang lebih besar untuk menjadi depresi ketika dihadapkan dengan
pengalaman hidup yang membuat stres atau pengalaman hidup yang mengecewakan.
Sedangkan Seligman mengatakan bahwa beberapa bentuk depresi pada manusia mungkin
diakibatkan pada paparan situasi yang tampaknya tidak dapat dikendalikan. Model
ketidaberdayaan yang dipelajari menyatakan bahwa seseorang bisa menjadi depresi karena
mereka belajar untuk melihat diri mereka sebagai pribadi yang tidak berdaya untuk
mengubah hidup mereka menjadi lebih baik. Dalam kasus Jonathan yang kehilangan
pacarnya, ia memiliki pandangan negatif tentang dirinya dimana ia merasa tidak dicintai
sehingga hubungannya berakhir dengan kekecewaan. Selain itu setelah kehilangan
pekerjaannya, Jonathan merasa dirinya tidak memiliki kinerja yang baik dan tidak mampu
untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik sehingga Jonathan merasa dirinya penuh
kegagalan dan kesulitan yang tak kunjung usai.
(jilid 1 hal 297-300, dan 302-303)
7. a) Depresan
- Opioid. Opioid menghasilkan dorongan atau perasaan bahagia yang hebat serta
menurunkan kesadaran dari masalah personal seseorang yang menarik seseoran yang tengah
mencari jalan keluar mental dari stres untuk menggunakannya.
- barbiturat, mempunyai efek menenangkan dan menimbulkan kondisi euforia ringan.
Barbiturat yang berdosis tinggi menyebabkan kebingungan, pembicaraan yang kacau,
gangguan motorik, mudah marah, dan penilaian yang buruk serta akan berakibat buruk
ketika penggunaannya diiringi dengan mengendarai kendaraan bermotor.
b) Stimulan
- amfetamin. Beberapa pengguna menyuntikkan metamfetamin selama berhari-hari untuk
mempertahankan perasaan “melayang” yang lebih lama. Perasaan “melayang” tersebut
perlahan akan berakhir. Orang yang terus menerus “melayang” terkadang “jatuh” dan
tertidur pulas atau menjadi depresi. Beberapa orang melakukan bunuh diri di saat efeknya
mulai mereda. Dosis yang tinggi dapat menyebabkan kelelahan, mudah marah, halusinasi,
delusi paranoid, kehilangan nafsu makan dan insomnia.
- ekstasi, dapat menghasilkan efek psikologis yang merugikan, termasuk depresi,
kecemasan, insomnia, dan bahkan paranoia dan psikosis. Obat ini dapat mengakibatkan
kerusakan otak yang mengganggu kinerja kognitif pada tugas tugas yang melibatkan atensi,
pembelajaran, dan memori. Ekstasi membunuh atau merusak saraf yang menghasilkan
neurotransmitter dopamin dan serotonin, zat kimia utama pada otak yang terlibat dalam
pengaturan kondisi mood dan kemampuan untuk merasakan kesenangan di kehidupan
sehari-hari. Efek sampingnya pada tubuh adalah detak jantung dan tekanan darah yang lebih
tinggi, rahang menegang atau bergemerutuk, dan tubuh terasa panas dan/atau dingin. Ekstasi
dapat menyebabkan kematian jika dikonsumsi dalam dosis tinggi.
c) Halusinogen
- Phencyclidine, menyebabkan halusinasi, PCP meningkatkan detak jantung dan tekanan
darah serta menyebabkan berkeringat, merona, dan mati rasa. PCP diklasifikasikan sebagai
delirian – obat yang mampu menciptakan kondisi delirium. PCP juga memiliki dampak
disosiatif, menyebabkan penggunanya merasa seperti terdapat batasan di antara mereka dan
lingkungan mereka. Disosiasi dapat dirasakan sebagai pengalaman yang menyenangkan,
mengikat, atau menakutkan, tergantung pada ekspektasi, mood, situasi pengguna, dan
sebagainya. Overdosis dapat menyebabkan rasa kantuk dan tatapan kosong, kejang, dan
pada saat tertentu, koma; paranoia dan perilaku agresif, serta insiden tragis akibat distorsi
persepsi atau terganggunya penilaian selama masa intoksikasi.
