Anda di halaman 1dari 93

LAPORAN KOMPREHENSIF

ASUHAN KEBIDANAN PADA Ny. W USIA 33 TAHUN G1 P00000 UK 38-39


MINGGU INPARTU KALA I FASE LATEN DENGAN PREEKLAMSIA BERAT,
JANIN TUNGGAL HIDUP INTRAUTERIN DI RSIA MUTIARA BUNDA MALANG

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Stase Kehamilan Patologis

Dosen Pembimbing Klinik


Mustika Dewi, SST., M.Keb

Oleh:
Yuliani Rohmawati
NIM: 190070500111047

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN


JURUSAN KEBIDANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KOMPREHENSIF
ASUHAN KEBIDANAN PADA Ny. W USIA 33 TAHUN G1 P00000 UK 38-39
MINGGU INPARTU KALA I FASE LATEN DENGAN PREEKLAMSIA BERAT,
JANIN TUNGGAL HIDUP INTRAUTERIN DI RSIA MUTIARA BUNDA MALANG

Persetujuan di Universitas Brawijaya

Pada tanggal April 2020

Mahasiswa

Yuliani Rohmawati
190070500111047

Dosen Pembimbing Klinik

Mustika Dewi, SST, M.Keb


NIP/ NIK. 2016097910052001
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Derajat kesehatan suatu negara ditentukan oleh beberapa indikator, salah
satu indikator tersebut adalah Angka Kematian Ibu (AKI). Penyebab langsung
kematian ibu di Indonesia sebesar 90% terjadi pada saat persalinan dan segera
setelah persalinan. Angka kematian ibu karena persalinan mencapai 50 orang
dalam setiap hari atau paling tidak mencapai dua orang perjam, karena proses
persalinan atau sesudah persalinan (Andiyani et al, 2013). Persalinan adalah
proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan
atau dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain
dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri) (Sulistyawati, 2014).
Hampir sebagian besar persalinan merupakan persalinan normal hanya sebagian
kecil saja yang merupakan persalinan patologik, salah satu kondisi patologis
tersebut adalah preeklamsi (Bobak, 2008).
Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan dan persalinan yang
ditandai dengan peningkatan tekanan darah pada usia kehamilan > 20 minggu.
Gejala dari preeklampsia seperti hipertensi, oedema dan proteinuria sering tidak
diperhatikan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul menjadi
preeklampsia berat, bahkan eklampsia. Preeklampsia berat merupakan kondisi
preeklampsia yang ditandai dengan tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria ≥+2 (Prawirohardjo,
2014). Data WHO mencatat tahun 2013 ibu bersalin dengan pre eklamsi
mencapai 68.000 dari 1 juta persalinan hidup. Preeklamsia menjadi salah satu
penyebab utama kematian ibu di Indonesia (WHO, 2018).
Hampir semua kematian ibu (99%) terjadi di negara berpenghasilan rendah
(WHO, 2015). Kematian dan kesakitan ibu masih merupakan masalah kesehatan
yang serius di Negara berkembang. Angka kematian ibu di negara berkembang
pada tahun 2015 adalah 239 per 100.000 kelahiran hidup dimana jumlah ini
sangat jauh dibandingkan dengan angka kematian ibu di negara maju yaitu 12
per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2018). Indonesia merupakan salah satu
negara berkembang dengan Angka Kematian Ibu (AKI) dan kematian perinatal
tertinggi ketiga di ASEAN dan tertinggi kedua di kawasan South East Asean
Nation Regional Organization (WHO, 2013). Berdasarkan data WHO, angka
kematian ibu di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 126 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka tersebut masih jauh dibandingkan dengan target SDG’s tahun 2030
yaitu 70 kematian per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2017). Dinkes Provinsi
Jawa Timur (2017) melaporkan pada tahun 2016 AKI Provinsi Jawa Timur
mencapai 91,00 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 89,6 per 100.000 kelahiran hidup.
Preeklampsia yang tidak segera ditangani bisa berlanjut menjadi eklampsia
yang bisa menyebabkan terjadinya kematian ibu. Selain itu, preeklampsia dan
eklampsia juga dapat memberikan dampak buruk untuk kesehatan janin karena
perfusi uteroplacenta yang menurun, vasospasme, hipovolemia, dan kerusakan
sel endothel pembuluh darah placenta. Kondisi ini dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat (IUGR), bayi lahir dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) dan dapat juga berakibat pada kematian janin (Asmana, 2016).
Salah satu upaya yang dilakukan untuk menurunkan AKI dan AKB akibat
preeklampsia adalah Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Making
Pregnancy Safer (MPS) yang merupakan bagian dari Safe Motherhood dengan
pelaksanaan sesuai dengan tiga kunci MPS, yaitu : (1) setiap persalinan ditolong
oleh tenaga kesehatan yang terlatih, (2) setiap komplikasi obstetrik dan neonatal
mendapat pelayanan yang akurat, (3) setiap wanita subur mempunyai akses
terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan
komplikasi keguguran (Prawirohardjo, 2010). Dalam Kepmenkes RI No 369
tahun 2007 tentang Standar Profesi Bidan, pada kompetensi ke-4 disebutkan
bahwa bidan harus memiliki kompetensi dalam memberikan asuhan bermutu
tinggi, tanggap terhadap kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin
persalinan yang bersih dan aman, menangani situasi kegawatdaruratan tertentu
untuk mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayi baru lahir. Sebagai seorang
mahasiswa profesi bidan, disiapkan untuk mampu memberikan asuhan
persalinan bermutu tinggi termasuk melakukan deteksi dini dari komplikasi
tertentu maupun melakukan penanganan persalinan patologis dengan tepat
melalui upaya kolaborasi agar dapat turut andil dalam upaya penurunan angka
kematian ibu maupun angka kematian bayi.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan dan melaksanakan asuhan kebidanan
komprehensif pada persalinan patologis dengan preeklamsia berat.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mampu melakukan pengumpulan data dengan anamnesa, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang pada persalinan patologis dengan
preeklamsia berat.
2. Mampu melakukan interpretasi data secara akurat dan logis untuk
menegakkan diagnosa dan masalah kebidanan yang tepat pada
persalinan patologis dengan preeklamsia berat.
3. Mampu merumuskan masalah potensial yang tepat pada persalinan
patologis dengan preeklamsia berat.
4. Mampu merumuskan kebutuhan tindakan segera pada persalinan
patologis dengan preeklamsia berat.
5. Mampu merencanakan asuhan kebidanan berdasarkan diagnosa dan
masalah yang ditegakkan pada persalinan patologis dengan preeklamsia
berat..
6. Mampu melaksanakan rencana asuhan kebidanan secara komprehensif,
efektif, dan aman berdasarkan evidence based pada persalinan patologis
dengan preeklamsia berat.
7. Mampu melakukan evaluasi secara sistematis dan berkesinambungan
untuk melihat keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan pada ibu
bersalin dengan preeklamsia berat sesuai dengan perkembangan kondisi
pasien.

1.3 Manfaat Penulisan


1.3.1 Bagi Institusi
Sebagai sumber bacaan dalam meningkatkan ilmu pengetahuan
kebidanan khususnya mengenai asuhan kebidanan pada persalinan
patologis dengan preeklamsia berat.
1.3.2 Bagi Praktis
Sebagai salah satu masukan bagi bidan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan yang optimal, tepat dan adekuat dalam memberikan
asuhan kebidanan, khususnya pada persalinan patologis dengan
preeklamsia berat.

1.4 Ruang Lingkup


Memberikan asuhan kebidanan pada ibu bersalin dengan preeklamsia berat.

1.5 Sistematika Penulisan


BAB I Pendahuluan
Dalam bab ini meliputi uraian mengenai latar belakang, tujuan,
manfaat, ruang lingkup dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi tentang uraian teori-teori yang berhubungan dengan
kehamilan gemeli yang dapat mendukung dan membantu dalam
pembahasan kasus ini.
BAB III Kerangka Konsep Asuhan
Bab ini berisi pola pikir dalam melakukan asuhan kebidanan
sesuai dengan kasus yang dikorelasikan dengan tinjauan teori
yang sudah didapatkan.
BAB IV Tinjauan Kasus
Bab ini berisi data-data dan keseluruhan manajemen asuhan
kebidanan melingkupi 7 langkah Varney yang meliputi pengkajian,
interpretasi data, diagnosa potensial, rencana tindakan,
implementasi dan evaluasi.
BAB V Pembahasan
Bab ini menguraikan apa saja hasil pembuatan kasus yang
mencakup semua aspek yang terkait dengan teori kasus,
evidence based practicedan membahas tentang keterkaitan antar
faktor dari data yang diperoleh dikorelasikan dengan tinjauan teori
yang didapatkan.
BAB VI Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang menjabarkan tentang
jawaban dari tujuan penulisan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Persalinan


2.1.1 Pengertian Persalinan
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan ari) yang
telah cukup bulan atau dapat di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui
jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri) (Manuaba,
2014). Persalinan normal adalah proses fisiologis dimana fetus, membrane, tali
pusat, dan plasenta dikeluarkan dari dalam kandungan (uterus) (Hagood, S.
2017). Persalinan normal adalah persalinan tanpa intervensi berlebih. Dimana
WHO mendefinisikan persalinan dikatakan normal apabila:
a. Terjadi spontan
b. Memiliki risiko rendah pada awal kehamilan
c. Tetap memiliki risiko rendah selama persalinan dan kelahiran bayi
d. Bayi yang dilahirkan :
1. Spontan
2. Posisi vertex (kepala)
3. Usia Kehamilan 37-42 minggu (aterm) (Queensland Clinical Guideline:
Normal Birth hlm 9 tahun 2017).
Sedangkan menurut Kemenkes (2013), persalinan dan kelahiran dikatakan
normal jika:
a. Usia kehamilan cukup bulan (37-42 minggu)
b. Persalinan terjadi spontan
c. Presentasi belakang kepala
d. Berlangsung tidak lebih dari 18 jam
e. Tidak ada komplikasi pada ibu maupun janin
f. Lama kala 2 yaitu 120 menit (2 jam) meneran pada primigravida dan 60 menit
(1 jam) meneran pada multigravida.
2.1.2 Jenis-Jenis Persalinan
o Menurut cara persalinan (Sofian, 2011)
- Partus biasa (normal)
Disebut juga partus spontan, adalah proses lahirnya bayi dengan LBK
dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat, serta tidak melukai ibu
dan bayi, yang umumnya berlangsung kurang dari 24 jam.
- Persalinan luar biasa (abnormal)
Ialah persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alat atau melalui dinding
perut dengan operasi cesarea.
o Menurut tua (umur) kehamilan (Sofian, 2011)
- Abortus adalah terhentinya kehamilan sebelum janin dapat hidup (viabel),
usia kehamilan dibawah 28 minggu, dan berat janin dibawah 1000 gram
- Partus prematurus
Partus prematurus adalah persalinan hasil konsepsi pada kehamilan 28-36
minggu, janin dapat hidup tetapi prematur, berat janin antara 1000-2500
gram
- Partus aterm atau matures
Partus aterm adalah persalinan pada kehamilan 37-40 minggu, janin matur,
berat badan diatas 2500 gram
- Partus percobaan
Partus percobaan adalah suatu penilaian kemajuan persalinan untuk
memperoleh bukti tentang ada atau tidaknya disproporsi sefalopelvik.
- Partus Presipitatus
Partus presipitatus adalah partus yang berlangsung sangat cepat, mungkin
di kamar mandi, di atas becak, dan sebagainya
- Partus postmaturus (serotinus)
Partus postmaturus adalah persalinan yang terjadi 2 minggu atau lebih
setelah waktu partus yang ditaksi, janin disebut postmatur
2.1.3 Sebab Mulainya Persalinan
Perlu diketahui bahwa selama kehamilan, dalam tubuh wanita terdapat dua
hormon yang dominan yaitu:
- Estrogen
Berfungsi unjtuk meningkatkan sensitifitas otot rahim serta memudahkan
penerimaan rangsangan dari luar seperti rangsangan oksotosin,
prostaglandin, dan mekanis.
- Progesteron
Berfungsi untuk menurunkan sensitivitas otot rahim, menghambat
rangsangan dari luar seperti rangsangan oksotosin, prostaglandin, dan
mekanis serta menyebabkan otot rahim dan otot polos relaksasi.
Estrogen dan progesteron harus dalam komposisi keseimbangan, sehingga
kehamilan dapat dipertahankan. Perubahan keseimbangan estrogen dan
progesteron memicu oksitosin dikeluarkan oleh hipofise posterior, hal tersebut
menyebabkan kontraksi yang disebut dengan Braxton Hicks. Kontraksi braxton
hicks akan menjadi kekuatan dominan saat mulainya proses persalinan
sesungguhnya, oleh karena itu makin matang usia kehamilan maka frekuensi
kontraksi akan semakin sering.
Oksitosin diduga bekerjasama dengan prostaglandin, yang kadarnya makin
meningkat mulai dari usia kehamilan minggu ke-15. Di samping itu faktor status
gizi wanita hamil dan keregangan otot rahim juga secara penting mempengaruhi
dimulainya kontraksi otot rahim. Sampai saat ini hal yang menyebabkan mulainya
proses persalinan belum diketahui benar, yang ada hanya berupa teori-teori yang
kompleks antara lain karena faktor-faktor hormon, struktur rahim, sirkulasi rahim,
pengaruh tekanan pada saraf dan nutrisi.
a. Teori penurunan hormon
Saat 1-2 minggu sebelum proses melahirkan dimulai, terjadi penurunan kadar
hormon esterogen dan progesteron. Progesteron bekerja sebagai penenang
otot-otot polos rahim. Jika kadar progesteron trun akan menyebabkan
tegangnya pembuluh darah dan menimbulkan his.
b. Teori plasenta menjadi tua
Seiring matangnya usia kehamilan, villi chorialis dalam plasenta mengalami
beberapa perubahan, hal ini menyebabkan turunnya kadar estrogen dan
progesteron yang mengakibatkan tegangnya pembuluh darah sehingga akan
menimbulkan kontraksi uterus.
c. Teori Distensi Rahim
Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas tertentu. Seelah
melewati batas tersebut akhirnya terjadi kontraksi sehingga persalinan dapat
dimulai. Contohnya pada kehamilan gemeli, sering terjadi kontraksi karena
uterus teregang oleh ukuran janin ganda, sehingga kadang kehamilan gemeli
mengalami persalinan yang lebih dini.
d. Teori iritasi mekanik
Dibelakang serviks, terletak ganglion servikalis (pleksus frankenhauser).
Apabila ganglion tersebut digeser dan ditekan, misalnya oleh kepala janin,
maka akan timbul kontraksi uterus
e. Teori Oksitosin
Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofise posterior. Perubahan
keseimbangan estrogen dan progesteron dapat mengubah sensitivitas otot
rahim sehingga sering timbul kontraksi Braxton hicks. Menurunnya
konsentrasi progesteron karena matangnya usia kehamilan menyebabkan
oksitosin meningkatkan aktivitasnya dalam merangsang otot rahim untuk
berkontraksi akhirnya persalinan dimulai.
f. Teori Hipotalamus-Pituitari dan Galndula Suprarenalis
Glandula suprarenalis merupakan pemicu terjadinya persalinan. Teori ini
menunjukkan, pada kehamilan dengan bayi anensefalus sering terjadi
kelambatan persalinan karena tidak terbentuknya hipotalamus.
g. Teori Prostaglandin
Prostaglandin yang dihasilkan oleh desidua disangka sebagai salah satu
sebab permulaan persalinan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa
prostaglandin F2 dan E2 yang diberikan secara intravena menimbulkan
kontraksi miometrium pada setiap usia kehamilan. Hal ini juga disokong
dengan adanya kadar prostaglandin yang tinggi baik dalam kadar air ketuban
maupun darah perifer pada ibu hamil sebelum melahirkan dan selama proses
persaalinan.
h. Induksi Partus (Induction of Labour) Partus dapat pula ditimbulkan dengan :
- Gagang laminaria. Beberapa laminaria dimasukkan dalam kanalis serviks
dengan tujuan merangsang pleksus frankenhauser
- Amniotomi : pemecahan ketuban
- Tetesan oksitosin : pemberian oksitosin melalui tetesan per infuse
(Sulistyawati & Nugraheny, 2010).
2.1.4 Pemulaan Persalinan
Menurut Sulistyawati & Nugraheny (2010), tanda persalinan sudah dekat
antara lain:
 Lightening
Menjelang minggu ke 36 pada primigravida, terjadi penurunan fundus uterus
karena kepala bayi sudah masuk kedalam panggul. Penyebab dari proses ini
adalah sebagai berikut:
- Kontrakssi Braxton Hicks
- Ktegangan dinding perut
- Ketegangan ligamentum rotudum
- Gaya berat janin, kepala ke arah bawah uterus
Masuknya kepala janin kedalam panggul dapat dirasakan oleh wanita hamil
dengan tanda-tanda sebagai berikut:
- Terasa ringan di bagian ats dan rasa sesak berkurang
- Di bagian bawah terasa penuh dan mengganjal
- Kesulitan saat berjalan
- Sering berkemih
Gambaran lightening pada primigravida menunjukkan hubungan yang
normal antara ketiga P yaitu power (his), passage (jalan lahir), dan passanger
(bayi dan plasenta). Pada multigravida gambarannya menjadi tidak sejelaas pada
primigravida, karena masuknya kepala janin dalam panggul terjadi bersamaan
dengan proses persalinan.
 Terjadinya his permulaan
Pada saat hamil muda sering terjadi kontraksi Braxton Hicfks yang kadang
dirasakan sebagai keluhan karena rasa sakit yang ditimbulkan. Biasanya
pasien mengeluhkan adanya rasa sakit di pinggang dan terasa sangat
menganggu, terutama pada pasien dengan ambang rasa sakit yang rendah.
Adanya perubahan kadar hormon estrogen dan progesteron menyebabkan
oksitosin semakin meningkat dan dapat menjalankan fungsinya dengan efektif
untuk menimbulkan kontraksi atau his permulaan. His permulaan ini sering
diistilahkan sebagai his palu dengan ciri-ciri sebagai berikut:
1. Rasa nyeri ringan di bagian bawah
2. Datang tidak teratur
3. Tidak ada perubahan pada serviks atau tidak ada tanda-tanda kemajuan
persalinan
4. Durasi pendek
5. Tidak bertambah bila beraktivitas
Tanda masuk dalam persalinan menurut Sulistyawati & Nugraheny (2010)
adalah sebagai berikut:
 Terjadinya his persalinan
Karakter dari his persalinan antara lain:
- Pinggang terasa sakit menjalar kedepan
- Sifat his teratur, interval makin pendek, dan kekuatan makin besar
- Terjadi perubahan pada serviks
- Jika pasien menambah aktivitasnya, mislanya berjalan maka kekuatannya
bertambah
 Pengeluaran lendir dan darah (penanda persalinan)
Dengan adanya his persalinan, terjadi perubahan pada serviks yang
menimbulkan:
- Pendataran dan pembukaan
- Pembukaan menyebabakan selaput lendir yang terdapat pada kanalis
servikalis terlepas
- Terjadi perdarahan karena kapiler pembuluh darah pecah
 Pengeluaran cairan
Sebagian pasien mengeluarakan air ketuban akibat pecahnya selaput
ketuban. Jika ketuban sudah pecah, maka ditargetkan persalinan dapat
berlangsung dalam 24 jam. Namun jika ternyata tidak tercapai maka
persalinan akhirnya diakhiri dengan tindakan tertentu misalnya ekstraksi
vakum, sectio caesarea.
2.1.5 Tahapan Persalinan
 Kala I (Kala Pembukaan)
Inpartu ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah karena serviks
mulai membuka dan mendatar. Darah berasal dari pecahnya pembuluh darah
kapiler sekitar kanalis servikalis karena pergeseeran-pergeseran, ketika serviks
mendatar dan membuka. Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi
uterus dan pembukaan serviks, hingga mencapai pembukaan lengkap (10 cm).
Persalinan kala I dibagi menjadi dua fase yaitu fase laten dan fase aktif.
1. Fase laten, dimana pembukaan serviks berlangsung lambat dimulai sejak
awal kontraksi yang menyebaabkan penipisan dan pembukaan secara
bertambat sampai pembukaan 3 cm, berlangsung dalam 7-8 jam.
2. Fase aktif, pembukaan serviks 4-10 cm, berlangsung selama 6 jam dan
dibagi dalam 3 subfase.
- Periode akselerasi, berlangsung selama 2 jam, pembukaan menjadi 4 cm.
- Periode dilatasi maksimal, berlangsung selama 2 jam, pembukaan
berlangsung cepat menjadi 9 cm.
- Periopde deselerasi, berlangsung lambat, dalam 2 jam pembukaan menjadi
10 cm atau lengkap (Rohani et al, 2014).

