TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
2.1.2 Epidemiologi
2.1.5 Klasifikasi
Sumber : emedicine.medscpae.com
2.1.6 Patofisiologi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan
serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater (Whiteley, 2014).
Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak
berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural
terdapat lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan
membentuk barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang
memisahkan sistem saraf pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater menyusuri
seluruh lekuk permukaan susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk
jarak tertentu bersama pembuluh darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng
yang berasal dari mesenkim. Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat
melalui torowongan yang dilapisi oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater
lenyap sebelum pembuluh darah ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan
saraf pusat, kapiler darah seluruhnya dibungkus oleh perluasan cabang
neuroglia. (Drake, 2015).
1. Araknoiditis Proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa
fibrotik yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus
pembuluh darah. Reaksi radang akut di leptomeningen ini ditandai
dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di basis
otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma
dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami
kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami
paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI,
kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan
strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa
buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf
kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya
permanen (Frontera, 2008).
2. Vaskulitis
Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah
kortikomeningeal yang melintasi membran basalis atau berada di dalam
parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan
selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele
neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar
arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul
hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis.
Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya
perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia
ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel
dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak
tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan
fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena
adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan
arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis
dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi
sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga
hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear
dan perubahan fibrin (Schwartz, 2005).
3. Hidrosefalus
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna
basalis yang akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan
serebrospinalis (Albert, 2011).
1. Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala
infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut,
sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan menurun, mudah tersinggung, cengeng,
opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran berupa
apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri
kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung,
halusinasi, dan sangat gelisah.
2. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat
dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang-
kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-
tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-
ubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.
2.1.8 Diagnosis
2.1.8.1 Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam,
nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu
makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran
adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis. Pada neonatus, gejalanya
mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas minum,
letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia. Anamnesa dapat
dilakukan pada keluarga pasien yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan
untuk autoanamnesa (Gleadle, 2007).
2.1.9 Penatalaksanaan
1. Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi
dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg /
kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu
kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid,
dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis
isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas
ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi
rifampisin ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan
selaput otak yang sedang mengalami peradangan daripada keadaan
normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah,
keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye kemerahan. Efek
samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul
150 mg, 300 mg, dan 450 mg (Heemskerk, 2011).
2. Isoniazid ( H )
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan
cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal, cairan pleura, cairan
asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah.
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan
adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg / hari dan
diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia
umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk
sirup 100 mg / 5 ml. Konsentrasi puncak di darah, sputum, cairan
serebrospinal dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling
sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang
mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan
neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih
banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat
dengan bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis perifer,
dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari,
atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid (Heemskerk, 2011).
3. Pirazinamid ( Z )
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik
pada jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat
ini bersifat bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan
diabsorbsi baik pada saluran cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg /
kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak
45 µg / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada
fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat
banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia,
iritasi saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak).
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg (Heemskerk, 2011).
4. Etambutol ( E )
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat
bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten.
Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah
timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah
15-20 mg / kgBB/ hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan dosis
tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol
tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol
ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian
oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi tidak berpenetrasi
baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. Kemungkinan
toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna
merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi
WHO yang terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak,
etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan dosis 15-25
mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB
berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak
tersedia atau tidak dapat digunakan (Heemskerk, 2011).
5. Streptomisin ( S )
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif
untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang
digunakan dalam pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya
penting pada pengobatan fase intensif meningitis tuberkulosis dan
MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal
1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 µg / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi
tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin
berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi
melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita
tuberkulosis berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus
kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran,
dengan gejala berupa telinga berdengung (tinitus) dan pusing.
Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati
dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak
saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
Efek samping yang mungkin juga terjadi adalah gangguan
pendengaran dan vestibuler (Heemskerk, 2011).
Rifampisin 10-20mg/kg/BB/hari
Isoniazid 7-15mg/kg/BB/hari
Pirazinamid 30-40 mg/kg/BB/hari
Etambutol 15-25mg/kg/BB/hari
Streptomisin 20 mg/kgBB/hari
Sumber : Pengendalian dan penyakit penyehatan lingkungan KKRI, 2013
- Hidrosefalus
- Cairan subdural
- Abses otak
- Cedera kepala
- Gangguan pendengaran
- Peningkatan tekanan dalam otak ( tekanan itrakranial )
- Kerusakan otak
- Kejang
- Serangan otak
- Araknoiditis
2.1.11 Pencegahan
2.1.12 Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis lebih baik sekiranya didiagnosa dan
diterapi seawal mungkin. Sekitar 15% penderita meningitis nonmeningococcal
akan dijumpai gejala sisanya.
- Umur penderita.
- Jenis kuman penyebab
- Berat ringan infeksi
- Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
- Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
- Adanya dan penanganan penyakit.
Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi,
dan pasien dengan penyakit yang menular atau dengan peningkatan tekanan
intrakranial (Thomas, 2011).
e. Kontraindikasi
Tidak ada larangan untuk melakukan imunisasi BCG, kecuali pada
anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan uji Mantoux positif
(Eisenhut,2014).
Chan, Voon L., 2006. Baterial Genomes and Infectious Diseases. 1st ed. United States of
America: Humana Press.
World Health Organization. 2014. World Health Statistics 2012. [ONLINE] Availabel at:
http://www.who.int/gho/publications/world_health_statistics/2012/en/. [Accessed
Pusponegoro, Hardiono D. , 2009. Pelayanan Pelayanan Medis. 1st ed. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indoensia.
Ruslami, Rovina, 2013. Intensified regimen containing rifampicin and moxifloxacin for
tuberculous meningitis: an open-label, randomised controlled phase 2 trial. Lancet
Infectious Disease, [Online]. 13 (1), 27-35. Available at:
http://www.thelancet.com/pdfs/journals/laninf/PIIS1473-3099(12)70264-5
Rahajoe , N., 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. 1st ed. Jakarta: Unit Kerja
Pulmonologi PP IDAI.
Fenichel , GM., 2005. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia: Elvesier saunders
Kahan, Scott, 2005. Neurology . 1st ed. United States of America: Blackwell publishing.
Whitley, Richard J., 2014. Infections of Central Nervous System . 4th ed. China: Lippincott
Williams &Wilkins.
Drake, Richard L., 2015. Gray's Anatomy for Students. 3rd ed. Canada: Churchill Livingstone
Elsevier.
America
Scanlon, Valerie C., 2015. Essentials of Anatomy and Physiology. 7th ed. New York ,Unitd
States of America: FA. Davids Company.
Schlossberg, David, 2011. Tuberculosis. 5th ed. United States of America: American Society of
Microbilogy.
Menkes, John H, 2006. Child Neurology. 7th ed. United States of America: Lippincott Williams
& Wilkins.
Frontera, Walter R., 2008. Essential of physical medicine. 2nd ed. Canada: Saunders Elsevier.
Schwartz, M. William, 2005. Clinical Handbook of Pediatrics. 1st ed. Unitd States of America:
Williams & Wilkins.
Albert , Martin L., 2011. Clinical Neurology of Aging. 3rd ed. United States of America: Oxford
University Press.
Nofareni, 2003. Status Imunisasi BCG dan Faktor Lain yang Mempengaruhi Terjadinya
Meningitis Tuberkulosa. Master. Medan: University of Sumatera Utara
Cavendish, Marshall, 2011. Diseases, Disorders and Injuries. 1st ed. Malaysia: Marshall
Cavendih Reference.
Gleadle, Jonathan, 2007. History and Examination at a Glance. 1st ed. United States of America:
Blackwell Science Limited.
Sidharta, Priguna, 2009. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. 7th ed. Jakarta: Dian Rakyat.
Kliegman, Robert M., 2011. Nelson Text Book of Pediatrics. 19th ed. United States of America:
Elsevier Saunders.
http://paedi
Thomas, SV., 2011. Central nervous system tuberculosis. African Health Sciences , [Online].
11(1), 116 - 127. Available at:
Heemskerk, Dorothee, 2011. Intensified treatment with high dose Rifampicin and Levofloxacin
compared to standard treatment for adult patients with Tuberculous Meningitis. Trials
journal, [Online]. 12, 1-11. Available at: http://www.trialsjournal.com/content/12/1/25
[Accessed 28 April 2015].
Wang, Chun, 2012. Immunogenicity and Protective Efficacy of a Novel Recombinant BCG
Strain Overexpressing Antigens Ag85A and Ag85B. Journal of Immunology Research,
[Online]. 2012, 1-9. Available at: http://dx.doi.org/10.1155/2012/563838 [Accessed 06
May 2015].
Eisenhut, M., 2014. Effect of BCG vaccination against Mycobacterium tuberculosis infection in
children. British Medical Journal, [Online]. 349, 1- 11. Available at:
http://www.bmj.com/content/bmj/349/bmj.g4643.full.pdf