Anda di halaman 1dari 22

PENGANTAR PENDIDIKAN

“SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL”

Disusun Oleh:
Kelompok 8 ( Delapan )
Azha Fifine Andrastya (18144100003)
Didha Kurnia Alamsyah (18144100011)
Kindy Sely Nurohmah (18144100005)

Dosen Pengampu: Novianti Retno Utami, M.Pd

Program Studi : Pendidikan Matematika


Universitas PGRI Yogyakarta Tahun 2018)2019
Jl. PGRI 1 Sonosewu No. 117 Yogyakarta (55182) Telp. (0274)376808, 373198,
373038 fax. (0274) 376808
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah
pengantar pendidikan dengan judul “Sistem Pendidikan Nasional” tepat pada
waktunya.
Kami mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu, sehingga dapat memperlancar dalam proses penyusunan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa maupun aspek lainnya. Oleh
karena itu, dengan senang hati kami menerima jika ada saran maupun kritik dari
para pembaca, demi memperbaiki makalah ini.
Kami sangat mengharapkan semoga dari makalah ini dapat diambil
manfaatnya dan dapat menginspirasi para pembaca.

Yogyakarta, … November 2018

Kelompok 8
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................2
C. Tujuan........................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA...................................................................3
BAB III PEMBAHASAN........................................................................4
A. Kelembagaan Dalam Pendidikan..............................................4
B. Landasan Hukum Pendidikan....................................................6
C. Pendidikan menurut Undang-Undang Dasar 1945....................11
D. Prinsip –Prinsip Pembelajaran..................................................12
BAB IV PENUTUP..................................................................................18
A. Kesimpulan...............................................................................18
B. Saran..........................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................19
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penididikan merupakan suatu kegiatan yang bersifat umum bagi setiap
manusia di mukabumi ini. Pendidikan tidak terlepas dari segala kegiatan manusia.
Dalam kondisi apapun manusia tidak dapat menolak efek dari penerapan
pendidikan. Pendidikandiambil dari kata dasar didik, yang ditambah imbuhan
menjadi mendidik. Mendidik berarti memlihara atau memberi latihan mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran. Dari pengertian ini didapat beberapa hal yang
berhubungan dengan pendidikan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah suatu usaha
manusia untuk mengubah sikap dan tata laku seseorang atau sekolompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Pada
hakikatnya pendidikan adalah usaha manusia untuk memanusiakan manusia itu
sendiri. Dalam penididkan terdapat dua subjek pokok yang saling berinteraksi.
Kedua subjek itu adalah pendidik dan subjek didik. Subjek-subjek itu tidak harus
selalu manusia, tetapi dapat berupa media atau alat-alat pendidikan. Sehingga
pada pendidikan terjadi interaksi antara pendidik dengan subjek didik guna
mencapai tujuan pendidikan.
Menurut wadah yang menyelenggarakan pendidikan, pendidikan dapat
dibedakan menjadi pendidikan formal, informal dan nonformal.
Pendidikan formal adalah segala bentuk pendidikan atau pelatihan yang
diberikansecara terorganisasi dan berjenjang, baik bersifat umum maupun bersifat
khusus. Contohnya adalah pendidikan SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi
negeri ataupunswasta. Pendidikan Informal adalah jenis pendidikan atau
pelatihan yang terdapat didalam keluarga atau masyarkat yang diselenggarakan
tanpa ada organisasi tertentu (bukan organisasi). Pendidkan nonformal adalah
segala bentuk pendidikan yang diberikan secara terorganisasi tetapi diluar wadah
pendidikan formal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kelembagaan dalam pendidikan?
2. Bagaimana landasan hukum pendidikan?
3. Bagaimana pendidikan menurut Undang-Undang Dasar 1945?
4. Bagaimana prinsip-prinsip pembelajaran?
C. Tujuan
Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini
adalah sebagai berikut:
a) Memenuhi tugas yang diberikan pada mata kuliah Pengantar
Pendidikan Universitas PGRI Yogyakarta.
b) Sebagai bentuk perhatian mahasiswa terhadap masalah pendidikan
yang dihadapi Indonesia.
c) Suatu usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia.
d) Membantu dalam membahas dan menanggulangi masalah yang
dihadapi di dalam dunia pendidikan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Setiap bangsa memiliki sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional


masing-masing bangsa berdasarkan pada jiwa dan kebudayaan, kebudayaan
tersebut sarat dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui sejarah
sehingga mewarnai seluruh gerak hidup satu bangsa.
Pendidikan adalah usaha besar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan dirinya.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD
NKRI tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional
Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Sistem pendidikan
nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara
terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Sistem pendidikan nasional diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta
dibawah tanggung jawab menteri pendidikan dan kebudayaaan dan menteri
lainnya, seperti menteri agama dan menetri pertahanan dan keamanan, juga
departemen lainnya yang menyelenggarakan pendidikan yang disebut diklat.
Moh. Suardi, S.Pd mengemukakan teori mengenai kelembagaan pendidikan,
Landasan hukum pendidikan, dan pendidikan menurut Undang-Undang Dasar
1945, yang lebih mengarah kepada teori dan aplikasi pengantar pendidikan.
Rudi Hartono mengemukakan teori mengenai prinsip-prinsip pembelajaran
agar model mengajar lebih mudah diterima murid.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kelembagaan Dalam Pendidikan


1. Kelembagaan Pendidikan
Pendidikan nasional dilaksanakan melalui lembaga-lembaga pendidikan
baik disekolah maupun dalam bentuk belajar kecil.
Berdasarkan UUD RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan
Nasional, kelembagaan pendidikan menurut jalur pendidikan dan
pengelolaan pendidikannya adalah:
a. Jalur Pendidikan Sekolah
Jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan
disekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan
berkesinambungan (pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan
tinggi) dan ini sifatnya formal yang diatur berdasarkan ketentuan pemerintah
yang mempunyai keseragaman pola dan bersifat nasional.
b. Jalur pendidikan luar sekolah
Jalur pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang bersifat
kemasyarakatan yang diselenggarakan diluar sekolah melalui kegiatan
belajar mengajar yang tidak berjenjang dan tidaak berkesinambungan.
Contohnya kepramukaan, dan berbagai jenis kursus.

2. Jenjang pendidikan
Adapun dalam BAB IV Pasal 13 dalam Undang-Undang sistem
pendidikan nasional, jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
a. Pendidikan dasar
Pendidikan dasar adalah pendidikan yang bisa memberikan bekal untuk
hidup bermasyarakat berupa sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia tentang sistem pendidikan
nasional BAB VI Pasal 17 ayat 1, 2, 3 Tahun 2003 tentang pendidikan dasar:
(1) pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang
pendidikan menengah, (2) pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD)
dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lainnya yang sederajat serta
sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrasah Tsa-nawiyah (MTs), atau
bentuk lain yang sederajat. (3) ketentuan mengenai pendidikan dasar
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh
peraturan pemerintah.
b. Pendidikan menengah
Pendidikan menengah lamanya tiga tahun sesudah pendidikan dasar dan
diselenggarakan di SLTA ( sekolah lanjutan tingkat atas) atau satuan
pendidikan yang sederajat. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB VI Pasal 18 ayat 1, 2, 3, 4 tahun
2003 tentang pendidikan menengah, (1) pendidikan menengah merupakan
lanjutan pendidikan dasar; (2) pendidikan menengah terdiri atas pendidikan
menangah umum dan pendidikan menengah kejuruan; (3) pendidikan
menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), Madrasah Aliyah,
(MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah
Kejuruan.
c. Pendidikan tinggi
Pendidikan tinggi merupakan lanjutan dari pendidikan menengah, yang
diselenggarakan untuk peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik dan profesional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk mencapai tujuan tersebut lembaga tinggi melaksanakan misi
“Tridarma” pendidikan tinggi, yang meliputi pendidikan, penilitian, dan
pengabdian kepada masyarakat dalam ruang lingkup tanah air Indonesia.
Pendidikan tinggi juga berfungsi sebagai jembatan antara pengembangan
bangsa dan kebudayaan nasional dengan perkembangan interenasional.
Untuk itu dengan tujuan kepentingan nasional, pendidikan tinggi secara
terbuka dan selektif mengikuti perkembangan kebudayaan yang terjadi di
luar Indonesia untuk diambil manfaatnya bagi perkembangan bangsa dan
kebudayaan Indonesia.

B. Landasan Hukum Pendidikan


Kata landasan dalam hukum berarti melandasi atau mendasari atau menjadi
titik tolak. Landasan hukum guru boleh mengajar, midalnya, adalah surat
keputusan pengangkatan sebagai guru, beserta hak dan kewajibannya. Surat
keputusan itu merupakan titik tolak untuk ia bisa melaksanakan pekerjaan sebagai
guru. Begitu pula anak-anak sekarang diwajibkan untuk belajar paling sedikit
sampai ke tingkat SLTP, kewajiban ini dilandasi atau didasari atau bertitik tolak
pada peraturan pemerintah tentang pendidikan dasar dan ketentuan tentang wajib
belajar.
Hukum atau aturan baku tidak selalu dalam bentuk tertulis. Sering aturan itu
dalam bentuk lisan tetapi diakui dan ditaati oleh masyarakat, dan dituturkan
secara lisan turun temurun di masyarakat. Hukum seperti ini juga bisa menjadi
landasan pendidikan. Kalau masyarakat masih taat melaksanakan gotong royong
dalam kehidupan, maka sekolah pun perlu menanamkan kegotong-royongan
dalam kehidupan kepada para siswanya.

1. Badan Hukum Pendidikan


Pasal 51 Sisdiknas mengamanatkan bahwa pengelolaan satuan pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip managemen berbasis
sekolah/madrasah. Yang dimaksud dengan managemen berbasis
sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi mangemen pendidikan pada satuan
pendidikan, yang dalam hal ini pada kepala sekolah/madrasah dan guru bantu
oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.
Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilakasanakan berdasarkan prinsip
otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan. Untuk
melaksanakan otonomi satuan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan,
Pasal 53 UU Sisdiknas mengamanatkan bahwa penyelenggara atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan. Badan hukum pendidikan berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan kepada peserta didik. Badan hukum pendidikan berprinsip
nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk mamajukan satuan
pendidikan.
Sesuai amanat UU Sisdiknas, pemerintah dan komisi X DPR RI sedang
menyiapkan rancangan undang-undang tentang badan hukum pendidikan (RUU
BHP). keberatan atas RUU itu terutama datang dari penyelenggara pendidikan
berbasis masyarakat (swasta), dengan alasan akan menghilangkan aset pendiri
yang dialihkan ke BHP. Kelompok perguruan tinggi negeri juga keberatan atas
RUU itu karena mengkhawatirkan kemampuan mereka untuk mandiri. Di pihak
lain para mahasiswa mengecam bahwa dengann UU BHP pemeribtah akan
melepaskan tanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan sebagaimana
diamanatkan oleh UUD 1945. keberatan mahasiswa didasarkan pada kenyataan
biaya SPP naik hingga 200% setelah perguruan tinggi menjadi BHMN.
Semua reaksi negatif tersebut bersumber pada kekhawatiran akan kehilangan
hak dan keuntungan yang selama ini dinikmati oleh penyelenggara pendidikan
dan peserta didik. Padahal secara umum mutu layanan pendidikan yang diberikan
oleh satuan pendidikan belum sepadan dengan yang seharusnya diterima oleh
peserta didik dengan pola pendanaan (dan subsidi) sekarang ini, pendidikan tidak
mampu menghasilkan mutu lulusan yang kompetitif dibanding lulusan negara-
negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Dengan status sebagai badan hukum pendidikan, diharapkan satuan
pendidikan dasar, menengah, dan tinggi akan lebih mandiri mengelola kegiatan
pendidikan termasuk penggunaan dana pendidikan. Selama ini, satuan pendidikan
yang diselenggarakan oleh pemerintah hanya perpanjangan tangan dari biokrasi
otoritas pendidikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah (sebagai unit
pelaksanaan teknis, UPT). satuan pendidikan tidak mempunyai kewenangan
mengatur penggunaan dana pendidikan, kurikulum, pengadaan guru, maupun
pengadaan sarana belajar. Dengan status badan hukum, satuan pendidikan akan
mempunyai otonomi, dan dituntut tanggung jawab serta akuntabilitas atau mutu
layanan dan lulusan pendidikan sesuai dengan dana (pengorbanan) yang
diperoleh mereka dari peserta didik, masyarakat, dan pemerintah.

2. KBK dan KTSP


Bentuk otonomi lain yang diamanatkan oleh UU Sisdiknas adalah
penyusunan kurikulum pendidikan oleh satuan pendidikan (KTSP). ada juga
kurikulum yang dikembangkan berbasis kompetensi (competency-based
curriculum) atau KBK.
Beda anatara kedua pendekatan kurikulum tersebut adalah kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) disusun berdasarkan tingkat-tingkat kompetensi, dan
ujiannya dalam bentuk kompetensi. KBK ini berbeda dengan kurikulum berbasis
mata pelajaran, yang disusun berdasarkan kelompok disiplin ilmu (bidang studi),
dan ujiannya berbasis mata pelajaran.
Mengenai KTSP, UU Sisdiknas dalam Pasal 38 mengamanatkan bahwa
kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan
relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dians pendidikan atau
kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan kantor
provinsi untuk pendidikan menengah. Kerangka dasar dan struktur kurikulum
pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh pemerintah, yang memuat
standar isi, standar kompetensi dasar, dan standar kompetensi lulusan.
Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang
bersangkutan dengan mengacgu mpada standar nasional pendidikan untuk setiap
program studi. Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi
dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
Otonomi perguruan tinggi dalam menyusun kurikulum sudah berlangsung
lama, tapi otonomi satuan pendidikan dasar dan menengah dalam menyusun
kurikulum mulai sejak diundangkannya UU Sisdiknas. Akibatnya, tidak banyak
satuan pendidikan yang mampu menyusun kurikulum satuan pendidikan (KTSP),
karena memang guru dan satuan pendidikan belum pernah dipersiapkan untuk
menyusun kurikulum secara mandiri. Dalam praktik, satuan pendidikan hanya
menyalin saja kurikulum 1994, dan seolah-olah sudah disusun oleh guru-guru
bersama komite sekolah/madrasah. Koordinasikan ke dinas pendidikan/Kanwil
Departemen Agama agar sesuai dengan potensi dan kondisi daerah.

3. Sistem Kredit Semester, Belajar Tuntas, dan Ujian Kompetensi


Kebijakan pendidikan tentang proses pembelajaran yang terkait dengan
pelaksanaan KBK dan KTSP adalah Sistem Kredit Semester (SKS), belajar
tuntas, dan ujian nasional. Pelaksanaan KBK paling tepat dengan proses
pembelajaran sistem kredit semester (SKS) dan belajar tuntas yang
memungkinkan peserta didik mempunyai kurikulum secara individual, bukan
klasikal. Pelaksanaan SKS dan belajar tuntas adalah untuk menjamin bahwa
peserta didik yang lulus ujian kompetensi benar-benar sudah menuntaskan
pembelajaran yang disyaratkan kurikulum. Sebagai konsekuensi dari
pembelajaran dengan (SKS) dan belajar tuntas, adalah ujian nasional seharusnya
diselenggarakan sebagai bentuk uji kompetensi yang berfungsi sebagai tanda
kelulusan pendidikan baik dalam pengertian sebagai lisensi untuk melanjutkan
pendidikan ke yang lebih tinggi maupun lisensi yang memenuhi persyaratan
kompetensi untuk melakukan pekerjaan didunia kerja.
Hingga saat ini penyusunan kurikulum, proses belajar, dan sistem pengujian
kompetensi peserta didik belum mengacu pada konsep KBK ada KTSP yang
sesungguhnya. Dengan demikian akuntabilitas dalam aspek mutu layanan dan
mutu lulusan pendidikan belum memenuhi tuntutan agar peserta didik menguasai
kompetensi yang sesuai dengan amanat UU Sisdiknas. Kebutuhan akan
pengembangan kemampuan satuan pendidikan melaksanakan pembelajaran
dengan sistem kredit, belajar tuntas, dan sistem ujian berbasis kompetensi sesuai
dengan potensi di lingkungan satuan pendidikan merupakan tantangan akan
perlunya visi baru dari peran dan fungsi UPI Bandung sebagai LPTK yang sudah
mapan.

4. Pendanaan Pendidikan Sistem Hibah


Salah satu yang dihadapi oleh satuan pendidikan dalam meningkatkan mutu
layanan adalah tidak adanya kewenangan dalam menentukan cara menggunakan
dana pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.
Pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, subsidi diberikan
dalam bentuk tenaga guru, buku ruang belajar, serta fasilitas penunjang
pembelajaran. Kepala sekolah menjadi perpanjangan tangan borokrasi
pendidikan, sedangkan guru hanya sebagai pelaksana tugas yang mengajar
dihitung secara jam-jaman perminggu.
Satuan pendidikan tidak berdaya jika subsidi yang diterima tidak sesuai
dengan kebutuhan nyata, baik dalam jumlah, mutu, maupun ketetapan waktu
untuk digunakan oleh satuan pendidikan. Jumlah yang tidak mencukupi, mutu
yang tidak sesuai dengan ketentuan pedagogik, serta waktu penerimaan sudah
terlambat yaitu diakhir tahun ajaran, merupakan contoh pengalaman pihak satuan
pendidikan atau korban dari sistem pendanaan pendidikan.
Pola yang sama terjadi pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat (swasta). kepala sekolah atau guru hanya pelaksana kebijakan
yayasan. Penyediaan anggaran pendidikan, selain sangat minim, juga tidak
menentu kapan dapat disediakan, semua tergantung pada kemampuan ekonomi
peserta didik sebagai sumber pendanaan. Kalau biaya pendidikan tinggi, peserta
didik akan protes. Pada saat yang sama, peserta didik dan masyarakat menuntut
layanan mutu pendidikan yang prima.
Untuk mengatasi hambatan birokrasi dan mengawasi kesesuaian penggunaan
dana pendidikan dengan kegiatan dan tuntutan akan kinerja, UU Sisdiknas
mengamanatkan dalam Pasal 49 ayat (3), dana pendidikan dari pemerintah dan
pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam rancangan peraturan
pemerintah tentang pendanaan pendidikan, hibah pendidikan diberikan
berdasarkan kebutuhan penyelenggaraan pendidikan dan target kinerja yang
ditentukan oleh satuan pendidikan.

Dalam rancangan UU BHP diamanatkan bahwa subsidi pendidikan dari


pemerintah dan pemerintah daerah diberikan kepada satuan pendidikan. Semua
penerimaan oleh satuan pendidikan BHP yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau pemerintah daerah diperlukan sebagai penerimaan negara bukan pajak.
Satuan pendidikan dapat menggunakan penerimaan pendidikan dari masyarakat
secara langsung, dan melaporkan penerimaan dan penggunaannya kepada
pemerintah atau pemerintah daerah. Sementara belum menjadi BHP, penerimaan
dana pendidikan dari masyarakat dikelola dengan mekanisme pola pengelolaan
keuangan badan layanan umum (PPK-BLU).

C. Pendidikan menurut Undang-Undang Dasar 1945


Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum tertinggi di Indonesia. Semua
peraturan perundang-undangan yang lain harus tunduk pada Undang-Undang
Dasar 1945 atau tidak boleh bertentangan. Sesuai dengan namanya ia mendasari
semua perundang-undangan yang ada yang muncul kemudian. Kedudukan seperti
ini, membuat undang-undang dasar mengandung isi yang sifatnya umum. Dengan
demikian, peraturan tentang pendidikan dalam undang-undang dasar juga sangat
singkat sekali.
Pasal yang berhubungan dengan pendidikan dalam undang-undang dasar
1945 diantaranya hanya 2 pasal, yaitu pasal 31 dan pasal 32. Yang satu
menceritakan tentang pendidikan, yang satunya lagi menceritakan tentang
kebudayaan. Pasal 31 ayat 1 berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran.” ayat 2 berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Ayat ini berkaitan
dengan wajib belajar 9 tahun dari SD sampai SMP yang sedang dilaksanakan.
Agar wajib belajar lancar, biayanya harus ditanggung oleh negara. Kewajiban
negara ini berkaitan erat dengan ayat 4 Pasal yang sama yang mengharuskan
negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
APBN dan APBD.

Pasal 4 ayat 3 ini berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan


menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional.” Ayat ini mengharuskan
pemerintah mengadakan sistem pendidikan nasional, untuk memberi kesempatan
pada setiap warga negara mendapatkan pendidikan. Jika karena satu hal
seseorang atau sekelompok masyarakat tidak bisa mendapat kesempatan belajar,
maka mereka bisa menuntut hak itu kepada pemerintah. Atas dasar inilah
pemerintah menciptakan sekolah- sekolah khusus yang bisa melayani masyarakat
terpencil, masyarat yang penduduknya sedikit, dan masyarakat yang
penduduknya tersebar berjauhan satu sama yang lainnya. Sekolah- sekolah yang
di maksud antara lain SD kecil, SD pamong, SMP terbuka, dan sistem belajar
jarak jauh.
Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 ayat 1 bermaksud memajukan budaya
nasional serta memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk
menyelenggarakan atau mengembangkan nilai-nilai budayanya. Ayat 2
menyatakan negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai bagian
dari budaya nasional. Mengapa pasal ini berhubungan dengan pendidikan? Sebab
pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Seperti telah kita ketahui bahwa
kebudayaan adalah hasil dari budi daya manusia. Sementara itu sebagian besar
budi daya bisa dikembangkan kemampuannya melalui pendidikan. Jadi bila
pendidikan maju, maka kebudayaan pun akan maju pula.
Kebudayaan dan pendidikan adalah dua unsur yang saling mendukung satu
sama lain. Sudah dikatakan di atas, bila pendidikan maju maka kebudayaan juga
akan maju. Begitu pula juga bila kebudayaan maju, maka pendidikan pun akan
maju. Itu karena kebudayaan yang banyak aspeknya akan mendukungg program
dan pelaksanaan pendidikan. Dengan demikian upaya memajukan kebudayaan
berarti juga sebagai upaya memajukan pendidikan.