Pada fase aktif persalinan, frekuensi dan lama kontraksi uterus umumnya
meningkat (kontraksi dianggap adekuat jika terjadi tiga kali atau lebih dalam
waktu 10 menit dan berlangsung selama 40 detik ataau lebih) dan terjadi
penurunan bagian terbawah janin. Berdasarkan kurva Friedman, diperhitungkan
pembukaan pada primigravida 1 cm/jam dan pembukaan multigravida 2 cm/jam.
Mekanisme membukanya serviks berbeda antara primigravida dan multigravida.
Pada primigravida, ostium uteri internum sudah sedikit terbuka. Ostium uteri
internum dan eksternum serta penipisan dan pendataran serviks terjadi dalam
waktu yang sama (Rohani et al, 2014).
 Kala II (Kala Pengeluaran Janin)
Kala II persalinan dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm)
dan berakhir dengan lairnya bayi. Kala II pada primipara berlangsung selama 2
jam dan pada multipara 1 jam. Tanda dan gejala kala II meliputi (Rohani et al,
2014):
1. His semakin kuat, dengan interval 2 saampai 3 menit
2. Ibu merasa ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi
3. Ibu merasakan makin meningkatnya tekanan pada rektum dan atau vagina
4. Perineum telah menonjol
5. Vulva-vagina dan sfingter ani terlihat membuka
6. Peningkatan pengeluaran lendir dan darah
Diagnosa kala II ditegakkan atas dasar pemeriksaan dalam yang
menunjukkan:
1. Pembukaan serviks telah lengkap
2. Terlihat bagian kepala bayi pada introitus vagina
Tabel 2.1 Lamanya Persalinan
Lama Persalinan
Primipara Multipara
Kala I 13 jam 7 jam
Kala II 1 jam ½ jam
Kala III ½ jam ¼ jam
TOTAL 14 ½ jam 73/4 jam
Sumber: Rohani et al, 2014

 Kala III (Kala Pengeluaran Plasenta)


Kala III adalah waktu untuk pelepasan dan pengeluaran plasenta. Setelah
kala II yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit, ontraksi uterus berhenti sekitar
5-10 menit. Dengan lahirnya bayi dan proses retraksi uterus, maka plasenta
lepas dari lapisan Ntabusch. Lepasnya plasenta sudah dapat diperkirakan
dengan memperhatikan tanda-tanda sebagai berikut:
1. Uterus menjadi berbentuk bundar (glubuler)
2. Uterus terdorong ke atas karena plasenta dilepas ke segmen bawah rahim
3. Tali pusat bertambah panjang
4. Terjadi perdarahan
Sebab-sebab lepasnya plasenta yaitu:
1. Saat bayi dilahirkan, rahim sangat mengecil dan setelah bayi lair uterus
merupakan organ dengan dinding yang tebal dan rongganya hampir tidak
ada. Posisi fundus uterus turun sedikit dibawah pusta, karena terjadi
pengecilan tempat perlekatannya maka plasenta menjadi berlipat-lipat
pada bagian yang terlepas dari dinding rahim karena tidak dapat mengikuti
pengecilan dari dasarnya. Jadi faktor yang paling penting dalam pelepasan
plasenta ialaha retraksi dan kontraksi uterus setelah bayi lahir.
2. Di tempat pelapasan plasenta yaitu antara plasenta dan desiuda basalis
terjadi perdarahan, karena hematom ini membesar maka seola-olah
plasenta terangkat dari dasarnya oleh hematom tersebut sehingga daerah
pelpasan meluas (Sulistyawati & Nugraheny, 2010).
 Kala IV (Kala Pengawasan)
Kala IV dimulai dari lahirnya plasenta selama 1-2 jam. Pada kala IV
dilakukan observasi terhadapperdarahan pascapersalinan, paling sering terjadi
pada 2 jam pertama. Observasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Tingkat kesadaran pasien
2. Pemeriksaan tanda-tanda vital: tekanan darah, nadi dan pernafasan
3. Kontraksi uterus
4. Terjadinya perdarahan. Perdarahan dianggap masih normal apabila
jumlahnya tidak melebih 400-500 cc (Sulistyawati & Nugraheny, 2010).
2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persalinan
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jalannya proses
persalinan menurut Sondakh (2013) adalah :
a. Penumpang (Passenger)
Penumpang dalam persalinan adalah janin dan plasenta. Hal-hal yang perlu
diperhatikan mengenai jalan adalah ukuran kepala janin, presentasi, letak,
sikap, dan posisi janin, seangkan yang perlu diperhatikan pada plasenta
adalah besar dan luasnya.
b. Jalan Lahir (Passage)
Jalan lahir terbagi atas dua, yaitu jalan lahir keras dan jalan lahir lunak.hal-hal
yang perlu diperhatikan dari jalan lahir keras adalah ukuran dan bentuk
tulang panggul; sedangkan yang perlu diperhatiakn pada jalan lahir lunak
adalah segmen bawah uterus yang dapat meregang, serviks, otot dasar
panggul, vagina, dan introitus vagina.
c. Kekuatan (Power)
Faktor kekuatan dalam persalinan dibagi atas dua, yaitu :
1) Kekuatan primer (kontraksi volunteer). Kontraksi berasal dari segmen atas
uterus yang menebal dan dihantarkan ke uterus bawah dalam bentuk
gelombang. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan kontraksi
involunter ini antara lain frekuensi, durasi, dan intensitas kontraksi.
Kekuatan primer ini mengakibatkan serviks menipis (effacement) dan
berdilatasi sehingga janin turun.
2) Kekuatan sekunder (kontraksi volunteer). Pada kekuatan ini, otot-otot
diafragma dan abdomen ibu berkonraksi dan mendorong keluar isis ke
jalan lahir sehingga menimbulkan tekanan intraandomen. Tekanan ini
menekan uterus pada semua sisi dan menambah kekuatan dalam
mendorong keluar. Kekuatan sekunder tidak mempengaruhi dilatasi
serviks, tetapi setelah dilatasi serviks lengkap, kekuatan ini cukup penting
dalam usaha untuk mendorong keluar dari uterus dan vagina.
3) Posisi Ibu (Positioning)
Posisi ibu dapat mempengaruhi adaptasi anatomi dan fisiologi persalinan.
Perubahan posisi yang diberikan pada ibu bertujuan untuk menghiilangkan
rasa letih, memberi rasa nyaman, dan memperbaiki sirkulasi. Posisi tegak
(contoh : posisi berdiri, berjalan, duduk, dan jongkok) memberi sejumlah
keuntungan, salah satunya adalah memungkinkan gaya gravitasi
membantu penurunan janin. Selain itu, posisi ini dianggap dapat
mempengaruhi kejadian penekanan tali pusat.
4) Respon Psikologi (Psychology Response)
Respon psikologi ibu dapat dipengaruhi oleh :
a) Dukungan ayah bayi/ pasangan selama proses persalinan.
b) Dukungan kakek-nenek (saudara dekat) selama persalinan.
c) Saudara kandung bayi selama persalinan.
2.1.7 Perubahan Fisiologis Persalinan
1) Perubahan fisiologi persalinan kala I
a) Perubahan sistem reproduksi
i. Pendataran pada serviks(efficement)
Pendataran pada serviks merupakan proses terjadinya pemendekan dari
kanalis servikalis yang semula berupa saluran sepanjang 1-2 cm, menjadi
sebuah lubang saja dengan bagian tepi yang tipis (Oxorn, 2010).
ii. Pembukaan serviks
Pembukaan serviks disebabkan oleh terjadinya pembesaran ostium uteri
eksterna (OUE) karena otot yang melingkar di sekitar ostium meregang
untuk jalan lahir bayi.Pada pembukaan lengkap bibir portio sudah tidak
teraba lagi, vagina dan segmen bawah rahim serviks telah menjadi satu
saluran.
iii. Kontraksi uterus
Kontraksi uterus terjadi karena adanya rangsangan pada otot-otot polos
uterus dan penurunan hormon progesteron yang menyebabkan sekresi
hormon oksitosin. Kontraksi uterus dimulai dari fundus uteri dan terus
menyebar ke depan dan ke bawah abdomen. Tekanan kontraksi
terpanjang dan terkuat terjadi pada fundus.
iv. Pembentukan Segmen Atas Rahim dan Segmen Bawah Rahim
Segmen atas rahim (SAR) dibentuk oleh korpus uteri yang aktif
berkontraksi.Segmen bawah rahim (SBR) terbentang pada uterus bagian
bawah di bagian atas isthmus dengan serviks serta sifat otot yang tipis
dan elastis.Pada bagian ini banyak otot melingkar dan memanjang
(Oxorn, 2010).
v. Perubahan pada vagina dan dasar panggul
Pada kala I selaput ketuban ikut meregang, bagian atas vagina yang
sejak kehamilan mengalami perubahan sedemikian rupa dapat dilalui
bayi. Setelah ketuban pecah, segala perubahan terutama pada dasar
panggul ditimbulkan oleh bagian depan anak. Oleh bagian depan yang
maju tersebut, dasar panggul diregang menjadi saluran dengan dinding
yang tipis. Pada waktu kepala mencapai vulva, lubang vulva menghadap
ke atas. Peregangan oleh bagian depan tampak pada perineum yang
menonjol dan menjadi tipis, sedangkan anus semakin membuka.
Regangan yang kuat ini terjadi karena bertambahnya pembuluh darah
pada bagian vagina dan dasar panggul.Tetapi saat jaringan tersebut
robek dan menimbulkan perdarahan.
b) Perubahan sistem kardiovaskuler
i. Tekanan darah akan meningkat selama proses persalinan karena adanya
kontraksi. Tekanan sistolik naik rata-rata 10-20 mmHg dan tekanan
diastolik 5-10 mmHg. Tekanan darah kembali normal pada kondisi
sebelumnya diantara waktu kontraksi. Kecemasan dan ketakutan ibu juga
mempengaruhi kenaikan tekanan darah.
ii. Denyut jantung akan meningkat selama terjadinya kontraksi. Dalam posisi
terlentang denyut jantung akan menurun. Denyut jantung antara kontraksi
sedikit lebih tinggi dibanding selama periode segera sebelum persalinan.
Hal ini mencerminkan kenaikan metabolisme selama persalinan. Selain
itu peningkatan denyut jantung dapat dipengaruhi oleh rasa takut, tegang,
dan khawatir.
c) Perubahan metabolisme
Selama proses persalinan, metabolisme karbohidrat baik secara
aerobik maupun anaerobik akan naik secara perlahan. Kenaikan ini
sebagian besar karena adanya kecemasan, peningkata aktivitas otot
rangka tubuh, peningkatan frekuensi pernafasan, peningkatan curah
jantung, dan proses kehilangan cairan (Suhartika, 2017).
d) Perubahan sistem respirasi
Pada sistem respirasi terjadi sediki peningkatan frekuensi nafas
dibandingkan dengan keadaan sebelum persalinan.Hal ini disebabkan
adanya rasa nyeri, kekhawatiran, serta penggunaan tekhnik pernafasan
yang tidak benar (Suhartika, 2017).
e) Perubahan sistem urogenital
Poliuria sering terjadi selama persalinan.Hal ini disebabkan oleh
peningkatan curah jantung (cardiac output), filtrasi glomerulus, dan aliran
plasma ke renal. Kandung kemih harus dikontrol setiap 2 jam sekali untuk
menghindari trauma kandung kemih, hambatan penurunan bagian
terendah janin dan kejadian retensi urin setelah melahirkan. Pemeriksaan
kimia urine penting dilakukan. Protein urine +1 merupakan hal yang wajar
terjadi saat persalinan, kecuali jika hasil tes menunjukkan +2 atau lebih
yang menandakan adanya keadaan tidak normal atau komplikasi pada
persalinan (Suhartika, 2017).
f) Perubahan sistem pencernaan
Penurunan kemampuan peristaltik lambung dan penyerapan makanan
padat menyebabkan terjadi konstipasi.Lambung yang penuh dapat
menyebabkan ketidaknyamanan pada ibu.Oleh sebab itu, dianjurkan
untuk tidak terlalu banyak makan dan minum pada ibu bersalin.Makan
dan minum hanya dilakukan seperlunya untuk mempertahankan hidrasi
dan energi (Suhartika, 2017).
g) Perubahan hematologi
Kadar hemoglobin akan meningkat 1,2 g/100 ml saat persalinan dan
kembali ke kadar pada saat sebelum terjadinya persalinan sehari setelah
melahirkan apabila tidak terjadi perdarahan. Jumlah sel darah putih akan
meningkat secara progresif selama kala I persalinan sebesar 5000
sampai 15000 hingga pembukaan lengkap. Hal ini tidak mengindikasikan
adanya infeksi, akan turun lagi ke keadaan semula. Gula darah akan
turun selama persalinan dan akan terlihat mencolok pada kasus
persalinan lama atau persalinan dengan penyulit yang disebabkan oleh
aktivias uterus dan otot rangka (Suhartika, 2017).
h) Perubahan suhu tubuh
Suhu badan akan sedikit meningkat selama persalinan, suhu mencapai
tingkat tertinggi selama persalinan dan segera setelah kelahiran.
Kenaikan ini dianggap normal asal tidak melebihi 0,5-10C. Suhu badan
yang naik sedikit merupakan hal yang wajar namun jika keadaan ini
berlangsung lama, kenaikan suhu mengindikasikan dehidrasi. Parameter
lain yang harus dilakukan adalah selaput ketuban sudah pecah atau
belum, karena ini bisa menandakan adanya infeksi.
2) Perubahan fisiologi persalinan kala II
Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi pada kala II yaitu:
a) Perubahan sistem reproduksi
i. Kontraksi uterus
Selama kehamilan terjadi keseimbangan kadar estrogen dan progesteron
dalam darah, tetapi pada akhir kehamilan kadar estrogen dan
progesteron menurun kira-kira 1-2 minggu sebelum persalinan dimulai
sehingga menimbulkan kontraksi. Kontraksi uterus bertambah kuat dan
muncul setiap 2-3 menit sekali dan berlangsung antara 50-90 detik.Setiap
kali berkontraksi, rongga uterus menjadi lebih kecil dan bagian presentasi
dan selaput ketuban semakin terdorong ke dalam serviks. Kontraksi tidak
sama kuatnya, tapi paling kuat di daerah fundus uteri dan berangsur
berkurang ke bawah dan paling lemah pada segmen bawah rahim.
ii. Perubahan pada vagina dan dasar panggul
Kandung kemih terdorong ke atas dan menjadi satu dengan abdomen,
memberikan ruang lebih pada fetus dan menurunkan resiko trauma pada
kandung kemih. Pada kala II, uretra terjepit antara panggul dan kepala
fetus sehingga akan sulit bahkan tidak terjadi pengeluaran urin. Bagian
posterior dari dasar panggul terdorong ke bawah dan memanjang
semakin tipis. Karena rektum tertekan oleh kepala, maka feses akan
terdorong keluar anus. Anus akan mulai menganga dan membuka ke
dinding rektum anterior. Kepala meregangkan vagina dan mungkin
menyebabkan sedikit laserasi pada lapisan mukosa vagina, hal ini dapat
dilihat dari munculnya tetesan darah dari vagina.
b) Perubahan sistem kardiovaskuler
Usaha meneran ibu menyebabkan peningkatan tekanan darah sebanyak
15-25 mmHg selama kontraksi kala II kemudian menurun dan akhirnya
berada sedikit di atas batas normal.Rata-rata peningkatan tekanan darah
10 mmHg di antara kontraksi pada saat ibu meneran merupakan hal yang
normal.Oleh sebab itu, diperlukan evaluasi tekanan darah yang cermat di
antara kontraksi.Frekuensi nadi meningkat selama kala II disertai takikardia
yang nyata ketika mencapai puncak persalinan (Walyani dan Purwoastuti,
2016).
c) Perubahan metabolism
Peningkatan metabolisme terus berlanjut sampai kala II diakibatkan karena
peningkatan aktivitas otot rangka karena adanya usaha meneran
ibu.Selama persalinan metabolisme karbohidrat meningkat dengan
kecepatan tetap.Peningkatan aktivitas metabolik terlihat dari peningkatan
suhu tubuh, denyut nadi, pernapasan, denyut jantung, dan cairan yang
hilang (Walyani dan Purwoastuti, 2016).
d) Perubahan suhu tubuh
Peningkatan suhu tertinggi terjadi pada saat persalinan dan segera
setelahnya. Perubahan suhu dianggap normal bila peningkatannya tidak
lebih dari 0,5-10C (Walyani dan Purwoastuti, 2016).
e) Perubahan sistem respirasi
Peningkatan frekuensi pernapasan normal selama persalinan dan
mencerminkan peningkatan metabolisme yang terjadi.
f) Perubahan sistem urogenital
Poliuria sering terjadi selama persalinan.Kondisi ini dapat diakibatkan
peningkatan lebih lanjut curah jantung selama persalinan dan kemungkinan
peningkatan laju filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal (Walyani dan
Purwoastuti, 2016).
g) Perubahan sistem pencernaan
Penurunan motilitas lambung dan absorbsi yang hebat berlanjut sampai
kala II.Biasanya mual dan muntah mereda pada transisi kala II persalinan,
tetapi dapat terus-menerus pada beberapa wanita (Suhartika, 2017).
3) Perubahan fisiologi persalinan kala III
a) Perubahan sistem reproduksi
Penurunan kadar estrogen dan progesteron dalam darah dan peningkatan
kontraksi menyebabkan pelepasan plasenta dari tempat implantasinya.
Tempat implantasi plasenta mengerut akibat pengosongan kavum uteri dan
kontraksi lanjutan. Selain itu pengumpulan darah pada ruang utero-
plasenter juga akan mendorong plasenta keluar (Walyani dan Purwoastuti,
2016).
b) Perubahan sistem endokrin
Penurunan kadar estrogen dan progesteron dalam darah merangsang
hipotalamus anterior untuk memproduksi hormon prolaktin dan hipofisis
posterior untuk memproduksi hormon oksitosin. Hormon prolaktin berfungsi
untuk menghasilkan ASI bagi bayi, sedangkan hormon oksitosin berfungsi
untuk mengkontraksikan otot-otot uterus (Walyani dan Purwoastuti, 2016).
c) Perubahan sistem kardiovaskuler
Setelah terlepasnya plasenta dari tempat implantasi, maka terjadilah
perdarahan karena terdapatnya pembuluh darah yang terlepas.Sehingga
terjadi penurunan tekanan darah dan frekuensi nadi setelah sebelumnya
pada kala II terjadi peningkatan (Walyani dan Purwoastuti, 2016).
4) Perubahan fisiologi persalinan kala IV
Menurut Ekayanthi (2017), perubahan fisiologi pada kala IV yaitu :
a) Perubahan tanda-tanda vital
i. Tekanan darah
Tekanan darah biasanya tidak berubah, kemungkinan tekanan darah akan
sedikit menurun setelah ibu melahirkan karena adanya darah yang keluar.
Tekanan darah tinggi pada saat postpartum dapat menandakan terjadinya
preeklampsia postpartum.Tekanan darah normal adalah <140/90
mmHg.Jika tekanan darah ibu<90/60 mmHg dan nadi >100 kali per menit,
kemungkinan masalah yang timbul berupa perdarahan atau demam.
ii. Nadi
Denyut nadi normal pada orang dewasa 60-80 kali per menit. Setelah
melahirkan biasanya denyut nadi akan lebih cepat. Setiap denyut nadi yang
melebihi 100 adalah abnormal dan hal ini mungkin disebabkan oleh infeksi
atau perdarahan postpartum.
iii. Suhu
Suhu biasanya meningkat sedikit, tetapi masih dalam batas normal (di
bawah 38oC). Jika dalam 24 jam postpartum suhu tubuh ibu postpartum
mencapai 38oC atau lebih, maka terdapat kemungkinan ibu mengalami
dehidrasi atau infeksi.
iv. Pernafasan
Jika suhu tubuh dan denyut nadi normal, maka pernafasan akan
mengikutinya. Pernafasan normal, teratur, dengan frekuensi 16-20 kali per
menit, kecuali jika terdapat gangguan khusus pada sistem pernafasan.
b) Perubahan sistem pencernaan
Selama 2 jam postpartum kadang ibu merasakan haus dikarenakan
peningkatan metabolisme yang terjadi selama persalinan. Oleh karena itu,
hidrasi sangat penting diberikan untuk mencegah dehidrasi (Walyani dan
Purwoastuti, 2016).
c) Perubahan sistem urogenital
Selama 2-4 jam postpartum, kandung kemih masih dalam keadaan
hipotonik akibat adanya alostaksis sehingga sering dijumpai kandung
kemih dalam keadaan penuh dan mengalami pembesaran. Hal ini
disebabkan oleh tekanan pada kandung kemih dan uretra selama
persalinan.
d) Perubahan sistem reproduksi
Pada masa postpartum terjadi penyusutan ukuran uterus yang diakibatkan
karena telah keluarnya isi kehamilan dan adanya kontraksi uterus yang
disebut dengan involusi.Selama involusi terjadi pelepasan jaringan
endometrium yang menyebabkan pengeluaran lokea. Selain itu terjadinya
hipotonik otot perineum karena adanya trauma di sekitar perineum
menyebabkan otot-otot vulva dan vagina mengendur (Walyani dan
Purwoastuti, 2016).
2.1.8 Manajemen Persalinan
Menurut Sarwono (2014), manajemen yang dilakukan dalam persalinan
antara lain:
1. Kala I
Kala ini dimuali jika pembukaan kurang dari 4 cm dan kontraksi teratur
minimal 2 kali dalam 10 menit selama 40 detik.
Pemantauan
Tabel 2.2 Menguraikan frekuensi minimal penilaian dan intervensi.Jika ibu
menunjukan tanda-tanda komplikasi atau gejala komplikasi atau perubahan
kondisi, penilaian harus dilakukan lebih sering.
Parameter Frekuensi pada Fase Frekuensi pada Fase
Laten Aktif

Tekanan darah Setiap 4 jam Setiap 4 jam


Suhu badan Setiap 4 jam Setiap 2 jam
Nadi Setiap 30-60 menit Setiap 30-60 menit
Denyut jantung janin Setiap 1 jam Setiap 30 menit
Kontraksi Setiap 1 jam Setiap 30 menit
Pembukaan serviks Setiap 4 jam* Setiap 4 jam*
Penurunan Setiap 4 jam* Setiap 4 jam*
*Dinilai pada setiap pemeriksaan dalam
Pemeriksaan Dalam
Pemeriksaan dalam sebaiknya dilakukan setiap 4 jam selama kala I persalinan
dan ketika selaput ketuban pecah tulis temuan hasil pemeriksaan dalam pada
partogram.
a. Pada setiap pemeriksaan dalam, catatlah hal-hal berikut:
- Warna cairan amnion
- Dilatasi serviks
- Penurunan kepala
b. Jika serviks belum membuka pada pemeriksaan dalam pertama, diagnosis
inpartu belum bisa ditegakan.
- Jika terdapat kontraksi menetap, periksa ulang wanita tersebut setelah 4 jam
untuk melihat perubahan pada serviks. Pada tahap ini, jika serviks terasa tipis
dan terbuka maka wanita tersebut dalam keadaan inpartu, jika tidak terdapat
perubahan maka diagnosisnya adalah persalinan palsu
Gambar 2.1 Penurunan Kepala Janin Menurut Sistem Perlimaan (Sarwono, 2014 dalam
Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal hlm N-10)

