Anda di halaman 1dari 4

MATERI I

JURNALISME DAN PROFESI WARTAWAN

Terdapat satu adagium yang bunyinya begini: "Wartawan Tahu Banyak Tapi Sedikit".
Ungkapan ini merujuk pada karakter jurnalis pada umumnya, baik di Indonesia maupun di
berbagai Negara. Maknanya bahwa, seorang jurnalis memiliki pengetahuan dan wawasan
terhadap berbagai bidang ilmu pengetahuan yang berkembang di masyarakat tetapi tidak
mendalami secara spesifik setiap cabang ilmu tersebut. Penjelasan sederhananya, seorang
wartawan dapat berdiskusi mengenai bidang apapun tetapi hanya sebatas kulit luarnya saja
atau hal-hal yang bersifat umum pada apa yang tampak di permukaan, tidak mendalam.
Contohnya, seorang wartawan dapat memberikan gagasan perihal pelayanan kesehatan
sebuah Rumah Sakit (RS), tetapi ketika diminta untuk memberikan pendapat perihal
tindakan medis seperti operasi pemasangan ring jantung, diagnosa penyakit, dan lain-lain
yang berupa tindakan medis kedokteran, maka seorang wartawan tidak lagi memiliki
pengetahuan perihal tersebut. Kondisi inilah yang mempengaruhi perkembangan media
selanjutnya. Dalam perekrutan dan distribusi Sumberdaya Manusia (SDM) pada media
massa merujuk pada kapasitas setiap reporternya. Sebuah perusahaan media tidak lagi
didominasi oleh reporter yang memiliki latar belakang pendidikan publisistik atau
komunikasi. Kini, perusahan media merekrut SDM dari berbagai latar belakang pendidikan,
seperti Ilmu Hukum, Teknik, Pertanian, Arsitektur, Geologi, Ilmu Ekonomi, dan lain
sebagainya. Hal ini dilakukan perusahaan media untuk memenuhi harapan audiens terhadap
informasi yang mendalam, valid, memiliki kekuatan data yang akurat dan informatif.
Untuk memenuhi kebutuhan akan informasi yang berkualitas itulah perusahaan
media membuka ruang untuk multi disiplin ilmu. Karena seluruh media, baik media
konvensional (televisi, radio, majalah, surat kabar); media siber dan media sosial,
menyajikan berbagai rubrik informasi yang disandarkan pada beragam disiplin ilmu yang
berkembang. Maka dibutuhkan jurnalis-jurnalis dari berbagai disiplin ilmu tersebut.
Terdapat banyak pengertian tentang jurnalis atau wartawan. Seperti disampaikan Mariani,
dkk (2007) bahwa jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari, mengumpulkan,
mengolah, menyusun dan menyajikan informasi tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari
secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya sehingga
terjadi perubahan sikap, sifat, pendapat dan perilaku khalayak sesuai dengan kehendak para
jurnalisnya.
Di Indonesia, perkembangan media dan jurnalistik dinamis. Dimulai dari era Pers
Perjuangan di mana wartawan turut andil dalam Kemerdekaan RI, kemudia era Pers
Pembangunan di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Disebut Pers Pembangunan sesuai
dengan agenda kerja pemerintahan saat itu dan media diarahkan untuk terlibat dan
mendukung pemerintah. Hanya saja, para praktisi media di Indonesia memandang bahwa
Pers di era Orde Baru merupakan fase kelam sejarah pers Indonesia. Di mana, media berada
di bawah tekanan dan kontrol ketat pemerintah. Media media kritis mengalami
pembredelan, di antaranya: Majalah Tempo, Majalah Editor, dan Tabloid DeTik, pada tahun
1994. Ketiga media tersebut dibredel setelah memberitakan perihal dugaan mark-up
anggaran pembelian 39 kapal perang bekas asal Jerman, dari semula USD 12,7 juta
membengkak menjadi USD 1,1 miliar. Kemudian, Pers memasuki era Demokrasi yang
ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pokok Pers. UU
ini ditanda tangani oleh Presiden B.J. Habibie, yang menggantikan Presiden Soeharto. Vase
ini disambut gembira para aktivis kebebasan berpendapat bahwa keran informasi terbuka
lebar. Setelah golombang reformasi inilah media di Indonesia menempati posisi terbaiknya,
sebagai pilar keempat dari Negara demokrasi: Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, dan Pers.
Harapan besar masyarakat terhadap media untuk menjalankan peran watch dog (anjing
penjaga) yang bermakna sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan menemukan momentum
tepat ketika berbagai skandal korupsi muncul.
Gelombang reformasi mempengaruhi perkembangan media di Indonesia. Pers
menjadi sangat bebas, dimana peraturan tentang Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP) yang
tadinya menjadi payung hukum Negara dalam mengontrol Pers telah tiada. Polemik tentang
kebebasan Pers kemudian muncul, sebagian masyarakat ketika itu memandang Pers telah
kebablasan dan keluar dari fungsinya sebagai Pilar Demokrasi. Salah satu peristiwa yang
menandai dilema Pers Indonesia adalah polemik Presiden Megawati Soekarno Putri dengan
Redaksi Rakyat Merdeka. Ketika itu, Harian Rakyat Merdeka menerbitkan tulisan dengan
judul "Mulut Mega Bau Solar", "Mega Lintah Darat", "Mega Lebih Ganas dari Sumanto", dan
"Mega Cuma Sekelas Bupati". Judul-judul ini dimuat harian itu pada 6, 8, 30 Januari, dan 4
Februari 2003. Megawati menyebut Pers telah kebablasan, dan ia melaporkan pemberitaan
tersebut sebagai perkara hukum dengan sangkaan pencemaran nama baik. Di tengah
polemik tentang kebebasan Pers, Pers Indonesia terus berinovasi mengikuti kemajuan
teknologi informasi. Media bergerak dari era konvensional menuju era digital dengan
memanfaatkan berbagai platform seperti facebook, Instagram, twitter, line, dan lain
sebainya. Inilah yang disebut era new media, di mana masyarakat menggunakan media
sosial sebagai sumber informasi. Inovasi informasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi
wartawan yang bekerja di perusahaan media mainstream. Peran mereka tergerus oleh
kecepatan informasi yang beredar di media digital, di mana semua orang bisa menjadi
pewarta. Pelaku informasi di media digital relatif mengabaikan etika jurnalistik, berbeda
dengan wartawan media mainstream yang terikat dengan etika jurnalistik.

Anda mungkin juga menyukai