Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendidikan Kesehatan

1. Pengertian

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan

untuk mempengaruhi orang lain, baik individu, kelompok atau masyarakat,

sehingga mereka melakukan apa yang di harapkan oleh pelaku pendidikan,

yang tersirat dalam pendidikan adalah: input adalah sasaran pendidikan

(individu, kelompok, dan masyarakat), pendidik adalah (pelaku pendidikan),

proses adalah (upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain),

output adalah (melakukan apa yang diharapkan atau perilaku)

(Notoatmodjo, 2012).

Kesehatan adalah keadaan sehat baik secara fisik, mental, spiritual,

maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif

secara sosial dan ekonomi, dan menurut WHO yang paling baru ini memang

lebih luas dan dinamis dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang

mengatakan, bahwa kesehatan adalah keadaan sempurna, baik fisik maupun

mental dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat (Notoatmodjo, 2012).

Pendidikan kesehatan adalah aplikasi atau penerapan pendidikan

dalam bidang kesehatan. Secara opearasional pendidikan kesehatan adalah

semua kegiatan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan, sikap,

praktek baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan

meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2012).


2. Tujuan Pendidikan Kesehatan

Menurut Susilo (2011) tujuan pendidikan kesehatan terdiri dari :

a. Tujuan kaitannya dengan batasan sehat

Menurut WHO (1954) pendidikan kesehatan adalah untuk

mengubah perilaku orang atau masyarakat dari perilaku tidak sehat

menjadi perilaku sehat. Seperti kita ketahui bila perilaku tidak sesuai

dengan prinsip kesehatan maka dapat menyebabkan terjadinya gangguan

terhadap kesehatan. Masalah ini harus benar-benar dikuasai oleh semua

kader kesehatan di semua tingkat dan jajaran, sebab istilah sehat, bukan

sekedar apa yang terlihat oleh mata yakni tampak badannya besar dan

kekar.

Mungkin saja sebenarnya ia menderita batin atau menderita

gangguan jiwa yang menyebabkan ia tidak stabil, tingkah laku dan

sikapnya. Untuk menapai sehat seperti definisi diatas, maka orang harus

mengikuti berbagai latihan atau mengetahui apa saja yang harus

dilakukan agar orang benar-benar menjadi sehat.

b. Mengubah perilaku kaitannya dengan budaya

Sikap dan perilaku adalah bagian dari budaya. Kebiasaan, adat

istiadat, tata nilai atau norma, adalah kebudayaan. Mengubah kebiasaan,

apalagi adat kepercayaan yang telah menjadi norma atau nilai di suatu

kelompok masyarakat, tidak segampang itu untuk mengubahnya. Hal itu

melalui proses yang sangat panjang karena kebudayaan adalah suatu

sikap dan perilaku serta cara berpikir orang yang terjadinya melalui

proses
belajar. Meskipun secara garis besar tujuan dari pendidikan kesehatan

mengubah perilaku belum sehat menjadi perilaku sehat, namun perilaku

tersebut ternyata mencakup hal yang luas, sehingga perlu perilaku

tersebut dikategorikan secara mendasar. Susilo membagi perilaku

kesehatan sebagai tujuan pendidikan kesehatan menjadi 3 macam yaitu :

1) Perilaku yang menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai di

masyarakat. Dengan demikian kader kesehatan mempunyai tanggung

jawab di dalam penyuluhannya mengarahkan pada keadaan bahwa

cara-cara hidup sehat menjadi kebiasaan hidup masyarakat sehari-hari.

2) Secara mandiri mampu menciptakan perilaku sehat bagi dirinya

sendiri maupun menciptakan perilaku sehat di dalam kelompok. Itulah

sebabnya dalam hal ini Pelayanan Kesehatan Dasar (PHC = Primary

Health Care) diarahkan agar dikelola sendiri oleh masyarakat, dalam

hal bentuk yang nyata adalah PKMD. Contoh PKMD adalah

Posyandu. Seterusnya dalam kegiatan ini diharapkan adanya langkah-

langkah mencegah timbulnya penyakit.

3) Mendorong berkembangnya dan penggunaan sarana pelayanan

kesehatan yang ada secara tepat. Ada kalanya masyarakat

memanfaatkan sarana kesehatan yang ada secara berlebihan

Sebaliknya sudah sakit belum pula menggunakan sarana kesehatan

yang ada sebagaimana mestinya.


3. Sasaran Pendidikan Kesehatan

Menurut Susilo (2011) sasaran pendidikan kesehatan di indonesia,

berdasarkan kepada program pembangunan di Indonesia adalah :

a. Masyarakat umum dengan berorientasi pada masyarakat pedesaan.

b. Masyarakat dalam kelompok tertentu, seperi wanita, pemuda, remaja.

b. Termasuk dalam kelompok khusus ini adalah kelompok pendidikan mulai

dari TK sampai perguruan tinggi, sekolah agama swasta maupun negeri.

c. Sasaran individu dengan teknik pendidikan kesehatan individu.

4. Faktor –faktor yang mempengaruhi pendidikan kesehatan

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar pendidikankesehatan

dapat mencapai sasaran (Saragih, 2010) yaitu :

a. Tingkat Pendidikan

Pendidikan dapat mempengaruhi cara pandang seseorang

terhadap informasi baru yang diterimanya. Maka dapat dikatakan bahwa

semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin mudah seseorang

menerima informasi yang didapatnya.

b. Tingkat Sosial Ekonomi

Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang, semakin

mudah pula dalam menerima informasi baru.

c. Adat Istiadat

Masyarakat kita masih sangat menghargai dan menganggap adat

istiadat sebagai sesuatu yang tidak boleh diabaikan.


d. Kepercayaan Masyarakat

Masyarakat lebih memperhatikan informasi yang disampaikan

oleh orang-orang yang sudah mereka kenal, karena sudah ada

kepercayaan masyarakat dengan penyampai informasi.

e. Ketersediaan waktu di masyarakat

Waktu penyampaian informasi harus memperhatikan tingkat

aktifitas masyarakat untuk menjamin tingkat kehadiran masyarakat

dalam penyuluhan.

5. Ruang Lingkup Pendidikan Kesehatan

Ruang lingkup pendidikan kesehatan menurut Mubarak (2009)

yaitu:

a. Dimensi Sasaran

1) Pendidikan kesehatan individual dengan sasaran individu.

2) Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok.

3) Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat.

b. Dimensi Tempat Pelaksanaannya

1) Pendidikan kesehatan di sekolah, dilakukan di sekolah dengan sasaran

murid yang pelaksanaannya diintegrasikan dengan Upaya Kesehatan

Sekolah (UKS).

2) Pendidikan kesehatan di pelayanan kesehatan, di Pusat Kesehatan

Masyarakat, Balai Kesehatan, Rumah Sakit Umum maupun khusus

dengan sasaran pasien dan keluarga pasien.


3) Pendidikan kesehatan di tempat-tempat kerja dengan sasaran buruh

atau karyawan.

c. Tingkat Pelayanan Pendidikan Kesehatan

1) Promosi Kesehatan (Health Promotion).

2) Perlindungan Khusus (Specific Protection).

3) Diagnosa dini dan pengobatan segera (Early Diagnosis and Prompt

Treatment).

4) Pembatasan cacat (Disability Limitation).

5) Rehabilitasi (Rehabilitation).

6. Metode Pendidikan Kesehatan

Metode pendidikan kesehatan menurut Achyar (2009), yaitu :

a. Metode ceramah

Ceramah ialah menyajikan pelajaran melalui penuturan secara

lisan atau penjelasan langsung.

b. Metode diskusi kelompok

Diskusi kelompok ialah percakapan yang dipersiapkan diantara

tiga orang atau lebih membahas topik tertentu dengan seorang pemimpin,

untuk memecahkan suatu permasalahan serta membuat suatu keputusan.

c. Metode panel

Panel adalah pembicara yang sudah direncanakan di depan

pengunjung atau peserta tentang sebuah topik dan diperlukan tiga panelis

atau lebih serta diperlukan seorang pemimpin.


d. Metode permainan peran

Bermain peran adalah metode pembelajaran sebagai bagian dari

simulasi yang diarahkan untuk mengkreasikan peristiwa sejarah, aktual,

atau kejadian yang akan datang.

e. Metode demonstrasi

Demonstrasi ditunjukan untuk mengevaluasi perubahan

psikomotor dengan memperliatkan cara melaksanakan suatu tindakan

atau prosedur dengan alat peraga dan tanya jawab.