2. Kala II
Persalinan kala II ditegakan dengan melakukan pemeriksaan dalam untuk
memastikan pembukaan sudah lengkap atau kepala janin sudah tampak di
vulva dengan diameter 5-6 cm.
Kemajuan Persalinan dalam Kala II
Temuan berikut menunjukan kemajuan yang cukup baik pada persalinan
kala II:
1. Penurunan teratur dari jalan lahir
2. Dimulainya fase pengeluaran
Temuan berikut menunjukan kemajuan yang kurang baik pada persalinan
tahap kedua:
a. Tidak turunnya janin di jalan lahir
b. Gagalnya pengeluaran pada fase akhir
Kelahiran Kepala Bayi
a. Mintalah ibu mengedan atau memberikan sedikit dorongan saat kepala
bayi lahir
b. Letakan satu tangan ke kepala bayi agar defleksi tidak terlalu cepat
c. Menahan perineum dengan satu tangan lainnya jika diperlukan
d. Mengusap muka bayi untuk membersihkannya darikotoran lendir/darah
e. Periksa tali pusat:
- Jika tali pusat mengelilingi leher bayi dan terlihat longgar, selipkan tali
pusat melalui kepala bayi
- Jika lilitan tali pusat terlalu ketat, tali pusat diklem pada dua tempat
kemudian digunting diantara kedua klem tersebut sambil melindungi leher
bayi.
Kelahiran Bahu dan Anggota Tubuh Seluruhnya
a. Biarkan kepala bayi berputar dengan sendirinya
b. Tempatkan kedua tangan pada sisis kepala dan leher bayi
c. Lakukan tarikan lembut ke bawah untuk melahirkan bahu depan
d. Lakukan tarikan lembut ke atas untuk melahirkan bahu belakang
e. Selipkan satu tangan ke bahu dan lengan bagian belakang bayi sambil
menyangga kepala dan selipkan satu tangan lainnya ke punggung bayi
untuk mengeluarkan tubuh bayi seluruhnya.
f. Letakan bayi di atas perut ibu.
g. Secara menyeluruh, keringkan bayi, bersihkan matanya, dan nilai
pernafasan bayi.
h. Klem dan potong tali pusat
i. Pastikan bahwa bayi tetap hangat dan memiliki kontak kulit dengan kulit
denga dadai ibu. Bungkus bayi dengan kain yang halus dan kering, tutup
dengan selimut dan pastikan kepala bayi terlindung dengan baik untuk
menghindari hilangnya panas tubuh.
3. Kala III
Manajemen Aktif Kala III
Penatalaksanaan aktif kala III (pengeluaran aktif plasenta) membantu
menghindarkan terjadinya perdarahan paskapersalinan. Penatalaksanaan
aktif kala III meliputi:
a. Pemberian oksitosin dengan segera
b. Pengendalian tarikan pada tali pusat
c. Pemijatan uterus segera setelah plasenta lahir
Penanganan
a) Memberikan oksitosin untuk merangsang uterus berkontraksi yang juga
mempercepat pelepasan plasenta:
- Oksitosin dapat diberikan dalam 2 menit setelah kelahiran bayi
- Jika oksitosin tidak tersedia, rangsang putting susu payudara atau
susukan bayi untuk menghasilkan oksitosin alamiah
b) Lakukan Penegangan Tali Pusat (PTT) dengan cara:
- Satu tangan diletakan pada korpus uteri tepat di atas simpisis pubis.
Selam kontraksi tangan mendorong korpus uteri dengan gerakan
dorsokranial kea rah belakang dan ke arah kepala ibu
- Tangan yang satu memegang tali pusat dengan klem 5-6 cm di depan
vlva
- Jaga tahanan ringan pada tali pusat dan tunggu adanya kontraksi kuat
(2-3mernit)
- Selama kontraksi, lakukan tarikan terkendali pada tali pusat yang terus
menerus dalam tegangan yang sama dengan tangan ke uterus
c) PTT dilakukan hanya selama uterus berkontraksi. Tangan pada uterus
merasakan kontraksi, ibu dapat memberitahu petugas jika merasakan
kontraksi. Ketika uterus sedang tidak berkontraksi, tangan petugas
dapat tetap berada pada uterus tetapi bukan melakukan PTT. Ulangi
langkah PTT pada setiap kontraksi sampai plasenta terlepas.
d) Begitu plasenta terlepas, keluarkan dengan menggerakan tangan atau
klem pada tali pusat mendekati plasenta, keluarkan plasenta dengan
gerakan ke bawah dan ke atas sesuai dengan jalan lahir. Kedua tangan
dapat memegang plasenta dan perlaha memutar plasenta searah jarum
jam untuk mengeluarkan selaput ketuban.
e) Segera setelah plasenta dan selaputnya dikeluarkan, masase fundus
agar menimbulkan kontraksi. Hal ini dapat mengurangi pengeluaran
darah dan mencegah perdarahan paska persalinan. Jika uterus tidak
berkontraksi kuat selama 10-15 detik, atau jika perdarahan hebat terjadi,
segera lakukan kompresi bimanual dalam. Jika atonia uteri tidak teratasi
dalam waktu 1-2 menit, ikuti protocol untuk perdarahan paskapersalinan.
f) Jika menggunakan manajemen aktif dan plasenta belum juga lahir
dalam waktu 15 menit, berikan oksitosin 10 unit IM dosis kedua dalam
jarak 15 menit daripemberian oksitosin dosis pertama
g) Jika menggunakan manajemen aktif dan plasenta belum juga lahir
dalam waktu 30 menit:
- Periksa kandung kemih dan lakukan keteterisasi jika kandung kemih
penuh
- Periksa adanya tanda-tanda pelepasan plasenta
- Berikan oksitosin 10 unit IM dosis ketiga dalam jarak waktu 15 menit dari
pemberian oksitosisn dosis pertama
- Siapkan rujukan jika tidak ada tanda-tanda pelepasan plasenta
h) Periksa wanita tersebut secara seksama dan jahit semua robekan pada
serviks atau vagina atau perbaiki episiotomy.
4. Kala IV
Dua jam setelah persalinan merupakan waktu yang kritis bagi ibu dan
bayi. Keduanya baru saja mengalami perubahan fisik yang luar biasa dan
melahirkan bayi dari perutnya dan bayi sedang menyesuaikan diri dari dalam
perut ibu ke dunia luar.
Penanganan
1. Periksa fundus setiap 15 menit pada jam pertama dan setiap 20-30 menit
selama jam kedua. Jika kontraksi tidak kuat, masase uterus sampai menjadi
keras. Apabila uterus berkontraksi, otot uterus akan menjepit pembuluh
darah untuk menghentikan perdarahan. Hal ini dapat mengurangi kehilangan
darah dan mencegah perdarahan paskapersalinan.
2. Periksa tekanan darah, nadi, kandung kemih dan perdarahan setiap 15
menit pada jam pertama dan setiap 30 menit selama jam kedua
3. Anjuran ibu untuk minum demimencegah dehidrasi. Tawarkan ibu makanan
dan minuman yang disukai.
4. Bersihkan perineum ibu dan kenakan pakaian bersih dan kering
5. Biarkan ibu beristirahat. Bantu ibu ke posisi yang nyaman
6. Biarkan bayi berada pada ibu untuk meningkatkan hubungan ibu dan bayi,
sebagai permulaan proses menyusui.
7. Bayi sangat siap segera setelah kelahiran. Hal ini sangat tepat untuk
memulai memberikan ASI. Menyusu membantu uterus berkontraksi.
8. Jika ibu perlu ke kamar mandi, ibu boleh bangun, pastikan ibu dibantu
karena masih dalam keadaan lemah atau pusing setelah bersalin. Pastikan
ibu sudah buang air kecil dalam 3 jam pascapersalinan.
9. Ajari ibu dan anggota keluarga tentang:
a) Bagaimana memeriksa fundus dan menimbulkan kontraksi
b) Tanda-tanda bahaya pada bayi dan ibu.

2.2 Konsep Preeklamsia


2.2.1 Definisi Preeklamsia
Preeklampsia adalah hipertensi yang terjadi pada ibu hamil dengan usia
kehamilan 20 minggu atau setelah persalinan di tandai dengan meningkatnya
tekanan darah menjadi 140/90 mmHg (Sitomorang, dkk 2016). Menurut Nugroho
(2012), preeklampsia adalah hipertensi pada kehamilan yang ditandai dengan
tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu, disertai
dengan proteinuria ≥ 300 mg/24 jam. Sedangkan menurut Sukarni (2013),
preeklamsia (toksemia gravidarum) adalah sekumpulan gejala yang timbul pada
wanita hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari hipertensi, oedema dan
proteinuria yang muncul pada kehamilan setelah 20 minggu sampai akhir minggu
pertama setalah persalinan.
Preeklamsia sejak dahulu didefinisikan sebagai trias yang terdiri dari
hipertensi, proteinurin dan edema pada wanita hamil. Eklamsia adalah kejang
pada ibu hamil preeklamsia tanpa disertai penyebab lain. Preeklamsia biasanya
terjadi pada kehamilan trimester ketiga walaupun pada beberapa kasus dapat
bernafestasi lebih awal (Heffner & Schust, 2009).
2.2.2 Patofisiologi Preeklamsia
Hingga saat ini etiologi dan patafisiologi dari preeklamsia masih belum
diketahui secara pasti. Telah banyak hipotesis yang diajukan untuk mencari
etiologi dan patofisiologi dari kasus preeklamsia namun kini belum memuaskan
sehingga preeklamsia disebut sebagai “the diseases of theories”. Adapun
hipotesis yang diajukan diantaranya :
1) Genetik
Terdapat suatu kecenderungan bahwa faktor keturunan berperan dalam
patogenesis preeklamsia.Telah dilaporkan adanya peningkatan angka
kejadian preeklamsia pada wanita yang dilahirkan dari ibu yang menderita
preeklamsia. Bukti yang mendukung berperannya faktor genetic pada
kejadian preeklamsia adalah peningkatan Human leukocyte antigine (HLA)
pada penderita preeklamsia. Beberapa peneliti melaporkan hubungan antara
histokompatibilitus antigen HLA-DR4 dan proteinurin hipertensi. Diduga ibu
dengan HLA haplotype A23/29, B 44 dan DR 7, memiliki resiko lebih tinggi
terhadap perkembangan preeklamsia dan IUGR daripada ibu dengan ibu
tanpa haplotype tersebut. Peneliti lain menyatakan kemungkinan
preeklamsiaberhubungan dengan gen resesif tunggal. Meningkatnya
prevalensi preeklamsia pada anak perempuan yang lahir dengan ibu yang
mengalami preeklamsia mengindikasikan adanya pengaruh genotip fetus
terhadap kejadian preeklamsia.Walaupun faktor genetik nampaknya berperan
pada preeklamsia tetapi manifestasinya pada penyakit ini secara jelas belum
dapat diterangkan (Yulia Fauziyah, 2012).
2) Iskemik plasenta
Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi desidua dan
myometrium dalam 2 tahap. Pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler
menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti endotel, merusak jaringan
elastis pada tunika media dan jaringan otot polos dinding erteri serta
mengganti dinding arteri dengan material fibrinoid. Proses ini selesai pada
akhir trimester I dan pada masa ini proses tersebut telah sampai pada
deciduomimetrial junction. Pada usia kehamilan 14-16 minggu terjadi invasi
tahap kedua dari sel trofoblas dimana sel-sel trofoblas tersebut akan
menginvasi arteri spiralis lebih dalam hingga ke dalam myometrium.
Selanjutnya terjadi proses seperti tahap pertama yaitu penggantian endotel,
perusakan jaringan muskulo elastis serta perubahan material fibrinoid dinding
arteri. Akhir dari proses ini adalah pembuluh darah yang berdinding tipis,
lemas dan berbentuk seperti kantong yang memungkinkan terjadinya dilatasi
secara pasif untuk menyesuaikan dengan kebutuhan aliran darah yang
meningkat pada kehamilan. Pada preeklamsia, proses presentasi tersebut
tidak berjalan sebagaimana mestinya oleh karena disebabkan 2 hal yaitu :
- Tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel-sel trofoblas.
- Pada arteri spiralis yang mengalami invasi, terjadi tahap pertama invasi sel
trofoblas secara normal tetapi invasi tahap kedua tidak berlangsung
sehingga bagian arteri spiralisyang berada dalam myometrium tetap
mempunyai dinding muskulo elastis yang relatif yang berarti masih terdapat
resistensi vaskuler.
Disamping itu juga terjadi arteriosis akut (lesi seperti atherosclerosis)
pada arteri spiralis yang dapat menyebabkan lumen arteri bertambah kecil
atau bahkan mengalami obliterasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan
aliran darah ke plasenta dan berhubungan dengan luasnya daerah infark pada
plasenta. Pada preeklamsia, adanya daerah pada arteri spiralis yang memiliki
resistensi vaskular disebabkan oleh karena kegagalan invasi trofoblas ke
arteri spiralis pada tahap kedua.Akibatnya, terjadi gangguan aliran darah di
daerah intervili yang menyebabkan penurunan perfusi daerah ke plasenta. Hal
ini dapat menimbulkan iskemik dan hipoksia di plasenta yang berakibat
terganggunya pertumbuhan bayi intrauteri (IUGR) hingga kematian bayi (Yulia
Fauziyah, 2012).
3) Hipoksia pada fetus / plasenta
Hipoksia yang terjadi pada fetus atau plasenta merupakan faktor patogenik
pada preeklamsia. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kekurangan
oksigen akan menginduksi vasokontroksi fetoplasenta. Pada manusia, resiko
preeklamsia meningkat pada asma dan individu dengan aktivitas yang tinggi,
karena akan mempengaruhi hipoksia plasenta. Aliran darah uang abnormal di
uterus, dan arkuata merupakan faktor prediktor untuk preeklamsia. Lebih
lanjut, pada kehamilan normal, kebutuhan oksigen meningkat, kurva disosiasi
oxyhaemoglobin akan berubah ke kanan dibandingkan dengan wanita yang
tidak hamil. Kebalikan pada pasien preeklamsia, kurva disoasi
axyhaemoglobin bergerak ke kiri. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan
oksigen. Hipoksia juga dapat menginduksi kegagalan fungsi trofoblas. Pada
penelitian menggunakan media kultur menunjukkan bahwa kadar oksigen
yang rendah pada media kultur akan menghambat diferensiasi sitotrofoblas
pada awal kehamilan Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan
menginvasi desidua dan myometrium dalam 2 tahap. Pertama, sel-sel
trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis yaitu dengan mengganti
endotel, merusak jaringan elastis pada tunika media dan jaringan otot polos
dinding erteri serta mengganti dinding arteri dengan material fibrinoid. Proses
ini selesai oada akhir trimester I dan pada masa ini proses tersebut telah
sampai pada deciduomimetrial junction (Yulia Fauziyah, 2012).
4) Disfungsi Endotel
Saat ini salah satu teori tentang preeklamsia yang sedang berkembang
adalah teori disfungsi endotel. Endotel menghasilkan zat-zat penting yang
bersifat relaksasi pembuluh darah, seperti nitric oxide (NO) dan prostasikin
(PGE2) disfungsi endotel adalah suatu keadaan dimana didapatkan adanya
ketidakseimbangan antara faktor vasodilatasi dan vasokontriksi. Prostakilin
merupakan suatu prostaglandin yang dihasilkan di sel endotel yang berasal
dari asam arakidonat dimana dalam pembuatannya dikatalisir oleh enzim
siklooksigenesis. Prostasikilin akan meningkatkan Camp intraseluler pada sel
otot polos dan trombosit dan memiliki efek vasodilator dan anti agregasi
trombosit. Tromboksan A2 dihasilkan oleh trombosit, berasal dari asam
arakidonat dengan bantuan enzim siklooksigenase.Tromboksan memiliki efek
vasokonstriktor dan agregasi trombosit. Prostasiklin tromboksan A2
mempunyai efek yang berlawanan dalam mekanisme yang mengatur interaksi
antara trombosit dan dinding pembuluh darah. Pada kehamilan normal terjadi
kenaikan prostasiklin oleh jaringan ibu, plasenta dan janin. Sedangkan pada
preeklamsia terjadi penurunan produksi prostasiklin dan kenaikan tromboksan
A2 sehingga terjadi peningkatan rasio tromboksan A2 dan prostasiklin. Pada
preeklamsia terjadi kerusakan sel endotel akan mengakibatkan menurunnya
produksi prostasiklin karena endotel merupakan tempat pembentukan
prostasiklin dan meningkatnya produksi tromboksan sebagai kompensasi
tubuh terhadap kerusakan endotel tersebut. Preeklamsia berhubungan
dengan adanya vasopasme dan aktivasi system koagulasi hemostatis.
Perubahan aktifitas tromboksan memegang peranan sentral pada proses ini
dimana hal ini sangat berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
tromboksan dan protasiklin. Kerusakan endotel vaskuler pada preeklamsia
menyebabkan penurunan produksi prostasiklin, peningkatan aktivasi agregasi
trombosit dan fibrinolysis yang kemudian akan diganti thrombin dan plasmin.
Thrombin akan mengkonsumsi antitrombin III sehingga terjadi deposit fibrin.
Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan A2 dan serotonim
sehingga akan terjadi vasopasme dan kerusakan endotel (Yulia Fauziyah,
2012).
5) Imunologis
Beberapa penelitian menyatakan kemungkinan adaptasi imunologis sebagai
patofisologi dari preeklamsia. Pada penderita preeklamsia terjadi penurunan
proporsi T-helper dibandingkan dengan penderita normotensi yang dimulai
sejak awal trimester dua. Antribodi yang melawan sel endotel ditemukan pada
50% wanita dengan preeklamsia, sedangkan pada control hanya terdapat
15%. Malaadaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari
arteri spiralis oleh sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel
yang dimediasi oleh peningkatan pelepasan stoking (TNF- dan IL-I), enzim
proteolitik dan radikal bebas oleh desidua. Sitokin TNF- dan IL-I berperan
dalam stress oksidatif yang berhubungan dengan preeklamsia. Didalam
mitokondria, TNF-akan merubah sebagian aliran electron untuk melepaskan
radikal bebas oksigen yang selanjutnya akan membentuk lipid peroksida
dimana hal ini dihambat oleh antioksidan. Radikal bebas yang dilepaskan oleh
sel desidua akan menyebabkan kerusakan sel endotel. Radikal bebas oksigen
dapat menyebabkan pembentukan lipid perioksida yang akan membuat
radikal bebas lebih toksik dalam merusak sel endotel. Hal ini akan
menyebabkan gangguan produksi nitrit oksida ole endotel vaskuler yang akan
mempengaruhi keseimbangan prostasiklin dan tromboksan dimana terjadi
peningkatan produksi tromboksan A2 plasenta dan inhibisi produksi
prostasiklin dari endotel vaskuler. Antioksidan merupakan kelompok besar zat
yang ditujukan untuk mencegah terjadinya over produksi dan kerusakan yang
disebabkan oleh radikal bebas. Telah dikenal beberapa antioksidan yang
poten terhadap efek buruk dari radikal bebas diantaranya vitamin E
(tocopherol) vitamin C. zat antioksidan ini dapat digunakan untuk melawan
kerusakan sel akibat pengaruh radikal bebas pada preeklamsia (Yulia
Fauziyah, 2012).
2.2.3 Klasifikasi
Adapun preeklampsia digolongkan kedalam preeklampsia ringan dan
preeklampsia berat dengan gejala dan tanda sebagai berikut:
a. Preeklampsia Ringan
Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan
menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasopasme pembuluh
darah dan aktivasi endotel (Prawihardjo, 2014). Berikut diagnosis
preeklampsia ringan:
-Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan diatas 20 minggu
- Tes celup urine menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil lebih dari 300 mg/24 jam.
b. Preeklampsia Berat
Preeklampsia berat adalah preeclampsia dengan tekanan darah sistolik ≥
160 mmHg dan tekanan diastolic ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih 5
g/24 jam (Prawihardjo, 2014). Berikut diagnosis preeklampsia berat:
- Tekanan darah ≥160/110 mmHg pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu
- Tes celup urine menunjukkan proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil lebih dari 5 g/24 jam 3
- Atau keterlibatan organ lain:
 Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikiroangiopati
 Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
 Sakit kepala, skotoma penglihatan
 Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
 Edema paru atau gagal jantung kongestif
 Oliguria (<500 ml/24 jam), kreatinin lebih dari 1,2 mg/dl (Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan 2013)
2.2.4 Perubahan Sistem dan Organ pada Preeklamsia
1. Volume Plasma
Biasanya pada ibu hamil normal, volume plasma akan meningkat
(Hipervolemia) untuk memenuhi kebutuhan perkembangan janin.
Peningkatan tertinggi volume plasma pada hamil normal biasanya pada
umur kehamilan 32-34 minggu. Namun pada wanita hamil dengan
preeklamsia akan mengalami penurunan volume plasma antara 30% - 40%
disbanding dengan hamil normal (Hipovolemia). Jadi, jika volume plasma
menurun akan memberi dampak yang luas bagi organ-organ yang lain
(Prawirohardjo, 2014).
2. Hipertensi
Pada preeklamsia peningkatan reaktivitas vascular dimulai pada umur
kehamilan 20 minggu, namun hipertensi dapat dikenali pada trimester II.
Tekanan darah yang tinggi pada preeklamsia bersifat normal dan mengikuti
irama sirkadian normal. Pada preeklamsia ringan biasanya akan kembali
normal beberapa hari pasca persalinan, namun pada preeklamsia berat,
kembalinya tekanan darah yang normal dapat terjadi 2-4 minggu pasca
persalinan (Prawirohardjo, 2014).
3. Fungsi Ginjal
a. Perubahan fungsi ginjal disebabkan hal-hal berikut:
- Menurunya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga terjadi
oliguria bahkan anuria.
- Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas
membranbasalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan
proteinuria. Proteinuria terjadi jauh sebelum persalinan, sehingga biasa
terjadi preeklamsia tanpa proteinuria karena janin lebih dulu lahir.
- Terjadi Glomerular Capillary Endotheliosis akibat sel endotel glomerular
membengkak disertai deposit fibril.
- Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubules ginjal. Bila sebagian
besar kedua korteks ginjal mengalami nekrosis maka terjadi “nekrosis
korteks ginjal” yang bersifat ireversibel.
- Dapat terajdi kerusakan intrinsic jaringan ginjal akibat vasopasme
pembuluh darah. Dapat diatasi dengan pemberian DOPAMIN agar
terjadi vasidilatasi pembuluh darah ginjal.
b. Proteinuria
Jika proteinuria timbul :
- Sebelum hipertensi, umunya biasanya gejala penyakit ginjal
- Tanpa hipertensi, maka akan dapat disimpulkan sebagai penyulit
kehamilan.
- Tanpa kenaikan tekanan darah diastol ≥90 mmHg, umumnya ditemukan
pada infeksi saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan proteinuria
pada tekanan darah <90 mmHg.
- Proteinuria merupakan syarat mutlak untuk diagnosis preeklamsia,
tetapi proteinuria muncul jauh sebelum persalinan, sehingga biasa
ditemukan preeklamsia tanpa proteinuria karena janin sudah lahir lebih
dulu.
- Pengukuran proteinuria, dapat dilakukan dengan:
 Urin dipstick: 100 mg/l atau +1, sekurang-kurangnya diperiksa 2 kali
selang 6 jam.
 Pengumpulan proteinuria 24 jam
 Dapat dianggap patologis jika besaran proteinuria ≥300 mg/24 jam.
(Prawirohardjo Sarwono, 2014).
 Asam Urat Serum ( uric acid serum)
Umunya meningkat ≥5 mg/cc. hal ini biasanya karena hipovolemia,
dapat menyebabkan menurunnya aliran darah ginjal dan juga
mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga
menurunnya sekresi asam urat. Peningkatan asam urat juga dapat
terjadi akibat iskemia jaringan (Prawirohardjo, 2014).
c. Kreatinin
Kadar kreatinin plasma pada preeklamsia juga meningkat akibat
hipovolemia, maka aliran darah ginjal akan menurun, mengakibatkan
menurunnya filtrasi glomerulus, sehingga menurunya sekresi kreatinin,
disertai peningkatn kreatinin plasma. Dapat meencapai kadar kreatinin
plasma ≥1 mg/cc dan biasanya terjadi pada preeklamsia berat dengan
penyulit pada ginjal (Prawirohardjo, 2014).
d. Ologuria dan Anuria
Ologuria dan anuria terjadi juga krena hipovolemia sehingga aloran
darah ke ginjal akan menurun yang mengakibatkan produksi urin
menurun (Oliguria), bahkan dapat terjadi anuria. Berat ringannya oliguria
menggambarkan berat ringannya hipovolemia. Hal ini juga dapat
menggambarkan berat atau ringannya preeklamsia. Pemberian obat
intravena karena oliguria tidak dapat dibenarkan (Prawirohardjo, 2014).
4. Elektrolik
Kadar elektrolit normal akan menurun pada saat hamil. Pada preeklamsia
kadar elektrolit sama dengan dengan kadar pada hamil normal, kecuali jika
diberi diuretikum banyak, retriksi konsumsi garam atau pemberian cairan
oksitosin yang bersifat antidiuretik. Preeklamsia berat yang mengalami
hipoksia dapat menimbulkan gangguan keseimbangan asam basa. Pada
waktu terjadi kejang eklamsia kadar bikarbonat menurun, karena timbulnya
asidosis laktat dan akibat kompensasi hilangnya karbohidrat. Kadar natrium
dan kalium pada preeklamsia sama dengan hamil normal, yaitu sesuai
dengan proporsi jumlah air dalam tubuh. Karena kadar natrium dan natrium
tidak berubah pada preeklamsia, maka tidak terjadi retensi natrium yang
berlebihan. Ini berarti pada preeklamsia tidak diperlukan restriksi konsumsi
garam (Prawirohardjo, 2014).
5. Tekanan osmotik koloid plasma / tekanan onkotik
Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menurun pada umur kehamilan 8
minggu. Pada preeklamsia tekanan onkotik makin menurun karena
kebocoran protein dan peningkatan permeabilitas vascular (Prawirohardjo,
2014).
6. Koagulasi dan fibrinolisis
Gangguan koagulasi pada preeklamsia, misalnya trombositopenia, jarang
yang berat, tetapi sering dijumpai.Pada preeklamsia terjadi peningkatan
FDP, penurunan anti thrombin III, dan peningkatan fibronektin
(Prawirohardjo, 2014).
7. Viskositas darah
Viskositas darah ditemukan oleh volume plasma, molekul makro :
fibrinogen dan hematokrit. Pada preeklamsia vaskositas darah meningkat,
mengakibatkan meningkatnya resistensi parifer dan menurunnya aliran
darah ke organ (Prawirohardjo, 2014).
8. Hematokrit
Hematokrit akan menurun pada kehamilan normal karena hypervolemia,
kemudian meningkat lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi
urin. Pada preeklamsia hematokrit meningkat karena hipovolemia yang
menggambarkan beratnya preeklamsia (Prawirohardjo, 2014).
9. Oedema
Oedema dapat terjadi pada kehamilan normal. Oedema yang terjadi pada
kehamilan mempunyai banyak interpretasi, misalnya 40 % oedema
dijumpai pada hamil normal, 60% dijumpai pada kehamilan dengan
hipertensi beserta dengan proteinuria (Prawirohardjo, 2014).
10. Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasopasme, iskemia daan pendarahan.
Bila terjadi pendarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi
nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Pendarahan ini dapat
meluas hingga dibawah kapsula hepar dan disebut subkapsular hematoma.
Subkapsular menimbulkan rasa nyeri didaerah epigastrum dan dapat
menimbulkan ruptur hepar, sehingga perlu pembedahan (Prawirohardjo,
2014).
11. Neurologi
Perubahan neurologi dapat berupa :
- Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan
vasogenik oedema.
- Akibat spasme arteri retina dan oedema retina dapat terjadi gangguan
visus. Gangguan visus dapat berupa: pandangan kabur, skotomata,
amaurosis yaitu kebutaan tanpa jelas adanyaa kelainan dan ablasio
retina( retinal detachment).
- Hiperrefleksi sering dijumpai pada preeklamsia berat, tetapi bukan faktor
prediksi terjadinya eklamsia.
- Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebabnya belum diketahui pasti.
Faktor yang dapat menimbulkan kejang eklamptik ialah oedema serebri,
vasopasme serebri dan iskemia serebri.
- Perdarahan intrakranial meskipun jarang namun dapat terjadi pada
preeklamsia berat dan eklamsia (Prawirohardjo, 2014).
12. Kardiovaskular
Perubahan kardiovaskular disebabkan peningkatan cardiac afterload akibat
hipertensi dan penurunan cardiac afterload akibat hipovolemia
(Prawirohardjo, 2014).
13. Paru
Pada wanita hamil dengan preeklamsia berat akan mempunyai resiko
terjdinya oedema paru. Oedema paru terjadi oleh payah jantung kiri,
kerusakan sel endotel pada pembuluh darah kapilar baru dan menurunnya
diuresis. Penanganan oedema paru dapat dilakukan pemasangan Central
Venous Pressure (CVP) namun tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya dari pulmonary capillary wedge pressure (Prawirohardjo,
2014).
14. Janin
Penyakit preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk terhadap
kesehatan janin yang disebabkan karena menurunnya perfusi utero
plasenta, hipovolemia, vasopasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh
darah plasenta (Prawirohardjo, 2014).
2.2.5 Faktor Resiko Preeklamsia
Menurut Septiasih (2018), terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan resiko preeklamsia pada ibu hamil antara lain:
1. Usia
Usia merupakan bagian dari status reproduksi yang penting. Usia berkaitan
dengan peningkatan atau penurunan fungsi tubuh sehingga mempengaruhi
status kesehatan. Usia reproduksi sehat dikenal bahwa usia yang aman
untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20-35 tahun. Preeklampsia lebih
sering didapatkan pada masa awal dan akhir usia reproduktif yaitu usia
remaja atau di atas 35 tahun. Umur berisiko (35 tahun) lebih besar
mengalami preeklampsia. Ibu hamil 35 tahun seiring bertambahnya usia
rentan untuk terjadinya peningkatan tekanan darah. Pada usia 35 tahun
menurunnya fungsi organ tubuh salah satunya ginjal, sehingga
menyebabkan protein dalam urin. Ibu hamil dengan usia sangat muda umur
35 tahun cenderung mengalami preeklampsia. Hal ini disebabkan oleh
adanya perubahan patologis, yaitu terjadinya spasme pembuluh darah
arteriol menuju organ penting dalam tubuh sehingga menimbulkan gangguan
metabolisme jaringan, gangguan peredaran darah menuju retroplasenter,
sedang tubuh ibu belum siap untuk terjadinya kehamilan. Penelitian yang
dilakukan oleh Nursal et al (2015) menunjukkan ibu hamil yang berumur <20
tahun dan >35 tahun berisiko 4,886 kali untuk terkena preeklampsia
dibandingkan dengan ibu hamil yang berumur antara 20-35 tahun.
2. Status Gravida
Gravida adalah wanita yang sedang hamil. Primigravida adalah wanita yang
hamil untuk pertama kali. Preeklamsia lebih banyak dijumpai pada
primigravida daripada multigravida, terutama primigravida usia muda.
Primigravida, kira-kira 85% preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama.
Primigravida lebih berisiko untuk mengalami preeklampsia daripada
multigravida karena preeklampsia biasanya timbul pada wanita yang
pertama kali terpapar virus korion. Hal ini terjadi karena pada wanita tersebut
mekanisme imunologik pembentukan blocking antibody yang dilakukan oleh
HLA-G (Human Leukocyte Antigen G) terhadap antigen plasenta belum
terbentuk secara sempurna, sehingga proses implantasi trofoblas ke jaringan
desidual ibu menjadi terganggu. Primigravida juga rentan mengalami stress
dalam menghadapi persalinan yang akan menstimulasi tubuh untuk
mengeluarkan kortisol. Efek kortisol adalah meningkatkan respon simpatis,
sehingga curah jantung dan tekanan darah juga akan meningkat.
3. Riwayat Preeklamsia Sebelumnya
Hubungan sistem imun dengan preeklampsia menunjukkan bahwa faktor-
faktor imunologi memainkan peran penting dalam perkembangan
preeklampsia. Keberadaan protein asing, plasenta, atau janin bisa
membangkitkan respon imunologis lanjut. Teori ini didukung oleh
peningkatan insiden preeklampsia-eklampsia pada ibu baru (pertama kali
terpapar jaringan janin) dan pada ibu hamil dari pasangan yang baru (materi
genetik yang berbeda). Ibu yang pernah mengalami preeklamsia
sebelumnya mempunyai risiko lebih besar untuk mengalami preeklampsia
kembali atau yang telah mengidap hipertensi kurang lebih 4 tahun.
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan
dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan
dampak perinatal yang buruk. Riwayat preeklampsia memiliki risiko
preeklampsia yang lebih tinggi. Preeklampsia berisiko 4 kali lebih tinggi
untuk wanita dengan riwayat preeclampsia.
4. Riwayat Preeklamsia dalam Keluarga
Wanita hamil yang ibunya pernah mengalami preeklampsia, cenderung
berisiko terhadap preeklampsia. Predisposisi genetik merupakan faktor
immunologi yang menunjukkan gen resesif autosom, yang mengatur respon
imun maternal. Risiko ibu hamil yang ibunya mengalami preeklampsia, dapat
terjadi satu diantara empat kemungkinan ibu preeklampsia. Menurut
penelitian Mahran et al (2017) preeklampsia 3,07 kali berisiko terjadi pada
ibu yang ibu kandungnya mempunyai riwayat preeklampsia sedangkan
berisiko 3,11 kali pada ibu yang mempunyai saudara perempuan dengan
riwayat preeclampsia.
5. Hipertensi Kronik
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah
peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik. Hipertensi kronis terjadi sebelum kehamilan atau dapat
terlihat pada kehamilan sebelum 20 minggu. Pada sebagian besar wanita
dengan hipertensi sebelum kehamilan, peningkatan tekanan darah
merupakan satu-satunya temuan. Namun, beberapa mengalami komplikasi
yang meningkatkan risiko selama kehamilan dan dapat menurunkan angka
harapan hidup. Hal ini meliputi penyakit jantung hipertensif atau penyakit
jantung sistemik, insufiensi ginjal atau kelainan serebrovaskular sebelumnya.
Wanita dengan hipertensi kronik mempunyai risiko lebih dari 10 kali lipat
untuk mengalami preeklampsia pada usia kehamilan ≤ 33 minggu dan
sekitar 5 kali lipat lebih tinggi pada usia kehamilan ≥34 minggu.
6. Diabetes Melitus
Penyakit diabetes melitus merupakan kelainan herediter dengan ciri infisiensi
atau absennya insulin dalam sirkulasi darah, konsentrasi gula darah tinggi
dan berkurangnya glikogenesis. Diabetes dalam kehamilan akan
menyebabkan banyak kesulitan. Pengaruh diabetes dalam kehamilan adalah
abortus dan partus prematurus, hidramnion, preeklampsia, kesalahan letak
janin, dan insufisiensi plasenta. Pada ibu dengan diabetes melitus
patofisiologinya bukan preeklampsia murni, melainkan disertai kelainan
ginjal/vaskuler primer akibat diabetes melitus tersebut. Pada penyakit
kencing manis terjadi perubahan pembuluh darah permeabilitasnya terhadap
protein makin tinggi, sehingga terjadinya kekurangan protein ke jaringan.
Protein ekstravaskuler menarik air dan garam menimbulkan edema.
Hemokonsentrasi darah yang menganggu fungsi metabolisme tubuh.
Preeklamspia terjadi pada ibu dengan diabetes melitus karena adanya
peningkatan produksi deoksikortikosteron (DOC) yang dihasilkan dari
progesterone di darah plasma dan meningkat tajam selama trimester ketiga.
Ibu dengan diabetes kehamilan terdapat peningkatan insiden hipertensi dan
preeklampsia yang akan memperburuk perjalanan persalinan serta
peningktana risiko diabetes tipe II di kemudian hari. Hipertensi sering
dijumpai dari wanita diabetes dengan penyakit ginjal sehingga berisiko tingii
mengalami preeklampsia
7. Kehamilan Kembar
Adanya kehamilan kembar dan hidramnion, menjadi penyebab
meningkatnya resiten intramural pada pembuluh darah myometrium, yang
dapat berkaitan dengan peningkatan tegangan myometrium dan
menyebabkan tekanan darah meningkat. Wanita dengan kehamilan kembar
berisiko tinggi mengalami preeclampsia, hal ini biasanya disebabkan oleh
peningkatan massa plasenta dan produksi hormon.
8. Penyakit Ginjal
Pada kehamilan normal, ginjal bekerja keras untuk melayani sirkulasi cairan
dan darah yang jumlahnya sangat besar. Pembesaran atau pelebaran ginjal
dan pembuluh darah akan membuat ginjal mampu bekerja ekstra. Pada
wanita hamil, ginjal dipaksa bekerja keras sampai ke titik di mana ginjal tak
mampu lagi memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Wanita hamil
dengan gagal ginjal kronik memiliki ginjal yang semakin memperburuk status
dan fungsinya. Beberapa tanda yang menunjukkan menurunnya fungsi ginjal
antara lain hipertensi yang semakin tinggi dan terjadi peningkatan jumlah
produk buangan yang sudah disaring oleh ginjal di dalam darah (seperti
potassium, urea, dan keratin). Ibu hamil yang menderita sakit ginjal dalam
jangka waktu lama biasanya juga menderita tekanan darah tinggi. Ibu hamil
dengan riwayat penyakit ginjal memiliki risiko lebih besar untuk mengalami
preeklampsia.
9. Obesitas
Overweight atau obesitas didefinisikan sebagai keadaan abnormal atau
kelebihan akumulasi lemak/kegemukan yang mungkin dapat mempengaruhi
kesehatan. Seseorang dikatakan overweight jika BMI ≥ 25 dan obesitas jika
BMI ≥ 30. Obesitas sangat berkaitan erat dengan berbagai macam
komplikasi penyakit, terlebih jika diamlami oleh wanita hamil yang akan
berdampak buruk bagi ibu maupun janin yang dikandungnya. Obesitas
sebelum kehamilan dan Indeks Massa Tubuh saat pertama kali Antenatal
Care (ANC) merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko ini semakin
besar dengan semakin besarnya IMT pada wanita hamil karena obesitas
berhubungan dengan penimbunan lemak yang berisiko munculnya penyakit
degenerative. Obesitas dapat memicu terjadinya preeklampsia melalui
pelepasan sitokin-sitokin inflamasi dari sel jaringan lemak, selanjutnya sitokin
menyebabkan inflamasi pada endotel sistemik. Menurut penelitian Nursal et
al (2015). Ibu hamil dengan IMT obesitas berisiko 5 kali lebih besar untuk
menderita preeklampsia dibandingkan kelompok IMT normal.
2.2.6 Komplikasi
Preeklampsia pada awalnya ringan sepanjang kehamilan, namun pada
akhir kehamilan berisiko terjadinya kejang yang dikenal eklampsia. Eklampsia
adalah keadaan ditemukannya serangan kejang tiba-tiba yang dapat disusul
dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas yang sebelumnya
menunjukan gejala preeklampsia (Prawirohardjo, 2010). Jika eklampsia tidak
ditangani secara cepat dan tepat, terjadilah kegagalan jantung, kegagalan ginjal
dan perdarahan otak yang berakhir dengan kematian (Natiqotul, 2016).
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi
plasenta baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress
baik pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran (Pemoll, 2009). Komplikasi
yang sering terjadi pada preklampsia berat adalah (Wiknjosastro, 2009) :
1. Solusio plasenta.
Komplikasi ini biasanya terjadi pada ibu hamil yang mendenta hipertensi
akut.
2. Hipofibrinogenemia
Pada preeklampsia berat ditemukan 23% hipofibrinogenemia.
3. Hemolisis
Penderita dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti
apakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sei darab merah.
Nekrosis periportal hati yang sering ditemukan pada autopsi penderita
eklampsia dapat menerangkan mekanisme ikterus tersebut.
4. Perdarahan otak
Komplikasi ini mempakan penyebab utama kematian maternal.
5. Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara yang berlangsung selama
seminggu dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal
ini mempakan tanda gawat dan akan terjadi apopleksia serebri.
6. Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada pasien preeklampsia-eklampsia diakibatkan
vasospasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati.
7. Sindroma HELLP, yaitu hemolysis, elevated liver enzymes dan-low platelet.
8. Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus berupa pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya.
Kelainan lain yang dapat timbul ialab anuria sampai gagal ginjal.
9. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intrauterin.
10. Komplikasi lain berupa lidah tergigit, trauma dan fraktur karena terjatuh
akibat kejang, pneumonia aspirasi dan DIC.
Menurut Bothamley (2013), komplikasi yang dapat terjadi pada janin
dengan ibu yang preeklamsia adalah sebagai berikut :
a. Kelahiran prematur
b. Resiko terjadinya Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
c. Abrupsio plasenta
d. Resiko terajdinya kematian bayi
2.2.6 Penanganan
 Preeklampsia Ringan
1. Penatalaksanaan rawat jalan pasien preeklampsia ringan, dengan cara:
Ibu dianjurkan untuk beristirahat (berbaring tidur/miring), diet: cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam; Pemberian sedative
ringan: tablet Phenobarbital 3 x 30 mg atau diazepam 3 x 2 mg peroral
selama 7 hari (atas instruksi dokter); roborantia: kujungan ulang setiap 1
minggu; pemeriksaan laboratorium: hemoglobin, hemotokrit, trombosit,
urin lengkap, asam urat darah, fungsi hati dan fungsi ginjal.
2. Penatalaksanaan rawat tinggal pasien preeklampsia ringan berdasarkan
kriteria: setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan
adanya perbaikan dari gejala-gejala preeklampsia, kenaikan berat badan
ibu 1 kg atau lebih perminggu selama dua kali berturut-turut (2 minggu),
timbul salah satu atau lebih gejala atau tanda-tanda preeclampsia berat.
Bila setelah 1 minggu perawatan diatas tidak ada perbaikan maka
preeklampsia ringan dianggap sebagai preeklampsia berat. Jika dalam
perawatan dirumah sakit sudah ada perabikan sebelum 1 minggu dan
kehamilan mansih preterm maka penderita tetap dirawat selama 2 hari lagi
baru dipulangkan. Perawatan lalu disesuaikan dengan perawatan rawat jalan.
(Yeyeh Ai dan Lia 2014).
Jika kehamilan sudah diatas 37 minggu, maka pertimbangkan terminasi
sebagai berikut dibawah ini:
- Jika serviks matang, lakukan induksi dengan oksitosin 5 IU dalam 500 ml
dekstrose IV 10 tetes/menit atau dengan prostaglandin.
- Jika serviks belum matang, berikan prostaglandin, misoprostol atau kateter
Foley, atau terminasi dengan seksio sesaria (Pratono, 2014).
 Preeklampsia Berat
1. Segera masuk ke rumah sakit
2. Tirah baringmiring kesatu sisi. Tanda-tanda vital diperiksa setiap 30
menit, memeriksa reflex patella setiap jam.
3. Memasang infuse dengan cairan dexatose 5% dimana setiap 1 liter
diselingi dengan cairan infuse RL (60 -125CC/jam) 500cc.
4. Pemberian anti kejang /anti konvulsan magnesium sulfat (MgSO4)
sebagai pencegahan dan terapi kejang. MgSO4 merupakan obat pilihan
untuk mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia berat dan
ringan.
Apabila terjadi kejang pada preeklampsia berat maka akan dilakukan
pencegahan:
a. Bila terjadi kejang, perhatikan jalan nafas, pernapasan (oksigen) sirkulasi
(cairan intravena)
b. MgSO4 diberikan secara intravena kepada ibu dengan eklampsia
(sebagai tatalaksana kejang) dan preeklampsia berat (sebagai
pencegahan kejang). Adapun syarat pemberian MgSO4 adalah sebagai
berikut:
 Tersedia cairan glukosa 10%
 Ada reflex patella
 Jumlah urin minimal 0,5 ml/kg BB/jam
Adapun cara pemberian MgSO4 adalah sebagai berikut:
a. Berikan dosis awal 4 gram MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah
terjadinya kejang atau kejang berulang dengan cara:
 Ambil 4 gram larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan larutan
dengan 10 ml aquades.
 Berika larutan tersebut secara perlahan-lahan sevara IV selama 20
menit
 Jika IV sulit, berikan masing-masing 5 gram MgSO4 (12,5 ml larutan
MgSO4 40%) seara Im di bokong kiri dan kanan.
b. Sambil menunggu rujukan mulai dosis rumatan 6 gram MgSO4 dalam 6
jam sesuai prosedur dengan cara: Ambil 6 gram MgSO4 (15 ml larutan
MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500 ml larutan Ringer Laktat, Asetat,
lalu berikan secara IV dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam,
dan diulang hingga 24 jam setelah persalinan atau kejang berakhir (bila
eklampsia).
c. Melakukan pemeriksaan fisik setiap jam, meliputi tekanan darah,
frekuensi nadi, frekuensi pernapasan, reflex patella dan jumlah urin.
d. Bila frekuensi pernapasan < 16x/menit, dan atau tidak didapatkan reflex
patella dan atau oliguria produksi urin < 0,5 ml/kg BB/jam), hentikan
pemberian MgSO4.
e. Jika terajdi depresi nafas, berikan cairan glukosa 1 gram secara IV (10 ml
larutan 10 %) bolus dalam 10 menit.
f. Segala ibu hamil denga preeklampsia dan eklampsia dirujuk patau dan
nilai adanya perburukan preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia, lakukan
penilaian awal dan tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali
MgSO4 gram secara IV perlahan-lahan (15-2o menit). Bila setelah
pemberian MgSO4 ulang masih terdapat kejang, dapat dipertimbangkan
untuk pemberian diazepam 10 mg secara IV selama 2 menit.
Ada beberapa pertimbangan persalinan atau terminasi kehamilan sebagai
berikut:
1. Pada ibu dengan eklampsia, bayi harus segera dilahirkan dalam 12 jam
sejak terjadinya kejang.
2. Induksi persalinan dianjurkan bagi ibu dengan preeklampsia berat dengan
janin yang belum viable atau tidak akan viable dalam 1-2 minggu.
3. Pada ibu dengan preeklampsia berat, dimana janin sudah viable namun
usia kehamilan belum mencapai 34 minggu, manajemen ekspektan
dianjurkan, asalkan tidak terdapat kontraindikasi.
4. Pada ibu dengan preeklampsia berat, di mana usia kehamilan antara 34-
37 minggu, manajemen ekspektan boleh dianjurkan, asalkan tidak
terdapat hipertensi yang tidak terkontrol, disfungsi organ ibu, dan gawat
janin. Lakukan pengawasan ketat.
5. Pada ibu dengan preeklampsia berat yang kehamilannya sudah aterm,
persalinan dini dianjurkan.
6. Pada ibu dengan preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional ringan
yang sudah aterm, induksi persalinan dianjurkan (Buku Saku Pelayanan
Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan 2013).

Gambar. 2.1 Penanganan Hipertensi pada Kehamilan (Manuaba, 2010)


Pathway

Kegagalan invasi trofoblas

Kegagalan transformasi arteri spiralis uterus

Vasokonstriksi arteri spiralis

Cedera iskemik reperfusi plasenta Resiko IUGR & BBLR

Pembentukan ROS (OH-)

Stres oksidatif

Peroksidasi lipid Pelepasan mediator


(Sflt atau endoglin)

Disfungsi endotel
Faktor Resiko : obesitas, riwayat
preeklamsia sebelumnya, usia > 35
tahun, gemeli, mola hidatidosa, Preeklamsia
diabetes, hipertensi kronik

Sindrom HELLP Eklamsia Gawat Janin


BAB 3
KERANGKA KONSEP ASUHAN KEBIDANAN

Tanggal pengkajian : untuk mengetahui tanggal pemeriksaan saat ini dan


menentukan jadwal pemeriksaan berikutnya.
Waktu pengkajian : untuk mengetahui waktu pemeriksaan
Tempat : untuk mengetahui tempat pemeriksaan
No Rekam Medik : untuk memastikan data benar dan tidak tertukar.

I. Pengumpulan Data Dasar


Pada langkah pertama ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dan
lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien. Untuk
memperoleh data dilakukan dengan cara anamnesa (identitas, keluhan, riwayat
kesehatan, dll), pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan, pemeriksaan
khusus dan pemeriksaan penunjang (Mangkuji et al., 2012).
A. Data Subjektif
Data subjektif berhubungan dengan masalah dari sudut pandang klien.
Ekspresi klien mengenai kekhawatiran dan keluhannya yang akan dicatat
sebagai kutipan langsung atau ringkasan yang akan berhubungan langsung
dengan diagnosis. Sumber data pengkajian dapat berasal dari anamnesa
klien, keluarga dan orang terdekat, anggota tim perawatan kesehatan, catatan
medis dan catatan lainnya. Data subjektif ini nantinya akan menguatkan
diagnosis yang akan disusun (Kemenkes RI, 2017).
1) Identitas
a. Nama : Nama digunakan sebagai identitas, agar bidan dapat memanggil
nama pasien sehingga terbangun hubungan yang akrab antara pasien
dan bidan. Dalam pendokumentasian, nama ditulis dalam bentuk inisial
(Sulistyawati, 2014).
b. Umur : Usia reproduktif dari seorang wanita adalah 20 – 35 tahun. Usia
reproduktif ini merupakan periode yang paling aman untuk hamil dan
melahirkan karena pada usia tersebut risiko terjadinya komplikasi selama
kehamilan lebih rendah. Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun
disebut juga sebagai usia risiko tinggi untuk mengalami komplikasi
selama kehamilan. Pada usia< 20 tahun, ukuran uterus belum mencapai
ukuran yang normal untuk kehamilan, sehingga kemungkinan terjadinya
gangguan dalam kehamilan seperti preeklampsia menjadi lebih besar.
Pada usia > 35 tahun terjadi proses degeneratif yang mengakibatkan
perubahan sruktural dan fungsional yang terjadi pada pembuluh darah
perifer yang bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah,
sehingga lebih rentan mengalami preeklampsia (Denantika et al., 2015).
Usia juga dikaitkan dengan lamanya persalinan. Pada usia kurang dari
20 tahun, rahim dan panggul belum tumbuh mencapai ukuran dewasa.
Akibatnya apabila ibu hamil pada umur ini mungkin mengalami
persalinan lama atau macet, karena ukuran kepala bayi lebih besar
sehingga tidak dapat melewati panggul (Yohana, 2016). Sedangkan
pada ibu dengan usia lebih dari 35 tahun diketahui kerja organ-organ
reproduksinya sudah mulai lemah, dan tenaga ibu pun sudah mulai
berkurang, hal ini akan membuat ibu kesulitan untuk mengejan yang
pada akhirnya apabila ibu terus menerus kehilangan tenaga karena
mengejan akan terjadi partus lama (Riyanto, 2014).
c. Suku/ Bangsa : Sosial budaya yang dianut oleh klien dan keluarga dapat
mencerminkan budaya atau kepercayaan klien yang berkaitan dengan
persalinan (Sulistyawati, 2014).
d. Agama : Agama sebagai dasar untuk memberikan dukungan mental dan
spiritual terhadap klien dan keluarga sebelum dan pada saat persalinan
(Sulistyawati, 2014).
e. Pendidikan : Pendidikan terakhir yang ditempuh ibu dapat menentukan
metode yang paling tepat dalam penyampaian informasi mengenai teknik
melahirkan bayi.Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi daya tangkap
klien terhadap pemberian penjelasan yang diberikan oleh bidan
(Sulistyawati, 2014).
f. Pekerjaan : Status ekonomi seseorang mempengaruhi pencapaian
status gizinya. Hal ini dapat dikaitkan antara asupan nutrisi ibu dengan
tumbuh kembang janin dalam kandungan, yang dalam hal ini dipantau
melalui tinggi fundus uteri ibu hamil (Kemenkes RI, 2017).
g. Alamat : Bertujuan untuk mempermudah tenaga kesehatan dalam
melakukan follow up terhadap perkembangan ibu (Kemenkes RI, 2017).
2) Alasan Datang
Untuk mengetahui alasan klien berkunjung ke rumah sakit, bidan, atau
puskesmas (misalnya dirujuk dari bidan dan lain-lain)
3) Keluhan Utama : Untuk mengetahui alasan yang membuat klien ingin
diperiksa atau datang ke fasilitas kesehatan. Ibu bersalin dengan
preeklamsia biasanya mengeluh pusing yang hebat, hal ini disebabkan
karena adanya edema serebral dan hemoragik serta peningkatan susunan
saraf pusat, pandangan mata kabur yang disebabkan oleh vasospasme
arteriola dan penurunan aliran darah ke retina dan adanya tekanan pada
kapsula hepar yang dapat menimbulkan nyeri pada ulu hati (Sinclair, 2010 &
Mitayani, 2011). Selain itu informasi terkait keluhan utama yang
berhubungan dengan tanda-tanda persalinan juga perlu dikaji yang meliputi
kapan klien mulai merasa kenceng-kenceng, seberapa sering keluhan
tersebut muncul dan bagaimana intensitasnya, apakah terdapat pengeluaran
lendir darah dari kemaluan dan apakah sudah mengeluarkan cairan yang
berbeda dari berkemih dan bagaimana gerakan janin (Sulistyawati, 2014).
4) Riwayat Menstruasi : Perhitungan usia kehamilan dan taksiran persalinan
dapat dihitung berdasarkan Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT). Hanya 5%
bayi yang lahir sesuai dengan perkiraan persalinan yang diperhitungkan ini.
Lebih dari 40% bayi lahir 1-2 minggu sebelum atau sesudah tanggal
perkiraan persalinan.Kehamilan biasanya berlangsung 38-42 minggu. Pada
5% kasus kehamilan melewati batas waktu usia kehamilan (kehamilan
postterm) (Suririnah, 2008). Taksiran persalinan ditentukan dengan
menggunakan rumus Neagle:
 HPL = HPHT + 7 (hari) + 9 (bulan) + (tahun) (untuk bulan Januari-
Maret)
 HPL = HPHT + 7 (hari) - 3 (bulan) + 1 (tahun) (untuk bulan April-
Desember)
HPHT : Hari Pertama Haid Terakhir
HPL : Hari Perkiraan Lahir
5) Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Nifas yang Lalu : Untuk mengetahui
kejadian masa lalu ibu mengenai masa kehamilan, persalinan, dan masa
nifasnya. Komplikasi pada kehamilan, persalinan, dan nifas dikaji untuk
mengidentifikasi masalah potensial yang kemungkinan akan muncul pada
kehamilan, persalinan, dan nifas saat ini (Varney dkk, 2007 dalam
Kemenkes RI, 2017). Riwayat persalinan lalu seperti persalinan premature,
lahir mati, persalinan dengan tindakan, persalinan dengan berat bayi lahir
rendah, persalinan dengan induksi, persalinan dengan manual plasenta,
persalinan dengan perdarahan pascapartum serta persalinan dengan SC
juga perlu diwaspadai pada persalinan saat ini. Persalinan dengan risiko
tinggi memerlukan perhatian serius karena pertolongan akan menentukan
tinggi rendahnya kematian ibu dan neonatus (perinatal). Ibu dengan paritas
tinggi dikaitkan dengan resiko persalinan lama, hal ini disebabkan karena
uterus mengalami kekendoran pada dinding rahim (Cunningham, 2006).
Kehamilan pertama, kehamilan kembar, dan kehamilan dengan diabetes
merupakan faktor risiko terjadinya preeklampsia berat (Varney, 2007).
6) Riwayat Kehamilan Sekarang : Hal-hal yang perlu dikaji di dalamnya antara
lain berapa kali ibu sudah melakukan ANC, di mana ibu memperoleh ANC,
apakah ibu sudah mendapatkan imunisasi TT dan berapa kali
mendapatkannya, apakah ibu teratur minum tablet tambah darah, kalk dan
vitamin yang ibu peroleh setiap kali kontrol, apakah ada keluhan atau
komplikasi selama ibu hamil dan apakah ibu mempunyai kebiasaan-
kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan, merokok, minum jamu, dan alkohol
dan sebagainya, sehingga bidan dapat memantau perkembangan
kehamilannya. Pada kehamilan, pemeriksaan ANC harus lebih sering guna
untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandung
(Romauli, 2011). Menurut Yulaikah (2009), kurangnya kunjungan ANC
merupakan salah satu faktor resiko terjadinya preeklamsia (ANC < 2 kali).
7) Riwayat Kesehatan Klien : Riwayat kesehatan dapat digunakan sebagai
deteksi dini adanya penyulit saat persalinan. Perubahan fisik dan psikologi
saat bersalin melibatkan seluruh sistem dalam tubuh akan memperngaruhi
organ yang mengalami gangguan. Beberapa penyakit yang dapat dikaji
meliputi penyakit paru, diabetes, epilepsy, hati, ginjal, malaria, jantung
hipertensi, asma, diare lama, TBC atau penyakit menular seksual
(Sulistyawati, 2014). Menurut Yulianingsih (2009) penyakit anemia, diabetes
melitus, penyakit tiroid, hipertensi kronik dan penyakit ginjal pada ibu
merupakan faktor resiko terjadinya preeklamsia. Preeklamsia cenderung
terjadi pada wanita yang menderita diabetes melitus karena diabetes
merupakan penyakit yang dapat menjadi faktor pencetus terjadinya
preeklamsia. Penyakit diabetes melitus hampir 50% yang terjadi pada wanita
hamil berkembang menjadi preeklamsi. Diabetes yang terjadi sebelum
kehamilan beresiko untuk memicu terjadinya preeklampsia pada kehamilan
dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat diabetes melitus. Wanita
yang mengalami resistensi insulin sebelum kehamilan dapat terjadi
mekanisme kerusakan vaskular yang ditandai oleh tingkat inflamasi kronis,
fasilitasi aterogenik, dan proses protrombotik yang akan mempengaruhi
vaskularisasi normal dan plasentasi normal (Aulia et al., 2019).
8) Riwayat Kesehatan Keluarga : Untuk mengetahui apakah ada anggota
keluarga baik pihak suami maupun istri yang pernah mengalami penyakit
menurun seperti asma, jantung, hipertensi, diabetes melitus maupun
penyakit menular seperti TBC, hepatitis atau penyakit infeksi lain yang dapat
berpengaruh terhadap kehamilan klien atau dari anggota keluarga ada
mempunyai riwayat anak kembar. Untuk mengetahui kemungkinan adanya
pengaruh penyakit keluarga (Kemenkes RI, 2017). Riwayat preeklamsia dan
eklamsia dalam keluarga merupakan faktor resiko terjadinya preeklamsia
(Mitayani, 2009).
9) Riwayat Perkawinan : Untuk mengetahui sudah berapa lama ibu menikah,
dengan suami sekarang merupakan istri yang ke berapa, apakah anak yang
dikandungnya sah secara hukum atau anak hasil hubungan di luar nikah
karena dapat berpengaruh terhadap penerimaan ibu terhadap kehamilannya.
Hal ini juga berkaitan dengan kehadiran seorang pendamping persalinan
khususnya suami. Suami memegang peranan penting dalam memberikan
dukungan emosional dan fisik pada ibu bersalin. Kehadiran suami akan
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan dan rasa sakit yang dialami ibu
(Romauli, 2011). Selain itu ibu multipara yang mempunyai pasangan seks
baru merupakan faktor risiko terjadinya preeklamsia (Varney, 2007).
10) Pola Pemenuhan Kebutuhan Sehari-Hari
a. Pola Nutrisi : Mengetahui kebutuhan nutrisi terpenuhi atau tidak selama
masa persalinan dan sebelum persalinan yang berpengaruh pada proses
persalinan ibu, untuk mengetahui kapan ibu makan terakhir sebelum
menjalani proses persalinan. Data ini penting untuk mengetahui ibu
mendapatkan asupan gizi dan cairan yang cukup. Pemberian makan dan
cairan selama persalinan merupakan hal yang tepat, karena memberikan
lebih banyak energi dan mencegah dehidrasi (Diana, 2017). Pada
pertengahan sampai akhir kala 1 biasanya klien akan sangat membutuhkan
cairan, bukan makanan. Disamping klien sudah tidak berselera untuk
makan karena rasa sakit akibat his, juga karena pengeluaran keringat yang
bertambah sehingga membutuhkan asupan cairan yang lebih banyak
(Sulistyawati, 2014).
b. Pola Eliminasi : Untuk melihat frekuensi dan konsistensi feses ibu serta
melihat frekuensi BAK, pada ibu dengan preeklamsia berat biasanya terjadi
oligouria (jumlah urin <500 cc/2 jam ) (Marmi et al., 2011). Selama proses
persalinan kandung kemih harus dikosongkan setiap 2 jam, karena
kandung kemih yang penuh akan menghambat penurunan bagian
terbawah janin. Sedangkan rektum yang penuh juga akan mengganggu
penurunan bagian terbawah janin. Namun bila ibu merasakan ingin BAB,
bidan harus memastikan kemungkinan adanya tanda dan gejala kala II
(Walyani & Purwoastuti, 2015).
c. Pola Istirahat : Kebutuhan istirahat ibu selama proses persalinan sangat
diperlukan untuk mempersiapkan energi menghadapi proses
persalinannya, hal ini akan lebih penting jika proses persalinannya
mengalami pemanjangan waktu pada kala I. Data yang perlu ditanyakan
adalah kapan terakhir tidur dan berapa lama (Sulistyawati & Nugraheny,
2010).
d. Pola Aktivitas : Aktivitas dapat memberikan gambaran tentang seberapa
berat aktivitas yang biasa dilakukan klien. Jika di akhir kehamilan klien
melakukan aktivitas yang terlalu berat dikhawatirkan klien akan merasa
kelelahan sampai akhirnya dapat menimbulkan penyulit saat bersalin
(Sulistyawati, 2014). Selain itu pada ibu dengan preeklamsia apabila terlalu
lelah maka akan dapat memperburuk keadaannya.
e. Psikososial : Menilai respon ibu dan keluarga terhadap kehamilan dan
mengkaji ketaatan ibu dalam beribadah serta budaya yang ada di
lingkungan masyarakat tentang persalinan. Psikologi ibu yang menderita
preeklamsia berada dalam kondisi labil dan mudah marah, ibu merasa
khawatir akan keadaan dirinya dan keadaan janin dalam kandungannya,
ibu takut jika anaknya nanti lahir cacat atau meninggal dunia, sehingga ia
takut untuk melahirkan (Mitayani, 2011).
B. Data Objektif
Setelah data subjektif didapatkan, untuk melengkapi data dalam menegakkan
diagnosa, maka harus dilakukan pengkajian data objektif melalui pemeriksaan
inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi yang dilakukan secara berurutan
(Sulistyawati, 2014).
1) Pemeriksaan Umum
a. Keadaan Umum : untuk mengetahui data ini cukup dengan mengamati
keadaan pasien secara keseluruhan (Sulistyawati, 2014). Pada ibu dengan
preeklamsia biasanya keadaan umumnya cukup/lemah (Mitayani, 2011).
b. Kesadaran : bertujuan untuk menilai status kesadaran ibu. Patofisiologi
preeklamsia mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) dengan menginduksi
edema otak dan meningkatkan resistensi otak. Komplikasi meliputi nyeri
kepala, kejang, dan gangguan pembuluh darah otak. Dengan berlanjutnya
keterlibatan SSP, ibu akan mengeluh nyeri kepala dan gangguan
penglihatan atau perubahan keadaan mental dan tingkat kesadaran
(Bobak, 2014).
c. Antropometri
- Berat badan : berat badan menggambarkan kenaikan berat badan total
selama kehamilan. Sejak bulan ke 4, pertambahan BB paling sedikit 1
kg/bulan (Kemenkes RI, 2016). Kondisi obesitas merupakan salah satu
faktor resiko terjadinya preeklamsia (Sari et al., 2019).
- Tinggi badan : bila tinggi badan <145 cm, maka faktor risiko panggul
sempit, kemungkinan sulit melahirkan secara normal (Kemenkes RI,
2016).
- Lingkar lengan atas: bila < 23,5 menunjukkan ibu hamil menderita Kurang
Energi Kronis (KEK) dan berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah
(BBLR) (Kemenkes RI, 2016 dalam Buku Kesehatan Ibu dan Anak).
Menurut Apriyanti (2017) anemia dan Kekurangan Energi Kronis (KEK)
pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan
infeksi yang merupakan faktor kematian utama ibu.
d. Tanda-Tanda Vital : Pada preeklamsia berat ditemukan tekanan darah
≥160/100 mmHg (Sinklair, 2009). Pemeriksaan respirasi bertujuan untuk
menilai frekuensi pernafasan dan irama pernafasan pasien dalam batas
normal/tidak. Apabila nafas ibu pendek, kemungkinan adanya edema paru
dan ini merupakan salah satu tanda preeklamsia (Prawirohardjo, 2009).
2) Pemeriksaan Fisik
a. Muka : Mengidentifikasi adanya tanda anemis seperti pucat pada wajah
dan tanda preeklamsia atau eklamsia seperti oedem pada wajah. Anemia
merupakan salah satu faktor kurangnya kadar oksigen yang dibawa ke
uterus sehingga kontaksi tidak menjadi adekuat yang menyebabkan
terjadinya atonia uteri dan merupakan salah satu penyebab terbanyak
terjadinya perdarahan pasca persalinan (Aryani, 2017).
b. Mata : Melakukan pemeriksaan pada conjungtiva untuk menilai adakah
tanda anemia, anemia merupakan salah satu penyebab timbulnya
preeklamsia. Menilai ada tidanya ikterik pada sklera dan melihat adakah
oedema pada kelopak mata, oedema kelopak mata merupakan tanda
adanya preeklamsia pada ibu hamil. Selain itu perlu dilakukan pengkajian
terhadap pandangan mata yang kabur terhadap suatu benda untuk
mendeteksi kemungkinan terjadinya preeklamsia (Sarwono, 2006).
c. Leher : pemeriksaan leher yang dikaji meliputi bendungan vena untuk
memastikan ada/tidaknya gangguan aliran darah akibat penyakit jantung
atau aneurisma vena. Kelenjar tiroid sedikit membesar saat hamil, perlu
evaluasi tentang hipertiroid (Manuaba, 2007).
d. Payudara : Pada saat kehamilan sudah terjadi pembesaran payudara
karena pengaruh peningkatan hormon estrogen, untuk mempersiapkan
produksi ASI dan laktasi. Payudara menjadi besar ukurannya bisa
mencapai 800 gr, keras dan menghitam pada areola mammae di sekitar
puting susu, ini menandakan dimulainya proses menyusui. Menyusui bayi
segera setelah melahirkan melalui proses inisiasi menyusu dini (IMD),
walaupun ASI belum keluar lancar, namun sudah ada pengeluaran
kolostrum (Wahyuningsih, 2018).
e. Abdomen
Inspeksi: Pembesaran abdomen melintang/membujur, sesuai usia
kehamilan atau tidak, adakah bekas luka operasi, adakah linea alba dan
striae gravidarum.
Palpasi: Mengetahui TFU sesuai usia kehamilan atau tidak, apakah
kehamilan kembar atau tidak
- Leopold I : Mengetahui bagian apa yang terdapat pada fundus uteri,
menentukan TFU, dan konsistensi fundus. Pada letak bujur sungsang
kepala bulat keras dan melenting pada goyangan; pada letak kepala akan
teraba bokong pada fundus, tidak keras, tidak melenting dan tidak bulat;
pada letak lintang fundus uteri tidak diisi oleh bagian-bagian janin. Normal
tinggi fundus uteri sesuai dengan usia kehamilan. Pada fundus teraba
bagian lunak dan tidak melenting (bokong) (Diana, 2017).
- Leopold II : Leopold II berguna untuk menentukan bagian janin yang
berada di samping kanan dan kiri perut ibu. Cara pemeriksaan salah satu
sisi samping perut ibu dengan menekan sisi lainnya. Hasil pemeriksaan
berupa punggung kiri (PUKI) atau punggung kanan (PUKA), bagian
punggung teraba rata, cembung, kaku/tidak dapat digerakkan. Bagian-
bagian kecil (tangan kanan dan kiri) akan teraba kecil, bentuk/posisi tidak
jelas dan menonjol, kemungkinan teraba gerakan kaki janin secara aktif
atau pasif (Diana, 2017).
- Leopold III : Pengkajian Leopold III digunakan untuk menentukan
presentasi janin dan apakah sudah masuk pintu atas panggul (PAP) atau
belum. Teknik pemeriksaannya: pegang bagian bawah abdomen tepat di
atas simpisis pubis, di antara ibu jari dan jari-jari salah satu tangan, tekan
ibu jari dan jari-jari tangan bersamaan untuk memegang bagian presentasi
janin (Diana, 2017).
- Leopold IV : Mengetahui seberapa jauh bagian presentasi janin masuk
PAP (Diana, 2017).

Auskultasi : Pada tahap pemeriksaan Leopold II bisa juga dgunakan untuk


melakukan pemeriksaan DJJ karena letaknya antara punggung dan kepala.
Caranya yaitu kaki ibu diluruskan kemudian dengarkan DJJ selama 1
menit. Dan bandingkan dengan nadi ibu, nilai DJJ normal yaitu 120-160

x/menit (Kamariyah, 2014). DJJ ¿ 120 atau ¿ 160 merupakan tanda


fetal distress.
Untuk menaksir berat janin dengan pengukuran (TFU) tinggi fundus uteri
atau dikenal dengan rumus Johnson-Thousack yang terbagi tiga
berdasarkan penurunan kepala janin, yaitu (Diana, 2017) :
 Berat janin = (Tinggi fundus uteri – 13) x 155, bila kepala janin masih
floating
 Berat janin = (Tinggi fundus uteri – 12) x 155, bila kepala janin sudah
memasuki pintu atas panggul/H II
 Berat janin = (Tinggi fundus uteri – 11) x 155, bila kepala janin sudah
melawati H III

His : Kontraksi berawal di fundus dan berakhir ke arah serviks. Cara


pemeriksaan dengan meletakkan tangan pemeriksa di bagian fundus,
perhatikan waktu saat abdomen pertama kali berkontraksi, obeservasi lama
waktu kontraksi berlangsung dan lamanya uterus mengeras. Palpasi
dilakukan selama 10 menit untuk menghitung jumlah kontraksi yang terjadi
pada periode 10 menit (Johnson R & Taylor W, 2012).
f. Genetalia : Edema pada vulva dapat terjadi pada saat proses persalinan,
disebabkan karena ibu mengedan terlebih dahulu saat pembukaan serviks
belum lengkap dan penurunan bagian terbawah janin belum sempurna.
Varises vulva terjadi karena pelebaran pembuluh darah akibat hormon
estrogen. Bahaya varises vulva pada kehamilan dan persalinan jika pecah
dapat berakibat fatal dan dapat pula terjadi emboli udara (Widiastini, 2018).
Pemeriksaan dalam: meliputi penipisan dan pembukaan serviks; posisi
serviks; bloody show, hodge/penurunan; status ketuban; molding; letak,
presentasi, dan denominator (Varney, 2007).
g. Ekstremitas : Menilai adakah edema pada ekstremitas, edema pada kaki
dan jari tangan merupakan salah satu tanda preeklamsia. Selain itu juga
menilai adanya varises, sianosus dan refleks patella (Sarwono, 2006).
Refleks patella positif merupakan syarat dalam pemberian MgSO4
(Andriani, 2016), hilangnya refleks tendon merupakan salah satu tanda
intoksikasi MgSO4 (Sujiyatini, 2009).
3) Pemeriksaan Penunjang
Menurut Varney (2007), dalam pemeriksaan penunjang ibu hamil dengan
preeklamsia dilakukan pemeriksaan laboratorium yang meliputi pemeriksaan
proteinuria serta pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan trombosit.
Selain itu dilakukan pemeriksaan fungsi hati (SGPT/ SGOT). Pada ibu hamil
dengan preeklamsia berat dan pemeriksaan fungsi ginjal untuk mengetahui
serum kreatinin dan serum asam urat. Pemeriksaan USG lebih awal (25-28
minggu) juga diperlukan untuk menilai pertumbuhan janin serta mengetahui
kesejahteraan janin. Selain itu, menurut Amin (2016), pemeriksaan penunjang
pada kehamilan dengan preeklamsia meliputi:
1. Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah
Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk
wanita hamil adalah 12-14 gr%), hemaktrokit meningkat ( nilai rujukan 37-
43 vol%), trombosit menurun (nilai rujukan 150- 450 ribu/ mm3).
2. Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine
3. Pemeriksaan fungsi hati
Bilirubin meningkat (N = < 1 mg/dl), aspartat aminomtrasferase (AST) > 60
ul, serum Glutamat pirufat trasaminase (SGPT) meningkat ( N= 15-45
u/ml), serum glutamate oxaloacetix trasaminase (SGOT) meningkat ( N = <
31 u/l), total Protein serum menurun ( N = 6,7- 8,7 g/dl)
4. Tes kimia darah
Asam urat meningkat (N = 2,4 – 2,7 mg/dl)
5. Radiologi
a. Ultrasonografi
Ditemukan retardasi pertumbuhan janin intra uterus, pernafasn
intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban
sedikit
b. Kardiotografi
Diketahui denyut jantung janin bayi lemah.
II Interpretasi Data Dasar
Pada langkah ini identifikasi terhadap diagnosa atau masalah berdasarkan
interpretasi yangt akurat atas data-data yang telah dikumpulkan. Data dasar
yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan
diagnosa dan masalah yang spesifik. Rumasan diagnosa dan masalah
keduanya digunakan karena masalah tidak dapat didefinisikan seperti diagnosa
tetapi tetap membutuhkan penanganan. Masalah sering berkaitan dengan hal-
hal yang sedang dialami wanita yang diidentifikasi oleh bidan sesuai dengan
hasil pengkajian. Diagnosa kebidanan adalah diagnosa yang ditegakkan bidan
dalam lingkup praktik kebidanan dan memenuhi standar nomenklatur diagnosa
kebidanan (Megasari et al, 2015).
a. Diagnosa Kebidanan
- GXPXXXXX UK ……. minggu inpartu kala 1 fase laten dengan preeklamsia
berat, janin tunggal hidup intrauterin, presentasi kepala
- GX PXXXXX UK ……. minggu inpartu kala 1 fase aktif dengan preeklamsia
berat, janin tunggal hidup intrauterin, presentasi kepala
- GX PXXXXX UK ……. minggu inpartu kala 2 fase aktif dengan preeklamsia
berat, janin tunggal hidup intrauterin, presentasi kepala
- GX PXXXXX UK ……. minggu inpartu kala 3 dengan preeklamsia berat
- PXXXXX UK ……. minggu inpartu kala 4 dengan preeklamsia berat
Keterangan:
- Gravida (G) merupakan jumlah kehamilan yang pernah dialami wanita
tersebut
- Para (P) merupakan jumlah kehamilan yang berakhir dengan kelahiran bayi
atau bayi yang telah mencapai titik mampu bertahan hidup
 Angka pertama merupakan jumlah persalinan aterm (> 36 minggu
dengan berat 2500 gram ke atas)
 Angka kedua merupakan jumlah persalinan prematur (20-36 minggu
dengan berat 500 hingga 2499 gram)
 Angka Ketiga merupakan jumlah kehamilan yang berakhir dengan
aborsi (baik spontan ataupun melalui induksi) (bayi yang lahir <20
minggu atau memiliki berat kurang dari 500 gram)
 Angka keempat merupakan jumlah anak yang hingga kini masih hidup
 Angka kelima merupakan jumlah kehamilan yang menghasilkan
kembar
(Fatmawati et al, 2019 dalam Buku Pedoman Petunjuk Teknis Penulisan
Dokumentasi Asuhan Kebidanan Pendidikan Profesi Bidan).
b. Masalah
Masalah adalah hal-hal yang sedang dialami wanita yang diidentifikasi oleh
bidan sesuai dengan pengkajian, Masalah yang muncul pada ibu hamil
dengan pre-eklampsia berkaitan dengan :
- Kecemasan pasien terhadap keadaan yang dialami.
- Kecemasan tentang keadaan janin akibat penyakit yang diderita.
Hal ini bisa muncul apabila pengetahuan ibu tentang Pre-eklampsia kurang
(Salmah dkk., 2007) .
c. Kebutuhan
Kebutuhan adalah hal-hal yang di butuhkan pasien berdasarkan keadaan
dan masalahnya, sebagai contoh pada kasus Preeklamsi Berat, kebutuhan
ibu hamil dengan pre-eklampsia berdasarkan penjelasan Varney (2007)
adalah:
 Rasa nyaman, yaitu bedrest total dengan posisi tidur miring ke kiri.
 Mengobservasi tekanan darah ibu.
 Mengobservasi keseimbangan cairan.
 Motivasi untuk tetap tenang.
 Informasi tentang pre-eklampsia dan penatalaksanaannya.
III Merumuskan Diagnosis/ Masalah Potensial
Pada langkah ini mengidentifikasi masalah potensal atau diagnosa
potensial berdasarkan diagnosa/masalah yang sudah diidentifikasi. Langkah ini
membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dilakukan pencegahan. Pada
langkah ketiga ini bidan dituntut untuk mampu mengantisipasi masalah
potensial tidak hanya merumuskan masalah potensial yang akan terjadi tetapi
juga merumuskan tindakan antisipasi agar masalah atau diagnosa potensial
tidak terjadi (Megasari et al., 2015). Masalah potensial preeklamsia pada masa
kehamilan adalah terjadinya kelahiran prematur, resiko Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR), abrupsio plasenta, kematian bayi dalam rahim (KJDR)
(Bothamley, 2013). Selain itu menurut Yunianingsih (2009), pada kasus ibu
hamil dengan preeklampsia berat diagnosis potensial yang didapat adalah
kemungkinan terjadinya eklampsia atau kejang.
IV Mengidentifikasi dan Menetapkan Kebutuhan yang Memerlukan
Penanganan Segera
Langkah keempat mencerminkan kesinambungan dari proses
penaatalaksanaan kebidanan yang terjadi dalam kondisi emergensi. Pada saat
ini bidan mengidentifikasi perlunya tindakan segera, baik tindakan intervensi,
tindakan konsultasi, kolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, atau rujukan
berdasarkan kondisi klien. Setelah bidan merumuskan tindakan yang perlu
dilakukan untuk mengantisipasi diagnosa atau masalah potensial pada langkah
sebelumnya, bidan juga harus merumuskan tindakan emergency atau segera
yang harus dirumuskan untuk menyelamatkan klien. Dalam rumusan ini
tindakan segera meliputi tindakan yang dilakukan secaa mandiri, kolaborasi
atau rujukan (Yanti et al., 2015). Pada preeklampsia berat diperlukan adanya
tindakan segera agar tidak berlanjut menjadi eklampsia yaitu dengan
pemberian MgSo4 sebagai obat pemberian anti kejang (Sujiyatini, 2009).
V. Intervensi
Pada langkah ini direncanakan asuhan menyeluruh berdasarkan langkah
sebelumnya. Semua perencanaan harus berdasarkan pertimbangan yang tepat
meliputi teori baru, evidence based care serta divalidasi dengan asumsi
mengenai apa yang diinginkan dan tidak diinginkan dari klien (Sulistyawati dan
Nugraheny, 2010).
Diagnosa :
GXPXXXXX UK ……. minggu inpartu kala 1 fase laten dengan preeklamsia berat,
janin tunggal hidup intrauterin, presentasi kepala
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan kebidanan, diharapkan kondisi ibu dan janin
tetap stabil, persalinan SC dapat berjalan dengan lancar.
Kriteria hasil:
 KU baik/cukup, kesadaran komposmentis
 Tanda- tanda vital terkontrol
- TD : < 140/90 mmHg
- RR : 16 – 24 x/menit
- N : 60 – 100 x/menit
- S : 36,5 – 37,5 °C
 DJJ dalam batas normal yaitu 120- 160 kali/ menit
 Tidak terjadi kejang/eklamsia
 Telah dilakukan seksio sesarea
Intervensi
1. Jelaskan kondisi ibu berdasarkan hasil pemeriksaan
R/ Ibu berhak mengetahui kondisi kehamilannya, dan dengan menjelaskan
hasil pemeriksaan, diharapkan klien dapat mengerti tentang kondisinya dan
mempersiapkan diri terhadap resiko yang mungkin terjadi, agar segala
permasalahan yang mungkin akan timbul dapat diantisipasi.
2. Berikan penjelasan mengenai preeklamsia, kemungkinan resiko yang dapat
ditimbulkan jika tidak segera ditangani serta penanganan yang akan
dilakukan.
R/ Pemberian penjelasan mengenai preeklamsia dapat membantu ibu dan
keluarga memahami kondisinya saat ini sehingga klien maupun keluarga
dapat mengambil keputusan yang tepat berdasarkan arahan/petunjuk
penanganan dari tenaga kesehatan.
3. Kolaborasi dan konsultasi dengan dokter SPOG terkait pemberian terapi
maupun tindakan persalinan pada klien
R/ Bidan harus berkolaborasi dengan dokter dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan termasuk dalam penanganan kasus preeklamsia.
4. Minta informed consent terhadap tindakan yang akan dilakukan termasuk
tindakan sectio caesarea
R/ Informed consent penting sebagai persetujuan tindakan medik pada
pasien.
5. Berikan MgSO4 dosis rumatan sesuai dengan advice dokter
R/ Pada kasus preeklamsia berat pemberian MgSO4 bertujuan untuk
mencegah terjadinya kejang atau eklamsia. Setelah mendapatkan loading
dose MgSO4 di Puskesmas selanjutnya diberikan dosis rumatan. Cara
pemberian dosis rumatan MgSO4 adalah 6 g mgSO4 (15 ml larutan MgSO4
40%) dilarutkan kedalam 500 ml larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu
berikan secara IV dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan
diulang hingga 24 jam setelah persalinan.
6. Berikan obat nifedipine 10 mg per oral sesuai advice dokter
R/ Nifedifin merupakan obat antihipertensi yang termasuk dalam
kelompok calcium channel blocker yang berfungsi untuk menurunkan
tekanan darah pada penderita preeklamisa sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi serebrovaskuler dan kardiovaskuler. Dosis pemberian
obat nifedipine adalah 10-30 mg per oral, pemberian dosis selanjutnya dapat
dilakukan 45 menit kemudian jika diperlukan
7. Berikan obat ranitidine 150 mg, antacid (sodium citrate 0.3M 30 ml), dan
metoclopramide 10 ml
R/ Ranitidine (obat golongan histamin H2-reseptor antagonis) dan antacid
berperan dalam mengurangi volume dan keasaman lambung sebelum SC
sehingga dapat mengrangi resiko aspirasi pneumonitis, sedangkan
metoclopramide merupakan obat antiemetik yang berfungsi untuk mencegah
mual muntah selama SC. Obat-obat ini dapat diberikan minimal 2 jam
sebelum SC.
8. Ajarkan ibu teknik relaksasi dan pengaturan nafas pada saat kontraksi yaitu
dengan cara tarik nafas melalui hidung dan dikeluarkan melalui mulut
selama timbul kontrkasi.
R/ Metode relaksasi adalah salah satu metode non farmakologi yang efektif
untuk menurunkan nyeri persalinan. Mertode relaksasi dapat memperlancar
sirkulasi darah dan oksigen ke uterus sehingga mengurangi terjadinya fase
kontriksi dan iskemik pada uterus serta memberikan suplei oksigen yang
cukup ke janin.
9. Berikan dukungan moril kepada ibu
R/ Pemberian dukungan moril dapat membuat ibu lebih tenang dan optimis
dalam menghadapi persalinan.
10. Lakukan pemantauan detak jantung janin setiap 30 menit
R/ Pemantauan detak jantung janin bertujuan untuk deteksi dini kondisi fetal
distress pada janin sehingga dapat dilakukan penanganan segera.
11. Lakukan pemeriksaan tekanan darah dan tanda-tanda intoksikasi MgSO4
yang meliputi frekuensi pernafasan, refleks patella dan jumlah urin setiap 30
menit
R/ Pada pasien preeklamsia perlu dilakukan pemantauan berkala untuk
mendeteksi ada tidaknya tanda-tanda intoksikasi MgSO4 yang meliputi
refleks tendon patella negatif, distres pernafasan (frekuensi pernafasan
<16x/menit), dan oliguria (produksi urin <0,5 ml/kgBB/jam). Jika muncul
tanda-tanda intoksikasi maka pemberian MgSO4 harus segera dihentikan
dan berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%) bolus dalam 10 menit.
12. Persiapkan pasien dengan membersihkan tubuh menggunakan cairan
antiseptik dan mengganti dengan baju operasi serta persiapkan
perlengkapan untuk bayi.
R/ Membersihkan tubuh pasien dengan cairan antiseptik bertujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi.
13. Berikan antibiotik profilaksis cefazolin 2 g dosis tunggal secara IV
R/ Cefazolin merupakan sefalosporin generasi pertama dan antibiotik
profilaksis pilihan untuk SC. Rekomendasi penggunaan cefazolin sebagai
profilaksis adalah 2 g IV dosis tunggal dan diberikan 30-60 menit sebelum
pembedahan.
14. Persiapkan keperlukan dokumen untuk serah terima pasien dengan petugas
OK
R/ Serah terima pasien bertujuan untuk mencegah kesalahan operasi dan
meningatkan keselamatan pasien. Keperluan dokumen serah terima pasien
meliputi catatan rekam pasien, informed consent dan checklist berita acara
serah terima pasien.
I Implementasi
Pada langkah ini, rencana asuhan yang menyeluruh di langkah kelima
harus dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan ini dapat dilakukan
seluruhnya oleh bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan dan sebagian lagi
oleh klien, atau anggota tim kesehatan lainnya. Jika bidan tidak melakukan
sendiri, ia tetap memikul tanggungjawab untuk mengarahkan pelaksanaannya,
memastikan langkah-langkah tersebut benar terlaksana. Dalam situasi dimana
bidan berkolaborasi dengan dokter untuk menangani klien yang mengalami
komplikasi, maka keterlibatan bidan dalam manajemen asuhan bagi klien
aadalah bertanggungjawab terhadap terlaksananya rencana asuhan bersama
yang menyeluruh tersebut (Mangkuji et al, 2012).
II Evaluasi
Merupakan langkah terakhir dari asuhan kebidanan yang bertujuan untuk
menilai apakah rencana yang disusun dapat terlaksana dengan efektif
(Saifuddin, 2010). Tahap evaluasi dapat menggunakan bentuk SOAP, yaitu
sebagai berikut (Wildan & Hidayat, 2012) :
S : Data Subjektif
Berisi data dari pasien melalui anamnesa (wawancara) yang merupakan
ungkapan langsung.
O : Data Objektif
Data yang didapatkan dari hasil observasi melalui pemeriksaan fisik.
A : Analisis dan interpretasi
Berdasarkan data yang terkumpul kemudian dibuat kesimpulan yang meliputi
diagnosis, antisipasi diagnosis atau masalah potensial, serta perlu tidaknya
dilakukan tindakan segera.
P : Perencanaan
Merupakan rencana dari tindakan yang akan diberikan termasuk asuhan
mandiri, kolaborasi, tes diagnosa atau laboraturium, serta konseling untuk
tindak lanjut.
BAB IV
TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEBIDANAN PADA Ny. W USIA 33 TAHUN G1 P00000 UK 38-39


MINGGU INPARTU KALA I FASE LATEN DENGAN PREEKLAMSIA BERAT,
JANIN TUNGGAL HIDUP INTRAUTERIN DI RSIA MUTIARA BUNDA MALANG

Hari/ Tanggal Pengkajian : Sabtu, 2 Mei 2020


Waktu Pengkajian : 11.05 WIB
No Register :-
Tempat : Ruang VK RSIA Mutiara Bunda

I. Pengkajian Data
A. Data Subjektif
1. Identitas
Nama Ibu : Ny. W Nama Suami : Tn. F
Umur : 33 Tahun Umur : 30 tahun
Suku : Jawa Suku : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMK Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Swasta
Alamat :Desa Gading Kembar, RT 14, RW 05, Kecamatan Jabung
2. Alasan Datang
Ibu dirujuk dari Puskesmas Jabung atas indikasi preeklamsia berat
3. Keluhan Utama
Ibu mengatakan perut terasa kenceng-kenceng sejak pukul 07.30,
terdapat pengeluaran lendir bercampur bercak darah disertai pusing dan
sakit kepala. Keluhan pusing sudah dirasakan ibu sejak 3 hari yang lalu,
tetapi ibu tidak segera memeriksaan kondisinya ke Bidan ataupun
Puskesmas karena menganggap keluhan pusing merupakan hal wajar
selama kehamilan.
4. Riwayat Menstruasi
HPHT : 4 Agustus 2019
Siklus : teratur (29 hari)
5. Riwayat Obstetri
a. Riwayat Kehamilan Sekarang
- Riwayat ANC
TM 1 : 3 kali, keluhan mual pusing
TM 2 : 2 kali, tidak ada keluhan
TM 3 : 2 kali, tidak ada keluhan
Terapi yang didapat : pada TM 1 diberi vit B6 dan asam folat, pada TM
2 diberi tablet tambah darah, vitamin B kompleks, TM 3 diberi tablet
tambah darah, paracetamol dan kalsium.
- Gerakan Janin : mulai merasakan gerakan janin pada awal bulan
Desember 2019, gerakan janin aktif >10 kali dalam 12 jam.
- Status Imunisasi TT : TT5 (di buku KIA)
b. Riwayat Kehamilan, Persalinan, Nifas yang lalu
Hamil Persalinan Anak Nifas
Suami
No Ke Usia Penyulit Penolong Tempat Cara Penyul JK BBL/ H/M Pen Laktasi
-Ke
it PBL Umur yulit
1 1 Saat - - - - - - - - - - -
ini
6. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Ibu
Ibu tidak memiliki riwayat hipertensi dan tekanan darah selama
pemeriksaan kehamilan sebelumnya selalu dalam batas normal, tidak
pernah dan tidak sedang menderita penyakit jantung, paru, asma, ginjal,
epilepsi, diabetes mellitus, TBC, HIV, dan hepatitis
b. Riwayat Kesehatan Keluarga
Dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit menurun seperti
hipertensi, jantung, diabetes, tidak ada yang menderita penyakit menular
seperti TBC, hepatitis, HIV/AIDS, tidak ada riwayat kehamilan
ganda/kembar dan cacat lahir dalam keluarga.
7. Riwayat Sosial Budaya
Suami dan keluarga sangat senang dengan kehamilan ibu dan sangat
menanti kelahiran bayi, pengambil keputusan dalam keluarga adalah
suami, tidak ada adat istiadat yang berhubungan dengan persalinan ibu.
8. Pola Kehidupan Sehari-Hari
a. Pola Nutrisi dan Cairan
Makan nasi pukul 06.30 dan minum 1 gelas teh hangat. Setelah itu ibu
belum makan lagi.
b. Pola Eliminasi
Terakhir BAK sebelum berangkat ke Puskesmas yaitu pukul 08.00,
terakhir BAB pukul 05.00.
c. Pola Istirahat
Terakhir tidur tadi malam, dari pukul 21.00-04.00
d. Pola Kebiasaan
Ibu tidak pernah minum-minuman beralkohol, tidak merokok, tidak minum
jamu, dan tidak pernah pijet oyok pada tukang pijat.
B. Data Objektif
1. Pemeriksaan Umum
- Keadaan umum : Cukup
- Kesadaran : Komposmentis
- UK : 38-39 minggu
- HPL : 11 Mei 2020
2. Pemeriksaan Antropometri
- TB : 153 cm
- BB Sebelum Hamil : 47 kg
- IMT Sebelum Hamil : 20,07 kg/m2 (Kategori Normal)
- BB Sekarang : 60 kg
- Kenaikan BB selama kehamilan : 13 kg
3. Pemeriksaan TTV
- TD : 170/ 110 mmHg
-N : 84 x/menit
-S : 36,5 oC
- RR : 22x/ menit
4. Pemeriksaan Fisik
a. Wajah : tidak terlihat pucat, tidak terlihat cloasma gravidarum, dan
tidak ada oedema
b. Mata :simetris, konjungtiva berwarna merah muda, sclera
berwarna putih
c. Hidung : tidak ada pernafasan cuping hidung
d. Mulut & Gigi: simetris, bibir lembab, tidak ada karies gigi, tidak ada
epulis, tidak ada stomatitis
e. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar limfe dan tyroid, tidak ada
bendungan vena jugularis
f. Payudara : simetris, kedua puting susu menonjol, tidak ada benjolan
abnormal, terdapat pengeluaran kolostrum pada kedua paudara
g. Abdomen :
Inspeksi: terdapat linea nigra dan strie alba, tidak ada luka bekas
operasi, pembesaran membujur
Palpasi:
Lepold I : TFU 3 jari dibawah prosesus xifoideus, bagian
fundus teraba bulat, lunak, tidak melenting (kesan bokong)
Leopold II : bagian kanan perut ibu teraba datar, keras,
memanjang seperti papan (kesan punggung), bagian kiri ibu teraba
bagain kecil jenin (kesan ekstremitas)
Leopold III : bagian bawah janin mudah digerakkan (sudah
masuk PAP)
Leopold IV : divergen, 4/5
Mc Donalds : 30 cm
TBJ : (30-11) x 155 = 2945 gram
DJJ :132 x/menit, reguler
His : 1 x 10’ x 16”
h. Genetalia : terpasang DC, tidak ada oedema dan benjolan abnormal
pada vagina
Pemeriksaan dalam: v/v lendir darah (+), pembukaan 3 cm, efficement
25%, ketuban (+), letak kepala, UUK arah jam 2, penurunan kepala
Hodge I, tidak ada molase.
i. Anus : tidak ada hemoroid
j. Ekstremitas
Atas : terpasang infus RL pada tangan sebelah kanan,
kuku jari tangan tidak terlihat pucat, tidak ada oedema
Bawah : tidak ada varises, tidak terdapat oedema tungkai
pada kaki kanan kiri, refleks patella +/+
5. Pemeriksaan Penunjang
 Hematologi
Hb : 11 gr/dl (nilai normal : 12.0-15.6 gr/dl)
Hematokrit : 31% (nilai normal : 33-45%)
Leukosit : 9.300 U/L (nilai normal : 4.500-11.000 U/L)
Trombosit : 273.000 U/L (nilai normal : 150.000-450.000 U/L)
Eritrosit : 3,38 juta U/L (nilai normal : 4.10-5.10 juta U/L)
PT : 13,2 detik (nilai normal : 10.0-15.0 detik)
APTT : 26,9 detik (nilai normal : 20.0-40.0 detik)
Gol. darah : AB Rh +
 Kimia Darah
SGOT : 14 U/L (nilai normal : 0-35 U/L)
SGPT : 10 U/L (nilai normal : 0-45 U/L)
Albumin : 3,4 g/dl (nilai normal : 3,5- 5.0 g/dl)
Kreatinin : 0,7 mg/dl (nilai normal : 0,6-1.1 mg/dl)
Ureum : 18 mg/dl (nilai normal : <50 mg/dl)
Natrium : 139 mmol/L (nilai normal : 136-145 mmol/L)
Kalium : 3,7 mmol/L (nilai normal : 3.3-5.1 mmol/L)
GDS : 106 mg/dl (nilai normal : 60-140 mg/dl)
 Urin Rutin
Protein Urin : +2 (nilai normal : negatif)
 USG : hasil terlampir
II. Interpretasi Data Dasar
1. Diagnosa
G1 P00000 UK 38-39 minggu inpartu kala I fase laten dengan preeklamsia
berat, janin tunggal, hidup, intrauterin.
DS :
- Ini merupakan kehamilan pertama ibu, sebelumnya tidak pernah
keguguran
- HPHT : 4 Agustus 2019
- Mulai merasakan gerakan janin pada awal bulan Desember 2019
- Ibu mengatakan perut terasa kenceng-kenceng sejak pukul 07.00,
terdapat pengeluaran lendir bercampur bercak darah disertai pusing dan
sakit kepala. Keluhan pusing sudah dirasakan ibu sejak 3 hari yang lalu.
DO :
- Pemeriksaan TTV
TD : 170/ 110 mmHg
N : 84 x/menit
S : 36,5 oC
RR : 22x/ menit
- Pemeriksaan Fisik
 Wajah : tidak terlihat pucat, tidak terlihat cloasma gravidarum, dan tidak
ada oedema
 Mata :simetris, konjungtiva berwarna merah muda, sclera berwarna
putih
 Hidung : tidak ada pernafasan cuping hidung
 Mulut & Gigi: simetris, bibir lembab, tidak ada karies gigi, tidak ada epulis,
tidak ada stomatitis
 Leher : tidak ada pembesaran kelenjar limfe dan tyroid, tidak ada
bendungan vena jugularis
 Payudara : simetris, kedua puting susu menonjol, tidak ada benjolan
abnormal, terdapat pengeluaran kolostrum pada kedua paudara
 Abdomen :
Inspeksi: terdapat linea nigra dan strie alba, tidak ada luka bekas operasi,
pembesaran membujur
Palpasi :
Lepold I : TFU 3 jari dibawah prosesus xifoideus, bagian
fundus teraba bulat, lunak, tidak melenting (kesan bokong)
Leopold II : bagian kanan perut ibu teraba datar, keras,
memanjang seperti papan (kesan punggung), bagian kiri ibu teraba
bagain kecil jenin (kesan ekstremitas)
Leopold III : bagian bawah janin mudah digerakkan (sudah
masuk PAP)
Leopold IV : divergen, 4/5
Mc Donalds : 30 cm
TBJ : (30-11) x 155 = 2945 gram
DJJ :132 x/menit, reguler
His : 1 x 10’ x 16”
 Genetalia : terpasang DC, tidak ada oedema dan benjolan abnormal pada
vagina
Pemeriksaan dalam: v/v lendir darah (+), pembukaan 3 cm, efficement
25%, ketuban (+), letak kepala, UUK arah jam 2, penurunan kepala
Hodge I, tidak ada molase
 Anus : tidak ada hemoroid
 Ekstremitas
Atas : terpasang infus RL di tangan sebelah kanan, kuku jari
tangan tidak terlihat pucat, tidak ada oedema
Bawah : tidak ada varises, tidak terdapat oedema tungkai pada
kaki kanan kiri, refleks patella +/+
- Pemeriksaan Penunjang
 Hematologi
Hb : 11 gr/dl (nilai normal : 12.0-15.6 gr/dl)
Hematokrit : 31% (nilai normal : 33-45%)
Leukosit : 9.300 U/L (nilai normal : 4.500-11.000 U/L)
Trombosit : 273.000 U/L (nilai normal : 150.000-450.000 U/L)
Eritrosit : 3,38 juta U/L (nilai normal : 4.10-5.10 juta U/L)
PT : 13,2 detik (nilai normal : 10.0-15.0 detik)
APTT : 26,9 detik (nilai normal : 20.0-40.0 detik)
Gol. darah : AB Rh +
 Kimia Darah
SGOT : 14 U/L (nilai normal : 0-35 U/L)
SGPT : 10 U/L (nilai normal : 0-45 U/L)
Albumin : 3,4 g/dl (nilai normal : 3,5- 5.0 g/dl)
Kreatinin : 0,7 mg/dl (nilai normal : 0,6-1.1 mg/dl)
Ureum : 18 mg/dl (nilai normal : <50 mg/dl)
Natrium : 139 mmol/L (nilai normal : 136-145 mmol/L)
Kalium : 3,7 mmol/L (nilai normal : 3.3-5.1 mmol/L)
GDS : 106 mg/dl (nilai normal : 60-140 mg/dl)
 Urin Rutin
Protein Urin : +2 (nilai normal : negatif)
 USG : hasil terlampir
2. Masalah
Rasa cemas dan takut ibu terhadap kondisinya serta janin
3. Kebutuhan
Pemberian dukungan moril
III. Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial
Potensial terjadi eklamsia, sindrom HELLP, dan fetal distress
IV Identifikasi Kebutuhan Segera
Kolaborasi dengan dokter SPOG terkait pemberian terapi dan tindakan
persalinan
V Intervensi
Diagnosa :
G1 P00000 UK 38-39 minggu inpartu kala I fase laten dengan preeklamsia berat
janin tunggal, hidup, intrauterin.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan kebidanan, diharapkan kondisi ibu dan
janin tetap stabil, persalinan SC dapat berjalan dengan lancar.
Kriteria hasil:
 KU baik/cukup, kesadaran komposmentis
 Tanda- tanda vital terkontrol
- TD : < 140/90 mmHg
- RR : 16 – 24 x/menit
- N : 60 – 100 x/menit
- S : 36,5 – 37,5 °C
 DJJ dalam batas normal yaitu 120- 160 kali/ menit
 Tidak terjadi kejang/eklamsia
 Telah dilakukan seksio sesarea
Intervensi
1. Jelaskan kondisi ibu berdasarkan hasil pemeriksaan
R/ Ibu berhak mengetahui kondisi kehamilannya, dan dengan menjelaskan
hasil pemeriksaan, diharapkan klien dapat mengerti tentang kondisinya dan
mempersiapkan diri terhadap resiko yang mungkin terjadi, agar segala
permasalahan yang mungkin akan timbul dapat diantisipasi.
2. Berikan penjelasan mengenai preeklamsia, kemungkinan resiko yang dapat
ditimbulkan jika tidak segera ditangani serta penanganan yang akan
dilakukan.
R/ Pemberian penjelasan mengenai preeklamsia dapat membantu ibu dan
keluarga memahami kondisinya saat ini sehingga klien maupun keluarga
dapat mengambil keputusan yang tepat berdasarkan arahan/petunjuk
penanganan dari tenaga kesehatan.
3. Kolaborasi dan konsultasi dengan dokter SPOG terkait pemberian terapi
maupun tindakan persalinan pada klien
R/ Bidan harus berkolaborasi dengan dokter dalam melakukan tindakan
kegawatdaruratan termasuk dalam penanganan kasus preeklamsia.
4. Minta informed consent terhadap tindakan yang akan dilakukan termasuk
tindakan sectio caesarea
R/ Informed consent penting sebagai persetujuan tindakan medik pada
pasien.
5. Berikan MgSO4 dosis rumatan sesuai dengan advice dokter
R/ Pada kasus preeklamsia berat pemberian MgSO4 bertujuan untuk
mencegah terjadinya kejang atau eklamsia. Setelah mendapatkan loading
dose MgSO4 di Puskesmas selanjutnya diberikan dosis rumatan. Cara
pemberian dosis rumatan MgSO4 adalah 6 g mgSO4 (15 ml larutan MgSO4
40%) dilarutkan kedalam 500 ml larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu
berikan secara IV dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan
diulang hingga 24 jam setelah persalinan.
6. Berikan obat nifedipine 10 mg per oral sesuai advice dokter
R/ Nifedifin merupakan obat antihipertensi yang termasuk dalam
kelompok calcium channel blocker yang berfungsi untuk menurunkan
tekanan darah pada penderita preeklamisa sehingga dapat mencegah
terjadinya komplikasi serebrovaskuler dan kardiovaskuler. Dosis pemberian
obat nifedipine adalah 10-30 mg per oral, pemberian dosis selanjutnya dapat
dilakukan 45 menit kemudian jika diperlukan
7. Berikan obat ranitidine 150 mg, antacid (sodium citrate 0.3M 30 ml), dan
metoclopramide 10 ml
R/ Ranitidine (obat golongan histamin H2-reseptor antagonis) dan antacid
berperan dalam mengurangi volume dan keasaman lambung sebelum SC
sehingga dapat mengrangi resiko aspirasi pneumonitis, sedangkan
metoclopramide merupakan obat antiemetik yang berfungsi untuk mencegah
mual muntah selama SC. Obat-obat ini dapat diberikan minimal 2 jam
sebelum SC.
8. Ajarkan ibu teknik relaksasi dan pengaturan nafas pada saat kontraksi yaitu
dengan cara tarik nafas melalui hidung dan dikeluarkan melalui mulut
selama timbul kontrkasi.
R/ Metode relaksasi adalah salah satu metode non farmakologi yang efektif
untuk menurunkan nyeri persalinan. Mertode relaksasi dapat memperlancar
sirkulasi darah dan oksigen ke uterus sehingga mengurangi terjadinya fase
kontriksi dan iskemik pada uterus serta memberikan suplei oksigen yang
cukup ke janin.
9. Berikan dukungan moril kepada ibu
R/ Pemberian dukungan moril dapat membuat ibu lebih tenang dan optimis
dalam menghadapi persalinan.
10. Lakukan pemantauan detak jantung janin setiap 30 menit
R/ Pemantauan detak jantung janin bertujuan untuk deteksi dini kondisi fetal
distress pada janin sehingga dapat dilakukan penanganan segera.
11. Lakukan pemeriksaan tekanan darah dan tanda-tanda intoksikasi MgSO4
yang meliputi frekuensi pernafasan, refleks patella dan jumlah urin setiap 30
menit
R/ Pada pasien preeklamsia perlu dilakukan pemantauan berkala untuk
mendeteksi ada tidaknya tanda-tanda intoksikasi MgSO4 yang meliputi
refleks tendon patella negatif, distres pernafasan (frekuensi pernafasan
<16x/menit), dan oliguria (produksi urin <0,5 ml/kgBB/jam). Jika muncul
tanda-tanda intoksikasi maka pemberian MgSO4 harus segera dihentikan
dan berikan Ca glukonas 1 g IV (10 ml larutan 10%) bolus dalam 10 menit.
12. Persiapkan pasien dengan membersihkan tubuh menggunakan cairan
antiseptik dan mengganti dengan baju operasi serta persiapkan
perlengkapan untuk bayi.
R/ Membersihkan tubuh pasien dengan cairan antiseptik bertujuan untuk
mencegah terjadinya infeksi.
13. Berikan antibiotik profilaksis cefazolin 2 g dosis tunggal secara IV
R/ Cefazolin merupakan sefalosporin generasi pertama dan antibiotik
profilaksis pilihan untuk SC. Rekomendasi penggunaan cefazolin sebagai
profilaksis adalah 2 g IV dosis tunggal dan diberikan 30-60 menit sebelum
pembedahan.
14. Persiapkan keperlukan dokumen untuk serah terima pasien dengan petugas
OK
R/ Serah terima pasien bertujuan untuk mencegah kesalahan operasi dan
meningatkan keselamatan pasien. Keperluan dokumen serah terima pasien
meliputi catatan rekam pasien, informed consent dan checklist berita acara
serah terima pasien.
VI. Implementasi
1. Menjelaskan kondisi ibu berdasarkan hasil pemeriksaan
2. Memberikan penjelasan mengenai preeklamsia, kemungkinan resiko yang
dapat ditimbulkan jika tidak segera ditangani serta penanganan yang akan
dilakukan.
3. Melakukan kolaborasi dan konsultasi dengan dokter SPOG terkait
pemberian terapi maupun tindakan persalinan pada klien. Advice dokter :
berikan nifedipine 10-30 mg per oral dan dapat diulang 45 menit kemudian
jika TD ≥160/110 mmHg, berikan MgSO4 dosis rumatan yaitu 6 g mgSO4
(15 ml larutan MgSO4 40%) dilarutkan kedalam 500 ml larutan RL dan
berikan secara IV dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, diulang
hingga 24 jam setelah persalinan, serta akan dilakukan operasi sesar pukul
14.00 WIB.
4. Meminta informed consent terhadap tindakan yang akan dilakukan termasuk
tindakan sectio caesarea kepada klien
5. Memberikan dosis rumatan MgSO4 6 gr sesuai dengan advice dokter
6. Memberikan obat nifedipine 10 mg per oral sesuai advice dokter
7. Memberikan obat ranitidine 150 mg, antacid (sodium citrate 0.3M 30 ml), dan
metoclopramide 10 ml
8. Mengajarkan ibu teknik relaksasi dan pengaturan nafas pada saat kontraksi
yaitu dengan cara tarik nafas melalui hidung dan dikeluarkan melalui mulut
selama timbul kontrkasi.
9. Memberikan dukungan moril kepada ibu
10. Melakukan pemantauan detak jantung janin setiap 30 menit
15. Melakukan pemeriksaan tekanan darah dan tanda-tanda intoksikasi MgSO4
yang meliputi frekuensi pernafasan, refleks patella dan jumlah urin setiap 30
menit
11. Mempersiapkan pasien dengan membersihkan tubuh menggunakan cairan
antiseptik dan mengganti dengan baju operasi serta mempersiapkan
perlengkapan untuk bayi.
12. Memberikan antibiotik profilaksis cefazolin 2 g dosis tunggal secara IV
13. Mempersiapkan semua keperluan dokumen untuk serah terima pasien
dengan petugas OK.
VII Evaluasi
Tanggal : 2 Mei 2020 Pukul : 13.10 WIB

S : Ibu mengatakan kepalanya masih terasa pusing, mules yang dirasakan


semakin bertambah
O : - Keadaan Umum : Cukup
- Kesadaran : Komposmentis
- TTV
TD : 160/ 110 mmHg
N : 82 x/menit
S : 36,7 oC
RR : 22x/ menit
- DJJ :144 x/menit, reguler
- His : 2 x 10’ x 28”
- Refleks patella : +/+
- Volume urin : 200 cc
A : G1 P00000 UK 38-39 minggu inpartu kala I fase laten dengan preeklamsia
berat, janin tunggal, hidup, intrauterin.
P :
1. Memastikan semua keperluan dokumen serah terima pasien sudah
lengkap yang meliputi rekam medik pasien, informed consent,
checklist berita acara serah terima pasien.
2. Melakukan mobilisasi pasien ke ruang OK dan serah terima pasien
dengan petugas OK pukul 13.30 WIB.
Catatan Perkembangan 1
Tanggal : 2 Mei 2020 Pukul : 20.00 WIB
Tempat : Ruang HCU

S : Ibu mengatakan merasa nyeri pada daerah bekas operasi


O : - Keadaan Umum : Cukup
- Kesadaran : Komposmentis
- TTV
TD : 160/ 110 mmHg
N : 82 x/menit
S : 36,7 oC
RR : 22x/ menit
- Mata : conjungtiva sedikit pucat
- Wajah : tidak terdapat oedema
- Payudara : kolostrum sudah keluar sedikit
- Abdomen : bekas luka operasi tertutup dengan baik, kontraksi
uterus baik, TFU 2 jari dibawah pusat
- Genetalia : perdarahan ¾ pembalut, lokhea rubra, terpasang
kateter
- Ekstremitas
Atas : tidak ada oedema, terpasang infus RL regimen
MgSO4 dengan tetesan 28 tetes/menit
Bawah : tidak terdapat oedema pada kedua tungkai,
refleks patella +/+
- Volume urin : 300 cc
A : P10010 post SC 6 jam atas indikasi preeklamsia berat
P :
1. Menjelaskan kondisi ibu berdasarkan hasil pemeriksaan
E/ Ibu mengetahui kondisinya saat ini
2. Melanjutkan pemberian antikonvulsan MgSO4 hingga 24 postpartum
sesuai advice dokter
E/ Dosis rumatan MgSO4 ke-2 telah diberikan
3. Menjelaskan kepada ibu manfaat mobilisasi dini dan membantu ibu untuk
melakukan mobilisasi dini dengan menggerakkan lengan, tangan,
menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki, mengangkat
tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser kaki.
Kemudian dilanjutkan dengan miring kanan kiri. Dalam 6-10 jam ibu
diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan.
E/ Ibu dapat melakukan gerakan miring kanan dan kiri
4. Menganjurkan ibu untuk makan dan minum dengan bantuan suami karena
sudah diperbolehkan
E/ Suami bersedia untuk membantu memenuhi kebutuhan nutrisi ibu
5. Memberikan obat nifedipine 4x10 mg per oral sesuai advice dokter
E/ Telah diberikan obat nifedipin 10 mg 1 tablet
BAB V
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas tentang kesesuaian antara teori dan tinjauan
kasus pada pelaksananan manajemen asuhan kebidanan Nn. W Usia 33 Tahun
G1 P00000 UK 38-39 Minggu Inpartu ala I Fase Laten dengan Preeklamsia Berat,
Janin Tunggal, Hidup, Intrauterin Di RSIA Mutiara Bunda Malang. Untuk
memudahkan pembahasan maka penulis akan menguraikan sebagai berikut.

5.1 Pengkajian Data Dasar


Pada langkah pertama ini dilakukan pengumpulan semua informasi yang
akurat dan lengkap dari berbagai sumber yang berkaitan dengan kondisi klien.
Teknik pengumpulan data ada 3 yaitu observasi (melalui panca indra),
wawancara (tanya jawab), dan pemeriksaan (menggunakan instrumen). Data
diklasifikasikan menjadi dua, yaitu data subjektif dan data objektif (Sari, 2012).
Data subjektif diperoleh berdasarkan hasil anamnesa atau wawancara,
sedangkan data objektif diperoleh dari hasil pemeriksaan umum, pemeriksaan
fisik, dan data penunjang yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboraturium.
Dalam tahap pengumpulan data dasar, penulis tidak menemukan adanya
hambatan, hal ini dikarenakan pada saat pengumpulan data pada Ny. W maupun
keluarga dapat memberikan informasi secara terbuka sehingga dapat
memudahkan penulis untuk memperoleh data-data yang diinginkan sesuai
dengan permasalahan yang diangkat.
Pada studi kasus Ny. W hasil anamnesa didapatkan ibu berusia 33 tahun,
dirujuk dari Puskesmas atas indikasi preeklamsia berat; keluhan utama ibu
adalah perut terasa kenceng-kenceng sejak pukul 07.30, terdapat pengeluaran
lendir bercampur bercak darah disertai pusing dan sakit kepala. Keluhan pusing
sudah dirasakan ibu sejak 3 hari yang lalu; HPHT tanggal 4 Agustus 2019, ini
merupakan kehamilan pertama ibu dan sebelumnya tidak pernah keguguran; ibu
tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi, jantung, paru, asma, diabetes, ginjal,
TBC, HIV, dan hepatitis; dalam keluarga tidak ada yang menderita penyakit
menurun seperti hipertensi, jantung, diabetes, tidak ada riwayat penyakit menular
seperti TBC, HIV, hepatitis, tidak ada kelahiran kembar dan cacat lahir; ibu
menikah 1 kali secara sah; belum pernah menggunakan KB sebelumnya; dan
pengambil keputusan dalam keluarga adalah suami. Selanjutnya dilakukan
pengumpulan data objektif melalui pemeriksaan umum, pemeriksaan fisik
terfokus dan pemeriksaan penunjang melalui pemeriksaan laboraturium. Hasil
pemeriksaan didapatkan TD 170/110 mmHg, S 36,5 oC, N 84x/menit, RR
22x/menit, IMT 20,07 kg/m2 (kategori normal), pada pemeriksaan palpasi
ekstremitas tidak didapatkan oedema pada kedua tungkai dan refleks patella
positif, dari pemeriksaan penunjang didapatkan proteinurin +2. Jika ditinjau dari
studi kasus Ny. W faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya preeklamsia
adalah primipara dan usia >30 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Virma et al (2017) dalam jurnal “Risk Factor
Assessment for Pre-eclampsia: A Case Control Study” pada 180 ibu bersalin
yang sebelumnya didiagnosis preeklamsia dan 180 ibu bersalin sebagai
kelompok kontrol, didapatkan bahwa usia >30 tahun, preobese (BMI = 25-29,9),
obesitas (BMI ≥30 Kg/m2), primipara, usia menarche 12 tahun dan tempat tinggal
pedesaan merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan preeklamsia.
Wanita dengan usia >30 tahun beresiko 2.87 kali untuk mengalami preeklamsia
dibandingkan dengan wanita berusia <30 tahun. Peningkatan usia dikaitkan
dengan peningakatan reaksi villi yang dapat memicu terjadinya preeklamsia.
Selain itu ibu primipara memiliki resiko 4.5 kali untuk mengalami preeklamsia
dibandingkan multipara. Pada ibu primipara (kehamilan pertama) terjadi invasi
trofoblas awal sehingga adaya kegagalan invasi trofoblas akan menyebabkan
maladaptasi arteri spiralis yang merupakan faktor penyebab terjadinya
preeklamsia.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Das et al (2019) dalam jurnal “Incidence
and Risk Factors of Pre-Eclampsia in the Paropakar Maternity and Women’s
Hospital, Nepal: A Retrospective Study” pada 4820 wanita bersalin menunjukkan
bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklamsia meliputi usia ibu >35
tahun, wanita primipara, usia kehamilan <37 minggu, kehamilan kembar,
diabetes getasional, hipertensi kronis, dan infeksi saluran kemih. Wanita
primipara beresiko 2 kali lipat untuk mengalami preeklamsia dibandingkan
multipara. Hal ini dikaitkan dengan adanya paparan vili korionik dan
ketidakmampuan imunologis ibu yang dapat meningkatkan resiko preeklamsia.
Preeklampsia berat merupakan kondisi dengan tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24
jam atau proteinuria ≥+2 (Prawirohardjo, 2014). Preeklampsia berat dibagi atas 2
kategori yaitu, preeklampsia berat tanpa impending eclampsia, dan preeklampsia
berat dengan impending eclampsia dengan gejala-gejala impending seperti nyeri
kepala, mata kabur, mual atau muntah, nyeri epigastrum dan nyeri kuadran
kanan atas abdomen (Setiawati, 2013). Secara garis besar tidak ditemukan
adanya kesenjanganan antara teori dengan penerapan manajemen asuhan
kebidanan.
5.2 Interpretasi Data Dasar
Langkah ini dilakukan dengan mengidentifikasi data secara benar terhadap
diagnosa atau masalah kebutuhan klien. Data dasar yang sudah dikumpulkan
diinterpretasikan sehingga ditemukan masalah atau diagnosa spesifik. Kata
masalah dan diagnosa keduanya digunakan karena beberapa masalah tidak
dapat diselesaikan seperti diagnosa, namun membutuhkan penanganan yang
dituangkan kedalam sebuah rencana asuhan terhadap klien. Berdasarkan
pendekatan asuhan kebidanan yang di dukung dan ditunjang oleh beberapa data
baik data subjektif maupun objektif, maka penulis merumuskan diagnosa pada
Ny. W adalah G1 P00000 UK 38-39 Minggu Inpartu KalaI Fase Laten dengan
Preeklamsia Berat, Janin Tunggal, Hidup, Intrauterin. Penegakan diagnosa ini
didasarkan pada data subjektif maupun data objektif yang diperoleh pada
pengakajian sebelumnya.
Gravida merupakan jumlah kehamilan yang pernah dialami wanita,
sedangkan paritas merupakan jumlah kehamilan yang berakhir dengan kelahiran
bayi yang mampu bertahan hidup. Penegakan diagnosa G1 P00000 didasarkan
pada data subjektif dimana Ny. W menyatakan ini merupakan kehamilan
pertama, sebelumnya tidak pernah mengalami keguguran dan dari data objektif
didapatkan pada pemeriksaan abdomen tampak linea nigra dan striae alba,
pembesaran perut sesuai usia kehamilan. Menurut Manuaba (2013), keluarnya
Melanochyte Stimulating Hormone dari hipofisis anterior menyebabkan
hiperpigmentasi kulit di sekitar pipi (kloasma gravidarum) dan dinding perut
(striae livide pada primigravida dan striae alba pada multigravida).
Penegakan diagnosa UK 38-39 minggu diperoleh berdasarkan data subjektif
dimana ibu mengatakan HPHT tanggal 4 Agustus 2019 dan dari data objektif
didapatkan TFU 3 jari dibawah prosesus xifoideus (Mc Donalds 30 cm). Menurut
Khairoh et al (2019), TFU pada usia kehamilan 38 minggu adalah 2 jari (4 cm)
dibawah prosesus xifoideus, hal ini menunjukkan adanya perbedaan antara teori
dengan kasus. Perbedaan ini dapat disebakan oleh turunnya bagian terendah
janin karena adanya kontraksi persalinan. Inpartu kala I fase laten ditegakkan
berdasarakan data subjektif dimana ibu mengatakan perut terasa kenceng-
kenceng sejak pukul 07.30, terdapat pengeluaran lendir bercampur bercak darah
dan dari data objektif didapatkan pembukaan serviks 4 cm, efficement 25%.
Menurut Kurniarum (2016), kala I dibagi menjadi 2 yaitu fase laten yang dimulai
sejak awal kontraksi hingga pembukaan 3 cm dan fase aktif yang dimulai dari
pembukaan 4 cm hingga 10 cm.
Diagnosis preeklamsia berat didasarkan pada gejala klinis yang dialami klien
dan dari hasil pemeriksaan fisik maupun penunjang. Pada proses pengkajian
data, Ny. W mengatakan mengalami pusing dan sakit kepala, keluhan pusing
sudah dialami klien sejak 3 hari yang lalu akan tetapi klien tidak segera
memeriksakan kondisinya ke Bidan ataupun Puskesmas karena menganggap
keluhan pusing merupakan kondisi yang normal selama kehamilan. Hasil
pemeriksaaan didapatkan TD 170/110 mmHg, S 36,5 oC, N 84x/menit, RR
22x/menit, palpasi ekstremitas tidak terdapat oedema pada kedua tungkai dan
pada pemeriksaan laboraturium diperoleh proteinurin +2. Dalam Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan (2013)
dijelaskan bahwa diagnosis pada preeklampsia berat meliputi tekanan darah
>160/110 mmHg pada usia kehamilan ≥20 minggu, tes celup urin menunjukkan
proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan protein kuantitatif menunjukkan hasil ≥5 g/24
jam atau disertai keterlibatan organ lain yaitu trombositopenia (<100.00 sel/uL),
hemolisis mikroangiopati, nyeri abdomen kuadran kanan atas, sakit kepala,
skotoma penglihatan, pertumbuhan janin terhambat dan oligohidramnion, edema
paru, gagal ginjal dan oliguria (<500ml/24 jam), dan kreatinin diatas 1,2 mg/dl.
Selain itu menurut Peres (2018) dalam jurnal “Pre-Eclampsia and Eclampsia: An
Update on the Pharmacological Treatment Applied in Portugal” menyatakan
bahwa pre-eklampsia berat ditandai dengan hipertensi berat (SBP> 160 mmHg
atau DBP> 110 mmHg), proteinuria urin ≥2 g/24 jam, atau dijumpai adanya tanda
dan gejala kerusakan organ. Wanita dengan pre-eklampsia berat dapat
mengalami sakit kepala, gangguan penglihatan (termasuk kebutaan), nyeri
epigastrium, mual dan muntah, insufisiensi hati dan ginjal, serta edema paru.
Janin didiagnosa tunggal karena pembesaran perut sesuai dengan usia
kehamilan, teraba dua bagian besar pada lokasi yang berbeda, bagian kepala
pada kuadran perut bagian bawah, bokong berada pada kuadran fundus dan
pada saat pemeriksaan auskultasi denyut jantung janin yang terdengar hanya 1
dengan punggung terletak dibagian kanan. Hasil pemeriksaan auskultasi
didapatkan DJJ 132x/menit regular, hal inilah yang mendasi penegakan diagnosa
janin hidup. Selain itu penegakan diagnosa intrauterin didasarkan pada data
objektif dimana saat dilakukan pemeriksaan palpasi Leopold bagian besar janin
dapat diraba dan ibu tidak merasa nyeri saat janin bergerak, teraba bagian-
bagian janin dalam uterus, serta perkembangan rahim sesuai dengan usia
kehamilan. Berdasakan uraian tersebut, secara garis besar tidak didapatkan
adanya kesenjangan antara teori dengan praktik.
5.3 Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial
Pada langkah ini, dilakukan identifikasi masalah atau diagnosis potensial lain
berdasarkan rangkaian diagnosis dan masalah yang sudah teridentifikasi.
Berdasarkan tinjauan teori manajemen kebidanan, mengidentifikasi adanya
masalah yang akan terjadi sangat diperlukan, sehingga bisa segera dilakukan
penanganan. Menurut Nugroho (2011), masalah potensial yang dapat terjadi
pada kasus ibu bersalin dengan preeklamsia berat adalah eklamsia, solusio
plasenta, hipofibrinogenemia, hemolisis, perdarahan otak, kelainan mata, edema
paru, nekrosis hati, sindrom HELLP, dan kelainan ginjal. Diagnosis/ masalah
potensial yang dapat diidentifikasikan pada studi kasus Ny. W adalah potensial
terjadinya eklamsia, sindrom HELLP, dan fetal distress.
Menurut Kemenkes RI (2013), eklamsia merupakan kejang umum dan/koma
dengan tanda gejala preeklamsia. Pada kasus Ny. W tidak ditemukan adanya
tanda gejala eklamsia. Sindrom HELLP ditandai dengan timbulnya hemolisis,
peningkatan kadar enzim hepar yang menandakan kerusakan hepar, dan
trombositopenia (Chapman & Charles, 2013). Pada hasil pemeriksaan
laboraturium Ny.W tidak ditemukan adanya kelainan jumlah trombosit dimana
jumlah trombosit masih dalam batas normal yaitu 273.000 U/L (nilai normal :
150.000-450.000 U/L) dan tidak ditemukan adanya kelainan faal hati yang dapat
dilihat dari SGOT = 14 U/L (nilai normal : 0-35 U/L) dan SGPT = 10 U/L (nilai
normal : 0-45 U/L). Menurut Posner et al (2013) fetal distress atau gawat janin
adalah respon klinis janin terhadap stress yang meliputi hipoksia dan atau
asidosis yang dtandai dengan denyut jantung janin <100x/menit atau
>160x/menit. Selama observasi persalinan pada Ny. W tidak ditemukan adanya
tanda fetal distress dimana DJJ selalu dalam batas normal. Secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa pada studi kasus Ny. W tidak ditemukan adanya
masalah potensial akibat preeklamsia berat.
5.4 Identifikasi Kebutuhan Segera, Kolaborasi, dan Rujukan
Langkah ini mencerminkan kesinambungan dari proses manajemen
kebidanan yang terjadi dalam kondisi darurat. Kondisi darurat merupakan kondisi
yang membutuhkan tindakan dengan segera. Berdasarkan studi kasus pada Ny.
W di lahan dapat diketahui bahwa tindakan segera yang perlu dilakukan adalah
kolaborasi dengan dokter terkait pemberian obat anti kejang MgSO4 dan
tindakan persalinan yang akan dilakukan pada klien. Pemberian MgSO4 pada
preeklamsia berat bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang atau eklamsia.
Pada kasus preeklamsia berat dengan usia kehamilan aterm dianjurkan untuk
segera dilakukan terminasi/persalinan (Kemenkes RI, 2013).
.5 Intervensi
Pada manajemen kebidanan suatu rencana asuhan yang komprehensif
ditujukan pada indikasi apa yang timbul berdasarkan kondisi Ibu serta
hubungannya dengan masalah yang sedang dialami Ibu. Rencana asuhan harus
dengan persetujuan ibu dan semua tindakan harus berdasarkan rasional dan
relevan dan diakui kebenarannya. Penyusunan rencana asuhan serta
pelaksanaannya disesuaikan dengan diagnosa yang telah ditegakkan
sebelumnya. Intervensi yang dilakukan pada Nn. W adalah jelaskan kondisi ibu
berdasarkan hasil pemeriksaan; berikan penjelasan mengenai preeklamsia,
kemungkinan resiko yang dapat ditimbulkan jika tidak segera ditangani serta
penanganan yang akan dilakukan; lakukan kolaborasi dan konsultasi dengan
dokter SPOG terkait pemberian terapi maupun tindakan persalinan pada klien;
minta informed consent terhadap tindakan yang akan dilakukan termasuk
tindakan sectio caesarea kepada klien, berikan dosis rumatan MgSO4 6 gr
sesuai dengan advice dokter; berikan obat nifedipine 10 mg per oral sesuai
advice dokter; berikan obat ranitidine 150 mg, antacid (sodium citrate 0.3M 30
ml), dan metoclopramide 10 ml; ajarkan ibu teknik relaksasi dan pengaturan
nafas pada saat kontraksi yaitu dengan cara tarik nafas melalui hidung dan
dikeluarkan melalui mulut selama timbul kontrkasi; berikan dukungan moril
kepada ibu; lakukan pemantauan detak jantung janin setiap 30 menit; lakukan
pemeriksaan tekanan darah dan tanda-tanda intosikasi MgSO4 yang meliputi
frekuensi pernafasan, refleks patella dan jumlah urin setiap 30 menit; persiapkan
pasien dengan membersihkan tubuh menggunakan cairan antiseptik dan
mengganti dengan baju operasi serta mempersiapkan perlengkapan untuk bayi;
berikan antibiotik profilaksis cefazolin 2 g dosis tunggal secara IV; persiapkan
semua keperluan dokumen untuk serah terima pasien dengan petugas OK.
Dalam melakukan penanganan pada kasus Ny. W bidan melakukan
kolaborasi dengan dokter terkait pemberian terapi maupun tindakan persalinan
yang akan dilakukan. Pemberian dosis MgSO4 maintenance dilakukan untuk
mecegah terjadinya kejang. Pada kasus Ny. W dosis MgSO4 rumatan yang
diberikan adalah 6 g MgSO4 dalam 500 ml cairan RL. Menurut Kemenkes RI
(2013), cara pemberian dosis rumatan MgSO4 adalah 6 g MgSO4 (15 ml larutan
MgSO4 40%) dilarutkan dalam 500 ml larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu
berikan secara IV dengan kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan diulang
hingga 24 jam setelah persalinan.
Pemberian obat nifedipine berdasarkan advice dokter adalah 10 mg per oral.
Menurut Brown et al (2018) dalam jurnal “Hypertensive Disorders of Pregnancy”
disebutkan bahwa ibu bersalin dengan preeklamsia berat dan TD ≥160/110
mmHg harus diberikan obat antihipertensi. Obat antihipertensi yang dapat
diberikan meliputi nifedipine peroral, labetalol atau hydralazine secara IV.
Menurut Demiran & Toker (2015) dalam jurnal “Management of Preeclampsia in
Perioperative Conditions”, dosis dalam pemberian obat nifedipin pada pasien
dengan preeklamsia berat adalah 10-30 mg per oral dan dapat diulang 45
kemudian jika diperlukan. Tindakan persalinan yang akan dilakukan pada klien
ada seksio sesarea. Menurut Lie & Mok (2017) dalam jurnal “Peri-operative
management of caesarean section for the occasional obstetric anaesthetist – an
aide memoire” menyatakan bahwa salah satu indikasi operasi sesar emergensi
adalah kondisi hipertensi dalam kehamilan termasuk preeklamsia berat.
Penelitian yang dilakukan oleh Begum et al (2015) menunjukkan bahwa
persalinan pervaginam dikaitkan dengan peningkatan morbiditas maternal (56%
vs 36%) dan kematian perinatal (36% vs 22%) dibandingkan operasi sesar.
Sebelum dilakukan tindakan seksio sesarea klien diberikan obat ranitidine
(obat golongan histamin H2-reseptor antagonis) dan antacid untuk mengurangi
volume dan keasaman lambung sehingga dapat mengurangi resiko aspirasi
pneumonitis. Klien juga diberikan obat metoclopramide sebagai obat antiemetik
untuk mencegah mual muntah selama SC. Penelitian yang dilakukan oleh
Paranjothy et al (2014) dalam jurnal “Interventions at caesarean section for
reducing the risk of aspiration pneumonitis” menunjukkan bahwa pemberian
kombinasi antasida dan H-2 antagonis lebih efektif dalam mencegah pneumonitis
aspirasi dibandingkan dengan pemberian antasid saja atau tanpa intervensi.
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Endalew et al (2018) dalam jurnal
“Effectiviness of Intravenous Metoclopramide Prophylaxis on the Reduction of
Intraoperative and Early Postoperative Nausea and Vomiting After Emergency
Caesarean Section Under Spinal Anasesthesia” menyatakan bahwa
metoclopramide profilaksis 10 mg IV dapat mengurangi mual muntah selama SC
dan awal post SC secara signifikan dibandingkan dengan kelompok yang tidak
mendapatkan pengobatan.
Dalam kasus Ny. W dilakukan pemantauan detak jantung janin, tekanan
darah dan tanda-tanda intoksikasi MgSO4 setiap 30 menit. Menurut Kemenkes
RI (2013), selama pemberian dosis MgSO4 pada pasien preeklamsia berat harus
dilakukan pemeriksaan fisik tiap jam yang meliputi tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin. Bila terdapat tanda-tanda
intoksikasi MgSO4 seperti frekuensi pernapasan <16 x/menit, dan/atau tidak
didapatkan refleks tendon patella, dan/atau terdapat oliguria (produksi urin <0,5
ml/kg BB/jam), pemberian MgSO4 harus segera dihentikan.
Selain itu dalam kasus Ny. W juga diberikan antibiotik profilaksis cefazolin 1
gr IV sebelum dilakukan tindakan operasi sesar. Tujuan dari pemberian antibiotik
ini adalah untuk mencegah terjadinya infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh
Marni et al (2020) mengenai “Pengaruh Pemberian Antibiotik Profilaksis
Sefazolin, Seftriakson, dan Antibiotik Seftriaksone Sebelum dan Sesuda Operasi
Terhadap Infeksi Luka Pasca Operasi” menunjukkan tidak adanya kasus infeksi
pasca operasi berdasarkan ketiga protap yang digunakan dan tidak ada
perbedaan pengaruh pemberian antibiotik profilaksis terhadap kasus infeksi
pasca operasi. Hal ini menunjukkan bahwa sefazolin dan seftriakson sama-sama
efektif dalam mencegah terjadinya infeksi pasca operasi sesar.
Setelah 6 jam tindakan operasi pasien diajarkan untuk melakukan mobilisasi
dini. Penelitian yang dilakukan oleh Metasari & Sianipar (2018) mengenai
“Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Nyeri Post Operasi Sectio Cessarea di
Rumah Sakit Bengkulu”menunjukkan bahwa mobilisasi dini dapat menurunkan
intensitas nyeri pasien post operasi SC. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh
Nadiya & Mutia (2018) mengenai ”Hubungan Mobilisasi Dini Post Sectio
Caesarea (SC) dengan Penyembuhan Luka Operasi di Ruang Kebidanan RSUD
dr. Fauziah Kecamatan Kota Juang Kabupaten Bireuen” menunjukkan adanya
hubungan mobilisasi dini dengan penyembuhan luka post SC. Selain itu pasien
juga dianjurkan untuk makan dan minum setelah 6 jam pasa operasi. Menurut
Aydin et al (2014) dalam jurnal “Early versus delayed oral feeding after cesarean
delivery under different anesthetic methods--a randomized controlled trial
anesthesia, feeding in cesarean delivery” menyatakan bahwa pada pasien seksio
sesaria dengan anestesi regional, pemberian makan oral 2 jam setelah operasi
direkomendasikan untuk pemulihan kondisi pasien pasca operasi. Sedangkan
pada pasien operasi sesar dengan pengunaan anastesi umum, pemberian
makan oral dapat dilakukan setelah bising usus terdengar saat pemeriksaan.
Secara garis besar tidak diemukan adanya kesenjangan antara praktik dengan
teori.
5.5 Implementasi
Pada langkah ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan
pada langkah kelima dilaksanakan secara efisien dan aman. Jika bidan tidak
melakukannya sendiri, ia tetap memikul tanggung jawab untuk mengarahkan
pelaksanaannya (memastikan langkah tersebut benar-benar terlaksana). Dalam
situasi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter dan keterlibatannya dalam
manajemen asuhan bagi pasien yang mengalami komplikasi, bidan juga
bertanggungjawab terhadap terlaksananya rencana asuhan bersama yang
menyeluruh tersebut. Manajemen yang efesien akan menyingkat waktu dan
meningkatkan mutu asuhan.
Sesuai tinjauan manjemen kebidanan bahwa melaksanakan rencana
tindakan harus efisien dan menjalin rasa aman klien, implementasi dapat
dikerjakan keseluruhan oleh bidan ataupun sebagian dilaksanakan ibu serta
bekerjasama dengan tim kesehatan lainnya sesuai dengan tindakan yang telah
direncanakan. Pada studi kasus Ny. W ibu bersalin dengan preeklampsia berat,
semua tindakan yang telah direncanakan sudah dilaksanakan seluruhnya
dengan baik, tanpa hambatan karena adanya kerja sama dan penerimaan yang
baik dari klien serta dukungan dari keluarga dan petugas kesehatan yang ada di
RSIA Mutiara Bunda.
.7 Evaluasi
Evaluasi asuhan kebidanan merupakan langkah akhir dari proses
manajemen asuhan kebidanan dalam mengevaluasi pencapaian tujuan dengan
membandingkan data yang dikumpulkan dengan kriteria yang diidentifikasi,
memutuskan apakah tujuan telah tercapai atau tidak dengan tindakan yang
sudah diimplementasikan. Berdasarkan studi kasus pada Ny. W tidak ditemukan
hal-hal yang menyimpang dari yang diharapkan. Bila dibandingkan dengan
tinjauan pustaka dan studi kasus Ny.W secara garis besar tidak ditemukan
kesenjangan dan dapat dikatakan bahwa tujuan tercapai sesuai tindakan yang
telah diimplementasikan.
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

1. Pada proses pengkajian didapatkan data subjektif pasien mengatakan


perut terasa kenceng-kenceng sejak pukul 07.30, terdapat pengeluaran
lendir bercampur bercak darah disertai pusing dan sakit kepala. Keluhan
pusing sudah dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Data objektif yang
diperoleh dari pemeriksaan fisik maupun penunjang didapatkan hasil TD
170/110 mmHg, RR 22x/menit, N 84x/menit, S 36,5 oC, tidak terdapat
oedema pada kedua tungkai dan pemeriksaan laboratorium proteinurin
+2.
2. Identifikasi diagnosa pada kasus Ny. W adalah G1 P00000 UK 38-39 minggu
inpartu kala I fase laten dengan preeklamsia berat, janin tunggal, hidup,
intrauterin.
3. Pada kasus Ny. W diagnosa potensial yang kemungkinan muncul adalah
potensial terjadi eklamsia, sindrom HELLP, dan fetal distress
4. Tindakan segera yang dilakukan pada kasus Ny. W dengan preeklamsia
berat adalah melakukan kolaborasi dengan dokter terkait pemberian
terapi maupun tidakan persalinan yang akan dilakukan.
5. Pada kasus Ny. N intervensi yang direncanakan meliputi jelaskan kondisi
ibu berdasarkan hasil pemeriksaan; berikan penjelasan mengenai
preeklamsia, kemungkinan resiko yang dapat ditimbulkan jika tidak
segera ditangani serta penanganan yang akan dilakukan; lakukan
kolaborasi dan konsultasi dengan dokter SPOG terkait pemberian terapi
maupun tindakan persalinan pada klien; minta informed consent terhadap
tindakan yang akan dilakukan termasuk tindakan sectio caesarea kepada
klien, berikan dosis rumatan MgSO4 6 gr sesuai dengan advice dokter;
berikan obat nifedipine 10 mg per oral sesuai advice dokter; berikan obat
nifedipine 10 mg per oral sesuai advice dokter; berikan obat ranitidine 150
mg, antacid (sodium citrate 0.3M 30 ml), dan metoclopramide 10 ml;
ajarkan ibu teknik relaksasi dan pengaturan nafas pada saat kontraksi
yaitu dengan cara tarik nafas melalui hidung dan dikeluarkan melalui
mulut selama timbul kontrkasi; berikan dukungan moril kepada ibu;
lakukan pemantauan detak jantung janin setiap 30 menit; lakukan
pemeriksaan tekanan darah dan tanda-tanda intosikasi MgSO4 yang
meliputi frekuensi pernafasan, refleks patella dan jumlah urin setiap 30
menit; persiapkan pasien dengan membersihkan tubuh menggunakan
cairan antiseptik dan mengganti dengan baju operasi serta
mempersiapkan perlengkapan untuk bayi; berikan antibiotik profilaksis
cefazolin 2 g dosis tunggal secara IV; persiapkan semua keperluan
dokumen untuk serah terima pasien dengan petugas OK.
6. Pada implementasi kasus dapat diidentifikasi bahwa seluruh intervensi
yang direncanakan dapat dilaksanakan seluruhnya secara efektif dan
efisien sesuai rencana.
7. Pada evaluasi kasus Ny. W didapatkan tujuan dari asuhan kebidanan
yang telah direncanakan dapat tercapai dimana ibu tidak mengalami
eklamsia dan operasi sesar dapat berjalan dengan lancar.

6.1 Saran
1. Tempat pelayanan kesehatan
a. Sebagai bidan diperlukan kerjasama dan komunikasi yang baik antara
petugas lain (dokter, perawat, dan sesama bidan) untuk
meningkatkan mutu pelayanan asuhan kebidanan yang lebih baik dan
lebih profesional.
b. Sebagai petugas kesehatan khususnya seorang bidan, diharapkan
senantiasa berusaha untuk meningkatkan keterampilan dan
kemampuan dalam melaksanakan pelayanan kesehatan yang lebih
profesional.
c. Dalam memberikan pelayanan kesehatan, diharapkan bidan dapat
menangani dengan segera kegawatdarutan sesuai dengan protap,
sehingga dalam penanganan yang tepat serta sesuai dapat
mengurangi mortalitas dan morbiditas baik ibu maupun bayi baru
lahir.
2. Program studi S1 Kebidanan FKUB
a. Diharapkan dengan adanya laporan kasus terkait asuhan kebidanan
pada persalinan patologis dengan preeklamsia berat dapat
dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat dilakukan pengkajian
masalah sejak dini, ditatalaksana dengan baik dan memberikan
prognosis yang lebih baik bagi klien.
b. Diharapkan dengan adanya laporan kasus terkait asuhan kebidanan
pada persalinan patologis dengan preeklamsia berat dapat digunakan
mahasiswa sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam
mengidentifikasi dan mengintervensi kasus lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Prawirohardjo, S. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Pranoto, Ibnu. 2013. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya.

Varney, Helen. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Edisi 4 Volume 2. Jakarta :


EGC.

Yulizawati, Iryani, D., Bustami, L. E., Isnani, A. A., Andriani, F., 2017. Asuhan
Kebidanan pada Kehamilan. Padang: Rumahkayu Pustaka Utama.

Yulianingsih, M. A., 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dalam kebidanan. Jakarta :


Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai