Anda di halaman 1dari 11

NAMA :RAMADHANI PUTRI

NIM :1830105046

KELAS :TADRIS MATEMATIKA 4B

TUGAS :PPI

1. Cari dalil sunah sebelum berwudhuk


a. Sebaiknya duduk menyamping qiblat untuk beristinjak lebih dulu(cebok).
Tidak menghadap kiblat atau membelakanginya. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apabila seseorang dari kalian buang
hajat, maka janganlah menghadap ke arah kiblat atau membelakanginya. Akan
tetapi hendaknya ia menyamping dari arah kiblat (ke arah timur atau barat).”
(HR. Bukhari, bab wudhu, no: 141).
b. Membasuh kedua tangan lebih dulu lalu memperhatikan kebersihan dan kesucian
air.
Disebutkan dalam hadits Humran bin Aban rahimahullah tentang cara
wudhu Utsman bin Affan radhiallahu’anhu :

‫ت‬ َ
ٍ ‫ثالث مرا‬ ‫فغسل َكفَّ ْي ِه‬
“.. kemudian beliau membasuh kedua tangannya 3 kali”

Yang di akhir hadits, Utsman bin Affan mengatakan:

‫رأيتُ رسو َل هللاِ صلَّى هللاُ علي ِه وسلَّم توضأ نح َو ُوضوئي هذا‬

“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu


seperti wudhuku ini” (HR. Bukhari no.1934, Muslim no.226).

Mencuci kedua tangan ketika wudhu hukumnya sunnah, tidak


sampai wajib. Ibnu Qudamah dalam kitab Al Mughni mengatakan:

‫وليس ذلك بواجب عند غير القيام من النوم بغير خالف نعلمه‬

“Tidak mencuci tangan yang wajib kecuali ketika bangun tidur,


hal ini tidak ada khilaf ulama yang kami ketahui“.
Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa mencuci tangan saat
itu tidaklah wajib karena perintah dalam ayat wudhu (surah Al-Maidah
ayat ke-6) tidak dimulai dari membasuh tangan. Padahal menurut tafsiran
dari Zaid bin Aslam maksud dari “idza qumtum ilash shalah” adalah jika
akan bangun malam, maka basuhlah wajah, dst. (tidak mulai dari mencuci
tangan, pen.). Pendapat yang menyatakan tidak wajibnya ini dinyatakan
oleh ‘Atha’, Imam Malik, Al-Auza’i, Imam Syafi’i, Ishaq, Ashabur Ro’yi
(Abu Hanifah dan murid-muridnya, pen.), dan Ibnul Mundzir.

1
c. Berkumur-kumur membersihkan kotoran mulut(konkrit/abstrak).

Dari Laqith bin Shabirah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ض‬ ْ ‫ضأْتَ فَ َم‬


ْ ‫ض ِم‬ َّ ‫إِ َذا تَ َو‬
“Jika engkau ingin berwudhu, maka berkumur-kumurlah (madh-
madha).” (HR. Abu Daud, no. 144. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih.)

Disebut madh-madha, yang dimaksud adalah memasukkan air


dalam mulut sambil digerak-gerakkan (berarti berkumur-kumur).
Sedangkan istinsyaq adalah memasukkan air ke dalam hidung.

d. Beristinsyaq(memasukkan air ke dalam hidung dan membuangnya)agar


hidung bersih dari kotoronnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ق بِ َم ْن ِخ َر ْي ِه ِمنَ ا ْل َما ِء ثُ َّم ْليَ ْنتَثِ ْر‬ ْ َ‫ضأ َ أَ َح ُد ُك ْم فَ ْلي‬


ِ ‫ستَ ْن‬
ْ ‫ش‬ َّ ‫إِ َذا تَ َو‬
“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, maka hendaklah
ia menghirup air ke lubang hidungnya (istinsyaq), lalu ia keluarkan
(istintsar).” (HR. Muslim, no. 237)

Yang disunnahkan adalah mubalaghah dalam istinsyaq (serius


dalam memasukkan air dalam hidung) artinya menghirup air ke pangkal
hidung sebagaimana diterangkan dalam Al-Mughni, 1:147. Dalam hadits
diperintahkan,

َ َ‫َاق إاَّل أَنْ تَ ُكون‬


‫صائِ ًما‬ ْ ‫َوبَالِ ْغ ِفي ااِل‬
ِ ‫ستِ ْنش‬
“Seriuslah dalam memasukkan air dalam hidung (istinsyaq)
kecuali dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Daud, no. 142; Ibnu Majah,
no. 448; An-Nasa’i, no. 114. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa
hadits ini shahih.)

Memasukkan air dalam hidung ketika bangun dari tidur lebih


ditekankan. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ َ‫ضأ َ فَ ْلي‬
َّ ‫ فَإِنَّ ال‬، ‫ستَ ْنثِ ْر ثَالَثًا‬
‫ش ْيطَانَ يَبِيتُ َعلَى َخ ْيشُو ِم ِه‬ َّ ‫م ِمنْ َمنَا ِم ِه فَت ََو‬fْ ‫ستَ ْيقَظَ أَ َح ُد ُك‬
ْ ‫إِ َذا ا‬

2
“Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka
hendaklah berwudhu lalu beristintsar (mengeluarkan air dari hidung,
pen.) sebanyak tiga kali karena setan bermalam di batang hidungnya.”
(HR. Bukhari, no. 3295 dan Muslim, no. 238)

Cara berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung


sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhu,

‫ك ثَالَثًا‬
َ ِ‫اح َد ٍة فَفَ َع َل َذل‬ َ ‫ض َوا ْستَ ْن َش‬
ِ ‫ق ِم ْن كَفٍّ َو‬ َ ‫فَ َمضْ َم‬
“Kemudian ia berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung
melalui satu telapak tangan dan hal demikian dilakukan sebanyak tiga
kali.” ‘Abdullah bin Zaid mengatakan itulah cara wudhu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim, no. 235)

Beberapa kesimpulan mengenai berkumur-kumur dan memasukkan air dalam


hidung dari Ibnul Qayyim sebagai berikut:

1. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumur-kumur dan


memasukkan air dalam hidung, kadang dengan satu cidukan, kadang dua
cidukan, dan kadang tiga cidukan.
2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyambungkan antara
berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (dengan satu
cidukan, satu kali jalan). Beliau mengambil sebagian cidukan untuk mulut
dan sebagiannya lagi untuk hidungnya. Yang sesuai petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyambungkan antara keduanya.
Tidak ada hadits shahih yang tegas yang menunjukkan bahwa antara
berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung dipisah.
3. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menggunakan tangan kanan
ketika memasukkan air dalam hidung dan mengeluarkannya dengan
tangan kiri. (Lihat Zaad Al-Ma’ad, 1:185.)

2. Menterjemahkan doa selesai wuduk

‫ بسم هللا الرحمان الرحيم‬، ‫اعوذ باهلل من الشيطان الرجيم‬


‫اشهد ان ال اله اال هللا واشهد ان محمدا الرسول هللا‬
‫اللهم اجعلنى من التوابين _ واجعلنى من المتط ّهرين‬
‫واجعلنى من عبادك الصالحين‬.

“aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang


terkutuk, Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Saya bersaksi tiada Tuhan melainkan Allah yang esa , tiada
sekutu bagi-Nya . Dan saya bersaksi bahwa nabi Muhammad adalah

3
hamba-Nya dan utusan-Nya . Ya Allah jadikanlah saya orang yang ahli
taubat , dan jadikanlah saya orang yang suci , dan jadikanlah saya dari
golongan hamba-hamba Mu yang shaleh.”

3. Hal-hal yang menyebabkan mandi wajib:


a. Pertama masuk Islam atau kembali dari murtad.

Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin
‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,

ِ ‫سلَّ َم أَنْ يَ ْغت َِس َل بِ َما ٍء َو‬


‫س ْد ٍر‬ َ ‫سلَ َم فَأ َ َم َرهُ النَّبِ ُّي‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ ْ َ‫أَنَّهُ أ‬
“Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).”
(HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang
lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. Ulama
yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam
Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari ulama Hanabilah, Imam Malik,
Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al Khottobi.

b. Setelah melakukan hubungan suami istri secara halal

Yang dimaksud hubungan seksual adalah masuknya hasyafah


(kepala penis) ke dalam farji (lubang kemaluan) meskipun memakai
kondom ataupun tidak keluar sperma.

Hal ini mewajibkan mandi berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

َّ ‫ش َعبِ َها اأْل َ ْربَ ِع َو َم‬


ْ ‫س ا ْل ِختَانُ ا ْل ِختَانَ فَقَ ْد َو َج َب ا ْل ُغ‬
‫س ُل َوإِنْ لَ ْم‬ َ َ‫إ َذا َجل‬
ُ َ‫س بَيْن‬
‫يُ ْن ِزل‬
“Bila seorang lelaki duduk diantara empat potongan
tubuh wanita (dua tangan dan dua kaki) dan tempat khitan (laki-
laki) bertemu tempat khitan (wanita) maka sungguh wajib mandi
meskipun ia tidak mengeluarkan mani,” (HR Muslim).

Secara umum, semua madzhab empat mewajibkan mandi sebab


masuknya hasyafah ke farji baik jalan depan (vagina) atau jalan belakang
(anus), miliki wanita atau pria, masih hidup ataupun mayat. Keduanya
dihukumi junub sehingga wajib mandi kecuali mayat, tidak perlu untuk
dimandikan kembali. Begitu juga seseorang yang menyetubuhi hewan juga
wajib mandi menurut madzhab empat selain Hanafiyah. Hanafiyah juga

4
tidak mewajibkan mandi karena menyetubuhi mayat.

c. Bertemunya dua khitan(kelamin) walau pun tidak mengeluarkan


seperma dan ovum.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

ْ ‫ فَقَ ْد َو َج َب ا ْل َغ‬، ‫ش َعبِ َها األَ ْربَ ِع ثُ َّم َج َه َدهَا‬


‫س ُل‬ َ َ‫إِ َذا َجل‬
ُ َ‫س بَيْن‬

“Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan


istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu
bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.”
(HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)

Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

‫َوإِنْ لَ ْم يُ ْن ِز ْل‬

“Walaupun tidak keluar mani.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

ِ ‫ َع ِن ال َّر ُج ِل يُ َجا ِم ُع أَ ْهلَهُ ثُ َّم يُ ْك‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫سو َل هَّللا‬
‫س ُل َه ْل َعلَ ْي ِه َما‬ ُ ‫سأ َ َل َر‬
َ ً‫إِنَّ َر ُجال‬
‫ « إِنِّى ألَ ْف َع ُل َذلِكَ أَنَا َو َه ِذ ِه ثُ َّم‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬.ٌ‫سة‬
َ ِ‫شةُ َجال‬َ ِ‫س ُل َوعَائ‬ ْ ‫ا ْل ُغ‬
.» ‫نَ ْغت َِس ُل‬

“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi
istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya
wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di
samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang
dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian
kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang


dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat
pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita
katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya,
maka walaupun itu tidak keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian
nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari.

Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi


rahimahullah mengatakan, “Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi

5
tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan tetapi, -maaf- jika
ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika
itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak
terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan pendapat ialah
pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian setelah itu
terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani
ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami
sebutkan.”

d. Akibat mimpi basah atau sejenisnya (onani/mastrubasi)

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Terdapat ijma’


(kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika ihtilam (mimpi),
sedangkan yang menyelisihi hal ini hanyalah An Nakho’i. Akan tetapi
yang menyebabkan mandi wajib di sini ialah  jika orang yang bermimpi
mendapatkan sesuatu yang basah.”

Dalil mengenai hal ini adalah hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu


‘anha,

‫احتِالَ ًما قَا َل « يَ ْغت َِس ُل‬ ْ ‫ َع ِن ال َّر ُج ِل يَ ِج ُد ا ْلبَلَ َل َوالَ يَ ْذ ُك ُر‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ُ ‫سئِ َل َر‬
ُ
َُ‫سلَ ْي ٍم ا ْل َم ْرأة‬ ُ َ
ُ ‫ فقَالَتْ أ ُّم‬.» ‫س َل َعلَ ْي ِه‬ ُ
ْ ‫احتَلَ َم َوالَ يَ ِج ُد ا ْلبَلَ َل قَا َل « الَ غ‬ َ
ْ ‫ َو َع ِن ال َّر ُج ِل يَ َرى أنَّهُ قَ ِد‬.»
.» ‫ال‬ ِ ‫ق ال ِّر َج‬ ُ ِ‫شقَائ‬ َ ‫سا ُء‬ َ ِّ‫س ٌل قَا َل « نَ َع ْم إِنَّ َما الن‬ ْ ‫ت ََرى َذلِكَ أَ َعلَ ْي َها ُغ‬
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah ditanya
tentang seorang laki-laki yang mendapatkan dirinya basah
sementara dia tidak ingat telah mimpi, beliau menjawab, “Dia
wajib mandi”. Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki
yang bermimpi tetapi tidak mendapatkan dirinya basah, beliau
menjawab: “Dia tidak wajib mandi”.” (HR. Abu Daud no. 236, At
Tirmidzi no. 113, Ahmad 6/256. Dalam hadits ini semua
perowinya shahih kecuali Abdullah Al Umari yang mendapat
kritikan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Juga terdapat dalil dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu


‘anha, ia berkata,

ُ ‫ول هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا َر‬


ِ ‫سو َل هَّللا‬ ِ ‫س‬ ُ ‫سلَ ْي ٍم ا ْم َرأَةُ أَبِى طَ ْل َحةَ إِلَى َر‬ُ ‫َجا َءتْ أُ ُّم‬
– ِ ‫سو ُل هَّللا‬ ْ ‫ َه ْل َعلَى ا ْل َم ْرأَ ِة ِمنْ ُغ‬، ‫ق‬
ْ ‫س ٍل إِ َذا ِه َى‬
ُ ‫احتَلَ َمتْ فَقَا َل َر‬ ِّ ‫ست َْحيِى ِمنَ ا ْل َح‬
ْ َ‫ إِنَّ هَّللا َ الَ ي‬،
‫ت ا ْل َما َء‬ِ َ‫» صلى هللا عليه وسلم – « نَ َع ْم إِ َذا َرأ‬
“Ummu Sulaim (istri dari Abu Tholhah) datang menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran.
Apakah bagi wanita wajib mandi jika ia bermimpi?” Nabi

6
shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ya, jika dia melihat air.”
(HR. Bukhari no. 282 dan Muslim no. 313)

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits di atas


adalah sanggahan bagi yang berpendapat bahwa mandi wajib itu baru ada
jika seseorang yang mimpi tersebut merasakan mani tersebut keluar
(dengan syahwat) dan yakin akan hal itu.”

Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah ketika


menjelaskan hadits di atas berkata, “Pada saat itu diwajibkan mandi ketika
melihat air (mani), dan tidak disyaratkan lebih dari itu.  Hal ini
menunjukkan  bahwa mandi itu wajib jika seseorang bangun lalu
mendapati air (mani), baik ia merasakannya ketika keluar atau ia tidak
merasakannya sama sekali. Begitu pula ia tetap wajib mandi baik ia
merasakan mimpi atau tidak karena orang yang tidur boleh jadi lupa (apa
yang terjadi ketika ia tidur). Yang dimaksud dengan air di sini adalah
mani.”

e. Selesai haid, nifas atau wiladah (melahirkan)

Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi
Hubaisy,

‫صلِّى‬ ِ ‫صالَةَ َوإِ َذا أَ ْدبَ َرتْ فَا ْغ‬


َ ‫سلِى َع ْن ِك ال َّد َم َو‬ َّ ‫ضةُ فَد َِعى ال‬ ِ َ‫فَإِ َذا أَ ْقبَل‬
َ ‫ت ا ْل َح ْي‬
“Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu
meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti,
hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR.
Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).

Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’


(kesepakatan) para ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan,
“Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh tidak ada
perselisihan di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil
Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu
pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika
berhenti dari darah nifas.”

f. Ketika orang mati (wafat).

Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang


hidup, maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang yang mati.

7
Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di
sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah
melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya. Penjelasan lebih
lengkap mengenai memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara
panjang lebar dalam Kitabul Jana’iz, yang berkaitan dengan jenazah.

Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya


adalah perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu
‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan
anaknya,

ِ ‫سا أَ ْو أَ ْكثَ َر َمنْ َذلِكَ إِنْ َرأَ ْيتُنَّ َذلِكَ بِ َما ٍء َو‬
‫س ْد ٍر‬ ً ‫س ْلنَ َها ثَالَثًا أَ ْو َخ ْم‬
ِ ‫ا ْغ‬
“Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur
dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika
kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan
kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no.
939).

Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib.


Sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang memalingkannya ke
hukum sunnah (dianjurkan). Kaum muslimin pun telah mengamalkan hal
ini dari zaman dulu sampai saat ini.

Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati,


baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau
budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di
medan perang ketika berperang dengan orang kafir.

4. cari ayat untuk membolehkan tayamum dan dan standar tanahnya

a. Ayat 6 surah Al-Maidah:

‫سا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء‬ ْ ‫سفَ ٍر أَ ْو َجا َء أَ َح ٌد ِّمنکم ِّمنَ ا ْل َغائِ ِط أَ ْو اَل َم‬
َ ِّ‫ستُ ُم الن‬ َ ‫ض ٰی أَ ْو َعلَ ٰی‬ َ ‫َوإِن کنتُم َّم ْر‬
ٍ ‫یج َع َل َعلَیکم ِّمنْ َح َر‬
‫ج‬ َ
ْ ِ‫س ُحوا بِ ُو ُجو ِهک ْم َوأی ِدیکم ِّم ْنهُ َما ی ِری ُد هَّللا ُ ل‬ َ َ
َ ‫ص ِعیدًا طیبًا فا ْم‬ َ ‫فَتَی َّم ُموا‬
‫َو ٰلَکن ی ِری ُد لِیُطَ ِّه َرک ْم‬
“dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air) kakus (atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik) bersih
(; sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu”

b. Ayat 43 surah An-Nisa:

8
‫سا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء‬ ْ ‫سفَ ٍر أَ ْو َجا َء أَ َح ٌد ِّمنکم ِّمنَ ا ْل َغائِ ِط أَ ْو اَل َم‬
َ ِّ‫ستُ ُم الن‬ َ ‫ض ٰی أَ ْو َعلَ ٰی‬
َ ‫َوإِن کنتُم َّم ْر‬
َ
‫س ُحوا بِ ُو ُجو ِهک ْم َوأی ِدیک ْم‬ َ ‫ص ِعیدًا طَیبًا فَا ْم‬ َ ‫فَتَی َّم ُموا‬
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian
kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik) suci (; sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah
Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”

Syarat tayammum ada 10, yaitu [1] dengan debu, [2] debunya suci,
[3] tidak debu musta’mal (sudah digunakan), [4] tidak bercampur tepung
atau semacamnya, [5] sengaja tayammum, [6] membasuh wajah dan dua
tangannya dengan dua kali tepukan tanah, [7] sebelumnya sudah
membersihkan najis badan, [8] ijtihad menentukan qiblat, [9] tayammum
setelah masuk waktu, dan [10] tayammum sekali untuk tiap shalat fardhu.

5. cari hadis tentang mensucikan najis berat

a. Menyucikan Jilatan Anjing

Allah SWT telah menciptakan suatu peraturan demi kebaikan hambanya,


begitu pula dengan najis karena jilatan Anjing. Allah memerintahkan hamba untuk
membersihkan jilatan Anjing dengan air dan tanah, karena hanya air dan tanah yang
bisa membersihkan virus atau kuman yang terkandung dalam air liur Anjing.

Dari Abu Hurairah, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:

ِ ‫ت أُوالَهُنَّ بِالت َُّرا‬


‫ب‬ ِ ‫ب أَنْ يَ ْغ‬
َ ُ‫سلَه‬
ٍ ‫س ْب َع َم َّرا‬ ُ ‫م إِ َذا َولَ َغ فِي ِه ا ْل َك ْل‬fْ ‫طُ ُهو ُر إِنَا ِء أَ َح ِد ُك‬
“Cara menyucikan bejana di antara kalian apabila dijilat anjing
adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah.”
(Muttafaq `alaihi)

Mengenai hal ini kita bisa menarik pelajaran dari hadits Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ب فِى إِنَا ِء أَ َح ِد ُك ْم فَ ْليَ ْغ‬


َ ُ‫س ْله‬
‫س ْب ًعا‬ َ ‫إِ َذا‬
ُ ‫ش ِر َب ا ْل َك ْل‬
“Jika anjing minumm di salah satu bejana di antara kalian,
maka cucilah bejana tersebut sebanyak tujuh kali” (HR. Bukhari no. 172
dan Muslim no. 279).

Dalam riwayat lain disebutkan,

9
ِ ‫أُوالَهُنَّ بِالت َُّرا‬
‫ب‬

“Yang pertama dengan tanah (debu)” (HR. Muslim no. 279)

Dalam hadits ‘Abdullah bin Mughoffal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:

ِ ‫ت َو َعفِّ ُروهُ الثَّا ِمنَةَ ِفى الت َُّرا‬


‫ب‬ ِ ‫اإلنَا ِء فَا ْغ‬
َ ُ‫سلُوه‬
ٍ ‫س ْب َع َم َّرا‬ ُ ‫إِ َذا َولَ َغ ا ْل َك ْل‬
ِ ‫ب فِى‬
“Jika anjing menjilat (walagho) di salah satu bejana kalian,
cucilah sebanyak tujuh kali dan gosoklah yang kedelapan dengan tanah
(debu)” (HR. Muslim no. 280).

b. Menyucikan Pakaian Dari Darah Haid / Nanah

Darah haid dan nanah adalah najis yang sifatnya berat, dan ini hanya
bisa dibersihkan dengan air. Cara membersihkan darah haid dengan cara
mengaliri bagian najis dengan air, dan kucek sedikit agar noda atau aromanya
hilang. Selain itu alangkah lebih baik jika mencuci darah haid tersebut dengan
sabun, karena hal tersebut jauh lebih baik dan menyucikan.

Dari Asma’ binti Abi Bakr, beliau berkata, “Seorang wanita pernah
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia berkata, “Di
antara kami ada yang bajunya terkena darah haidh. Apa yang harus kami
perbuat?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

َ ُ‫ض ُحهُ ثُ َّم ت‬


‫صلِّى فِي ِه‬ َ ‫صهُ بِا ْل َما ِء ثُ َّم تَ ْن‬
ُ ‫ت َُحتُّهُ ثُ َّم تَ ْق ُر‬
“Singkirkan darah haidh dari pakaian tersebut
kemudian keriklah kotoran yang masih tersisa dengan air, lalu
cucilah. Kemudian shalatlah dengannya.” (HR. Bukhari 225)

Dalilnya hadits Ummu Qois binti Mihshon, beliau mengatakan:


“Aku bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah haidh
yang mengenai pakaian”. Beliau menjawab,

« ‫س ْد ٍر‬ ِ ‫ض ْل ٍع َوا ْغ‬


ِ ‫سلِي ِه بِ َما ٍء َو‬ ِ ِ‫» ُح ِّكي ِه ب‬
“Gosoklah dengan tulang hean dan cucilah dengan air
dan daun bidara (diibaratkan sabun )”. (HR. Abu Daud 363,
Nasa`i 292, dan dinilai sahih oleh al-Albani)

10
11

Anda mungkin juga menyukai