7. Media Pendidikan Kesehatan

Menurut Nursalam (2008) media pendidikan kesehatan adalah

saluranbkomunikasi yang dipakai untuk mengirimkan pesan kesehatan.

Media dibagi menjadi 3, yaitu: cetak, elektronik, media papan (billboard).

a. Media cetak

1) Booklet : untuk menyampaikan pesan dalam bentuk pesan tulisan

maupun gambar, biasanya sasarannya masyarakat yang bisa membaca.

2) Leaflet : penyampaian pesan melalui lembar yang dilipat biasanya

berisi gambar atau tulisan atau biasanya kedua-duanya.

3) Flyer (selebaran) :seperti leaflet tetapi tidak berbentuk lipatan.

4) Flip chart (lembar balik) : informasi kesehatan yang berbentuk lembar

balik dan berbentuk buku. Biasanya berisi gambar dibaliknya berisi

pesan kalimat berisi informasi berkaitan dengan gambar tersebut.

5) Rubik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah, mengenai hal

yang berkaitan dengan hal kesehatan.


6) Poster :berbentuk media cetak berisi pesan-pesan kesehatan biasanya

ditempel di tembok-tembok tempat umum dan kendaraan umum.

7) Foto : yang mengungkapkan masalah informasi kesehatan.

b. Media elektronik

1) Televisi : dalam bentuk ceramah di TV, sinetron, sandiwara, dan

vorum diskusi tanya jawab dan lain sebagainya.

2) Radio :bisa dalam bentuk ceramah radio, sport radio, obrolan tanya

jawab dan lain sebagainya.

3) Vidio Compact Disc (VCD).

4) Slide : slide juga dapat digunakan sebagai sarana informasi.

5) Film strip juga bisa digunakan menyampaikan pesan kesehatan.

c. Media papan (bill board)

Papan yang dipasang di tempat-tempat umum dan dapat dipakai

dan diisi pesan-pesan kesehatan.

B. Pendidikan Bencana

Pendidikan bencana adalah merupakan proses pembelajaran melalui

penyediaan informasi, pengetahuan, dan kewaspadaan terhadap peserta didik

guna membentuk kesiapan bencana di level individu dan komunitas. Melalui

pendidikan bencana, peserta didik didorong untuk mengetahui resiko bencana,

mengumpulkan informasi terkait mitigasi bencana, dan menerapkannya pada

situasi bencana (Shiwaku et al., 2007).

Aplikasi bencana yang secara sederhana dapat diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari meliputi melakukan simulasi bencana di keluarga,


menolong korban bencana, memiliki perlengkapan darurat (disaster kit),

mengetahui tempat berlindung saat bencana, dan mengetahui fasilitas tanggap

darurat yang tersedia di instansi terkait (Kapucu, 2008).

C. Pengetahuan

1. Pengertian

Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan merupakan hasil dari

tahu yang terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek

tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan sebagian

besar diperoleh dari mata dan telinga. Pengatahuan merupakan pedoman

dalam membentuk tindakan seseorang.

2. Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif

menurut Notoatmodjo (2012) mempunyai enam tingkat, yakni:

a. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari

sebelumnya. Pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diterima. Contoh tahu yaitu dapat menyebutkan

tanda – tanda gerakan tanah.


b. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan

secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi

materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan

materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum,

rumus, metode, prinsip, dan penggunakan rumus statistik.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi

atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam

suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannnya satu sama

lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari pengggunaan kata-kata

kerja dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan,

memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

e. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Misalnya: dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat

meringkas, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau

rumsan-rumusan yang telah ada.


f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Evaluasi

dilakukan dengan menggunakan kriteria sendiri atau kriteria yang telah

ada. Pengetahuan dapat diperoleh dengan cara tradisional dan juga cara

modern (Suparyanto, 2012), cara tradisional ada empat cara yaitu:

1) Cara coba-salah (trial and error)

2) Cara kekuasaan atau otoritas

3) Berdasarkan pengalaman pribadi

4) Melalui jalan pikiran

Pengetahuan yang diperoleh dengan cara tradisional ada dua cara

yaitu:

1) Metode berfikir induktif

2) Metode berfikir deduktif

Pengetahuan yang diperoleh dipengaruhi oleh faktor internal

maupun faktor eksternal (Suparyanto, 2012), faktor-faktor tersebut antara

lain:

1) Faktor Internal

a) Pendidikan

Tokoh pendidikan abad 20 M. J. Largevelt yang dikutip

oleh Notoatmodjo (2003) mendefinisikan bahwa pendidikan adalah

setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan

kepada anak yang tertuju kepada kedewasaan. Sedangkan GBHN


Indonesia mendefinisikan bahwa pendidikan sebagai suatu usaha

dasar untuk dari pengalaman dan kematanganjiwanya, makin tua

seseorang maka makin kondusif dalam menggunakan koping

terhadap masalah yang dihadapi.

2) Faktor Eksternal

a) Informasi

Informasi adalah keseluruhan makna dapat diartikan

sebagai pemberitahuan seseorang adanya informasi baru mengenai

suatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya

sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif dibawa oleh

informasi tersebut apabila arah sikap tertentu. Pendekatan ini

biasanya digunakan untuk menggunakan kesadaran masyarakat

terhadap suatu inovasi yang berpengaruh perubahan perilaku,

biasanya digunakan malalui media massa.

b) Kebudayaan/Lingkungan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan

mempunyai pengaruh besar terhadap pengetahuan kita. Apabila

dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk selalu menjaga

kebersihan lingkungan maka sangat mungkin berpengaruh dalam

pembentukan sikap atau sikap seseorang.

Pembriati (2013) menerangkan bahwa pengertian

pengetahuan kebencanaan adalah kemampuan dalam mengingat

peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan


mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang

disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun

faktor manusia yang dapat mengakibatkan timbulnya korban jiwa

manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak

psikologis. Priambodo (2013:22) menerangkan bahwa yang

dimaksud dengan bencana adalah suatu kejadian alam, buatan

manusia, atau perpaduan antara keduanya yang terjadi secara tiba –

tiba sehingga menimbulkan dampak negatif yang dahsyat bagi

kelangsungan kehidupan. Pendapat ini didukung adanya Pasal 1

Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana yang menerangkan bahwa bencana adalah peristiwa atau

rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan

dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor

alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga

mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Jenis –

jenis bencana dibagi menjadi tiga yaitu:

i. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa

atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara

lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,

kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

ii. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain


berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah

penyakit.

iii. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa

atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang

meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas

masyarakat, dan teror. Saat darurat bencana dan peristiwa krisis

secara alami kacau dan sangat dinamis, menciptakan fisik,

emosional, dan kekacauan sosial. Peristiwa krisis tersebut dan

keadaan darurat, komunikasi sangat penting pada semua fase

penanggulangan bencana. Komunikasi selama darurat

menggabungkan berbagai langkah-langkah untuk mengelola

risiko bagi masyarakat dan lingkungan, menggambar dari

berbagai sumber yang mencakup satelit telekomunikasi, radar,

telemetri, meteorologi dan remote sensing, peringatan dini

dibuat mungkin. Sebelum terjadi bencana, telekomunikasi dapat

digunakan sebagai saluran untuk menyebarkan informasi tentang

bahaya yang akan datang, sehingga memungkinkan bagi orang

untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengurangi

dampak bahaya ini. Aplikasi telekomunikasi lainnya, termasuk

penginderaan jauh dan Global Positioning System (GPS),

memiliki peran penting dalam pelacakan mendekati bahaya,

peringatan pihak berwenang, peringatan yang terpengaruh


populasi, operasi bantuan koordinasi, menilai kerusakan dan

memobilisasi dukungan untuk rekonstruksi.

D. Peran Perawat Dalam Managemen Bencana

Pelayanan keperawatan tidak hanya terbatas diberikan pada instansi

pelayanan kesehatan seperti rumah sakit saja. Tetapi pelayanan keperawatan

tersebut juga sangat dibutuhkan dalam situasi bencana. Perawat tidak hanya

dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan dasar praktek keperawatan

saja. Kemampuan tanggap bencana juga sangat dibutuhkan saat keadaan

darurat. Hal ini diharapkan menjadi bekal bagi perawat untuk bisa terjun

memberikan pertolongan dalam situasi bencana. Kegiatan penanganan siaga

bencana memang berbeda dibandingkan pertolongan medis dalam keadaan

normal lainnya. Menurut Mursalin (2011), ada beberapa tindakan penting yang

bisa dilakukan oleh perawat dalam situasi tanggap bencana :

1. Pengobatan dan pemulihan kesehatan fisik

Bencana alam yang menimpa suatu daerah, selalu akan memakan

korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban luka luka,

kerusakan fasilitas pribadi dan umum, yang mungkin akan menyebabkan

isolasi tempat, sehingga sulit dijangkau oleh para relawan. Hal yang paling

urgen dibutuhkan oleh korban saat itu adalah pengobatan dari tenaga

kesehatan. Perawat bisa turut andil dalam aksi ini, baik berkolaborasi

dengan tenaga perawat atau pun tenaga kesehatan profesional, ataupun juga

melakukan pengobatan bersama perawat lainnya secara cepat, menyeluruh

dan merata di tempat bencana. Pengobatan yang dilakukan pun bisa

beragam,
mulai dari pemeriksaan fisik, pengobatan luka, dan lainnya sesuai dengan

profesi keperawatan.

2. Pemberian bantuan

Perawatan dapat melakukan aksi galang dana bagi korban bencana,

dengan menghimpun dana dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk,

seperti makanan, obat obatan, keperluan sandang dan lain sebagainya.

Pemberian bantuan tersebut bisa dilakukan langsung oleh perawat secara

langsung di lokasi bencana dengan memdirikan posko bantuan. Selain

itu, Hal yang harus difokuskan dalam kegiatan ini adalah pemerataan

bantuan di tempat bencana sesuai kebutuhan yang di butuhkan oleh para

korban saat itu, sehinnga tidak akan ada lagi para korban yang tidak

mendapatkan bantuan tersebut dikarenakan bantuan yang menumpuk

ataupun tidak tepat sasaran.

3. Pemulihan kesehatan mental

Para korban suatu bencana biasanya akan mengalami trauma

psikologis akibat kejadian yang menimpanya. Trauma tersebut bisa berupa

kesedihan yang mendalam, ketakutan dan kehilangan berat. Tidak sedikit

trauma ini menimpa wanita, ibu ibu, dan anak anak yang sedang dalam

massa pertumbuhan. Sehingga apabila hal ini terus berkelanjutan maka akan

mengakibatkan stress berat dan gangguan mental bagi para korban bencana.

Hal yang dibutukan dalam penanganan situasi seperti ini adalah pemulihan

kesehatan mental yang dapat dilakukan oleh perawat. Pada orang dewasa,

pemulihannya bisa dilakukan dengan sharing dan mendengarkan segala

keluhan keluhan yang dihadapinya, selanjutnya diberikan sebuah solusi dan


diberi penyemangat untuk tetap bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara

yang efektif adalah dengan mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal

ini mengingat sifat lahiriah anak anak yang berada pada masa bermain.

Perawat dapat mendirikan sebuah taman bermain, dimana anak anak

tersebut akan mendapatkan permainan, cerita lucu, dan lain sebagainnya.

Sehingga kepercayaan diri mereka akan kembali seperti sedia kala.

4. Pemberdayaan masyarakat

Kondisi masyarakat di sekitar daerah yang terkena musibah pasca

bencana biasanya akan menjadi terkatung katung tidak jelas akibat

memburuknya keaadaan pasca bencana., akibat kehilangan harta benda yang

mereka miliki. sehinnga banyak diantara mereka yang patah arah dalam

menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa menolong membangkitkan

keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan masyarakat. Masyarakat

perlu mendapatkan fasilitas dan skill yang dapat menjadi bekal bagi mereka

kelak. Perawat dapat melakukan pelatihan pelatihan keterampilan yang

difasilitasi dan berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak

dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah

bencana akan mampu membangun kehidupannya kedepan lewat

kemampuan yang ia miliki.

Untuk mewujudkan tindakan di atas, menurut Mepsa (2012) perlu

adanya beberapa hal yang harus dimiliki oleh seorang perawat, diantaranya

adalah, perawat harus memiliki skill keperawatan yang baik, perawat harus

memiliki jiwa dan sikap kepedulian, perawat harus memahami managemen


siaga bencana. Adapun peran perawat dalam menagemen siaga bencana

adalah sebagai berikut :

a. Peran perawat dalam fase pre-impect

1) Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan

dalam penanggulangan ancaman bencana.

2) Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintahan, organisasi

lingkungan, palang merah nasional, maupun lembaga-lembaga

pemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan dan simulasi

persiapan menghadapi ancaman bencana.

3) Perawat terlibat dalam program promosi kesehatan untuk

meningkatkan kesiapan masyarakat dalam mengahdapi bencana.

b. Peran perawat dalam fase impact

1) Bertindak cepat

2) Perawat seharusnya tidak menjanjikan apapun dengan pasti dengan

maksud memberikan harapan yang besar pada korban yang selamat.

3) Berkonsentrasi penuh pada apa yang dilakukan

4) Kordinasi dan menciptakan kepemimpinan

5) Untuk jangka panjang, bersama-sama pihak yang tarkait dapat

mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing, biasanya

untuk jangka waktu 30 bulan pertama.

c. Peran perawat dalam fase post impact

1) Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik, fisikologi

korban.
2) Stress fisikologi yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi

post traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom

dengan 3 kriteria utama. Pertama, gejala trauma pasti dapat dikenali.

Kedua, individu tersebut mengalami gejala ulang traumanya melalui

flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang memacuhnya.

Ketiga, individu akan menunjukan gangguan fisik. Selain itu, individu

dengan PTSD dapat mengalami penurunan konsentrasi, perasaan

bersalah dan gangguan memori.

3) Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait

bekerja sama dengan unsure lintas sektor menangani maslah keehatan

masyarakat paska gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan

(recovery) menuju keadaan sehat dan aman.

E. Definisi Kesiapsiagaan

1. Pengertian Kesiapsiagaan

Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah

yang tepat guna dan berdaya guna. Tujuannya adalah untuk mengurangi

dampak negatif dari bencana. Kesiapsiagaan bencana merupakan proses dari

penilaian, perencanaan dan pelatihan untuk mempersiapkan sebuah rencana

tindakan yang terkoordinasi dengan baik (Undang-Undang No.24 Tahun

2007).

Berdasarkan LIPI (2006), Ada 7 (tujuh) stakeholder yang berkaitan

erat dengan kesiapsiagaan bencana, yaitu : individu dan rumah tangga,


instansi pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan bencana, komunitas

sekolah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi non

pemerintah (Ornop), kelembagaan masyarakat, kelompok profesi dan pihak

swasta. Dari ke tujuh stakeholders tersebut, rumah tangga, pemerintah dan

komunitas sekolah disepakati sebagai stakeholders utama dan empat

stakeholders lainnya sebagai stakeholders pendukung dalam kesiapsiagaan

bencana.

Kesiapsiagaan bencana mencakup langkah-langkah untuk

memprediksi, mencegah dan merespon terhadap bencana. Koordinasi lintas

sektoral diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan berikut seperti yang telah

disebutkan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006), bahwa ruang lingkup

kesiapsiagaan dikelompokkan kedalam empat parameter yaitu pengetahuan

dan sikap (knowledge and attitude), perencanaan kedaruratan

(emergency planning), sistem peringatan (warning system), dan mobilisasi

sumber daya. Pengetahuan lebih banyak untuk mengukur pengetahuan dasar

mengenai bencana alam seperti ciri-ciri, gejala dan penyebabnya.

Perencanaan kedaruratan lebih ingin mengetahui mengenai tindakan apa

yang telah dipersiapkan menghadapi bencana alam. Sistem peringatan

adalah usaha apa yang terdapat di pemerintahan/masyarakat dalam

mencegah terjadinya korban akibat bencana dengan cara tanda-tanda


peringatan yang ada.

Pendidikan dan pelatihan kebencanaan merupakan salah satu upaya

penanggulangan bencana pada tahap kesiapsiagaan bencana. (Renstra BNPB

2010-2014). Pelatihan kebencanaan sangat diperlukan baik untuk petugas

maupun untuk masyarakat yang bakal terkena bencana. (Soehatman,2010).