- Mariyuana, dalam dosis rendah dapat menimbulkan perasaan tenang serupa dengan efek
yang dihasilkan dari minum minuman beralkohol. Namun, dosis tinggi sering kali membuat
penggunanya menarik diri. Beberapa pengguna percaya bahwa obat tersebut meningkatkan
kapasitas mereka untuk melakukan self insight atau berpikir kreatif, meskipun gagasan yang
dicapai di bawah pengaruh mariyuana mungkin tidak terlalu hebat begitu efek mariyuana
habis. Seseorang dapat mengonsumsi mariyuana, dan obat lain, untuk membantu mereka
mengatasi masalah kehidupan atau untuk membantu mereka berfungsi ketika sedang
tertekan. Orang yang sangat terintoksikasi menganggap waktu berlalu dengan lebih lambat
serta menyadari detak jantung meningkat. Perokok mariyuana melaporkan kondisi
intoksikasi berat mengakibatkan peningkatan sensasi seksual. Halusinasi visual dapat terjadi.
(jilid 1 halaman 336-353)
8. Cognitive Behavioral Therapy telah menjadi penanganan pilihan untuk insomnia. CBT
memberikan keuntungan terapeutik yang substansial, yang diukur dengan berkurangnya
waktu yang dibutuhkan untuk tertidur dan dengan meningkatkan kualitas tidur. Penanganan
ini juga membuahkan hasil yang lebih baik dalam jangka panjang ketimbang obat tidur.
Lagipula, mengonsumsi pil tidak membantu orang dengan insomnia mempelajari kebiasaan
tidur yang lebih adaptif. Obat tidur bisa memberikan hasil yang lebih cepat, tetapi
pengobatan perilaku cenderung memberikan hasil yang bertahan lama. Bagaimanapun,
menambahkan obat tidur pada CBT dalam jangka pendek dapat meningkatkan manfaat
pengobatan dibandingkan penggunaan CBT saja, tetapi jika diteruskan selama beberapa
bulan, pemberian obat tidur tidak akan bermanfaat.
(jilid 1 halaman 298 dan 302).
9. Pada anoreksia nervosa, individu akan membuat dirinya kelaparan sehingga menyebabkan
berat badannya sangat rendah. Selain itu orang dengan anoreksia nervosa memiliki
ketakutan berlebih akan pertambahan berat badan meskipun sudah sangat kurus, citra tubuh
yang terdistorsi dimana dia menganggap dirinya gemuk padahal sudah sangat kurus, serta
gagal mengenali risiko yang ditimbulkan dari menjaga berat badan pada tingkat yang sangat
rendah. Serupa dengan anoreksia nervosa, penderita bulimia nervosa amat takut menjadi
gemuk. Hanya saja penderita bulimia nervosa tidak membuat dirinya kelaparan seperti
penderita anoreksia nervosa bahkan penderita bulimia ditandai dengan berulangnya episode
mengonsumsi makanan berlebihan yang diikuti dengan muntah. Penderita bulimia nervosa
memiliki berat badan yang masih dalam batas normal juga memiliki perasaan tidak mampu
mengendalikan perilaku makan selama episode makan berlebih namun memiliki ketakutan
berlebih pada peningkatan berat badan sehingga biasanya orang yang mengalami bulimia
nervosa memuntahkan makanannya dengan cara menyumbat kerongkongannya sendiri.
Berbeda dengan bulimia nervosa, binge-eating disorder adalah kondisi dimana seseorang
makan banyak secara berulang namun tidak memuntahkannya. Seseorang bisa makan secara
berlebih saat sendirian karena memiliki rasa malu jika melakukannya di depan orang
banyak, namun setelahnya mereka merasa jijik dengan diri sendiri, atau depresi, atau
dipenuhi perasaan bersalah. BED bisa termasuk dalam domain perilaku kompulsif yang
lebih luas yang ditandai dengan melemahnya kendali terhadap perilaku maladaptif.
(Jilid 2 halaman 3, 5-7, dan 19)

Anda mungkin juga menyukai