Anda di halaman 1dari 5

Perairan Laut Sulawesi Utara Lokasi

Favorit Pemasangan Rumpon Ilegal


oleh M Ambari [Jakarta] di 24 May 2019
 Laut Sulawesi masih menjadi lokasi favorit pemasangan alat bantu penangkapan
ikan rumpon. Pemasangan tersebut dilakukan oleh nelayan-nelayan yang berasal dari
Filipina dan biasa mencari ikan di perairan laut Indonesia
 Keberadaan rumpon, selain diduga merusak ekologi laut, juga merugikan nelayan
lokal. Hal itu, karena rumpon yang mayoritas dipasang di kawasan ZEEI, akan
mengumpulkan ikan dan kemudian ditangkap oleh kapal ikan. Oleh itu, ikan pada
akhirnya tidak masuk ke wilayah perairan Indonesia

 Agar tidak semakin bertambah banyak, Negara harus mengatur keberadaan


rumpon-rumpon yang ilegal. Pengaturan itu, harus dilakukan bisa mengganggu jalur
perahu nelayan tradisional dan juga kapal niaga yang melayani seluruh Nusantara

 Maraknya pemasangan rumpon oleh WN Filipina, disinyalir juga dilakukan oleh WN


Indonesia. Hal itu, karena di kawasan pulau-pulau di sekitar Sulawesi Utara, khususnya
sekitar ZEEI, sudah menjadi umum banyak warga lokal yang menikah dengan WN
Filipina dan kemudian beranak pinak

Perairan Laut Sulawesi Utara masih menjadi lokasi favorit penanaman rumpon (fishing
aggregating device/FAD) tak berizin yang diduga kuat dilakukan oleh nelayan
berkewarganegaraan Filipina. Aktivitas ilegal itu masih terus berlangsung hingga sekarang,
karena nelayan Filipina ingin mendapatkan tangkapan ikan yang banyak di perairan laut
Indonesia.

Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan
Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Suherman, dorongan kuat
untuk mendapatkan tangkapan ikan yang banyak, memaksa nelayan Filipina untuk mencari
akal. Terlebih, karena sejak 2014, mereka sudah dilarang menangkap ikan langsung di
perairan laut Indonesia.

“Makanya, nelayan Filipina memasang banyak rumpon di wilayah perbatasan Filipina-


Indonesia. Setidaknya, bisa dilihat dengan jumlah rumpon yang berhasil diamankan oleh
Kapal Pengawas (KP) Perikanan sepanjang 2019 yang jumlahnya sudah mencapai 33
rumpon,” ungkap dia pekan lalu di Jakarta.

 
KKP menertibkan 4 rumpon illegal milik nelayan Filipina di wilayah perairan utara Sulawesi
Utara, sekitar 3 mil laut pada perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) pada Jumat
(10/5/2019). Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia
 

Agus mengatakan, bukti bahwa masih banyak rumpon yang tertanam di dalam perairan
wilayah Sulawesi Utara, terlihat dari hasil pengawasan KP Hiu 15 yang dikendalikan Stasiun
PSDKP Tahuna pada Jumat (10/5/2019). Dari opearasi tersebut, kapal menemukan 4
(empat) alat bantu penangkapan ikan rumpon ilegal milik nelayan Filipina.

Menurut Agus, rumpon-rumpon yang dipasang tanpa ada izin dari Pemerintah Indonesia
itu berlokasi di wilayah perairan Indonesia, tepatnya sekitar 3 mil laut pada perairan zona
ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI). Lokasi perairan tersebut sebelumnya juga sudah sering
ditemukan rumpon yang ditanam oleh nelayan Filipina.

Adapun, keempat rumpon yang berhasil diamankan tersebut, oleh KP Hiu 15 kemudian
dibawa dan diserahkan ke Pangkalan PSDKP Bitung. Pemilihan Bitung sebagai tempat
penyerahan, karena dari titik lokasi penemukan terjangkau lebih dekat. Selain itu, pada
saat operasi, gelombang laut sedang tidak dalam kondisi normal dan itu membuat
pengiriman tidak ke Tahuna, melainkan ke Bitung.

Diketahui, sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.26/Permen-KP/2014


tentang Rumpon, setiap orang yang melakukan pemasangan rumpon di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) wajib memiliki surat izin pemasangan
rumpon (SIPR).

Rugikan Nelayan
Akan tetapi, Agus menyebutkan, meski sudah ada peraturan, banyak nelayan lokal maupun
asing yang memasang rumpon dengan sengaja dan tanpa ada izin dari Pemerintah.
Padahal, keberadaan rumpon diketahui menjadi alat bantu penangkapan ikan yang
dipasang di laut untuk membuat ikan-ikan berkumpul dan kemudian ditangkap oleh kapal
ikan.

“Pemasangan rumpon oleh nelayan Filipina di perbatasan dapat merugikan nelayan


Indonesia karena ikan-ikan akan berkumpul di area rumpon dan tidak masuk ke perairan
Indonesia. Untuk itu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menekankan
pentingnya penertiban rumpon-rumpon ilegal di perairan Indonesia, selain upaya
pemberantasan kapal perikanan ilegal,” ujarnya. 

Kapal Pengawas Hiu 15 mengamankan 4 rumpon illegal milik nelayan Filipina di wilayah
perairan utara Sulawesi Utara, sekitar 3 mil laut pada perairan zona ekonomi eksklusif
Indonesia (ZEEI) pada Jumat (10/5/2019). Foto : PSDKP KKP/Mongabay Indonesia
 

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati
berpendapat, keberadaan rumpon di perairan laut Indonesia memang harus diatur oleh
Negara. Pengaturan itu, harus dilakukan bisa mengganggu jalur perahu nelayan tradisional
dan juga kapal niaga yang melayani seluruh Nusantara. Selain itu, dengan dilakukan
pengaturan, ikan juga akan lebih mudah ditangkap oleh nelayan.

“Kalau dia jenis rumpon laut dalam dan banyak jumlahnya, tentu akan mengganggu jalur
nelayan dan kapal lainnya. Itu jumlahnya memang banyak sekali dan jelas itu melanggar
Permen KP tentang Rumpon,” ucap dia.

Sebelumnya, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi
Suhufan mengungkapkan, langkah yang dilakukan oleh KKP dalam penertiban rumpon
ilegal merupakan langkah yang tepat. Mengingat, keberadaan rumpon ilegal memang
dinilai sudah mengganggu ekologi ikan di laut. Gangguan itu muncul, karena rumpon
menghalangi jalan masuk ikan ke wilayah laut yang bisa diakses oleh nelayan tradisional.
Untuk itu, Abdi Suhufan mendorong KKP untuk bisa konsisten dalam melaksanakan
operasi penertiban rumpon yang ilegal di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. Selain di
wilayah perbatasan antar negara, dia menyebut kalau rumpon ilegal juga bisa ditemukan
di wilayah perairan lain dan itu dinilai juga mengganggu alur pelayaran kapal-kapal
pedagangan ataupun perikanan.

“Apalagi, dari segi pendapatan negara, keberadaan rumpon tersebut tidak juga menambah
kas negara. Untuk itu, patroli perbatasan perlu diintensifkan untuk menertibkan semua
ruampon yang ilegal. Walau sebenarnya, bukan rumpon milik nelayan asing saja yang
banyak, milik nelayan dalam negeri juga jumlahnya mencapai lebih dari 100 ribu rumpon,”
jelas dia.

Sementara, Direktur Eksekutif Pusat Studi Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim
berpendapat kalau tidak semua rumpon yang ada di perairan Indonesia bisa merusak
ekologi laut. Hal itu, tergantung dengan lokasi perairan yang menjadi tempat dipasang
rumpon. Untuk kasus di ZEEI perbatasan dengan Filipina, bisa dipastikan bahwa tidak
semua rumpon berbahaya.

“Pemasangan rumpon tidak mengganggu sepanjang ditata dan dikelola dengan baik dan
berkelanjutan. Umumnya, nelayan tradisional yang memiliki dan mengoperasikannya.
Artinya, dari kesan penggunaan alat bantu penangkapan ikan yang merusak,” jelas dia.

Opsi Pencaharian

Untuk kawasan ZEEI di Sulawesi Utara, menurut Halim, sejauh ini masih rendah
pemanfaatan sumber daya ikan di sekitar Laut Sulu. Oleh itu, pemasangan rumpon akan
selalu menjadi opsi mata pencaharian yang dilakukan masyarakat setempat di Talaud dan
sekitarnya. Opsi tersebut akan menjadi prioritas, jika musim ombak atau cuaca ekstrem
sedang melanda kawasan perairan di sekitar tempat tinggal mereka.

Di luar kondisi cuaca dan pemanfaatan SDI, Halim menyebutkan, maraknya pemasangan
rumpon yang dilakukan WN Filipina, disinyalir juga dilakukan oleh WN Indonesia. Hal itu,
karena di kawasan pulau-pulau di sekitar Sulawesi Utara, khususnya sekitar ZEEI, sudah
menjadi umum banyak warga lokal yang menikah dengan WN Filipina dan kemudian
beranak pinak.

“Jadi, praktik kawin-mawin antara WNI dan WNA Filipina di perbatasan Indonesia
(Kabupaten Kepulauan Talaud di Sulawesi Utara) dan Filipina (Provinsi General Santos atau
Davao) sudah biasa terjadi,” tuturnya.

Diketahui, pada April dan Maret 2019, KKP juga mengamankan rumpon ilegal di perairan
Sulawesi Utara. Dalam dua kali operasi yang dilakukan, sebanyak 20 rumpon ilegal yang
diduga kuat dipasang oleh nelayan Filipina berhasil diamankan kapal pengawas perikanan.
Operasi tersebut dilakukan KP Orca 04 dan KP Hiu 15 dan hasilnya dibawa ke Pangkalan
PSDKP Bitung.
Operasi tersebut dilakukan, dengan melakukan integrasi pengawasan melalui operasi
udara (air surveillance), di mana data-data yang dihasilkan oleh operasi udara, berikutnya
dijadikan sumber informasi bagi kapal pengawas perikanan untuk melakukan operasi
penertiban.

\
Salah satu contoh alat bantu penangkapan ikan berupa rumpon. Sumber : pusluh.kkp.go.id
 

Dilansir berbagai sumber literasi, rumpon adalah jenis alat bantu penangkapan ikan yang
biasanya dipasang di bawah laut, baik perairan dangkal maupun dalam. Tujuan
pemasangan rumpon, adalah untuk menarik sekumpulan ikan yang ada dan berdiam di
sekitar rumpon. Setelah terkumpul, ikan-ikan tersebut biasanya akan ditangkap.

Rumpon yang dikenal dewasa ini, tidak lain adalah karang buatan yang sengaja dibuat
oleh nelayan atau pengusaha perikanan. Agar ikan bisa datang lebih banyak, biasanya
rumpon juga terdiri dari berbagai jenis barang lain seperti ban, dahan dan ranting pohon.

Agar barang-barang tersebut bisa tetap berada di bawah air, biasanya akan disertai
dengan alat pemberat berupa beton, bebatuan, dan alat pemberat lain. Supaya posisi
rumpon bisa aman di tempat semula, biasanya alat pemberat akan ditambah lagi jika
memang diperlukan.

Meski rumpon adalah karang buatan yang berfungsi sebagai rumah ikan yang baru,
namun pembuatannya biasanya dilakukan sealami mungkin mendekati rupa asli dari
karang alami. Rumpon yang sudah ditanam tersebut, kemudian akan diberi tanda oleh
pemiliknya, sehingga memudahkan mengidentifikasi jika sedang berada di atasnya

Anda mungkin juga menyukai