D. Prinsip –Prinsip Pembelajaran


Banyak guru yang menghabiskan waktunya berjam-jam berceramah didepan
siswa tapi tidak memberi efek pengetahuan apa-apa pada siswa. Segudang
pengetahuan yang disampaikan seakan-akan masuk ketelinga kanan lalu keluar
melalui telinga kiri sehingga tak ada bekas apapun dalam diri siswa.
Ironisnya, banyak guru yang tidak menyadari hal tersebut. Jika ada siswa
yang memiliki deretan “angka merah”, ia segera memberinya label siswa yang
kurang belajar,kurang memperhatikan guru,dan pelabelan-pelabelan negatif
lainnya. Sehingga banyak sekolah yang menambahkan jam belajar agar siswanya
mampu mengerjakan soal ujian dengan baik.
Itulah potret buram pendidikan kita. Siswa selalu menjadi kambing hitam.
Sementara guru menjadi sosok yang paling benar, tidak mau disalahakan. Itulah
paradigma lama yang selalu menjadikan siswa sebagai objek, sementara guru
sebagai subjek. Pola hubungan hierarki seperti itu hanya akan menjadikan siswa
kerdil dan lambat dalam proses pengembangan pengetahuan.
Guru yang mampu mengajar dengan baik tentu akan menghasilkan kualitas
siswa yang baik pula. Pendidikan tentu tak sekedar menyampaikan materi
pelajaran, tapi juga mentansfer nilai-nilai moral. James M. cooper meneaskan, “A
teacher is person charged with the reasonability of helping others to learn and to
behave in new diferent ways”. Seorang guru membutuhkan ketrampilan mengajar
yang lebih dibandingkan dengan orang yang bukan guru. Guru harus kaya metode
dan strategi mengajar. Dan itu harus ditempa melalui proses jenjang pendidikan.
Ketika menjumpai siswa yang tidak mampu memahami pelajaran secara
sempurna, guru yang baik akan melakukan introspeksi diri. Ia juga
merefleksikan dan mengevaluasi strattegi pembelajaran yang ia gunakan pada
murid-muridnya sehingga diketahui akar permasalahannya yang dihadapi murid
dalam belajar.
Berikut adalah bebrapa prinsip utama dan universal yang mesti dimiliki
seseorang guru dalam proses beajar-mengajar, sehinngga mampu menciptakan
pembelajaran yang efektif dan menyenangkan.

1. Menjadi Sumber Belajar


Guru tidak mampu menjelaskan dan menerangkan materi dengan baik
karena kurangnya penguasaan. Inilah yang membuat siswa tidak lagi berminat
untuk mengikuti pembelajaran. Dan, hal ini sungguh akan memberikan dampak
krusial bagi kenyamanan siswa dalam belajar.
Prinsip utama agar guru mampu diterima siswa adalah mampu menjadi
sumber belajar. Dengan menjadi sumer belajar, guru akan lebih karismatik
didepan siswa. Kalau ada siswa yang bertanya, ia akan mampu menjelaskan
dengan bahasa yang mudah dipahami.
Sebaliknya, guru yang tidak mampu menjadi sumber belajar yang baik bagi
siswa akan tampak berbeda didepan siswa. Biasanya, guru yang kurang
menguasai materi pelajaran akan mengajar dengan dengan monoton, lebih suka
duduk sambil membaca buku pegangannya, sulit untuk melakkukan kontak mata
dengan siswa, dan miskin kreativitas. Guru seperti itu dihadapan siswa sungguh
tak mempunya wibawa. Kondisi demikian dapat membuat siswa merasa
bosan,mengantuk, dan kurang bersemangat dalam belajar.
Ditengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak
menutup kemungkinan siswa lebih menguasai informasi dibandingkan guru.
Agar tidak ketinggalan informasi, seorang guru dituntut untuk memperkaya
bahan referensi yang berkaitan dengan materi pelajaran,baik dari internet, media
massa, buku, maupun sumber informasi lainnya.

