Anda di halaman 1dari 33

SLUM TOURISM, PERSPEKTIF BARU PARIWISATA

ABSTRAK
Secara umum pariwisata sering dikaitkan dengan aktifitas perjalanan untuk
mengisi waktu luang dengan menikmati keindahan ataupun pemandangan alam.
Namun, pariwisata dewasa ini telah bergerak melampaui batasannya sendiri.
Pariwisata massal yang identik dengan keindahan dan rekreasi mulai mendapat
kritikan karena tidak mendukung kesejahteraan sosial, ekonomi masyarakat dan
lingkungan. Pariwisata alternatif lahir sebagai sebuah pilihan untuk menjadikan
pariwisata sebagai industri yang juga berpihak pada masyarakat kecil dan
lingkungan. Ecotourism merupakan salah satu contoh lahirnya alternatif dalam
dunia pariwisata, dan tentu saja apa yang menjadi fokus pada tulisan ini, yaitu
slum tourism.
Penelitian ini dilakukan pada sebuah aktifitas wisata daerah kumuh Jakarta
Hidden Tour, yang menjadikan daerah-daerah kumuh di Jakarta sebagai daerah
tujuan wisatanya. Konsep perjalanan wisata ini adalah berwisata sambil
membantu masyarakat di daerah kumuh. Selain melakukan penelitian terhadap
pihak yang memegang peranan dalam aktifitas ini, masyarakat di daerah kumuh
dan wisatawan juga menjadi kajian. Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan
bagaimana sistem produk wisata Jakarta Hidden tour bekerja dan perannya bagi
masyarakat di daerah kumuh. Selain itu di dalam penelitian ini juga melihat
bagaimana daerah kumuh lahir sebagai suatu daerah tujuan wisata baru dalam
dunia kepariwisataan dewasa ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode etnografi. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan keterlibatan
dalam proses wisata dan wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait, seperti
agen wisata, wisatawan dan masyarakat setempat yang permukimannya dijadikan
sebagai daerah tujuan wisata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan Jakarta Hidden Tour yang


dilakukan oleh sebuah lembaga bernama Interkultur masih jauh dari kata
mengembangkan masyarakat. Bentuk wisata seperti ini justru lebih memihak
kepada agen wisata dan wisatawan. Masyarakat hanya menjadi objek di
lingkungan mereka sendiri. Persoalan-persoalan muncul pada kegiatan ini, seperti
perbedaan pandangan antara pemerintah/dinas pariwisata dengan agen wisata.

Satu hal yang menarik adalah bahwa dalam jenis wisata seperti ini
memperlihatkan bahwa pariwisata mempunyai cara tersendiri dalam
perkembangannya. Pengalaman berubah menjadi hal yang dapat diperjualbelikan,
kebutuhan wisatawan akan pengalaman-pengalaman baru dijawab dengan
memunculkan jenis-jenis wisata baru. Daerah kumuh dapat dikondisikan menjadi
salah satu atraksi wisata yang dapat memberikan pengalaman baru bagi siapa pun
yang membutuhkannya.

Kata kunci : Pariwisata, daerah kumuh, wisata daerah kumuh, aktifitas wisata,
pengalaman, agen wisata, wisatawan, masyarakat

1
2

Pengantar

Penelitian ini mengenai bagaimana daerah kumuh dijadikan sebagai sebuah

atraksi wisata. Kegiatan pariwisata yang pada awalnya mengandalkan pola

kepariwisataan mass tourism (Poon,1993), bisa juga disebut dengan wisata

konvensiona1, yang identik dengan wisata rekreasi keindahan, telah berkembang

menuju kepariwisataan dengan pola-pola seperti alternative tourism atau wisata

non konvensional dan minat khusus yang lahir sebagai kritik terhadap

pembangunan besar-besaran oleh wisata konvensional yang berdampak negatif,

secara ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Bagaimana pun perkembangan

pola pariwisata, tentunya yang diharapkan adalah pariwisata menjadi alat

perkembangan ekonomi bagi masyarakat serta tetap mendukung nilai-nilai sosial,

budaya dan lingkungan.

Wisata daerah kumuh dikenal juga dengan istilah Slum Tourism. Slum

tourism yang mulai berkembang di Brazil dan India dianggap sebagai salah satu

program sukses dalam memajukan perekonomian masyarakat di daerah-daerah

padat dan kumuh di kedua negara (Ma,2010). Keberhasilan ini kemudian

menyebar ke negara-negara berkembang lainnya, salah satu diantaranya adalah

Indonesia. Untuk itu penelitian ini membahas perkembangan kegiatan slum

tourism di Indonesia, khususnya di Kota Jakarta yang digerakkan oleh sebuah

lembaga non-profit yang bernama Interkultur, bagaimana sistem wisata slum

tourism Jakarta Hidden Tour ini serta bagaimana perannya bagi masyarakat di

daerah kumuh itu sendiri.

1
Lembaga studi Pariwisata Indonesia menyebut dua pola wisata, yaitu konvensional dan non
Konvensional (dalam kepariwisataan dan ekonomi kreatif Indonesia, Kodhiyat : 2012 hal 41.
3

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pemahaman

konseptual dan metodologi dalam kajian pariwisata dalam antropologi. Pariwisata

saat ini telah berkembang ke aspek-aspek yang lebih luas sehingga ilmu

antropologi dapat ikut serta dalam kajian-kajian mengenai pariwisata. Serta dapat

juga menjadi masukan dan rujukan bagi para penggiat kegiatan pariwisata itu

sendiri.

Konteks Penelitian

Secara sederhana pariwisata dalam pengertian awam merupakan suatu kegiatan

perjalanan biasa yang dilakukan seseorang untuk bersantai sejenak dari aktifitas

sehari-harinya. Memang tidak ada yang salah dengan pemahaman tersebut, karena

secara sederhana menurut A.J Burkart, pariwisata berarti perpindahan orang untuk

sementara dan dalam jangka waktu pendek ke tujuan-tujuan di luar tempat dimana

mereka biasanya hidup dan bekerja, dan kegiatan-kegiatan mereka selama tinggal

di tempat-tempat tujuan tersebut (Seokadijo, 2000:3). Sementara itu menurut

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Bab I Pasal 1 ;

dinyatakan bahwa

“wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan seseorang atau kelompok


dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan
pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam
jangka waktu sementara”.
Pariwisata adalah konsep yang sangat multidimensional. Tidak bisa

dihindari bahwa beberapa pengertian pariwisata dipakai oleh para praktisi dengan

tujuan dan perspektif yang berbeda sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Terdapat banyak sekali pemahaman yang beragam dari para ahli mengenai
4

definisi pariwisata itu sendiri. Hal itu terjadi karena untuk memahami pariwisata

harus menyertakan aspek-aspek lain yang berhubungan, seperti yang dijelaskan

oleh Funnel (1999) bahwa pariwisata merupakan suatu sistem yang terintegrasi

yang di dalamnya terdapat wisata dan asosiasi dari sub sistem lainnya. Karena itu

tidak heran jika terdapat keragaman dari para ahli tentang definisi mengenai

pariwisata.

Mckean (1977) misalnya, mendefiniskan pariwisata sebagai suatu kegiatan

perjalanan yang dilakukan seseorang ataupun kelompok yang ingin melihat

kebiasaan ‘yang lain’ dari kehidupan mereka sehari-hari dengan harapan

mendapat timbal balik pengetahuan dan pengalaman mengenai cara hidup dan

kebiasaan ‘yang lain’. Lain halnya dengan Prof. Salah Wahab (1974) dalam

bukunya yang berjudul An Introduction On Tourism Theory, mendefinisikan

pariwisata sebagai suatu aktivitas perjalanan manusia yang dilakukan secara sadar

yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orang-orang dalam suatu

negara itu sendiri (di luar negeri) meliputi pendiaman orang-orang di daerah lain

(daerah tertentu, suatu negara atau benua) untuk sementara waktu dalam mencari

kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda dengan apa yang dialaminya dimana

dia hidup dan bekerja tetap.

Dari beragam definisi di atas peneliti menarik adanya satu kesamaan yang

dikemukakan, yaitu perjalanan. Dengan kata lain menurut peneliti berwisata pada

dasarnya adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan manusia untuk bersantai dan

rehat sejenak dari kebiasaanya dengan beragam motif yang melatarbelakangi

perjalanannnya. Beragam motif dan dorongan inilah yang kemudian akan


5

mempengaruhi perkembangan pariwisata ke berbagai pola dengan segala

subsistem yang terdapat di dalamnya.

Sehingga pada akhirnya membuat pariwisata sebagai industri yang sangat

menjanjikan dan mempunyai nilai ekonomis tinggi, seperti yang diungkapkan

oleh Hall (1994) menyebutkan bahwa industri pariwisata merupakan salah satu

komponen pembangunan ekonomi di Asia Pasifik sejak tahun 1960-an dan

sebagai sumber devisa penting bagi berbagai negara di kawasan itu. Pentingnya

peran sektor kepariwisataan ini juga diungkapkan oleh Urry (1990) yang

menyebutkan bahwa pesatnya industri pariwisata ini dapat dianggap sebagai

sumber kesempatan kerja di dunia. Apa yang diungkapkan oleh Urry dan Hall

bisa diterima, perkembangan wisata di dunia semakin marak dan beragam

jenisnya, mulai dari cara penyajian hingga objek yang dijadikan sebagai tujuan

wisata.

1.2.2 Pariwisata sebagai sebuah Industri

Pariwisata juga dianggap sebagai sebuah Industri masa kini yang

berorientasi dan memberikan kontribusi pada pengembangan ekonomi. Secara

langsung maupun tidak langsung pariwisata bisa menumbuhkan lapangan kerja

baru bagi masyarakat-masyarakat di daerah yang dijadikan sebagai objek tujuan

wisata dan tentunya lapangan bagi para agen wisata.

Bila meninjau pariwisata dari segi ekonomi, seperti misalnya dari segi

permintaan (demand) dan penawaran (supply), maka menurut G. Janata dalam

Wibowo (2008), pariwisata dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu : dynamic

sector dan static sector. Dynamic sector adalah kegiatan yang berhubungan
6

dengan travel agent, tour operator, angkutan atau transportasi wisata dan

pelayanan lain yang berkaitan. Sedangkan yang dimaksud dengan static sector

adalah perusahaan akomodasi, catering services, transportasi (secara umum),

entertaiment, souvenir-shop, dan lain-lain.

Dewasa ini pariwisata dianggap sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi

pada era globalisasi. Terkait dengan disibukkannya manusia yang diatur oleh hari

dan waktu kerja. Pariwisata dianggap sebagai suatu kebutuhan untuk

menyegarkan kembali pikiran dengan cara mengunjungi atau melihat tempat dan

hal-hal baru di luar kebiasaan. Waktu luang dan uang dianggap sebagai faktor

pendorong dalam Industri Pariwisata, dengan melakukan suatu perjalanan wisata

seseorang akan mendapatkan pengalaman baru yang berbeda dengan apa yang

biasa mereka dapatkan sebelumnya.

Industri pariwisata itu sendiri merupakan kumpulan dari macam-macam

perusahaan yang secara bersama menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa (good

and services) yang dibutuhkan wisatawan selama dalam perjalanannya. Industri

pariwisata bukanlah industri yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu industri

yang terdiri dari serangkaian perusahaan yang menghasilkan jasa atau produk

yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan itu tidak hanya dalam jasa yang

dihasilkan, tetapi juga dalam besarnya perusahaan, lokasi tempat kedudukan, letak

geografis, fungsi, bentuk organisasi yang mengelola dan metode atau cara

pemasaranya.

R.S. Damarjadi dalam Wibowo 2007, mengatakan bahwa yang

dimaksudkan dengan industri pariwisata sebagai rangkuman dari berbagai macam


7

bidang usaha yang secara bersama-sama menghasilkan produk-produk maupun

jasa-jasa/pelayanan-pelayanan yang nantinya baik secara langsung maupun tidak

langsung akan dibutuhkan oleh wisatawan selama perjalanannya.

Pengertian industri pariwisata akan lebih jelas bila mempelajari jasa atau

produk yang dihasilkan atau pelayanan-pelayanan yang diharapkan wisatawan

saat mereka sedang dalam perjalanannya. Dengan cara ini akan terlihat tahap-

tahap di mana wisatawan sebagai konsumen memerlukan pelayanan (services)

tertentu. Pendekatan ini menganggap bahwa produk dari industri pariwisata

adalah semua jasa yang diberikan oleh macam-macam perusahaan, semenjak

seorang wisatawan meninggalkan tempat kediamannya, sampai di daerah tujuan

wisata yang telah menjadi pilihannya, hingga sampai kembali ke tempat asalnya.

Industri Pariwisata sangat terkait dengan produksi wisata itu sendiri.

Spillane dalam Kodhiyat (2012) menyebutkan ada empat syarat agar suatu

kegiatan perjalanan dapat disebut sebagai suatu produksi pariwisata. Keempat

syarat itu adalah ; Product (produk), Price (Harga), Place (tempat tujuan),

Promotion (promosi). Keempat hal di atas sangat penting bagi pemasaran suatu

produksi wisata.

Produk pariwisata adalah berupa jasa atau layanan. Konsumen akan

mengkonsumsi produk ini dengan memperoleh pengalaman dari perjalanan yang

dilakukannya. Sifat dasar produk pariwisata adalah intangibility, heterogenity,

perishability, inseparability (Holloway & Robinson, 1995). Di samping itu

produk wisata tak bisa dipisahkan satu dengan lainnya, tidak bisa distandarisasi

seperti barang, karena merupakan produk dari banyak elemen. Zeithaml dan
8

Bitner (1996), memaknai produk jasa mencakup semua aktivitas ekonomi yang

produk dan konsumsinya dilakukan pada waktu yang sama, nilai tambah yang

diberikannya dalam bentuk kenyamanan, liburan, kecepatan. Menurut Yoeti

(1997), produk wisata terdiri dari unsur 3 A : atraksi, amenitas dan aksesibilitas.

Dari ketiga unsur itu yang dominan adalah atraksi, tanpa atraksi tidak ada kegiatan

pariwisata. Atraksi harus ada syarat : (1) apa yang bisa dilihat (2) apa yang bisa

dilakukan dan (3) apa yang bisa dibeli.

Bentuk pola atau jenis suatu pariwisata tidak bisa dilepaskan dari dua

faktor, yaitu permintaan dan penawaran. Permintaan datang dari sisi wisatawan,

yaitu adanya waktu luang, uang, pencarian sesuatu yang baru, dan rasa ingin tahu.

Penawaran datang dari jasa-jasa yang terkait dengan pariwisata, jasa penerbangan,

jasa penginapan, restoran, sarana dan prasarana penunjang, promosi, dan tentunya

objek tujuan wisata beserta atraksi itu sendiri. Kedua faktor ini saling berjalan

beriringan. Faktor-faktor ini yang kemudian membuat pariwisata mempunyai

pola-pola tersendiri dalam bentuk penyelenggaraan dan penyajiannya.

Perkembangan Pola kepariwisataan

Pada awal perkembangan wisata, wisata konvensional merupakan bentuk

andalan dari sebuah mekanisme besar Pariwisata. Wisata konvensional dapat

diartikan juga dengan apa yang disebut sebagai mass tourism. Poon (1993:32),

mendefiniskan mass tourism sebagai sebuah fenomena pariwisata yang umum

telah dibungkus dan ditetapkan sedemikian rupa dalam skala yang besar dengan

standarisasi dari bentuk penyajian suatu kegiatan pariwisata, mulai dengan adanya
9

hotel-hotel megah, sarana dan prasarana wisata serta objek dan atraksi wisata itu

sendiri biasanya bersifat hiburan dan rekreasi, proses mass tourism itu sendiri

biasanya bersifat wisatawan yang datang berkelompok dengan kesamaan tujuan

wisata. Pendapat Poon ini sesuai dengan Lembaga studi Pariwisata Indonesia

yang melihat wisata konvensional lebih bersifat rekreasi dan sekedar untuk

melepas lelah dan bersantai (Kodhiyat, 2012). Dilakukan secara masal dan di

desain sedemikian rupa bagi wisatawan dalam bentuk inlcusive tour atau ‘paket

wisata’2. Dimana perjalanan wisata yang ditawarkan sudah termasuk jasa

transportasi, jasa penginapan dan atraksi wisata dalam satu tahap.

Dalam sejarahnya, wisata konvensional diprakarsai oleh kegiatan yang

dilakukan oleh Thomas Cook, 5 Juli 1841 (Young, 1973). Dalam bukunya yang

berjudul Tourism : Blessing or Blight, Young (1973) menceritakan bagaimana

Thomas Cook menyelenggarakan sebuah perjalanan pulang pergi menggunakan

kereta api dari Leicester ke Loughsborough dengan biaya 1 shilling per orang-nya,

termasuk di dalamnya adalah paket menonton pertunjukan-pertunjukan seni.

Sejak saat itu Thomas Cook mulai mendirikan agen perjalanan ‘Thomas Cook and

Son’ dan memperluas penyelengggaraan paket wisatanya dan disebut sebagai

“Bapak Pariwisata” (Young,1973). Selain ide dari Thomas Cook, perkembangan

pariwisata juga dipengaruhi oleh perang dunia I ,II dan perkembangan media

televisi (Burkart dan Medlik,1981). Perang dunia I dan II dianggap telah membuat

perkembangan pada alat transportasi, dari kereta api menuju mobil, dari kapal laut

menjadi pesawat. Sementara media televisi membantu dalam upaya promosi bagi
2
Menurut Marioti dalam Yoeti (1997: 172) atraksi wisata adalah segala sesuatu yang terdapat di
daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang ingin berkunjung ke suatu tempat
daerah tujuan wisata
10

agen-agen perjalanan dalam memasarkan paket perjalanannya. Sejak saat itu

perkembangan agen-agen perjalanan yang menawarkan berbagai macam paket

wisata mulai bermunculan dan saling berlomba dalam menyajikan paket wisata.

Sedangkan munculnya wisata non konvensional lahir akibat pemikiran dari

pengusung aliran-aliran postmodern. Kritik terhadap pembangunan pariwisata

konvensional yang semakin tidak terkendali dan hanya memberikan keuntungan

bagi segelintir orang. McHale (dalam Tourism a new Perspective, 1992:217)

menyebutkan bahwa adanya ketakutan akan wisata konvensional yang

memberikan dampak negatif terhadap pembangunan masyarakat, lingkungan dan

budaya yang dipaksa mengikuti aturan-aturan dalam pembangunan pariwisata.

Maksud dari McHale disini adalah kritik terhadap pembangunan pariwisata

konvensional yang membutuhkan lahan luas didukung dengan kelengkapan sarana

dan prasarana pendukung lainnya yang pada akhirnya memberikan dampak buruk

bagi masyarakat, baik secara sosial, budaya, ekonomi maupun lingkungan.

Sehingga tujuan mulia pariwisata sebagai alat dalam pengembangan ekonomi

masyarakat juga dipertanyakan. Munculah konsep-konsep pengembangan baru

dalam penyajian Pariwisata, yang pada akhirnya memunculkan alternatif lain

dalam pariwisata, wisata non konvensional misalnya.

Wisata non Konvensional terdiri dari berbagai pola pengembangan pariwisata

sebagai berikut ;

1. Kepariwisataan Alternatif (alternatif tourism)

2. Kepariwisataan Ekologi (Ecotourism)

3. Kepariwisataan Berkelanjutan (Sustainable Tourism)


11

4. Kepariwisataan Berbasis Masyarakat (Community-based Toursim)

5. Kepariwisataan yang berpihak pada Si Miskin (Pro-poor Tourism) 3

Selain wisata konvensional dan non konvensional, ada juga yang disebut

dengan Wisata minat khusus. Beberapa ahli cenderung memasukkan wisata minat

khusus sebagai bagian dari pola wisata konvensional, tetapi Weiler dan Hall

(1992), menanggapi bahwa wisata minat khusus berbeda dengan wisata

konvensional, karena lebih didasarkan pada ketertarikan individual, sementara

wisata konvensional lebih bersifat umum dan berkelompok. Wisata minat khusus

adalah bentuk perjalanan wisata, di mana wisatawan mengunjungi suatu tempat

karena memiliki minat khusus dari obyek atau kegiatan di daerah tujuan wisata

(Weiler dan Hall, 1992). Pariwisata minat khusus pelakunya cenderung untuk

memperluas pencariannya yang berbeda dengan mengamati orang, budaya,

pemandangan, kegiatan kehidupan sehari-hari, nilai-nilai. Bentuk kegiatan

maupun pengalaman yang diharapkan sangat beragam, sebagaimana yang

diungkapkan oleh Weiler dan Hall (1992) bahwa ketertarikan khusus dari para

wisatawan dalam hal ingin mencari sesuatu yang baru, apakah itu sejarah, kuliner,

olahraga, budaya.

“The special interest traveller wants to experience


somethingnew,wheither it is history, food, sport, custo or the outdoor.
Many wish to appreciate the new sight, sound, smells, tastes and to
understand the place and its people”.
Smith dalam Kodhiyat (2012), melihat wisata minat khsusus dapat dibagi-bagi

lagi ke dalam beberapa bentuk kegiatan wisata, diantaranya ;

1.Ethnic Tourism (Pariwisata etnik)

2. Cultural Tourism (Pariwisata Budaya)


3
Kodhyat (2012) ; kepariwisataan dan ekonomi kreatif Indonesia, hal.45
12

3. Historical Tourism (Pariwisata Sejarah)

4. Nature Tourism (Pariwisata Alam)

Wisata minat khusus dianggap tidak memerlukan pembangunan besar-

besaran dalam usaha menarik wisatawan karena daya tariknya ada pada atraksi

dan objek wisata itu sendiri. Wisata minat khusus merupakan suatu bentuk

kegiatan kepariwisataan yang tidak merusak lingkungan, berpihak pada ekologis

dan menghindari dampak negatif dari pembangunan pariwisata berskala besar

yang dijalankan pada suatu area yang tidak terlalu cepat pembangunannya.

(Koslowski dan Travis: 1985). Dari pendapat Koslowski dan Travis dapat

dikatakan bahwa, sesuatu dapat menjadi objek wisata tanpa mengandalkan

bangunan-bangunan mewah, kelengkapan sarana dan prasarana layaknya wisata

konvensional, tetapi dapat dikembangkan dengan sederhana asalkan mempunyai

keunikan dan daya tarik tersendiri, sehingga pada akhirnya dapat membantu

dalam pembangunan daerah dan pengembangan ekonomi masyarakat.

Bagaimanapun sebutan para ahli mengenai wisata non konvensional dan wisata

minat khusus, ada satu kesamaan yaitu bahwa perkembangan pola pariwisata lahir

atas kekhawatiran terhadap pariwisata konvensional. Muncullah alternatif lain

dalam penyajian suatu bentuk pariwisata yang diharapkan mampu menggeser

paradigma pembangunan pariwisata konvensional yang selalu identik dengan

pembangunan besar-besaran. Salah satunya adalah apa yang akan menjadi fokus

kajian dalam penelitian ini, yaitu slum tourism.

Slum Tourism
13

Slum tourism bukanlah suatu konsep umum mengenai jenis pariwisata yang

mungkin diketahui oleh banyak orang, pada awalnya slum tourism disebut dengan

istilah slumming. Slumming pertama kali diakui di dalam kamus Oxford

University pada tahun 1884 (http://en.wikipedia.org/). Kata-kata ini digunakan

untuk menggambarkan perjalanan yang dilakukan oleh orang yang mengunjungi

daerah slum di Kota London, Inggris, untuk mengamati cara hidup dan kebiasaan
4
mereka.

Slum tourism dapat dikategorikan sebagai wisata budaya. Wisata budaya

merupakan suatu jenis kepariwisataan yang digolongkan ke dalam wisata minat

khusus. Budaya yang dimaksudkan dalam slum tourism berbeda dengan apa yang

selama ini menjadi pakem khusus bagi wisata budaya. Wisata budaya yang identik

dengan suku bangsa atau etnis tertentu yang masih memiliki cara hidup yang

berdasarkan adat dan tradisi dari leluhur dibuat berbeda dengan slum tourism.

Daerah kumuh atau slum area sendiri adalah pemukiman yang tidak layak

huni karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun

non teknis, dan merupakan ciri dari suatu negara berkembang (UN-Habitat,2007).

Daerah kumuh atau slum area dapat disebut juga sebagai pemukiman kumuh,

yaitu kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan tersebut

sangat buruk. Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan

tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas

menengah.

4
Diceritakan pada artikel yang dikeluarkan oleh New York Time Magazine ; Slumming in this
Town, 14 September 1884
14

Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula ditempatkan

sebagai akibat. Ditempatkan dimanapun juga, kata kumuh tetap menjurus pada

sesuatu hal yang bersifat negatif. Rumah maupun sarana dan prasarana yang ada

tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan

bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun

persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan

fasilitas sosial lainnya dan juga ditandai dengan kepadatan penduduknya. Suatu

pemukiman kumuh dapat dikatan sebagai pengejawantahan dari kemiskinan,

karena pada umumnya di pemukiman kumuhlah masyarakat miskin tinggal dan

banyak di jumpai di kawasan perkotaan (Kurniasih, 2007).

Slumming pada awalnya belumlah dianggap sebagai perjalanan wisata dan

lebih dianggap sebagai suatu observasi dan pengamatan terhadap gaya dan cara

hidup dari sisi lain di kota London, yang kemudian berkembang ke kota-kota di

Amerika. Tetapi pada tahun 1990-an kajian-kajian akademis tentang slumming

sebagai bagian dari suatu aktifitas pariwisata mulai muncul, karena meningkatnya

aktifitas perjalanan ke daerah kumuh di Brazil dan Afrika Selatan dan diorganisir

oleh operator-operator wisata dengan bayaran tertentu (Dondolo,2002). Dari dua

negara tersebut banyak penelitian yang diarahkan ke negara Brazil dengan Rio de

janeiro menjadi pusatnya. Favelas dan Rochina (dua pusat daerah kumuh di

Brazil) berhasil menarik hati para wisatawan , padahal dua daerah ini merupakan

konteks nyata dari pemukiman padat yang identik dengan kemiskinan,

kriminalitas, dan sarang pecandu di Rio de Janeiro (Cardoso, 2005). Keberhasilan

Brazil mendatangkan 40.000 wisatawan ke favelas tiap tahunnya, dimulai pada


15

tahun 1992 ketika KTT di Rio, banyak permintaan dari para delegasi untuk

berkunjung ke Favelas (Freire-Medeiros 2009). Keberhasilan ini sekaligus

merubah citra Favelas menjadi lebih positif di mata dunia, sebagai objek

pariwisata, yang sekaligus menjadikan wisata ini sebagai bagian dari disiplin

kajian ilmu pariwisata dengan sebutan slum tourism.

Suksesnya Brazil dalam menjaring wisatawan dengan mengandalkan

daerah slum sebagai tujuan wisata mulai diikuti oleh negara-negara lain yang

memiliki daerah slum untuk menyelenggarakan kegiatan yang sama, salah satunya

India. Pada tahun 2006, slum tourism diperkenalkan oleh seorang agen wisata

keturunan India-Inggris. Mumbai ditunjuk sebagai daerah yang akan dijadikan

sebagai objek wisata. Inspirasi didapatkan dari suksesnya wisata ke favelas di Rio

de Janeiro, Brazil (Freire-Medeiros 2009; Meschkank 2010; Dyson 2012). Bahkan

di India, promosi slum tourism juga dibantu oleh film Slumdog Millionare yang

dipublikasikan pada tahun 2008, dan sejak saat itu permintaan wisata ke daerah

slum di Mumbai semakin meningkat. Pengaruh slum tourism sebagai suatu

alternatif lain yang menjadi magnet tersendiri dalam usaha mendobrak pariwisata

konvensional ternyata menyebar. Terbukti dengan munculnya wisata-wisata

seperti ini di negara-negara seperti Brazil, Afrika Selatan, India, Kenya, Meksiko,

dan Indonesia (Bock, 2010).

Slum tourism dianggap sebagai pendobrak paradigma wisata konvensional

(Ooi, 2002), konsep pembangunan wisata konvensional yang dikemas dalam

bentuk-bentuk yang mewah dan bersifat rekreasional diganti dengan jenis wisata

yang lebih bersifat moral, pencarian pengalaman, bersifat individu dan bebas
16

tanpa memerlukan pembangunan fasilitas-fasilitas berbintang, telah merusak

pakem yang telah ada, terutama wisata konvensional. Bob Ma (2010) yang

mempelajari motivasi turis pada kegiatan slum tourism di India, menemukan

bahwa ketertarikan wisatawan terhadap slum tourism adalah karena ingin melihat

sesuatu yang asli dan berbeda dari penyajian pariwisata yang mereka lakukan

pada umumnya. Dalam arti lain, slum tourism dapat dikatakan lebih berdasarkan

ketertarikan individual dan digolongkan kepada wisata minat khusus, yaitu wisata

budaya. Slum Tourism menunjukkan kepada kita bagaimana aspek nyata sebuah

kehidupan di kota yang mewakili wajah kemiskinan di dunia (Bock, 2010).

Kontroversi slum tourism

Kehadiran slum tourism sebagai alternatif di tengah pembangunan wisata

juga menjadi kontroversi. Sejak dijadikan berita pada halaman depan New York

Time pada tahun 2008, slum tourism mulai mengundang kontroversi. Eric weiner

(2008) dalam artikel yang dikeluarkan oleh New York Time, pada 9 Maret 2008

menyebutkan wisata yang dilakukan ke daerah-daerah kumuh di Brazil dan India

sebagai sebuah eksploitasi dan melanggar nilai etis dan akan ditolak sebagai

sebuah pariwisata yang berorientasi pembangunan masyarakat. Sementara itu

Harold Goldwin Direktur dari Internacional Responsible Tourism di Leeds,

Inggris dalam artikel yang sama berpendapat lain. Goldwin (2008) dalam artikel

New York Time (2008) berpendapat sebagai berikut ;

“Ignoring poverty won’t make it go away. Tourism is one of the few ways that
you or I are ever going to understand what poverty means. To just kind of turn
a blind eye and pretend the poverty doesn’t exist seems to me a very denial of
our humanity”
17

Dari apa yang dijelaskan oleh Goldwin, penulis menarik kesimpulan

bahwa Goldwin tidak mempermasalahkan Slum tourism sebagai bentuk

eksploitasi terhadap manusia dan kemsikinan, karena selama ini kebanyakan

orang mengabaikan masyarakat miskin di perkotaan, dengan cara slum tourism

bisa menyentuh sisi kemanusiaan seseorang untuk membantu dan memberikan

citra baru bagi daerah kumuh. Sampai sekarangpun slum tourism masih menjadi

perdebatan. Hal utama dari banyaknya perdebatan itu adalah “sejauh mana slum

tourism mendukung kesetaraan ekonomi bagi masyarakat di daerah kumuh”?.

Pada pandangan pertama dapat kita sebut sebagai pendukung slum tourism

Selama ini masyarakat di daerah kumuh selalu terpinggirkan dan jauh dari

bantuan pemerintah. Dengan adanya wisata ke daerah kumuh masyarakat miskin

di daerah kumuh bisa lebih diperhatikan dan keuntungan dari wisata ini

dikembalikan kepada masyarakat. Dengan kata lain slum tourism bisa disebut

sebagai upaya pengembangan masyarakat miskin di daerah padat dan kumuh

perkotaan yang selalu luput dari perhatian negara dan pemerintah. Reality tours

and travel, agen perjalanan dan operator slum tourism di India melakukan survai

yang menunjukkan peningkatan ekonomi masyarakat sebesar 25% sejak

diadakannya slum tourism di Mumbai (dalam Weiner, 2009).

Selain itu pandangan pendukung juga datang dari kegiatan slum tourism yang

telah berlangsung di Brazil dan India. Bahwa keberhasilan slum tourism di Brazil

dan India tidak terlepas dari masyarakat di daerah kumuh diberdayakan dan diajak

berpatisipasi dalam kegiatan wisata, mulai dari membuat penunjuk jalan hingga

menghasilkan cinderamata dari barang-barang bekas (Bock, 2010). Sama halnya


18

dengan yang dijelaskan oleh Tribe (2002), bahwa dengan adanya slum tourism

juga menjadikan daerah-daerah kumuh yang diidentikkan dengan hal-hal berbau

kriminal berubah menjadi citra positif di mata para wisatawan, terbukti dengan

apa yang terjadi di Rio de Janeiro dengan Favelas-nya.

Dalam pandangan kedua kita bisa menggunakan pendekatan ekonomi politik

Marx . “Komodifikasi” adalah konsep yang cocok untuk mendukung penolakan

terhadap kegiatan ini. “Komodifikasi" sebetulnya adalah istilah yang baru muncul

ke percaturan pada tahun 1977, mengungkapkan konsep fundamental Marx untuk

memahami tentang cara kapitalisme berkembang. Marx dan Engels menjabarkan

proses tersebut dalam karya mereka yang terkenal The Communist Manifesto.

Dari apa yang diutarakan oleh Marx dan Engels, komodifikasi dapat

diartikan sebagai upaya untuk menjadikan sesuatu yang tadinya bukan merupakan

suatu produk dagangan menjadi sesuatu yang bisa diperjualbelikan dalam

mekanisme pasar. Jika memakai pendekatan ini sebagai kajian untuk memahami

slum tourism maka pemikirannya adalah bahwa masyarakat dan kemiskinannya

dijadikan sebagai barang dagangan oleh agen wisata dan dijual karena mempunyai

nilai ekonomi akibat ketidakberdayaan masyarakat di daerah kumuh atas kondisi

hidupnya.

Komodifikasi terbentuk dari kelas-kelas yang membentuk kapitalisme dan

modal menjadi sesuatu yang dominan dan menjadi alat untuk mengontrol

segalanya. Sehingga, kelas yang dominan dan bermodal dapat menjadikan segala

sesuatu dalam material produksi sebagai sebuah dagangan. Seperti yang

diungkapkan Pijl (1998 : Hal 1) dalam tulisannya ;


19

“The process of commodification. This means that the lives of ever more people
are determined by tendentially world-embracing market relations (‘the
connection of the individual with all’). Goods produced, services rendered, but
also the raw material of nature and human beings as such, are thus subjected to
an economic discipline which defines and treats them as commodities”

Jika kita kaitkan konsep-konsep di atas dengan wisata daerah kumuh,

bahwa masyarakat di daerah kumuh hanya dijadikan sebagai tontonan dari sebuah

produk wisata dan kontrol atas kegiatan itu sepenuhnya dilakukan oleh agen

perjalanan. Rolfes (2009) juga melihat bahwa yang dijadikan produk pada wisata

ini adalah kemiskinan itu sendiri. Pembagian keuntungan juga tidak jelas dan

berpihak pada agen, sehingga tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi

masyarakat di daerah kumuh tersebut. Dalam sekejap masyarakat di derah kumuh

dengan segala simbol kemiskinannya berubah menjadi sebuah produk dagangan

dalam perkembangan wisata dewasa ini. Karena berbicara mengenai

pengembangan masyarakat, adalah bagaimana pembangunan yang dihasilkan

merupakan permbangunan yang berkelanjutan dan merata.

Hal inilah yang dilihat para penentang slum tourism, bahwa aktifitas

wisata seperti ini lebih condong kepada eksploitasi besar-besaran terhadap

masyarakat dan kemiskinan di daerah kumuh, demi memuaskan pencarian

terhadap ke-eksotikan para wisatawan yang mulai jenuh dengan wisata

konvensional, yang kemudian dimanfaatkan sebagai proses pencarian keuntungan

(Fennell,2011), atau apa yang disebut Marx dalam pendekatan ekonomi-

politiknya sebagai proses ‘komodifikasi’. Masyarakat di daerah kumuh dengan

segala atribut kemiskinannya tidak ubahnya seperti sebuah minuman coca-cola,


20

pelepas ‘dahaga’ para wisatawan yang haus akan keaslian dari suatu kegiatan

pariwisata, tentunya dengan bayaran tertentu untuk mendapatkannya.

Rumusan Masalah

Dalam uraian-uraian pada pembahasan sebelumnya terlihat bagaimana

perkembangan pariwisata dari pariwisata konvensional yang kemudian

berkembang jenis pariwisata non konvensional dan minat khusus , salah satunya

melahirkan slum tourism atau wisata daerah kumuh. Jakarta Hidden Tour yang

ditawarkan oleh sebuah lembaga di Jakarta merupakan sebuah aktifitas yang

menggunakan cara yang sama dengan slum tourism. Berbeda dengan di Brazil dan

India, dimana kegiatan wisata daerah kumuh telah menjadi agenda wisata yang

didukung oleh pemerintah, aktifitas pariwisata seperti ini di Indonesia masih pada

tahap pengembangan. Agen perjalanan dari wisata ke daerah kumuh di Indonesia

adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) swasta bernama Interkultur yang

bergerak, melaui program wisata Jakarta Hidden Tour.

Perjalanan yang ditawarkan agak berbeda dari agen komersil kebanyakan,

dikarenakan perjalanan ini adalah sebuah misi untuk mempertemukan dua budaya

yang mampu menumbuhkan kesadaran tentang kemanusiaan, budaya dan

lingkungan. Interaksi yang dibentuk dalam pariwisata ini diharapkan mampu

mendorong para wisatawan untuk membantu masyarakat sekitar, dimana bantuan

tersebut dapat langsung dimanfaatkan dan diterima oleh pihak yang memerlukan,

masyarakat sendiri tentunya. Melalui Jakarta Hidden Tour para wisatawan diajak

merasakan sisi lain dari kota Jakarta, dimana di tengah gemerlap metropolian
21

terdapat masyarakat yang mampu bertahan hidup dengan keterbatasan yang ada.

Perjalanan pariwisata ini mengajak para wisatawan mengunjungi perkampungan

kumuh di Jakarta, salah satunya adalah Kampung Baru di Luar Batang di Jakarta

Utara.

Fenomena wisata budaya dengan konsep mengunjungi daerah kumuh

mendapatkan pro dan kontra, maka Jakarta Hidden Tour-pun juga tidak terlepas

dari perdebatan ini. Ada dua pandangan yang timbul akibat fenomena wisata ke

daerah kumuh di Indonesia. Direktur Promosi Dalam Negeri Kementrian Budpar

Fathul Bahri dalam situs www.Indonesia.go.id menyatakan, wisata kemiskinan

memiliki sejumlah sisi positif. "Kalau konsepnya untuk menggugah kepedulian

kita terhadap kemiskinan, jelas harus dilihat sisi positifnya," (Fathul Bahri dalam

Suara Karya-online, 2010). Sementara itu Wakil Ketua DPRD Jakarta,

Triwisaksana menyatakan wisata kemiskinan bertentangan dengan program

pengentasan kemiskinan. "Tidak seharusnya wajah kemiskinan itu dijual. Seakan-

akan kemiskinan adalah asset. Padahal kemiskinan harus diberantas,"

(Triwisaksana dalam Suara karya-Online,2010). Ronny Poluan pelopor Jakarta

Hidden Tour, menyebutkan bahwa keuntungan dari wisata daerah kumuh ini juga

dibagikan kepada masyarakat sebanyak 50%, dan 50% digunakan interklutur

untuk pengembangan-pengembangan lainnya (Travel Okezone, 2010) .

Terlepas dari perdebatan-perdebatan yang terjadi, peneliti ingin mengkaji

tentang kegiatan Jakarta Hidden Tour yang diadakan oleh Interkultur di Jakarta

sebagai sebuah produk pariwisata. Berdasarkan uraian dan latar belakang yang

telah dijelaskan sebelumnya maka dapat ditarik rumusan masalah :


22

1. Bagaimana sistem wisata Jakarta Hidden Tour hingga melahirkan daerah

kumuh sebagai sebuah produk pariwisata alternatif?

2. Bgaiamana peran sistem wisata Jakarta Hidden Tour bagi masyarakat?

3.

Tujuan Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini penulis bertujuan untuk: 1)

Mendeskripsikan sistem pariwisata Jakarta Hidden Tour sehingga melahirkan

produk wisata ke daerah kumuh sebagai jenis wisata baru di Jakarta khusunya,

Indonesia pada umumnya 2) Menganalisis wisata ke daerah kumuh Jakarta

Hidden Tour yang diselenggarakan oleh Interkultur di Jakarta 3) Memberikan

kontribusi bagi kajian-kajian bidang pariwisata dalam ilmu Antropologi

Metode Penelitian

Untuk memulai penelitian ini penulis terlebih dahulu melakukan kajian literatur

mengenai pariwisata dan daerah kumuh serta teori-teori yang terkait dengan

bahasan seperti yang telah di uraikan pada bagian-bagian sebelumnya. Penulis

akan melakukan penelitian di Interkultur, lembaga yang menyelenggarakan wisata

ke daerah kumuh yang mereka sebut dengan Jakarta Hidden Tour. Tempat lainnya

yang akan diteliti adalah daerah kumuh yang dijadikan sebagai objek Jakarta

Hidden tour.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode etnografi.

Menurut Spradley (1997) etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya

atau sistem kelompok sosial. Peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari
23

pola perilaku, kebiasaan, dan cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil

dari sebuah penelitian. Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatan yang

cukup panjang terhadap suatu kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut

peneliti terlibat dalam keseharian hidup responden atau melalui wawancara satu

per satu dengan anggota kelompok tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna

dari setiap perilaku, bahasa, dan interaksi dalam kelompok. Menurut penulis

bahwa metode ini cocok untuk digunakan dalam kajian terhadap wisata ke daerah

kumuh, dimana penulis ingin melihat bagaimana kegiatan wisata ini berlangsung

dengan sub sistem-sub sistem yang mengiringinya, serta hubungan-hubungan

antara Interkultur dan Masyarakat dalam proses wisata ke daerah kumuh.

Data penelitian dikumpulkan melalui metode wawancara tidak

terstruktur/semi-terstruktur dan partisipasi observasi. Seperti kata Bernard, kita

harus “membuat suatu tuntunan pertanyaan dan mengikutinya jika kita

menginginkan sebuah data yang dapat diandalkan dan dapat diperbandingkan”

(2006: 212). Orang-orang yang akan diwawancara dipilih dengan menggunakan

metode ‘purposive sampling.’ Mereka diberikan penjelasan singkat tentang

proyek penelitian ini.

Teknik Pengumpulan data

Dalam pengumpulan data, untuk dapat memudahkan peneliti dalam

mendekatkan diri dengan informan serta mendapatkan data maka selama

penelitian peneliti membangun hubungan dengan pengurus interkultur yang

terkait dengan program Jakarta Hidden Tour, dengan mengikuti kegiatan-kegiatan


24

yang dilaksanakan Interkultur yang berkaitan dengan Jakarta Hidden Tour. Serta

peneliti terjun langsung ke kampung-kampung kumuh yang dijadikan sebagai

daerah tujuan Jakarta Hidden Tour seperti Kampung Pasar Ikan di Luar Batang,

untuk pengamatan dan penelitian lebih lanjut mengenai kegiatan wisata ini.

Dengan terjun langsung ke daerah penelitian maka peneliti memperoleh keaslian

data yang penulis dapat dari lembaga Interkultur, sehingga menjadi pembanding

data bagaimana fakta di lapangan terkait pariwisata ini. Secara teknis,

pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi,

wawancara, serta studi literatur.

Lokasi Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini adalah daerah-daerah pemukiman padat dan

kumuh di Jakarta yang dijadikan sebagai tujuan paket wisata Jakarta Hidden Tour

dan Interkultur sendiri sebagai penyelenggara kegiatan Jakarta Hidden Tour.

Lokasi penelitian utama adalah Kampung di belakang pasar ikan di Luar Batang,

Penjaringan Jakarta Utara. Kemudian peneliti juga akan mengunjungi lokasi-

lokasi kampung kumuh lainnya Galur dan Kampung Pulo di bawah jembatan

tongtek untuk sekedar menambahkan data, karena juga merupakan tempat-tempat

permukiman kumuh yang dijadikan sebagai objek wisata dari kegiatan pariwisata

ke daerah kumuh, sehingga akan representatif bagi peneliti untuk melihat

bagaimana dinamika yang terjadi dalam fenomena pariwisata ke daerah kumuh

dan akan memperkaya data.


25

Slum Tourism: Dikotomi Pembangunan wisata dan atau eksploitasi

kemiskinan

Pariwisata dianggap sebagai suatu industri di bidang jasa yang dapat

dimanfaatkan sebagai upaya untuk membantu pekonomian sebuah negara. Industi

pariwisata bahkan telah dianggap sebagai industri strategis ketiga oleh sebagian

pakar wisata dan ekonomi, karena dianggap sebagai kebutuhan yang harus

dipenuhi pada era globalisasi, terkait disibukkannya manusia yang diatur oleh hari

dan waktu kerja. Waktu luang dan uang dianggap sebagai faktor pendorong dalam

Industri Pariwisata, kesibukan akan kehidupan sehari-hari dan rutinitas kerja

membuat seseorang membutuhkan suatu pengalaman baru yang dapat

menyegarkan kembali pikirannya sehingga tidak merasa terasing dengan dunianya

sendiri.

Berbagai upaya dilakukan untuk menghadirkan suatu bentuk perjalanan

wisata yang dapat memenuhi kebutuhan akan hal tersebut. Tidak mengherankan

jika bermunculan jenis-jenis wisata alternatif yang hadir untuk memenuhi geliat

akan kebutuhan pariwisata. Suatu kebutuhan yang digunakan untuk menyegarkan

kembali pikiran dengan cara mengunjungi atau melihat tempat dan hal-hal baru di

luar kebiasaan sehari-hari. Slum Tourism merupakan salah satu contoh nyata

lahirnya sebuah jenis wisata baru. Siapa yang menyangka bahwa daerah kumuh

pun bisa dijadikan sebagai daerah tujuan wisata. Slum Tourism dapat digolongkan

kepada jenis wisata budaya. Pembuktiannya adalah pada atraksi wisata yang

ditawarkannya. Tidak ada pantai dengan pasir putih, laut yang biru ataupun

pemandangan alam yang menyejukkan mata. Pemandangan yang akan dilihat


26

adalah simbol-simbol yang menjadi pembeda antara daerah kumuh dengan

daerah-daerah lainnya di perkotaan. Selain simbol-simbol fisik ada juga simbol-

simbol non fisik seperti cara hidup dan perilaku masyarakat di daerah kumuh.

Jakarta hidden Tour merupakan salah satu contoh nyata dari munculnya wisata

daerah kumuh. Kegiatan yang dimotori oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat

ini merupakan sebuah bentuk produksi jasa wisata.

Daerah kumuh sebagai Atraksi Wisata

Produk wisata menyediakan tempat-tempat tujuan wisata sebagai barang

dagangannya dan memberikan pengalaman sebagi bentuk pertukaran di dalam

alurnya. Pertanyaannya adalah mengapa daerah kumuh yang dipilih sebagai

daerah tujuan wisata?, jika pada wisata budaya secara umum mengedepankan

masyarakat-masyarakat yang masih dinilai memiliki ciri tradisional sebagai

tujuannya, sekarang muncul wisata yang menjadikan masyarakat perkotaan

sebagai daya tarik wisata. Mengapa bukan pemukiman-pemukiman elit yang

dikunjungi oleh wisatawan. Bagaimana jadinya jika para wisatawan ini diajak ke

permukiman-permukiman elit.

Wisata daerah kumuh dapat dikategorikan sebagai wisata budaya. Wisata

budaya (cultural tourism) digolongkan kepada wisata minat khusus. Wisata

budaya timbul karena adanya ketertarikan dari wisatawan untuk memahami,

mempelajari dan menikmati keunikan, cara hidup dan tingkah laku dari suatu suku

bangsa, etnis atau komunitas tertentu yang tidak mereka temukan dalam

kehidupan sehari-hari dan biasanya para wisatawan datang dalam jumlah kecil,
27

berbeda dengan mass tourism yang datang dalam grup dan jumlah besar.

Menurut Spillane (2003) bahwa produk pariwisata budaya memiliki

segmen pasar khusus yaitu para ”knowledge workers” atau dalam istilah

kepariwisataan disebut ”mature tourist” atau wisatawan yang berpengalaman

dimana mereka melakukan perjalanan atau kunjungan ke kawasan lain dengan

tujuan tidak hanya bersifat rekreasi tetapi lebih bermotivasi untuk menimba

pengalaman melalui keterlibatan langsung dengan aktivitas kehidupan dan tradisi

serta budaya masyarakat lokal. Segmen wisatawan pada umumnya merupakan

kelompok menengah ke atas dan berpendidikan yang mempunyai waktu luang

untuk bepergian. Sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang mereka lihat

selama ini tentunya menjadi harapan mereka saat membayar untuk melakukan

perjalanan.

Pada dasarnya wisata budaya selalu dikaitkan dengan mengunjungi suatu

kelompok yang tertinggal dari kelompok lainnya, baik dalam hal teknologi,

ekonomi, cara hidup dan banyak hal lainnya (Spillane, 2003). Misalnya dengan

berwisata ke Kampung Baduy atau Suku Talang Mamak di Riau dan berkunjung

ke daerah kumuh tentunya. Tentunya tidak bisa disamakan antara wisata ke

Kampung Baduy atau Talang Mamak dengan berwisata ke daerah kumuh.

Kampung Baduy ataupun Suku Talang Mamak adalah kampung yang memang

ditempati oleh komunitas asli mereka yang hidup dengan tradisi-tradisi adat yang

diturunkan dari leluhur mereka, mulai dari cara hidup, kesenian, ritual, cara

berpakaian dan dihuni oleh sekelompok orang yang sama asal-usul, garis

keturunan dan tradisi.


28

Sementara daerah kumuh, tidak memiliki tradisi adat tertentu, tidak dihuni

oleh orang yang berasal dari garis keturunan leluhur yang sama. Daerah kumuh

merupakan suatu akibat dari lahirnya urbanisasi yang tidak terkendali, dimana

orang-orang yang berada di luar kota, datang untuk mencari pekerjaan dan

mengadu nasib. Permukiman kumuh dinilai sebagai kawasan tidak layak huni

karena tidak memenuhi persyaratan untuk hunian baik secara teknis maupun non

teknis. Kawasan dimana rumah dan kondisi hunian masyarakat di kawasan

tersebut sangat buruk, rumah maupun sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai

dengan standar yang berlaku, baik standar kebutuhan, kepadatan bangunan,

persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan

kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial

lainnya. Suatu pemukiman kumuh dapat dikatan sebagai pengejawantahan dari

kemiskinan, karena pada umumnya di pemukiman kumuhlah masyarakat miskin

tinggal dan banyak di jumpai di kawasan perkotaan (Kurniasih, 2007).

Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan

tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas

menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang

diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum

mapan. Kemunculan permukiman-permukiman kumuh sering dianggap dengan

keadaan ekonomi negara-negara yang sedang berkembang.

Wisata daerah kumuh Jakarta Hidden Tour menonjolkan sisi lain dari

kehidupan masyarakat di perkotaan yang hidup dalam garis ekonomi rendah.

Wisata ini mempertemukan sisi humanis para wisatawannya dengan ‘keramahan’


29

masyarakat dan cara hidup mereka. Kesan menonton ‘budaya tertentu’ dalam

wisata ini adalah cara hidup, perilaku masyarakat yang ada di daerah kumuh itu

sendiri. Selain itu simbol-simbol yang membuat daerah kumuh secara sosial dan

ekonomi dibedakan dari permukiman-permukiman lainnya di perkotaan seperti

arsitektur rumah, sanitasi, yang dianggap unik dan memiliki ciri tersendiri yang

secara umum berbeda dengan apa yang biasa ditemui di permukiman-permukiman

lain di Ibukota.

Maka tidak mengherankan kebanyakan peminat wisata ini pada umumnya

datang dari negara-negara yang dianggap sebagai negara maju (developing

country), seperti Australia, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Korea dan lainnya

yang tentunya asing dengan lingkungan permukiman kumuh di Indonesia, banyak

hal-hal baru yang mereka jumpai saat berkunjung. Melihat simbol-simbol daerah

kumuh tersebut menjadi sesuatu yang menarik bagi mereka, sesuatu yang menurut

mereka adalah cara terbaik untuk memanfaatkan waktu luang daripada sekedar

berwisata ke tempat-tempat yang umum dikunjungi. Saya berani menjamin tidak

akan ada antusias dari para penikmat wisata daerah kumuh jika mereka kita

datangkan ke permukiman-permukiman elit.

Pariwisata adalah industri yang memiliki citra tersendiri dan berbasiskan

citra, karena citra dan atau kesan membawa calon wisatawan ke dunia simbol dan

makna. Citra juga akan memberikan kesan bahwa satu destinasi akan memberikan

suatu aktrasi yang berbeda dengan destinasi lainnya (Suryawan, 2011).

Kemiskinan di daerah kumuh merupakan suatu hal yang menjadi daya tarik dan

unik bagi wisatawan. Keadaan miskin pun berubah menjadi sesuatu yang bisa
30

ditawarkan dalam dunia pariwisata. Perbedaan-perbedaan cara hidup dan bentuk

bangunan kelas bawah dianggap oleh mereka yang menjadi wisatawan sebagai hal

yang benar-benar unik dan menarik. Kondisi ‘miskin’ masyarakat di daerah

kumuh yang ada dianggap wisatawan sebagai kenyataan yang terjadi pada saat ini.

Sehingga terlihat bagaimana pengaruh pola-pola budaya juga berperan dalam

industri pariwisata.

Urry (1990) pernah menggambarkan bahwa para profesional yang

bergerak di sektor kepariwisataan sedang mengalami perkembangan dan mencoba

menciptakan obyek baru bagi wisatawan. Ada satu hal yang menarik untuk

diungkapkan, bahwa di tengah kejenuhan situasi yang serba moderen, tampaknya

pariwisata etnik dan budaya mulai mengalami perkembangan bukan hanya dengan

menonjolkan ‘keunikan’ adat-istidat bahkan masyarakat yang lebih kompleks pun

bisa dijadikan objek, seperti yang terjadi pada wisata daerah kumuh. Pariwisata

etnik dan budaya telah memunculkan daya tarik dari ‘keunikan’ budaya yang

dianggap ‘otentik’ sebagai pengisi kekosongan jiwa masyarakat moderen. Daya

tarik utama dari pariwisata etnik dan budaya adalah adanya konsep tentang the

‘Other’ (kelompok lain). Kelompok lain inilah yang kemudian ‘dimanfaatkan’

untuk menghadirkan keunikan bagi para wisatawan. Masyarakat daerah kumuh

merupakan kelompok lain yang secara kelas sosial dan ekonomi berbeda dengan

wisatawan, sehingga dapat dijadikan sebagai alat untuk membentuk pengalaman

baru bagi mereka yang berada pada kelas yang berbeda dengan masyarakat daerah

kumuh.
31

Miskin itu menarik : “Komodifikasi rasa kasihan dan kemanusiaan pada

wisata daerah kumuh”

Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana

objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang

tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar (Barker, 2005). Komoditas dipahami

sebagai suatu hasil produksi yang dibuat untuk ditukar di pasar. Dengan kata lain,

komoditas adalah segala sesuatu yang diproduksi untuk dijual. Akhirnya pada

masyarakat pascamodern komoditi telah merambah ke berbagai sektor kehidupan

dan ranah kebudayaan (Lury, 1998). Gejala ini oleh penganut postrukturalis

disebut sebagai “merkantilisme”, yaitu berubahnya status segala wacana,

termasuk pengetahuan, pendidikan, dan informasi menjadi komoditi (Piliang,

2006). Fenomena demikian menjadikan komoditas tidak semata-mata terhenti

pada nilai tukar (exchange value) dan nilai guna (use value), namun sudah sampai

ke nilai tanda (sign value) (Baudrillard, 1981 ). Hal ini pula yang terjadi pada

wisata daerah kumuh, sebelumnya tidak terlintas sedikitpun untuk menjadikan

daerah-daerah kumuh sebagai daerah tujuan wisata, namun ada sesuatu yang

terdapat di daerah kumuh yang dapat ditawarkan sebagai bentuk pengalaman baru

dalam pariwisata.

Bentuk pertukaran lain dalam wisata daerah kumuh bukan saja

kemiskinan dan segala cara hidup masyarakat di daerah kumuh yang berbeda dari

cara hidup para wisatawan yang tergolong kedalam ekonomi menengah ke atas,

serta wajah daerah kumuh itu sendiri. Jika melihat dari sisi para konsumen yang

pernah ditanyakan, hampir semuanya memberikan alasan ingin tahu lebih dalam
32

dan mendapatkan pengalaman hidup baru dengan berkunjung ke daerah-daerah

seperti ini. Pengalaman dan keingintahuan inilah yang menjadi sesuatu yang

diperdagangkan. Wisatawan menginginkan pengalaman, agen wisata

menawarkannya.

Rasa ingin tahu, life experience dan sisi humanis seseorang inilah yang

kemudian dapat disebut sebagai suatu bentuk pertukaran komoditi lainnya dalam

wisata daerah kumuh, karena memang produk dari wisata adalah produk jasa.

Konsumen akan mengkonsumsi produk ini dengan memperoleh pengalaman dari

perjalanan yang dilakukannya. Untuk menghilangkan rasa penasaran,

mendapatkan pengalaman hidup dan berbagi dengan sesama para wisatawan rela

mengeluarkan uangnya.

Wisatawan dalam Jakarta Hidden tour dijadikan seakan-akan mereka

adalah para volunteer pada bidang pembangunan yang berperan dalam membantu

dan mengembangkan masyarakat di daerah kumuh. Setiap wisatawan yang datang

akan merasa kasihan dan terharu melihat bagaimana masyarakat bisa hidup di

permukiman yang bagi mereka tidak layak untuk ditempati. Proses membantu

masyarakat bisa dilakukan sendiri sebenarnya, tetapi dalam wisata internasional

seperti ini, wisatawan memiliki keterbatasan akan akses langsung ke masyarakat.

Wisatawan berasal dari kebudayaan yang berbeda dan tidak paham seluk-beluk di

daearh kumuh. Akses yang terbatas bagi para wisatawan terhadap daerah kumuh

apabila mereka melakukan sendiri perjalanan ini berhasil ‘dimanfaatkan’ oleh

agen wisata yang kemudian mengorganisasi dan membuat paket Jakarta Hidden

Tour. Sehingga apa yang dikatakan Pijl (1997:1) :


33

“The process of commodification. This means that the lives of ever more
people are determined by tendentially world-embracing market relations (‘the
connection of the individual with all’). Goods produced, services rendered, but
also the raw material of nature and human beings as such, are thus subjected to
an economic discipline which defines and treats them as commodities”,

Hubungan-hubungan kemanusiaan pun sekarang telah berubah pada suatu

bentuk hubungan jual-beli. Membantu masyarakat bisa dilakukan tanpa harus

pihak agen perjalanan menetapkan harga bagi kegiatan mereka. Dengan memberi

harga maka secara tidak langsung masyarakat dan kondisi miskin mereka

layaknya sebuah barang dagangan. Mereka dipromosikan dan ditawarkan kepada

para pencari-pencari pengalaman dan mereka yang mempunyai dana dan waktu

luang untuk melakukan perjalanan wisata. Modernitas membuat setiap orang

disibukkan dengan waktu-waktu kerja dan mencari uang sehingga kehilangan

waktu untuk berbuat baik kepada sesama. Jakarta Hidden Tour hadir dengan

penebusan keterasingan itu. Mereka menyediakan cara untuk menghabiskan

waktu luang dan menyegarkan otak kembali dengan bentuk wisata yang unik.

Bukan sekedar menikmati tetapi lebih jauh untuk merasakan dan berbagi masalah

seputar kehidupan dengan masyarakat di daerah kumuh.

Anda mungkin juga menyukai