Anda di halaman 1dari 55

“Tanggung Jawab Perusahaan”

Dosen Pengampu : Lenti Saragih S,Pd M,Si


D

OLEH:

Citra Guspianti Siahaan (7183343027)

Flora Ester Sijabat (7182143015)

Maruli Reagen Silaban (7183143027)

Mira Ardila (7183343004)

REGULER A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BISNIS

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2018/2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aspek Pajak Dalam Dunia
Bisnis”..

Makalah yang dibuat ini diambil dari beberapa sumber baik dari buku maupun dari
internet dan membuat gagasan dari beberapa sumber yang ada tersebut.

Penulis juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih banyak kekurangan.
Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau kritik yang
membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik.

Medan, Oktober 2019

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Tujuan Makalah.............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................2

2.1 Tanggung Jawab Perusahaan .........................................................................................2

2.2 Perlindungan Konsumen……………………………………………………………..


2.3 Jaminan Hukum terhadap Pengguna Teknologi............................................................26

BAB IIIPENUTUP..............................................................................................................50

3.1 Kesimpulan....................................................................................................................50

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................51
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

S
B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan
BAB II

PEMBAHASAN

1. Tanggung Jawab Pelaku Usaha


Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “produk yang cacat”, bisa dikarenakan kekurang cermatan
dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan / jaminan atau kesalahan
yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 diatur Pasal 19 sampai dengan
Pasal 28. Dalam Pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti rugi kerugian atau
kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang,
penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sementara itu, Pasal 20 dan 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha
tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan Pasal
22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidakya unsur kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19.
Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen menganut sistem beban
pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak atau tidak meberi tanggapan dan tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23 dapat digugat
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan
ditempat kedudukan konsumen.
Pelaku usaha yang menjual barang atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
1. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan
apapun atas barang atau jasa tersebut.
2. Pelaku usaha lain di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak
sesuai dengan contoh mutu dan komposisi.

Pelaku usaha sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang atau jasa tersebut.

Di dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari


tanggung jawab atas kerugian yang di derita konsumen, apabila. Barang tersebut terbukti
seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan.

1. Cacat barang timbul pada kemudian hari.


Cacat timbul di kemudian hari adalah seduah tanggal yang mendapat
jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun
lisan.
2. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standardisasi yang
telah ditetapkan pemerintah berdassrkan kesepakatan semua pihak.
3. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
4. Lewatnya jangka waktu penentuan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah garansi.
2. PERLINDUNGAN KONSUMEN

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata Consumer (Inggris-Amerika), atau Consument
/ konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata Consumer itu adalah setiap orang yang
menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang/jasa tersebut nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana penggunaan tersebut.1

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat
penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak produsen
barang dan jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha yang dalam prakteknya
tidak lepas dari keterkaitan dengan konsumen. Jadi secara langsung atau tidak langsung
konsumenlah yang merasakan dampaknya.2

Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha bukan merupakan hal baru. Hal ini disebabkan
banyaknya transaksi yang dibuat di luar peraturan yang ada. Dalam perkembangannya konsumen
semakin menyadari akan hak-haknya dan berjuang dalam hal konsumen menerima prestasi yang
tidak sesuai dengan isi kontrak, barang yang dibeli kualitasnya tidak bagus atau ada cacat
tersembunyi yang merugikan konsumen dan adanya unsur penipuan atau paksaan dalam
melakukan transaksi.3

Gerakan perlindungan konsumen akhirnya lahir sebagai cabang hukum baru dalam
perkembangan ilmu hukum. Lahirnya cabang hukum baru ini didasari oleh kesadaran akan
posisinya yang semakin lemah. Hal ini disebabkan oleh perkembangan dunia bisnis yang sangat
pesat. “Mengingat bahwa perkembangan dunia bisnis yang semakin cepat maka perlu diusahakan
suatu bentuk perlindungan konsumen yang semakin efektif pula. Sebab jika tidak maka posisi
konsumen tidak lagi menjadi subjek dalam bisnis, tetapi menjadi objek potensial dirugikan.”4

Pengertian perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yakni sebagai berikut :
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.”

