Anda di halaman 1dari 3

Apa itu Omnibus Law

Omnibus law adalah suatu Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk menyasar satu isu besar
yang mungkin dapat mencabut atau mengubah beberapa UU sekaligus sehingga menjadi lebih
sederhana. Kata “Omnibus” berasaal dari bahasa Latin yang berarti “untuk semuanya”.

Ketikan Omnibus Law disahkan, maka semua produk hukum lain yang mengatur masalah atau
topik yang sama akan otomatis gugur atau tidak berlaku lagi.

Saat ini pemerintah sedang menggodok omnibus law dan akan dibawa ke DPR. Ada 3 hal yang
dibahas yaitu soal perpajakan, cipta lapangan kerja, serta usaha kecil, mikro dan menengah
(UMKM). Jika regulasi Omnibus Law ini diberlakukan, maka ada sekitar 74 undang-undang
yang berkaitan dengan tiga hal diatas sudah tidak berlaku lagi,

Ada 74 UU sudah kita teliti satu persatu, kita gabungkan dan kita mintakan nanti untuk direvisi
secara berbarengan, bersama-sama.

Kalangan buruh kompak menolak Omnibus Law. Menolak dengan memberikan 6 alasan.

ENAM ALASAN MENOLAK OMNIBUS LAW.

Berdasarkan pernyataan Menteri Perekonomian dan Menteri Ketenagakerjaan, Mencatat,


setidaknya ada 6 (enam) hal mendasar yang disasar omnibus law.

1. Menghilangkan Upah Minimum

Dampak terburuk yang secara langsung dirasakan buruh adalah hilangnya upah minimum. Hal
ini, terlihat, dari keinginan pemerintah yang hendak menerapkan sistem upah per jam. Dengan
kata lain, pekerja yang bekerja kurang dari 40 jam seminggu, maka upahnya otomatis akan di
bawah upah minimum.

Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah sesuai kewajiban agamanya, cuti
melahirkan; maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu diaggap tidak bekerja.

Memang, ada pernyataan yang mengatakan jika pekerja yang bekerja 40 jam seminggu akan
mendapat upah seperti biasa. Sedangkan yang di bawah itu menggunakan upah per jam.

Namun demikian, menurutnya, hal ini hanya akal-akalan. Sebab dalam praktik, akan sangat
mudah bagi pengusaha untuk menurunkan jam kerja, sehingga pekerja tidak lagi bekerja 40
jam.

Lagipula, penerapan yang berbeda seperti ini adalah bentuk diskriminasi terhadap upah
minimum. Upah minimum adalah upah minimum; berlaku bagi semua warga negara yang
bekerja sebagai jaring pengaman. Tidak ada dua istilah, misalnya upah minimum bulanan dan
upah minimum per jam.
Di Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, tidak boleh ada
pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum. Jika itu dilakukan, sama saja dengan
kejahatan. Pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum bisa dipidana.

Karena itu, berdasarkan uraian di atas, sangat terlihat jika pemberian upah per jam adalah
mekanisme untuk menghilangkan upah minimum. Karena ke depan akan banyak perusahaan
yang mempekerjakan buruhnya hanya beberapa jam dalam sehari.

2. Menghilangkan Pesangon

Menko Perekonomian menggunakan istilah baru dalam Omnibus Law, yakni tunjangan PHK
yang besarnya mencapai 6 bulan upah.

Terkait hal ini bahwa di dalam UU No 13 Tahun 2003; sudah diatur mengenai pemberian
pesangon bagi buruh yang ter-PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa
dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah. Selain itu,
mendapatkan penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal
15% dari toal pesangon dan/atau penghargaan masa kerja.

Dengan kata lain, pesangon yang sudah diatur dengan baik di dalam UU 13/2003 justru akan
dihilangkan dan digantikan dengan istilah baru, tunjangan PHK yang hanya 6 bulan upah.
Padahal sebelumnya, buruh berhak mendapatkan hingga 38 bulan upah lebih.

3. Fleksibilitas Pasar Kerja/Penggunaan Outsourcing dan Buruh Kontrak Diperluas

Dalam omnibus law, dikenalkan istilah fleksibilitas pasar kerja.

Kita menafsirkan, istilah fleksibilitas pasar kerja adalah tidak adanya kepastian kerja dan
pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). Dalam hal ini, outsourcing dibebaskan di semua lini
produksi,

Jika di UU 13/2003 outsourcing hanya dibatasi pada 5 jenis pekerjaan, nampaknya ke depan
semua jenis pekerjaan bisa dioutsoursing-kan. Jika ini terjadi, masa depan buruh tidak jelas.
Sudahlah hubungan kerjanya fleksibel yang artinya sangat mudah di PHK, tidak ada lagi upah
minimum, dan pesangon dihapuskan.”

4. Lapangan Pekerjaan yang Tersedia Berpotensi Diisi Tenaga Kerja Asing (TKA)
Unskill

Terkait TKA, dalam UU 13/2003, penggunaan TKA harus memenuhi beberapa persyaratan.
Antara lain, TKA hanya boleh untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. TKA
yang tidak memiliki keterampilan khusus (unskill workers) tidak diperbolehkan bekerja di
Indonesia. Jenis pekerjaannya pun adalah pekerjaan tertentu yang membutuhkan keahlain
khusus yang belum banyak dimiliki pekerja lokal, seperti akuntansi internasinoal, maintenance
untuk mesin teknologi tinggi, dan ahli hukum internasional.

Selain itu, waktunya dibatasi. Dalam waktu tertentu, misalnya 3 – 5 tahun, dia harus kembali
ke negaranya. Hal yang lain, setiap TKA harus didampingi oleh pekerja lokal. Tujuannya
adalah, supaya terjadi transfer of job, dan transfer of knowledge, sehingga pada satu saat nanti
pekerja Indonesia bisa mengerjakan pekerjaan si TKA tadi.
Namun sayangnya, dalam omnibus law ada wacana, semua persyaratan tadi dihapus. Sehingga
TKA bisa bebas sebebas-bebasnya bekerja di Indonesia. Hal ini, tentu saja akan mengancam
ketersediaan lapangan kerja untuk orang Indonesia. Karena pekerjaan yang mustinya bisa
diempati oleh orang lokal diisi oleh TKA.

5. Jaminan Sosial Terancam Hilang

Dengan skema sebagaimana tersebut di atas, jaminan sosial pun terancam hilang. Khususnya
jaminan hari tua dan jaminan pensiun,” demikian Iqbal menjelaskan.

Menurutnya, hal ini akibat dari adanya sistem kerja yang fleksibel tadi. Sebagaimana kita
pahami, agar bisa mendapat jaminan pensiun dan jaminan hari tua, maka harus ada kepastian
pekerjaan.

Bagaimana mau mendapatkan jaminan pensiun, jika pekerja setiap tahun berpindah pekerjaaan
dan hanya mendapatkan upah selama beberapa jam saja dalam sehari yang besarnya di bawah
upah minimum.

6. Menghilangkan Sanksi Pidana Bagi Pengusaha

Dalam omnisbu law, juga ada wacana untuk menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha.
Sebagaimana kita ketahui, UU 13/2003 memberikan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak
membayar hak-hak buruh.

Sebagai contoh, pengusaha yang membayar upah upah di bawah upah minimum, bisa dipenjara
selama 1 hingga 4 tahun. Jika sanksi pidana ini dihilangkan, bisa jadi pengusaha akan
seenaknya membayar upah buruh lebih rendah dari upah minimum.

Dampaknya, akan banyak hak buruh yang tidak berikan pengusaha. Karena tidam ada efek
jera.

Mencermati wacana omnibus law, tidak sulit bagi kita untuk menyimpulkan bahwa ini adalah
bagian untuk menghilangkan kesejahteraan para pekerja. Oleh karena itu, ini bukan hanya
permasalah pekerja. Tetapi juga permasalahan seluruh rakyat Indonesia.

Pernyatan Sikap Resmi DPP FSP KEP sudah disampaikan di RDP DPR RI Tanggal 16 Januari
2019 Menolak Omnibus Law 11 Klaster Ketenagakerjaan.

Anda mungkin juga menyukai