PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri atas
proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m2/ hari pada
anak), hipoalbuminemia (<2,5 g/ dL), edema dan hiperlipidemia (Alldredge dkk.,
2012; Behrman dkk., 2004). Pasien dengan sindrom nefrotik terjadi suatu gangguan
pada membran basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya kebocoran protein
plasma ke urin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya hipoproteinemia, penurunan
serum protein dan albumin, adanya edema serta hiperlipidemia (Okada dan
Takemura, 2009). Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering ditemukan pada anak dari
pada dewasa (Behrman dkk., 2004; Handayani dkk., 2007).
Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) clinical
practice guideline (2012), 1–3 anak dari 100,000 anak dibawah 16 tahun menderita
sindrom nefrotik. Lima dari 100.000 anak per tahun di Jepang mengalami sindrom
nefrotik idiopatik (Okada dan Takemura, 2009). Prevalensi sindrom nefrotik di
Indonesia yaitu 6 dari 100.000 anak dibawah 14 tahun (Handayani dkk., 2007).
Berdasarkan etiologinya sindrom nefrotik dapat dikelompokkan menjadi 3
yaitu : sindrom nefrotik kongenital, sindrom nefrotik idiopatik atau primer (tanpa
diketahui pasti penyebabnya) dan sindrom nefrotik sekunder (sebagai akibat dari
suatu penyakit sistemik seperti Systemic lupus Erythemathosus). Dari keseluruhan
pasien dengan sindrom nefrotik, kurang lebih 90% diantaranya mengalami sindroma
nefrotik idiopatik (Behrman dkk, 2004; Okada dan Takemura, 2009)
Secara morfologis sindrom nefrotik idiopatik dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
penyakit kelainan minimal, proliferasi mesangium dan glomerulosklerosis segmental
fokal. Sebanyak 95% pasien dengan penyakit kelainan minimal masih merespon baik
terhadap terapi kortikosteroid. Berbeda dengan kelainan minimal, hanya 50% dari
1
pasien dengan proliferasi mesangium yang merespon terhadap kortikosteroid. Hanya
20% morfologi glomerulosklerosis segmental fokal yang merespon terhadap terapi
kortikosteroid. Respon pasien terhadap terapi kortikosteroid berbeda (Behrman dkk.,
2004; Eddy dan Symons, 2008).
2
1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis dan
pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan wawasan
kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami Sindroma Nefrotik.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindroma nefrotik merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan sindroma
klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam
atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+),
hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia. (Widajat, 2011)
2.2 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu
kongenital, primer atau idiopatik, dan sekunder (Widajat, 2011). Penyebab dari
sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah
1. Kongenital:
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah
Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
Denys-Drash syndrome (WT1)
Frasier syndrome (WT1)
Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
Nail-patella syndrome (LMX1B)
Pierson syndrome (LAMB2)
Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
Galloway-Mowat syndrome
Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome
4
2. Primer:
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau
idiopatik adalah sebagai berikut:
Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
Nefropati Membranosa (GNM)
3. Sekunder:
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai
berikut:
Lupus Erimatosus Sistemik (LES)
Keganasan, seperti limfoma dan leukemia
Vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan
poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan
poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch
Schonlein
Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis
5
podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada
sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental
glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit yang
teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler.
Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen
podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).
Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2
(podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti
celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein. (Kliegman,
2011)
1. Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi
protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal
ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom
nefrotik. (Wirya, 2004)
2. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria
adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada
terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada keadaan
normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah
yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara
dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus
proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom
nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin
yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin. (Perico, 2013)
Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada
kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-
6
satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat
meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi
hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran
gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan
hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena
itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju
sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin. (Perico, 2013)
Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga
300%, sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan
hipoalbuminemia menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di
atas keadaan normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini
mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar tidak adekuat.
Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator mayor
sintesis protein. Bukti eksperimental pada tikus yang secara genetik menunjukkan
adanya defisiensi dalam sirkulasi albumin, menunjukkan dua kali peningkatan laju
transkripsi gen albumin hepar dibandingkan dengan tikus normal (Perico, 2013).
Meskipun demikian, peningkatan sintesis albumin di hepar pada tikus tersebut tidak
adekuat untuk mengompensasi derajat hipoalbuminemia, yang mengindikasikan
adanya gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada pasien sindrom nefrotik,
penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk meningkatkan laju sintesis albumin di
hati sejauh mengembalikan konsentrasi plasma albumin. Ada juga bukti pada subjek
yang normal bahwa albumin interstisial hepar mengatur sintesis albumin. Oleh karena
pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak habis, respon sintesis
albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi tidak mencapai level yang
adekuat.
Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin. Sintesis mRNA
albumin hepar dan albumin tidak meningkat pada tikus ketika diberikan diet rendah
protein, tetapi sebaliknya, meningkat pada tikus yang diberikan diet tinggi protein.
Meskipun begitu, level albumin serum tidak mengalami perubahan karena
7
hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi protein menyebabkan
peningkatan albuminuria.
Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada sindrom
nefrotik masih merupakan hal yang kontroversial. Dalam penelitian terdahulu
dikemukakan bahwa kapasitas transportasi albumin tubulus ginjal telah mengalami
saturasi pada level albumin terfiltrasi yang fisiologis dan dengan peningkatan protein
yang terfiltrasi yang hanya diekskresikan dalam urin, bukan diserap dan
dikatabolisme. Penelitian pada perfusi tubulus proksimal yang diisolasi pada kelinci
membuktikan sebuah sistem transportasi ganda untuk uptake albumin. Sebuah sistem
kapasitas rendah yang telah mengalami saturasi pada muatan protein yang berlebih,
tetapi masih dalam level fisiologis, terdapat pula sebuah sistem kapasitas tinggi
dengan afinitas yang rendah, memungkinkan tingkat penyerapan tubular untuk
albumin meningkat karena beban yang disaring naik. Dengan demikian, peningkatan
tingkat fraksi katabolik dapat terjadi pada sindrom nefrotik. (Perico, 2013)
Hipotesis ini didukung oleh adanya korelasi positif di antara katabolisme
fraksi albumin dan albuminuria pada tikus dengan puromycin aminonucleoside PAN
yang diinduksi hingga nefrosis. (Perico, 2013) Namun, karena simpanan total
albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak pada sindrom nefrotik, laju katabolik
absolut mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini berpengaruh pada status nutrisi,
sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa katabolisme albumin absolut berkurang
pada tikus nefrotik dengan diet protein rendah, tetapi tidak pada asupan diet protein
normal. Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik merupakan
akibat dari perubahan multipel pada homeostasis albumin yang tidak dapat
dikompensasi dengan baik oleh adanya sintesis albumin hepar dan penurunan
katabolisme albumin tubulus ginjal. (Perico, 2013)
3. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada
sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan
8
edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan
onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar
sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka
kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler
dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema. (Wirya, 2004)
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak
bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer.
Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
9
ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan
terbentuknya edema. (Wirya, 2004)
4. Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara
lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein
menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun
karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang
mengambil lemak dari plasma. (Wirya, 2004)
2.4. Diagnosis
Berdasarkan Pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas maka anamnesis
dan pemeriksaan fisik serta urin termasuk pemeriksaan sedimen perlu dengan
cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum, kolesterol dan trigiserid juga
membantu penilaian terhadap sindroma nefrotik. Anamnesis penggunaan obat,
kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik lain perlu
diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk
10
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyebab glomerulonephritis sekunder.
(Prodjosudjadi, 2006)
Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom
nefrotik, antara lain:
1) Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah pada infeksi
saluran kemih (ISK).
2) Protein urin kuantitatif
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari.
3) Pemeriksaan darah
Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
4) Albumin dan kolesterol serum
5) Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin
Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus
Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
eLFG = k x L/Scr
6) Kadar komplemen C3
Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik, pemeriksaan ditambah
dengan komplemen C4, ANA (anti nuclearantibody), dan anti ds-DNA.
11
7) USG Ginjal
Terdapat tanda-tanda Glomerulonefritis kronik
8) Biopsi Ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset usia > 8
tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta terdapat
manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak diketahui asalnya,
biopsi mungkin diperlukan untuk diagnosis. Penegakan diagnosis patologi
penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki pengobatan dan
prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan minimal-change
disease pada dewasa dengan glomerulosklerosis fokal, karena minimal-change
disease memiliki respon yang lebih baik terhadap steroid.
2.5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari sindroma nefrotik, diantaranya:
a. Keseimbangan Nitrogen
Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi
negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh
gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang.
Kehilangan massa tubuh (lean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN.
(Sudjadi, 2006) (Cohen, 2009)
b. Hiperlipidemia dan Lipiduria
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar
kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi ari normal
sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan
meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut
kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL
(very low densitylipoprotein). Selain itu ditemukan pulapeningkatan IDL dan
lipoprotein a sedangkan HDL cenderung normal atau rendah. (Sudjadi, 2006)
12
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis
lipid dan lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Semula diduga
hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non-spesifikterhadap sintesis protein
oleh hati. Karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia
disimpulkan hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipo-
albuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin
mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar
kolesterol dapat normal (Sudjadi, 2006) (Cohen, 2009)
Tinginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa
gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan konversi
VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN.
Menurunnya ektivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan
penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis
lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang
menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya
aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterolacyltransferase) yang berfungsi
katalisasipembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol
dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim
tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.
Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada
debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan
fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan
hyperlipidemia. (Sudjadi, 2006) (Cohen, 2009)
c. Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravascular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya
trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP
frekuensinya kecil. Emboli paru dan thrombosis vena dalam (deep
veinthrombosis=DVT) sering dijumpai pada SN.Kelainan tersebut disebabkan
13
oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan
ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup kompleks meliputi
peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit, dan penurunan fibrinolisis.
Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh
hati dan kehilangan protein melalui urin. (Sudjadi, 2006) (Cohen, 2009)
d. Metabolisme Kalsium dan Tulang
Vitamin D merupakan unsure penting dalam metabolisme kalsium dan tulang
pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin
sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan
1,25(OH)2D plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak
mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka
osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tidak terkontrol jarang dijumpai.
Pada SN juga terjadi kehilangan hormone tiroid yang terikat protein melalui
urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon
yang menstimulasi tiroksin (TSH) tetap normal sehingga secara klinis tidak
menimbulkan gangguan. (Sudjadi, 2006) (Cohen, 2009)
e. Infeksi
Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN
terutama oleh organism berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi pada SN
terjadi akibat defek imunitas humoral, selular, dan ganggauan system
komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada
pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang
meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel
T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas selular.
Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh
sel T agar dapat berfungsi dengan normal. (Sudjadi, 2006) (Cohen, 2009)
f. Gangguan Fungsi Ginjal
Pasien SN memiliki potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai
mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan
14
timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi
penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang
menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. (Sudjadi, 2006) (Cohen, 2009)
(Bagga, 2008) (Hull, 2008)
Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA (penyakit
ginjal tahap akhir). Proteinuria merupakan faktor risiko penentu terhadap
progresivitas SN. Progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan
glomerulosklerosis, dan kerusakan tubule interstisium dikaitkan dengan
proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya
glomerulosklerosis dan fibrosis tubule interstisium pada SN, walaupun peran
terhadap p rogresivitas penyakitnya belum diketahui secara pasti. (Sudjadi
WP,2006) (Cohen EP, 2009) (Bagga, 2008) (Hull, 2008)
kerusakan tubule interstisium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga
dihubungkan dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan
fibrosis tubulointerstisium pada SN, walaupun peran terhadap progresivitas
penyakitnya belum diketahui secara pasti. (Sudjadi WP,2006) (Cohen EP, 2009)
(Bagga, 2008) (Hull, 2008)
g. Komplikasi lain pada Sindroma Nefrotik
Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai
proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi.
Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena
hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi.
Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan
dengan retensi natrium dan air. (Sudjadi, 2006)
2.6. Tatalaksana
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditunjukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria,
mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam
15
( sekitar 2 gram natrium per hari) dan tirah baring membantu mengontrol edema.
Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid,
metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki
hipoalbuminemia dan mengurangi resiko kompikasi yang ditimbulkan. Pembatasan
asupan protein 0,8-1,0 g/kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat
enzim konvensi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan
antagonis reseptor angiotensin II ( angiotensin II reseptor antagonist ) dapat
menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam
mengurangi proteinuria. Resiko tromboeboli pada SN meningkat dan perlu mendapat
penanganan walaupun pemberian antikoagulan jangka panjang masih konvensional
tetapi pada satu studi terbukti memberi keuntungan. Jika terjadi trombosis dapat
diberikan heparin dilanjutkan dengan warfarin selama pasien masih nefrotik.
Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan resiko penyakit
kardiovaskular, tetapi bukti klinis dalam populasi menyokong pendapat perlunya
mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin,
pravastatin, lovastin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida, dan
meningkatkan kolesterol HDL.
Pada orang dewasa, sebagian besar kasus sindrom nefrotik disebabkan oleh
penyakit glomerular primer, seperti nefropati membranosa, glomerulosklerosis fokal
segmental, penyakit glomerular dengan lesi minimal, penyakit glomerular membrano-
proliferatif, dll. Sindroma nefrotik juga dapat disebabkan oleh berbagai macam
penyakit seperti diabetes, amyloidosis, SLE, dll. Penggunaan obat tertentu juga dapat
menimbulkan sindroma nefrotik seperti antiinflamasi nonsteroid (AINS), emas,
penicillamin, dan lainnya. (Bernard, 1988) (Hull, 2008)
16
Adapun prinsip penatalaksanaan sindrom nefrotik adalah:
1) Infeksi
Adanya teori mengenai peran imunologi pada sindrom nefrotik yang
menyebutkan bahwa terjadi penurunan sistem imun pada pasien dengan sindrom
nefrotik sehingga menyebabkan pasien SN mempunyai kerentanan terhadap infeksi.
Apabila telah terbukti adanya komplikasi berupa infeksi perlu diberikan antibiotic
Pada pasien SN Infeksi yang sering terjadi adalah selulitis dan peritonitis primer.
Penyebab tersering peritonitis primer adalah kuman gram negatif dan Streptococcus
pneumoniae. Untuk pengobatannya diberikan pengobatan penisilin parenteral
dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim atau seftriakson) selama
10-14 hari. Pneumonia dan infeksi saluran napas atas karena virus juga merupakan
manifestasi yang sering terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik.
2) Trombosis
Terdapat suatu penelitian prospektif dengan hasil 15% pasien SN relaps
terdapat defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat
trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Pemeriksaan fisik dan
radiologis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis trombosis. Apabila telah ada
diagnosis trombosis, perlu diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan
warfarin selama 6 bulan atau lebih. Saat ini tidak dianjurkan pencegahan
tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah.
3) Hiperlipidemia
Kadar LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein meningkat pada sindrom
nefrotik relaps atau resisten steroid, tetapi kadar HDL menurun atau normal. Kadar
kolesterol yang meningkat tersebut mempunya sifat aterogenik dan trombogenik. Hal
ini dapat meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas
glomerulosklerosis. Untuk itu perlu dilakukan diet rendah lemak jenuh dan
mempertahankan berat badan normal. Pemberian obat penurun lipid seperti HmgCoA
reductaseinhibitor (contohnya statin) dapat dipertimbangkan. Peningkatan kadar
LDL, VLDL, trigliserida, dan lipoprotein pada sindrom nefrotik sensitif steroid
17
bersifat sementara sehingga penatalaksanaannya cukup dengan mengurangi diet
lemak.
4) Hipokalsemia
Hipokalsemia pada sindrom nefrotik dapat terjadi karena:
- Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopeni
- Kebocoran metabolit vitamin D Untuk menjaga keseimbangan jumlah kalsium
maka pada pasien SN dengan terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan)
sebaiknya diberikan suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-
250 IU). Apabila telah ada tetani perlu diberikan kalsium glukonas 10% sebanyak
0,5 ml/kgBB intravena.
5) Hipovolemia
Hipovolemia dapat terjadi akibat pemberian diuretik yang berlebihan atau
pasien dengan keadaan SN relaps. Gejala-gejalanya antara lain hipotensi, takikardia,
ekstremitas dingin, dan sering jugadisertai sakit perut. Penanganannya pasien diberi
infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgBB dalam 20-30 menit, dan
disusul dengan albumin 1 g/kgBB atau plasma 20 mL/kgBB (tetesan lambat 10 tetes
per menit). Pada kasus hipovolemia yang telah teratasi tetapi pasien tetap oliguria,
perlu diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB intravena.
6) Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan
penyakit SN akibat dari toksisitas steroid. Untuk pengobatanya diawali dengan ACE
(angiotensin converting enzyme) inhibitor, ARB (angiotensin receptor blocker),
calcium chanel blockers atau antagonis β adrenergik, hingga tekanan darah di bawah
persentil 90.
7) Efek samping steroid
Terdapat banyak efek samping yang timbul pada pemberian steroid jangka
lama, antara lain peningkatan nafsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan
18
perilaku, peningkatan resiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan
demineralisasi tulang. Pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran
tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan
evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali pada pasien SN.
8) Hipoalbuminemia pada Sindrom Nefrotik
Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik mempunyai karakteristik yaitu
hilangnya albumin urin dalam jumlah yang besar dan reduksi pada totalexchangeable
albumin pool.
Laju pecahan katabolisme albumin meningkat pada pasien nefrotik yang
kemungkinan disebabkan peningkatan katabolisme albumin oleh ginjal. Namun,
tingkat katabolik albumin absolut menurun pada pasien nefrotik. Sintesis albumin
dapat meningkat tetapi tidak cukup untuk mempertahankan konsentrasi serum
albumin normal atau albumin pool.
Augmentasi diet protein pada tikus nefrotik langsung merangsang sintesis
albumin dengan meningkatkan konten mRNA albumin di hati, tetapi juga
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul. Ketika
diet protein dibatasi, laju sintesis albumin tidak meningkat, baik pada pasien nefrotik
atau tikus nefrotik, meskipun hipoalbuminemia berat.
Meskipun suplemen protein dapat menyebabkan keseimbangan nitrogen, tetapi
pemberian suplemen protein saja tidak dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi
albumin serum, tetapi sebaliknya dapat menyebabkan deplesi albumin pool yang
lebih lanjut karena perubahan yang diinduksi dalam rejeksi glomerulus.
2.8. Prognosis
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara
umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada
anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5 tahun
memiliki prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia >30 tahun juga lebih
memiliki risiko gagal ginjal.
19
BAB III
STATUS ORANG SAKIT
ANAMNESIS PRIBADI
Nama : Tn. I
Umur : 58 tahun
Jenis Kelamin : Laki- Laki
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Lingkungan XIII, Kelurahan Terjun, Medan Marelan
20
ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama : Bengkak pada seluruh tubuh
Telaah :
Bengkak pada seluruh tubuh dialami pasien sejak 1 bulan yang lalu sebelum masuk
rumah sakit. Bengkak diawali pada kedua tungkai, 2 minggu kemudian bengkak
menjalar kedua tangan, perut, kelopak mata, wajah hingga ke buah zakarnya. Riwayat
bengkak sebelumnya tidak dijumpai. Keluhan bengkak tidak disertai dengan sesak
napas. Riwayat nyeri pinggang tidak dijumpai. Riwayat nyeri dada tidak dijumpai.
Riwayat mual dan muntah tidak dijumpai. Riwayat batuk sebelumnya tidak dijumpai.
Riwayat demam tidak dijumpai. Nyeri perut tidak dijumpai. Penurunan nafsu makan
dijumpai sejak timbulnya keluhan bengkak. Pasien merupakan rujukan dari RSU
Delima dengan diagnosis Sindroma Nefrotik dan Diabetes Melitus Tipe 2.
Sebelumnya pasien sudah memiliki riwayat sakit gula sejak 10 tahun yang lalu,
namun tidak rutin minum obat. Pasien juga memiliki luka yang tidak sembuh-
sembuh sejak 5 hari yang lalu dengan diameter kira-kira 7 cm pada paha kiri nya.
Pasien juga mengaku pernah minum obat paket selama 6 bulan tuntas sekitar 2 tahun
yang lalu dan setelahnya tidak ada keluhan. Riwayat darah tinggi disangkal. Riwayat
BAK sedikit dijumpai dalam 3 hari ini (sekitar <300cc/24 jam). Riwayat BAK
berwarna seperti air cucian daging tidak dijumpai. Riwayat BAB dijumpai normal.
ANAMNESIS ORGAN
Jantung Sesak Napas : (-) Edema : (+)
Angina Pektoris : (-) Palpitasi : (-)
Saluran Pernapasan Batuk-batuk : (–) Asma, bronkitis : (–)
Dahak : (–) Lain-lain : (–)
21
Saluran Pencernaan Nafsu Makan : dbn Penurunan BB : (–)
Keluhan Menelan : (–) Keluhan Defekasi : (+)
Keluhan Perut : (–) Lain-lain : (–)
Saluran Urogenital Sakit Buang Air Kecil: (–) BAK Tersendat : (–)
Mengandung Batu : (–) Keadaan Urin : (–)
Haid : (–) Lain-lain : (–)
Sendi dan Tulang Sakit Pinggang : (–) Keterbatasan Gerak : (–)
Keluhan Persendian : (–) Lain-lain : (–)
Endokrin Haus/Polidipsi : (–) Gugup : (–)
Poliuri : (–) Perubahan Suara : (–)
Polifagi : (–) Lain-lain : (–)
Saraf Pusat Sakit Kepala : (–) Hoyong : (–)
Lain-lain : (–)
Darah & Pembuluh Pucat : (–) Perdarahan : (–)
Darah Petechiae : (–) Purpura : (–)
Lain-lain : (–)
Sirkulasi Perifer Claudicatio intermitten: (–) Lain-lain : (–)
ANAMNESIS FAMILI : ayah, ibu, dan abang kandung pasien memiliki riwayat
penyakit DM tipe 2
22
Temperatur : 36,6ºC
Keadaan Gizi :
BW : 100% Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 65 kg Indeks Massa Tubuh : 23,88 kg/m
KEPALA :
Mata : konjungtiva palpebra pucat (-/-), ikterus (–/–), pupil
isokor(+), refleks cahaya direk (+), indirek (+),lain-lain:
edema palpebrae superior (+/+), kesan edema
periorbita
Telinga : dalam batas normal
Hidung : dalam batas normal
LEHER :
Struma : tidak membesar, nyeri tekan (–)
Posisi Trakea : medial
TVJ : R–2 cmH2O
Kaku Kuduk : (–)
Lain-lain : (–)
THORAKS DEPAN :
Inspeksi
Bentuk : simetris fusiformis
23
Pergerakan : retraksi dinding dada (-). penggunaan otot-otot bantu
pernapasan (-), ketinggalan bernapas (–)
Palpasi
Nyeri Tekan : (–)
Fremitus Suara : stem fremitus kanan = kiri, kesan meningkat pada lapangan
paru kiri.
Iktus : tidak teraba
Perkusi
Paru
Batas Paru-Hati R/A : Relatif ICS V/Absolut ICS VI
Peranjakan : ± 1 cm
Jantung
Batas Atas Jantung : ICS II–III linea midclavicularis sinistra
Batas Kiri Jantung : ICS IV 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
Batas Kanan Jantung: ICS IV linea parasternalis dextra
Auskultasi
Paru
Suara Pernapasan : bronkial pada lapangan paru kiri, vesikuler pada lapangan
paru kanan.
Suara Tambahan : ronkhi basah (+) lapangan paru kiri, wheezing (–)
Jantung
M1>M2,P2>P1,T1>T2,A2>A1, desah sistolis (–), lain-lain (–)
HR:92 x/menit, regular, intensitas: cukup
THORAKS BELAKANG:
Inspeksi : simetris fusiformis
Palpasi : stem fremitus kanan ≠ kiri, kesan meningkat pada lapangan
paru kiri
Perkusi : beda pada lapangan paru kiri tengah dan atas
24
Auskultasi : SP: bronkial pada lapangan paru kiri, vesikular pada
lapangan paru kanan, ronki basah (+) pada lapangan paru kiri
ST: ronkhi (+/+), wheezing (–)
ABDOMEN :
Inspeksi
Bentuk : simetris membesar
Gerakan Usus : tidak terlihat
Vena Kolateral : (–)
Caput Medusae : (–)
Palpasi
Dinding Abdomen : soepel, undulasi (-)
HATI
Pembesaran : tidak teraba
Permukaan : (–)
Pinggir : (–)
Nyeri Tekan : (–)
LIMFA
Pembesaran : (–)
GINJAL
Ballotement : (–)
Lain-lain : (–)
Perkusi
Pekak Hati : (+)
Pekak Beralih : (+)
25
Auskultasi
Peristaltik Usus : normoperistaltik
Lain-lain : double sound (+)
PINGGANG
Nyeri Ketok Sudut Kostovertebra (–)
26
Arteri Tibialis Posterior : (+/+)
Arteri Dorsalis Pedis : (+/+)
Refleks KPR : (+/+)
Refleks APR : (+/+)
Refleks Fisiologis : (+/+)
Refleks Patologis : (–/–)
Lain-lain : ulkus diabetikum (+) regio femoris lateralis sinistra
(07-11-2018)
Ureum : 63 mg/dL
Kreatinin : 1,8 mg/dL
27
RESUME
28
Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: SF kanan ≠ kiri, kesan meningkat pada
lapangan paru kiri
Perkusi: beda pada lapangan paru kiri tengah dan atas
Auskultasi: bronkial pada lapangan paru kiri
Abdomen:
Inspeksi : simetris membesar
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: shifting dullness (+)
Auskultasi: normoperistaltik, double sound (+)
Ekstremitas
lateralis sinistra
29
Diabetikum grade II + Acute Kidney Injury + TB
Paru relaps dd/ Pneumonia
4. Sirosis Hepatis + DM Tipe 2 + Ulkus Diabetikum
grade II + Acute Kidney Injury + TB Paru relaps dd/
pneumonia
30
5. EKG
8. Biopsi Ginjal
BAB IV
FOLLOW-UP
31
Pemantauan tanggal 13-11-2018
S: Bengkak pada seluruh tubuh sudah mulai berkurang
O: Sensorium: compos mentis
TD: 130/90 mmHg Temp: 37,1°C
HR: 86 kali/menit RR: 20 kali/menit
Kepala : normosefal, edema (+)
Mata: edema palpebra superior (-/-)
T/H/M: dbn/dbn/dbn
Leher : TVJ R–2 cmH2O
Toraks : Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: stem fremitus kanan ≠ kiri, kesan meningkat pada lapangan
paru kiri
Perkusi: beda pada lapangan paru kiri tengah dan atas
Auskultasi: bronkial pada lapangan paru kiri, ronkhi basah (+)
lapangan paru kiri
Abdomen : Inspeksi: simetris
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani, shifting dullness (+)
Auskultasi: normoperistaltik, double sound (+)
32
P: - Tirah baring
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit micro
- Diet ginjal 1950 kkal; protein 39gr ; rendah garam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
- Inj.Furosemide 40 ml/12 jam
- Captopril 12,5 mg tab 2x1
- Glimepirid 3 mg tab 1x1
R/ - Susul hasil rontgen thoraks
- Cek KGD Puasa, KGD 2 jam Post-prandial, HbA1C, Lipid Profile
- Cek Urinalisis/24 jam
- Cek Proteinuria 24 jam
- USG Lower Abdomen
33
Abdomen : Inspeksi: simetris
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: timpani, shifting dullness (+)
Auskultasi: normoperistaltik, double sound (+)
A: - Sindroma Nefrotik
- Diabetes Mellitus Tipe 2
- Ulkus Diabetikum grade II
- Acute Kidney Injury stadium Injury
- Pneumonia Nosokomial dd/ Tuberkulosis Paru
P: - Tirah baring
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit micro
- Diet ginjal 1950 kkal; protein 39gr; rendah garam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
- Inj.Furosemide 40 ml/12 jam
- Captopril 12,5 mg tab 2x1
- Glimepirid 3 mg tab 1x1
R/ - Susul hasil rontgen thoraks
- Susul hasil KGD Puasa, KGD 2 jam Post-prandial, HbA1C, Lipid Profile
- Urinalisis/24 jam
- Cek Proteinuria 24 jam
- USG Lower Abdomen
34
BAB V
DISKUSI KASUS
TEORI PASIEN
Definisi Laki-laki, 58 tahun datang dengan
Sindrom nefrotik merupakan suatu keluhan bengkak pada seluruh tubuh
penyakit yang ditandai dengan sindrom dialami pasien sejak 1 bulan yang lalu
klinik yang terdiri dari beberapa gejala sebelum masuk rumah sakit. Bengkak
yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2 diawali pada kedua tungkai, 2 minggu
LPB/jam atau rasio protein/ kreatinin kemudian bengkak menjalar kedua
pada urin sewaktu>2 mg/mg atau tangan, perut, kelopak mata, wajah
dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 hingga ke buah zakarnya.
g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia.
35
tidak dijumpai. Penurunan nafsu makan
dijumpai sejak timbulnya keluhan
bengkak. Pasien merupakan rujukan
dari RSU Delima dengan diagnosis
Sindroma Nefrotik dan Diabetes
Melitus Tipe 2. Sebelumnya pasien
sudah memiliki riwayat sakit gula sejak
10 tahun yang lalu, namun tidak rutin
minum obat. Pasien juga memiliki luka
yang tidak sembuh- sembuh sejak 5 hari
yang lalu dengan diameter kira-kira 7
cm pada paha kiri nya. Pasien juga
mengaku pernah minum obat paket
selama 6 bulan tuntas sekitar 2 tahun
yang lalu dan setelahnya tidak ada
keluhan. Riwayat darah tinggi
disangkal. Riwayat BAK sedikit
dijumpai dalam 3 hari ini (sekitar
<300cc/24 jam). Riwayat BAK
berwarna seperti air cucian daging tidak
dijumpai. Riwayat BAB dijumpai
normal.
36
Nadi : 92 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Temperatur : 37,1°C
Kepala
Mata: konjungtiva palpebra inferior
anemis (-/-), edema palpebra superior
(+/+), sklera ikterik (-/-)
Telinga/Hidung/Mulut:
dbn/dbn/dbn
Leher: struma membesar (–), TVJ R–2
cmH2O
Thoraks
Inspeksi: simetris fusiformis
Palpasi: SF kanan ≠ kiri, kesan
meningkat pada lapangan paru kiri
Perkusi: beda pada lapangan paru kiri
tengah dan atas
Auskultasi: bronkial pada lapangan
paru kiri
Abdomen:
Inspeksi : simetris membesar
Palpasi: soepel, H/L/R: tidak teraba
Perkusi: shifting dullness (+)
Auskultasi: normoperistaltik, double
sound (+)
Ekstremitas
37
Tatalaksana Umum Indeks Massa Tubuh : 23,88
Pengukuran berat badan dan
kg/m2
tinggi badan
TD : 130/90 mmHg.
Pengukuran tekanan darah.
Aktivitas: tirah baring dan
Pemeriksaan fisik dilakukan
aktivitas ringan
untuk mencari tanda atau gejala
Diet: ginjal 1950 kkal ; protein
penyakit sistemik, seperti lupus
39gr ; rendah garam
eritematosus sistemik dan
Tindakan suportif: IVFD NaCl
purpura Henoch-Schonlein.
0,9% 10 gtt/menit micro
Pencarian fokus infeksi
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
Sebelum melakukan terapi
Inj.Furosemide 40 ml/12 jam
dengan steroid perlu dilakukan
Captopril 12,5 mg tab 2x1
eradikasi pada setiap infeksi,
Glimepirid 3mg tab 1x1
seperti infeksi di gigi-geligi,
telinga, ataupun infeksi karena
kecacingan.
Pengobatan sindrom nefrotik
Pengobatan SN terdiri dari
pengobatan spesifik yang
ditunjukan terhadap penyakit
dasar dan pengobatan non-
spesifik untuk mengurangi
proteinuria, mengontrol edema,
dan mengobati komplikasi.
Diuretik disertai diet rendah
garam ( sekitar 2 gram natrium
per hari) dan tirah baring
membantu mengontrol edema.
Furosemid oral dapat diberikan
38
dan bila resisten dapat
dikombinasi dengan tiazid,
metalazon, dan atau
asetazolamid. Kontrol
proteinuria dapat memperbaiki
hipoalbuminemia dan
mengurangi resiko kompikasi
yang ditimbulkan. Pembatasan
asupan protein 0,8-1,0
g/kgBB/hari dapat mengurangi
proteinuria. Obat penghambat
enzim konvensi angiotensin
( angiotensin converting
enzyme inhibitors ) dan
antagonis reseptor angiotensin
II ( angiotensin II reseptor
antagonist ) dapat menurunkan
tekanan darah dan kombinasi
keduanya mempunyai efek
aditif dalam mengurangi
proteinuria.
39
BAB VI
KESIMPULAN
40
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., dan Ernst, M.E., 2012. Koda-Kimble and
Young’s Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs. Lippincott Williams &
Wilkins.
Behrman, R.E., Kliegman, R., dan Jenson, H.B., 2004. Nelson Textbook of
Pediatrics 17th Eddition, 17th ed. Elsevier’s Health Science, USA.
Hari, P., Bagga, A., dan Mantan, M., 2004. Short term efficacy of intravenous
dexamethasone and methylprednisolone therapy in steroid resistant nephrotic
syndrome. Indian pediatrics, 41: 993–1000.
Hull RP, Goldsmith DJ. 2008. Nephrotic syndrome in adults.BMJ; 336; 1185-
9.
41
Keddish MT, Karnath BM. 2007.The nephritic syndrome.Hospital Physician.
p 25-30, 38.Available at www.turner-white.comdiunduh 21 oktober 2018.
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, III JWSG, Behrman RE.Nelson
2011.Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;. p. 1801- 7.
Lacy, C., Armstrong, L.L., Lance, L.L., dan Goldman, M.P., 2011. Drug
Information Handbook with International Trade Names Index. Lexi- Comp.
42