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang tersebut di atas cukup memadai. “Kalimat
yang menyatakan ‘segala yang menjamin adanya kepastian hukum’, diharapkan sebagai benteng
untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan perlindungan konsumen.”5

Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)


namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, apalagi karena
keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh pelaku usaha.

a. Pengertian konsumen

Sebelum membahas pengertian konsumen sesuai ketentuan Undang-Undang Perlindungan


Konsumen (UUPK), perlu juga diketahui pengertian konsumen dari berbagai negara sebagai
suatu perbandingan. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa kata consumer (Inggris-Amerika),
atau consument / konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung
dalam posisi mana ia berada.

“Secara harafiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang.”6 Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut.

Begitu pula dalam Kamus Besar Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata “consumer sebagai
pemakai atau konsumen.”7

Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang, konsumen diartikan


sebagai “The person who obtains goods or services for personal or family purposes”. Dari
definisi itu terkandung dua unsur, yaitu (1) Konsumen hanya orang, dan (2) barang atau jasa
yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya.

Undang-Undang Jaminan Produk di Amerika Serikat sebagaimana dimuat dalam Magnusson –


Moss Warranty, Federal Trade Commission Act 1975 mengartikan konsumen persis sama
dengan ketentuan di Perancis. “Di Amerika Serikat, konsumen diartikan sebagai korban pemakai
produk yang cacat, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai bahkan juga
bukan korban yang bukan pemakai karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan
oleh korban yang bukan pemakai.”

Demikian pula dengan rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perbahan hukum Belanda
(NBW Buku VI, Pasal 236), konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah, dimaka maksudnya
ketika mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau
perusahaan.

Menurut Kotler, “Consumers are individuals and households for personal use producers are
individual and organization buying for the purpose of producing. Artinya konsumen adalah
individu kaum rumah tangga yang melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal,
produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi.”

Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, konsumen diartikan sebagai “pemakai barang-barang
hasil produksi (bahan pakaian, makanan).”

Menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen yakni


sebagai berikut :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Dari pengertian tersebut, maka dapat diuraikan unsur-unsurnya, yaitu :

1. Setiap orang

Subyek yang sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang
dan/atau jasa.

2. Pemakai

Setiap orang yang memakai, dan/atau memanfaatkan suatu barang dan/atau jasa tetapi tidak
untuk diperdagangkan kembali.

3. Barang/atau jasa

Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak
bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunaka, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan jasa adalah setiap layanan
yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan
oleh konsumen.

4. Yang tersedia dalam pasar

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen harus sudah tersedia dalam pasaran.

5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain

Barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat itu, harus dapat berguna bagi kepentingan
semua orang dan juga seluruh makhluk hidup, baik diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk
hidup lainnya.

6. Tidak untuk diperdagangkan

Di dalam kepustakaan ekonomi, dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Sedangkan konsumen
antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi
suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir.

Dari ketentuan yang termuat di atas, menunjukkan betapa beragamnya pengertian konsumen.
Ketentuan-ketentuan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.

b. Pengertian pelaku usaha

Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen


yakni sebagai berikut :

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen cukup
luas dimana yang termasuk di dalam pengertian tersebut adalah perusahaan, korporasi, BUMN,
koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tersebut memiliki persamaan dengan
pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat
dikualifikasi sebagai produsen yakni sebagai berikut :

“Produsen adalah pembuat produk jadi (finished product), penghasil bahan baku, pembuat suku
cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan
namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli pada
produk tertentu, importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan,
disewagunakan (leasing) atau bentuk lain dalam transaksi perdagangan, pemasok (supplies),
dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.”

Dengan demikian tampak bahwa pelaku usaha yang dimaksudkan dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda karena
produsen atau pelaku usaha dapat berupa perseorangan, atau badan hukum.

Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar
negeri, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) membatasi orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia.

Aspek Hukum dalam Perlindungan Konsumen

Peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan ilaonsumen yang disebut sebagai


umbrella act adalah Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya dsingkat UUPK), yang disahkan tanggal 20 April 1999, dan baru diberlakukan satu
tahun kemudian (tanggal 20 April 2000).

Penundaan ira dianggap perlu untuk melengkapi berbagai pranata hukum yang diperlukan.

Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memuat aturan-aturan hukum tentang


perlindungan terhadap konsumen yang berupa payung (umbrella) bagi perundang-undangan
lainnya yang rnenyangkut konsumen, sekaligus mengintegrasikan perundang-undangan itu
sehingga memperkuat penegakan hukum dibidang perlindungan konsumen.

Sebagaimana dimuat dalam penjelasan Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK),


bahwa UUPK ini bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang
perlindungan konsumen. Terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada
dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dari segi substansi, UUPK
memuat garis-garis besar perlindungan konsumen yang membuka peluang untuk diatur didalam
perundang-undangan tersendiri.;13

Di samping UUPK, hukum konsumen juga diketemukan di dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang juga memuat berbagai kaidah yang menyangkut hubungan dan
masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan tersebut tidak khusus diterbitkan
untuk konsumen, setidak-tidaknya dapatdijadikan dasar bagi perlindungan konsumen.14

Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR.

Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan, alinea ke 4: “… kemudian daripada itu untuk


membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia …”

Pasal 27 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, “Tiap warga negara berhak atas penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”

Ketetapan Majelis Permusyawatan Rakyat 1993; “…meningkatkan pendapatan produsen dan


melindungi kepentingan konsumen.”

Terkait dengan bunyi Pembukaan alinea ke-4 UUD 1945, umumnya sampai saat ini orang
bertumpu pada kata “segenap bangsa”, sehingga ia diambil sebagai azas tentang persatuan
seluruh bangsa Indonesia (azas persatuan bangsa). Akan tetapi, disamping itu, dari kata
“melindungi” menurut Az. Nasution didalamnya terkandung pula azas perlindungan (hukum)
pada segenap bangsa tersebut.

Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa termasuk konsumen,
tanpa kecuali.

Landasan hukum lainnya adalah Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945. Penghidupan yang layak, apalagi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga negara dan hak semua
orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh. Selanjutnya untuk melaksanakan
perintah UUD 1945 melindungi segenap bangsa, khususnya melindungi konsumen, MPR telah
menempatkan berbagai ketetapan, khususnya TAP MPR Tahun 1993.
TAP MPR Tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan konsumen”. Hanya sayang
dalam TAP MPR ini tidak terdapat penjelasan tentang apa yang dimaksud melindungi
kepentingan konsumen tersebut. Satu hal yang menarik dari TAP MPR 1993 adalah disusunnya
dalam satu napas, dalam satu baris kalimat, tentang kaitan produsen dengan konsumen. Susunan
kalimat sebagaimana dimaksud berbunyi; “…. meningkatkan pendapatan produsen dan
melindungi kepentingan konsumen.” Dengan susunan kalimat. demikian, terlihat lebih jelas
arahan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang kekhususan kepentingan produsen (dan
semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan konsumen.

Kepentingan pendapatan produsen (lebih tepat pelaku usaha atau pengusaha) dalam rangka
pelaksanaan kegiatan usaha mereka terkait dengan memproduksi, menawarkan dan/atau
mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan hukum yang mereka perlukan adalah
agar penghasilan/pendapatan dalam berusaha bisa meningkat, tidak merosot atau bahkan hilang
sama sekali karena;

Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau tidak efisien dalam menjalankan
manajemen usaha (perlu ketentuan-ketentuan tentang pembinaan).

Adanya praktek-praktek niaga tertentu yang menghambat atau menyingkirkan para pengusaha
dari pasar, seperti praktek persaingan melawan hukum, penguasaan pasar yang dominan, dan
lain-lain (memerlukan ketentuan-ketentuan pengawasan).