2. Menjadi Fasilitator
Akhir-akhir ini, kita sering menjummpai banyak siswa yang merasa
terbebani mata pelajaran ketika pulang dari sekolah. Sekolah seakan telah
menjadi penjara baru bagi siswa. Lihat saja, ketika menjelang hari libur, betapa
siswa seakan keluar dari sarang yang menakutkan penuh peraturan menuju aalam
bebas. Siswa lebih suka hidup di luar sekolah dibandingkan disekolah. Ini
menjadi pertanda bahwa proses belajar-mengajar yang terjadi di sekolah belum
mampu membuat siswa senang, tapi justru menakutkan.
Sebagai fasilitator, gurujuga dituntut untuk memahami dan megembangkan
media pembelajaran sebagai bahhan untuk menyampaikan materi pada siswa.
Materi yang sulit bisa menjadi mudah dengan penyajian yang varriatif.

Persoalan paling utama bukan pada bahan pelajaran yang telah menjadi
standart baku dari kurikulum pendidikan, tapi lebih pada cara guru menyajikan
materi pelajaran yang membuat siswa merasa senang. Siswa tentu akan merasa
bosan dengan gaya mengajar yang monoton. Karena itu seorang guru sebaiknya
melakukan inovasi dalam proses belajar-mengajar serta memfasilitasi siswa agar
mudah menyerap bahan pelajaran dan tujuan belajar itu juga tercapai secara
optimal.

3. Guru Sebagai Pembimbing


Guru hanya menjadi pembimbing agar siswa mampu menemukan bakat yang
ada didalam dirinya. Tugas utama seorang guru adalah mengarahkan dan
membimbing agar siswa mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi
yang terdapat dalam dirrinya. Inilah yang membedakan guru yang hanya
mengajar an sich dengan guru yang juga berperan sebagai pembimbing.
Dengan demikian , untuk menjadi guru yang sekaligus berperan sebagai
pembimbing, seorang guru mesti memiliki pemahaman yang utuh tentang anak
yang akan dibimbingnya, seperti anak yang mempunyai kemampuan belajar
mendengar, melihat atau langsung praktik. Dengan pemahaman yang kompleks
tentang anak, guru bisa menentukan teknis dan jenis bimbingan yang akan
diberikan pada siswa.
Poin penting dalam proses bimbingan adalah keterlibatan penuh siswa.
Karena bimbingan adalah proses memberikan bantuan terhadap siswa.
Bagaimana mungkin orang yang dibantu justru tidak terlibat secara aktif. Jadi,
guru harus melibatkan siswa secara aktif sehingga proses pembimbingan
bejalan dengan efektif.

4. Guru Juga Motivator


Dalam prooses belajar-mengajar, motivasi menjadi aspek penting yang mesti
dilakukan oleh guru. Tidak semua siswa dalam suatu kelas mempunyai motivasi
yang kuat untuk mengikuti jam pelajaran. Ada siswa yang terpaksa masuk karena
takut pada gurunya, takut dimarahi orang tuanya, da nada juga siswa yang
mmasuk kelas kareena dorongan dalam dirinya untuk memahami pelajaran.
Siswa yang termotivasi untuk belajar tentu akan mendapatkan hasil yang
berbeda dengan siswa yang tak mempunyai motivasi kuat untuk belajar. Motivasi
bisa menjadi cambuk bagi siswa untuk meningkatkan aktivitas belajar.
Sebaliknya, siswa yang tidak mempunyai motivasi kuat dalam belajar akan
mudah bosan, tidak semangat, susah konsentrasi, dan cenderug malas untuk
mengikuti materi pelajaran. Dengan demikian, prestasi pun juga akan sulit diraih
bagi siswa yang tidak mempunyai motivasi. Kalau ada siswa yang tidak mampu
mengikuti pelajaran dengan baik dan dirapornya selalu berderet angka merah,
jangan langsung menghakimi dan memberi label siswa itu bodo. Bisa jadi,siswa
itu tidak mempunyai semangat belajar yang tinggi karena kuranngnya motivasi.
Karena itu, guru harus selalu mampu memberikan motivasi kuat terhadap
siswa. Motivasi erat kaitannya dengan kebutuhan. Siswa akan bertindak degan
ceepat apabila dalam dirinya ada kebutuhan. Jika ada materi pelajaran yang sulit
dijangkau dari pengetahuan dan pengalaman siswa, maka guru mempunyai tugas
untuk menyederhanakan menjadi lebih mudah dan dapat ditangkap siswa. Karena
materi pelajaran yang sulit akan lebih cenderung membuat siswa merasa bosan.
Alangkah lebih baiknya jika guru menyesuaikan dengan tingkat kemampuan
siswa.
Motivasi bisa tumbuh ketika siswa dihargai. Memberikan apresiasi pada
anak yang telah menampakkan perkembangan yang kian bagus cukup baik bagi
anak. Ini akan memberikan motivasi tersendiri bagi anak untuk tetap
mempertahankan dan bahkan bisa meningkatkan produktivitas belajarnya
menjadi lebih rajin.

