Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Stenosis mitral adalah penyempitan pembukaan katup mitral. Stenosis mitral


membatasi aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri. Akibatnya, volume darah
yang membawa oksigen dari paru-paru berkurang sehingga penderita merasa
kelelahan dan sesak napas (AHA, 2016).
Sebagian kasus stenosis mitral disebabkan oleh demam rematik (WHO, 2004).
Sementara sekarang demam rematik sangat jarang terjadi di negara maju, namun
tetap mewabah di sebagian besar dunia (BMJ, 2016). Prevalensi penyakit rematik
di negara maju terus menurun dengan perkiraan kejadian 1 dari 100.000.
Prevalensi penyakit rematik lebih tinggi di negara berkembang daripada di
Amerika Serikat (Dima, 2014). Di India, misalnya prevalensinya kira-kira 100-
150 kasus per 100.000, dan di Afrika prevalensinya 35 kasus per 100.000
(Marcus, 2004). Di negara-negara dengan prevalensi demam rematik rendah,
stenosis mitral mungkin disebabkan gangguan katup kongenital. Walaupun
kejadiannya rendah, pasien ini memiliki tingkat kematian yang tinggi (Bonow,
2008). Dua pertiga dari semua pasien dengan stenosis mitral rematik adalah
perempuan. Permulaan gejala biasanya terjadi antara usia dekade ketiga dan
keempat (Dima, 2014). Dalam penelitian Movahed dkk, ditemukan peningkatan
prevalensi stenosis mitral pada wanita. Penyebabnya tidak diketahui (Movahed,
2006). Di Indonesia, Manado, dalam penelitian Baan dkk, dari 8 kasus penyakit
jantung rematik ditemukan 7 kasus stenosis mitral, pasien terbanyak adalah
perempuan 6 pasien (Baan, 2016).

Stenosis mitral merupakan suatu proses progresif kontinyu dan penyakit


seumur hidup. Mulanya hanya ditemui tanda dari stenosis mitral yang kemudian
dengan kurun waktu (10-20 tahun) akan diikuti dengan keluhan, fibrilasi atrium
dan akhirnya keluhan disabilitas. Di Indonesia manifestasi klinis muncul lebih

1
2

awal, hal ini dapat karena tidak atau lambatnya terdeteksi, pengobatan yang kurang adekuat pada fase awalnya (Indrajaya, 2014).
Angka 10 tahun survival pada stenosis mitral yang tidak diobati berkisar 50%-60%, bila tidak disertai keluhan atau minimal

angka meningkat 80%. Semakin berat derajat, prognosisnya buruk di mana angka hidup dalam 10 tahun <15%. Apabila timbul

fibrilasi atrium prognosanya kurang baik (angka harapan hidup 10 tahun 25%) dibanding pada kelompok irama sinus (angka harapan

hidup 10 tahun 46%) (Indrajaya, 2014).

Pasien bergejala minimal atau tanpa gejala, kelangsungan hidup lebih besar dari 80% pada 10 tahun. Bila hipertensi pulmonal

berat berkembang, kelangsungan hidup kurang dari 3 tahun. Sebagian besar (60%) pasien stenosis mitral berat yang tidak diobati

meninggal karena kongesti sistemik atau kongesti paru progresif (Dima, 2014).

Pada stenosis mitral, luas efektif lubang mitral berkurang menyebabkan daya alir katup mitral juga berkurang, sehingga akan

meningkatkan tekanan di ruang atrium kiri. Akhirnya timbul perbedaan tekanan antara atrium kiri dengan ventrikel kiri waktu

diastol. Jika peningkatan tekanan ini tidak berhasil mengalirkan jumlah darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, maka

akan terjadi bendungan pada atrium kiri dan selanjutnya menyebabkan bendungan vena dan kapiler paru. Selanjutnya tekanan arteri

pulmonal akan meningkat, kemudian terjadi pelebaran ventrikel kanan dan insufiensi pada katup trikuspid atau pulmonal. Jika hal ini

terus berlanjut dan menyebabkan gagal jantung kanan maka tanda-tanda bendungan sistemik akan menonjol (peningkatan tekanan

vena jugularis, hepatomegali, asites). Bendungan pada hati akan menyebabkan gangguan pada fungsi hati (Yusak, 1996).

Penyebab disfungsi ventrikel kanan dapat dikaitkan dengan kongesti hati yang parah, pasien dengan kongesti hati biasanya tidak

menunjukkan gejala dan entitas ini disarankan mengikuti tes fungsi hati. Patofisiologi utama yang terlibat dalam disfungsi hepar

adalah kongesti pasif dari tekanan pengisian yang meningkat atau curah jantung yang rendah dan konsekuensi dari gangguan perfusi.

Kongesti hati pasif akibat peningkatan tekanan vena sentral (CVP) dapat menyebabkan
3

peningkatan enzim hati. Hepatomegali kongestif sering dikaitkan dengan


gangguan fungsi hati. Menurut penelitian Alvarez, parameter biokimia fungsi hati
meningkat 2 sampai 3 kali pada tingkat normal. Parameter ini meliputi aspartate
aminotransferase (AST) / serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT),
alanine aminotransferase (ALT) / serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT),
lactate dehydrogenase (LDH), gamma-glutamyl transpeptidase (GGT), alkaline
phosphatase (ALP), bilirubin (Alvarez, 2011).
Gangguan perfusi akibat penurunan curah jantung dapat dikaitkan dengan
nekrosis hepatoselular akut dengan peningkatan kadar aminotransferase serum.
Hepatik iskemia kardiogenik (syok hati) dapat terjadi setelah episode hipotensi
berat pada pasien dengan gagal jantung akut. Jika tidak diobati, kongesti yang
berkepanjangan dapat berlanjut menjadi cardiac fibrosis dan cardiac cirrhosis.
Cardiac cirrhosis atau bridging fibrosis dapat terjadi akibat kelainan
hemodinamik yang berkepanjangan, mengakibatkan gangguan fungsi hati dengan
gangguan koagulasi, penurunan sintesis albumin, dan perubahan metabolisme
beberapa obat kardiovaskular, yang dapat menyebabkan toksisitas yang tidak
diinginkan (Alvarez, 2011).
Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mengetahui gambaran fungsi hati pada
pasien stenosis mitral di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan tahun
2015.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.3 STENOSIS MITRAL

2.3.1 Definisi dan Etiologi Stenosis Mitral

Stenosis mitral adalah suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah
dari atrium kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada katup mitral.
Kelainan struktur mitral menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul
gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastol (Indrajaya, 2014). Di negara
yang sedang berkembang (termasuk Indonesia) manifestasi stenosis mitral
sebagian terjadi pada usia dibawah 20 tahun yang disebut sebagai Juvenile Mitral
Stenosis (Yusak, 1996)
Penyebab tersering adalah endokarditis rematika, akibat reaksi yang progresif
dari demam rematik oleh infeksi streptokokus. Penyebab lain walaupun jarang
dapat juga stenosis mitral kongenital, deformitas parasut mitral, vegetasi dari
systemic lupus erythematosus (SLE), karsinosis sistemik, deposit amyloid,
rheumatoid arthritis (RA), serta kalsifikasi annulus maupun daun katup pada usia
lanjut akibat proses degeneratif (Indrajaya, 2014).

2.3.2 Patogenesis Stenosis Mitral

Pada stenosis mitral akibat demam rematik akan terjadi proses peradangan
(valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup.
Proses ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi
komisura, fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut
(Indrajaya, 2014). Keterlibatan chordae tendinae menyebabkan penebalan, fusi,
dan kontraksi dengan jaringan parut yang meluas ke otot papiler (Rosendorff,
2005). Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari aparatus mitral yang normal,
mengecilnya area katup mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan (fish mouth) atau
lubang kancing (button hole) (Indrajaya, 2014).
Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer,
sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder. Pada
endokarditis rematika, daun katup dan khorda akan mengalami sikatrik dan
kontraktur bersaman dengan pemendekan korda sehingga menimbulkan penarikan
daun katup menjadi bentuk funnel shaped (Indrajaya, 2014).
Fibrosis dan kalsifikasi yang padat dapat mengurangi struktur katup normal
yang halus menjadi kaku, tidak dapat bergerak, dan bentuk funnel-shaped orifice
(Rosendorff, 2005). Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya
lebih sering pada perempuan dibanding pria. Proses perubahan patologi sampai
terjadinya gejala klinis (periode laten) biasanya memakan waktu bertahun-tahun
(10-20 tahun) (Indrajaya, 2014).
10

2.3.3 Patofisiologi Stenosis Mitral

2
Pada orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4-6 cm . Stenosis
mitral semakin mempersempit orifisium, gradien berkembang antara atrium kiri
dan ventrikel kiri. Gradien ini biasanya kecil dan tidak penting secara klinis
2
sampai orifisium menyempit menjadi kurang dari 2 cm (Alpert, 2002). Ketika
2
stenosis mitral mengurangi orifisium sampai 2 cm , tekanan yang lebih tinggi dari
normal diperlukan untuk mendorong darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri
(Rosendorff, 2005). Curah jantung dan denyut jantung juga mempengaruhi
gradien katup mitral. Semakin besar curah jantung, semakin besar gradien (Alpert,
2
2002). Bila stenosis lebih berat (1-1,5 cm ) dibutuhkan tekanan atrium kiri yang
sangat tinggi untuk mempertahankan curah jantung normal bahkan saat istirahat,
menghasilkan gradien tekanan di seluruh katup. Tekanan atrium kiri yang
meningkat, meningkatkan tekanan kapiler pulmonal. Peningkatan denyut jantung
mengurangi waktu yang tersedia untuk aliran darah melintasi katup mitral.
Perkembangan fibrilasi atrium (AF) dengan laju ventrikel yang cepat dapat
memicu edema paru pada pasien asimtomatik sebelumnya dengan stenosis mitral
(Rosendorff, 2005).

Fibrilasi atrium dengan respon ventrikel cepat, memperpendek waktu


pengisian diastolik, sehingga menyebabkan peningkatan gradien katup mitral yang
besar. Semakin besar gradien katup mitral, semakin tinggi atrium kiri, vena
pulmonal, dan tekanan kapiler paru. Ketinggian tekanan vena dan kapiler paru
menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonal karena tekanan sistolik dan
diastolik paru harus melebihi tekanan kapiler paru. Peningkatan tekanan arteri
pulmonal sepadan dengan kenaikan tekanan kapiler paru, yang disebut hipertensi
pulmonal pasif. Bentuk hipertensi pulmonal dikatakan reaktif, jika tekanan arteri
pulmonal meningkat tidak proporsional dengan kenaikan tekanan atrium kiri.
Hipertensi pulmonal reaktif hanya terjadi pada pasien dengan stenosis mitral berat
yang memiliki tekanan kapiler paru lebih dari 18 sampai 25 mmHg. Namun, tidak
semua pasien dengan tekanan kapiler paru yang sangat tinggi menjadi hipertensi
arteri pulmonal reaktif (Alpert, 2002).
11

Ventrikel kanan dan ventrikel kiri tidak mentoleransi peningkatan afterload,


pada akhirnya menyebabkan dilatasi ventrikel kanan dan kegagalan yang sering
dikaitkan dengan regurgitasi trikuspid. Volume ventrikel kiri normal atau
menurun pada pasien stenosis mitral. Pasien dengan stenosis mitral dengan irama
sinus normal, memiliki gelombang ‘a’ yang menonjol di atrium kiri atau
peningkatan pulmonal artery wedge pressure (Alpert, 2002).

2.3.4 Klasifikasi Stenosis Mitral

Stenosis mitral diklasifikasikan menjadi tiga kelas dari ringan hingga berat
sesuai dengan luas daerah katup mitral / mitral valve area (MVA).
2
1. Ringan : bila area 1,4 – 2,5 cm
2
2. Sedang : bila area 1 - 1,4 cm
2
3. Berat : bila area < 1,0 cm

Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul bila luas area katup
2
mitral menurun sampai seperdua normal (< 2 - 2,5 cm ). Derajat berat ringannya
stenosis mitral, selain berdasarkan luas daerah katup mitral, dapat juga ditentukan
oleh gradien transmitral, serta hubungan antara lamanya waktu antara penutupan
katup aorta dan kejadian opening snap (A2-OS interval) (Indrajaya, 2014).

Tabel 2.3.4 Hubungan antara gradien dan luasnya katup serta waktu pembukaan katup mitral
(Indrajaya T, Ghanie A. Stenosis Mitral. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed; 2014)

Derajat Stenosis A2-OS interval Gradien


Ringan >110 msec < 5 mmHg
Sedang 80-110 msec 5-10 mmHg
Berat < 80 msec >10 mmHg
12

2.3.5 Gejala dan Tanda Stenosis Mitral

Pada awal penyakit, pasien mungkin asimtomatik. Namun, kondisi yang


meningkatkan curah jantung akan meningkatkan gradien katup mitral dan tekanan
atrium kiri yang menyebabkan dispnea, dan dapat memfasilitasi diagnosis dini
stenosis mitral. Selain itu, aliran balik vena ditambah posisi terlentang bisa
menghasilkan ortopnea dan dispnea nokturnal paroksismal pada pasien stenosis
mitral kelas sedang (Bryg, 2009).
Stenosis katup mitral dan radang atrium akibat demam rematik dapat
menyebabkan dilatasi dan perubahan atrium kiri setelah inflamasi. Perubahan ini
menjadi predisposisi pasien mengalami palpitasi dan fibrilasi atrium. Selain itu,
ada peningkatan risiko embolisasi sistemik yang mengakibatkan stroke, infark
miokard, infark limpa atau ginjal, dan oklusi arteri perifer. Untuk pasien dengan
ritme sinus, adanya trombus atrium kiri, area katup mitral berhubungan positif
dengan emboli (Bryg, 2009).
Tekanan paru meningkat dan kongesti vaskular menyebabkan hemoptisis.
Hemoptisis dapat terjadi sebagai perdarahan mendadak (disebut “pulmonary
apoplexy”; kondisi ini jarang mengancam jiwa), sputum berbusa merah muda
akibat edema paru, sputum berlumuran darah yang berhubungan dengan dispnea
atau bronkitis, dan infark paru karena emboli paru. Nyeri dada bisa terjadi dan
menyerupai angina. Nyeri dada kemungkinan besar akibatnya hipertensi pulmonal
dan hipertrofi ventrikel kanan dan biasanya hilang dengan koreksi stenosis mitral
(Bryg, 2009).
Pemeriksaan fisik dapat dijumpai gambaran pipi yang merah keunguan akibat
curah jantung yang rendah, tekanan vena jugularis yang meningkat akibat gagal
jantung kanan. Tanda ini sekarang sangat jarang terjadi (Stoltz, 2003).
Auskultasi suara jantung dapat memperlihatkan S1 yang menonjol di awal
penyakit. Dapat dijumpai adanya S1 akan mengeras, hal ini hanya terjadi bila
pergerakan katup mitral masih dapat fleksibel. Karena beratnya stenosis mitral
meningkat dengan kalsifikasi dan fibrosis, amplitudo S 1 kemudian berkurang.
Saat hipertensi pulmonal, pemisahan suara jantung kedua bisa menyempit dan
menjadi S2 yang bertekanan tinggi. S3 yang berasal dari ventrikel kiri tidak ada
Universitas
Sumatera Utara
13

pada pasien stenosis mitral kecuali ada penyakit koroner bersamaan, regurgitasi
mitral, atau regurgitasi aorta. S4 jika ada, berasal dari ventrikel kanan saat
hipertropi dan pelebaran sekunder akibat hipertensi pulmonal (Stoltz, 2003).
Opening snap terdengar sebagai akibat gerakan katup mitral ke ventrikel kiri
yang tiba-tiba berhenti. Opening snap terjadi akibat tekanan atrium kiri yang
disertai dengan penurunan tekanan ventrikel kiri pada diastolik awal. Opening
snap terdengar (frekuensi tinggi) di apex, dengan menggunakan diafragma
stetoskop (Stoltz, 2003).
Sangat penting untuk memeriksa pasien di posisi left lateral decubitus untuk
murmur diastolik. Murmur digambarkan sebagai a rumble (frekuensi rendah) dan
terdengar di apex, dengan menggunakan bel stetoskop. Murmur diastolik stenosis
mitral mencerminkan gradien katup mitral dan durasi aliran darah yang melintasi
katup. Pada stenosis mitral ringan, decrescendo murmur diastolik awal singkat
dan disertai dengan murmur presistolik (Stoltz, 2003).
Indikator yang dapat diandalkan mengenai tingkat keparahan stenosis mitral
adalah interval A2-OS dan panjang (bukan intensitas) murmur diastolik. Seiring

dengan bertambah beratnya stenosis mitral, interval A 2-OS menurun dan panjang
murmur meningkat. Interval yang menurun adalah hasil tekanan atrium kiri yang
meningkat, menghasilkan gradien katup mitral pada awal diastol. Opening snap
dan murmur mungkin menjadi tak terdengar bila stenosis mitral sangat parah dan
daun katup kaku (Stoltz, 2003).
Pemeriksaan penunjang dari rontgen toraks pada pasien stenosis mitral
meliputi pembesaran atrium kiri, redistribusi aliran vaskular pulmonal ke daerah
paru-paru bagian atas, kalsifikasi katup mitral, arteri pulmonalis yang membesar,
dan pembesaran ventrikel kanan (Alpert, 2002).
Universitas
Sumatera Utara
14

2.3.6 Ekokardiografi pada Stenosis Mitral

Doppler-echocardiography merupakan pilihan paling sensitif dan spesifik


untuk diagnosis stenosis mitral (Indrajaya, 2014). Pemeriksaan modern two-
dimensional Doppler echocardiographic secara akurat dapat menggambarkan
tingkat keparahan dan tingkat proses patologis pada pasien stenosis mitral.
Kelainan anatomi katup mitral stenotik (yaitu penebalan, diastolic doming, dan
pembatasan pergerakan daun katup) biasanya didefinisikan dengan baik oleh
transthoracic echocardiography. Ukuran lubang katup mitral stenotik sering
divisualisasikan dengan baik dan dihitung. Analisis Doppler-echocardiography
mengidentifikasi adanya dan keparahan regurgitasi katup aorta, mitral, dan
trikuspid. Two-dimensional echocardiography lebih akurat daripada M-mode
echocardiography dalam menentukan tingkat keparahan stenosis mitral (Alpert,
2002).
Ekokardiografi juga menghasilkan informasi penting mengenai fungsi sistolik
dan diastolik ventrikel kiri dan kanan serta ukuran, ukuran atrium kiri, dan adanya
lesi katup lainnya. Ukuran yang akurat dari tekanan arteri pulmonal rata-rata dapat
diperoleh dari pemeriksaan Doppler (Alpert, 2002). Doppler secara akurat menilai
efek hemodinamik dari stenosis katup mitral; indikatornya adalah gradien katup
mitral, area katup mitral, dan tekanan arteri pulmonal (Bryg, 2009). Banyak
pasien tidak memerlukan metode invasif setelah keseluruhan pemeriksaan
Doppler-echocardiography selesai (Alpert, 2002).
DAFTAR PUSTAKA

Allen, L. A., Felker, G. M., Pocock, S., McMurray, J. J. V., Pfeffer, M. A.,
Swedberg, K; et al. 2009, ‘Liver function abnormalities and outcome in
patients with chronic heart failure: data from the Candesartan in Heart Failure:
Assessment of Reduction in Mortality and Morbidity (CHARM) program’.
European Journal of Heart Failure, vol. 11, pp. 170-177, accessed 29
November 2017, doi: 10.1093/eurjhf/hfn031

Alpert, J. S., Sabik, J. F. & Cosgrove III, D. M. 2002, ‘Mitral valve disease’ in
Textbook of Cardiovascular Medicine, 2nd edn, eds. E.J.Topol, R. M. Califf,
J. Isner, E. N. Prystowsky, J. Swain, J. Thomas, et al., Lippincott Williams &
Wilkins, United States of America.

Alvarez, A. M. & Mukherjee, D. 2011, ‘Liver abnormalities in cardiac diseases


and heart failure’, Internatinal Journal of Angiology, vol. 20, no. 3, pp. 135-
142, accessed 28 April 2017, Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3331650/

American Heart Associatiton 2016, Problem: Mitral Valve Stenosis, accessed 28


April 2017, Available from:
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/More/HeartValveProblmsand
Disease/ProblemMitralValve%20Stenosis_UCM_450370_Article.jsp#.WQK
iXdKGO00
Baan, J., Jim, E. L., Joseph, V. F. F. 2016, ‘Gambaran kelainan katup jantung
pada pasien penyakit jantung rematik dan pasien penyakit jantung bawaan
pada orang dewasa di RSUP Prof Kandau’, Jurnal Kedokteran Klinik, vol. 1,
no. 1, pp. 109-115, accessed 11 April 2017, Available from:
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkk/article/view/14385

29
Universitas
Sumatera Utara
30

British Medical Journal Best Practice 2016, Epidemiology Mitral Stenosis,


accessed 30 May 2017, Available from: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/323/basics/epidemiology.html

Bryg, R. J. 2009, ‘Mitral stenosis’ in Current Diagnosis & Treatment Cardiology,


3rd edn, ed. M. H. Crawford, The McGraw-Hill Companies Inc, New York.

Dima, C. 2014, ‘Epidemiology mitral stenosis’, Medscape, accessed 9 June 2017,


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/155724-overview#a4

Indrajaya, T., Ghanie, A. 2014, ‘Stenosis Mitral’ in Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, 6th edn, eds. S. Setiati, I. Alwi, A. W. Sudoyo, InternaPublishing,
Jakarta Pusat.
Universitas
Sumatera Utara
31

Stoltz, C. & Bryg, R. J. 2003, ‘Mitral stenosis’ in Current Diagnosis & Treatment
in Cardiology, 2nd edn, ed. M.H.Crawford, The McGraw-Hill Companies Inc,
United States of America.

World Health Organization. 2004, ‘Rheumatic fever and rheumatic heart disease’,
accessed 30 May 2017, Available from:
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/publications/trs923/en/

Yusak M. 1996, ‘Stenosis Mitral’ in Buku Ajar Kardiologi, eds. L.I.Rilantono,


F.Baraas, S.Karo-Karo, P.S.Roebiono, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai