Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna


pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam
bidang bedah urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan
utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup
seseorang. Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan
pada pria yang menapak usia lanjut.1
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat
atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada
leher vesica urinaria dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction
(BOO). Obstruksi yang khusus disebabkan oleh pembesaran prostat disebut sebagai
benign prostate obstruction (BPO).1,2
Banyak faktor yang diduga berperan dalam proliferasi/ pertumbuhan jinak
kelenjar prostat, tetapi pada dasarnya BPH tumbuh pada pria yang menginjak usia tua
dan masih mempunyai testis yang masih berfungsi normal menghasilkan testosteron.
Di samping itu, pengaruh hormon lain (estrogen, prolaktin), diet tertentu,
mikrotrauma, dan faktor-faktor lingkungan diduga berperan dalam proliferasi sel-sel
kelenjar prostat secara tidak langsung. Faktor-faktor tersebut mampu mempengaruhi
sel-sel prostat untuk mensintesis protein growth factor, yang selanjutnya protein
inilah yang berperan dalam memacu terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat.3
Di berbagai daerah di Indonesia, kemampuan melakukan diagnosis dan
modalitas terapi pasien BPH tidak sama karena perbedaan fasilitas dan sumber daya
manusia di tiap-tiap daerah. Walaupun demikian, di daerah terpencil pun diharapkan
dapat menangani pasien BPH dengan sebaik-baiknya.4

1
BAB II
PROSTAT

2.1 EMBRIOLOGI
Secara embriologi, prostat yang merupakan organ kompleks yang terdiri dari
unsur kelenjar, stroma, dan otot polos atau fibromioglandular mulai terbentuk pada
kehamilan minggu ke-12 dengan pengaruh hormone androgen yang berasal dari testis
fetus. Sebagian besar kompleks prostat berasal dari sinus urogenitalis, tetapi mungkin
sebagian dari ductus ejaculatorius, sebagian verumontanum dan sebagian dari bagian
asiner prostat (zona sentral) berasal dari ductus Wolfii.5,6
Prostat berbentuk seperti piramid terbalik dan merupakan organ kelenjar
fibromuskuler yang mengelilingi uretra pars prostatica. Panjang prostat sekitar 3 cm
(1¼ inchi) dan terletak di antara collum vesika urinaria di atas dan diaphragma
urogenitalis di bawah. Prostat dikelilingi oleh kapsula fibrosa. Di luar kapsul terdapat
selubung fibrosa, yang merupakan bagian dari lapisan visceral fascia pelvis. Prostat
mempunyai basis prostatae yang terletak di superior berhadarapan dengan collum
vesicae; dan apex prostatae yang terletak di inferior dan berhadapan dengan
diaphragma urogenitale. Kedua ductus ejaculatorius menembus bagian atas facies
posterior prostatae untuk bermuara ke uretra pars prostatica pada pinggir lateral
utriculus prostaticus.7

Gambar 1. Tractus Urinarius dan Genitalia Pria


Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, di
depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri, pada

2
dewasa muda berukuran 3-4 cm di bagian yang paling lebar dan panjang 4-6 cm
dengan ketebalan 2-3 cm cm dan beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri
atas jaringan fibromuskular dan glandular. 5 Menurut klasifikasi Lowsley; prostat
terdiri dari lima lobus: anterior, posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri.
Sedangkan menurut Mc Neal yang menentukan pembagian zona berdasarkan letak
dan asal keganasan dari prostat, prostat dibagi atas 4 bagian utama:8
1. Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini
merupakan sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang glandular
dapat dibagi menjadi 3 zona (bagian 2,3 dan 4).
2. Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang glandular,
membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara skematik
zona ini dapat digambarkan seperti suatu corong yang bagian distalnya terdiri
dari apex prostat dan bagian atasnya terbuka untuk menerima bagian distal zona
sentral yang berbentuk baji. Saluran-saluran dari zona perifer ini bermuara pada
uretra pars prostatika bagian distal.
3. Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular,
dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus
ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum dan basisnya pada leher buli-
buli. Saluran-salurannya juga bermuara pada uretra prostatika bagian distal.
Zona central dan perifer ini membentuk suatu corong yang berisikan segmen
uretra proximal dan bagianventralnya tidak lengkap tertutup melainkan
dihubungkan oieh stroma fibromuskular.
4. Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang terkecil (5
%), terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang berbentuk silinder
dan dibentuk oleh bagian proximal uretra. Zona transisional dan kelenjar
periuretral bersama-sama kadang-kadang disebut sebagai kelenjar preprostatik.