Pelatihan yang diperlukan berkaitan dengan penanggulangan bencana

misalnya:

a. Pelatihan mengenai manajemen resiko bencana, diharapkan petugas

memiliki wawasan mengenai manajemen bencana termasuk perundang-

undangannya sehingga mampu mengembangkannya dilingkungan

masing-masing, mampu menyusun dan menilai suatu analisa resiko

bencana.

b. Pelatihan mengenai penanganan suatu bencana menurut jenisnya,

misalnya bencana banjir, longsor, gempa bumi, tsunami, bencana

industri, atau bencana sosial.

c. Teknik melakukan pertolongan seperti resque atau penyelamatan lainnya.

d. Teknik bantuan medis (P3K) dan bantuan medis lainnya.

e. Pelatihan mengenai prosedur penanggulangan bencana yang meliputi

mitigasi bencana, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan rehabilitasi dan

rekonstruksi.

f. Pelatihan mengenai sistem informasi dan komunikasi bencana.


g. Pelatihan manajemen logistik bencana.

h. Pelatihan standar pelayanan minimal kesehatan bencana dan pengungsi.

2. Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya Penanggulangan Bencana

Tanah Longsor

a. Kesiapsiagaan Pra Bencana

Ada beberapa hal yang harus dilakukan masyarakat dalam

kesiapsiagaan menghadapi bencana tanah longsor, antara lain :

1) Tidak menebang atau merusak hutan

2) Melakukan penanaman tumbuh-tumbuhan berakar kuat, seperti nimbi,

bambu, akar wangi, lamtoro dan sebagainya pada lereng-lereng yang

gundul

3) Membuat saluran air hujan

4) Membangun dinding penahan di lereng-lereng yang terjal

5) Memeriksa keadaan tanah secara berkala

6) Mengukur tingkat kederasan hujan

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk

menghindari korban jiwa dan harta akibat tanah longsor, diantaranya :

1) Membangun pemukiman jauh dari daerah yang rawan.

2) Bertanya pada pihak yang mengerti sebelum membangun.

3) Membuat peta ancaman.

4) Melakukan deteksi dini


b. Kesiapsiagaan Saat Bencana

Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan masyarakat saat

tanah longsor terjadi, diantaranya :

1) Segera keluar dari daerah longsoran atau aliran runtuhan/puing

kebidang yang lebih stabil.

2) Bila melarikan diri tidak memungkinkan, lingkarkan tubuh anda

seperti bola dengan kuat dan lindungi kepala anda.posisi ini akan

memberikan perlindungan terbaik untuk badan anda.

c. Kesiapsiagaan Pasca Bencana

Ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan masyarakat setelah

tanah longsor terjadi, diantaranya :

1) Hindari daerah longsoran, dimana longsor susulan dapat terjadi.

2) Periksa korban luka dan korban yang terjebak longsor tanpa

langsung memasuki daerah longsoran.

3) Bantu arahkan SAR kelokasi longsor.

4) Bantu tetangga yang memerlukan bantuan khusus anak-anak, orang

tua, dan orang cacat.

5) Dengarkan siaran radio lokal atau televise untuk informasi keadaan

terkini.

6) Wapada akan adanya banjir atau aliran reruntuhan setelah longsor.


7) Laporkan kerusakan fasilitas umum yang terjadi kepada pihak yang

berwenang.

8) Periksa kerusakan pondasi rumah dan tanah disekitar terjadinya

longsor.

9) Tanami kembali daerah bekas longsor atau daerah sekitarnya untuk

menghindari erosi yang telah merusak lapisan atas tanah yang dapat

menyebabkan banjir bandang.

10) Mintalah nasehat pada ahlinya untuk mengevaluasi ancaman dan

teknik untuk mengurangi resiko tanah longsor.

3. Kesiapsiagaan Pemerintah Setempat dalam Upaya Penanggulangan

Bencana Tanah Longsor

Pan American Health Organization (PAHO,2006), menyatakan

bahwa tujuan khusus dari upaya kesiapsiagaan bencana adalah menjamin

bahwa sistem, prosedur, dan sumber daya yang tepat siap ditempatnya

masing-masing untuk memberikan bantuan yang efektif dan segera bagi

korban bencana sehingga dapat mempermudah langkah-langkah pemulihan

dan rehabilitasi layanan.

