OLEH:
REGULER A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BISNIS
FAKULTAS EKONOMI
2018/2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aspek Pajak Dalam Dunia
Bisnis”..
Makalah yang dibuat ini diambil dari beberapa sumber baik dari buku maupun dari
internet dan membuat gagasan dari beberapa sumber yang ada tersebut.
Penulis juga menyadari bahwa makalah yang penulis tulis ini masih banyak kekurangan.
Karena itu sangat diharapkan bagi pembaca untuk menyampaikan saran atau kritik yang
membangun demi tercapainya makalah yang lebih baik.
Kelompok 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................2
BAB IIIPENUTUP..............................................................................................................50
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................51
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
S
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
BAB II
PEMBAHASAN
Pelaku usaha sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang atau jasa tersebut.
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata Consumer (Inggris-Amerika), atau Consument
/ konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata Consumer itu adalah setiap orang yang
menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang/jasa tersebut nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana penggunaan tersebut.1
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat
penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak produsen
barang dan jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha yang dalam prakteknya
tidak lepas dari keterkaitan dengan konsumen. Jadi secara langsung atau tidak langsung
konsumenlah yang merasakan dampaknya.2
Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha bukan merupakan hal baru. Hal ini disebabkan
banyaknya transaksi yang dibuat di luar peraturan yang ada. Dalam perkembangannya konsumen
semakin menyadari akan hak-haknya dan berjuang dalam hal konsumen menerima prestasi yang
tidak sesuai dengan isi kontrak, barang yang dibeli kualitasnya tidak bagus atau ada cacat
tersembunyi yang merugikan konsumen dan adanya unsur penipuan atau paksaan dalam
melakukan transaksi.3
Gerakan perlindungan konsumen akhirnya lahir sebagai cabang hukum baru dalam
perkembangan ilmu hukum. Lahirnya cabang hukum baru ini didasari oleh kesadaran akan
posisinya yang semakin lemah. Hal ini disebabkan oleh perkembangan dunia bisnis yang sangat
pesat. “Mengingat bahwa perkembangan dunia bisnis yang semakin cepat maka perlu diusahakan
suatu bentuk perlindungan konsumen yang semakin efektif pula. Sebab jika tidak maka posisi
konsumen tidak lagi menjadi subjek dalam bisnis, tetapi menjadi objek potensial dirugikan.”4
Pengertian perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No.8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yakni sebagai berikut :
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.”
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang tersebut di atas cukup memadai. “Kalimat
yang menyatakan ‘segala yang menjamin adanya kepastian hukum’, diharapkan sebagai benteng
untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan perlindungan konsumen.”5
a. Pengertian konsumen
“Secara harafiah arti kata consumer itu adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang
menggunakan barang.”6 Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut.
Begitu pula dalam Kamus Besar Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata “consumer sebagai
pemakai atau konsumen.”7
Demikian pula dengan rumusan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perbahan hukum Belanda
(NBW Buku VI, Pasal 236), konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah, dimaka maksudnya
ketika mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi atau
perusahaan.
Menurut Kotler, “Consumers are individuals and households for personal use producers are
individual and organization buying for the purpose of producing. Artinya konsumen adalah
individu kaum rumah tangga yang melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal,
produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi.”
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, konsumen diartikan sebagai “pemakai barang-barang
hasil produksi (bahan pakaian, makanan).”
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
1. Setiap orang
Subyek yang sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang
dan/atau jasa.
2. Pemakai
Setiap orang yang memakai, dan/atau memanfaatkan suatu barang dan/atau jasa tetapi tidak
untuk diperdagangkan kembali.
3. Barang/atau jasa
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak
bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,
dipakai, dipergunaka, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan jasa adalah setiap layanan
yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan
oleh konsumen.
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada konsumen harus sudah tersedia dalam pasaran.
5. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
Barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat itu, harus dapat berguna bagi kepentingan
semua orang dan juga seluruh makhluk hidup, baik diri sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk
hidup lainnya.
Di dalam kepustakaan ekonomi, dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara.
Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk. Sedangkan konsumen
antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi
suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir.
Dari ketentuan yang termuat di atas, menunjukkan betapa beragamnya pengertian konsumen.
Ketentuan-ketentuan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen cukup
luas dimana yang termasuk di dalam pengertian tersebut adalah perusahaan, korporasi, BUMN,
koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tersebut memiliki persamaan dengan
pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat
dikualifikasi sebagai produsen yakni sebagai berikut :
“Produsen adalah pembuat produk jadi (finished product), penghasil bahan baku, pembuat suku
cadang, setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan
namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli pada
produk tertentu, importir suatu produk dengan maksud untuk dijualbelikan, disewakan,
disewagunakan (leasing) atau bentuk lain dalam transaksi perdagangan, pemasok (supplies),
dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan.”
Dengan demikian tampak bahwa pelaku usaha yang dimaksudkan dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda karena
produsen atau pelaku usaha dapat berupa perseorangan, atau badan hukum.
Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar
negeri, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) membatasi orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia.
Penundaan ira dianggap perlu untuk melengkapi berbagai pranata hukum yang diperlukan.
Di samping UUPK, hukum konsumen juga diketemukan di dalam berbagai peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang juga memuat berbagai kaidah yang menyangkut hubungan dan
masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan tersebut tidak khusus diterbitkan
untuk konsumen, setidak-tidaknya dapatdijadikan dasar bagi perlindungan konsumen.14
Pasal 27 Ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, “Tiap warga negara berhak atas penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”
Terkait dengan bunyi Pembukaan alinea ke-4 UUD 1945, umumnya sampai saat ini orang
bertumpu pada kata “segenap bangsa”, sehingga ia diambil sebagai azas tentang persatuan
seluruh bangsa Indonesia (azas persatuan bangsa). Akan tetapi, disamping itu, dari kata
“melindungi” menurut Az. Nasution didalamnya terkandung pula azas perlindungan (hukum)
pada segenap bangsa tersebut.
Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap bangsa termasuk konsumen,
tanpa kecuali.
Landasan hukum lainnya adalah Pasal 27 Ayat (2) UUD 1945. Penghidupan yang layak, apalagi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga negara dan hak semua
orang. Ia merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh. Selanjutnya untuk melaksanakan
perintah UUD 1945 melindungi segenap bangsa, khususnya melindungi konsumen, MPR telah
menempatkan berbagai ketetapan, khususnya TAP MPR Tahun 1993.
TAP MPR Tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan konsumen”. Hanya sayang
dalam TAP MPR ini tidak terdapat penjelasan tentang apa yang dimaksud melindungi
kepentingan konsumen tersebut. Satu hal yang menarik dari TAP MPR 1993 adalah disusunnya
dalam satu napas, dalam satu baris kalimat, tentang kaitan produsen dengan konsumen. Susunan
kalimat sebagaimana dimaksud berbunyi; “…. meningkatkan pendapatan produsen dan
melindungi kepentingan konsumen.” Dengan susunan kalimat. demikian, terlihat lebih jelas
arahan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tentang kekhususan kepentingan produsen (dan
semua pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan konsumen.
Kepentingan pendapatan produsen (lebih tepat pelaku usaha atau pengusaha) dalam rangka
pelaksanaan kegiatan usaha mereka terkait dengan memproduksi, menawarkan dan/atau
mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan hukum yang mereka perlukan adalah
agar penghasilan/pendapatan dalam berusaha bisa meningkat, tidak merosot atau bahkan hilang
sama sekali karena;
Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau tidak efisien dalam menjalankan
manajemen usaha (perlu ketentuan-ketentuan tentang pembinaan).
Adanya praktek-praktek niaga tertentu yang menghambat atau menyingkirkan para pengusaha
dari pasar, seperti praktek persaingan melawan hukum, penguasaan pasar yang dominan, dan
lain-lain (memerlukan ketentuan-ketentuan pengawasan).
Sementara kepentingan konsumen dalam kaitan dengan penggunaan barang dan/atau jasa, adalah
agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh, bermanfaat bagi kesehatan/keselamatan tubuh,
keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga, dan/atau rumah tangganya (tidak membahayakan
atau merugikan mereka). Jadi yang menonjol dalam perlindungan kepentingan konsumen ini
adalah perlindungan pada jiwa, kesehatan, harta dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing the World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
dan lain-lain.
Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat,
atau bekas, dan tercemar tanpa informasi secara lengkap dan benar atasa barang yang
dimaksud.
Sementara itu, pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas larangan diatas,
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Dengan demikian, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan
atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan, misalnya:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa, dilarang melakukan dengan
cara pemaksaan atau cara lain yang daoat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun
psikis terhadap konsumen.
Sementara itu, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui pesanan
dilarang, misalnya :
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klasula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti. Setiap klasula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memeuhi ketentuan sebagaimana telah dinayatakan batal demi
hukum. Oleh karena itu, pelaku usaha wajib menyesuaikan klasula baku yang
bertentangan dengan undang-undang.
F. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “produk yang cacat”, bisa dikarenakan kekurang cermatan
dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan / jaminan atau kesalahan
yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 diatur Pasal 19 sampai dengan
Pasal 28. Dalam Pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti rugi kerugian atau
kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang,
penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sementara itu, Pasal 20 dan 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha
tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan Pasal
22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidakya unsur kesalahan dalam kasus
pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19.
Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen menganut sistem beban
pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak atau tidak meberi tanggapan dan tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23 dapat digugat
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan
ditempat kedudukan konsumen.
Pelaku usaha yang menjual barang atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
3. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan
apapun atas barang atau jasa tersebut.
4. Pelaku usaha lain di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak
sesuai dengan contoh mutu dan komposisi.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang atau jasa tersebut.
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 62, dapat dijatuhkan
hukuman tambahan, berupa: