ASMA
Kelompok : 3
1. Temuan Umum
Tingkat keparahan berkisar dari fungsi paru normal dengan gejala hanya
selama eksaserbasi akut untuk menurunkan fungsi paru secara signifikan
dengan gejala kontinu.
Asma akut dapat terjadi dengan cepat (dalam waktu 3-6 jam), namun
kemunduran lebih sering terjadi dalam waktu yang lebih lama, bahkan
berhari-hari atau berminggu-minggu. Asma akut bisa mengancam nyawa,
dan keparahannya tidak sesuai dengan tingkat keparahan penyakit kronis.
Asma kronis bervariasi dari tidak ada batuk, sesak napas, atau mengi sampai
batuk sehari-hari, mengi, dan sesak napas, tergantung pada tingkat
keparahannya.
Riwayat keluarga, riwayat sosial, faktor pemicu, riwayat eksaserbasi, dan
perkembangan gejala merupakan komponen penting dari diagnosis asma.
2. Gejala
Pasien biasanya mengeluh mengi, sesak napas, batuk (biasanya lebih parah
di malam hari), dan sesak dada.
Pasien mungkin cemas dan gelisah. Pada asma berat akut, pasien mungkin
tidak dapat berkomunikasi dengan kalimat lengkap.
Perubahan status mental (misalnya, kebingungan, mudah tersinggung,
agitasi) dapat mengindikasikan kegagalan pernafasan yang akan terjadi.
Kehadiran faktor pengendapan (misalnya asap, jamur, atau penyakit virus)
memperburuk gejala.
Gejala biasanya memiliki pola (misalnya, lebih buruk pada malam hari,
gejala musiman).
3. Tanda-tanda
Tanda-tanda vital mungkin mencerminkan takipnea, takikardia, dan
hipoksemia.
Pada pemeriksaan, mungkin ada hyperexpansion toraks dan penggunaan
otot aksesori.
Auskultasi paru-paru dapat mendeteksi ujung nafas ekspirasi dalam
eksaserbasi ringan atau mengi sepanjang inspirasi dan penghembusan pada
eksaserbasi parah.
Bradikardia dan tidak adanya mengi mungkin mengindikasikan kegagalan
pernafasan yang akan terjadi.
Pada asma akut, pasien dapat hadir dengan pulsus paradoxus, diaphoresis
(berkeringat) , dan sianosis.
4. Tes laboratorium
Spirometri menunjukkan obstruksi jalan napas reversibel dengan FEV1 /
FVC (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik / kapasitas vital paksa) kurang
dari 80% (0,80) dan keduanya:
a. peningkatan FEV1 12% atau 200 mL setelah menerima
bronkodilator, atau
b. meningkat 10% pada FEV1 yang diprediksi setelah menerima
bronkodilator. Spirometri mungkin normal jika pasien tidak
simtomatik.
Jumlah darah lengkap dengan diferensial harus diberikan pada pasien
demam atau dahak purulen. Jumlah eosinofil dapat meningkat, yang
mencerminkan komponen alergi.
Peningkatan kadar serum immunoglobulin E (IgE) mungkin ada.
Gas darah arteri (untuk mengevaluasi Pco2) harus diperoleh pada pasien
dengan gangguan berat, dugaan hipoventilasi, atau saat peak expiratory flow
(PEF) atau FEV1 adalah 30% atau kurang setelah perawatan awal.
5. Tes Diagnostik Lainnya
Tes fungsi paru lengkap harus dilakukan pada awal pasien 5 tahun atau lebih
tua untuk menyingkirkan gangguan lainnya.
oximetry Pulse dilakukan pada setiap kunjungan untuk menilai hipoksemia.
Terapi Farmakologi
Inhalasi adalah rute yang paling efisien dan dapat meminimalkan efek samping
sistemik. Penggolongan obat asma :
1. Agonis β2-Adrenergik
β2-Agonis bekerja dengan merelaksasi otot polos yang terdapat pada saluran
pernafasan dengan merangsang reseptor β2-Adrenergik. Berdasarkan durasi
kerjanya agonis β2-Adrenergik diklasifikasikan menjadi short-acting (SABA) atau
long-acting (LABA.
SABA memiliki aktivitas bronkodilatasi yang jauh lebih baik pada asma akut
dibandingkan dengan agen teofilin atau antikolinergik. Efek samping dari β2-agonis
meliputi takikardia, tremor, dan hipokalemia.
2. Kortikosteroid
kortikosteroid adalah agen antiinflamasi yang paling efektif untuk perawatan asma,
tersedia dalam bentuk inhalasi, oral, dan injeksi. Bekerja dengan menghambat alergen
yang masuk melalui IgE sehingga meningkatkan kepekaan reseptor Agonis β2-
Adrenergik
3. Antikolinergik
Agen antikolinergik bekerja dengan menghambat efek dari asetilkolin pada reseptor
muskarinik di saluran pernapasan. Penggunaan agen antikolinergik yang
dikombinasikan dengan SABA dapat membantu memperbaiki fungsi paru dan
menurunkan tingkat kejadian rawat inap di rumah sakit.
Obat antikolinergik dapat menyebabkan efek samping yang mengganggu seperti
penglihatan kabur, mulut kering, dan retensi urin.
4. Antagonis reseptor Leukotrien.
LTRAs adalah obat anti-inflamasi yang dapat menghambat 5-lipoxygenase (zileuton)
atau sebagai antagonis kompetitif terhadap efek leukotrien D4 (montelukast,
zafirlukast). Agen ini memperbaiki FEV1 dan mengurangi gejala asma, penggunaan
SABA, dan eksaserbasi asma. Meskipun dapat diberikan secara oral namun
pemberian secara oral dinilai kurang efektif dari pada dosis ICS yang rendah.. LTRAs
bermanfaat untuk pasien asma dengan rhinitis alergi, sensitivitas aspirin, atau
bronkospasme akibat latihan.
Montelukast umumnya ditoleransi dengan baik dan sedikit interaksi obat.
Zileuton dan zafirlukast kurang umum digunakan karena risiko hepatotoksisitas.
Penggunaan Zileuton memerlukan pemantauan fungsi hati sebelum digunakan, setiap
bulan selama 3 bulan, setiap 3 bulan untuk tahun pertama penggunaan, dan secara
berkala setelahnya. Zileuton dan zafirlukast dimetabolisme melalui jalur hepatik CYP
2C9 dan memiliki interaksi obat yang signifikan. Ketiga agen tersebut memiliki
laporan tentang kejadian neuropsikiatrik, seperti gangguan tidur, perilaku agresif, dan
pikiran untuk bunuh diri.
5. Methylxanthines
Teofilin memiliki sifat anti-inflamasi dan menyebabkan bronkodilatasi dengan
menghambat phosphodiesterase. Penggunaannya terbatas karena indeks terapeutik
yang sempit dengan toksisitas yang berpotensi mengancam jiwa, dan beberapa
interaksi obat penting secara klinis.
Teofilin dimetabolisme oleh CYP1A2, CYP2E1, dan CYP3A4 yang terlibat
dalam sejumlah besar interaksi penyakit dan obat. Konsentrasi target serum adalah 5
sampai 15 mg / L (28-83 μmol / L); peningkatan risiko efek samping pada
kebanyakan pasien di atas 15 mg / L (83 μmol / L). Sakit kepala, mual, muntah, dan
insomnia dapat terjadi pada konsentrasi serum kurang dari 20 mg / L (111 μmol / L)
namun jarang terjadi saat dosis mulai rendah dan meningkat perlahan. Efek samping
yang lebih serius (misalnya, aritmia jantung, kejang) dapat terjadi pada konsentrasi
yang lebih tinggi.
6. Imunomodulator
Omalizumab adalah obat yang bekerja dengan menghambat ikatan IgE dengan
reseptor didalam selmast dan basofil. Omalizumab diindikasikan untuk pengobatan
pasien dengan asma persisten sedang sampai berat yang tidak dapat dikendalikan oleh
ICS. Omalizumab secara signifikan mengurangi penggunaan ICS, mengurangi jumlah
dan lamanya eksaserbasi, dan meningkatkan kualitas hidup pada pasien asma.
Omalizumab diberikan dalam bentuk injeksi subkutan setiap 2 sampai 4 minggu.
Dosis awal diberikan berdasarkan berat badan pasien dan konsentrasi awal serum IgE.
Efek samping yang paling umum adalah reaksi di tempat penyuntikan meliputi
memar, kemerahan, nyeri, menyengat, gatal, dan terbakar. Reaksi anafilaksis jarang
terjadi tapi bisa terjadi kapan saja setelah pemberian obat. Pemantauan terjadinya
reaksi anafilaksis pada pasien dilakukan 2 jam setelah pemberian obat dan
direkomendasikan selama 3 bulan pertama. Reaksi anafilaksis dari omalizumab dapat
diatasi oleh pemberian epinefrin subkutan.
VIII. STUDI KASUS
Seorang anak perempuan 5 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan kekampuhan
asmanya. Pasien belum pernah kontrol sejak 1 tahun lalu dan tidak minum obat asma.
Pasien didiagnosis asma exacerbasi sedang. Saat ini pasien sudah membaik dan akan
keluar dari RS. Bagaimana tatalaksana asma pada pasien tersebut?
1. Pasien diberikan edukasi untuk:
- Menghindari paparan allergen yang dapat memicu terjadinya asma, termasuk
asap rokok.
- Meningkatkan kepatuhan pengobatan serta self management. Self management
dapat dilakukan dengan melakukan penilaian personal menggunakan asthma
self management action plan yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien. Serta
melakukan pengukuran PEF setiap hari pada pagi hari setelah bangun tidur atau
ketika gejala semakin memburuk.
2. Memberikan paparan tentang tatalaksana treatment untuk asma ekseserbasi
sewaktu di rumah.