5. Bertanya Dengan Baik


Ketika mengajar, guru juga harus mampu mengajukan perttanyaan dengan
baik. Pertanyaan yang baik akan mampu menggugah siswa untuk terlibat secara
aktif dalam proses belajar mengajar. Sebaliknya, kalau guru tidak mempunyai
ketrampilan bertanya juga akan berefek terhadap iklim belajar mengajar. Tidak
hanya merasa jenuh dengan cara guru meneragkan yang monoton didepan kelas,
siswa juga bisa saja akkan menjadi bosan dengan pertanyaan-pertanyaan guru
yang kurang berkualitas.
Beberapa kalangan pendidik meyakini bahwa pertanyaan yang bagus juga
berdampak positif terhadap siswa, mulai dari meningkatnya partisipasi siswa
didalam kelas, meningkatnya daya berpikir siswa, menggugah rasa ingin tahu
siswa,dan yang terpenting mengajarkan siswa untuk memecahkan masalah.

6. Jangan Terlalu Banyak Ceramah


Salah satu mettode klasik yang masih dianggap efektif oleh guru adalah
berceramah. Dengan menyampaikan materi secara monoton didepan siswa, guru
bisa leluasa untuk bicara panjang lebar. Satu sisi ini menjadi cara efektif karena
siswa bisa dengan tenang,cermat,dan sambil mencatat point penting yang
disampaikan. Tapi, pada sisi yang lain, metodeini juga mengandung resiko
terjadinya kebosanan siswa untuk terus mendengakan yang berujung pada
turunnya minat belajar siswa.
Sudah bukan menjadi rahasia umum, penggunaan metode berceramah dalam
proses belajar-mengajar akan membuat siswa mudah bosan dan mengantuk
hingga tak sedikit ada yang tidur. Halini wajar, karena ketika guru hanya
dominan ceramah maka secara tak langsung ia telah menganggap sebagai objek
yang selalu harus disirami dengan pengetahuan. Guru yang dominan berceramah
telah menganggap siswa layaknya gelas kosong yang harus diisi dengan air
hingga penuh. Betapa menyedihkannya pandangan semacam itu.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk menyiapkan peserta didik agar berperan
aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang.
Jadi sistem pendidikan nasional merupakan satu keseluruhan yang terpadu
dari semua suatu kegiatan pendidikan yang saling berkaitan untuk mengusahakan
tercapainya tujuan pendidikan nasional dan diselenggarakan oleh pemerintah
swasta dibawah tanggung jawab menteri dikbud dan menteri lainnya.
Jenis pendidikan adalah pendidikan yang dikelompokan sesuai dengan sifat
dan tujuannya dalam program yang termasuk jalur pendidikan umum, pendidikan
keturunan, dan pendidikan lainnya. Melalui jenjang pendidikan dari sekolah dasar
sampai ke pendidikan tinggi, membuat seseorang memiliki moral dan tata cara
dalam kehidupan. Dan pendidikan tetap dalam aturan negara yaitu UUD 1945.

B. Saran
Dewasa ini sistem pendidikan nasional selalu dianggap sepele padahal
sangatlah penting. Peserta didik mengetahui cara dan bagaimana mengetahui
tentang sistem pendidikan nasional. Jadi sebagai peserta didik harus tahu jenis,
jalur, program sistem pendidikan nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Moh. Suardi, S.Pd, 2016. Pengantar Pendidikan Teori dan Aplikasi. PT.Indeks,
Jakarta. Hal 3-12.
Rudi Hartono, 2013. Ragam Model Mengajar Yang Mudah Diterima Murid.
DIVA Press, Yogyakarta. Hal 12-17.
Anggi Febriant, Latar Belakang dan Tujuan, (Online), (http://www.scribd.com/d-
oc/77621339/makalah-pengantar-pendidikan, diakses 15 November 2018).
Hal 1-2

Anda mungkin juga menyukai