Fungsi Bank Syariah yaitu manajer investasi, Investor, Jasa keuangan dan sosial
yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Salah satu fungsi bank syariah yang sangat penting Bank Syariah adalah
manaier investasi. Bank syariah merupakan manajer investasi dari pemilik dana
(shahibut maal) dari dana yang dihimpun dengan prinsip mudharabah (dalam
perbankan lazir .. disebut dengan deposan atau penabung), karena pendapatan
besar-kecilnya (bagi hasil) yang diterima oleh pemilik dana tersebut sangat
tergantung pada hasil usaha yang diterima oleh bank syariah dalam dana
mudharabah, schingga sangat tergantung pada keahlian, kehati-hatian, dan
profesionalisme dari bank syariah. Bank syariah dapat menghimpun dana yang
besar, kemudian dalam penyaluran dana dilakukan tidak efektif, kurang
memperhatikan prinsip- prinsip kehati-hatian, sembarangan sehingga banyak yang
macet atau banyak yang diketagorikan dalam non-performing, banyaknya
penyaluran dana yang tidak melakukan pembayaran angsuran, maka membawa
dampak pendapatan yang diikuti aliran kas masuk hanya sedikit yang diterima.
Dengan pendapatan yang masuk sedikit maka pendapatan yang akan dibagi antara
bank syariah dan shabibul maal juga sedikit yang akhirnya membawa dampak
kecilnya bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana (shahibul maal). Begitu
sebaliknya penyaluran dana yang tidak besar, namun dilakukan dengan efektif,
efesien dan produktif, dan kualitas penyaluran dana yang baik sehingga banyak
debitur yang melakukan pembayaran angsuran atau pembayaran bagi hasil yang
cukup banyak, akan membawa dampak pada pendapatan yang akan dibagi antara
bank syariah dan pemilik dana besar, yang menghasilkan pendapatan diterima
pemilik dana cukup besar.
Dana yang dihimpun oleh bank syariah, yang ditanamkan pada sektor yang
produktif dan tidak melanggar syariah. Jadi, apa yang dilakukan oleh Bank
Syariah dalam penyaluran dana yang membawa dampak atau risiko kepada
pemilik dana (shahibul maal) dari dana yang dihimpun (deposan atau penabung)
Hal ini sangat berbeda dengan Bank Konvensional, begitu deposan memberikan
dana kepada Bank Konvensional dan dijanjikan bunga tertentu, deposan tidak
beresiko. Bank bisa mengalirkan dana atau tidak, mendapatkan pendapatan besar
atau tidak mendapatkan pendapatan, deposan akan menerima bunga tetap yang
diperjanjikan.
Besarnya penyaluran dana atau investasi yang dilakukan oleh Bank Syariah,
indikasi pendapatan atau bagi hasil yang diterima oleh pemilik dana (deposan atau
penabung) besar, tetapi kualitas dari penyaluran dana atau investasi yang
dilakukan oleh bank syariah yang mempunyai pengaruh langsung hasil yang
diterima oleh pemilik dana yang dihimpun. Besarnya pembagian pendapatan
(nisbah) tidak menjamin sebagian besar bagi hasil yang akan diterima oleh
pemilik dana, karena bagi hasil tersebut sangat bergantung pada pendapatan yang
akan diperjualbelikan (pendapatan operasi utama), pendapatan yang akan sangat
tergantung pada pendapatan penyaluran dana yang diterima tunai basis oleh bank
syariah sebagai mudharib, pendapatan ini tergantung pada kualitas aktiva
produktif (penyaluran dana), kualitas aktiva produktif tergantung pada proses dan
prinsip-prinsip penyaluran dana.
Pembayaran ketidakseimbangan kepada pemilik dana yang dihimpun
(shahibul maal) bank syariah tidak sama dengan pembayaran ketidakseimbangan
kepada pemilik dana bank konvensional (yang lazim disebut dengan deposan atau
penabung). Bank konvensional memberikan ketidakseimbangan kepada para
deposannya dalam bentuk bunga dalam jumlah tetap dan ditentukan dimuka, tidak
dapat dikuasai oleh risiko atau masalah yang masuk oleh bank konvensional,
sedangkan keseimbangan pemilik dana (shahibul maal) bank sya riah sangat
tergantung pada pendapatan yang diperoleh oleh bank syariah sebagai mudharib
dalam pengelolaan dana mudharah, bank syariah tidak memberikan
ketidakseimbangan dalam jumlah yang telah ditentukan didepan.
