Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Menelisik sejarah Jawa yang menjadi tempat untuk didatangi bangsa-bangsa lain, dan kemudian
menjadi tempat penyebaran dan tumbuh kembangnya agama-agama besar dunia, maka
membuktikan bahwa budaya dan peradaban Jawa ramah dan toleran terhadap budaya dan
peradaban lain.

Salah satu dari sifat masyarakat Jawa adalah bahwa mereka religius dan bertuhan. Sebelum agama-
agama besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya
Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka. Dan keberagaman ini semakin berkualitas dengan
masuknya agama-agama besar seperti Hindu, Budha, Islam, Katholik dan protestan ke Jawa. Namun
dengan pengamatan selintas dapat diketahui bahwa dalam keberagamaan rata-rata masyarakat
Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan
ajaran-ajaran agamanya. Ada diantara mereka yang benar-benar serius dalam melaksanakan ajaran-
ajaran agamanya. Ada juga yang berusaha serius tetapi ada hambatan-hambatan khusus,
seperti ewuh dengan lingkungan yang tidak mendukung, takut dikatakan sok semuci dan sebagainya,
membuat mereka kurang serius dalam mengekspresikan keagamaannya secara utuh.

Dengan ini berakibat kepada beberapa hal, yang antara lain mudahnya mereka untuk tergiur dalam
mengadopsi kepercayaan, ritual dan tradisi dari agama lain, termasuk tradisi asli pra Hindu Budha
yang dianggap sesuai dengan alur pemikiran mereka. Dengan demikian, secara sadar atau tidak,
mereka telah melakukan sinkretisasi antara ajaran Islam dengan ajaran-ajaran dari luar Islam
(Budha, Hindu dan kepercayaan asli).[1]

B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian sinkretisme

2.      Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa

3.      Contoh-contoh sinkretisme

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sinkretisme
Secara etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang
berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah
suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi  untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang
agak berbeda dan bertentangan. Simuh menambakan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah
suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama, yakni suatu
sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang menganut paham ini
semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-
unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan lainnya, dan
dijadikannya sebagai suatu aliran, sekte dan bahkan agama.[2]

Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim yang benar-benar berusaha menjadi
muslim yang baik, dengan menjalankan perintah agama dan menjauhi larangannya. Disamping itu
juga terdapat orang-orang yang mengakui bahwa diri mereka muslim, tetapi dalam kesehariannya
tampak bahwa ia kurang berusaha untuk menjalankan syariat agamanya dan hidupnya sangat
diwarnai oleh tradisi dan kepercayaan lokal.

Dalam menerangkan keberagaman masyarakat muslim Jawa, Koentjaraningrat membagi mereka


menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam santri. Yang pertama, kurang taat kepada
syari’at dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsure-unsur pra Hindu, Hindu dan Islam.
Sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam dan bersifat puritan
(orang yang hidup saleh dan menganggap kemewahan dan kesenangan sebagai dosa). Namun
demikian, meski tidak sekental pengikut agama Islam Jawa dalam keanekaragamaan, para pemeluk
Islam santri juga masih terpengaruh oleh animisme, dinamisme dan Hindu Budha.[3]

B.     Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa

Membaca lahirnya sinkretisme Islam-Jawa ada baiknya jika dihubungkan dengan masuknya Islam di
Jawa. Ada tiga hal yang sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan latar belakang sejarah
sinkretisme Islam-Jawa. Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran.
Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M., dan tersingkirnya Dinasti Al-
Ahmar (Andalusia/Spanyol) oleh gabungan tentara Aragon dan Castella pada 1492 M menjadi
pertanda kemunduran politik Islam. Begitu juga arus keilmuan dan pemikiran Islam saat itu terjadi
stagnasi (kemacetan).

Hal ini berpengaruh pada tipologi penyiaran Islam yang elastis dan adaptif terhadap kekuatan unsur-
unsur local, mengingat kekuatan Islam baik secara politik maupun keilmuan sedang melemah.
Bertepatan pada akhir abad XV di mana terjadi Islamisasi secara besar-besaran di tanah Jawa, maka
metode dakwah Islam seperti pada umumnya waktu itu bercorak apresiatif dan toleran terhadap
budaya dan tradisi setempat.
Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta
berinteraksi dengan orang lain. Menurut Marbangun Hardjowirogo, masyarakat Jawa lebih
menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang bermacam-
macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar bahwa tak mungkin
orang Jawa dapat hidup sendiri. Pandangan demikian senada dengan filsafat Tantularisme khas Jawa
yang mengajarkan humanisme dalam segala bidang dan menentang segala bentuk ekslusivisme
(paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dengan masyarakat) dan
sektarianisme (semangat membela suatu sekte atau mazhab, kepercayaan, atau pandangan agama
yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut).

Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah
agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme. Hindu, Budha, animisme
maupun dinamisme yang menjadi sistem kepercayaan atau agama tentunya (sesuai agama-agama
lain) telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang mengatur hubungan menusia dengan Tuhan
yang diyakini sebagai pencipta alam.

Bahwasanya pada dasarnya semua system kepercayaan maupun agama telah membangun nilai-nilai
universal tentang tatanan hubungan manusia dengan Tuhan maupun dengan sesamanya,
merupakan esensi dan substansi ajaran yang terserap dalam tradisi-tradisi lokal di tanah Jawa. Hal ini
secara langsung mempengaruhi pemikiran masyarakat Jawa terhadap nilai baru yang bernama Islam.
Untuk meneropong universalisme budaya dan agama Jawa terhadap substansi ajaran agama lain,
dapat kita lihat dengan mendekatkan ajaran-ajaran tersebut, yakni Hindu, Budha, animisme dan
dinamisme yang menjadi prinsip keberagamaan masyarakat Jawa Pra-Islam.

Tiga hal inilah yang melatarbelakangi masuknya Islam di tanah Jawa, terhitung cukup mudah dan
bisa berinteraksi secara damai dengan masyarakat. Tetapi di samping itu tidak terlepas pula peran
besar Walisongo yang menggunakan metode yang toleran dan akomodatif terhadap budaya dan
agama Jawa.

Pada masa awal sinkretisasi Islam-Jawa, agama Islam lebih dulu kuat di pedesaan. Setelah itu, baru
kemudian Islam masuk ke ranah perpolitikan. Berdirinya Kerajaan Demak pada abad XVI sekaligus
sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa adalah bukti usaha penyiaran Islam yang dipelopori oleh
Walisongo dengan membangun kekuatan politik. Dan secara keseluruhan model-model etika
menghormati kepercayaan yang sudah ada ditekankan sekali, dan sinkretisme-lah metode yang
paling tepat pada waktu itu untuk menyebarkan Islam.[4]

C.     Contoh-contoh sinkretisme

Untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme, berikut ini
diuraikan beberapa contoh:
a.       Penggabungan antara dua agama atau aliran atau lebih
    Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang
biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan
agama lainnya.
Sebagai contoh dari langkah ini adalah ajaran Ilmu Sejati yang diciptakan oleh Raden Sujono alias
Prawirosudarso, yang berasal dari Madiun. Menurut pengakuannya, ajaran Ilmu Sejati diasaskan
pada kesucian yang dihimpun dari ajaran Islam, Kristen, dan Budha. Dan apabila ajaran tersebut
diteliti dengan seksama, akan terlihat bahwa pengakuannya tidak salah. Sebagai contoh, aliran ini
mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: “Ashadu Allah ananingsun, anane
ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad, anane nur, nur tegese
padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang”.

b.      Bidang ritual

Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat
genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan crisis rites dan rites de
passage, yaitu upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan
benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat
Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang
berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah,
menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus. Ketika
Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran
Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).

1.      Upacara Midodareni

Upacara Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari menjelang
hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para
bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari marabahaya yang menganggu
jalannya perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam beragama, ritual
ini diisi dengan pembacaan barzanji, kalimat toyyibah, dan tahlil. Tapi dikalangan masyarakat yang
kurang taat dalam beragama, acara ini digunakan sebagai alasan untuk mengadakan lek-
lekan dan keplek sampai pagi.

2.      Upacara brokohan dan sepasaran

Dalam Islam, ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan
menyembelih seekor kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan dua ekor kambing kalau yang
dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan
perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke
dunia ni dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari), dengan harapan dan doa,
agar anak yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.
c.       Dalam doa dan mantera

Salah satu jasa Sunan Makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dalam menyebarkan
Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa-dewa yang terdapat dalam mantera-mantera dan
doa dengan nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Dengan cara ini
diharapkan masyarakat berpaling dari memuja dewa-dewa dengan menggantinya dengan tokoh-
tokoh yang berasal dari dunia Islam.

Berikut ini adalah dua contoh mantera dan doa.

1.      Mantera atau doa untuk mendapatkan keperkasaan jasmani:

Bismillahirrohmanirrohim

“jabarail sumurup maring Fatimah.fatimah sumurup maring badandu.kapracaya dening Allah


ta’ala.cikantik macan putih dudu macan putih.mangko iki macan putih saking Allah.ia ilaha illa’llah
Muhammad Rosulu’llah”.

Doa ini dibaca setelah mandi 14 kali dalam semalam dan memakan 80 biji botor(biji kecipir).

2.      Mantera atau doa untuk dapat menghilang.

Bismillhirrohmanirrohim.

“Cur mncur cahyaning Allah,sungsum balung rasaning pangeran,getting daging rasaning


pangeran,otot lamat-lamat rsaning pangeran.kulit wulu rasaning pangeran,iya ingsun mancuring
allah jatining manungsa,ules pulih Muhammad lungguhku, allah,nek putih rasaning nyawa,badan
allah sangkalebet putih iya ingsun nagara sampurna. .

d.      Menggabungkan agama dengan budaya local

Yang dimaksud dalam konteks ini adalah melaksanakan syari’at Islam dengan kemasan budaya Jawa.
Berbakti kepada orang tua adalah wajib. Dalam melaksanakan syari’at ini masyarakat Jawa biasanya
menggunakan media sungkem. Begitu pula dalam rangka memperingati Idul Fitri, masyarakat
menyiapkan hidangan kupat dan lontong. Secara keratabasa, ‘kupat’ dapat diartikan ngaku
lepat. Sedangkan lontong dapat diartikan olone kothong.[5]

D.    Reaksi terhadap Usaha Sinkretisasi

Dalam mengahadapi sinkretisasi ajaran-ajaran Islam dengan tradisi Jawa pra-Islam, paling tidak telah
muncul tiga pendapat. Di kalangan masyarakat Jawa terdapat orang-orang muslim taat, yang kalu
ditanya tentang landasan dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam, mereka menjawab landasanya
adalah al-Quran dan as-Sunnah. Namun meskipun mereka mempunyai landasan yang sama,
implementasi gagasan ini di lapangan berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.
Kelompok pertama, yang berusaha untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dengan baik dan
bersikap hati-hati dalam menyikapi tradisi dan budaya lokal, terutama yang dianggapnya berbau
takhayul, khurafat, dan syirik. Bagi yang menerima pendapat ini, al-Quran dan as-Sunnah sudah
mengatur peri kehidupan serta semua tata cara ritual dan kepercayaan untuk semua pemeluk
agama Islam. Oleh karena itu bagi mereka, ritual-ritual dan kepercayaan-kepercayaan yang tidak
diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul tidak perlu, dan bahkan haram dikerjakan.
Kelompok kedua, kelompok moderat. Orang-orang yang berada dalam kelompok ini beranggapan
bahwa dalam berdakwah, seorang dai atau mubaligh harus menggunakan al-hikam (cara-cara yang
bijak). Oleh karena itu, dalam menghadapi masyarakat Jawa yang sudah mbalung sum-sum dengan
tradisi dan adat istiadat lama tidak boleh digunakan cara-cara radikal yang justru dapat menjauhkan
para mubaligh dari obyek dakwah. Kelompok ketiga, mereka yang dapat menerima sinkretisme
secara keseluruhan.[6]

BAB III

KESIMPULAN

Secara etimologi, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai,yang


berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Adapun pengertiannya adalah
suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi  untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang
agak berbeda dan bertentangan.

Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa: Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat
dalam periode kemunduran. Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan
bersedia membuka diri serta berinteraksi dengan orang lain. Ketiga, sebelum Islam membumi di
Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan
animisme maupun dinamisme.

BAB IV

PENUTUP

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari akan
keterbatasan pengetahuan kami dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami mengharap adanya
kritik dan saran dari pembaca demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Kami mohon maaf
atas segala kekurangan makalah yang kami buat ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, MA, Drs. H. M. Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta:Gama Media, 2000

http://bangunaninteletual.wordpress.com/2008/05/16/sinkretisme-sebagai-bentuk-dan-ciri-islam-
jawa/

Catatan Kaki :

[1] Drs. H. M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),  hlm
85-87

[2] Ibid, 87

[3] Ibid, 91-92

[4] http://bangunaninteletual.wordpress.com/2008/05/16/sinkretisme-sebagai-bentuk-dan-ciri-
islam-jawa/

[5]Drs. H. M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),  hlm
97-107

[6] Ibid, 108-111

Anda mungkin juga menyukai