Sementara kepentingan konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa, adalah
agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh, bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh,
keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga, dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan
atau merugikan mereka). Jadi yang menonjol dalam perlindungan kepentingan konsumen ini
adalah perlindungan pada jiwa, kesehatan, harta dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.

Peraturan Perundang-undangan Lainnya

Di tingkat undang-undang, sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


Perlindungan Konsumen tersebut, telah ada beberapa undang-undang yang secara tidak langsung
bertujuan untuk melindungi konsumen dapat disebutkan sebagai berikut:15
Kitab Undang-Undang Hukum Perbahan hukum (KUH Perbahan hukum) Stb. 1847 Nomor 23,
bagian Hukum Perikatan (Buku III), khususnya mengenai wanprestasi (Pasal 1236 dan
seterusnya) dan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 dan seterusnya).

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pendaftaran Gedung.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene untuk Usaha-Usaha Umum.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Ordonansi tentang Barang Berbahaya, Stb. 1949 Nomor 337.

Undang-Undang Nomor STahun 1984 tentang Perindustrian.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1987 tentang Hak Cipta.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1989 tentang Paten.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19


Tahun 1989 tentang Merek.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1992 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.

dan lain-lain.

A. Asas dan Tujuan


Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5
asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu :
1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
2. Asas keadilan, dimaksukan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materil maupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas kemanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum, dimasudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.

Perlindungan konsumen bertujuan:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk


melindungi diri
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari
akses negatif pemakaian barang dan.atau jasa
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4. Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentinganya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen.
B. Hak dan Kewajiban
Berdasarkan Pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, hak dan
kewajiban konsumen antara lain sebagai berikut:
1. Hak Konsumen
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunkan
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsmen secara patut
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
g. Hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak semana mestinya
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
2. Kewajiban Konsumen
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa
c. Membayar seusai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
C. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Berdasarkan Pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 hak dan


kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut:

1. Hak Pelaku Usaha


a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen
d. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
2. Kewajiban Pelaku Usaha
a. Baritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
d. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutut barang dan.atau jasa
yang berlaku
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas
barang yang dibuat atau diperdagangkan
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau pengganti atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

D. Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha


Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha adalah larangan dalam
memproduksi/memperdagangkan, larangan dalam menawarkan / mempromosikan /
mengiklankan, larangan penjualan secara obral/lelang, dan larangan dalam ketentuan
periklanan.
1. Larangan dalam Memproduksi/Memperdagangkan
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan dan/atau
jasa yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang di persyaratkan
dan ketentuan perundang-undangan
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam lebel atau etiket barang
tersebut.
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam
hitungan dalam menurut ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut.
e. Tidak seusai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolaan, gaya,
mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan jasa tersebut.
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan jasa tersebut.
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
dinyatakan “Halal” yang dicantumkan dalam label
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,
tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan prundang-undangan yang
berlaku.

Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat,
atau bekas, dan tercemar tanpa informasi secara lengkap dan benar atasa barang yang
dimaksud.

Sementara itu, pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas larangan diatas,
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.

2. Larangan dalam Menawarkan / Mempromosikan / Mengiklankan.


Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
suatau barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. Barang tersebut telah memenuhi atau memiliki potongan harga, harga
khusus, standart mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karajteristik
tertentu, sejarah atau guna tertentu
b. Barang tersebut dalam keadaan baik atau baru
c. Barang atau jasa tersebut telah mendapat atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja
atau aksesoris tertentu.
d. Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai
sponsor, persetujuan atau afiliasi
e. Barang atau jasa tersebut tersedia
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan jasa lain
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

Dengan demikian, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan, misalnya:

a. Harga atau tarif suatau barang atau jasa


b. Kegunaan suatu barang atau jasa
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang atau jasa
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan
e. Bahaya penggunaan barang atau jasa

Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa, dilarang melakukan dengan
cara pemaksaan atau cara lain yang daoat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun
psikis terhadap konsumen.