Misalnya deposan bank konvesi uang tunai dalam bentuk deposito berjangka
dengan bunga 16% per tahun, pada umumnya dari penerimaan dana tersebut bank
konvesnional menyalurkan kembali dalam pemberikan kredit kepada debitur dan
memberikan bunga minimal sebesar harga pokok dana (lending rate) misalnya
23% per tahun ( harga pokok sebesar 16% ditambah beban overhead 4%
ditambah keuntungan diharapkan 3%). Berapapun besar kredit yang dikenakan
kepada debitur, berapapun diterima yang diterima oleh bank konvensional,
pembayaran ketidakseimbangan yang diberikan bank konvensional kepada
deposan tetap sebesar 16% per tahun, tidak berpengaruh terhadap berapa besar
bunga kredit kepada debitur. Misalnya bank konvensional dapat mengalirkan
kredit dengan bunga 23% bank konvensional tetap membayar bunga deposito
16%, bank konvensional menyalurkan kredit dengan bunga 40% bank
konvensional tetap membayar bunga deposito sebesar 16%, sebaliknya bank
konvensional menyalurkan kredit dengan bunga 10% bank konvensional tetap
membayar bunga deposito 16%, bahkan bank konvensional tidak dapat
mengalirkan dana dalam bentuk kredit pun bankkonvensional tetap harus
membayar bunga deposito sebesar 16%. Apabila bank konvensional membayar
bunga deposito (bunga atas dana pihak ketiga) lebih besar dari pendapatan
penyaluran dana, disebut dengan "penyebaran negatif". Hal ini yang membantu
oleh bank konvensional pada krisis moneter beberapa waktu yang lalu, dalam
penghimpunan dana bank konvensional memberikan bunga 56% per tahun dan
dalam penyaluran dana tidak ada nasabah yang mau mengambil kredit, karena
tingginya bunga kredit.
Fungsi ini dapat dilihat dalam hal penyaluran dana yang dilakukan oleh bank
syariah, baik yang dilakukan dengan prinsip jual beli maupun dengan
menggunakan prinsip bagi hasil sendiri. Bank-bank Islam bisa melakukan fungsi
ini berdasarkan kontrak Mudharabah atau sebuah 'agency contracť. Menurut akad
Mudharabah, bank (di dalam kapasitasnya sebagai seorang Mudharib yaitu
seseorang yang melakukan investasi dana pihak-pihak lain) hanya menerima suatu
keuntungan dalam keuntungan. Tetapi, jika terjadi kerugian maka bank tidak
berhak mendapatkan ketidakseimbangan atas usahanya dan kerugian yang
dibebankan kepada penyedia dana (rabul mal). Menurut kontrak keagenan, bank
menerima satu jumlah sekaligus (lump sum) atau proporsi dari jumlah dana yang
diinvestasikan tanpa memperhatikan apakah keuntungan atau tidak.
2.1.3. Fungsi Jasa Perbankan
Dalam menjalankan fungsi ini, bank syariah tidak jauh berbeda dengan bank
non syariah, seperti misalnya memberikan layanan kliring, transfer, inkaso,
pembayaran gaji dan sebagainya, hanya saja yang sangat diperhatikan adalah
prinsip-prinsip syariah yang tidak boleh dilanggar. Bank syariah memberikan jasa
transfer, inkaso, kliring dengan prinsip wakalah; menyediakan tempat untuk
menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi'ah yad
amanah; memberikan layanan letter of credit (L / C) dengan prinsip wakalah,
memberikan layanan bank garansi dengan prinsip kafalah; Melakukan kegiatan
wali amanat dengan prinsip wakalah, memberikan layanan penukaran uang asing
dengan prinsip sharf dan sebagainya. Bank-bank Islam juga menawarkan
berbagai jasa-jasa keuangan lainnya untuk memperoleh ketidakseimbangan atas
dasar kontrak agen atau sewa dan pendapatan yang diperolah atas jasa keuangan
tersebut merupakan pendapatan operasi lainnya dan tidak termasuk dalam
perhitungan pembagian hasil usaha.
Selain hal tersebut ada transaksi dari Bank Syariah yang mengandung unsur sosial
atau tolong menolong, sebagai contoh transaksi Qardh dimana Bank 2.2.
PELAKSANAAN LEMBAGA BISNIS SYARIAH MERUPAKAN
IMPLEMENTASI PRINSIP SYARIAH
Dalam melakukan kegiatan usaha bank syariah selain diatur oleh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, juga harus tunduk pada prinsip-prinsip syariah
yang ditentukan dalam Al Qur'an dan hadits, sehingga pelaksanaan kegiatan usaha
bank syariah tersebut merupakan implementasi dari prinsip-prinsip ekonomi
Islam, yang mempunyai ciri antara lain:
Suatu transaksi bank syariah sesuai dengan prinsip syariah apabila telah
memenuhi seluruh syarat (IAI, kerangka dasar penyusunan dan penyajian Laporan
Keuangan Bank Syariah, paragraf 7) sebagai berikut:
Syara' telah melarang riba dengan larangan yang tegas, berapapun jumlahnya,
baik sedikit maupun banyak. Harta hasil riba hukumnya jelas-jelas haram. Dan
tidak seorang pun boleh memilikinya, serta harta itu akan dikembalikan kepada
pemiliknya, jika mereka telah diketahui. Allah SWT. berfirman:
"jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. Menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui. Takutlah akan suatu hari, dimana kamu semua
dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi belasan yang
sempurna terhadap apa yang telah dikerjakan, sedangkan mereka sedikit pun tidak
dianiaya. " (Qs. Al-Baqarah: 280-181)
Adapun sifat yang tampak dalam riba tersebut adalah adanya suatu
keuntungan yang diambil oleh orang yang menjalankan riba, yaitu
mengeksploitasi tenaga orang lain, di mana ia mendapatakan upah tanpa harus
mencurahkan tenaga sedikit pus Di samping karena harta yang menghasilkan riba
itu dijamin keuntungannya, dan tidak mungkin rugi. Dan ini tentu bertentangan
dengan kaidah; al-gharam bit ghanami. Dr Setyawan Budi Utomo berkaitan
dengan riba ini menjelaskan (Setiawan. Figih Aktual, hal 76-77) bahwa menurut
istilah teknis, riba berarti "pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil".
Imam Nawawi dari mazhab syafii menjelaskan bahwa salah satu bentuk
implementasi riba adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu.
Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama
waktu pinjaman. Secara garis besar riba dikelompokan menjadi dua. Masing-
masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi
lagi menjadi riba gardh dan riba jalilla. Sedangkan kelompok kedua, riba jual beli
terbagi lagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah. Ibnu Hajar menjelaskan
pembagian riba tersebut serta hukumnya dengan mengatakan, "Bahwa riba itu
terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadhl dan riba al-yaad dan riba an-nasiah. Al
Mutawali menambahkan jenis keempat, yaitu Riba al qardh. Beliau juga
menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma'berdasarkan nash Al
Qur'an dan hadits Nabi." (az-Zawajir, II/205).
Adapun barang-barang yang diklasifikan kedalam jenis barang yang dapat
digunakan dalam praktik riba yaitu:
1. Emas dan perak, baik dalam bentuk mata uang maupun lainnya,
2. Bahan makanan pokok seperti beras, gandum dan sebagainya.
Pelarangan riba bukan hanya terdapat dalam ajaran Islam saja, ia telah
menjadi musuh bersama, penyakit sosial yang laten dan ancaman yang universal
bagi semua bangsa dan umat. Karenanya, kajian terhadap masalah riba dapat
dirunut mundur hingga lebih dari 2 ribu tahun silam. Masalah riba telah menjadi
wacana dikalangan Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristiani (Sudin Harun: 1997).
"Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan
menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba. Oleh karena
itu, utang akibat riba harus dibapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak
kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidakadilan."
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah SAW. bersabda,
"Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah
Suci, Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai daranh, dimana
didalamnya (ditengah sungai) berdiri seorang laki-laki. Sedangkan dipinggir
sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu ditangannya. Laki-laki
yang ditengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang dipinggir
sungai tadi melempari mulutnya (yang berdiri ditengah sungai) dengan batu dan
memaksanya kembali ketempat asal. Aku bertanya, Siapakah itu?' Aku diberi
tahu, bahwa laki-laki yang ditengah sungai itu ialah orang yang memakan riba."
(HR. Bukhari) Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW. mengutuk orang yang
menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua
orang saksinya. Kemudian beliau bersabda, "Mereka itu semuanya sama." (HR
Muslim) Diriwayatkan oleh Abu Hunairah bahwa Rasulullah saw. berkata, pada
malam perjalanan mi'raj, aku melibat orang-orang yang perut mereka seperti
rumah, didalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar.
Aku bertanya kepada Jibril siapakal mereka itu. Jibril menjawab bahuwa
mereka adalah orang yang memakan riba. Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu
Mas'ud bahwa Nabi SAW bersabda, "Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan),
yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina
dengan ibunya. " Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah sauw.
bersabda, "Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat
golongan memasuki surga atau tidak mendapat petunjuk dari-Nya. (Mereka itu
adalah) peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, dan mereka
yang tidak bertanggung jawablmenelantarkan ibu bapaknya. " Rasul bersabda,
"Apabila zina dan riba telah merajalela disuatu negeri, berarti mereka telah
menyediakan diri mereka untuk disiksa oleh Allah." (HR. Hakim) penduri, yakni
1/4 dinar emas, dan 3 dirham pada perak. Nilai tersebut ditetapkan sebagai standar
bagi segala sesuatu yang dicuri. 3. Pada waktu menetapkan hukum-hukum
pertukaran dalam transaksi keuangan, Islam menjadikannya dalam bentuk emas
dan perak. Yang dimaksud dengan pertukaran (ash-sharf) adalah pertukaran
barang dengan barang, jual beli uang dengan uang, baik yang sejenis seperti
membeli emas dengan emas atau perak dengan perak, atau dengan yang tidak
sejenis seperti membeli emas dengan perak atau sebaliknya. Islam telah
mengkaitkan hukum-hukum ini dengan emas dan perak, dengan sifatnya sebagai
mata uang dan alat tukar, juga (nilai) harga di dalam jual beli. Ini adalah ketetapan
dari Rasulullah SAW yang telah menjadikan emas dan perak sebagai standar mata
uang yang menjadi penentu (nilai) harga dalam jual beli, dan (nilai) upah atas jasa.
Ini menunjukkan bahwa mata uang di dalam Islam adalah (berbentuk) emas dan
perak. Karena seluruh hukum yang tekait dengan uang terikat dengan emas dan
perak dengan kedudukannya sebagai (nilai) harga atas seluruh barang dan jasa,
sebagai mata uang dalam proses tukar menukar, baik berbentuk (mata uang)
cetakan maupun (emas dan perak) latakan. Di dalam ekonomi Islam, merupakan
barang publik (public goods), uang bukan modal (capital). Sementara ini kita
kadang salah kaprah menenpatkan uang. Uang biasanya kita sama artikan dengan
modal (capital).
1. Money as flow consept Uang adalah sesuatu yang mengalir, oleh karena
itu uang diibaratkan seperti air. Jika air di sungai itu mengalir, maka air
tersebut akan bersih dan sehat. Jika air tersebut berhenti (tidak mengalir
secara wajar) maka air tersebut menjadi busuk dan berbau. Demikain
halnya dengan uang. Uang yang berputar untuk produksi akan
menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi masyarakat.
Sementara jika uang ditahan maka dapat menyebabkan macee roda
perekonomian, sehingga dapat menyebabkan krisis atau penyakit-penvakie
ekonomi lainya. Dalam ajaran Islam uang harus diputar terus sehingga
danar mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Untuk itu uang perlu
digunakan untuk investasi disektor riil dan jika tidak diinvestasikan pada
sektor riil, maka tidak akan mendatangkan apa-apa.
2. Money as Public Goods Uang adalah barang untuk masyarakat banyak,
bukan monopoli perorangan. Sebagai barang publik, maka masyarakat
dapat menggunakannya tanpa ada hambatan dari orang lain. Oleh karena
itu dalam tradisi Islam-menumpuk uang sangat dilarang, sebab kegiatan
menumpuk uang akan mengganggu orang lain menggunakannya. Dari
gambaran uang sebagai air yang mengalir dan uang sebagai barang publik,
akhirnya dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara modal dengan
uang. Kaitan uang dengan modal ini dapat dikiaskan antara kendaraan
dengan jalan. Kendaraan adalah barang/milik pribadi, sedangkan jalan
adalah barang/milik umum. Jadi modal adaluh milik pribadi dan yang
adalah milik umum. Dengan demikian, kenyamanan berkendaraan akan
didapatkan jika kendaraan tersebut berjalan diatas jalan raya.
Dengan kata lain, hanya dengan modal yang diinvestasikan ke sektor riil
lah yang akan mendatangkan pendapatan (berupa) uang Islam telah memberikan
kebebasan kepada manusia untuk melakukan pertukaran dengan mempergunakan
barang apa saja yang dia sukai. Hanya saja, pertukaran barang dengan satuan uang
tertentu itu telah ditunjukkan oleh Islam, dimana Islam telah menunjukkan satuan
uang tersebut. Bahkan, Islam telah menentukan satuan tersebut untuk kaum
Muslimin dalam bentuk uang khas, yaitu emas dan perak.
kurma dan uang adalah mal. Sementara kanzul mal tersebut hanya nampak
pada uang saja, bukan pada barang dan tenaga. Sedangkan yang
dikehendaki oleh ayat tersebut adalah larangan menimbun uang, scbab
uang merupakan alat tukar umum, dan karena menimbun uang itulah,
maka lahirlah larangan tersebut. Adapun mengumpulkan selain uang itu
tidak disebut sebagai kanzul mal, melainkan disebut ihtikar. Oleh karena
itu, ayat yang melarang menimbun emas dan perak, sesungguhnya
merupakan larangan menimbun uang. Dimana, ayat tersebut telah
menentukan uang tertentu, yang dilarang oleh Allah untuk ditimbun, yaitu
emas dan perak. Allah SWT, berfirman: "Dan orang-orang yang
menimbun emas dan perak, serta tidak menafkahkannya di jalan Allah
(untuk jihad), maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan
mendapatkan) azab yang pedih." (Q.s. At-Taubah: 34). Jadi, larangan di
sini ditunjukan kepada alat tukar (medium of exchange) yang berupa uang.
Oleh karena itu, menimbun emas dan perak sebagai barang hukumnya
adalah haram, baik yang sudah dicetak ataupun belum.
2. Islam telah mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum yang baku
dan tidak berubah-ubah. Kerika Islam mewajibkan diyar, Islam telah
menentukan diyat tersebur dengan ukuran tertentu dalam bentuk emas.
Dan ketika Islam mewajibkan hukumnya potongan tangan terhadap
praktik pencurian, Islam juga menentukan ukuran tertentu dalam bentuk
emas. Oleh karena itu, bila mencuri mencapai ukuran tersebut, hukumnya
wajib dipotong. Rasullulah SAW pernah menyatakan di dalam suarat
beliau, yang beliau kirimkan kepada penduduk Yaman: "Bahwa di dalam
(pembunuban) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta... dan terhadap
pemilik emas. (ada kewajiban) sebanyak 1.000 dinar." (HR. An-Nasa'i,
dari Amru bin Hazem). "Tangan itu wajib dipotong. (apabila mencuri) 4
dinar atau lebih." (HR. Imam Bukhari, dari Aisyah) batasan hukum-hukum
tertentu dengan mempergunakan dinar, dirham dan mitsqal ini telah
menjadikan dinar-yang meapakan timbangan-cmas: dan dirham-yang
merupakan timbangan-perak, sebagai satuan uang yang dipergunakan
untuk mengukur (menghitung) nilai barang dan tenaga. Jadi, satuan uang-
yang berupa emas dan perak-inilah yang menjadi uang, dan satuan inilah
yang menjadi pijakan uang tersebut. Islam juga telah mengaitkan hukum-
hukum syara dengan emas dan perak dalam bentuk nash, yakni ketika
hukum-hukum ini terkait dengan masalah uang, adalah bukti bahwa uang
tersebut harus berupa emas dan perak.
3. Rasulullah SAW. telah menetapkan emas dan perak sebagai uang, dan
belisu menjadikan hanya emas dan perak sajalah sebagai standar uang.
Dimana standar barang dan tenga akan dikembalikan kepada standar uang.
Dimana standar barang dan tenaga akan dikembalikan kepada standar
tersebut. Juga dengan pijakan emas dan perak inilah semua bentuk
transaksi bisa dilangsungkan Beliau telah membuat standar uang ini dalam
bentuk uqiyyah, dirham, dania, girath, mitsgal, dan dinar. Semuanya ini
sudah dikenal dan sangat masyhur pada masa Nabi SAW, dimana
masyarakat telah mempergunakannya dalam melakukan transaksi. Yang
jelas, Nabi SAW. telah mendiamkannya. Semuanya tadi dilakukan dengan
emas dan perak, sebagai uang yang berlaku untuk jual beli dan nikah.
Sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam hadits-hadits shahih.
Rasulullah SAW. Telah menentukan berat emas dan perak tersebut dengan
berat tertentu, yaitu timbangan penduduk Mekkah. Imam Abu Daud dan
An-Nasa'I telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW.
bersabda: "Timbangan tersebut adalah timbangan penduduk Mekkah."
Dengan meneliti kembali berat timbangan uang dalam Islam, maka
nampak jelaslah bahwa I ugiyyah menurut ukuran syara' adalah sama
dengan 40 dirham. Sedangkan 1 dirham sama dengan 6 danig. Sementara
1 dinar sama dengan 20 qirath, dan tiap 10 dirham sama dengan 7 mitsgal.
Dimana semuanya tadi telah diterapkan oleh timbangan-timbangan
Madinah.
4. Ketika Allah SAW. mewajibkan zakat aang, maka Allah telah
mewajibkan zakat tersebut untuk emas dan perak, kemudian Allah
menentukan nishab zakat tersebut dengan nishab emas dan perak. Dengan
adanya zakat emas dan perak tersebut, telah menentukan bahwa uang
tersebut berupa emas dan perak.
5. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (money changer) yang
terjadi dalam transaksi uang, hanya dilakukan dengan emas dan perak.
Semua transaksi dalam bentuk finansial yang dinyatakan dalam Islam
hanya dinyatakan dengan emas dan perak. Sedangkan perrukaran mata
uang itu adalah menjual mata uang dengan mata uang lain, yang adakalnya
menjual mata uang dengan mata uang sejenis, atau menjual mata uang
dengan mata uang asing. Dengan kata lain, pertukaran mata uang adalah
pertukaran mata uang tersebut merupakan transaksi dalam bentuk uang
saja, dan cidak ada hubungannya dengan selain uang-dengan emas dan
perak, adalah bukti yang tegas bahwa uang tersebut Akan tetapi satuan
tersebut dinilai menurut beratnya, bukan jumlahpula dengan ukiran
ataupun tidaknya. Potongan emas tersebut kadang-kadang ditentukan
menurut berat dan besarnya telur.
Lalu beliau mengumpulkan mulai yang besar, kecil dan cetakan ke dalam satu
timbangan Mekkah. Setelah itu, Abdul Malik mencetak dirham dari perak, dan
dinar dari emas. Peristiwa tersebur terjadi pada tahun ke-75 Hijriyah. Maka, sejak
tanggal itulah uang Islam menjadi khas mengikuti satu ciri khas yang tidak
berbeda-beda lagi. Dengan demikian, sistem uang di dalam Islam dari segi
asasnya mengikuti timbangan emas dan perak. Adapun berat, cetakan, bentuk dan
model ukirannya, semuanya hanya merupakan masalah teknis. Olch karena itu,
kata emas dan perak di manapun kata tersebut dinyatakan dalam lafadz-lafadz dan
ketentuan-ketentuan syara bisa diberlakukan untuk dua hal: Pertama, untuk uang
yang dipergunakan dalam melakukan transaksi. meskipun berupa tembaga, atau
burniz, atau kertas uang. Dengan catatan uang tersebut mempuyai penjamin,
dimana yang menjadi adalah emas dan perak. Kedua, untuk emas dan perak.
Sehingga uang apa pun, baik emas maupun perak, tetap bisa dipergunakan,
termasuk baik kertas uang, tembaga, maupun yang lain, yang memungkinkan
untuk ditukarkan menjadi emas dan perak.
Dalam bank syariah tidak mengenal time value of money, perlakukan uang
dalam bank syariah hanya diperlakukan hanya sebagai alat pembayaran saja dan
tidak diperkenankan sebagai alat komoditi atau untuk diperdagangkan, sehingga
täng tidak ada perbedaan karena waktu. Oleh karena itu bank syariah tidak pernah
menghitung nilai uang dengan adanya perubahan waktu yang akan datang.
Dalam bank syariah tidak mengenal time value of money, perlakukan uang
bank syariah hanya diperlakukan hanya sebagai alat pembayaran saja dan tidak
diperkenankan sebagai alat komoditi atau untuk diperdagangkan, sehingga uang
tidak ada perbedaan karena waktu. Oleh karena itu bank syariah tidak pernah
menghitung nilai uang dengan adanya perubahan waktu dalam akan datang.
Hussein bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah SAW, adalah orang yang
pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar
(deferred payment) lebih tinggi dari pada harga tunai. Yang lebih menarik adalah
bahwa dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali
bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata ditahannya
hak si penjual barang. Dapat dijelaskan disini bahwa bila barang dijual tunai
dengan untung Rp. 500,- -, maka si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi
sehingga dalam satu hari itu keuntungannya adalah Rp.1.000,--. Sedangkan bila
dijual dengan tangguh bayar, maka haka si penjual menjadi tertahan, sehingga dia
tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi. Akibat lebih jauh dari izu, hak dari
keluarga dan anak si penjual untuk makan malam pada hari itu tercahan oleh
pembeli.Untuk alasan inilah, yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi
kewajibannya (menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga
tangguh lebih tinggi daripada harga tunai.
Ada dua alasan dari teori ekonomi konvensional terhadap teori time value
of money yaitu:
1. Presence of inflation
2. Prference present consumption to future consumprion
Dalam pandangan Islam mengenai waktu, waktu bagi semua orang adalah
sama kualitasnya, yaitu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan. Nilai waktu
antara satu orang dengan yang lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya. Jadi
faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan
waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efesien (tepat cara), maka akan
semakin tinggi nilai waktunya. Efektif dan efesien akan mendatangkan
keuntungan di dunia bagi siapasaja yang melaksanakannya. Oleh karena itu,
siapapun pelakunya tanpa memandang suku, agama dan ras, secara sunatullah, ia
akan mendapatkan keuntungan di dunia.
1. Jual beli dan sewa menyewa adalah sektor riil yang menimbulkan nilai tambah
ekonomis (economic value added)
2. Tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan
kewajibannya (menyerahkan barang dan jasa), sehingga ia tidak dapat
melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain.
Begitu pula penggunaan discount rate dalam menentukan nisbah bagi hasil,
dapat digunakan. Nisbah ini akan dikalikan dengan pendapatan aktual (actual
return), buan dengan pendapatan yang diharapkan (expected return). Transaksi
bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa, karena
dalam transaksi bagihasil hubungannya bukan antara penjual dengan pembeli atau
penyewa dan yang menyewakan.Dalam transaksi bagi hasil, yang ada hubungan
antara pemodal dengan yang memproduktifkan modal tersebut.Jadi, tidak ada
pihak yang telah melaksanakan kewajibannya namun masih tertahan
haknya.Shobibul mal telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memberikan
sejumlah modal.yang memproduktifkan modal (mudharib) juga telah
melaksanakan kewajibannya, yaitu memproduktifkan modal tersebut. Hak bagi
shahibulmal dan mudharib adalah berbagi hsail atas pendapatan atau keuntungan
tersebut, sesuai kesepakatan wal apakah bagi hasil itu akan dilakukan atas
pendapatan atau keuntungan.
2.2.4. Perjudian
Yang termasuk dalam kategori perjudian adalah kertas undian, apa pun
bentuk dan sebab yang digunakan untuk membuatnya. Yang juga termasuk
perjudian adalah pertaruhan dalam perlombaan kuda.Sedangkan harta hasil
perjudian itu hukumnya haram, dan tidak boleh dimiliki.
2.2.5. Penipuan (Al-Ghabn)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa ada
seorang laki-laki mengatakan kepada Nabi SAW bahwa dia telah menipu dalam
jual-bel maka beliau bersabda:
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Anas: "Ada seorang laki-laki hidup
pada masa Rasullulah saw. Dia biasa menjual, padahal dia dalam 'pengawasan',
(maksudnya akalnya lemah), lalu keluarganya mendatangi Nabi SAW.: "Wahai
Nabi Allah, hiir saja si fulan. Sebab, dia selalu melakukan jual beli. Dia kemudian
berkata: "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku tidak sabar terhadap jaul-beli
semacam ini.' Lalu Nabi SAW. bersabda:' jika kamu tidak mau meninggalkan jual-
beli, maka katakan: 'Ah, dan tidak ada penipuan'." Imam Al-Bazzar juga
meriwayatkan, dari Anas dari Nabi SAW.bahwa beliau melarang menjual hewan
muhaffalat. Khilaba-dengan dikasrah huruf kha'nya-bermakna khadi'ah
(penipuan).Hadits-hadits ini telah menuntut agar penipuan tersebut hukumnya
haram.Dari sinilah, maka hukum penipuan (al-ghabn) itu juga haram.Hanya saja,
ghabn yang diharamkannya adalah karena ghabn itu merupakan penipuan dalam
harga, dan tidak disebut penipuan kalauhanya sedikit (ringan). Karena ia
merupakan ketangkasan pada saat menawar.
Jadi, ghabn itu disebut penipuan, apabila sudah sampai pada taraf yang
keji.Apabila ghabn tersebut telah ditetapkan, maka bagi pihak yang tertipu boleh
memilih sesukar ya, antara merusak dan meneruskan jual belinya.Artinya, apabila
telah tampak suatu penipuan dalam jual beli, maka pihak yang tertipu tadi boleh
mengembalikan harganya dan meminta kembali barangnya, apabila dia seorang
penjual.Dan boleh mengembalikan pembeliannya dan mengambil harganya,
apabila dia seorang pembeli.
Dan sama sekali tidak diperbolehkan meminta ganti rugi. Artinya, orang
yang bersangkutan tidak boleh mengambil beda antara harga barang yang
sesungguhnya dengan harga yang sebelumnya telah dipergunakan untuk
menjualnya. Sebab, Rasulullah SAW hanya memberikan pilihan antara merusak
jual beli atau menolaknya, di mana beliau tidak memberikan alternatif lain kepada
orang yang bersangkutan. Imam Ad-Daruquchi telah meriwayatkan dari
Muhammad bin Yahya bin Hibban, yang mengatakan: Nabi SAW. telah bersabda:
Hadits ini menunjukkan, bahwa pihak yang tertipu tadi diberi pilihan.
Hanya saja, pilihan ini ditetapkan berdasarkan dua syarat: pertama, pada saat
terjadinya transaksi tersebut dia tidak tahu; kedua, penambahan atau pengurangan
yang drastis, dimana orang lain tidak melakukan penipuan seperti itu pada saat
terjadinya transaksi tersebut. Ghabn (penipuan) yang keji adalah istilah yang
dipergunakan oleh para bisnisman, bahwa penipuan tersebut adalah penipuan
yang keji.Sedangkan seberapa besar kecilnya, tidak ditentukan berdasarkan seperti
atau seperempat harga, namun dikembalikan kepada istilah para bisnisman di
negeri tersebut pada saat terjadinya suatu transaksi.Sebab, hal itu memang
berbeda-beda, mengikuti perbedaan barang dan kondisi pasarnya.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ad. laki-laki
mengatakan kepada Nabi SAW bahwa dia telah menipu dalam jual-beli, scorang
maka beliau bersabda: "Apabila kamu menjual, maka katakanlah: Tidak ada
penipuan" Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Anas: "Ada seorang laki-laki
hidup nada masa Rasullulah saw. Dia biasa menjual, padahal dia dalam
pengawasan', (maksudnu akalnya lemah), lalu keluarganya mendatangi Nabi
SAW.: "Wahai Nabi Allah, hiir saja si fulan. Sebab, dia selalu melakukan jual beli.
Dia kemudian berkata: "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku tidak sabar terhadap
jaul-beli semacam ini.' Lalu Nabi SAW. bersabda:' jika kamu tidak mau
meninggalkan jual-beli, maka katakan: Ah, dan tidak ada penipuan'." Imam Al-
Bazzar juga meriwayatkan, dari Anas dari Nabi SAW. bahwa beliau melarang
menjual hewan muhaffalat. Khilaba-dengan dikasrah huruf kha'nya-bermakna
khadi'ah (penipuan). Hadits-hadits ini telah menuntut agar penipuan tersebut
hukumnya haram. Dari sinilah, maka hukum penipuan (al-ghabn) itu juga haram.
Hanya saja, ghabn yang diharamkannya adalah karena ghabn itu merupakan
penipuan dalam harga, dan tidak disebut penipuan kalauhanya sedikit (ringan).
ketangkasan pada saat menawar.
Apabila engkau ridha, maka ambilah. Apabila engkau marah (tidak ridha),
maka kembalikanlah kepada pemiliknya." Hadits ini menunjukkan, bahwa pihak
yang tertipu tadi diberi pilihan. Hanya saja, pilihan ini ditetapkan berdasarkan dua
syarat: pertama, pada saat terjadinya transaksi tersebut dia tidak tahu; kedua.
penambahan atau pengurangan yang drastis, dimana orang lain tidak melakukan
penipuan seperti itu pada saat terjadinya transaksi tersebut. Ghabn (penipuan)
yang keji adalah istilah yang dipergunakan oleh para bisnisman, bahwa penipuan
tersebut adalah penipuan yang keji. Sedangkan seberapa besar kecilnya, tidak
ditentukan berdasarkan seperti atau seperempat harga, namun dikembalikan
kepada istilah para bisnisman di negeri tersebut pada saat terjadinya suatu
transaksi. Sebab, hal itu memang berbeda-beda, mengikuti perbedaan barang dan
kondisi pasarnya. Sedangkan tentang penipuan (tadlis) dalam jual beli Taqyuddin
An- Nabhani menjelaskan (Taqyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif, hal 205-208) bahwa pada dasarnya transaksi jual-beli itu bersifat
mengikat. Apabila transaksi tersebut telah sempurna dengan adanya ijab dangabul
antara penjual dan pembeli, lalu "majelis jual-beli" -nya telah berakhir, maka
transaksi tersebut berarti telah mengikat dan wajib dilaksanakan oleh pembeli dan
penjual tersebut. Hanya masalahnya, ketika transaksi muamalah itu harus
sempurna dengan cara yang bisa menghilangkan perselisihan antara individu,
maka syard telah mengharamkan individu tersebut untuk melakukan penipuan
sebagai suatu dosa, baik penipuan tersebut berasal dari pihak penjual, maupun
pembeli barang atau uang. Oleh karena itu, semuanya hukumnya haram. Sebab,
penipuan tersebut mungkin berasal dari pihak penjual, juga mungkin dari pihak
pembeli. Adapun yang dimaksud dengan penipuan penjual adalah, apabila
sipenjual menyembunyikan cacat barang dagangannya dari pembeli, padahal dia
jelas-jelas mengetahuinya; atau apabila si penjual menutupi cacat tersebut dengan
sesuatu yang bisa mengelabui pembeli, sehingga terkesan tidak cacat; atau
menutupi barangnya dengan sesuatu yang bisa menampakkan seakan-akan
barangnya, semuanya baik. Yang dimaksud dengan penipuan pembeli terhadap
harga adalah, apabila si pembeli memanipulasi alat pembayarannya, atau
raenyembunyikan manipulasi yang terjadi pada alat pembayarannya, padahal dia
jelas-jelas tahu, Untuk bisa melakukan penipuan tersebut, harga kadang bisa
berbeda-beda dengan perbedaan barang yang dijual. Karena bertujuan menipu,
seseorang pembeli kadang mengiming-iming dengan barang tertentu.
"Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain. Dan tidak hala bagi
seseorang untuk menjual barang kepada saudaranya, sementara di dalamnya
terdapat cacat, selain dia menjelaskan cacat tersebut kepadanya." Imam Bukhari
meriwayatkan dari Hakim bin Hazzam dari Nabi SAW. Yang mengatakan:
"Pembeli dan penjual itu boleh memilih, selama keduanya belum berpisah.
Apabila keduanya jujur, dan sama-sama menjelaskan (cacatnya), maka keduanya
diberkahi dalam jual-belinya. Apabila keduanya menyembunyikan (cacatnya) dan
berdusta, maka barakah jual belinya akan dicabur." "Bukanlah termasuk
ummatku, orang yang melakukan penipuan." (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud,
melalui Abu Hurairah). Siapa saja yang memperoleh harta dengan cara menipu,
baik dengan cara tadlis maupun ghabn, maka dia tidak bisa memiliki harta
tersebut. Sebab cara semacam ini tidak termasuk cara-cara pemilikan, melainkan
cara-cara yang dilarang. Bahkan, harta yang diperoleh dengan cara tersebut adalah
harta yang haram, yang merupakan harta sulit. Nabi SAW. bersabda: "Tidak akan
mauk surga daging yang tumbuh dari hasil harta suht (haram). Sebab, nerakalah
yang lebih layak baginya." (HR. Imam Ahmad, dari Jabir bin Abdullah). Apabila
penipuan rersebut terjadi, baik terhadap barang maupun uang, maka bagi pihak
yang tertipu berhak menilih: boleh merusak transalksinya, atau meneruskannya,
dan lebih dari pilihan terscbut tidak ada. Apabila seorang pembeli ingin memiliki
barang yang ada cacatnya, atau barang tipuan tersebut, lalu meminta arsy, yaitu
harga yang berbeda, yakni antara harga barng yang cacat dengan harga barang
yang tidak cacat. maka praktik semacam ini tidak boleh. Sebab, Nabi SAW. Tidak
memberikan alternatif arsy untuknya. selain hanya memberikan pilihan dengan
dua hal: "Apabila mau, maka bisa mengambilnya. Dan apabila tidak, maka bisa
mengembalikannya." (HR. Imam Bukhari, dari Abu Hurairah). Untuk bisa
mendapatkan pihan tersebut, scorang penjual memang tidak harus mengerri
penipuannya, ataupun cacatnya, namun pilihan tersebut diberikan kepada yang
tertipu, begitu penipuan tersebut terjadi: baik pihak penjual tahu ataupun tidak.
Sebab, hadits-hadits di atas bersifat umum disamping, karena fakta.
Jual beli tersebut terjadi pada sesuatu yang memang dilarang. Ini berbeda dengan
praktik ghabn.
Sebab ghabn tersebut harus diketahui bentuk ghabn-nya, sebab jika yang
bersangkutan tidak tahu, tentu dia pun tidak tahu bahwa dirinya sebagai penipu
(ghabin) , sehingga berlaku lahat bagi pihak yang tertipu (maghbun). Contohnya
dia menjual. Baru kemudian ketahuan bahwa dia telah dengan harga yang lebih
tinggi dari harga pada mumnya. Maka praktik semacam ini tidak termasuk dalam
kategori ghabn. sehingga pihak pembeli pun tidak berhak mendapatkan pilihan
karena penjual tersebut dengan ketidaktahuan nya menarik turunkan harga
tersebut tidak tahu bahwa dirinya seorang penipu (ghabin).
2.2.6. Penimbunan
"Siapa saja yang terlibat dalam sesuatu yang berupa harga bagi kaum
Muslimin, agar dia bisa menaikkan harga tersebut kepada mereka, maka
kewajiban Allah untuk, mendudukkanmu dengan sebagian besar (tempat
duduknya) dari neraka, kelak pada hari kiamat nanti.
2.3.1. Keadilan
"Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletak kan neraca
(keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan
tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu" (ar-Rahman: 7-9)
2.4. KEJUJURAN
Oleh karena itu, sifat terpenting bagi pedagang yang diridhoi Allah adalah
kejujuran. Dalam sebuah hadits dikatakan:
"Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya (penuh amanat) adalah bersama
para nabi, orang-orang yang membenarkan risalah nabi (shiddiqin) dan para
syuhada (orang yang mati syahid). " (HR. At Tirmidzi dan di-hasunkannya, dari
Abu Sa'id Al Khudri (1209).
Kedustaan yang paling tercela adalah jika diiringi dengan sumpah kepada
Allah tl'ala, Inilah sumpah bohong, sumpah jahat, atau sumpah
"alghomus"spenjerumusan) yang menjerumuskan pelakunya ke dalam dosa di
dunia dan ke dalam api neraka di akherat. Syarah merabenci banyaknya
bersumpah dalam berdagang meskipun ia jujur karena di dalamnya ada unsur
pelecehannya nama Allah dan dikhawatirkan terhadap orang yang banyak
melakukannya akan terjerumus ke dalam kebohongan. Apalagi jika sumpah
tersebut dusta sejak awal!
Sabda Nabi saw: "Tiga golongan yang Allah tidak akan melihat mereka di
bari kiamat; Orang tua bangka penzina, orang miskin yang sombong dan
seseorang yang menjadikan "Allah" sebagai dagangannya, ia tidak menjual
kecuali dengan sumpah kepada- Nya dan tidak membeli kecuali dengan sumpah
kepada-Nya." (HR. At-Thabrani (IVI78).