Menurut Soemantri (2010), tanah longsor disebabkan oleh tiga

faktor yaitu :

a. Faktor Dakhil, penyebab tanah longsor lahan meliputi kedalaman

pelapukan batuan, struktur geologi, tekstur tanah dan permeabilitas

tanah.

b. Faktor dari suatu medan penyebab tanah longsor adalah kemiringan

lereng, banyaknya dinding terjal, dan penggunaan lahan.


c. Faktor pemicu terjadinya tanah longsor antara lain tebal curah hujan dan

gempa bumi.

Adapun gejala-gejala tanah longsor yang disebabkan oleh faktor-

faktor terbut di atas dapat di lihat sebagai berikut :

a. Curah hujan tinggi

b. Hujan berlangsung lama

c. Munculnya retakan-retakan pada tanah di lereng atas seperti pada tiang

listrik, pohon menjadi mirip

d. Lereng-lereng pegunungan yang telah lapuk

e. Bahan lapuk tersebut termasuk tanah berwarna merah

f. Ada perubahan bobot massa baik pergantian musim atau karena lahan

miring tersebut dijadikan persawahan

g. Adanya perbedaan kelunakan permukaan lahan dan dasar lahan

h. Adanya gravitasi bumi yang tergantung pada besarnya lereng adalah

kritis jika lereng lebih dari 100%

i. Perubahan hambatan geser

Sedangkan tindakan manusia yang menyebabkan tanah longsor

adalah sebagai berikut :

a. Menebang pohon dilereng pegunungan

b. Membuat sawah dan kolam lereng bagian atas dekat pemukiman

c. Mendirikan pemukiman di daerah tebing terjal

d. Melakukan penggalian dibawah tebing terjal


Soemantri (2010) juga menjelaskan bahwa mitigasi becana

meliputi sebelum, saat terjadi, dan sesudah terjadi tanah longsor, yaitu

melalui langkah-langkah sebagai berikut :

a. Sebelum bencana antara lain peringatan dini (early warning system)

secara optimal dan terus menerus pada masyarakat, dengan :

1) Mendatangi daerah rawan longsor berdasarkan peta kerentanannya

2) Memberikan tanda khusus pada daerah rawan longsor

3) Memanfaatkan peta-peta kajian tanah longsor secepatnya

4) Pemukiman sebaiknya menjauhhi tebing

5) Tidak melakukan pemotongan lereng

6) Melakukan reboisasi pada hutan yang pada saat ini dalam keadaan

gundul

7) Membuat terasering atau sengkedan

8) Membatasi lahan pertanian

9) Membuat saluran pembuangan air menurut kontur tanah

10) Menggunakan teknik penanaman dengan system kontur tanah

11) Waspada gejala tanah longsor (retakan, penurunan tanah), terutama

musim hujan

b. Saat bencana antara lain bagaimana masyarakat menyelamatkan diri dan

ke arah mana, ini harus diketahui masyarakat.

c. Sesudah bencana antara lain pemulihan (recovery) dengan melibatkan

masyarakat sebagai berikut :

1) Penyelamatan korban secepatnya ke daerah yang lebih aman.


2) Menyelamatkan harta benda yang mungkin masih bisa diselamatkan.

3) Menyiapkan tempat-tempat darurat.

4) Menyediakan dapur-dapur umum, air bersih, dan sarana kesehatan.

5) Mengkoordinasikan dengan aparat setempat.

Hal senada juga tercantum dalam Undang-Undang Penanggulangan

Bencana Nomor 24 Tahun 2007 yang memuat komponen-komponen

sebagai berikut :

a. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang

dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi

ancaman bencana.

b. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melaluii langkah

yang tepat guna dan berdaya guna.

c. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan

sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya

bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

d. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana,

baik melalui pembangunan fisik maupun penyandaran dan peningkatan

kemampuan menghadapi ancaman bencana.

e. Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menanggapi dampak

buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan

evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan,

penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.


f. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan

publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca

bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara

wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada

wilayah pasca bencana.

g. Rekontruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,

kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat

pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan

berkembangnya kegiataan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya

hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam

segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pasca bencana.

Anda mungkin juga menyukai