Anda di halaman 1dari 47

Bab 2

perkembangan Lembaga Bisnis Syariah

Perubahan paradigma terhadap Lembaga Bisnis Syariah yang sangat mudah


dilakukan, masyarakat umum yang mempunyai paradigma Lembaga bisnis
konvensional, contohnya: Perbankan, karena sudah beratus-ratus tahun
masyarakat yang berhubungan atau mempelajari perbankan konvensional yang
mengutamakan uang sebagai komoditi untuk memperoleh keuntungan.
Penyebabnya anggapan bahwa bank syariah tidak berbeda dari bank
konvensional, sebagai akibat pemahaman tentang bank syariah tidak tuntas, dalam
praktik pelaksanaan kegiatan para bankir masih banyak yang menggunakan
paradigma bank konvensional, masih banyak yang mengedepankan yang lain dari
mengutamakan pelaksanaan syariah yang murni. Hal ini sangat diandalkan oleh
kualitas sumber daya insani bank syariah, komitmen dari para pengurus bank dan
pelaksana bank syariah. Saat ini tidak banyak bankir yang telah memiliki
segudang pengalaman dan pengetahuan dalam bank konvensional, serelah berada
dalam bank syariah, mempunyai komitmen untuk menjalankan kegiatan usaha
banknya sesuai dengan prinsip syariah, mengutamakan aspek syariah dari aspek
bisnis yang lain.

Apabila ditelaah dan diimplementasikan dengan benar, pernyataan bank


syariah berbeda dengan bank konvensional. Beberapa bukti dan fakta antara bank
syariah dan bank konvensional antara lain dapat diberikan pada butir-butir
dibawah.

2.1. FUNGSI LEMBAGA BISNIS SYARIAH

Sudah dikenal fungsi bank konvensional adalah sebagai perantara / perantara


penghubung antara pihak yang kelebihan dana dan membutuhkan dana untuk
menjalankan fungsi jasa keuangan. Bank Syariah mempunyai fungsi yang
berbeda dengan bank konvensional, fungsi bank syariah juga merupakan
karakteristisk Bank Syariah yang perlu dibahas secara khusus, karena diketahui
fungsi Bank Syariah yang jelas akan membawa Bank Syariah. Banyak pengelola
bank syariah yang tidak memahami dan menyadari fungsi bank syariah dan
menyamakan fungsi bank syariah dengan fungsi bank konvensional, sehingga
dampaknya dalam pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh bank syariah yang
berhubungan.

Fungsi Bank Syariah yaitu manajer investasi, Investor, Jasa keuangan dan sosial
yang dapat diuraikan sebagai berikut:

2.1.1. Fungsi Manajer Investasi

Salah satu fungsi bank syariah yang sangat penting Bank Syariah adalah
manaier investasi. Bank syariah merupakan manajer investasi dari pemilik dana
(shahibut maal) dari dana yang dihimpun dengan prinsip mudharabah (dalam
perbankan lazir .. disebut dengan deposan atau penabung), karena pendapatan
besar-kecilnya (bagi hasil) yang diterima oleh pemilik dana tersebut sangat
tergantung pada hasil usaha yang diterima oleh bank syariah dalam dana
mudharabah, schingga sangat tergantung pada keahlian, kehati-hatian, dan
profesionalisme dari bank syariah. Bank syariah dapat menghimpun dana yang
besar, kemudian dalam penyaluran dana dilakukan tidak efektif, kurang
memperhatikan prinsip- prinsip kehati-hatian, sembarangan sehingga banyak yang
macet atau banyak yang diketagorikan dalam non-performing, banyaknya
penyaluran dana yang tidak melakukan pembayaran angsuran, maka membawa
dampak pendapatan yang diikuti aliran kas masuk hanya sedikit yang diterima.
Dengan pendapatan yang masuk sedikit maka pendapatan yang akan dibagi antara
bank syariah dan shabibul maal juga sedikit yang akhirnya membawa dampak
kecilnya bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana (shahibul maal). Begitu
sebaliknya penyaluran dana yang tidak besar, namun dilakukan dengan efektif,
efesien dan produktif, dan kualitas penyaluran dana yang baik sehingga banyak
debitur yang melakukan pembayaran angsuran atau pembayaran bagi hasil yang
cukup banyak, akan membawa dampak pada pendapatan yang akan dibagi antara
bank syariah dan pemilik dana besar, yang menghasilkan pendapatan diterima
pemilik dana cukup besar.

Dana yang dihimpun oleh bank syariah, yang ditanamkan pada sektor yang
produktif dan tidak melanggar syariah. Jadi, apa yang dilakukan oleh Bank
Syariah dalam penyaluran dana yang membawa dampak atau risiko kepada
pemilik dana (shahibul maal) dari dana yang dihimpun (deposan atau penabung)
Hal ini sangat berbeda dengan Bank Konvensional, begitu deposan memberikan
dana kepada Bank Konvensional dan dijanjikan bunga tertentu, deposan tidak
beresiko. Bank bisa mengalirkan dana atau tidak, mendapatkan pendapatan besar
atau tidak mendapatkan pendapatan, deposan akan menerima bunga tetap yang
diperjanjikan.

Besarnya penyaluran dana atau investasi yang dilakukan oleh Bank Syariah,
indikasi pendapatan atau bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana (deposan atau
penabung) besar, tetapi kualitas dari penyaluran dana atau investasi yang
dilakukan oleh bank syariah yang mempunyai pengaruh langsung hasil yang
diterima oleh pemilik dana yang dihimpun. Besarnya pembagian pendapatan
(nisbah) tidak menjamin sebagian besar bagi hasil yang akan diterima oleh
pemilik dana, karena bagi hasil tersebut sangat bergantung pada pendapatan yang
akan diperjualbelikan (pendapatan operasi utama), pendapatan yang akan sangat
tergantung pada pendapatan penyaluran dana yang diterima tunai basis oleh bank
syariah sebagai mudharib, pendapatan ini tergantung pada kualitas aktiva
produktif (penyaluran dana), kualitas aktiva produktif tergantung pada proses dan
prinsip-prinsip penyaluran dana.
Pembayaran ketidakseimbangan kepada pemilik dana yang dihimpun
(shahibul maal) bank syariah tidak sama dengan pembayaran ketidakseimbangan
kepada pemilik dana bank konvensional (yang lazim disebut dengan deposan atau
penabung). Bank konvensional memberikan ketidakseimbangan kepada para
deposannya dalam bentuk bunga dalam jumlah tetap dan ditentukan dimuka, tidak
dapat dikuasai oleh risiko atau masalah yang masuk oleh bank konvensional,
sedangkan keseimbangan pemilik dana (shahibul maal) bank sya riah sangat
tergantung pada pendapatan yang diperoleh oleh bank syariah sebagai mudharib
dalam pengelolaan dana mudharah, bank syariah tidak memberikan
ketidakseimbangan dalam jumlah yang telah ditentukan didepan.

Bank konvensional dalam menghimpun dana, dalam bentuk deposito


tabungan dan giro telah menentukan besar bunga tetap yang diberikan nasabah,
apapun risiko yang menguntungkan bank konvensional-dapat menyaluran dana
atau tidak, memperoleh pendapatan besar atau tidak memperoleh pendapatan-pada
saat jatuh tempo bank konvensional harus membayar bunga yang telah dijanjikan.
Atas dana tersebut oleh bank kovensional disalurkan dalam bentuk kredit, dimana
besar bunga kredit ditentukan sebesar harga pokok dana ditambah dengan beban
overhead bank ditambah dengan keuntungan yang diharapkan (yang lazimnya
dikenal dengan biaya dana).

Misalnya deposan bank konvesi uang tunai dalam bentuk deposito berjangka
dengan bunga 16% per tahun, pada umumnya dari penerimaan dana tersebut bank
konvesnional menyalurkan kembali dalam pemberikan kredit kepada debitur dan
memberikan bunga minimal sebesar harga pokok dana (lending rate) misalnya
23% per tahun ( harga pokok sebesar 16% ditambah beban overhead 4%
ditambah keuntungan diharapkan 3%). Berapapun besar kredit yang dikenakan
kepada debitur, berapapun diterima yang diterima oleh bank konvensional,
pembayaran ketidakseimbangan yang diberikan bank konvensional kepada
deposan tetap sebesar 16% per tahun, tidak berpengaruh terhadap berapa besar
bunga kredit kepada debitur. Misalnya bank konvensional dapat mengalirkan
kredit dengan bunga 23% bank konvensional tetap membayar bunga deposito
16%, bank konvensional menyalurkan kredit dengan bunga 40% bank
konvensional tetap membayar bunga deposito sebesar 16%, sebaliknya bank
konvensional menyalurkan kredit dengan bunga 10% bank konvensional tetap
membayar bunga deposito 16%, bahkan bank konvensional tidak dapat
mengalirkan dana dalam bentuk kredit pun bankkonvensional tetap harus
membayar bunga deposito sebesar 16%. Apabila bank konvensional membayar
bunga deposito (bunga atas dana pihak ketiga) lebih besar dari pendapatan
penyaluran dana, disebut dengan "penyebaran negatif". Hal ini yang membantu
oleh bank konvensional pada krisis moneter beberapa waktu yang lalu, dalam
penghimpunan dana bank konvensional memberikan bunga 56% per tahun dan
dalam penyaluran dana tidak ada nasabah yang mau mengambil kredit, karena
tingginya bunga kredit.

Dalam bank syariah, ketidakseimbangan yang diberikan kepada para deposan


(penghimpunan dana) sangat tergantung pada pendapatan yang diperoleh dari
pengelolaan pengelolaan atau penyaluran d ana yang dilakukan oleh bank syariah,
khususnya pendapatan yang telah ditambahkan dengan aliran kas masuk (cash
basis), sehingga dari bulan ke bulan berikutnya tahapnya tidak selalu sama.

Misalnya bank syariah menerima dana mudharabah sebesar Rp. 1 miliar,


dana tersebut oleh bank syariah disalurkan pada investasi sesuai syariah dan
menghasilkan pendapatan sebesar Rp.20.000.000, -, maka ketidakseimbangan
yang diberikan kepada pemilik dana (nasabah) adalah berdasarkan perhitungan
pembagian hasil usaha atas pendapatan sebesar Rp. 20.000.000, - dengan nisbah
(pembagian) yang disepakati pada awal akad. Tetapi bank syariah atas
pengelolaan dana (penyaluran dana) tersebut hanya mendapatkan hasil
Rp.1.000.000, - maka ketidakseimbangan yang diberikan kepada pemilik dana
(deposan) berdasarkan perhitungan pembagian hasil usaha atas pendapatan Rp.
1.000.000, - Apabila bank syariah pengelolaan dana (penyaluran dana) tersebut
hanya mendapatkan hasil Rp.1, - maka ketidakseimbangan yang diberikan kepada
pemilik dana (deposan) berdasarkan perhitungan pembagian hasil usaha atas
pendapatan Rp.1, - Dari penjelasan tersebut dapat dis bahwa bank syariah tidak
pernah mengalami penyebaran negatif, karena bank syariah tidak pernah
membayarkan ketidakseimbangan pemilik dana yang lebih besar dari pendapatan
yang diperoleh dari penyaluran dana.

Dalam penjalankan fungsi bank konvensional sebagai perantara dalam


pengeloaan uang antara pihak suplus dana dan pihak yang defisit dana tersebut
bank konvensional memperoleh pendapatan. Dengan ungkapan yang sederhana
tapi gamblang, dapat dikatakan bahwa kegiatan utama sebuah bank ada yang
menerima simpanan dari A, B, dan C dengan tingkat bunga tertentu (misalnya
dalam contoh diatas 16%), kemudian menimjamkannya orang lain dengan tingkat
bunga yang lebih besar ( misalnya dalam contoh diatas 23%). DR Yusuf Al-
Qardhawi menjelaskan (Yusuf Al-Qardhawi, Hikman pelarangan riba, hal 53)
menjelaskan bahwa spread 'selisih antara kedua tingkat bunga tersebut sedang
menjadi keuntungan bank. Inilah fungsi utama dan misi sebuah bank. Jadi,
bankkonvensional merupakan pelaku "ribaakbar", yang mengantikan peringkat
pelaku "riba teri" tempo dulu. Ia juga merupakan "calo riba" yang memakan dan
memberi riba.

2.1.2. Fungsi Investor

Dalam penyalurar. dana, baik dalam prinsip hasil (mudharabah dan


musyarakah) ). prinsip Ujroh (Ijarah) dan prinsip jual beli (murabahah, salam dan
istishna), bank syariah berfungsi sebagai investor (sebagai pemilik dana). Oleh
karena sebagai pemilik dana maka dalam menanamkan dana dilakukan dengan
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan dan tidak melanggar syariah, ditanamkan
pada sektor-sektor produktif dan mempunyai risiko yang sangat minim Keahlian,
profesionalisme sangat diperlukan dalam lingkungan penyaluran dana ini,
penerimaan pendapatan dan kualitas aktiva produktif yang sangat baik menjadi
tujuan yang penting dalam penyaluran dana, karena pendapatan yang diterima
dalam penyaluran dana inilah yang akan menjadi pemilik dana (deposan atau
penabung muc Jadi fungsi ini sangat terkait dengan fungsinya si bank syariah
sebagai manajer investasi.

Bank-bank Islam menginvestasikan dana yang disimpan pada bank tersebut


(dana pemilik bank maupun dana rekening investasi) dengan menggunakan alat
investasi yang sesuai dengan Syari'ah. Investasi yang sesuai dengan Syari'ah
tersebut termasuk akad Murabahah, sewa menyewa (leasing), musyarakah, akad
Mudharabah, akad Salam atau Istisna ', pemesanan perusahaan atau pengendalian
atau kepentingan lain dalam rangka perusahaan, memperdagangkan produk, dan
investasi atau memperdagangkan saham yang dapat diperjual belikan atau real
estate. Penggunaan kepada pihak yang memberikan kontribusi dana, setelah bank
menerima keuntungan Mudharibnya yang sudah disepakati antara pemilik
rekening investasi dan bank, sebelum pelaksanaan akad.

Fungsi ini dapat dilihat dalam hal penyaluran dana yang dilakukan oleh bank
syariah, baik yang dilakukan dengan prinsip jual beli maupun dengan
menggunakan prinsip bagi hasil sendiri. Bank-bank Islam bisa melakukan fungsi
ini berdasarkan kontrak Mudharabah atau sebuah 'agency contracť. Menurut akad
Mudharabah, bank (di dalam kapasitasnya sebagai seorang Mudharib yaitu
seseorang yang melakukan investasi dana pihak-pihak lain) hanya menerima suatu
keuntungan dalam keuntungan. Tetapi, jika terjadi kerugian maka bank tidak
berhak mendapatkan ketidakseimbangan atas usahanya dan kerugian yang
dibebankan kepada penyedia dana (rabul mal). Menurut kontrak keagenan, bank
menerima satu jumlah sekaligus (lump sum) atau proporsi dari jumlah dana yang
diinvestasikan tanpa memperhatikan apakah keuntungan atau tidak.
2.1.3. Fungsi Jasa Perbankan

Dalam menjalankan fungsi ini, bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank
non syariah, seperti misalnya memberikan layanan kliring, transfer, inkaso,
pembayaran gaji dan sebagainya, hanya saja yang sangat diperhatikan adalah
prinsip-prinsip syariah yang tidak boleh dilanggar. Bank syariah memberikan jasa
transfer, inkaso, kliring dengan prinsip wakalah; menyediakan tempat untuk
menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi'ah yad
amanah; memberikan layanan letter of credit (L / C) dengan prinsip wakalah,
memberikan layanan bank garansi dengan prinsip kafalah; Melakukan kegiatan
wali amanat dengan prinsip wakalah, memberikan layanan penukaran uang asing
dengan prinsip sharf dan sebagainya. Bank-bank Islam juga menawarkan
berbagai jasa-jasa keuangan lainnya untuk memperoleh ketidakseimbangan atas
dasar kontrak agen atau sewa dan pendapatan yang diperolah atas jasa keuangan
tersebut merupakan pendapatan operasi lainnya dan tidak termasuk dalam
perhitungan pembagian hasil usaha.

Pada awal berkembangan bank syariah, bank masyarakat yang beranggapan


bahwa bank syariah hanya bank sosial, bank yang melayani kegiatan sosial saja,
tidak ada kliring, tidak ada transfer tidak mengeluarkan cek atau bilyet giro dan
sebagainya, namun dengan pemahaman dan penjelasan tentang bank syariah
anggapan tersebut sudah tidak ada lagi.

2.1.4. Fungsi sosial

Konsep perbankan syariah mengharuskan bank-bank syariah memberikan


pelayanan sosial apakah melalui dana Qard (pinjaman kebajikan) atau Zakat dan
dana sumbangan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Di samping itu, konsep
perbankan Islam juga mensyaratkan bank-bank syariah untuk memainkan peran
penting dalam pengembangan sumber daya manusianya dan memberikan
kontribusi bagi perlindungan dan pengembangan lingkungan. Fungsi ini juga
membedakan fungsi bank syariah dengan bank konvensional, walaupun hal ini
ada dalam bank konvensional biasanya dilakukan oleh individu-individu yang
mempunyai perhatian dengan hal tersebut, tetapi dalam bank syariah fungsi sosial
merupakan salah satu fungsi yang tidak dapat berfungsi dengan fungsi- fungsi
yang lain. Bank syariah harus memegang amanah dalam menerima ZIS atau
qardhul hasan dar. mengalirkan kepada pihak-pihak yang berhak untuk
menerimanya dan atas semua itu haruslah dibuatkan laporan sebagai
pertanggungan jawab dalam pemegang amanah tersebut.

Selain hal tersebut ada transaksi dari Bank Syariah yang mengandung unsur sosial
atau tolong menolong, sebagai contoh transaksi Qardh dimana Bank 2.2.
PELAKSANAAN LEMBAGA BISNIS SYARIAH MERUPAKAN
IMPLEMENTASI PRINSIP SYARIAH

Dalam melakukan kegiatan usaha bank syariah selain diatur oleh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, juga harus tunduk pada prinsip-prinsip syariah
yang ditentukan dalam Al Qur'an dan hadits, sehingga pelaksanaan kegiatan usaha
bank syariah tersebut merupakan implementasi dari prinsip-prinsip ekonomi
Islam, yang mempunyai ciri antara lain:

1. Pelarangan riba dalam berbagai bentuk.


2. Tidak mengenal konsep "time value of money.
3. Uang sebagai alat tukar bukan komoditi yg diperdagangkan.
4. Mengandung Maisir (judi/gambling), Gharar (ada unsur penipuan), Riba,
dan Bathil (rusak/tidak syah).

Suatu transaksi bank syariah sesuai dengan prinsip syariah apabila telah
memenuhi seluruh syarat (IAI, kerangka dasar penyusunan dan penyajian Laporan
Keuangan Bank Syariah, paragraf 7) sebagai berikut:

1. transaksi tidak mengandung unsur kedzaliman


2. bukan riba
3. tidak membahayakan pihak sendiri atau pihak lain
4. tidak ada penipuan (gharar)
5. tidak mengandung materi-materi yang yang diharamkan; dan
6. tidak mengandung unsur judi (maisyir)

2.2.1. Pelarangan riba dalam berbagai bentuknya

Karakteristik Bank Syariah yang utama adalah adanya pelarangan Riba


dalam bentuk kegiatan apapun. Beberapa Ulama memberikan definisi riba antara
lain:

1. Ibnu Hajar Al Askalani, mengatakan "Esensi riba adalah kelebihan,


apakah itu berupa barang ataupun uang, seperti uang dua dinar sebagai
pengganti satu dinar"
2. Allama Mahmud Al Hassan Tauki, mengatakan "Riba berarti kelebihan
atau kenaikan, dan jika dalam suatu perjanjian barter (pertukaran barang
dengan barang), meminta adanya kelebihan satu benda untuk benda yang
sama"
3. Syekh Waliyullah Dahlawi, mengatakan "unsur riba terdapat pada utang
yang diberikan dengan syarat si peminjam bersedia membayarnya lebih
banyak dari apa yang telah diterimanya"
4. Abu Bakar ibn Al Arabi, mengatakan "setiap kelebihan yang tidak ada
sesuatupun yang dikembalikan sebagai penggantinya disebut riba"
5. Qatadah, mengatakan, sebelum kedatangan Islam yang disebut riba adalah
"jika seseorang menjual barangnya pada orang lain untuk jangka waktu
tertentu, dan ketika sampai batas waktu yang ditentukan si pembeli tidak
membayarnya, lalu si penjual memberikan perpanjangan waktu
pembayarannya"

Syara' telah melarang riba dengan larangan yang tegas, berapapun jumlahnya,
baik sedikit maupun banyak. Harta hasil riba hukumnya jelas-jelas haram. Dan
tidak seorang pun boleh memilikinya, serta harta itu akan dikembalikan kepada
pemiliknya, jika mereka telah diketahui. Allah SWT. berfirman:

"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan


seperti berdiinya orang yang kemasukan setan, lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
padanya larangan Tubannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka
baginya apa yang telah diambil dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang
itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba
dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang bertahan
dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. "(Q.s. Al-Baqarah:275-276).

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan


tinggalkanlal semua bentuk riba, apabila kalian orang-orang yang beriman. Maka,
jika kalian tilak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Riasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertobat (dari
mengambil riha), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya
dan tidak pula dianiaya." (Q.s. Al-Baqarah:278-279).

"jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. Menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui. Takutlah akan suatu hari, dimana kamu semua
dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi belasan yang
sempurna terhadap apa yang telah dikerjakan, sedangkan mereka sedikit pun tidak
dianiaya. " (Qs. Al-Baqarah: 280-181)

Adapun sifat yang tampak dalam riba tersebut adalah adanya suatu
keuntungan yang diambil oleh orang yang menjalankan riba, yaitu
mengeksploitasi tenaga orang lain, di mana ia mendapatakan upah tanpa harus
mencurahkan tenaga sedikit pus Di samping karena harta yang menghasilkan riba
itu dijamin keuntungannya, dan tidak mungkin rugi. Dan ini tentu bertentangan
dengan kaidah; al-gharam bit ghanami. Dr Setyawan Budi Utomo berkaitan
dengan riba ini menjelaskan (Setiawan. Figih Aktual, hal 76-77) bahwa menurut
istilah teknis, riba berarti "pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil".

Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum


terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. SWT berfirman, "Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mamakan harta sesamu dengan jalan
bathil". (An-Nisaa: 29) Pengertian batil dalam avat tersebut menurut Ibnul Arabi
al Maliki adalah setiap penambahan nilai tanpa melalui transaksi penggantian atau
penyeimbang yang dibenarkan syariah seperti jual beli dan sebagainya.

Imam Nawawi dari mazhab syafii menjelaskan bahwa salah satu bentuk
implementasi riba adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu.
Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama
waktu pinjaman. Secara garis besar riba dikelompokan menjadi dua. Masing-
masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi
lagi menjadi riba gardh dan riba jalilla. Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli
terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah. Ibnu Hajar menjelaskan
pembagian riba tersebut serta hukumnya dengan mengatakan, "Bahwa riba itu
terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadhl dan riba al-yaad dan riba an-nasiah. Al
Mutawali menambahkan jenis keempat, yaitu Riba al qardh. Beliau juga
menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma'berdasarkan nash Al
Qur'an dan hadits Nabi." (az-Zawajir, II/205).
Adapun barang-barang yang diklasifikan kedalam jenis barang yang dapat
digunakan dalam praktik riba yaitu:

1. Emas dan perak, baik dalam bentuk mata uang maupun lainnya,
2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum dan sebagainya.

Pelarangan riba bukan hanya terdapat dalam ajaran Islam saja, ia telah
menjadi musuh bersama, penyakit sosial yang laten dan ancaman yang universal
bagi semua bangsa dan umat. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat
dirunut mundur hingga lebih dari 2 ribu tahun silam. Masalah riba telah menjadi
wacana dikalangan Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristiani (Sudin Harun: 1997).

Ajaran Yahudi sebenarnya juga melarang praktik pengambilan bunga.


Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old
Testament (Perjanjian Lama) maupun Undang-Undang Talmud seperti dinyatakan
Kitab Exodus (Keluaran) Pasal 22 ayat 25. Dan Kitab Deuteronomy (Ulangan)
Pasal 23 ayat 19 Kitab Levicitus (Imamat) Pasal 35 ayat 7. Pada masa Yunani,
sekitar abad VI sebelun Masehi hingga 1 Maschi telah terdapat beberapa jenis
bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi hingga IV Masehi, terdapat undang-
undang yang membenarkan pendudukannya mengambil bunga selama tingkat
bunga tersebut sesuai dengan "tingkat maksimal yang dibenarkan hukum"
(maximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan
berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga.
pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga-berbunga (double
countable).

Pada masa pemerintahan Genucia (342 SM) kegiatan pengambilan bunga


tidak diperbolehkan. Praktik pengambilan bunga dicela oleh para filosuf Yanani:
Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384322 SM) dikenal sangat mengecam
praktik bunga. Begitu juga dengan Cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM).
Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang Romawi yang mempraktikan
pengambilan bunga Plato mengecan sistem bunga berdasarkan dua alasan.
Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam
masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi
golongan miskin.

Menurut keyakinan Nasrani, meskipun Kitab Perjanjian Baru tidak tegas


memutuskan masalah ini, namun sebagian kalangan agamawan kristiani
menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34- 35 sebagai ayat yang
mengecam praktik pengambilan bunga seperti pandangan kaum pendeta dan
agamawan kristiani dari generasi awal (abad I hingga XII) yang mengharamkan
bunga. Ummat Islam dilarang mengambil riba dalam bentuk apa pun. Larangan
ini secara tegas, jelas dan qath'i terdapat dalam Al Qur'an dan Hadits Rasulullah
SAW. Larangan riba yang terdapat dalam Al Qur'an diturunkan secara bertahap
seperti larangan khamar yakni melalui dalam empat tahap. Pertama, menolak
anggapan bahwa pinjaman riba yang lahirnya seolah-olah menolong sebagai suatu
perbuatan mendekati atau tagarrub kepada Allah SWT. Pada hakikatnya justru
menjerumuskan (ar-Rum:39). Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk.
Allah SWT. mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba (an-Nisaa': 160-161). Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan
kepada suatu tambahan yang berlipat ganda.

Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat


yane cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa
terscbur tapi bukan menjadi persyaratan diharamkannya riba (Ali Imran: 130).
Demikiam juga ayat ini yang curun pada tahun ketiga Hijriah harus dipahami
senen komprehensif dengan ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada
tahun sembilan Hijriyah sebagai tahap terakhir. Terakhir, Allah SWT. dengan jelas
dan regas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini
adalah ayat terakhir penuntas masalah riba. "Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahnwa Allah idan Rasul-Nya akan
menerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu: kamu tiduk menganiaya dan tidak pula dianiaya." (al Baqarah:
278-279) Ayat ini baru alkan sempurna kita pahami jika kita cermati bersama
asbabun nuzulnya Abu Ja'far Muhammed bin Jarir ath-TIhabari meriwayatkan.
"Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan
Rasulullah SAW. bahwa semua utang mereka, demikian juga piutang (tagihan)
mereka yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya
saja.

Setelah Fat-bu Mekah, Rasulullah menujuk Itab bin Usaid sebagai


Gubernur Mekah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah
administrasinya. Adalah bani Amr bin Umair bin Auf yang senantiasa
meminjamkan senantiasa membayarkannya dengan tambahan riba. Setelah
kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan aset yang banyak. Maka,
datanglah bani Amr untuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari bani
Mughirah-seperti sediakala-tetapi bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak
untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Maka, dilaporkan masalah tersebut
kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini, Gubernur Itab
langsung menulis surat kepada Rasulullah SAW. Beliau kemudian menulis surat
balasan kepada Gubernur Itab, "lika mereka ridha dengan ketentuan Allah di atas
maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum
perang kepada mereka." (Tafsir Thabari, Vol. VI, hlm.33). Adapun larangan riba
dalam hadits tersurat dalam amanat terakhir Rasulullan pada tanggal 9 Dzulhij.h
tahun 10 Hijriah, beliau masih menekankan pelarangan riba.

"Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan
menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena
itu, utang akibat riba harus dibapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak
kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan."
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
"Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah
Suci, Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai daranh, dimana
didalamnya (ditengah sungai) berdiri seorang laki-laki. Sedangkan dipinggir
sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu ditangannya. Laki-laki
yang ditengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang dipinggir
sungai tadi melempari mulutnya (yang berdiri ditengah sungai) dengan batu dan
memaksanya kembali ketempat asal. Aku bertanya, Siapakah itu?' Aku diberi
tahu, bahwa laki-laki yang ditengah sungai itu ialah orang yang memakan riba."
(HR. Bukhari) Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW. mengutuk orang yang
menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua
orang saksinya. Kemudian beliau bersabda, "Mereka itu semuanya sama." (HR
Muslim) Diriwayatkan oleh Abu Hunairah bahwa Rasulullah saw. berkata, pada
malam perjalanan mi'raj, aku melibat orang-orang yang perut mereka seperti
rumah, didalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar.

Aku bertanya kepada Jibril siapakal mereka itu. Jibril menjawab bahuwa
mereka adalah orang yang memakan riba. Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu
Mas'ud bahwa Nabi SAW bersabda, "Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan),
yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina
dengan ibunya. " Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah sauw.
bersabda, "Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat
golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu
adalah) peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka
yang tidak bertanggung jawablmenelantarkan ibu bapaknya. " Rasul bersabda,
"Apabila zina dan riba telah merajalela disuatu negeri, berarti mereka telah
menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah." (HR. Hakim) penduri, yakni
1/4 dinar emas, dan 3 dirham pada perak. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar
bagi segala sesuatu yang dicuri. 3. Pada waktu menetapkan hukum-hukum
pertukaran dalam transaksi keuangan, Islam menjadikannya dalam bentuk emas
dan perak. Yang dimaksud dengan pertukaran (ash-sharf) adalah pertukaran
barang dengan barang, jual beli uang dengan uang, baik yang sejenis seperti
membeli emas dengan emas atau perak dengan perak, atau dengan yang tidak
sejenis seperti membeli emas dengan perak atau sebaliknya. Islam telah
mengkaitkan hukum-hukum ini dengan emas dan perak, dengan sifatnya sebagai
mata uang dan alat tukar, juga (nilai) harga di dalam jual beli. Ini adalah ketetapan
dari Rasulullah SAW yang telah menjadikan emas dan perak sebagai standar mata
uang yang menjadi penentu (nilai) harga dalam jual beli, dan (nilai) upah atas jasa.
Ini menunjukkan bahwa mata uang di dalam Islam adalah (berbentuk) emas dan
perak. Karena seluruh hukum yang tekait dengan uang terikat dengan emas dan
perak dengan kedudukannya sebagai (nilai) harga atas seluruh barang dan jasa,
sebagai mata uang dalam proses tukar menukar, baik berbentuk (mata uang)
cetakan maupun (emas dan perak) latakan. Di dalam ekonomi Islam, merupakan
barang publik (public goods), uang bukan modal (capital). Sementara ini kita
kadang salah kaprah menenpatkan uang. Uang biasanya kita sama artikan dengan
modal (capital).

Uang bukan monopoli sescorang sehingga semua orang berhak memiliki


uang yang berlaku di suatu negara. Uang adalah benda yang dijadikan sebagai
ukuran dan penyimpan nilai semua barang. Dengan adanya uang maka dapat
dilakukan proses jual beli hasil produksi dan hasil penjualannya dapat membeli
barang-barang keperluan. Jika dengan sengaja orang menumpuk uengnya atau
tidak dibelanjakan berarti uang tersebut tidak beredar hal ini sama artinya
menghalangi proses atau kelancaran jual beli produk-produk di pasaran. Drs
Muhamad, M.Ag menjelaskan fungsi uang (Muhamad, Manajemen Bank Syariah,
hal 46) adalah sebagai (1) media pertukaran (untuk transaksi); (2) jaga-
jaga/investasi; (3) satuan hitung untuk pembayaran (ba'i muajjal). Uang merupaka
suaru yang mengalir (flaw consept) dan ia scbagai barang publik (public goods).

1. Money as flow consept Uang adalah sesuatu yang mengalir, oleh karena
itu uang diibaratkan seperti air. Jika air di sungai itu mengalir, maka air
tersebut akan bersih dan sehat. Jika air tersebut berhenti (tidak mengalir
secara wajar) maka air tersebut menjadi busuk dan berbau. Demikain
halnya dengan uang. Uang yang berputar untuk produksi akan
menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi masyarakat.
Sementara jika uang ditahan maka dapat menyebabkan macee roda
perekonomian, sehingga dapat menyebabkan krisis atau penyakit-penvakie
ekonomi lainya. Dalam ajaran Islam uang harus diputar terus sehingga
danar mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Untuk itu uang perlu
digunakan untuk investasi disektor riil dan jika tidak diinvestasikan pada
sektor riil, maka tidak akan mendatangkan apa-apa.
2. Money as Public Goods Uang adalah barang untuk masyarakat banyak,
bukan monopoli perorangan. Sebagai barang publik, maka masyarakat
dapat menggunakannya tanpa ada hambatan dari orang lain. Oleh karena
itu dalam tradisi Islam-menumpuk uang sangat dilarang, sebab kegiatan
menumpuk uang akan mengganggu orang lain menggunakannya. Dari
gambaran uang sebagai air yang mengalir dan uang sebagai barang publik,
akhirnya dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara modal dengan
uang. Kaitan uang dengan modal ini dapat dikiaskan antara kendaraan
dengan jalan. Kendaraan adalah barang/milik pribadi, sedangkan jalan
adalah barang/milik umum. Jadi modal adaluh milik pribadi dan yang
adalah milik umum. Dengan demikian, kenyamanan berkendaraan akan
didapatkan jika kendaraan tersebut berjalan diatas jalan raya.

Dengan kata lain, hanya dengan modal yang diinvestasikan ke sektor riil
lah yang akan mendatangkan pendapatan (berupa) uang Islam telah memberikan
kebebasan kepada manusia untuk melakukan pertukaran dengan mempergunakan
barang apa saja yang dia sukai. Hanya saja, pertukaran barang dengan satuan uang
tertentu itu telah ditunjukkan oleh Islam, dimana Islam telah menunjukkan satuan
uang tersebut. Bahkan, Islam telah menentukan satuan tersebut untuk kaum
Muslimin dalam bentuk uang khas, yaitu emas dan perak.

Islam tidak menyerahkan kepada masyarakat untuk menyatakan


perkiraannya terhadap standar kegunaan barang atau tenaga dengan satuan-satuan
uang yang tetap, atau yang berubah dan bisa ditukar-tukar sesuka hatinya. Namun
Islam telah menentukan satuan-satuan yang bisa dinyatakan oleh masyarakat
untuk memperkirakan nilai-nilai barang dan tenaga tersebut dengan ketentuan
yang baku yaitu dengan satuan-satuan uang tertentu. Ketentuan ini bisa dipahami
dari beberapa hal (Tagyuddin An-Nabhami, Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif. Persepektif Islam, hal 298-300) berikut ini:

1. Ketika Islam melarang praktik penimbunan harta (kanzul mal), Islam


hanya mengkhususkan larangan kanzul mal tersebut untuk emas dan
perak, padahal harta (mal) itu mencakup semua barang yang bisa dijadikan
kekayaan. Qamb.

kurma dan uang adalah mal. Sementara kanzul mal tersebut hanya nampak
pada uang saja, bukan pada barang dan tenaga. Sedangkan yang
dikehendaki oleh ayat tersebut adalah larangan menimbun uang, scbab
uang merupakan alat tukar umum, dan karena menimbun uang itulah,
maka lahirlah larangan tersebut. Adapun mengumpulkan selain uang itu
tidak disebut sebagai kanzul mal, melainkan disebut ihtikar. Oleh karena
itu, ayat yang melarang menimbun emas dan perak, sesungguhnya
merupakan larangan menimbun uang. Dimana, ayat tersebut telah
menentukan uang tertentu, yang dilarang oleh Allah untuk ditimbun, yaitu
emas dan perak. Allah SWT, berfirman: "Dan orang-orang yang
menimbun emas dan perak, serta tidak menafkahkannya di jalan Allah
(untuk jihad), maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan
mendapatkan) azab yang pedih." (Q.s. At-Taubah: 34). Jadi, larangan di
sini ditunjukan kepada alat tukar (medium of exchange) yang berupa uang.
Oleh karena itu, menimbun emas dan perak sebagai barang hukumnya
adalah haram, baik yang sudah dicetak ataupun belum.

2. Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku
dan tidak berubah-ubah. Kerika Islam mewajibkan diyar, Islam telah
menentukan diyat tersebur dengan ukuran tertentu dalam bentuk emas.
Dan ketika Islam mewajibkan hukumnya potongan tangan terhadap
praktik pencurian, Islam juga menentukan ukuran tertentu dalam bentuk
emas. Oleh karena itu, bila mencuri mencapai ukuran tersebut, hukumnya
wajib dipotong. Rasullulah SAW pernah menyatakan di dalam suarat
beliau, yang beliau kirimkan kepada penduduk Yaman: "Bahwa di dalam
(pembunuban) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta... dan terhadap
pemilik emas. (ada kewajiban) sebanyak 1.000 dinar." (HR. An-Nasa'i,
dari Amru bin Hazem). "Tangan itu wajib dipotong. (apabila mencuri) 4
dinar atau lebih." (HR. Imam Bukhari, dari Aisyah) batasan hukum-hukum
tertentu dengan mempergunakan dinar, dirham dan mitsqal ini telah
menjadikan dinar-yang meapakan timbangan-cmas: dan dirham-yang
merupakan timbangan-perak, sebagai satuan uang yang dipergunakan
untuk mengukur (menghitung) nilai barang dan tenaga. Jadi, satuan uang-
yang berupa emas dan perak-inilah yang menjadi uang, dan satuan inilah
yang menjadi pijakan uang tersebut. Islam juga telah mengaitkan hukum-
hukum syara dengan emas dan perak dalam bentuk nash, yakni ketika
hukum-hukum ini terkait dengan masalah uang, adalah bukti bahwa uang
tersebut harus berupa emas dan perak.
3. Rasulullah SAW. telah menetapkan emas dan perak sebagai uang, dan
belisu menjadikan hanya emas dan perak sajalah sebagai standar uang.
Dimana standar barang dan tenga akan dikembalikan kepada standar uang.
Dimana standar barang dan tenaga akan dikembalikan kepada standar
tersebut. Juga dengan pijakan emas dan perak inilah semua bentuk
transaksi bisa dilangsungkan Beliau telah membuat standar uang ini dalam
bentuk uqiyyah, dirham, dania, girath, mitsgal, dan dinar. Semuanya ini
sudah dikenal dan sangat masyhur pada masa Nabi SAW, dimana
masyarakat telah mempergunakannya dalam melakukan transaksi. Yang
jelas, Nabi SAW. telah mendiamkannya. Semuanya tadi dilakukan dengan
emas dan perak, sebagai uang yang berlaku untuk jual beli dan nikah.
Sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam hadits-hadits shahih.
Rasulullah SAW. Telah menentukan berat emas dan perak tersebut dengan
berat tertentu, yaitu timbangan penduduk Mekkah. Imam Abu Daud dan
An-Nasa'I telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW.
bersabda: "Timbangan tersebut adalah timbangan penduduk Mekkah."
Dengan meneliti kembali berat timbangan uang dalam Islam, maka
nampak jelaslah bahwa I ugiyyah menurut ukuran syara' adalah sama
dengan 40 dirham. Sedangkan 1 dirham sama dengan 6 danig. Sementara
1 dinar sama dengan 20 qirath, dan tiap 10 dirham sama dengan 7 mitsgal.
Dimana semuanya tadi telah diterapkan oleh timbangan-timbangan
Madinah.
4. Ketika Allah SAW. mewajibkan zakat aang, maka Allah telah
mewajibkan zakat tersebut untuk emas dan perak, kemudian Allah
menentukan nishab zakat tersebut dengan nishab emas dan perak. Dengan
adanya zakat emas dan perak tersebut, telah menentukan bahwa uang
tersebut berupa emas dan perak.
5. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (money changer) yang
terjadi dalam transaksi uang, hanya dilakukan dengan emas dan perak.
Semua transaksi dalam bentuk finansial yang dinyatakan dalam Islam
hanya dinyatakan dengan emas dan perak. Sedangkan perrukaran mata
uang itu adalah menjual mata uang dengan mata uang lain, yang adakalnya
menjual mata uang dengan mata uang sejenis, atau menjual mata uang
dengan mata uang asing. Dengan kata lain, pertukaran mata uang adalah
pertukaran mata uang tersebut merupakan transaksi dalam bentuk uang
saja, dan cidak ada hubungannya dengan selain uang-dengan emas dan
perak, adalah bukti yang tegas bahwa uang tersebut Akan tetapi satuan
tersebut dinilai menurut beratnya, bukan jumlahpula dengan ukiran
ataupun tidaknya. Potongan emas tersebut kadang-kadang ditentukan
menurut berat dan besarnya telur.

Kemudian beliau pergunakan dalam melakukan transaksi. Jadi, batasannya


adalah dengan standar emas dan perak, dan dengan br. masing-masing. Dimana.
hak-hak Allah semisal zakat, dan hak-hak manusia semi Lutang, serta harga yang
dibeli semuanya berhubungan dengan dirham dan din yakni berbubungan dengan
emas dan perak yang sudalı diperkirakan dengan timbangan tertentu. Kondisi
semacam ini berlangsung terus sepanjang hayat Nabi SAW., masa Khulafaur
Rasyidin, awal masa Bani Umayyah hingga masa Abdul Malik bin Marwan.
Abdul Malik melihat perlunya merubah emas dan perak baik yang sudah diukir
atau belum yang dipergunakan dalam transaksi, ke dalam cetakan dan ukiran
Islam. Kemudian dibentuk dalam bentuk satu timbangan yang tidak berbeda-beda,
serta berbentuk barang yang tidak perlu lagi ditimbang.

Lalu beliau mengumpulkan mulai yang besar, kecil dan cetakan ke dalam satu
timbangan Mekkah. Setelah itu, Abdul Malik mencetak dirham dari perak, dan
dinar dari emas. Peristiwa tersebur terjadi pada tahun ke-75 Hijriyah. Maka, sejak
tanggal itulah uang Islam menjadi khas mengikuti satu ciri khas yang tidak
berbeda-beda lagi. Dengan demikian, sistem uang di dalam Islam dari segi
asasnya mengikuti timbangan emas dan perak. Adapun berat, cetakan, bentuk dan
model ukirannya, semuanya hanya merupakan masalah teknis. Olch karena itu,
kata emas dan perak di manapun kata tersebut dinyatakan dalam lafadz-lafadz dan
ketentuan-ketentuan syara bisa diberlakukan untuk dua hal: Pertama, untuk uang
yang dipergunakan dalam melakukan transaksi. meskipun berupa tembaga, atau
burniz, atau kertas uang. Dengan catatan uang tersebut mempuyai penjamin,
dimana yang menjadi adalah emas dan perak. Kedua, untuk emas dan perak.
Sehingga uang apa pun, baik emas maupun perak, tetap bisa dipergunakan,
termasuk baik kertas uang, tembaga, maupun yang lain, yang memungkinkan
untuk ditukarkan menjadi emas dan perak.

2.2.3. Tidak Mengenal Konsep "Time-Value Of Money"

Dalam bank syariah tidak mengenal time value of money, perlakukan uang
dalam bank syariah hanya diperlakukan hanya sebagai alat pembayaran saja dan
tidak diperkenankan sebagai alat komoditi atau untuk diperdagangkan, sehingga
täng tidak ada perbedaan karena waktu. Oleh karena itu bank syariah tidak pernah
menghitung nilai uang dengan adanya perubahan waktu yang akan datang.

2.2.3. Tidak Mengenal Konsep "Time-Value Of Money"

Dalam bank syariah tidak mengenal time value of money, perlakukan uang
bank syariah hanya diperlakukan hanya sebagai alat pembayaran saja dan tidak
diperkenankan sebagai alat komoditi atau untuk diperdagangkan, sehingga uang
tidak ada perbedaan karena waktu. Oleh karena itu bank syariah tidak pernah
menghitung nilai uang dengan adanya perubahan waktu dalam akan datang.

Berkenaan dengan time value of money Drs. Zainul Arifin, MBA


menjelaskan (Zainul Arifin, Dasar-dasar manajemen, hal 17-18) bahwa Islam
tidak mengenal konsep time value of money, namun Islam mengenal konsep
economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri.
Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada
harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin.

Hussein bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah SAW, adalah orang yang
pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar
(deferred payment) lebih tinggi dari pada harga tunai. Yang lebih menarik adalah
bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali
bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata ditahannya
hak si penjual barang. Dapat dijelaskan disini bahwa bila barang dijual tunai
dengan untung Rp. 500,- -, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi
sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp.1.000,--. Sedangkan bila
dijual dengan tangguh bayar, maka haka si penjual menjadi tertahan, sehingga dia
tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari izu, hak dari
keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tercahan oleh
pembeli.Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi
kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga
tangguh lebih tinggi daripada harga tunai.

Sedangkan Drs. Muhamad M.Ag (Muhammad, Manajemen Bank Syariah,


hal 66-68) menjelaskan bahwa dalam ekonomi konvensional time value of money
didefinisikan sebagai "a dollar is worth more than a dollar in the future because a
dollar today can be invested to get a return".Definisi ini tidak akurat karena setiap
investasi selalu mempunyai peluang atau kemungkinan untuk mendapatkan hasil
positif, negatif atau impas.Itu sebabnya dalam teori keuangan, selalu dikenal
hubungan antara risk return.

Ada dua alasan dari teori ekonomi konvensional terhadap teori time value
of money yaitu:

1. Presence of inflation
2. Prference present consumption to future consumprion

Alasan pertama tidak dapat diterima karena tidak lengkap kondisinya.Dalam


setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan keadaan deflasi.Bila
keberadaan inflasi menjadi alasan adanya time value of money, maka seharusnya
keberadaan deplasi juga harus menjadi alasan adanya negative time value of
money. Dengan demikian selama ini hanya ada satu kondisi saja (inflasi) yang
diakomodasi oleh teori time value of money: sedangkan kondisi deflasi diabaikan.

Alasan mengenai ketidakpastian return dalam usaha. Dalam ekonomi


konvensional, penerapan time walue of money tidak senaif yang dibayanekan
misalnya dengan mengabaikan ketidakpastian return yang akan diterima Bil.
unsur ketidakpastian return ini dimasukkan, ekonomi konvensional menuah
kompensasinya sebagai discount rate. Jadi istilah discount rate lebih bersifar um
dibandingkan istilah interest rate.

Jadi dalam ekonomi konvensional, ketidakpastian return dikonversi


meniadi suatu kepastian melalui premium for uncertainty. Dalam setiap investasi
tentu selalu ada propabilitas untuk mencapai positive return, negative return, dan
no return Adanya probabilitas inilah yang menimbulkan ketidakpastian.
Propabilitas untuk mendapat negative return dan no return yang dipertukarkan
dengan sesuatu vang pasti yaitu premium for uncertainty.

Landasan atau keadaan yang digunakan oleh ekonomi konvensional inilah


yang ditolak dalam ekonomi syariah, yaitu keadaan mendapatkan hasil tanpa
mempertahikan suatu risiko (alghunmu bi al ghurni) dan memperoleh hasil tanpa
mengeluarkan suatu biaya (al kharaj bila dhaman). Sebenarnya keadaan ini juga
ditolak oleh teori keuangan, yaitu dengan menjelaskan adanya hubungan antara
risk dan return, bukanlah return goes along with risk?.

Dalam pandangan Islam mengenai waktu, waktu bagi semua orang adalah
sama kualitasnya, yaitu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan. Nilai waktu
antara satu orang dengan yang lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya. Jadi
faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan
waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efesien (tepat cara), maka akan
semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efesien akan mendatangkan
keuntungan di dunia bagi siapasaja yang melaksanakannya. Oleh karena itu,
siapapun pelakunya tanpa memandang suku, agama dan ras, secara sunatullah, ia
akan mendapatkan keuntungan di dunia.

Di dalam Islam, keuntungan bukan saja keuntungan di dunia, namun yang


dicari adalah keuntungan di dunia dan akhirat.Oleh karena itu, pemanfaatan waktu
itu bukan saja harus efektif dan efesien, namun juga harus didasari dengan
keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di akhirat.
Sebaliknya, keimanan yang tidak mampu mendatangkan keuntungan didunia
berarti keimanan yang tidak diamalkan.

Jika ditarik dalam konteks ckonomi, maka keuntungan adalah diperoleh


setelah menjalankan aktivitas bisnis. Jadi barang siapa yang melakukan aktivitas
bisnis secara efektif, ia akan mendapatkan keuntungan. Namun demikian, ada
pertanyaan dasar yang perlu didiskusikan, yaitu apa ukuran yang dapat
digunakanuntuk menetapkan besar keuntungan yang diramalkan jika dasar interest
rate adalah dilarang dalam ajaran Islam?

Dalam ekonomi syariah, penggunaan sejenis discount rate dalam


menentukan harga membayar tangguh (bai ma'ajal) dapat digunakan, karena:

1. Jual beli dan sewa menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan nilai tambah
ekonomis (economic value added)
2. Tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan
kewajibannya (menyerahkan barang dan jasa), sehingga ia tidak dapat
melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain.

Begitu pula penggunaan discount rate dalam menentukan nisbah bagi hasil,
dapat digunakan. Nisbah ini akan dikalikan dengan pendapatan aktual (actual
return), buan dengan pendapatan yang diharapkan (expected return). Transaksi
bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa, karena
dalam transaksi bagihasil hubungannya bukan antara penjual dengan pembeli atau
penyewa dan yang menyewakan.Dalam transaksi bagi hasil, yang ada hubungan
antara pemodal dengan yang memproduktifkan modal tersebut.Jadi, tidak ada
pihak yang telah melaksanakan kewajibannya namun masih tertahan
haknya.Shobibul mal telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memberikan
sejumlah modal.yang memproduktifkan modal (mudharib) juga telah
melaksanakan kewajibannya, yaitu memproduktifkan modal tersebut. Hak bagi
shahibulmal dan mudharib adalah berbagi hsail atas pendapatan atau keuntungan
tersebut, sesuai kesepakatan wal apakah bagi hasil itu akan dilakukan atas
pendapatan atau keuntungan.

Ajaran Islam mendorong pemeluknya untuk selalu menginvestasikan


tabungannya. Di samping itu, dalam melakukan investasi tidak menuntut secara
pasti akan hasil yang akan datang. Hasil investasi di masa yang akan datang
sangat dipengaruhi banyak faktor, baik faktor yang dapat diprediksikan maupun
tidak. Faktor-faktor yang dapat diprediksikan atau dihitung sebelumnya adalah:
berapa banyaknya modal, berapa nisbah yang disepakati, berapa kali modal dapat
diputar. Sementara faktor yang efeknya tidak dapat dihitung secara pasti atau
sesuai dengan kejadian adalah perolehan usaha (return).

2.2.4. Perjudian

Tentang perjudian Taqyuddin An-Nabhani menjelaskan (Taqyuddin An-


Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, hal 199-200) bahwa Syara'
telah melarang perjudian tersebut dengan larangan yang tegas.Bahkan, syara'
menganggap harta yang diperoleh melalui perjudian, sebagai harta yang bukan
termasuk hak milik. Allah SWT. berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras,


perjudian, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan.Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapatkan keberuntungan.Sesungguhnya setan itu bermaksud
hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran
meminum minuman keras dan berjudi itu, dan menghalang-halangikamu dari
mengingat Allah dan salat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan
itu)." (Q.s. Al-Maidah: 90-91).

Allah SWT telah inengharamkan minuman keras dan perjudian


denganbeberapa bentuk penekanan (ta'kid). Antara lain, mengawali kalimat
dengan lafadz "innama". Allah juga mengaitkan praktik keduanya dengan
menyembah berhala.Disamping itu, Allah juga menjadikan keduanya najis.
Sebagaimana Allah SWT. berfirman:

"Maka, jauhilah najis dari berhala-berhala." (Q.s. Al-Hajj: 30).

Allah juga telah menjadikan keduanya sebagai perbuatan setan. Padahal,


setan tidak akan memberikan sesuatu selain kejahatan. Allah juga telah
memerintahkan agar menjauhinya, bahkan menjauhinya merupakan suatu
keberuntungan.Apabila menjauhinya dianggap suatu keberuntungan, maka
mendekatinya adalah suatu kerugian.Dan di antara bentuk penekanan tersebut
adalah adanya ancaman, yaitu munculnya permusuhan dan kebencian di kalangan
peminum minuman keras dan pelaku perjudian, bahkan bisa menyebabkan jauh
dari dzikir kepada Allah dan ingat waktu shalat. Firman Allah: "Maka, berhentilah
kamu (darimengerjakan perbuatan itu)" (Q.s. Al-Maidalr. 91).

Merupakan bentuk larangan yang paling tegas. Seakan-akan Allah hendak


mengatakan: "Kalian sudah dibacakan ayat-ayat, yang di dalamnya terdapat
berbagai macam larangan. Apakah dengan adanya larangan-larangan ini, kalian
berhenti?"

Yang termasuk dalam kategori perjudian adalah kertas undian, apa pun
bentuk dan sebab yang digunakan untuk membuatnya. Yang juga termasuk
perjudian adalah pertaruhan dalam perlombaan kuda.Sedangkan harta hasil
perjudian itu hukumnya haram, dan tidak boleh dimiliki.
2.2.5. Penipuan (Al-Ghabn)

Tentang penipuan (al-ghabn) Taqyuddin An-Nabhani yang menjelaskan


(Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, hal 203-205)
bahwa Al- Ghabn menurut bahasa bermakna al-khada (penipuan). Dikatakan:
Ghabanahu ghabanan fil bai'wassyira'; khada'ahu wa ghalabahu (Dia benar-
benar menipunya dalam jual-beli; yaitu menipunya dan menekannya), ghabana
Fulana; nagashahu fits tsaman wa ghayyarahu, fahuwa ghabin wa dzaka
maghbun (Dia menipu si fulan; yaitu mengurangi dan merubah harganya. Maka,
dia adalah penipu sedangkan di fulan itu adalah pihak yang tertipu).Ghabn adalah
membeli sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga rata-rata, atau dengan
harga yang lebih rendah dari harga rata-rata.Ghabn yang keji, secara syar'i
hukumnya memang haram.Sebab, ghabn tersebut telah ditetapkan berdasarkan
hadits yang shahih, di mana hadits tersebut menutut agar meninggalkan ghabn
dengan tuntutan yang tegas.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa ada
seorang laki-laki mengatakan kepada Nabi SAW bahwa dia telah menipu dalam
jual-bel maka beliau bersabda:

"Apabila kamu menjual, maka katakanlah: "Tidak ada penipuan."

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Anas: "Ada seorang laki-laki hidup
pada masa Rasullulah saw. Dia biasa menjual, padahal dia dalam 'pengawasan',
(maksudnya akalnya lemah), lalu keluarganya mendatangi Nabi SAW.: "Wahai
Nabi Allah, hiir saja si fulan. Sebab, dia selalu melakukan jual beli. Dia kemudian
berkata: "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku tidak sabar terhadap jaul-beli
semacam ini.' Lalu Nabi SAW. bersabda:' jika kamu tidak mau meninggalkan jual-
beli, maka katakan: 'Ah, dan tidak ada penipuan'." Imam Al-Bazzar juga
meriwayatkan, dari Anas dari Nabi SAW.bahwa beliau melarang menjual hewan
muhaffalat. Khilaba-dengan dikasrah huruf kha'nya-bermakna khadi'ah
(penipuan).Hadits-hadits ini telah menuntut agar penipuan tersebut hukumnya
haram.Dari sinilah, maka hukum penipuan (al-ghabn) itu juga haram.Hanya saja,
ghabn yang diharamkannya adalah karena ghabn itu merupakan penipuan dalam
harga, dan tidak disebut penipuan kalauhanya sedikit (ringan). Karena ia
merupakan ketangkasan pada saat menawar.

Jadi, ghabn itu disebut penipuan, apabila sudah sampai pada taraf yang
keji.Apabila ghabn tersebut telah ditetapkan, maka bagi pihak yang tertipu boleh
memilih sesukar ya, antara merusak dan meneruskan jual belinya.Artinya, apabila
telah tampak suatu penipuan dalam jual beli, maka pihak yang tertipu tadi boleh
mengembalikan harganya dan meminta kembali barangnya, apabila dia seorang
penjual.Dan boleh mengembalikan pembeliannya dan mengambil harganya,
apabila dia seorang pembeli.

Dan sama sekali tidak diperbolehkan meminta ganti rugi. Artinya, orang
yang bersangkutan tidak boleh mengambil beda antara harga barang yang
sesungguhnya dengan harga yang sebelumnya telah dipergunakan untuk
menjualnya. Sebab, Rasulullah SAW hanya memberikan pilihan antara merusak
jual beli atau menolaknya, di mana beliau tidak memberikan alternatif lain kepada
orang yang bersangkutan. Imam Ad-Daruquchi telah meriwayatkan dari
Muhammad bin Yahya bin Hibban, yang mengatakan: Nabi SAW. telah bersabda:

"Apabila engkau menjual, maka katakanlah: "Tidak ada penipuan.'


kemudian dalam setiap menjual, engkau harus memberikan pilihan hingga tiga
malam.

Apabila engkau ridha, maka ambilah.Apabila engkau marah (tidak ridha),


maka kembalikanlah kepada pemiliknya."

Hadits ini menunjukkan, bahwa pihak yang tertipu tadi diberi pilihan.
Hanya saja, pilihan ini ditetapkan berdasarkan dua syarat: pertama, pada saat
terjadinya transaksi tersebut dia tidak tahu; kedua, penambahan atau pengurangan
yang drastis, dimana orang lain tidak melakukan penipuan seperti itu pada saat
terjadinya transaksi tersebut. Ghabn (penipuan) yang keji adalah istilah yang
dipergunakan oleh para bisnisman, bahwa penipuan tersebut adalah penipuan
yang keji.Sedangkan seberapa besar kecilnya, tidak ditentukan berdasarkan seperti
atau seperempat harga, namun dikembalikan kepada istilah para bisnisman di
negeri tersebut pada saat terjadinya suatu transaksi.Sebab, hal itu memang
berbeda-beda, mengikuti perbedaan barang dan kondisi pasarnya.

Sedangkan tentang penipuan (tadlis) dalam jual beli Taqyuddin An-


Nabhani menjelaskan (Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif, hal 205-208) bahwa pada dasarnya transaksi jual-beli itu bersifat
mengikat. Apabila transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab danqabul
antara penjual dan pembeli, lalu "majelis jual-beli" -nya telah berakhir, maka
transaksi tersebut berarti telah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pembeli dan
penjual tersebut. Hanya masalahnya, ketika transaksi muamalah itu harus
sempurna dengan cara yang bisa menghilangkan perselisihan antara individu,
maka syard telah mengharamkan individu tersebut untuk melakukan penipuan
sebagai suatu dosa, baik penipuan tersebut berasal dari pihak penjual, maupun
pembeli barang atau uang. Oleh karena itu, semuanya hukumnya haram.Sebab,
penipuan tersebut mungkin berasal dari pihak penjual, juga mungkin dari pihak
pembeli.

Adapun yang dimaksud dengan penipuan penjual adalah, apabila sipenjual


menyembunyikan cacat barang dagangannya dari pembeli, padahal dia jelas-jelas
mengetahuinya; atau apabila si penjual menutupi cacat tersebut dengan sesuatu
yang bisa mengelabui pembeli, sehingga terkesan tidak cacat; atau menutupi
barangnya dengan sesuatu yang bisa menampakkan seakan-akan barangnya,
semuanya baik.

Yang dimaksud dengan penipuan pembeli terhadap harga adalah, apabila si


pembeli memanipulasi alat pembayarannya, atau menyembunyikan manipulasi
yang terjadi pada alat pembayarannya, padahal dia jelas-jelas tahu, Untuk bisa
melakukan penipuan tersebut.harga kadang bisa berbeda-beda dengan perbedaan
barang yang dijual. Karena bertujuan menipu, seseorang pembeli kadang
mengiming-iming dengan barang tertentu.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ad. laki-laki
mengatakan kepada Nabi SAW bahwa dia telah menipu dalam jual-beli, scorang
maka beliau bersabda: "Apabila kamu menjual, maka katakanlah: Tidak ada
penipuan" Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Anas: "Ada seorang laki-laki
hidup nada masa Rasullulah saw. Dia biasa menjual, padahal dia dalam
pengawasan', (maksudnu akalnya lemah), lalu keluarganya mendatangi Nabi
SAW.: "Wahai Nabi Allah, hiir saja si fulan. Sebab, dia selalu melakukan jual beli.
Dia kemudian berkata: "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku tidak sabar terhadap
jaul-beli semacam ini.' Lalu Nabi SAW. bersabda:' jika kamu tidak mau
meninggalkan jual-beli, maka katakan: Ah, dan tidak ada penipuan'." Imam Al-
Bazzar juga meriwayatkan, dari Anas dari Nabi SAW. bahwa beliau melarang
menjual hewan muhaffalat. Khilaba-dengan dikasrah huruf kha'nya-bermakna
khadi'ah (penipuan). Hadits-hadits ini telah menuntut agar penipuan tersebut
hukumnya haram. Dari sinilah, maka hukum penipuan (al-ghabn) itu juga haram.
Hanya saja, ghabn yang diharamkannya adalah karena ghabn itu merupakan
penipuan dalam harga, dan tidak disebut penipuan kalauhanya sedikit (ringan).
ketangkasan pada saat menawar.

"Apabila engkau menjual, maka katakanlah: Tidak ada penipuan.' kemudian


dalam setiap menjual, engkau harus memberikan pilihan hingga tiga malam.

Apabila engkau ridha, maka ambilah. Apabila engkau marah (tidak ridha),
maka kembalikanlah kepada pemiliknya." Hadits ini menunjukkan, bahwa pihak
yang tertipu tadi diberi pilihan. Hanya saja, pilihan ini ditetapkan berdasarkan dua
syarat: pertama, pada saat terjadinya transaksi tersebut dia tidak tahu; kedua.
penambahan atau pengurangan yang drastis, dimana orang lain tidak melakukan
penipuan seperti itu pada saat terjadinya transaksi tersebut. Ghabn (penipuan)
yang keji adalah istilah yang dipergunakan oleh para bisnisman, bahwa penipuan
tersebut adalah penipuan yang keji. Sedangkan seberapa besar kecilnya, tidak
ditentukan berdasarkan seperti atau seperempat harga, namun dikembalikan
kepada istilah para bisnisman di negeri tersebut pada saat terjadinya suatu
transaksi. Sebab, hal itu memang berbeda-beda, mengikuti perbedaan barang dan
kondisi pasarnya. Sedangkan tentang penipuan (tadlis) dalam jual beli Taqyuddin
An- Nabhani menjelaskan (Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif, hal 205-208) bahwa pada dasarnya transaksi jual-beli itu bersifat
mengikat. Apabila transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab dangabul
antara penjual dan pembeli, lalu "majelis jual-beli" -nya telah berakhir, maka
transaksi tersebut berarti telah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pembeli dan
penjual tersebut. Hanya masalahnya, ketika transaksi muamalah itu harus
sempurna dengan cara yang bisa menghilangkan perselisihan antara individu,
maka syard telah mengharamkan individu tersebut untuk melakukan penipuan
sebagai suatu dosa, baik penipuan tersebut berasal dari pihak penjual, maupun
pembeli barang atau uang. Oleh karena itu, semuanya hukumnya haram. Sebab,
penipuan tersebut mungkin berasal dari pihak penjual, juga mungkin dari pihak
pembeli. Adapun yang dimaksud dengan penipuan penjual adalah, apabila
sipenjual menyembunyikan cacat barang dagangannya dari pembeli, padahal dia
jelas-jelas mengetahuinya; atau apabila si penjual menutupi cacat tersebut dengan
sesuatu yang bisa mengelabui pembeli, sehingga terkesan tidak cacat; atau
menutupi barangnya dengan sesuatu yang bisa menampakkan seakan-akan
barangnya, semuanya baik. Yang dimaksud dengan penipuan pembeli terhadap
harga adalah, apabila si pembeli memanipulasi alat pembayarannya, atau
raenyembunyikan manipulasi yang terjadi pada alat pembayarannya, padahal dia
jelas-jelas tahu, Untuk bisa melakukan penipuan tersebut, harga kadang bisa
berbeda-beda dengan perbedaan barang yang dijual. Karena bertujuan menipu,
seseorang pembeli kadang mengiming-iming dengan barang tertentu.

Penipuan ini, dengan berbagai bentuknya, hukumnya jelas haram. Berdacarko


riwayat dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah dari Nabi SAW babue kan
bersabda: "langanlah unta dan kambing itu dibiarkan diperah susunya. Maka,
siapa saievang membelinya setelah itu, dia berhak memilih dua pilihan setelahnya,
yaitu memerahnya. Apabila dia mau, maka dia boleh mengambilnya. Dan bila
tidak mau, maka dia boleh mengembalikannya dengan satu sha' kurma." Ibnu
Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW., yane mengatakan:
"Siapa saja yang telah membeli sekor hewan ternak yagn tidak diperah hingea
(dalam tiga hari itti) dia mengembalikannya, maka dia harusmengembalikannya
dengan satu sha' kurma, bukan dengan air susu." Yang dimaksud adalah
mengembalikan harga susunya yang sudah diperah. Imam Al-Bazzar juga telah
meriwayatkan dari Anas dari Nabi SAW., bahwa beliau melarang untuk menjual
hewan muhaffalat. Hadits-hadits ini tegas melarang membiarkan embing unta dan
kambing tidak diperah, serta melarang menjual hewan mubaffalat, yaitu hewan
yang tidak diperah sehingga embingyanampak besar, atau nambak seakan-akan
hewan tersebut siap diperah, sebab hal itu merupakan penipuan, di mana praktik
semacam itu hukumnya haram. Adapun yang sejenis dengan praktik tersebut
adalah tindakan menutup- nutupi atau menyembunyikan cacat. Sebab, semuanya
merupakan penipuan yang haram dilakukan; baik yang terikat dengan barang atau
uang. Karena tindakan tersebut merupakan penipuan. Scorang Muslim tidak boleh
melakukan penipuan terhadap barang atau uang, sebaliknya dia wajib menjelaskan
cacat yang terdapat di dalam barang tersebut. Sehingga dia tidak boleh
memanipulasi barang agar mendapatkan keuntungan atau dijual dengan harga
yang lebih tinggi. Dia juga tidak boleh memanipulasi uang agar uang tersebut bisa
diterima sesuai dengan harga barang, Karena Rasulullah SAW. melarang praktik
terscbut dengan larangan yang tegas. Imam Ibnu Majah meriwayatkan dari Uqbah
bin Amit dari Nabi SAW. yang mengatakan:

"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Dan tidak hala bagi
seseorang untuk menjual barang kepada saudaranya, sementara di dalamnya
terdapat cacat, selain dia menjelaskan cacat tersebut kepadanya." Imam Bukhari
meriwayatkan dari Hakim bin Hazzam dari Nabi SAW. Yang mengatakan:
"Pembeli dan penjual itu boleh memilih, selama keduanya belum berpisah.
Apabila keduanya jujur, dan sama-sama menjelaskan (cacatnya), maka keduanya
diberkahi dalam jual-belinya. Apabila keduanya menyembunyikan (cacatnya) dan
berdusta, maka barakah jual belinya akan dicabur." "Bukanlah termasuk
ummatku, orang yang melakukan penipuan." (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud,
melalui Abu Hurairah). Siapa saja yang memperoleh harta dengan cara menipu,
baik dengan cara tadlis maupun ghabn, maka dia tidak bisa memiliki harta
tersebut. Sebab cara semacam ini tidak termasuk cara-cara pemilikan, melainkan
cara-cara yang dilarang. Bahkan, harta yang diperoleh dengan cara tersebut adalah
harta yang haram, yang merupakan harta sulit. Nabi SAW. bersabda: "Tidak akan
mauk surga daging yang tumbuh dari hasil harta suht (haram). Sebab, nerakalah
yang lebih layak baginya." (HR. Imam Ahmad, dari Jabir bin Abdullah). Apabila
penipuan rersebut terjadi, baik terhadap barang maupun uang, maka bagi pihak
yang tertipu berhak menilih: boleh merusak transalksinya, atau meneruskannya,
dan lebih dari pilihan terscbut tidak ada. Apabila seorang pembeli ingin memiliki
barang yang ada cacatnya, atau barang tipuan tersebut, lalu meminta arsy, yaitu
harga yang berbeda, yakni antara harga barng yang cacat dengan harga barang
yang tidak cacat. maka praktik semacam ini tidak boleh. Sebab, Nabi SAW. Tidak
memberikan alternatif arsy untuknya. selain hanya memberikan pilihan dengan
dua hal: "Apabila mau, maka bisa mengambilnya. Dan apabila tidak, maka bisa
mengembalikannya." (HR. Imam Bukhari, dari Abu Hurairah). Untuk bisa
mendapatkan pihan tersebut, scorang penjual memang tidak harus mengerri
penipuannya, ataupun cacatnya, namun pilihan tersebut diberikan kepada yang
tertipu, begitu penipuan tersebut terjadi: baik pihak penjual tahu ataupun tidak.
Sebab, hadits-hadits di atas bersifat umum disamping, karena fakta.

Jual beli tersebut terjadi pada sesuatu yang memang dilarang. Ini berbeda dengan
praktik ghabn.

Sebab ghabn tersebut harus diketahui bentuk ghabn-nya, sebab jika yang
bersangkutan tidak tahu, tentu dia pun tidak tahu bahwa dirinya sebagai penipu
(ghabin) , sehingga berlaku lahat bagi pihak yang tertipu (maghbun). Contohnya
dia menjual. Baru kemudian ketahuan bahwa dia telah dengan harga yang lebih
tinggi dari harga pada mumnya. Maka praktik semacam ini tidak termasuk dalam
kategori ghabn. sehingga pihak pembeli pun tidak berhak mendapatkan pilihan
karena penjual tersebut dengan ketidaktahuan nya menarik turunkan harga
tersebut tidak tahu bahwa dirinya seorang penipu (ghabin).

2.2.6. Penimbunan

Tentang penimbunan Taqyuddin An-Nabhani yang menjelaskan


(Taqyuddin An- Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, hal 208-211)
bahwa penimbunan secara mutlak dilarang, dan hukumny haram. Karena adanya
larangan yang tegas di dalam hadits. Diriwayatkan dalam shahih Muslim dari
Sa'id bin Al-Musaib dari Ma'mar bin Abdillah Al-Adawi, bahwa Nabi SAW.
Bersabda:

"Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah." Al-Atsram


meriwayatkan dari Abi Umamah yang mengatakan: "Rasulullah saw. telah
melarang penimbunan makanan."

Larangan di dalam hadits tersebut, menunjukkan adanya tuntutan untuk


meninggalkan. Sementara cercaan bagi orang yang melakukan penimbunan
dengan sebutan khati padahal khati adalah orang yang berdosa, dan berbuat
maksiat adalah sebagai indikasi yang menunjukan,bahwa tuntutan untuk
meninggalkan tersebut bermakna tegas (jazm). Dari sinilah, maka hadits-hadits
tersebut menunjukkan haramnya melakukan penimbunan.

Penimbunan adalah orang yang mengumpulkan barang-barang dengan


menunggu waktu naiknya harga barang-barang tersebut, sehingga dia bisa
menjualnya dengan harga yang tinggi, hingga warga setempat sulit untuk
menjangkaunya. Adapun yang dimaksud dengan penimbun adalah orang yang
mengumpulkan barang-barang dengan menunggu waktu naiknya harga, semata
karena makna kata hakara menurut bahasa adalah istabadda (bertindak sewenang-
wenang).

Yang termasuk makna kata tersebut adalah praktik kesewenang-wenangan


dengan menahan barang dagangan, agar kelak dijual dengan harga mahal. Maka
kalimat ihtakara assyai'a, menurut makna bahasa, bermakna jama'ahu wa
ihtabasahu intidharan li ghila'ibi fayabi'u bil katsiri (mengumpulkan sesuatu dan
menahan dengan menunggu naiknya harga, lalu menjualnya dengan harga yang
tinggi).

Sedangkan syarat terjadinya penimbunan, adalah sampainya pada suatu


batas yang menyulitkan warga setempat untuk membeli barang yang tertimbun,
semata karena fakta penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain dalam keadaan
semacam ini. Kalau seandainya tidak menyulitkan warga setempat untuk membeli
barang tersebut, maka penimbunan barang tersebut tidak terjadi. Begitu pula, tidak
akan terjadi kesewenang-wenangan terhadap barang tersebut, sehingga bisa dijual
dengan harga mahal.

Atas dasar inilah, maka syarat terjadinya penimbunan tersebut adalah


bukan pembelian barang. Akan tetapi, sekedar mengumpulkan barang dengan
menunggu naiknya harga sehingga bisa menjualnya dengan harga yang mahal,
itulah dianggap sebagai penimbunan; baik menimbun dari hasil pembeliannya,
atau karena hasil buminya yagn luas sementara hanya dia yang mempunyai
industri tersebut, atau karena langkanya industri tersebut, sebagaimana yang
terjadi dalam kondisi penimbunan kapitalis saat ini. Mereka kaurn kapitalis
biasanya, melakukan penimbunan produk dengan membunuh semua industri yang
ada, selain industri mereka sendiri. Kemudian mereka melakukan penimbunan di
pasar. Jadi, semuanya ini merupakan praktik penimbunan, sebab semuanya ini
sesuai dengan maka kata ihtakara-yahtakiru, menurut makan bahasa. Diman,
makna lukratu-ihtikar adalah membatasi jumlah barang atau barang-barang untuk
dijual dengan menunggu naiknya harga, sehingga akan dijual ketika harganya
membumbung.

Dengan demikian praktik penimbunan dalam segala hal hukumnya haram.


Tanpa dibedakan, antara menimbun makan pckok manusia, atau hewan melata
maupun yang lain. Tanpa dibedakan antara menimbun makan dan non-makan.
Tanpa dibedakan antara benda yang merupakan kebutuhan primer manusia, atau
sekunder. Sebab, makna ihtakara dalam bahasa adalah mengumpulkan sesuatu
secara mutlak. Dimana, makna kata ihtakara tersebut bukan hanya terbatas pada
mengumpulkan makanan, atau makanan pokok, atau kebutuhan primer manusia,
tetapi juga mencakup mengumpulkan apa saja. Sehingga, tidak layak jika
dispesifikasikan untuk selain makna bahasanya. Di samoing karena makna harfiah
hadits-hadits yang menyatakan dengan mutlak, tanpa disertai batasan apapun,
serta umum tanpa disertai takhshis apa pun. Sehingga, kemutlakan dan
keumumannya tetap berlaku.

Adapun makna yang tertuang dalam beberapa riwayat hadits menen


penimbunan, yaitu terjadinya penimbunan dalam masalah makanan, sebagniman
riwayat hadits yang menyatakan: "Rasulullah saw. melarang menimbun makanen
serta riwayat-riwayat yang lain, sebenarnya dengan disebutkannya makanan di
dalam hadits tersebut berarti bahwa penimbunan tersebut khusus untuk makanan
saja. Jue tidak bisa dikatakan, bahwa larangan tentang penimbunan tersebut dalam
bebarana riwayat dinyatakan secara mutlak, sedangkan dalam beberapa riwayat
yang lain terikat (mugayyad), misalnya, dengan makanan. Sehingga,
kemutlakannya dibawa kepada mugayyad. Tidak bisa dikatakan demikian. Sebab,
kata tha'am (makanan) dalam riwayat-riwayat yang telah disebutkan di atas, tidak
layak untuk membatasi riwayat-riwayat yang mutlak. Namun, kata tha'am tersebut
tetap merupakan bentuk penyebutan nash tentang salah satu dari satuan-satuan
yang lain, yang dinyatakan oleh nash yang mutlak. Karena menafikan hukum
selain tha'am (makanan) tersebut, tanya terjadi pada mafhum lagad, sementara
mafhum lagab tersebut tidak bisa dipergunakan, sehingga apa yang ada juga tidak
layak untuk dijadikan sebagai batasan (tagyid) dan pengkhususan (takhshis).
Artinya, disebutkannya kata tha'am (makanan) di dalam beberapa riwayat hadits
mengenai penimbunan tersebut, adalah bentuk pernyataan nash mengenai salah
satu bentuk penimbunan yang ada seperti yang dicontohkan di sana. Bukan itu
yang menjadi batasan (qayyid) bagi praktik penimbunan tersebut, dan bukan itu
yang menjadi sifat mufahhamah yang bisa dipergunakan. Namun, kata tha'am
tersebut hanya merupakan isim jamid untuk suatu sebutan tertentu. Dengan kata
lain, ia merupakan lagab, bukan sifat. Schingga mafhum (pemahaman) dari makna
kata tersebut tidak bisa dipergunakan. Sedangkan yang layak untuk dijadikan
sebagai gayyid atau mukhassis (yang men- takhshis) adalah kata yang mempunyai
suatu pembahaman yang bisa dipergunakan. Sementara dalam hal ini-yaitu kata
tha'am tidak termasuk dalam kategori tersebut.

Jadi riwayat-riwayat melarang praktik penimbunan hingga riwayat-riwayat


yang menyatakan tentang makanan adalah hadits-hadits yang bersifat mutlak dan
umum, sehingga mencakup semua bentuk penimbunan secara mutlak. Disamping
itu, fakta seorang penimbun umumnya menguasai pasar, dan bisa memaksakan
harga kepada orang lain-karena dia menimbun barang-dengan seenaknya,
schingga orang tersebut bisa memaksa orang lain untuk membelinya dengan harga
yang tinggi darinya, sebab yang lain tidak mempunyai barang yang
dibutuhkannya. Pada dasarnya, seorang penimbun ingin menaikkan harga kepada
kaum Muslimin, di mana hal semacam itu hukumnya haram. Diriwayatkan dari
Ma'qal bin Yassar yang mengatakan: Rasulullah SAW. bersabda:

"Siapa saja yang terlibat dalam sesuatu yang berupa harga bagi kaum
Muslimin, agar dia bisa menaikkan harga tersebut kepada mereka, maka
kewajiban Allah untuk, mendudukkanmu dengan sebagian besar (tempat
duduknya) dari neraka, kelak pada hari kiamat nanti.

2.3. KEMITRAAN, KEADILAN, KEJUJURAN, AMANAT ADALAH AZAS


LEMBAGA BISNIS SYARIAH

Di atas telah disinggung tentang hubungan kemitraan antara bank syariah


dan nasabahnya,disamping itu keadilan, kejujuran, amanah merupakan azas dalam
bank syariah.

2.3.1. Keadilan

DR. Yusuf Qardhawi menjelaskan (Yusuf Qardhawi, norma dan etika


ekonomi Islam, hal 85) bahwa "Ruh' sistem Islam adalah pertengahan yang adil,
yang dengannya Allah menjadikan ciri khas utama umat ini. Ciri khas pertengahan
ini tercermin dalam keseimbangan yang adil yang ditegakkan oleh Islam di antara
individu dan masyarakat, sebagaimana diketegakkannya dalam berbagai
"pasangan" lainnya: dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, akal dan ruhani,
idealisme dan fakta, polisi iman dan polisi penguasa, dan pasangan-pasangan
lainnya yang sudah sangat dikenal.

Sistem ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat terutama masyarakat


lemah seperti dilakukan olch sistem kapitalis. Tidak pula menganiaya hak-hak dan
kebebasan individu, seperti yang dilakukan oleh komunis terutama Marxisme.
Akan tetapi pertengahan di antara keduannya, tidak menyia-nyiakan dan tidak
berlebih- lebihan, tidak melampaui batas dan tidak pula merugikan, sebagaimana
firman- Nya:

"Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletak kan neraca
(keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu" (ar-Rahman: 7-9)

Islam telah memberkan hak masing-masing dari individu dan masyarakat


secara utuh, dan menuntut penunaian segala kewajibannya. Di samping menjadi
"Hakim" yang adil di antara keduanya dan membagi tanggung jawab kepada
keduannya secara adil. Tetapi Islam tidak melakukan hal tersebut demi
menghindari ekstrimitas sosialisme atau kesewenang-wenangan kapitalisme.
Tidak! Islam telah muncul jauh sebelum kedua sistem tersebut. Tetapi Allah yang
mensyariatkannya, Maha Mengetahui hal yang merusak dan hal yang membawa
kemaslahatan. Islam adalah syariat Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.

Selain itu DR Yusuf Qardhawi menjelaskan (Yusuf Qardhawi, Peran Nilai


dan Moral dalam Perekonomian Islam, hal 308-309) bahwa termasuk di antara
nilai nilai yang telah ditetapkan oleh Islam disini dan dalam semua aspek ekonomi
Islam adalah: "sikap adil." Cukuplah bagi kita bahwa Al-Qur'an telah menjadikan
tujuan semua risalah langit adalah melaksanakan keadilan."al Adl" (Yang Maha
Adil adalah termasuk nama Allah. Lawan kata dari keadilan adalah kedzaliman
(ael zhulm), yaitu sesuatu yang telah diharamkan Allah atas diri-Nya sebagaimana
telah diharamkan-Nya atas hamba-hambanya.:

"Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan


kedzaliman atas diri-Ku dan Aku telah menjadikannya di antara kamu sekalian
sebagai hal yang diharamkan, maka janganlah kamu saling mendzalimi."

Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil dan membenci orang-orang


yang berbuat zhalim, bahkan melaknat mereka. Firman-Nya:
"Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zhalim"
(QS.Hud: 18)

Islam telah mengharamkan setiap hubungan bisnis yang mengandung


kezhaliman dan mewajibkan terpenuhinya keadilan yang teraplikasikan dalam
setiap hubungan dagang dan kontrak-kontrak bisnis. Oleh karena itu, Islam
melarang bai al-gharar (jual beli yang tidak jelas sifat-sifat barang yang
ditransaksikan) karena mengandung unsur ketidakjelasan yang membahayakan
salah satu pihak yang melakukan transaksi. Hal itu akan menjadi suatu
kedzaliman terhadapnya. Jika unsur "gharar" (ketidakjelasan-nya) itu sangat kecil
maka ditolerir, tetapi jika sangat besar maka tidak dapat ditoleransi.

Begitu pula Islam melarang setiap hubungan dagang yang mengandung


unsur penipuan. Selama unsur tersebut tidak banyak dan tidak disengaja maka
dapat dimaklumi. Demikian pula ada hadits yang melarang jual beli "orang yang
terpaksa (mudhtharr). Imam al-Khaththabi menafsirkan jual beli tersebut dengan
mengatakan: Seseorang terpaksa menjual barang karena utang yang
menghimpitnya atau karena biaya hidup yang memberatkannya. Ia menjual apa
yang ada di tangannya dengan "banting harga" karena darurat. Solusi orang ini,
menurut agama dan moral, adalah tidak membelinya dengan cara ini dan tidak
membiarkan hartanya ludes, tetapi hendaklah ia ditolong dan diberi pinjaman serta
diperlonggar pembayarannya sampai ia mampu untuk menunaikan utangnya.
Namun, jika terjadi transaksi jual beli dengan kondisi darurat seperti ini, menurut
hukum dibolchkan dan tidak dinyatakan batal (yakni sah secara hukum meskipun
tercela secara moral agama).

Al-Khaththabi berkata, "Dalam sanad hadits tersebut terdapat seseorang


yang majhul (tidak diketahui identitasnya) yaitu orang tua dari Bani Tamim.
Namun kebanyakan para ulama membenci jual-beli seperti ini. Yakni disepakati
tentang kemakruhannya karena ada unsur kedzaliman dan merugikan.
Sumber alasan pelarangan adalah unsur eksploitasi keperluan orang yang
terpaksa (darurat) dan membeli darinya dengan harga yang lebih murah dari harga
sewajarnya yaitu harga yang adil.

2.4. KEJUJURAN

Berkaitan dengan kejujuran DR Yusuf Qardhawi (Yusuf Qardhawi, Peran


Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, hal 293-298) bahwa diantara nilai
transaksi yang terpenting adalah kejujuran. Ia merupakan puncak moralitas iman
dan karakteristik yang paling menonjol dari orang-orang beriman. Bahkan,
kejujuran merupakan karakteristik para nabi. Tanpa kejujuran kehidupan agama
tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan baik. Sebaliknya,
kebohongan adalah pangkal cabang kemunafikan dan ciri orang-orang munafik.
Cacat pasar perdagangan adalah kebohongan, manipulasi dan mencampuraduk
kebenaran dengan kebatilan, aik secara dusta dalam menerangkan spesifikasi
barang dagangan dan menggulkannya atas yang lainnya, dalam memberitahukan
tentang harga belinya atau harga jualnya kepada orang lain maupun tentang
banyaknya pemesanan dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, sifat terpenting bagi pedagang yang diridhoi Allah adalah
kejujuran. Dalam sebuah hadits dikatakan:

"Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya (penuh amanat) adalah bersama
para nabi, orang-orang yang membenarkan risalah nabi (shiddiqin) dan para
syuhada (orang yang mati syahid). " (HR. At Tirmidzi dan di-hasunkannya, dari
Abu Sa'id Al Khudri (1209).

Kejujuran ini merupakan faktor penyebab keberkahan bagi pedagangdan


pembeli. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits shahih:

"Penjual dan pembeli mempunyai hak untuk menentukan pilihan selama


belum saling berpisah, maka jika keduanya berlaku jujur dan menjelaskan yang
sebenarnya maka diberkati transaksi mereka, namun jika keduanya saling
menyembunyikan kebenaran dan berdusta maka mungkin keduanya mendapatkan
keuntung tetapi melenyapkan keberkahan traksaksinya. " (HR. Mutafaq' Alaih dari
Hab bin Hizam (al Lu'u rwal Marjan:X/9)).

Kedustaan yang paling tercela adalah jika diiringi dengan sumpah kepada
Allah tl'ala, Inilah sumpah bohong, sumpah jahat, atau sumpah
"alghomus"spenjerumusan) yang menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa di
dunia dan ke dalam api neraka di akherat. Syarah merabenci banyaknya
bersumpah dalam berdagang meskipun ia jujur karena di dalamnya ada unsur
pelecehannya nama Allah dan dikhawatirkan terhadap orang yang banyak
melakukannya akan terjerumus ke dalam kebohongan. Apalagi jika sumpah
tersebut dusta sejak awal!

Rasulullah SAW. bersabda:

"Empat golongan yang dibenci Allah: penjual yang banyak bersumpah,


orang miskin yang sombong, orang tua yang berzina dan pemimpin yang
durjana." (HR. An-Nasa'i dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (Mawaridudz
Dzam'an fi Zauwa'id Ibni Hibban: 1098).

Sabda Nabi saw: "Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka di
bari kiamat; Orang tua bangka penzina, orang miskin yang sombong dan
seseorang yang menjadikan "Allah" sebagai dagangannya, ia tidak menjual
kecuali dengan sumpah kepada- Nya dan tidak membeli kecuali dengan sumpah
kepada-Nya." (HR. At-Thabrani (IVI78).

Perhatikanlah gambaran orang yang perlu dikasihani ini. la melecehkan


nama "Allah" dan menjadikan-Nya barang dagangannya serta alat untuk
menjajakan komoditinya. la mudah bersumpah dan berjanji dengan nama yang
terobsesi oleh keuntungan rendah duniawi tanpa memperhatikan keuntungan
ukhrawi. Ia terlena oleh penghasilan yang fana sehingga mengabaikan pendapatan
yang kekal. Mereka adalah orang-orang yang pernah diperingatkan oleh Nabi
SAW ketika beliau keluar rumah melihat orang-orang yang sedang berjual-beli,
seru Nabi SAW, "Wahai para pedagang!" Lantas mereka memenuhi panggilan
Rasulullah SAW. seraya mengangkat leh r dan pandangan mereka kepadanya, lalu
beliau bersabda,

hendaklah ia ditolong dan diberi pinjaman serta diperlonggar pembayarannya


sampai ia mampu untuk menunaikan utangnya. Namun, jika terjadi transaksi jual
beli dengan kondisi darurat seperti ini, menurut hukum dibolchkan dan tidak
dinyatakan batal (yakni sah secara hukum meskipun tercela secara moral agama).
Al-Khaththabi berkata, "Dalam sanad hadits tersebut terdapat seseorang yang
majhul (tidak diketahui identitasnya) yaitu orang tua dari Bani Tamim. Namun
kebanyakan para ulama membenci jual-beli seperti ini. Yakni disepakati tentang
kemakruhannya karena ada unsur kedzaliman dan merugikan. Sumber alasan
pelarangan adalah unsur eksploitasi keperluan orang yang terpaksa (darurat) dan
membeli darinya dengan harga yang lebih murah dari harga sewajarnya yaitu
harga yang adil. 2.4. KEJUJURAN Berkaitan dengan kejujuran DR Yusuf
Qardhawi (Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
hal 293-298) bahwa diantara nilai transaksi yang terpenting adalah kejujuran. la
merupakan puncak moralitas iman dan karakteristik yang paling menonjol dari
orang-orang beriman. Bahkan, kejujuran merupakan karakteristik para nabi. Tanpa
kejujuran kehidupan agama tidakakan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak
akan berjalan baik. Sebaliknya, kebohongan adalah pangkal cabang kemunafikan
dan ciri orang-orang munafik. Cacat pasar perdagangan adalah kebohongan,
manipulasi dan mencampuraduk kebenaran dengan kebatilan, oaik secara dusta
dalam menerangkan spesifikasi barang dagangan dan menggulkannya atas yang
lainnya, dalam memberitahukan tentang harga belinya atau harga jualnya kepada
orang lain rentang banyaknya pemesanan dan lain sebagainya. karena itu, sifat
terpenting bagi pedagang yang diridhoi Allah adalah kejujuran. Dalam sebuah
hadits dikatakan: "Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya (penuh amanat)
adalah bersama para nabi, orang-orang yang membenarkan risalah nabi
(shiddigin) dan para syuhada (orang yang mati syahid). " (HR. At Tirmidzi dan di-
hasankannya, dari Abu Sa'id Al Khudri (1209). Kejujuran ini merupakan faktor
penyebab keberkahan bagi pedagangdan pembeli. Sebagaimana rersebut dalam
sebuah haditsshahih: "Penjual dan pembeli mempunyai hak untuk menentukan
pilihan selama belum saling berpisah, maka jika keduanya berlaku jujur dan
menjelaskan yang sebenarnya

maka diberkati transaksi mereka, namun jika keduanya saling


menyembunyikan kelvenaran dan berdusta maka mungkin keduanya mendapatkan
keuntungan terapi melenyapkan keberkahan traksaksinya." (HR. MutafaqAlaih
dari Hakim bin Hizam (alLu'luualMarjan:X/9)). Kedustaan yang paling tercela
adalah jika diiringi dengan sumpah kepada Allakta'ala. Inilah sumpah bohong,
sumpah jahat, atau sumpah "alghomus"penjerumuusmvang menjerumuskan
pelakunya ke dalam dosa di dunia dan ke dalam api neraka di akherat. Syarah
membenci banyaknya bersumpah dalam berdagang meskipun ia jujur karena di
dalamnya ada unsur pelecehannya nama Allah dan dikhawatirkan terhadap orang
yang banyak melakukannya akan terjerumus ke dalam kebohongan Apalagi jika
sumpah tersebut dusta sejak awal! Rasulullah SAW. bersabda: "Empat golongan
yang dibenci Allah: penjual yang banyak bersumpah, orang miskin yang
sombong, orang tua yang berzina dan pemimpin yang durjana. " (HR. An-Nasa'i
dan IbmuHibban dalam Shahih-nya (MawaridudzDzam'anfiZawaid Ibni Hibban:
1098). Sabda Nabi sau: "Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka di
bari kiamat; Orang tua bangka penzina, orang miskin yang sombong dan
sescorang yang menjadikan "Allah" sebagai dagangannya, ia tidak menjual
kecuali dengan sumpah kepada- Nya dan tidak membeli kecuali dengan sumpah
kepada-Nya." (HR. At- Thabrani (IVI78). Perhatikanlah gambaran orang yang
perlu dikasihani ini. la melecehkan nama "Allah" dan menjadikan-Nya barang
dagangannya serta alat untuk menjajakan komoditinya. la mudah bersumpah dan
berjanji dengan nama yang terobsesi oleh keuntungan rendah duniawi tanpa
memperhatikan keuntungan ukhrawi. la terlena oleh penghasilan yang fana
sehingga mengabaikan pendapatan yang kekal. Mercka adalah orang-orang yang
pernah diperingatkan oleh Nabi SAW ketika beliau keluar rumah melihat orang-
orang yang sedang berjual-beli, seru Nabi SAW, "Wahai pard pedagang!" Lantas
mereka memenuhi panggilan Rasulullah SAW. seraya mengangkat leh r dan
pandangan mereka kepadanya, lalu beliau bersabda,

Anda mungkin juga menyukai