Sementara itu, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan
dilarang, misalnya :

a. Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan


yang dijanjikan
b. Tidak menepati janji atau suatu pelayanan atau prestasi

3. Larangan dalam Penjualan Secara Obral/Lelang


Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau
lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen, antara lain:
a. Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standart mutu tertentu
b. Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung
cacat tersembunyi
c. Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan
maksud menjual barang lain
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah cukup
dengan maksud menjual barang lain
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah
cukup ddengan maksud menjual jasa yang lain
f. Menaikan harga atau tarif barang dan jasa sebelum melakukan obral.

4. Larangan dalam Periklanan


Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan, misalnya :
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan,
dan harga barang atau tarif jasa, serta ketepatan waktu penerimaan
barang atau jasa.
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang atau jasa tersebut
c. Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang
atau jasa
d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan atau
jasa
e. Mengeksploitasi kejadian atau seseorang tanpa seizin yang berwenang
atau persetujuan yang bersangkutan
f. Melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan
E. Klausula Baku dalam Perjanjian
Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam
menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat
atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian antara lain:
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindak sepihak yang
berkaitan dengan barang yang diberi konsumen secara angsuran
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen seara anggsuran.

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klasula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti. Setiap klasula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memeuhi ketentuan sebagaimana telah dinayatakan batal demi
hukum. Oleh karena itu, pelaku usaha wajib menyesuaikan klasula baku yang
bertentangan dengan undang-undang.
F. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “produk yang cacat”, bisa dikarenakan kekurang cermatan
dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan / jaminan atau kesalahan
yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 diatur Pasal 19 sampai dengan
Pasal 28. Dalam Pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti rugi kerugian atau
kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang,
penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sementara itu, Pasal 20 dan 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha
tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan Pasal
22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidakya unsur kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19.
Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen menganut sistem beban
pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak atau tidak meberi tanggapan dan tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23 dapat digugat
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan
ditempat kedudukan konsumen.

Pelaku usaha yang menjual barang atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
3. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan
apapun atas barang atau jasa tersebut.
4. Pelaku usaha lain di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak
sesuai dengan contoh mutu dan komposisi.

Pelaku usaha sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang atau jasa tersebut.

Di dalam Pasal 27 disebutkan hal-hal yang membebaskan pelaku usaha dari


tanggung jawab atas kerugian yang di derita konsumen, apabila. Barang tersebut terbukti
seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan.

5. Cacat barang timbul pada kemudian hari.


Cacat timbul di kemudian hari adalah seduah tanggal yang mendapat
jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun
lisan.
6. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
Yang dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standardisasi
yang telah ditetapkan pemerintah berdassrkan kesepakatan semua pihak.
7. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
8. Lewatnya jangka waktu penentuan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah garansi.
G. Sanksi
Sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, yang tertulis
dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 dapat berupa sanksi administratif dan sanksi
pidana.
1. Sanksi Administratif
a. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan
ayat (3), Pasal 20, pasal 25, dan Pasal 26.
b. Sankso administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. Sanksi Pidana
a. Pelaku usaha yang menlanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di dalam
Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)
dan Pasal 18 di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimkasud dalam
Pasal 11, pasal 12, Pasal 13 yat (1), pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat
(1) di pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana dena paling banyak
Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan
hukuman tambahan, berupa:

1. Perampasan barang tertentu


2. Pengumuman keputusan hakim
3. Pembayaran ganti rugi
4. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbilnya kerugian
konsumen
5. Kewajiban penarikan barang dari peredaran
6. Pencabutan izin usaha.
2 Jaminan Hukum terhadap Pengguna Teknologi
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Berdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
C. Asas Manfaat, memberikan kesempatan kepada konsumen dalam memperoleh hak .Asas
Keseimbangan, memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen. Asas
Keamanan Dan Keselamatan Konsumen, untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,Asas Kepastian Hukum, yaknik
pelaku dan maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan.
D. Sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999, yang tertulis dalam
pasal 60 sampai dengan Pasal 63 dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana.
Daftar Pustaka

Sari, Elsi Kartika. 2008. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT Grasindo.

Endeshaw,Asaffa.2007. Hukum E-Commerce dan Internet Dengan Fokuus Di Asia


Pasifik:Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai