Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang

Genetika adalah ilmu yang mempelajari sifat-sifat keturunan (hereditas) serta


segala sluk beluknya selama ilmiah. Genetika disebut juga ilmu keturunan, ilmu ini
mempelajari berbagai aspek yang menyangkut pearisan sifat, bagaimana sifat
keturunan ilmu itu diturunkan dari generasi kegenerasi serta variasi-variasi yang
mungkin timbul didalamnya atau yang menyertainya. Pewarisan sifat tersebut
dapat terjadi melalui proses seksual. Genetika berusaha membawakan material
pembawa informasi untuk diwariskan (bahan genetik), bagaimana informasi
tersebut di ekspresikan ekspresi genetic dan bagaimana informasi tersebut
dipindahkan dari individu satu ke individu lain. PCR adalah suatu metode in vitro
yang digunakan untuk mensintesis sekuens tertentu DNA dengan menggunakan
dua primer oligonukleotida yang menghibridisasi pita yang berlawanan dan
mengapit dua target DNA. Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan
amplifikasi sekuens DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini semakin luas
penggunaannya.

1.2.            Tujuan dan Manfaat

Tujuan dan manfaat dari mempelajari materi ini yaitu dapat mengetahui kegunaan
dari PCR, komponan-komponan PCR dan proses PCR.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.      Pengertian PCR (Polimerase Chain Reaction)

Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (polymerase
chain reaction) merupakan suatu teknik atau metode perbanyakan
(replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dengan teknik
ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan waktu relatif singkat
sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA. Teknik ini
dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983 dan ia memperoleh hadiah Nobel pada
tahun 1994 berkat temuannya tersebut. Penerapan PCR banyak dilakukan di
bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya
memerlukan jumlah sampel yang kecil. PCR (Polimerase Chain Reaction) atau
reaksi berantai polimerase adalah suatu metode in vitro yang digunakan untuk
mensintesis sekuens tertentu DNA dengan menggunakan dua primer
oligonukleotida yang menghibridisasi pita yang berlawanan dan mengapit dua
target DNA. Kesederhanaan dan tingginya tingkat kesuksesan amplifikasi sekuens
DNA yang diperoleh menyebabkan teknik ini semakin luas penggunaannya.

2.2.      Komponen

Selain DNA template yang akan digandakan dan enzim DNA polymerase,
komponen lain yang dibutuhkan adalah:

1. a.      Primer

Primer adalah sepasang DNA utas tunggal atau oligonukleotida pendek yang
menginisiasi sekaligus membatasi reaksi pemanjangan rantai atau polimerisasi
DNA. Jadi jangan membayangkan kalau PCR mampu menggandakan seluruh
DNA bakteri E. coli yang panjangnya kira-kira 3 juta bp itu. PCR hanya mampu
menggandakan DNA pada daerah tertentu sepanjang maksimum 10000 bp saja,
dan dengan teknik tertentu bisa sampai 40000 bp. Primer dirancang untuk memiliki
sekuen yang komplemen dengan DNA template, jadi dirancang agar menempel
mengapit daerah tertentu yang kita inginkan.

1. b.      dNTP (deoxynucleoside triphosphate)

dNTP alias building blocks sebagai ‘batu bata’ penyusun DNA yang baru. dNTP
terdiri atas 4 macam sesuai dengan basa penyusun DNA, yaitu dATP, dCTP, dGTP
dan dTTP.

1. c.       Buffer

Buffer yang biasanya terdiri atas bahan-bahan kimia untuk mengkondisikan reaksi
agar berjalan optimum dan menstabilkan enzim DNA polymerase.

1. d.      Ion Logam

 Ion logam bivalen, umumnya Mg++, fungsinya sebagai kofaktor bagi enzim
DNA polymerase. Tanpa ion ini enzim DNA polymerase tidak dapat bekerja.
 Ion logam monovalen, kalsium (K+).

2.3.      Prinsip Kerja

Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-ulang antara 20–30 kali
siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap. Berikut adalah tiga tahap bekerjanya
PCR dalam satu siklus:

1. Tahap peleburan (melting) atau denaturasi. Pada tahap ini (berlangsung pada
suhu tinggi, 94–96 °C) ikatan hidrogen DNA terputus (denaturasi) dan DNA
menjadi berberkas tunggal. Biasanya pada tahap awal PCR tahap ini dilakukan
agak lama (sampai 5 menit) untuk memastikan semua berkas DNA terpisah.
Pemisahan ini menyebabkan DNA tidak stabil dan siap menjadi templat
(“patokan”) bagi primer. Durasi tahap ini 1–2 menit.
2. Tahap penempelan atau annealing. Primer menempel pada bagian DNA
templat yang komplementer urutan basanya. Ini dilakukan pada suhu antara 45–
60 °C. Penempelan ini bersifat spesifik. Suhu yang tidak tepat menyebabkan
tidak terjadinya penempelan atau primer menempel di sembarang tempat. Durasi
tahap ini 1–2 menit.
3. Tahap pemanjangan atau elongasi. Suhu untuk proses ini tergantung dari
jenis DNA polimerase yang dipakai. Dengan Taq-polimerase, proses ini
biasanya dilakukan pada suhu 76 °C. Durasi tahap ini biasanya 1 menit.

Lepas tahap 3, siklus diulang kembali mulai tahap 1. Akibat denaturasi dan
renaturasi, beberapa berkas baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain.
Akhirnya terdapat berkas DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang
dipakai. Jumlah DNA yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara
ksponensial

Pada tahap denaturasi, pasangan untai DNA templat dipisahkan satu sama lain
sehingga menjadi untai tunggal. Pada tahap selanjutnya, masing-masing untai
tunggal akan ditempeli oleh primer. Jadi, ada dua buah primer yang masing-masing
menempel pada untai tunggal DNA templat. Biasanya, kedua primer tersebut
dinamakan primer maju (forward primer) dan primer mundur(reverse primer).
Setelah menempel pada untai DNA templat, primer mengalami polimerisasi mulai
dari tempat penempelannya hingga ujung 5’ DNA templat (ingat polimerisasi
DNA selalu berjalan dari ujung 5’ ke 3’ atau berarti dari ujung 3’ ke 5’ untai
templatnya). Dengan demikian, pada akhir putaran reaksi pertama akan diperoleh
dua pasang untai DNA jika DNA templat awalnya berupa sepasang untai DNA.

Pasangan-pasangan untai DNA yang diperoleh pada suatu akhir putaran reaksi
akan menjadi templat pada putaran reaksi berikutnya. Begitu seterusnya hingga
pada putaran yang ke n diharapkan akan diperoleh fragmen DNA pendek sebanyak
2n – 2n. Fragmen DNA pendek yang dimaksudkan adalah fragmen yang ukurannya
sama dengan jarak antara kedua tempat penempelan primer. Fragmen pendek
inilah yang merupakan urutan target yang memang dikehendaki untuk digandakan
(diamplifikasi).

Bisa kita bayangkan seandainya PCR dilakukan dalam 20 putaran saja, maka pada
akhir reaksi akan diperoleh fragmen urutan target sebanyak 2 20 – 2.20 = 1.048576 –
40 = 1.048536 ! Jumlah ini masih dengan asumsi bahwa DNA templat awalnya
hanya satu untai ganda. Padahal kenyataannya, hampir tidak mungkin DNA
templat awal hanya berupa satu untai ganda. Jika DNA templat awal terdiri atas 20
untai ganda saja, maka jumlah tadi tinggal dikalikan 20 menjadi 20.970.720, suatu
jumlah yang sangat cukup bila akan digunakan sebagai fragmen pelacak.

2.4.      Perancangan Primer

Tahapan PCR yang paling menentukan adalah penempelan primer. Sepasang


primer oligonukleotida (primer maju dan primer mundur) yang akan dipolimerisasi
masing-masing harus menempel pada sekuens target, tepatnya pada kedua ujung
fragmen yang akan diamplifikasi. Untuk itu urutan basanya harus komplementer
atau setidak-tidaknya memiliki homologi cukup tinggi dengan urutan basa kedua
daerah ujung fragmen yang akan diamplifikasi itu. Padahal, kita belum mengetahui
dengan pasti urutan basa sekuens target. Oleh karena itu, diperlukan cara tertentu
untuk merancang urutan basa kedua primer yang akan digunakan.

Dasar yang digunakan adalah urutan basa yang diduga mempunyai kemiripan
dengan urutan basa sekuens target. Urutan ini adalah urutan serupa dari sejumlah
spesies/strain organisme lainnya yang telah diketahui/dipublikasikan. Sebagai
contoh, untuk merancang sepasang primer yang diharapkan dapat mengamplifikasi
sebagian gen lipase pada isolat Bacillus termofilik tertentu dapat digunakan
informasi urutan basa gen lipase dari strain-strain Pseudomonas fluorescens, P.
mendocina , dan sebagainya, yang sebelumnya telah diketahui.

Urutan-urutan basa fragmen tertentu dari berbagai strain tersebut kemudian


dijajarkan dan dicari satu daerah atau lebih yang memperlihatkan homologi tinggi
antara satu strain dan lainnya. Daerah ini dinamakan daerah lestari (conserved
area). Sebagian/seluruh urutan basa pada daerah lestari inilah yang akan menjadi
urutan basa primer.

Sebenarnya, daerah lestari juga dapat ditentukan melalui penjajaran urutan asam
amino pada tingkat protein. Urutan asam amino ini kemudian diturunkan ke urutan
basa DNA. Dari satu urutan asam amino sangat mungkin akan diperoleh lebih dari
satu urutan basa DNA karena setiap asam amino dapat disandi oleh lebih dari satu
triplet kodon. Dengan demikian, urutan basa primer yang disusun dapat merupakan
kombinasi beberapa kemungkinan. Primer dengan urutan basa semacam ini
dinamakan primer degenerate. Selain itu, primer yang disusun melalui penjajaran
urutan basa DNA pun dapat merupakan primer degenerate karena urutan basa pada
daerah lestari di tingkat DNA pun tidak selamanya memperlihatkan homologi
sempurna (100%).

Urutan basa pasangan primer yang telah disusun kemudian dianalisis


menggunakan program komputer untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya primer-dimer akibat homologi sendiri(self-homology) atau homologi
silang (cross-homology). Selain itu, juga perlu dilihat kemungkinan
terjadinya salah tempel(mispriming), yaitu penempelan primer di luar sekuens
target. Analisis juga dilakukan untuk mengetahui titik leleh (Tm) masing-masing
primer dan kandungan GC-nya. Sepasang primer yang baik harus
mempunyai Tm yang relatif sama dengan kandungan GC yang cukup tinggi.

2.5.      Aplikasi teknik PCR

Kary B Mullis yang telah menemukan dan mengaplikasikan PCR pada tahun 1984.
Saat ini PCR sudah digunakan secara luas untuk berbagai macam kebutuhan,
diantaranya:

1. a.      Isolasi Gen

Kita tahu bahwa DNA makhluk hidup memiliki ukuran yang sangat besar, DNA
manusia saja panjangnya sekitar 3 miliar basa, dan di dalamnya mengandung
ribuan gen. Sebagaimana kita tahu bahwa fungsi utama DNA adalah sebagai sandi
genetik, yaitu sebagai panduan sel dalam memproduksi protein, DNA ditranskrip
menghasilkan RNA, RNA kemudian diterjemahkan untuk menghasilkan rantai
asam amino alias protein. Dari sekian panjang DNA genome, bagian yang
menyandikan protein inilah yang disebut gen, sisanya tidak menyandikan protein
atau disebut ‘junk DNA’, DNA ‘sampah’ yang fungsinya belum diketahui dengan
baik. Kembali ke pembahasan isolasi gen, para ahli seringkali membutuhkan gen
tertentu untuk diisolasi. Sebagai contoh, dulu kita harus mengekstrak insulin
langsung dari pankreas sapi atau babi, kemudian menjadikannya obat diabetes,
proses yang rumit dan tentu saja mahal serta memiliki efek samping karena insulin
dari sapi atau babi tidak benar-benar sama dengan insulin manusia. Berkat
teknologi rekayasa genetik, kini mereka dapat mengisolasi gen penghasil insulin
dari DNA genome manusia, lalu menyisipkannya ke sel bakteri (dalam hal ini E.
coli) agar bakteri dapat memproduksi insulin juga. Hasilnya insulin yang sama
persis dengan yang dihasilkan dalam tubuh manusia, dan sekarang insulin tinggal
diekstrak dari bakteri, lebih cepat, mudah, dan tentunya lebih murah ketimbang
cara konvensional yang harus ‘mengorbankan’ sapi atau babi. Untuk mengisolasi
gen, diperlukan DNA pencari atau dikenal dengan nama ‘probe’ yang memiliki
urutan basa nukleotida sama dengan gen yang kita inginkan. Probe ini bisa dibuat
dengan teknik PCR menggunakan primer yang sesuai dengan gen tersebut.
1. b.      DNA Sequencing

Urutan basa suatu DNA dapat ditentukan dengan teknik DNA Sequencing, metode
yang umum digunakan saat ini adalah metode Sanger (chain termination method)
yang sudah dimodifikasi menggunakan dye-dideoxy terminator, dimana proses
awalnya adalah reaksi PCR dengan pereaksi yang agak berbeda, yaitu hanya
menggunakan satu primer (PCR biasa menggunakan 2 primer) dan adanya
tambahan dideoxynucleotide yang dilabel fluorescent. Karena warna fluorescent
untuk setiap basa berbeda, maka urutan basa suatu DNA yang tidak diketahui bisa
ditentukan.

1. c.       Forensik

Identifikasi seseorang yang terlibat kejahatan (baik pelaku maupun korban), atau
korban kecelakaan/bencana kadang sulit dilakukan. Jika identifikasi secara fisik
sulit atau tidak mungkin lagi dilakukan, maka pengujian DNA adalah pilihan yang
tepat. DNA dapat diambil dari bagian tubuh manapun, kemudian dilakukan analisa
PCR untuk mengamplifikasi bagian-bagian tertentu DNA yang disebut fingerprints
alias DNA sidik jari, yaitu bagian yang unik bagi setiap orang. Hasilnya
dibandingkan dengan DNA sidik jari keluarganya yang memiliki pertalian darah,
misalnya ibu atau bapak kandung. Jika memiliki kecocokan yang sangat tinggi
maka bisa dipastikan identitas orang yang dimaksud. Konon banyak kalangan
tertentu yang memanfaatkan pengujian ini untuk menelusuri orang tua
‘sesungguhnya’ dari seorang anak jika sang orang tua merasa ragu.

1. d.      Diagnosa Penyakit

Penyakit Influenza A (H1N1) yang sebelumnya disebut flu babi sedang mewabah
saat ini, bahkan satu fase lagi dari fase pandemi. Penyakit berbahaya seperti ini
memerlukan diagnosa yang cepat dan akurat. PCR merupakan teknik yang sering
digunakan. Teknologi saat ini memungkinkan diagnosa dalam hitungan jam
dengan hasil akurat. Disebut akurat karena PCR mengamplifikasi daerah tertentu
DNA yang merupakan ciri khas virus Influenza A (H1N1) yang tidak dimiliki oleh
virus atau makhluk lainnya.

Gambar proses prinsip kerja PCR (Polimerase Chain Reaction)

BAB III

KESIMPULAN
Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal sebagai PCR (kependekan
dari istilah bahasa Inggris polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik atau
metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa
menggunakan organisme. Secara prinsip, PCR merupakan proses yang diulang-
ulang antara dua puluh sampai tiga puluh kali siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga
tahap yaitu Tahap peleburan (melting) atau denaturasi, Tahap penempelan
atau annealing dan Tahap pemanjangan atau elongasi. Lepas tahap ketika, siklus
diulang kembali mulai tahap satu. Akibat denaturasi dan renaturasi, beberapa
berkas baru (berwarna hijau) menjadi templat bagi primer lain. Akhirnya terdapat
berkas DNA yang panjangnya dibatasi oleh primer yang dipakai. Jumlah DNA
yang dihasilkan berlimpah karena penambahan terjadi secara eksponensial.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, T.A (2002) DNA in Genomes, 2nd ed.,

David, J. C, Jannet L.,Comparison of Vitek® 32 and Microlog® ML3 System for


Identification of Select Biological Warfare Agents, Armed Force Institute  of
Pathology, American Registry of Pathology, Washington, DC, 2001de Nogueira
L., Bittrich, V.P.C., Shepherd, G. J., Lopes A. V., and Marsaioli, A. J. 2001.

Marlina, Radu, S., Kqueen, C. Y., Napis, S., Zakaria, Z., Mutalib, S. A. and
Nishibuchi, M. Occurrence of tdh and trh genes in Vibrio
parahaemolyticus isolated from Corbicula moltkiana Prime in West Sumatera,
Indonesia. Southeast Asian Journal of Tropical Medical Public Health Vol.38 No.
2 March 2007.

Marlina, Zulqifli, Anamerta, L., Revadiana, I., Radu, S., Kqueen, C. Y. and
Nishibuchi, M. Identification of Vibrio parahaemolyticus from clinical samples in
West Sumatera Using Polymerase Chain Reaction Methods. Acta
Pharmaceutica Indonesia 31 (2): 2007, 96-99.

Retnoningrum, D.S. 1997. Penerapan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk


diagnosis penyakit infeksi. Jurusan Farmasi FMIPA. Bandung: ITB.

Anda mungkin juga menyukai