Anda di halaman 1dari 65

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data

Kedua kelompok penelitian, baik kelompok eksperimen

maupun kelompok kontrol sama-sama memiliki skor dengan

kategori rendah dari hasil pre test regulasi emosi. Selain itu, baik

kelompok kontrol maupun eksperimen juga memiliki jumlah yang

sama yaitu 5 orang siswi. Berdasarkan hasil tes regulasi emosi

dapat diketahui bahwa keterampilan regulasi emosi siswa kelompok

kontrol dan eksperimen pada aspek reappraisal cognitive sebelum

diberikan konseling kelompok berada pada kategori rendah. Ada

pun berdasarkan hasil pre-test dan post-test yang telah diberikan

kepada setiap peserta didik pada kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol, diperoleh hasil sebagai berikut

89
90

Tabel 4.1
Data Pre test dan Post test Regulasi Emosi Pada Aspek
Cognitive Reappraisal
Kelompok Kategori Rentang Frekuensi Frekuensi
Skor Pre test Post test
Kelompok Tinggi < 35 0 2
Eksperimen
Sedang 35 – 54 0 3
Rendah ≤ 55 5 0
Kelompok Tinggi < 35 0 0
Kontrol
Sedang 35 – 54 0 0
Rendah ≤ 55 5 0

Tabel 4.2

Data Pencapaian Skor Cognitive Reappraisal Per Anggota

No. Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol

Nama pre post Peningkatan Nama pre post Peningkatan


1 AK 33 49 16 HZ 33 34 1
2 NR 33 53 20 IM 33 30 -3
3 RA 34 62 28 MS 31 27 -4
4 SA 34 69 35 SD 32 32 0
5 SN 34 52 18 ZI 34 31 -3

Jumlah 168 285 117 Jumlah 163 154 -9


Rata-rata 33.6 57 23.4 Rata-rata 32.6 30.8 -1.8
91

Gambar 4.1

Histogram Capaian Reappraisal Cognitive Per Anggota

Kelompok Eksperimen

80
69
70
62
60
53 52
49
50

40 Pre test
33 33 34 34 34
Post tes
30

20

10

0
AK NR RA SA SN

Gambar 4.2

Histogram Skor Rata-rata Reappraisal Cognitive Per Anggota


Kelompok Kontrol

40

35 33 34 33 32 32
34
30 31 31
30 27
25

20 Pre test

15 Post test

10

0
HZ IM MS SD ZI
92

Gambar 4.3

Histogram Capaian Skor Cognitive Reappraisal Pada

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

300 285

250

200
168 163
154
150 Pre test
Post test
100

50

0
K. Eksperimen K. Kontrol

Berdasarkan hasil pre test dan post test yang telah diberikan

kepada setiap anggota pada kelompok ekserimen dan kelompok

kontrol, terlihat bahwa terjadi perubahan skor. Pada kelompok

treatment, capaian skor reappraisal cognitive anggota sebelum

diberikan perlakuan terkategori rendah, yaitu 168. Sedangkan

capaian skor reappraisal cognitive anggota setelah diberikan

perlakuan mencapai 285. Perolehan angka tersebut menunjukkan

perubahan berupa peningkatan skor sebesar 23.4. Pada kelompok


93

kontrol, skor pre test yang diperoleh setiap anggota berkategori

rendah, dengan total skor yaitu 163. Sedangkan total skor pre test

adalah 154. Hal demikian menunjukan adanya penurunan skor

sebesar 1.8.

Berikut adalah penjelasan setiap anggota dengan masing-masing

indikator pada aspek cognitive reappraisal:

1. Deskripsi Capaian Skor Setiap Anggota Pada Kelompok

Eksperimen

a) AK

Tabel 4.3

Tabel Capaian Skor Cognitive Reappraisal dari AK

Aspek Skor Keterangan


Ideal Pre Post Gain
Test Test
Situation selection 10 7 7 0 Tetap
Situation 20 8 14 6 Meningkat
modification
Attentional 25 12 17 5 Meningkat
Deployment
Cognitive change 20 6 11 5 Meningkat

Berdasarkan tabel di atas, AK mengalami peningkatan

pada 3 aspek, yaitu situation modification, attentional

deployment, dan cognitive change. Sedangkan pada aspek


94

situation selection, AK tidak mengalami peningkatan atau pun

penurunan skor. Peningkatan pada aspek situation modification

sebesar 6, sedangkan pada aspek attentional deployment dan

cognitive change meningkat sebesar 5%. Ada pun pada aspek

situation selection, angkat tidak mengalami perubahan, tetap

pada skor 7.

b) NR

Tabel 4.4

Tabel Capaian Skor Cognitive Reappraisal dari NR

Aspek Skor Keterangan


Ideal Pre Post Gain
Test Test
Situation selection 10 4 6 2 Meningkat
Situation 20 6 15 9 Meningkat
modification
Attentional 25 13 17 4 Meningkat
Deployment
Cognitive change 20 10 15 5 Meningkat

Berdasarkan tabel di atas, NR mengalami peningkatan

pada keempat aspek. Peningkatan yang terjadi pada aspek

situation selection sebanyak 2 skor, sedangkan pada situation

modification mengalami peningkatan yang lebih besar yaitu

sebanyak 9. Peningkatan yang terjadi pada aspek attentional

deployment sebanyak 4 dan cognitive change meningkat


95

sebanyak 5skor.

c) RA

Tabel 4.5

Tabel Capaian Skor Cognitive Reappraisal dari RA

Aspek Skor Keterangan


Ideal Pre Post Gain
Test Test
Situation selection 10 4 9 5 Meningkat
Situation 20 10 19 9 Meningkat
modification
Attentional 25 8 17 9 Meningkat
Deployment
Cognitive change 20 12 17 5 Meningkat

Berdasarkan tabel di atas, RA mengalami peningkatan

pada keempat aspek. Pada aspek situation selection dan cognitive

change mengalami peningkatan yang sama yaitu sebanyak 5. Ada

pun pada aspek situation modification dan attentional deployment

mengalami peningkatan yang lebih besar yaitu sebanyak 9 skor.


96

d) SA

Tabel 4.6

Tabel Capaian Skor Cognitive Reappraisal dari SA

Aspek Skor Keterangan


Ideal Pre Post Gain
Test Test
Situation selection 10 5 9 4 Tetap
Situation 20 12 19 7 Meningkat
modification
Attentional 25 11 24 13 Meningkat
Deployment
Cognitive change 20 6 17 11 Meningkat
B

erdasarkan tabel di atas, SA mengalami peningkatan pada

keempat aspek. Peningkatan yang terjadi pada aspek situation

selection sebanyak 4 skor, sedangkan pada situation modification

mengalami peningkatan yang lebih banyak yaitu 7. Kemudian

pada aspek attentional deployment mengalami peningkatan yang

lebih banyak lagi yaitu 13, sedangkan peningkatan pada aspek

cognitive change lebih kecil yaitu 11 skor.


97

e) SN

Tabel 4.7

Tabel Capaian Skor Cognitive Reappraisal dari SN

Aspek Skor Keterangan


Ideal Pre Post Gain
Test Test
Situation selection 10 4 9 5 Meningkat
Situation 20 7 13 6 Meningkat
modification
Attentional 25 15 15 0 Tetap
Deployment
Cognitive change 20 8 15 7 Meningkat

Berdasarkan tabel di atas, SN mengalami peningkatan pada 3

aspek, yaitu situation selection, situation modification, dan cognitive

change. Sedangkan pada 1 aspek lainnya yaitu attentional

deployment, SN tidak mengalami peningkatan atau pun penurunan

skor. Peningkatan pada aspek situation selection sebanyak 5 skor.

Selanjutnya pada aspek situation modification mengalami

peningkatan yang lebih besar yaitu 6. Lalu pada aspek cognitive

change mengalami peningkatan yang lebih banyak lagi yaitu 7 skor.

Ada pun pada aspek attentional deployment, angka tidak

mengalami perubahan, tetap pada skor 15.


98

2. Deskripsi Capaian Skor Setiap Anggota Pada Kelompok Kontrol

a) HZ

Tabel 4.8

Tabel Capaian Skor Cognitive Reappraisal dari HZ

Aspek Skor Keterangan


Ideal Pre Post Gain
Test Test
Situation selection 10 3 4 1 Meningkat
Situation 20 10 10 0 Tetap
modification
Attentional 25 8 10 2 Meningkat
Deployment
Cognitive change 20 12 10 -2 Menurun

Berdasarkan tabel di atas, HZ mengalami peningkatan

pada 2 aspek, penurunan pada 1 aspek, sedangkan 1 aspek

lainnnya tidak mengalami perubahan. Peningkatan terdapat

pada aspek situation selection sebanyak 1 skor dan attentional

deployment sebanyak 2 skor. Sedangkan pada aspek cognitive

change mengalami penurunan sebanyak 2 skor. Ada pun pada

aspek situation modification, tidak terjadi perubahan, skor tetap

berada pada angka 10..


99

b) IM

Tabel 4.9

Tabel Capaian Skor Cognitive Reappraisal dari IM

Aspek Skor Keterangan


Ideal Pre Post Gain
Test Test
Situation selection 10 4 3 -1 Menurun
Situation 20 8 9 1 Meningkat
modification
Attentional 25 10 9 -1 Menurun
Deployment
Cognitive change 20 11 9 -2 Menurun

Berdasarkan tabel di atas, IM mengalami peningkatan pada

1 aspek, sedangkan penurunan pada 3 aspek. Peningkatan

terdapat pada aspek situation modification sebanyak 1 skor.

Sedangkan penurunan 1 skor terjadi pada aspek attentional

deployment dan selection situation. Aspek cognitive change

juga mengalami penurunan sebanyak 2 skor.


100

c) MS

Tabel 4.10

Tabel Capaian Skor Cognitive Reappraisal dari MS

Aspek Skor Keterangan


Ideal Pre Post Gain
Test Test
Situation selection 10 4 2 -2 Menurun
Situation 20 9 8 -1 Menurun
modification
Attentional 25 8 7 -1 Menurun
Deployment
Cognitive change 20 12 10 -2 Menurun

Berdasarkan tabel di atas, MS mengalami penurunan pada

keempat aspek, tidak terdapat aspek yang mengalami

peningkatan maupun skor yang tetap. Penurunan 1 skor

terdapat pada aspek situation modification dan attentional

deployment. Sedangkan penurunan skor terdapat pada aspek

selection situation dan cognitive change.


101

d) SD

Tabel 4.11

Tabel Capaian Skor Cognitive Reappraisal dari SD

Aspek Skor Keterangan


Ideal Pre Post Gain
Test Test
Situation selection 10 4 6 2 Meningkat
Situation 20 8 8 0 Tetap
modification
Attentional 25 11 8 -3 Menurun
Deployment
Cognitive change 20 9 10 1 Meningkat

Berdasarkan tabel di atas,SD mengalami peningkatan pada

2 aspek, penurunan pada 1 aspek, sedangkan 1 aspek lainnnya

tidak mengalami perubahan. Peningkatan terdapat pada aspek

situation selection sebanyak 2 dan cognitive change 1.

Sedangkan pada aspek attentional deployment, penurunan

sebanyak 3 skor. . Ada pun pada aspek situation modification,

tidak terjadi perubahan, skor tetap berada pada angka 8.


102

e) ZI

Tabel 4.12

Tabel Capaian Skor Cognitive Reappraisal dari ZI

Aspek Skor Keterangan


Ideal Pre Post Gain
Test Test
Situation selection 10 5 3 -2 Menurun
Situation 20 10 9 -1 Menurun
modification
Attentional 25 10 8 -2 Menurun
Deployment
Cognitive change 20 11 11 0 Tetap

Berdasarkan tabel di atas, ZI tidak mengalami peningkatan

pada keempat aspek, melainkan penurunan pada 3 aspek,

sedangkan 1 aspek lainnnya tidak mengalami perubahan.

Penurunan yang terdapat pada aspek situation selection sebanyak

2 skor, situation modification 1 skor, dan attentional deployment 2

skor. Ada pun pada aspek cognitive change, tidak terjadi

perubahan, skor tetap berada pada angka 11 .

B. Proses Pelaksanaan Expressive Writing

Dalam penelitian ini, teknik expressive writing digunakan dalam

setting konseling kelompok yang terdiri dari 4 sesi pertemuan, di

mana setiap 1 sesi di-design untuk melatih 1 keterampilan regulasi

emosi pada aspek reappraisal cognitive. Tema permasalahan telah


103

ditentukan oleh peneliti selaku pemimpin dalam konseling

kelompok, yaitu konflik remaja-orang tua. Sehingga setiap sesi

dirancang untuk melatih keterampilan konseli mengatur emosi yang

berfokus pada masalah konflik remaja-orang tua.

Sebelum dimulai konseling kelompok, peneliti terlebih dahulu

melakukan seleksi kepada calon konseli yang telah diperoleh

berdasarkan skor pre test berkategori rendah. Seleksi ini berguna

untuk memperoleh sampel yang sesuai dengan kriteria penelitian, di

mana anggota kelompok tidak hanya diambil berdasarkan skor pre

test, melainkan juga individu yang memiliki masalah berupa konflik

dengan orang tua, serta indiividu yang memiliki minat pada aktivitas

menulis. Sehingga dilakukan wawancara tidak terstruktur terlebih

dahulu kepada siswa yang memperoleh skor pre test kategori

rendah. Maka diperoleh 5 siswa yang dapat mengikuti proses

konseling kelompok, yaitu; AK, NR, RA, SA, dan SN. Berikut adalah

jadwal pelaksanaan konseling kelompok:


104

Tabel 4.13

Tabel Pelaksaan Kegiatan Expressive Writing Therapy

Kegiatan Waktu Tempat Durasi


Pre test Jum’at, 3 Mei MAN 8 40 menit
2019
Konseling Jumat, 28 Juni MAN 8 90 menit
kelompok sesi 1 2019
Konseling Jumat, 19 Juli MAN 8 90 menit
kelompok sesi 2 2019
Konseling Jumat, 26 Juli MAN 8 75 menit
kelompok sesi 3 2019
Konseling Jumat, 2 MAN 8 75 menit
kelompok sesi 4 Agustus 2019
Post test Selasa, 6 MAN 8 40 menit
Agustus 2019

Pelaksanaan treatment dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Konseling sesi 1

Tujuan konseling sesi 1 adalah membentuk relasi kelompok

dan melatih kognitif konseli dalam melakukan seleksi situasi

(strategi pertama dalam regulasi emosi: situation selection).

Indikator keberhasilan sesi ke-1 adalah anggota kelompok saling

mengenal satu sama lain, terbentuk komitmen, dan konseli

mampu menuliskan beberapa pengalaman yang memicu

munculnya konflik dengan orang tua.

Tahap awal yang dilakukan oleh pemimpin kelompok

adalah membuka kegiatan dengan salam. Pemimpin kelompok


105

menanyakan kabar anggota, berbincang- bincang sesaat

mengenai ujian kenaikan kelas yang seminggu terakhir dijalani.

Pemimpin kelompok menjelaskan latar belakang terbentuknya

konseling kelompok, yaitu berdasarkan hasil instrument dan

wawancara per individu yang telah dilakukan oleh konselor

beberapa waktu lalu. mengenai hubungan para konseli dengan

orang tua. Konselor memperkenalkan diri kepada konseli,

menjelaskan peran seorang pemimpin kelompok, kemudian

meminta anggota satu per satu memperkenalkan diri. Konselor

menggunakan games selama perkenalan. Dilanjutkan dengan

penjelasan mengenai konseling kelompok. Seluruh anggota yang

ada dalam kelompok mengatakan bahwa mereka tidak pernah

tahu mengenai konseling kelompok dan tidak pernah mengikuti

kegiatan yang serupa dengan konseling kelompok pada

pelajaran BK di sekolah.

Pemimpin menjelaskan asas dalam konseling kelompok,

yaitu kerahasiaan, keterbukaan, dan kesukarelaan. Selainjutnya

pemimpin menanyakan kekhawatiran dan harapan para anggota.

Secara umum, kekhawatiran para anggota adalah khawatir ada

teman yang menceritakan pengalamannya ke teman lain yang

ada di luar kelompok. Terakhir yang dilakukan pemimpin pada


106

tahap awal adalah membuat peraturan kelompok yang disepakati

bersama, di antaranya; mengikuti rangkaian kegiatan sampai

selesai, tidak menggunakan alat komunikasi kecuali untuk

keperluan izin/ mengabarkan orang tua, dan ke kamar mandi

pada waktu tertentu yang telah disediakan oleh konselor saat

break sejenak.

Selesai tahap awal, maka berlanjut pada tahap

peralihan. konselor me-review singkat asas yang telah dibahas.

Kemudian meminta anggota duduk pada posisi yang nyaman.

Setelah semua anggota siap, maka konselor mulai masuk pada

tahap kegiatan inti.

Pada tahap inti, pemimpin kelompok membicarakan

mengenai konflik secara umum, kemudian mengerucut menjadi

konflik yang terjadi pada konseli (remaja) dengan orang tua.

Semua anggota sepakat memandang konflik sebagai suatu hal

yang negatif. Pemimpin mempersilahkan satu per satu anggota

(tak terkecuali) menceritakan secara umum konflik yang

biasanya terjadi antara dirinya dengan orang tua. Satu sama lain

saling mendengarkan dan setelah itu teman yang lain

menambahkan cerita serupa yang menurutnya tidak jauh

berbeda.
107

Memasuki pada kegiatan menulis, pemimpin

menjelaskan kepada anggota aturan-aturan yang ada dalam

penulisan. Konseli bebas menuliskannya dengan gaya

bahasanya masing-masing, tanpa perlu khawatir mengenai

tanda baca, ejaan, dan tata bahasa. Selain itu, konselor

mengingatkan bahwa apabila saat menulis konseli merasa tidak

sanggup menuliskan kejadian tertentu karena akan

membahayakan diri atau tidak kuat, maka diperbolehkan untuk

berhenti menulis.

Selanjutnya dimulai sesi menulis yang pertama, yaitu

anggota menuliskan mengenai perasaan, emosi, dan anggapan

negatif yang ada dalam hati dan pikiran kepada orang tua.

Dalam 10 menit semua anggota telah selesai menulis. Kemudian

konselor meminta anggota me-highlight kata-kata yang

merupakan nama emosi atau ungkapan berupa anggapan

negatif. Kemudian sesi menulis dilanjutkan dengan menceritakan

pengalaman-pengalaman yang memunculkan emosi atau pikiran

negatif seperti yang di-highlight pada tulisan sebelumnya.

Seluruh anggota mulai menulis sampai 15 menit. RA adalah

anggota yang selesai paling cepat, dan NR adalah anggota yang

terakhir selesai menulis.


108

Salah satu anggota menceritakan salah 1 pengalaman

yang akan dijadikan contoh bagaiamana mengelola emosi

dengan strategi seleksi situasi. SA menceritakan salah 1

pengalaman yang tadi ditulisnya dan anggota yang lain pun

mendengarkannya. Setelah SA selesai bercerita, pemimpin

mempersilahkan anggota lain menceritakan pengalaman yang

menurutnya serupa karena ketika SA cerita beberapa anggota

memperlihatkan ekspresi setuju sebagaimana mereka pernah

ada di posisi seperti SA. Setelah beberapa anggota saling

bertukar pengalaman, maka kembali lagi pada pengalaman SA

untuk dijadikan contoh cara melakukan seleksi situasi.

Pemimpin menjelaskan maksud dari seleksi situasi

kepada para anggota menggunakan gambar ilustrasi yang

konselor gambar secara manual menggunakan pulpen dan

kertas. Pemimpin memberi kesempatan anggota untuk bertanya

dan memastikan bahwa anggota memahami maksud dari seleksi

situasi. Setelah anggota memahami maksud dari seleksi situasi,

pemimpin mendorong anggota untuk menyadari situasi-situasi

yang terjadi secara berulang, yang menjadi faktor munculnya

emosi negatif pada konseli terhadap orang tua.


109

Pada tahap penutupan, setiap anggota mengungkapkan

situasi seperti apa dalam sehari- hari yang perlu ditandai atau

diingat untuk tidak dimasuki sebagai situasi yang dapat

berpotensi memunculkan emosi negatif bagi konseli. Pemimpin

bertanya mengenai perasaan dan pikiran apa yang muncul pada

kegiatan pertama ini, serta bagaimana pengalamannya dalam

kegiatan menulis yang tadi telah dilakukan. Pemimpin

menyebutkan kembali setiap situasi yang telah anggota sadari

sebagai situasi yang perlu di hindari, kemudian menjadikannya

sebagai penugasan untuk diterapkan kepada setiap anggota

pada seminggu ini.

Pemimpin membuat kesepakatan bersama mengenai

waktu pelaksanaan sesi ke-2. Pemimpin mengingatkan sekaligus

mengucapkan terimakasih atas komitmen anggota dalam

mengikuti pelatihan ini. Konselor menjelaskan bahwa latihan tadi

adalah 1 strategi mengelola emosi dalam menghadapi konflik

dengan orang tua, dan akan ada 3 strategi lagi yang apabila

anggota mempelajari ke-4nya maka akan berpotensi memiliki

hasil yang lebih maksimal untuk diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari. Konselor menutup kegiatan dengan ucapan

terimakasih dan salam penutup.


110

2. Konseling sesi 2

Setelah konseling sesi 1 mengajarkan para konseli

mengenai keterampilan seleksi situasi, maka konseling sesi ke-2

berlanjut pada strategi regulasi emosi yang kedua yaitu

modifikasi situasi (situation modification). Tujuan konseling pada

sesi ke-2 adalah melatih konseli memiliki keterampilan modifikasi

situasi dengan cara eksplorasi pilihan-pilihan aktivitas yang

mungkin dapat dilakukan sebagai upaya menciptakan situasi

yang lebih positif.

Tahap awal yaitu pembukaan, ice breaking, dan

menjelaskan tujuan konseling sesi ke-2. Pemimpin membuka

kegiatan dengan salam, berdoa, menanyakan kabar, dan

berbincang- bincang sesaat mengenai pembagian kelas di tahun

ajaran baru yang membuat anggota tidak sekelas lagi.

Selanjutnya pemimpin melakukan ice breaking yaitu

melukiswajah dengan mata tertutup.

Memasuki tahap peralihan, pemimpin menjelaskan tujuan

konseling sesi ke-2, dengan terlebih dahulu me-review

pembahasan sesi sebelumnya sekaligus membahas hasil

penugasan, di mana anggota diminta melakukan upaya

penerapan seleksi situasi dengan cara menghindari situasi yang


111

telah anggota kenali. Pada hal demikian, setiap anggota

menceritakan pengalaman mereka dalam berupaya menerapkan

salah 1 strategi regulasi emosi. Pemimpin mengingatkan akan

peraturan yang telah disepakati pada sesi ke-1. Anggota

dipersilahkan duduk pada posisi yang nyaman dan ke kamar

mandi terlebih dahulu jika perlu. Setelah semua anggota siap,

maka konselor mulai masuk pada tahap kegiatan inti.

Tahap inti, di mana anggota akan melakukan aktivfitas

menulis ekspresif selama kurang lebih 15-20 menit. Tema

penulisan pada konselng sesi ke-2 adalah pengaruh pengalaman

konflik dengan orang tua bagi kondisi emosi para konseli.

Pemimpin memberi instruksi penulisan kepada anggota dengan

menampilkan kisi- kisi apa saja yang perlu anggota ceritakan

dalam tulisan. Pada menit ke- 15, konselor mengingatkan waktu

yang tersisa untuk menulis yaitu 5 menit lagi. Setelah semua

meyelesaikan tulisannya, maka anggota sharing dan diskusi.

Pada sesi sharing, NR yang pertama menceeritakan

pengalaman tidak menyenangkan ketika dimarahi oleh kedua

orang tua karena pencapaian nilai akademik yang tidak sesuai

harapan orang tua. Kemudian disusul dengan cerita dari anggota

yang lain. Pemimpin mengarahkan kegiatan sharing kepada


112

diksusi atau pembahasan mengenai situation modification

sebagai salah 1 strategi meregulasi emosi. Konselor membuka

pembahasan dengan memberi pertanyaan mengenai kondisi

serta aktivitas yang biasanya dilakukan setelah mengalami

konflik dengan orang tua. Setiap anggota saling berbagi

mengenai jawabannya. Beberapa kondisi yang disebutkan

setelah berkonflik dengan orang tua yaitu menangis di kamar,

tidur, tidak keluar kamar, mendiamkan/ didiamkan oleh orang

tua, makan, menonton youtube, chating-an, keluar rumah

menggunakan motor tanpa tempat tujuan, dan pergi ke suatu

tempat perbelanjaan. Konselor membahas jawaban-jawaban

anggota dalam pembahasan mengenai situation modification.

Selain itu konselor mengeksplorasi hobi para anggota sebagai

pilihan aktivitas yang coba dilakukan sebagai bentuk modifikasi

situasi.

Pada tahap pentupan, setiap anggota mengungkapkan

aktivitas yang biasanya dilakukan sebagai bentuk situation

modification dan inspirasi atau ide aktivitas baru yang akan coba

dilakukannya sebagai bentuk situation modification. Sehingga

pemimpin kembali memberi penugasan kepada konseli untuk

menerapkan aktifitas yang telah disebutkan setiap anggota


113

sebagai upaya strategi regulasi emosi. Pemimpin meminta

anggota kelompok mengungkapkan perasaannya pada konseling

sesi 2 dibandingkan pada konseling sesi 1. Pemimpin membuat

kesepakatan jadwal untuk pertemuan selanjutnya. Pemimpin

mengucapkan terimakasih dan menutup kegiatan.

3. Konseling sesi 3

Setelah konseling sesi 2 mengajarkan para konseli

mengenai keterampilan modifikasi situasi, maka konseling sesi

ke-3 berlanjut pada strategi regulasi emosi yang ketiga yaitu

penyebaaran perhatian (attentional deployment). Tujuan

konseling pada sesi ke-3 adalah melatih konseli memiliki

keterampilan attentional deployment sebagai bentuk regulasi

emosi pada konflik yang terjadi antara diri sendiri dengan orang

tua.

Tahap awal, konselor memulai sesi dengan salam,

menanyakan kabar, dan berbincang- bincang sesaat mengenai

pembagian kelas baru mereka. Para anggota saling bertukar

cerita mengenai keadaan teman-teman di kelas baru masing-

masing. Pada sesi ke-3 pemimpin tidak memulai ice breaking

atau games di awal kegiatan karena melihat waktu yang terbatas


114

dan lebih sedikit dibandingkan pertemuan sebelumnya. Setelah

konseling ini para anggota memiliki kegiatan lain yang telah

diagendakan dari sekolah, sehingga konselor perlu menghemat

waktu.

Memasuki tahap peralihan, pemimpin me-review hasil

penugasan yang diberikan pada sesi ke-2, di mana setiap

anggota bercerita pengalamannya dalam berupaya menerapkan

modifikasi situasi. Sebagian besar anggota menceritakan

pengalaman konflik yang belum lama terjadi yaitu mengenai

respon orang tua setelah pengambilan rapor, di mana sebagaian

besar anggota dimarahi oleh orang tua karena peringkat yang

tidak termasuk dalam 10 besar. Selanjutnya pemimpin

menjelaskan bahwa konseling sesi ke-3 anggota akan berlatih

mengelola emosi dengan cara yang lain, selain seleksi situasi

dan modifikasi situasi. Namun konselor tidak memberi tahu

terlebih dahulu apa cara baru yang akan dipelajari, melainkan

konselor segera memasuki tahap inti dengan memberi instruksi

penulisan kepada anggota.

Beralih pada tahap inti, pemimpin meminta anggota

memperhatikan sejenak apa saja pengalaman yang telah

ditulisnya. Kemudian anggota memilih 1 pengalaman yang akan


115

difokuskan pada hari ini. Pemimpin memberi beberapa waktu

anggota untuk berpikir dan menentukan pengalaman mana yang

akan mereka pilih. Setelah anggota memiliki pilihannya masing-

masing, maka pemimpin meminta anggota menuliskan judul

untuk pengalaman yang telah dipilihnya. Setelah semua anggota

menuliskan judulnya, maka konselor melanjutkan penjelasan

untuk instruksi penulisan selanjutnya.

Instruksi tulisan bagian pertama adalah anggota bebas

menuliskan perasaan dan pikirannya pada pengalaman yang tadi

telah ditulis judulnya. Penulisan bagian pertama ini merupakan

tulisan anggota yang menggambarkan sudut padang mereka

dalam memandang pengalaman konflik tersebut. Setelah 10

menit, para anggota tampak telah menyelesaikan tulisannya.

Lalu konselor melanjutkan penjelasan untuk memberi instruksi

penulisan selanjutnya. Penulisan kedua ini merupakan tulisan inti

yang meminta anggota melanjutkan tulisan, namun dengan

sudut pandang lain. Anggota diminta untuk menuliskan degan

sudut pandang orang tua. Dalam memberi instruksi ini, konselor

memberikan kisi-kisi isi tulisan yang ditampilkan melalui power

point.

Setelah kurang lebih 15-20 menit anggota selesai


116

menulis, konselor baru menjelaskan strategi regulasi emosi yang

akan dibahas hari ini, yaitu attentional deployment yang

dilakukan dalam bentuk mengingat sisi positif atau kebaikan dari

orang tua. Sehingga, konselor menjelaskan bahwa apa yang tadi

mereka tulis dengan sudut pandang orang tua, mungkin dapat

membantu mereka mengingat sisi positif dari orang tua.

Pemimpin meminta anggota memperhatikan tulisannya

masing-masing. Pemimpin meminta anggota menemukan kata

positif yang menggambarkan sisi positif orang tua mereka pada

tulisan yang tadi sudah dibuat. Anggota diminta untuk me-

highlight kata yang mereka temukan itu. Para anggota saling

tertawa karena menyadari bahwa apa yang mereka tulis rata-rata

adalah hal buruk mengenai orang tua. Berhubung kata positif

yang anggota highlight hanya sedikit bahkan hampir tidak ada,

maka pemimpin meminta anggota menyebutkan sebanyak-

banyaknya sifat atau sisi positif dari karakter orang tua yang

dituangkan dalam bentuk tulisan. Setelah selesai semua

menulis, setiap anggota masing-masing menjelaskan/ sharing

apa yang telah mereka sebutkan tentang sisi positif dari orang

tua mereka. Kemudian konselor membahasnya bersama

anggota di dalam kelompok.


117

Terakhir yaitu tahap penutupan, pemimpin merangkum

apa yang telah anggota ungkapkan dengan menyebutkan

ingatan positif setiap anggota kepada orang tua mereka yang

dapat dijadikan upaya regulasi emosi ketika kondisi emosi

memburuk setelah berkonflik. Anggota kembali diberi penugasan

baru, yaitu menerapkan strategi regulasi yang baru yaitu

memunculkan ingatan positif mengenai orang tua ketika emosi

sedang kurang baik setelah berkonflik dengan orang tua.

Pemimpin membuat kesepakatan jadwal untuk pertemuan

selanjutnya dan mengingatkan bahwa konselng ke-4 adalah

konseling terakhir yang akan anggota ikuti. Pemimpin

mengucapkan terimakasih dan menutup kegiatan dengan

ucapan salam.

4. Konseling sesi 4

Setelah konseling sesi 3 mengajarkan para konseli

mengenai keterampilan attentional deployment dengan cara

menggunakan ingatan positif tentang orang tua, maka konseling

sesi ke-4 berlanjut pada strategi regulasi emosi yang terakhir dari

aspek reappraisal cognitive yaitu cognitive change. Tujuan

konseling pada sesi ke-4 adalah melatih konseli memiliki


118

keterampilan cognitive change dan me-review keseluruhan

strategi regulasi emosi yang telah dipelajari.

Memasuki tahap awal, pemimpin memulai sesi dengan

salam, menanyakan kabar, dan berbincang-bincang sesaat

mengenai kegiatan belajar di kelas masing-masing. Para

anggota saling bertukar cerita mengenai pelajaran di kelas

mereka sebelum istirahat shalat dzuhur. pemimpin kelompok

menjelaskan bahwa ini adalah pertemuan terakhir, di mana

strategi regulasi yang dibahas pertemuan terakhir ini adalah

merubah pikiran. Pemimpin juga menjelaskan keterkaitan dari

strategi pertama yang sudah dipelajari sampai dengan strategi

terakhir yang akan mereka pelajari di hari ini.

Selanjutnya yaitu tahap peralihan, pemimpin terlebih

dahulu me-review mengenai strategi yang dipelajari di

pertemuan ke-3 yaitu attentional deployment. Para anggota

menceritakan pengalaman masing-masing ketika di rumah.

Pemimpin kelompok mengapresiasi anggota atas upayanya

dalam menerapkan strategi regulasi dengan memberikan kata-

kata positif. Kemudian pemimpin mempersilhakan anggota untuk

ke kamar mandi terlebih dahulu bila perlu, sebelum tahap inti

dimulai. Setelah anggota siap, maka pemimpin melanjutkan ke


119

tahap inti.

Tahap inti diawali dengan pembicaraan mengenai

manfaat konflik. Pemimpin mengungkapkan ingatan pada waktu

pertemuan pertama ketika setiap anggota memberikan

pandangan buruk tentang konflik. Lalu pemimpin bertanya

apakah sekarang anggota dapat menemukan manfaat konflik.

Pemimpin kelompok mendorong anggota untuk berfikir tentang

manfaat/ pelajaran/ hikmah dari konflik atau kehidupan yang

mereka jalani sekarang bersama orang tua.

Pemimpin memberi instruksi penulisan kepada para

anggota untuk menuangkan pikirannya tentang pelajaran apa

yang dapat diambil dari konflik yang dialami antara diri sendiri

dengan orang tua. Pemimpin memberikan tema penulisan yaitu

Guru Terbaik adalah Pengalaman. Pemimpin memberi

kesempatan anggota untuk bertanya terlebih dahulu sebelum

kegiatan menulis dimulai. Para anggota memulai kegiatan

menulis dalam waktu yang sama. Setelah 15-20 menit selesai

kegiatan menulis, pemimpin membahas apa yang anggota sudah

tulis dengan sharing terlebih dahulu. Setiap anggota sharing

tentang apa hikmah atau pelajaran yang mereka dapat dari

konflik yang dialami dengan orang tua.


120

Pada konseling sesi ke-4 atau sesi terakhir, sharing yaitu

mengenai pengalaman setiap anggota dalam menerapkan ketiga

strategi regulasi yang telah dibahas. Pemimpin kelompok

menanyakan pada strategi apa anggota telah mencoba

mempraktikannya, strategi apa yang belum dicoba, pada bagian

apa anggota mengalami kesulitan/ kendala dalam menerapkan

strategi.

Selanjutnya yaitu tahap penutupan atau pengakhiran.

Pemimpin merespon cerita pengalaman anggota tadi dengan

memberi apresiasi, penguatan, atau motivasi para anggota yang

telah, belum, atau akan mencoba menerapkan 4 pilihan strategi

dalam kehidupan sehari-harinya. Pemimpin kelompok

mempersilahkan anggota mengungkapkan kesan-kesan selama

mengikuti kegiatan konseling. Anggota juga diminta

mengungkapkan harapan masing-masing terhadap diri sendiri

(kaitannya dengan kemampuan dalam mengelola emosi dalam

meghadapi konflik terhadap orang tua). Pemimpin kelompok

mengucapkan kata-kata perpisahan, penguatan kepada anggota

agar terus menerapkan apa yang sudah dimiliki. Pemimpin

mengapresiasi upaya anggota meskipun dalam usahanya

anggota merasa sulit. Pemimpin kelmpok mengucapkan kalimat


121

permohonan maaf atas kesalahan yang tidak sengaja dilakukan

selama proses konseling serta ucapan terimakasih kepada

anggota. Pemimpin kelompok menutup kegiatan dengan berdoa

dan mengucapkan salam penutup.

C. Hasil Pelaksanaan Expressive Writing Therapy

Expressive writing therapy yang dilakukan dalam setting

konseling kelompok sebanyak 4 sesi menghasilkan beberapa

perubahan khususnya dalam upaya meregulasi emosi bagi konseli.

Berikut adalah penjelasan setiap anggota:

1. AK

Konflik yang dialami oleh AK dengan orang tua adalah

ketika orang tua menilai hasil pekerjaan AK yang tidak sebaik

hasil pekerjaan kakaknya. Ibu AK melakukan perbandingan

dengan prestasi kakak AK apabila nilai akademik AK tidak sesuai

harapan orang tua, misalnya adalah peringkat AK di kelas yang

tidak masuk dalam 10 besar. Pada kegiatan menulis ekspresif,

AK mengungkapkan salah satu pengalaman konflik yang paling

emosional, yaitu ketika ayah AK memanggil AK, namun AK tidak

menghampirinya dan hanya menjawabnya dari kejauhan. Ayah


122

AK menunjukkan ekspresi marahnya kepada AK dengan

mengatakan sebutan kasar dan tidak layak untuk AK. Tidak

hanya ayah AK, ibu AK pun tidak jarang menyebut AK dengan

label bodoh yang selalu diulang-ulang apabila AK melakukan

kesalahan atau hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan

harapan ibu.

Melalui kegiatan menulis ekspresif, AK mampu mengenal

emosi dan pikiran yang dominan dialami oleh diri sendiri. Emosi

yang sering kali muncul pada AK dari pengalaman konflik

dengan orang tuanya adalah sedih, merasa rendah atau inferior

karena sering diberi label bodoh oleh orang tua.

Pencapaian AK berkaitan dengan kemampuan regulasi

emosi di antaranya yaitu mampu mengenal situasi yang

berpotensi memunculkan emosi negatif pada konflik antara diri

sendiri dengan orang tua. Salah 1 situasi yang dikenali adalah

ketika orang tua memanggil AK untuk segera menghampirinya.

Menjawab panggilan orang tua dari jarak jauh merupakan situasi

yang dikenali AK sebagai situasi yang harus dihindari.

Selain itu adalah kemampuan AK dalam menggunakan

ingatan positif yang berhubungan dengan orang tua ketika

kondisi emosi memburuk setelah berkonflik dengan orang tua.


123

Perkembangan secara kognitif dialami oleh AK ketika

sebelumnya AK tidak pernah melibatkan ingatan positif saat

dalam kondisi emosional. Sebelumnya, AK sudah melakukan

upaya regulasi emosi dengan cara melakukan aktifitas yang

mampu mencairakan kondisi emosinya, seperti makan dan

menonton youtube. Namun upaya tersebut tidak dibarengi

dengan peran kognitif untuk menurunkan emosi negatif yang

sedang dirasakan AK. Sehingga kemampuan AK untuk mulai

memunculkan ingatan positif ketika kondisi emosi memburuk

adalah suatu perubahan. Ingatan positif yang dimiliki AK kepada

orang tua adalah ibu merupakan perempuan yang kuat dalam

menghadapi kesedihan yang terjadi pada konflik antara suami

istri dalam keluarga. AK mengingat-ingat keberadaan ibunya

sebagai ibu rumah tangga yang mengurus semua urusan rumah

tangga, tidak hanya mengurus anak, melaikan ada masalah lain

dalam keluarga yang tidak diceritakan kepada anaknya, seperti

urusan ekonomi dan masalah dengan suaminya sendiri.

Selanjutnya yaitu pencapaian AK dalam melihat manfaat

atau pelajaran yang diperoleh dari konflik yang telah terjadi.

Pelajaran yang diambil oleh AK adalah belajar untuk dapat

bersikap tegas. Menurut AK, orang tua sering me-lebel karena


124

melihat AK tidak berpendapat dalam momen diskusi keluarga,

AK juga jarang dimintai pendapat karena orang tua menganggap

AK tidak banyak berpengaruh “menyumbangkan” pikiran untuk

suatu keputusan. Dari perkataan yang menyakitkan bagi AK, AK

belajar bahwa mungkin artinya orang tua menginginkan AK bisa

terlihat aktif. Selain itu, AK yang merasa direndahkan oleh orang

tua, belajar ikhlas dengan perkataan negatif dari orang tua yang

diberikan untuk AK. AK menyadari bahwa di antara orang tuanya

pun terjadi masalah lain yang lebih rumit, sehingga AK

memahami apabila orang tuanya sering memarahinya.

2. NR

Konflik yang dialami oleh NR dengan orang tua adalah

berkaitan dengan pekerjaan rumah yang mengganggu waktu

belajar. Berdasarkan sudut pandang NR, orang tua NR terutama

bapak NR, tidak dapat memahami waktu belajar NR. Ketika NR

sedang belajar atau melakukan kesibukan lain, bapak maupun

ibu NR sering menyuruh NR berkali-kali, misalnya meminta NR

membuatkan kopi, diambilkan barang-barang yang sebenarnya

letaknya tidak jauh, mencuci piring, dan meminta dibelikan

sesuatu di warung. Namun apabila tidak dituruti, bapak NR akan


125

marah dengan membentak NR dan mengeluarkan kata-kata

kasar kepada NR, serta melakukan kekerasan fisik apabila level

marahnya tinggi.

Melalui kegiatan menulis ekspresif, NR mampu

menuangkan emosinya secara jujur. NR mampu menyampaikan

emosi marah kepda orang tua yang dipendamnya sendiri.

Kemampuan NR dalam menulis dan bercerita dalam konseling

menunjukkan perkembangan positif secara emosi, di mana NR

mampu terbuka, membahasakan, atau menerjemahkan apa

yang sudah lama NR rasakan. NR mampu jujur kepada diri

sendiri bahwa emosi yang dominan dirasakan NR kepada orang

tua adalah emosi marah.

Pencapaian NR berkaitan dengan kemampuan regulasi

emosi di antaranya yaitu mengenal pilihan aktiftias yang mampu

menurunkan emosi negatif. NR menyadari bahwa tidur sebagai

cara yang dilakukan ketika kondisi emosi memburuk setelah

terjadi konflik dengan orang tua merupakan aktifitas yang

memiliki kekurangan tertentu. NR menyadari bahwa setelah

bangun dari tidur maka kondisi emosi masih sama. NR

mengungnkapkan bahwa aktifitas yang disukai adalah menulis

diary, namun NR tidak melakukan secara rutin. Selain itu, NR


126

juga menyukai kegiatan mendengarkan lagu. Sehingga NR

menyadari kegiatan yang lebih positif atau produktif dari pada

tidur adalah menulis dan mendengarkan lagu.

Selain itu adalah kemampuan NR dalam menggunakan

ingatan positif yang berhubungan dengan orang tua ketika

kondisi emosi memburuk setelah berkonflik dengan orang tua.

Perkembangan secara kognitif dialami oleh NR ketika

sebelumnya NR tidak pernah melibatkan ingatan positif saat

dalam kondisi emosional. Kemampuan NR untuk mulai

memunculkan ingatan positif ketika kondisi emosi memburuk

adalah suatu perubahan. Ingatan positif yang dimiliki NR kepada

orang tua adalah pengalaman ketika NR sakit, maka yang

benar-benar peduli dan mengurus NR adalah ibunya. Meskipun

jika kondisi NR sehat ibu NR sering memarahi dan meminta

melakukan banyak tugas, namun ketika sakit dan dirawat oleh

ibu, maka itu adalah pengalaman yang dapat diingatnya sebagai

ingatan positif.

Selanjutnya yaitu pencapaian NR dalam melihat manfaat

atau pelajaran yang diperoleh dari konflik yang telah terjadi.

Pelajaran tersirat yang diambil oleh NR adalah berhubungan

dengan kegigihan dan keikhlasan. NR belajar dari perasaan


127

kesal yang sering muncul apabila orang tua melibatkan NR pada

pekerjaan rumah yang padat, sedangkan NR memiliki kesibukan

sendiri yang ingin dilakukannya. NR mengambil pelajaran bahwa

hendaknya pekerjaan apapun dilakukan dengan ikhlas dan tidak

terpaksa. Selain itu NR mengambil manfaat dari hal demikian

bahwa NR dapat mulai belajar merasakan kesibukan dan terlatih

menjadi seorang ibu karena NR pun kelak akan menjadi orang

tua.

3. RA

Konflik yang dialami oleh RA dengan orang tua adalah

berkaitan dengan nilai akademik, izin bepergian yang sangat

sulit, atau dalam aktifitas sehari-hari di dalam rumah (misalnya:

“rebutan” remote saat menonton televisi). Berdasarkan sudut

pandang RA, RA merasa konflik dalam keluarganya begitu rumit

karena hampir setiap hari ada saja hal yang membuatnya

dimarahi oleh ibu atau bapak RA. Pada kegiatan menulis

ekspresif, RA mengungkapkan salah satu pengalaman konflik

yang paling emosional, yaitu saat konflik hebat terjadi antara

bapak dan ibu, bapak RA melakukan kekerasan fisik kepada RA

sampai RA terluka karena RA berusaha menjadi penengah.


128

Selain itu (masih dalam kejadian yang sama), ibu RA memarahi

RA dengan meminta RA pergi dari rumah. RA mengungkapkan

emosi sedih yang mendalam dan perasaan “trauma” atas

kejadian tersebut yang selama ini dirahasiakannya dari orang

lain. Hal demikian menunjukan perubahan pada segi emosi RA

yang mampu mulai terbuka kepada orang lain untuk membahas

mengenai emosi yang dirasakannya. Setiap selesai terjadi konflik

dengan orang tua, RA tidak membahasnya kepada orang tua

maupun kepada diri sendiri dengan melakukan penilaian ulang

atas emosi yang dirasakan, melainkan melakukan pembiaran

atas emosi marah dan sedih yang dipendam RA.

Pencapaian RA berkaitan dengan kemampuan regulasi

emosi di antaranya yaitu mampu memunculkan ingatan positif

yang berhubungan dengan orang tua. Perkembangan secara

kognitif dialami oleh RA ketika sebelumnya RA tidak pernah

melibatkan ingatan positif saat dalam kondisi emosional,

melainkan hanya ingatan negatif mengenai orang tua yang

menjadi ingatan kuat bagi RA. Sehingga kemampuan RA untuk

memunculkan ingatan positif ketika kondisi emosi memburuk

adalah suatu perubahan. Ingatan positif yang dimiliki RA kepada

orang tua adalah sisi humoris yang ada pada ibu RA apabila
129

orang lain memulai humor kepada ibu RA. Selain itu RA mampu

mengambil makna positif dari sikap orang tua yang sering

memarahi RA sebagai bentuk karakter orang tua yang tegas.

Selanjutnya yaitu pencapaian RA dalam melihat manfaat

atau pelajaran yang diperoleh dari konflik yang telah terjadi.

Pelajaran yang diambil oleh RA adalah memahami perasaan

orang tua. RA berpikir bahwa bapak RA bersikap kasar secara

fisik kepada RA merupakan bentuk ungkapan perasaan marah

dan sakit hati kepada RA yang telah berbicara dengan cara yang

tidak sopan kepada bapak RA, meskipun dengan maksud baik

yang dimiliki oleh RA saat kejadian tersebut. Selain itu RA

mengambil pelajaran apabila ibu RA memarahi RA dengan cara

mengusir atau meminta RA pergi dari rumah, maka

mengingatkan RA pada keberadaan diri RA sebagai anak yang

tidak dapat menjalani kehidupan tanpa orang tua dan tempat

tinggal, bahwa keluarga adalah tempat untuk kembali. RA

mengambil pelajaran pada cara orang tua RA mengasuh RA, di

mana RA tidak mau melakukan hal buruk yang sama kepada

keturunan RA di masa depan, seperti yang telah orang tua RA

lakukan kepada RA.


130

4. SA

Konflik yang dialami oleh SA dengan orang tua adalah

berkaitan dengan waktu bermain. Berdasarkan sudut pandang

SA, orang tua SA sangat sulit untuk memberi izin SA bermain

bersama teman-teman. Peraturan di rumah terkait penggunaan

waktu sangat diperhatikan oleh orang tua SA, misalnya yaitu

orang tua yang sering mengingatkan waktu belajar jika SA

sedang memainkan handphone sesaat dan peraturan pulang ke

rumah yang tidak boleh melebihi jam 8 malam. Berdasarkan

sudut pandang SA, orang tua “terlalu” membatasi SA untuk

dapat bergaul dengan teman-teman sebaya SA. SA jarang

diizinkan untuk bepergian bersama teman di luar kegiatan

sekolah, sehingga SA merasa terkekang dan tidak dipercayai

oleh orang tua dalam memilih teman bergaul.

Pada kegiatan menulis ekspresif, SA mengungkapkan

salah satu pengalaman konflik yang paling emosional, yaitu

ketika SA pulang ke rumah jam 9 malam. SA dimarahi oleh

kedua orang tuanya karena pulang melebihi aturan di rumah. Ibu

SA memarahi SA dengan melontarkan kata-kata yang sangat

kasar dan tidak layak. SA mengetahui bahwa ini kesalahan SA

karena keasyikan bermain di rumah teman, meskipun


131

sebelumnya SA sudah mendapatkan izin untuk bermain di rumah

teman.SAi merasa sangat sakit hati dan sedih dengan kata- kata

tersebut hingga akhirnya tidak saling bertegur kepada orang tua

selama seminggu lebih, dan tidak diberi uang saku selama itu.

Pada waktu di sekolah pun SA menangis karena memikirkan

kata- kata yang bagi SA sangat menyakitkan. Hingga akhirnya di

hari tertentu (setelah satu minggu lebih) orang tua SA memulai

bicara terlebih dahulu kepada SA tanpa membahas konflik yang

terjadi sebelumnya.

Pencapaian SA berkaitan dengan kemampuan regulasi

emosi di antaranya yaitu mampu mengenal situasi yang

berpotensi memunculkan emosi negatif pada konflik antara diri

sendiri dengan orang tua. Salah 1 situasi yang dikenali sebagai

pemicu konflik antara SA dengan orang tua adalah pulang ke

rumah melebihi jam 8 malam. Pada hari berikutnya SA berupaya

untuk tidak masuk pada situasi tersebut, SA tidak lagi pulang

melebihi jam 8 malam.

Kemampuan SA mengenali kekurangan dan kelebihan

pilihan aktifitas yang dilakukan untuk memodifikasi situasi tidak

nyaman setelah berkonflik dengan orang tua juga merupakan

suatu perubahan positif secara kognitif. Aktifitas yang dilakukan


132

adalah membaca novel atau wattpad, pilihan lain yaitu ke luar

rumah sejenak menggunakan motor memutari jalanan tertentu

yang tidak macet dan merasakan hembusan angin di perjalanan.

SA merasakan bahwa aktivitas tesebt memang tidak

memberikan dampak jangka panjang, namun SA merasakan

kondisi pikiran dan emosi yang membaik dan mereda ketika

melakukan aktivitas tersebut.

Selain itu adalah kemampuan SA dalam upaya regulasi

emosi yaitu menggunakan ingatan positif yang berhubungan

dengan orang tua ketika kondisi emosi memburuk setelah

berkonflik dengan orang tua. Perkembangan secara kognitif

dialami oleh SA ketika sebelumnya SA tidak pernah melibatkan

ingatan positif saat dalam kondisi emosional. Kemampuan SA

untuk mulai memunculkan ingatan positif ketika kondisi emosi

memburuk adalah suatu perkembangan positif. Ingatan positif

yang dimiliki SA kepada orang tua adalah orang tua SN yang

sebenarnya mau menuruti keinginan SA apabila SA dapat

memenuhi syarat dari orang tuanya, misalnya yaitu diminta untuk

lebih giat belajar atau mencapai nilai tertentu apabila

menginginkan sesuatu dari orang tua. SA juga mengungkapkan

bahwa pengalaman masa kecil saat orang tua tidak sesibuk


133

masa sekarang yaitu sering mengajak SA berlibur ke suatu

tempat wisata, merupakan pengalaman yang dapat diingatnya

sebagai ingatan positif.

Ada pun pencapaian SA dalam melihat manfaat atau

pelajaran yang diperoleh dari konflik yang telah terjadi. Pelajaran

yang diambil oleh SA adalah dapat bergaul dan memiliki teman-

teman yang baik atau tidak salah pergaulan. SA berpikir bahwa

mungkin saja jika orang tua tidak bersikap demikian, ia akan

menjadi anak yang bergaul terlalu bebas dan berteman dengan

lingkungan teman-teman yang memberi pengaruh buruk untuk

SA. Manfaat yang SA peroleh dari dengan orang tua adalah

belajar untuk terbiasa disiplin. SA menyadari bahwa peraturan

terkait waktu yang diberlakukan secara tegas oleh orang tua

membuat SA belajar disiplin dalam membagi kegiatan pada

waktu-waktu tertentu dan meminimalisir penggnaan waktu yang

berlebihan untuk bermain.

5. SN

Konflik yang dialami oleh SN dengan orang tua adalah

berkaitan dengan pengunaan handphone dan terlambat pulang

ke rumah. SN dimarai oleh ibu apabila menghabiskan waktu


134

yang cukup lama di dalam kamar untuk bermain handphone. Ibu

SN meminta SN untuk tidak bermain handphone dan

menggantinya dengan kegiatan belajar. Sedangkan berdasarkan

sudut pandang SN, SN bermain handphone ketika baru pulang

dari sekolah karena ingin refreshing setelah berjam-jam belajar

di sekolah. SN menjadi sangat bad mood dan menahan marah

apabila ibu meminta SN untuk belajar, sedangkan SN baru

pulang sekolah. SN merasa kesal karena dipandang sebagai

anak yang pemalas oleh ibu ketika sedang bermain handphone

di kamar sepulang sekolah, sedangkan maksud SN bermain

handphone adalah untuk refreshing karena di sekolah dilarang

memainkan handphone meskipun membawanya.

Konflik lain yang terjadi yaitu apabilla SN telat pulang ke

rumah malam hari setelah bermain dengan temannya.

Pengalaman yang pernah terjadi adalah bapak SN memarahi SN

dengan cara menarik telinga SN sampai sakit ketika SN tiba di

rumah. Berdasarkan sudut pandang SN, SN merasa kesal

karena diperlakukan oleh orang tua seperti anak kecil, di mana

orang tua membatasi waktu SN untuk bermain, tidak percaya

pada SN bahwa SN dapat menjaga diri dan mengetahui batasan-

batasan dalam bergaul, meskipun pulang malam. SN juga


135

merasa sering memendam marah kepada orang tua karena

orang tua yang menasihati dengan cara memarahinya bahkan

melibatkan kontak fisik, seperti menarik telinga atau

memukulnya.

Pencapaian SN berkaitan dengan kemampuan regulasi

emosi di antaranya yaitu mampu mengenal situasi yang

berpotensi memunculkan emosi negatif pada konflik antara diri

sendiri dengan orang tua. SN mengenali bahwa situasi yang

memicu ibunya marah adalah ketika pulang sekolah bermain

handphone di kamar. Upaya SN untuk menghindari situasi

tersebut adalah berpindah tempat ketika bermain handphone

sepulang sekolah, yaitu tidak lagi di dalam kamar, namun di luar

kamar (misalnya ruang keluarga), agar kesannya tidak terlalu

fokus bermain seperti sebelumnya bermain handphone di dalam

kamar dengan pintu ditutup. SN mengungkapkan bahwa ia

kesulitan dan belum bisa menghilangkan aktivitas bermain

handphone sepulang sekolah karena baginya itu adalah aktifitas

bersantai setelah “seharian” belajar di sekolah. Meskipun upaya

SN baru dapat dilakukan dengan cara berpindah tempat dan

mengurangi durasi bermain handphoe, namun hal tersebut

meminimalisir munculnya kemarahan ibu SN karena SN dapat


136

segera menghampiri ibu apabila ibu SN memanggil dan meminta

tolong sesuatu hal.

Kemampuan SA mengenali kekurangan dan kelebihan

pilihan aktifitas yang dilakukan untuk memodifikasi situasi tidak

nyaman setelah berkonflik dengan orang tua juga merupakan

suatu perubahan positif. Hal yang biasanya terjadi setelah

berkonflik adalah ibu SN mendiamkan (tidak mengajak bicara)

SN, maka SN merasakan emosi yang tidak nyaman. Cara SN

menghadapi emosi yang tidak nyaman adalah dengan menonton

youtube chanel kesukaannya yaitu video tutorial make up, atau

pergi ke suatu tempat perbelanjaan untuk membeli make up,

pakaian, atau sekedar melihat-lihatnya saja. Dalam aktivitas

tersebut SN mampu melihat adanya kekurangan, yaitu apabila

SN pergi dan membeli sesuatu, maka uang jajannya akan cepat

habis. Kemudian pada eksplorasi hobi atau kesukaan, SN

menemukan inspirasi yang akan coba dilakukan sebagai bentuk

aktifitas menurunkan tingkat emosi, yaitu kegiatan mengedit foto.

Menurut SN eksplorasi berbagai gambar indah di internet

sebagai bahan untuk edit foto juga aktifitas yang menyenangkan.

Selain itu adalah kemampuan SN dalam upaya regulasi

emosi yaitu menggunakan ingatan positif yang berhubungan


137

dengan orang tua ketika kondisi emosi memburuk setelah

berkonflik dengan orang tua. Perkembangan secara kognitif

dialami oleh SN ketika sebelumnya SN tidak pernah melibatkan

ingatan positif saat dalam kondisi emosional. Kemampuan SN

untuk mulai memunculkan ingatan positif ketika kondisi emosi

memburuk adalah suatu perkembangan positif. Ingatan positif

yang dimiliki SN merupakan sisi positif dari ibu SN, bahwa ibu

SN mampu mengabulkan keinginan atau permintaan SN setelah

selesai memarahinya dan megajak bicara SN kembali. Sehingga

bagi SN sifat positif ibu adalah pemberi/ pemurah (tidak pelit).

Ada pun pencapaian SN dalam melihat manfaat atau

pelajaran yang diperoleh dari konflik yang telah terjadi. Pelajaran

yang diambil oleh SN adalah memahami kekhawatiran orang tua.

SN memahami maksud tegas bapak SN yang selalu memarahi

SN setiap pulang malam. SN berpikir bahwa sikap orang tua

yang membatasi pergaulan SN merupakan bentuk kekhawatiran

terhadap SN apabila menjadi bahan pembicaraan buruk/

dianggap sebagai perempuan yang tidak baik oleh tetangga

apabila SN pulang malam.

D. Pengujian Hipotesis dan Pembahasan

1. Pengujian Hipotesis
138

Berdasarkan hasil penghitungan Mann Whitney U Test

melalui Statistical Product and Service Solution 16.0 for

windows, diperoleh data sebagai berikut

Tabel 4.14

Hasil Uji Hipotesis (Mann Whitney U Test)

b
Test Statistics

Regulasi emosi

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 15.000

Z -2.619

Asymp. Sig. (2-tailed) .009


a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .008

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelas

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa nilai

Asymp. Sig yaitu sebesar 0.009. Angka tersebut menunjukan

bahwa nilai probilitas lebih kecil dari pada nilai signifikansi α

0.05. Maka dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan H1

diterima, artinya terjadi perbedaan kemampuan regulasi emosi

pada aspek reappraisal cognitive yang signifikan setelah

diberikan perlakuan. Hal demikian memiliki arti bahwa

pemberian perlakuan memberi pengaruh positif, yaitu mampu


139

meningkatkan kemampuan regulasi emosi pada aspek

reappraisal cognitive anggota kelompok eksperimen.

Ada pun untuk mengetahui tingkat efektivitas

penggunaan teknik expressive writing therapy, dilakukan uji N

Gain Score menggunakan Statistical Product and Service

Solution 16.0 for Windows. Maka diperoleh hasil mean N Gain

Score pada kelompok eksperimen sebesar 0.56 atau 56.6551

%. Angka tersebut berada pada rentang kategori cukup,

sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan teknik

expressive writing cukup efektif dalam meningkatkan regulasi

emosi peserta didik pada masalah konflik remaja-orang tua.

2. Pembahasan

Uji hipotesis menunjukkan bahwa penerapan expressive

writing therapy dalam konseling kelompok memberi pengaruh

pada peserta didik berupa peningkatan kemampuan regulasi

emosi dalam masalah konflik remaja-orang tua. Berdasarkan

hasil pre test menunjukan terdapat 5 peserta didik pada

kelompok eksperimen dan 5 peserta didik pada kelompok kontrol

memiliki tingkat regulasi emosi rendah pada aspek reappraisal

cognitive. Pada penerapan expressive writing therapy kepada


140

kelompok eksperimen, diperoleh hasil bahwa peserta didik

mengalami peningkatan dalam regulasi emosi, di antaranya yaitu

3 peserta didik berada pada kategori sedang dan 2 peserta didik

berada pada kategori tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

seluruh anggota yang mengikuti expressive writing therapy

mengalami peningkatan dalam kemampuan regulasi emosi dan

tidak ada satu pun yang berada pada kategori rendah.

Masalah yang dibahas dalam kegiatan konseling

kelompok menggunakan teknik expressive writing therapy

berfokus pada konflik remaja-orang tua. Anggota kelompok

adalah peserta didik yang berada pada usia remaja, di mana

remaja adalah usia yang paling ditantang dalam hal mengelola

emosi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Steinberg (Santrock,

2013) bahwa ketidaktahuan remaja akan cara mengekspresikan

emosi secara efektif memungkinkan remaja untuk “meledak”

pada orang tua atau saudara kandung mereka. Hal demikian

terjadi pada kelima peserta didik dalam kelompok konseling

penelitian ini, di mana situasi atau momen yang dinamakan

“meledak” secara emosi adalah ketika peserta didik berkonflik

dengan orang tua mereka sendiri.

Ada pun 4 dari 7 area konflik yang ditemukan dalam


141

penelitian Lestari (2012) dialami oleh peserta didik dalam

kelompok konseling, di antaranya yaitu konflik yang

berhubungan dengan; penggunaan handphone, pencapaian

akademik, keterlibatan dengan tugas rumah, dan keterlambatan

pulang ke rumah. Sedangkan 3 area konflik remaja-orangtua

lainnnya tidak peneliti temukan pada peserta didik, antara lain

konflik yang berhubungan dengan cara berpenampilan,

karakteristik teman sepergaulan, dan keterlibatan pada

hubungan romantis/ pacaran. Selain itu, konflik yang

berhubungan dengan kegiatan sehari-hari dan konflik yang

berhubungan dengan sulitnya perizinan keluar rumah.

Pengalaman konflik yang dialami peserta didik dengan

orang tua menjadi suatu pengalaman emosional bagi anak

(peserta didik). Emosi, kata-kata, perlakuan, atau sikap buruk

orang tua kepada anak ketika berkonflik memberi dampak yang

buruk bagi psikologis anak. Beberapa pengalaman konflik

remaja-orang tua yang terjadi pada peserta didik dalam

penelitian ini, tidak selalu pengalaman konflik besar/ hebat yang

mampu membuat kondisi emosi peserta didik memburuk atau

menjadi negatif, melainkan pada konflik ringan yang terjadi

sehari-hari atau kebijakan orang tua yang terpaksa harus


142

diterima oleh peserta didik pun merupakan masalah bagi peserta

didik. Hal demikian seperti contoh yang paling umum dialami

peserta didik dalam kelompok konseling adalah masalah terkait

perizinan keluar rumah yang sulit.

Kebijakan orang tua untuk tidak mengizinkan anak

bepergian keluar rumah menjadi suatu konflik menurut perspektif

anak, namun “tidak” dalam perspektif orang tua. Gambaran

demikian dikuatkan oleh pernyataan Demo (Lestari, 2012)

bahwa umumnya orang tua menilai hubungan dengan anaknya

baik-baik saja dan konflik di antaranya tidak keras dan tidak

sering, sedangkan bagi remaja (anak), mematuhi pendapat

orang tua tidak selalu berarti tidak ada konflik atau pun konflik

telah selesai. Pada kelompok konseling ini, peneliti menemukan

bahwa tidak hanya dalam hal mematuhi pendapat orang tua

secara terpaksa yang menjadi pemicu munculnya emosi negatif

pada peserta didik, melainkan juga perkataan dari orang tua

berupa panggilan, sebutan, atau lebel negatif merupakan

sesuatu yang menjadi konflik dalam perspektif anak dan memicu

munculnya emosi negatif, seperti sedih dan sakit hati mendalam

yang kemudian dipendam tanpa diregulasi.

Intensitas konflik yang tidak jarang terjadi bukan hanya


143

memberi pengaruh jangka pendek secara emosional, seperti bad

mood, kesal, marah dan sedih yang singkat. Melainkan emosi-

emosi negatif yang dipendam, tidak disalurkan, dan tidak

diperhatikan merupakan bentuk regulasi emosi yang tidak sehat.

Konseli dalam kelompok konseling ini cenderung tidak

menunjukan emosi negatif pada konflik dengan orang tua

melalui sikap yang buruk, misalnya bersikap agresif. Konseli

dalam kelompok konseling ini cenderung tidak mengekspresikan

emosi negatif pada konflik yang dialami dengan orang tua

dalam wujud sikap negatif, melainkan emosi marah, sakit hati,

dan sedih yang dipendam menjadi pemicu stress, merasa

inferior, dan tertekan.

Gambaran tersebut sesuai dengan penjelasan Santrock

(2013) bahwa masalah pada remaja dikategorikan menjadi 2,

yaitu ketika individu mengubah masalah ke dalam diri

(internalisasi) dan mengubah masalah ke luar (eksternalisasi).

Adapun contoh masalah internalisasi yaitu kecemasan dan

depresi. Stenberg (Santrock, 2013) mengatakan bahwa

kecenderungan remaja tidak efektif dalam mengatur (regulasi)

emosi membuat remaja rentan untuk mengalami depresi dan

kemarahan.
144

Gross (2014) memberikan 2 strategi sebagai upaya

regulasi emosi, yaitu cognitive reappraisal dan expressive

suppression. Cognitive reappraisal adalah suatu bentuk upaya

regulasi emosi yang mengacu pada kognitif, sedangkan

expressive suppression adalah bentuk regulasi emosi yang

mengacu pada perilaku.

Berdasarkan hasil tes regulasi emosi, konseli

menunjukkan regulasi emosi yang tidak buruk pada aspek

expressive suppression, namun pada aspek cognitive

reappraisal konseli berada pada kategori redah. Hasil tersebut

menjadi perhatian peneliti, bahwa individu yang tampak tidak

bermasalah secara sikap, (seperti: disiplin, tidak melanggar

peraturan, tidak bersikap agresif, atau tidak terlibat dalam

kenakalan remaja) tidak selalu berarti bahwa mereka memiliki

regulasi emosi yang tinggi. Individu yang mampu menekan

sikapnya untuk tidak mengekspresikan emosi negatif (expressive

suppression), belum berarti telah melakukan upaya regulasi

emosi melalui penilaian kembali pikiran (cognitive reappraisal).

Individu bisa saja berhasil menyembunyikan kemarahan pada

orang lain terhadap suatu kejadian, namun belum mampu

menerima dan memahami emosi untuk dirinya sediri. Bagi


145

peneliti, itu merupakan contoh yang kurang/ tidak sehat dari

penerapan regulasi emosi.

Pemikiran demikian dikuatkan oleh hasil penelitian Cutuli

(2014) menunjukan bahwa reappraisal cognitive memiliki profil

yang lebih sehat pada konsekuensi afektif, kognitif, dan sosial

jangka pendek, jika dibandingkan dengan expressive

suppression. Selain itu, reappraisal cognitive sebagai suatu

strategi regulasi emosi yang mengacu pada kognitif, maka

sangat sesuai bagi remaja untuk melatih kemampuan regulasi

emosi karena kemampuan kognitif di masa remaja mengalami

peningkatan. Hal tersebut dikuatkan oleh pernyataan Santrock

(2013) bahwa masa remaja mengalami peningkatan

kemampuan secara kognitif, sehingga kesadaran pada remaja

dapat membantu mempersiapkan remaja dalam mengatasai

masalah stres dan gejolak emosi secara efektif.Kemampuan

cognitive reappraisal inilah yang dilatih selama konseling

kelompok, di mana konseli berlatih secara kognitif untuk

menciptakan kondisi emosi yang sehat setelah mengalami

gejolak emosi pada konflik yang terjadi dengan orang tua.

Teknik expressive writing merupakan teknik yang

melibatkan peran aktif kognitif pada setiap konseli karena


146

aktifitas menulis merupakan bentuk aktifitas kognitif. Selain itu,

menulis merupakan cara untuk menerjemahkan,

memverbalisasaikan, atau membahasakan emosi, yang mana itu

merupakan cara lain (selain bercerita) untuk mengelola emosi.

Seperti yang dikatakan oleh Pennebaker dan Evans (2014)

bahwa individu mampu mengungkapkan emosinya secara verbal

dengan 2 cara, yaitu dengan cara bercerita atau dengan cara

menulis.

Kegiatan expressive writing yang dilakukan konseli juga

merupakan bentuk katarsis untuk mengekspresikan perasaan

secara jujur dan terbuka yang sebelumnya tidak menjadi

perhatian penting bagi konseli. Menulis selama 15 hingga 20

menit membantu konseli untuk mengenal dan memahami lebih

dalam emosi atau perasaan yang dialami, menyadarkan pada

dampak emosional yang terjadi akibat konflik dengan orang tua,

memunculkan perspektif lain dalam melihat konflik, dan

mengingat kembali pengalaman konflik dengan orang tua

sebagai manfaat yang dapat diambil dari konflik. Seperti yang

dikatakan oleh Pennebaker dan Evans (2014) bahwa expressive

writing merupakan alat refleksi diri melalui eksplorasi emosi yang

terjadi dalam hidup, melihat secara mendalam dan memahami


147

diri sendiri sebagai refleksi atau evaluasi pengalaman hidup

(Pennebaker dan Evans, 2014).

Selain itu, kegiatan sharing dan diskusi membantu

konseli untuk saling terbuka pada konflik yang terjadi dengan

orang tua. Sebelum mengikuti kegiatan konseling kelompok,

konseli merupakan individu yang sangat tertutup untuk

menceritakan kepada orang lain mengenai konflik yang terjadi

dengan orang tua. Pada kegiatan sharing anggota mampu

terbuka satu sama lain sehingga mampu memunculkan

pandangan yang lebih luas dan mengetahui area-area konflik

dengan orang tua yang dapat menjadi upaya pencegahan

bertambahnya konflik dengan orang tua. Melalui diskusi yang

dilakukan, konseli saling membantu untuk menemukan manfaat

dan pelajaran yang dapat diambil dari konflik yang dialami.

Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa

expressive writing therapy dalam konseling kelompok dapat

diterapkan untuk meningkatkan kemampuan regulasi emosi

pada aspek reappraisal cognitive peserta didik yang memiliki

masalah konflik dengan orang tua. Hal demikian sesuai dengan

kebutuhan remaja yang memiliki kemampuan regulasi emosi

rendah dalam menghadapi konflik dengan orang tua. Melalui


148

teknik expressive writing dalam konseling kelompok, peserta

didik mulai mampu menerapkan seleksi situasi, modifikasi

situasi, ingatan positif, dan mengubah pikiran sebagai strategi

regulasi emosi dalam menghadapi konflik dengan orang tua.

Ada pun berdasarkan hasil penghitungan selisih skor pre

test dan post test (gain) yang diperoleh, maka dapat dilihat

peserta didik dengan skor gain terbesar dan skor gain terkecil

dalam satu kelompok konseling. Melalui skor gain, peneliti dapat

mengetahui besar perubahan setiap anggota secara kuantitas.

SA merupakan peserta konseling kelompok dengan skor

perubahan tertinggi yaitu 35, sedangkan AK peserta dengan

skor perubahan terendah yaitu 16. Besar perubahan pada setiap

peserta dalam 1 kelompok berbeda-beda, hal demikian dapat

terjadi karena beberapa faktor, baik internal maupun eksternal.

Pada SA, terdapat faktor eksternal yang membuatnya

mengalami perubahan paling besar dalam kelompok, salah

satunya yaitu adanya reward yang diberikan oleh orang tua. SA

menyadari pola konflik yang terjadi antara dirinya dengan orang

tua, bahwa konflik yang terjadi sering disebabkan karena

tuntutan orang tua terhadap SA apabila SA menginginkan

sesuatu. Meskipun konflik bagi SA adalah ketika SA tidak setuju


149

dengan tuntutan atau syarat dari orang tua, namun SA

menyadari bahwa konflik tersebut dapat selesai apabila SA

memenuhi tuntuan orang tua karena setelah tuntutan dari orang

tua terpenuhi, maka orang tua SA tidak pernah lupa untuk

memberi SA reward. Pada hal demikian, menggambarkan

bahwa strategi attentional deployment mungkin digunakan

dengan baik oleh SA.

Faktor lain yaitu secara internal SA memiliki

pengalaman masa kecil yang menyenangkan bersama orang tua

sebelum SA memiliki adik. Sehingga ingatan positif demikian

berpengaruh secara kognitif, memberikan sudut pandang lain

yang positif, bahwa perubahan pada orang tua ketika SA masih

kecil dengan masa sekarang merupakan transisi dalam

kehidupan, di mana keinginan yang didapatkan tanpa syarat

hanya berlaku bagi masa kecil, tapi tidak untuk masa sekarang.

Pada hal demikian, SA mungkin menjadi lebih maksimal

menggunakan strategi cognitive change-nya.

Berbeda halnya dengan AK, faktor eksternal yang

mungkin mempengaruhi tidak maksimalnya perubahan pada AK

adalah kondisi kedua orang tua yang tidak harmonis, sehingga


150

intensitas konflik yang terjadi di dalam keluarga lebih sering jika

dibandingkan dengan keluarga SA. Beberapa pengalaman

konflik yang terjadi antara bapak/ ibu dengan AK disebabkan

karena situasi orang tua yang masih dalam kondisi berkonflik

(konflik suami istri). Sehingga, mungkin hal demikian menjadi

kondisi yang kompleks pada AK, di mana strategi regulasi

diterapkan oleh AK namun keadaan yang demikian tidak

mendukung bahkan sebaliknya, membuat AK membutuhkan

strategi regulasi emosi yang lain.

Adapun berdasarkan hasil uji gain ternormalisasi,

kualitas peningkatan termasuk dalam kategori sedang.

Peningkatan yang terjadi pada keempat aspek dipengaruhi oleh

faktor tertentu, dimana setiap aspek memiliki besar peningkatan

yang berbeda-beda pada setiap individu. Ada individu yang

cenderung merasa maksimal dalam penggunaan strategi

situation selection, namun ada individu yang maksimal pada

penggunaan strategi modification selection.

Secara umum, dalam kelompok konseling ini, para

anggota menyadari bahwa menurut mereka, sejauh ini strategi

yang paling mudah dilakukan adalah modifikasi situasi dan

seleksi situasi apabila dibandingkan dengan attentional


151

deployment. Sebagian besar anggota setuju bahwa

memunculkan ingatan positif tentang orang tua saat kondisi

emosi memburuk adalah upaya yang sangat sulit. Para anggota

menganggap bahwa yang mendominasi pikirannya ketika dalam

kondisi emosional adalah keburukan-keburukan orang tuanya.

Maka dalam memunculkan ingatan positif ketika kondisi

emosi kurang baik akibat konflik dengan orang tua, merupakan

upaya yang belum pernah anggota lakukan sebelum adanya

konseling kelompok ini. Sehingga, upaya anggota dalam

menerapkan strategi attentional deployment merupakan

pencapaian atau perubahan besar konseli secara kognititif,

meskipun belum dapat dilakukan secara maksimal karena hal

demikian merupakan keterampilan yang sedang baru konseli

latih saat ini. Oleh karena itu, perbedaan pencapaian pada

setiap aspek, dimana aspek selection situation dan modification

situation mungkin dapat lebih maksimal dari pada attentional

deployment, merupakan salah satu gambaran hasil kualitas

peningkatan yang terkategori sedang. Artinya kualitas

peningkatan ini masih dapat ditingkatkan seiring dengan

diterapkannya keempat strategi regulasi secara maksimal.

E. Keterbatasan Penelitian
152

1. Penelitian ini hanya berfokus pada 1 aspek dari 2 aspek yang

ada dalam regulasi emosi. Penelitian ini berfokus pada aspek

reappraisal cognitive, sedangkan aspek expressive suppresision

tidak dimasukkan dalam target pencapaian.

2. Regulasi emosi yang menjadi target perubahan pada penelitian

ini hanya berfokus pada 1 situasi masalah yaitu permasalahan

konflik remaja-orang tua.

3. Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisir karena hanya

dilakukan pada peserta didik keals X MAN 8 Jakarta.

4. Pada suatu pertemuan pemimpin kelompok tidak melalukan ice

breaking atau games pembuka. Hal demikian sebagai upaya

menghemat waktu, berhubung kegiatan belajar di sekolah telah

aktif.

5. Ruangan yang dipakai untuk penelitian bukan ruang konseling,

melainkan ruang kelas dan masjid. Pada pemakaian ruang

kelas, kondisi dapat dikatakan nyaman dan kondusif. Sedangkan

pada pemakaian di masjid kondisi kurang kondusif karena

terdapat suara gangguan dari orang lain.


153

6. Peneliti tidak melakukan analisis hubungan antara banyaknya

tulisan pada setiap konseli yang dihasilkan setiap pertemuan,

dengan skor pencapaian mengenai perubahan yang diperoleh

setiap konseli pada keberhasilan konseli menerapkan strategi

regulasi emosi. Hal demikian apabila diperhatikan sejak awal

hingga akhir, maka dapat diketahui ada tidaknya kemungkinan

hubungan, misalnya semakin banyak tulisan yang dihasilkan

oleh konseli, maka hasil pencapaian konseli akan kemampuan

regulasi emosi juga lebih baik. Pada penelitian ini, peneliti tidak

memperhatikan hal demikian.

Anda mungkin juga menyukai