FIQIH
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dalam pandangan islam. Pernikahan juga
merupakan suatu dasar yang penting dalam memelihara kemaslahatan umum. Kalau tidak ada
pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada akhirnya dapat
menimbulkan bencana dalam masyarakat.
Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan
membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagiaan atau dikenal dengan
istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Akan tetapi, pada kenyataannya
tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang
ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan,
termasuk pernikahan, perceraian (talak), rujuk, idah, dan sebagainya. Talak dapat dilaksanakan
dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk mengadakan perbaikan.
Hal ini antara lain dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat melakukan kewajiban
masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, seingga tujuan rumah tangga yang pokok yaitu
mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia sudah tidak tercapai lagi. Apalagi
kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan penderitaan-penderitaan dan perpecahan antara
suami istri tersebut, maka dalam keadaan demikian perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai
jalan keluar bagi segala penderitaan baik yang menimpa suami atau istri.
Dalam makalah ini akan di uraikan dan di jelaskan tentang permasalahan diatas mengenai
talak, iddah dan rujuk, termasuk pandangan ulama mazhab mengenai permasalahan dalam talak,
iddah dan rujuk.
3
BAB II
PEMBAHASAN
TALAK
A. Pengertian Talak
Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “melepaskan atau
meninggalkan”. Menurut Sayyid Sabiq, talak yaitu :
“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.
Menurut Al Jaziry mendefinisikan talak sebagai berikut:
“menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan
kata kata tertentu”.
Sedangkan Menurut Abu Zakaria Al Anshari, talak ialah:
“Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya”.
Jadi talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan
perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak bai’in,
sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi
suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi
dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak
raj’i.
B. Macam-macam Talak
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak di bagi menjadi tiga macam,
sebagai berikut:
a. Talak Sunni yaitu talak yang di jatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah. Dikatakan talak sunni
jika memenuhi empat syarat:
1. Istri yang di talak sudah pernah di gauli
2. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah di talak, yaitu dalam keadaan suci dari haid.
3. Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di permulaan, di pertengahan
maupun di akhir suci, kendati beberapa saat yang lalu dating haid.
b. Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah,
atau tidak memenuhi syarrat-syarat talak sunni. Yang termasuk syarat talak Bid’i adalah:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid, baik di permulaan haid maupun di
pertengahannya.
2. Talak yang di jatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah di gauli oleh
suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
c. Talak la sunni wala bid’i yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula
termasuk talak bid’i. Syaratnya yaitu:
1. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
2. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri yang telah lepas haid.
3. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
4
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang digunakan sebagai ucapan talak, maka
talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:
a. Talak Sharih yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami
sebagai pernyataan talak atau cerai.
b. Talak Kinayah yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran atau samar-samar.
Dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan untuk rujuk, maka talak dibagi menjadi dua
macam, yaitu:
a. Talak Raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang pernah digauli.
b. Talak Bai’in yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya.
2. Istri.
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri sendiri. Tidak
dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang lain.
Mengenai istri-istri yang dapat dijatuhi talak, para fuqaha sepakat bahwa mereka harus:
a. Permpuan yang dinikahi dengan sah
b. Perempuan yang masih dalam ikatan nikah yang sah
5
c. Belum habis masa iddahnya, pada talak raj’i
d. Tidak sedang haid
3. Sighat Talak
Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan pada suami terhadap istrinya yang menunjukkan
talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat
bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain.
Jumhur fuqaha telah sepakat bahwa sighat talak itu ada dua yaitu, sighat yang yang jelas
(sharih) dan sighat sindiran (kinayah).
D. Hukum Talak
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talak ini.
Golongan Hanafi dan Hanbali mengatakan hukum talak itu terlarang kecuali dalam keadaan
darurat. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW:“Allah melaknat tiap-tiap orang
yang suka merasai dan bercerai, yaitu orang yang suka kawin dan cerai”
Alasan lain golongan ini melarang perceraian kecuali dalam keadaan darurat adalah sabda
Rasulullah SAW:
6
ُ َأَ ْبغَضُ ْال َحالَ ِل ِع ْن َد هللاِ الطَّال
ق
"Thalaq adalah sesuatu yang halal tetapi paling dibenci di sisi Allah" (HR Ibnu Majah dan
Ibnu Mjah)
IDDAH
A. Pengertian Iddah
Iddah berasal dari adad artinya menghitung. Maksudnya adalah perempuan atau istri
menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Menurut istilah, iddah mengandung arti lamanya
perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah bercerai atau ditinggal mati
suaminya.
Jadi, iddah adalah satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai hidup atau
mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari
kandungan.
B. Macam-macam Iddah
Iddah terbagi atas beberapa macam diantaranya ialah:
1. Iddah Talak
Iddah talak artinya iddah yang terjadi karena perceraian. Iddah Talak pun di bagi menjadi
dua yaitu:
a. Perempuan yang masih haid. Iddahnya adalah tiga kali suci atau tiga kali haid, sesuai dengan
Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 228
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh
mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti
itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai
satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
b. Perempuan yang belum haid atau tidak lagi haid (menopause). Iddahnya adalah tiga bulan sesuai
dengan Firman Allah dalam Surat At Talaq ayat 4
2. Iddah Hamil
Iddah Hamil adalah iddah yang terjadi apabila pempuan yang diceraikan itu sedang hamil.
Iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya. Firman Alloh swt. Dalam Surat At
Talaq ayat 4:
7
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
3. Iddah Wafat
Iddah wafat yaitu iddah yang terjadi apabila seorang perempuan ditinggal mati suaminya.
Dan adapun iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Firman Allah swt dalam Surat Al
Baqarah ayat 234:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri
(hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.
kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat”.
C. Hikmah Iddah
Adapun hikmah iddah adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan
2. Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula,
jika mereka menganggap hal tersebut baik.
3. Menjungjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif
mengkaji masalahnya, dan memberikan waktu berpikir panjang.
4. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama
dalam ikatan akadnya
RUJUK
A. Pengertian Ruju’
Menurut bahasa arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’a – yarji’u –rujk’an yang berarti
kembali, dan mengembalikan. Ulama Hanafinah memberikan makna ruju’ sebagaimana di
kemukakan oleh Abu Zahrah sebagai berikut:“Rujuk ialah melestarikan perkawinan
dalam masa iddah talak (raj’i)”
Sedangkan menurut Asy Syafi’i: “Rujuk ialah mengembalikan status
hukum perkawinan sebagai suami istri ditengah-tengah iddah setelah
terjadinya talak (raj’i)”. Dapat dirumuskan bahwa ruju’ ialah “mengembalikan status
hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami
terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan tertentu”.
8
3. Dengan pernyataan ijab qabul, Misal, “Aku rujuk engkau pada hari ini”
Sementara mengenai syarat-syarat rujuk, sebagai berikut:
1. Adanya saksi
Fuqaha berbeda pendapat mengenai adanya saksi dalam rujuk, apakah ia menjadi syarat
sahnya atau tidak. Imam Maliki berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah disunnahkan,
sedangkan Imam Syafi’i mewajibkan adanya saksi.
2. Rujuk dengan kata-kata
Berkenaan dengan cara merujuk terdapat juga perbedaan pendapat:
Pendapat pertama, mengatakan bahwa rujuk dengan pergaulan, istri hanya dianggap sah
apabila diniatkan untuk merujuk. Karena bagi golongan ini, perbuatan disamakan dengan kata-
kata dan niat. Demikian menurut pendapat Imam Malik.
Pendapat kedua, dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, yang mempersoalkan
rujuk dengan pergaulan, jika ia bermaksud merujuk dan ini tanpa niat.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa rujuk itu dipersamakan dengan
perkawinan, dan Allah swt memperintahkan untuk diadakan persaksian, sedang persaksian hanya
terdapat pada kata-kata.
9
Sedangkan rujuk dengan perbuatan, ulama berbeda pendapat:
a. Ulama Hanafi berpendapat bahwa rujuk dapat terjadi dengan perbuatan watha’ dan juga
dengan perbuatan lain yang dapat mengarah kepada hubungan tersebut seperti sentuh-sentuhan
atau ciuman yang disertai syahwat.
b. Ulama Malikiyah berpendapat sah rujuk yang dilakukan dengan perbuatan dengan syarat
harus dengan niat rujuk.
c. Ulama Syafi’iyah mengatakan apabila seorang suami maenggauli istrinya yang telah ditalak,
baik dengan niat rujuk ataupun tidak, maka hubungan mereka tersebut dinilai syubhat, tidak ada
ketentuan bagi mereka berdua dalam hal itu, dan dikenakan sanksi bagi suami dan istri bila
mereka mengetahui hal tersebut. Dan bagi suami wajib membayar mahar mitsil kepada sang
istri.
c. Ulama Hambali mengatakan sah rujuk yang dilakukan dengan perbuatan watha’ meskipun
tidak diiringi dengan niat. Ulama Hambali menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
perbuatan tersebut adalah hubungan badan suami istri, sedangkan perbuatan
selain watha’, seperti bersentuhan atau ciuman sama sekali tidak mengakibatkan terjadinya
rujuk meskipun perbuatan tersebut diiringi dengan syahwat.
d. Ulama Syi’ah (Imamiyah) menyatakan bahwa rujuk dapat terjadi dengan perbuatan
hubungan suami istri, sentuhan-sentuhan ataupun dengan berciuman atau perbuatan lainnya yang
halal dilakukan oleh suami kepada istrinya, baik perbuatan itu diiringi dengan syahwat ataupun
tidak dan dengan niat rujuk ataupun tidak.
Dari uraian diatas para ulama berbeda pendapat dari segi proses rujuk, akan tetapi mereka
sepakat bahwa bekas istri yang dirujuk itu harus berada dalam masa iddah talak raj’i tersebut
tidak bergantung kepada persetujuan istri.
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan
perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam hal talak bai’in,
sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi
suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi
dua, dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak
raj’i.
Rukun talak itu ada 3 yaitu :
1. Suami
2. Istri
3. Shighat talak
Iddah adalah satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai hidup atau
mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari
kandungan.
Macam-macam Iddah:
1. Iddah cerai
2. Iddah hamil
3. Iddah wafat/mati
Ruju’ ialah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak
raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan
tertentu.
11
DAFTAR PUSTAKA
Amru Abdul mun’im salim. 2005. Fikih Thalak berdasarkan Al Qura’an dan sunah. Jakarta: Pustaka
Azzam
Dr. M. Sayyid Ahmad Musayyar. 2008. Islam Bicara Soal Seks, percintaan, dan rumah tangga. Ciracas,
Jakarta: Erlangga
12