3
Gambar 2. Skematik Pembagian Prostat Menurut McNeal

2.2 BATAS-BATAS PROSTAT


Batas superior: basis prostat berhubungan dengan collum vesicae. Otot polos
prostate terus melanjut tanpa terputus dengan otot polos collum vesicae. Uretra masuk
pada bagian tengah basis prostatae. Batas inferior: apex prostat terletak pada facies
diafragma urogenitalis. Uretra meninggalkan prostat tepat diatas apex permukaan
anterior.7
Batas anterior: facies anterior prostat berbatasan dengan simphisis pubis,
dipisahkan oleh lemak ekstraperitoneal yang terdapat pada cavum retropubica (cavum
Retzius). Selubung fibrosa prostat dihubungkan dengan permukaan posterior os pubis
dan ligamentum puboprostatica. Ligamentum ini terletak pada pinggir garis tengah
(disamping kanan dan kiri linea mediana) dan merupakan kondensasi (penebalan)
fascia pelvis. Batas posterior: permukaan posterior prostat berhubungan erat dengan
permukaan anterior ampulla recti dan dipisahkan dari rectum oleh septum
retovesicalis (fascia Denonvillier). Septum ini dibentuk pada masa janin oleh fusi

4
dinding ujung bawah excavatio rectovesicalis peritonealis, yang semula menyebar ke
bawah menuju corpus perineale. Batas lateral: facies lateral prostat difiksasi oleh
serabut anterior m. levator ani saat serabut ini berjalan ke posterior dari os pubis.7

Gambar 3. Potongan Sagital Pelvis Laki-laki (buku anatomi)

2.3 STRUKTUR PROSTAT


Kelenjar prostat yang jumlahnya banyak tertanam di dalam campuran otot
polos dan jaringan ikat, dan ductusnya bermuara ke uretra pars prostatica. Prostat
secara tak sempurna dibagi dalam lima lobus. Lobus anterior atau isthmus, terletak di
depan uretra dan tidak mempunyai jaringan kelenjar. Lobus medius adalah kelenjar
yang berbentuk baji yang terletak antara uretra dan ductus ejaculatorius. Permukaan
atasnya dibatasi oleh trigonum vesicae, bagian ini mengandung banyak kelenjar.
Lobus posterior terletak di belakang uretra dan di bawah ductus ejaculatorius dan juga
mengandung kelenjar. Lobus lateral dextra dan sinistra terletak di samping uretra dan
dipisahkan satu sama lain oleh alur vertikal dangkal yang terdapat pada facies
posterior prostat. Lobus lateral mengandung banyak kelenjar.7

2.4 FUNGSI PROSTAT


Fungsi prostat adalah menghasilkan cairan tipis seperti air susu yang
mengandung asam sitrat dan fosfatase asam. Cairan ini ditambahkan ke cairan semen

5
pada saat ejakulasi. Otot polos pada stroma dan kapsula berkontraksi, sekret yang
berasal dari banyak kelenjar diperas masuk ke uretra pars prostatica. Sekret prostat
bersifat alkali yang membantu menetralkan keasaman vagina.7

2.5 PENDARAHAN
Arteri yang memperdarahi prostat berasal dari cabang a. vesicalis inferior dan
a. rectalis media. Vena membentuk pleksus venosus prostaticus yang terletak antara
kapsula prostat dan selubung fibrosa. Plexus venosus prostaticus menerima dari v.
dorsalis profundus penis dan banyak v. vesicalis, dan selanjutnya dialirkan ke v. iliaca
interna.7

Gambar 4. Anatomi Genitalia Pria

2.6 ALIRAN LIMFE


Pembuluh limfe dari prostat mengalirkan cairan limfe ke nodi limfatici iliaca
interna.7

2.7 PERSARAFAN
Prostat manusia mendapat dua macam persarafan yaitu parasimpatik
(kolinergik) dan simpatik (nor adrenergic) melalui plexus otonomik yang terletak
didekat prostat. Plexus ini mendapat masukan parasimpatetik dari medulla spinalis
setinggi S2-S4 dan serat-serat simpatetik dari nervus hipogastrikus presacralis (T 10-
L2).5,9,10
Kedua sistem persarafan itu dalam prostat membentuk jaringan persarafan
yang terjadi dari gabungan yang bersifat cholinergic dan nor adrenergic serta

6
mempunyai reseptor-reseptor di dalam otot polos prostat.10 Saraf-saraf otonom yang
mempersarafi prostat dan juga vesikula seminalis, uretra, dan corpora cavernosa
berasal dari plexus pelvicus yang bersama pembuluh darah membentuk kompleks
saraf dan pembuluh darah (neuro vascular bundle) dan komplek ini berjalan di bagian
posterior prostat dari cranial menuju apex prostat dan umumnya sejajar dengan
dinding rectum.5,8,11
Menurut Gosling, persarafan prostat mempersarafi otot polos yang ada
didalam prostat dan yang bersifat kolinergik juga mempersarafi kapsul prostat,
sedangkan acinus juga menerima persarafan dari kolinergik sehingga perangsangan
parasimpatik akan menambah sekresi sedangkan perangsangan simpatik akan
menyebabkan kontraksi vesicular seminalis sehingga terjadi ejakulasi.5,11

2.8 PROSES MIKSI


Seperti diketahui fungsi utama dari unit vesikouretra adalah menampung urin
untuk sementara, mencegah urin kembali ke arah ginjal dan pada saat-saat tertentu
melakukan ekspulsi urin. Unit vesikouretra terdiri dari buli-buli dan uretra posterior.
Uretra posterior terdiri dari uretra pars prostatika, yang bagian proksimalnya disebut
sebagai leher buli-buli dan uretra pars diafragma yang tidak lain adalah sphincter
eksterna uretra. Unit vesikouretra ini dipelihara oleh sistem saraf otonom yaitu
parasimpatis dan simpatis untuk buli-buli dan uretra proksimal dari diafragma serta
saraf somatis melalui nervus pudendus untuk sphincter eksterna. Sistem persarafan
tersebut memungkinkan terjadinya proses miksi secara bertahap (fase) yaitu:12
Fase Pengisian (Resting/ Filling Phase)
Fase ini terjadi setelah selesai miksi dan buli-buli mulai diisi lagi dengan urin
dari ginjal yang masuk melalui ureter. Pada fase ini tekanan di dalam buli-buli selalu
rendah, kurang dari 20 cmH2O. Sedangkan tekanan di uretra posterior selalu lebih
tinggi antara 60-100 cmH2O.
Fase Ekspulsi
Setelah buli-buli terisi urin sebanyak 200-300 ml dan mengembang, mulailah
reseptor “strechtí” yang ada pada mukosa buli-buli terangsang dan impuls dikirimkan
ke sistem saraf otonom parasimpatis di medula spinalis segmen 2 sampai 4 dan sistem
saraf ini menjadi aktif dengan akibat meningkatnya tonus buli-buli (muskulus
detrusor). Meningkatnya tonus detrusor ini dirasakan sebagai perasaan ingin kencing.

7
Pada saat tonus detrusor meningkat maka secara sinkron leher buli-buli dan uretra
pars prostatika membuka, bentuknya berubah seperti corong dan tekanannya
menurun. Pada keadaan ini inkontinensia hanya dipertahankan oleh sphincter eksterna
yang masih tetap menutup. Bila yang bersangkutan telah mendapatkan tempat yang
dianggap konvivien untuk miksi barulah sphincter eksterna secara sadar dan terjadi
miksi. Pada saat tonus detrusor meningkat sampai terjadinya miksi tekanan
intravesikal mencapai 60-120 cmH2O.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari
cairan ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara
di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada
saat ejakulasi. Cairan ini merupakan kurang lebih 25% dari volume ejakulat. Jika
kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat
membuntu uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih.

Gambar 5. Prostat dan Organ Disekitarnya

8
BAB III
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

3.1 DEFINISI
Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic Hyperplasia) adalah
pertumbuhan jinak kelenjar prostat, yang menyebabkan prostat membesar.13

Gambar 6. Gambaran Prostat Normal dan Pembesaran Prostat


McNeal yakin bahwa pembesaran prostat jinak tidak terjadi pada zona
peripheral dan juga berpendapat bahwa sebagian besar karsinoma prostat yang berasal
dari zona transisional, biasanya jenis karsinoma dengan gradasi rendah (low grade).5,8

Gambar 7. Sel pada Prostat Normal dan Prostat yang Membesar

3.2 EPIDEMIOLOGI
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan
sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang
lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran,

9
yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa
mengalami perubahan hiperplasi. 14
Pembesaran prostat jinak merupakan penyakit tersering kedua di klinik
urologi di Indonesia setelah batu saluran kemih. Penyakit ini seirng juga dikenal
sebagai hipertrofi prostat, meskipun sebenarnya yang terjadi ialah hiperplasia dari
kelenjar periuretral, sedang jaringan prostat asli terdesak ke perifer menjadi kapsul
bedah.15
Angka kejadian (insidens) yang pasti untuk pembesaran prostat jinak di
Indonesia belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran “hospital prevalence” di
RSCM ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak selama tiga tahun (September
1994-Agustus 1997) dan di RS.Sumber Waras 617 dalam periode yang sama.15
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini
dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia
80 tahun. 14
Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan
kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita
akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat
tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya
pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan
mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar
membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik. 14
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30 - 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang
akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya
sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut
diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik. 14

10
Gambar 8. Penderita BPH pada Usia Diatas 40 Tahun dan Akibatnya

3.3 ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia
prostate rat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses
aging (penuaan). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
hyperplasia prostat adalah: a) teori dihidrotestosteron, b) adanya ketidakseimbangan
antara estrogen-testosteron, c) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat, d)
berkurangnya kematian sel (apoptosis), e) teori stem sel.1

11
Gambar 9. Proses Terjadinya BPH
a) Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di dalam sel
prostat oleh enzim 5-alfa reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang
telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-
RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat.1
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim
5-alfa reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap DHT sehingga
replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.1

12
Gambar 10. Zat-Zat yang Berperan Dalam Pertumbuhan Sel Prostat
b) Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun sedangkan kadar
estrogen relative tetap, sehingga perbandingan antara estrogen dan testosterone
relative meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas
sel-sel prostat terhadap rangsangan hormone androgen, meningkatkan jumlah resptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari
semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang ada mempunyai umur
yang lebih panjang sehingga massa prostat lebih besar.1

Gambar 11. Pengaruh Estrogen dan Testosteron terhadap Prostat

13
c) Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
(growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya
proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.1
d) Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologis
untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis
akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim
lisosom.1
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan
kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa,
penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat.1
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti factor-faktor yang
menghambat proses apoptosis. Diduga hormone androgen berperan dalam
menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu
memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan factor pertumbuhan TGF-beta
berperan dalam proses apoptosis.1
e) Teori stem sel
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-
sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung
seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya
proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.1

14
3.4 GAMBARAN KLINIS
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan di luar saluran kemih.4
1. Gejala Klinis
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH disebut sebagai sindroma
prostatisme. Walaupun begitu sindroma ini tidak patogomonik untuk BPH. Obstruksi
intravesikal yang lain dapat pula memberikan gejala klinis seperti sindroma
prostatisme ini. Oleh karena itu istilah ini belakangan sering diganti dengan Lower
Urinary Tract Symptom (LUTS). Sindroma prostatisme ini dibagi menjadi dua, yaitu
gejala obstruktif dan gejala iritatif.
Gejala obstruksi, terdiri dari pancaran melemah, akhir buang air kecil belum
terasa kosong (incomplete emptying), menunggu lama pada permulaan buang air kecil
(hesitancy), harus mengedan saat buang air kecil (straining), buang air kecil terputus-
putus (intermittency), dan waktu buang air kecil memanjang yang akhirnya menjadi
retensi urin dan terjadi inkontinen karena overflow.
Gejala iritatif terdiri dari sering buang air kecil (frequency), tergesa-gesa untuk
buang air kecil (urgency), buang air kecil malam hari lebih dari satu kali (nocturia),
dan sulit menahan buang air kecil (urge incontinence).
Dari kedua macam gejala tersebut, gejala obstruktif biasanya lebih menonjol.
Bila terjadi gejala iritasi lebih menonjol harus dipikirkan penyebab lain selain BPH.
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan
penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH,
dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di
antaranya Skor International Gejala Prostat/ International Prostate Symptom Score
(IPSS) yang diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA).
Tabel 1. Skor Internasional Gejala Prostat
SKOR INTERNASIONAL GEJALA PROSTAT
International Prostate Symptom Score (I-PSS)
Untuk pertanyaan nomor 1-6, jawaban dapat diberikan skor sebagai berikut:
0 = tidak pernah
1 = kurang dari sekali dari 5 kali kejadian
2 = kurang dari separuh kejadian
3 = kurang lebih separuh dari kejadian
4 = lebih dari separuh dari kejadian

15
5 = hampir selalu
Dalam satu bulan terakhir ini, berapa seringkah Anda:
1. Merasakan masih terdapat sisa urin sehabis kencing?
2. Harus kencing lagi padahal belum ada setegah jam yang lalu Anda
baru saja kencing?
3. Harus berhenti pada saat kencing dan segera mulai kencing lagi dan
hal ini dilakukan berkali-kali?
4. Tidak dapat menahan kenginan untuk kencing?
5. Merasakan pancaran urin yang lemah?
6. Harus mengejan dalam memulai kencing?
Untuk pertanyaan nomor 7, jawablah dengan skor dibawah ini:
0 = tidak pernah
1 = satu kali
2 = dua kali
3 = tiga kali
4 = empat kali
5 = lima kali
7. Dalam satu bulan terakhir ini, berapa kali Anda terbangun dari tidur
malam untuk kencing?
TOTAL SKOR (S)=
Pertanyaan nomor 8 adalah mengenai kualitas hidup sehubungan dengan
gejala diatas, jawablah dengan:
1 = sangat senang
2 = senang
3 = puas
4 = campuran antara puas dan tidak puas
5 = sangat tidak puas
6 = tidak bahagia
7 = buruk sekali
8. Dengan keluhan seperti ini, bagaimanakah Anda menikmati hidup ini?
Kesimpulan: S …, L …, Q …, R …, V …
(S = skor I-PSS, L = kualitas hidup, Q = pancaran urin dalam ml/detik, R =
sisa urin, V = volume prostat)

Skor International Gejala Prostat/ International Prostate Symptom Score


(IPSS) merupakan salah satu skor gejala prostat yang dikembangkan oleh The
American Urological Association (AUA) dan telah disetujui oleh WHO untuk dipakai
secara luas. IPSS merupakan kuesioner berisi 7 index gejala traktus urinarius bagian

16
bawah yaitu 4 gejala obstruksi seperti kecing tidak puas (incomplete emptying),
kencing terputus-putus (intermittency, pancaran kencing lemah (weak stream), dan
kencing mengejan (straining) serta 3 gejala iritasi seperti sering kencing (frequency),
tidak dapat menunda kencing (urgency), dan kencing malam hari (nocturia).
IPSS mempunyai manfaat untuk menilai tingkat keparahan gejala,
menentukan cara penanganan, mengevaluasi perkembangan penyakit pada penderita
yang menjalani pengawasan, menilai hasil terapi, menilai pengaruh gejala yang
dialami penderita terhadap kualitas hidup, dan sebagai alat pengukuran yang
konsisten dan telah teruji sehingga memungkinkan untuk membandingkan satu
penderita dengan penderita lain.
Sistem skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski1,2,5.
Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-pertanyaan
untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif. Total skor dapat
berkisar skor < 10 (BPH bergejala ringan), skor 11-20 (BPH bergejala sedang), dan
skor >20 (BPH bergejala berat). Perbedaannya dengan skor AUA adalah dalam skor
Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri derajat keluhannya.
Table 2. Skor Madsen-Iversen
SKOR MADSEN-IVERSEN
Keterangan 0 1 2 3 4
Berubah-
Pancaran Normal Lemah Menetes
ubah
Mengejan saat
Tidak Ya
berkemih
Harus menunggu saat
Tidak Ya
akan berkemih
BAK terputus-putus Tidak Ya
Berubah- Tidak 1 kali >1 kali
BAK tidak lampias Tidak
ubah lampias retensi retensi
Inkontinensia Ya
BAK sulit ditunda Tidak Ringan Sedang Berat
BAK malam hari 0-1 2 3-4 >4
>3 jam Setiap 2-3 Setiap 1-2 <1 jam
BAK siang hari
sekali jam sekali jam sekali sekali

2. Tanda Klinis
Lakukan pemeriksaan fisik pada umumnya dan tentukan pula status
urologisnya. Tanda klinis terpenting dalam BPH adalah ditemukannya pembesaran

17
pada pemeriksaan colok dubur/ digital rectal examination (DRE). Ukuran dan
konsistensi prostat juga perlu diketahui, walaupun ukuran prostat yang ditentukan
melalui DRE tidak berhubungan dengan derajat obstruksi. Pada BPH, prostat teraba
membesar dengan konsistensi kenyal. Apabila teraba indurasi atau terdapat bagian
yang teraba keras, perlu dipikirkan kemungkinan keganasan. Sedangkan jika
didapatkan nyeri tekan, maka dapat dicurigai sebagai prostatitis.
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium:
a. Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis. 
b. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak
BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flowin kontinen).
Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa:
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan
ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan
harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbling (urine terus menerus
setelah berkemih), dan retensi urine akut.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Tanda-tanda vital
- Kesadaran - Tekanan darah
- Gizi - Nadi
- Thorax - Frekuensi napas
- Abdomen - Suhu
- Extremitas

Status Urologis
Ginjal Inspeksi, palpasi bimanual jika membesar
 ballottement, nyeri ketok

18
Vesica Urinaria Jika penuh: inspeksi, palpasi, perkusi
Genitalia Externa Inspeksi dan palpasi pada penis, OUE,
testis, epididymis, vas deferens
DRE (digital rectal examination) Tonus sphincter ani, prostat, tonjolan,
konsistensi, pole atas, nodul, asimetris,
perkiraan besar

Gambar 12. Pemeriksaan colok dubur/ rectal toucher


Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini:
Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong:
- Grade 0: Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum
- Grade 1: Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum
- Grade 2: Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum
- Grade 3: Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum
- Grade 4: Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum 
Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter.
- Normal: Tidak ada sisa
- Grade I: sisa 0-50 cc
- Grade II: sisa 50-150 cc

19
- Grade III: sisa >150 cc
- Grade IV: pasien sama sekali tidak bisa kencing

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, elektrolit serum, perlu dikerjakan
sebagai dasar keadaan umum penderita. Pemeriksaan kadar gula juga perlu dikerjakan
terutama untuk mengetahui kemungkinan adanya neuropati diabetes yang dapat
menyebabkan keluhan miksi. Pemeriksaan urinalisa juga harus dikerjakan, termasuk
pemeriksaan bakteriologiknya. Adanya hematuria berarti perlu evaluasi lenjut secara
lengkap.1
Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA), yang disintesis oleh sel epitel
prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific, juga merupakan salah
satu sarana untuk meramalkan perjalanan penyakit BPH. Dalam hal ini jika kadar
PSA tinggi berarti: pertumbuhan volume prostat lebih cepat, keluhan akibat BPH/ laju
pancaran urin lebih jelek, dan lebih mudah terjadinya retensi urin akut. 1 Hasil PSA
yang normal merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum memulai
terapi medikamentosa BPH. Sebagai pegangan penilaian PSA diinterpretasikan
sebagai berikut:
Nilai PSA dan interpretasinya
0,5-4,0 ng/ml  Normal
4,0-10 ng/ml  Kemungkinan Ca 20% (perlu TRUS & biopsi)
> 10 ng/ml  Kemungkinan Ca 50% (perlu TRUS & biopsi)
Kenaikan > 20% per tahun  Segera rujuk untuk TRUS & biopsi
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif
pancaran urin ini dapat diperiksa dengan uroflowmeter. Jumlah urine yang cukup
untuk mendapatkan flowmetrogram yang representatif paling sedikit 150 ml dan
maksimal 400 ml, yang ideal antara 200-300 ml.1
Penilaian hasil :
Flow rate maksimal : 15 ml/detik : non obstuktif
10-15 ml/detik : border line
10 ml/detik : obstruktif

20
Walaupun ada beberapa prosedur untuk mendiagnosis BPH, uroflowmetri
merupakan cara terbaik dan paling tidak invasif dalam mendeteksi adanya obstruksi
traktus urinarius bagian bawah.1
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
Perkembangan teknik pemeriksaan ultrasonogarfi (USG) membawa manfaat
yang besar bagi evaluasi penderita BPH. Selain itu dengan USG ini dapat pula
diperiksa buli-buli, misalnya ada batu buli-buli, tumor buli-buli, divertikel. Juga dapat
diperiksa jumla residual urine. Terdapat beberapa macam tranducer untuk
pemeriksaan prostat yaitu suprapubic (abdominal), transrektal dan transuretral.1
Pemeriksaan rontgenologik yaitu pyelografi intravena (IVP) sekarang tidak
lagi merupakan pemeriksaan rutin untuk evaluasi penderita BPH tetapi hanya
dikerjakan secara selektif.1
4. Pemeriksaan Panendoskopi:
Dengan pemeriksaan panendoskopi dapat ditentukan secara review:
Keadaan uretra anterior, misalnya adanya striktur uretra.
Keadaan uretra prostatika, bagian prostat mana yang membesar, panjangnya uretra
yang obstruktif karena pembesaran prostat.
Keadaan didalam buli-buli yaitu ada tidaknya tumor, batu, hipertropi dari detrusor,
ada tidaknya selulae atau divertikel dan keadaan muara ureter dan mengetahui
kapasitas buli-buli.

3.6 PATOFISIOLOGI
Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek
perubahannya juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi
pembesaran prostat, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan
detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih
dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli
balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan serat yang
kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar dinamakan divertikel. Fase penebalan
detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut maka
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksin sehingga terjadi retensi urin.1
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir miksi masih ditemukan sisa urin dalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak

21
tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut maka pada suatu saat akan terjadi
kemacetan total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin
terus terjadi maka vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan
intravesika terus meningkat dan dapat terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita
terus mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena
selalu terbentuk sisa urin terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini
dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu juga dapat
menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.1

3.7 DIAGNOSIS

22
Diagnosa ditegakkan dari anamnesa yang meliputi keluhan dari gejala dan
tanda obstruksi dan iritasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk
merasakan/meraba kelenjar prostat. Dengan pemeriksaan ini bisa diketahui adanya
pembesaran prostat, benjolan keras (menunjukkan kanker) dan nyeri tekan
(menunjukkan adanya infeksi).1

Selain itu biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui fungsi


ginjal dan untuk penyaringan kanker prostat (mengukur kadar antigen spesifik prostat
atau PSA). Pada penderita BPH, kadar PSA meningkat sekitar 30-50%. Jika terjadi
peningkatan kadar PSA, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
menentukan apakah penderita juga menderita kanker prostat.1

3.8 DIAGNOSIS BANDING


Oleh karena proses miksi tergantung pada beberapa faktor maka faktor ini
pula yang dapat menjadi diagnosis banding BPH, yaitu:1
1. Kekuatan otot detrusor berkontraksi
Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh karena kelainan syaraf
(neurogenik bladder), misalnya pada lesi medulla spinalis, neuropathy

23
diabeticum, sehabis operasi radikal yang mengorbankan persyarafan didaerah
pelvis, alkoholisme, penggunanan obat penenang, ganglion blocking agent,
dan obat parasimpatolitik (seperti obat yang sering dikonsumsi penderita asma
kronik).
2. Elastisitas leher vesika
Kekakuan leher vesika dapat disebabkan oleh proses fibrosis (bladder neck
contracture).
3. Resistensi uretra
Resistensi uretra dapat disebabkan oleh karena pembesaran prostat jinak atau
ganas, tumor dileher vesika, batu di uretra atau striktura uretra. Kelainan-
kelainan tersebut dapat dilihat bila dilakukan sistoskopi. Disamping itu,
meskipun di Indonesia jarang terjadi, obstruksi infravesikal dapat disebabkan
oleh gangguan fungsi misalnya dissynergia detrusor sfingter.
Maka setiap kesulitan miksi yang dialami penderita dapat disebabkan oleh
ketiga faktor tersebut.
Adapun penyakit-penyakit yang gejala-gejalanya menyerupai hipertofi prostat
jinak diantaranya adalah sebagai berikut berserta klinis dan pemeiksaan yang
membedakan dengan BPH:1
1. Ca Prostat
Keluhan sesuai gejala saluran kemih bagian bawah (Lower urinary tract
symptoms = LUTS), yaitu gejala obstuktif dan iritatif. Kecurigaan umumnya berawal
dari ditemukan nodul yang secara tidak segaja pada pemeriksaan rektal. Nodul yang
irreguler dan keras harus dibiopsi untuk menyingkirkan hal ini. Atau didapatkan
jaringan yang ganas pada pemeriksaan patologi dari jaringan prostat yang diambil
akibat gejala BPH. Kanker ini jarang memberikan gejala kecuali bila telah lanjut.
Dapat terjadi hematuria, gejala-gejala obstruksi, gangguan saraf akibat penekanan
atau fraktur patologis pada tulang belakang. Atau secara singkat kita anamnesa dan
kita akan dapatkan sebagai berikut :
- Terjadi pada usia >60 tahun
- Nyeri pada lumbosakral menjalar ke tungkai
- Prostatismus dan hematuri
- Rectal toucher: permukaannya berbenjol, keras, fixed
2. Prostatitis

24
Gejala dan tanda prostatitis akut terdiri dari demam dengan suhu yang tinggi,
kadang dengan gigilan, neri peineal atau pinggang rendah, sakit sedang atau berat,
mialgia, antralgia. Karena pembengkan prostat biasanya ada disuria, kadang sampai
retensi urin. Kadang didapatkan pengeluaran nanah pada colok dubur setelah masase
prostat. Sedangkan pada prostatitis kronis gejala dan tanda tidak khas. Gambaran
klinik sangat variabel, kadang dengan keluhan miksi, kadang nyeri perineum atau
pinggang. Dan diagnosa dapat ditegakan dengan diketemukan adanya leukosit dan
bakteria dalam sekret prostat. Jadi hal-hal yang perlu sekali kita perhatikan agar dapat
membedakan dengan BPH yaitu :
- Adanya nyeri perineal
- Demam
- Disuri, polaksiuri
- Retensi urin akut
- Rectal toucher: jika ada abses didapatkan fluktuasi (+)
3. Neurogenik Bladder
Adapun gejala dan tanda yamg kita peroleh dari anamnesa adalah :
- Lesi sakral 2 – 4
- Rest urin (+)
- Inkontinensia urin
4. Striktura Uretrha
Sumbatan pada uretrha dan tekanan kandung kemih yang tinggi dapat
menyebabkan imbibisi urin keluar kandung kemih atau uretra proksimal dari striktura.
Gejala khas adalah pancaran urin yang kecil dan bercabang. Gejala lain adalah iritasi
dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuri, kadang-kadang dengan infiltat, abses,
fistel. Gejala lanjut adalah retensi urin.

3.9 TATA LAKSANA


Penatalaksanaan terhadap BPH dibagi menjadi watchful waiting,
medikamentosa, minimal invasive, dan pembedahan (operatif). Hal ini dapat
didasarkan pada skor IPSS yang didapatkan dari penderita.16,17
Watchful waiting 
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan (skor IPSS <3). 16,17
1. Pasien diberi nasihat agar mengurangi minum setelah makan malam agar
mengurangi nokturia.

25
2. Menghindari obat-obat parasimpatolitik (mis: dekongestan).
3. Mengurangi kopi.
4. Melarang minum minuman alkohol agar tidak terlalu sering buang air kecil.
Penderita dianjurkan untuk kontrol setiap tiga bulan untuk diperiksa: skoring,
uroflowmetri, dan TRUS.
5. Bila terjadi kemunduran, segera diambil tindakan.
Medikamentosa
Pilihan terapi non-bedah adalah pengobatan dengan obat (medikamentosa).
Terdapat tiga macam terapi dengan obat yang sampai saat ini dianggap rasional, yaitu
dengan penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan fitoterapi.
14,16,17

 Penghambat adrenergik a-1


Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor a-1 yang banyak ditemukan
pada otot polos ditrigonum, leher buli-buli, prostat, dan kapsul prostat. Dengan
demikian, akan terjadi relaksasi di daerah prostat sehingga tekanan pada uretra pars
prostatika menurun dan mengurangi derajat obstruksi. Obat ini dapat memberikan
perbaikan gejala obstruksi relatif cepat.
Efek samping dari obat ini adalah penurunan tekanan darah yang dapat
menimbulkan keluhan pusing (dizziness), lelah, sumbatan hidung, dan rasa lemah
(fatique).
Pengobatan dengan penghambat reseptor a-1 masih menimbulkan beberapa
pertanyaan, seperti berapa lama akan diberikan dan apakah efektivitasnya akan tetap
baik mengingat sumbatan oleh prostat makin lama akan makin berat dengan
tumbuhnya volume prostat. Contoh obat: prazosin, terazosin dosis 1 mg/ hari, dan
dapat dinaikkan hingga 2-4 mg/ hari. Tamsulosin dengan dosis 0.2-0.4 mg/ hari.
 Penghambat enzim 5a reduktase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim 5a reduktase, sehingga
testosteron tidak diubah menjadi dehidrotestosteron. Dengan demikian, konsentrasi
DHT dalam jaringan prostat menurun, sehingga tidak akan terjadi sintesis protein.
Obat ini baru akan memberikan perbaikan simptom setelah 6 bulan terapi.
Salah satu efek samping obat ini adalah menurunnya libido dan kadar serum
PSA2. Contoh obat : finasteride dosis 5 mg/ hari.
 Kombinasi penghambat adrenergik a- 1 dan penghambat enzim 5a reduktase

26
Terapi kombinasi penghambat adrenergik a-1 dan penghambat enzim 5a
reduktase pertama kali dilaporkan oleh Lepor dan kawan-kawan pada 1996. Terdapat
penurunan skor dan peningkatan Qmax pada kelompok yang menggunakan
penghambat adrenergik a-1. Namun, masih terdapat keraguan mengingat prostat pada
kelompok tersebut lebih kecil dibandingkan kelompok lain. Penggunaan terapi
kombinasi masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Fitoterapi
Terapi dengan bahan dari tumbuh-tumbuhan populer diberikan di Eropa dan
baru-baru ini di Amerika. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan
seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla, Curcubita
pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan Secale cerelea. Masih diperlukan
penelitian untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya.14
Minimal invasive
Meliputi :
1) TUBD (Transurethral Balloon Dilatation)
Dengan menggunakan balon kateter yang berkapasitas antara 75F-110F
dengan tekanan antara 3-5 atmosfir, uretra prostatika di dilatasi selama 10-30 menit.
Terapi ini dikerjakan untuk BPH yang kecil dan tanpa pembesaran dari lobus medius.
Terdapat perbaikan keluhan dan flowmetrik sampai 3-6 bulan sesudah tindakan
walaupun secara sitoskopik ternyata tidak ada perbedaan di daerah uretra prostatika
pra dan pasca tindakan.18
2) Prostat Stent
Stent dibuat dari bahan kawat yang dianyam hingga berbentuk tabung. Stent
dipasang di uretra prostatika untuk mencegah berdempetnya prostat. 18
3) Terapi Termal , dibagi menjadi tiga macam antara lain14:
a. Hipertermi
Kelenjar prostat dipanasi 41-45° C, dan pemanasannya dikerjakan dengan
menggunakan “probe” baik transrektal ataupun transuretral. Pemanasan dilakukan
beberapa kali dengan frekwensi 1-2 kali/ minggu. Setiap kali pemanasan berlangsung
kurang lebih satu jam.
b. TUMT (Transurethral Microwave Thermotherapy)
Termoterapi adalah penyempurnaan dari terapi hipertermia. Dengan
menggunakan kateter 22F yang dihubungkan dengan sumber panas mikrowave 1296
MHZ, prostat dipanaskan 45-60° C, sementara itu secara terus-menerus uretra

27
didinginkan sehingga mukosanya tidak rusak. Temperatur juga dipantau terus
menerus. Dengan pemanasan yang cukup tinggi tadi akan terjadi destruksi, koagulasi
dan akhirnya nekrosis. Pada termoterapi pemanasan dilakukan satu kali.
Keuntungannya adalah tidak memerlukan anestesi umum maupun regional, tetapi
peralatannya relatif mahal
c. TUNA (Transurethral Needle Ablation)
Dengan menggunakan alat khusus yang dimasukkan ke kelenjar prostat,
kemudian dengan microwave prostat dipanaskan sampai 120°C. Hasil yang pernah
dilakukan menunjukkan perbaikan flow maksimal dari 9 ml/ deti menjadi 17 ml/
detik. Penelitian multi senter terus dikerjakan agar mendapat kasus yang cukup
banyak untuk dapat diambilk kesimpulan guna generalisasi.
Pembedahan (operatif)
Pembedahan biasanya dilakukan terhadap penderita yang mengalami14:
- inkontinensia uri
- hematuria
- retentio uri
- infeksi saluran kemih berulang
Prostatektomi digolongkan dalam 2 golongan14:
1. Prostatektomi tertutup
2. Prostatektomi terbuka
Pemilihan prosedur pembedahan biasanya tergantung kepada beratnya gejala
serta ukuran dan bentuk kelenjar prostat.
a. TURP (Trans Urethral Resection of the Prostate)

Gambar 13. Tindakan TURP


TURP merupakan pembedahan BPH yang paling sering dilakukan. Endoskopi
dimasukkan melalui penis (uretra). Keuntungan dari TURP adalah tidak dilakukan
sayatan sehingga mengurangi resiko terjadinya infeksi. 88% penderita yang menjalani

28
TURP mengalami perbaikan yang berlangsung selama 10-15 tahun. Impotensi terjadi
pada 13,6% penderita dan 1% mengalami inkontinensia uri.18
b. TUIP (Trans Urethral Incision of the Prostate)
TUIP menyerupai TURP, tetapi biasanya dilakukan pada penderita yang
memiliki prostat relative kecil. Pada jaringan prostat dibuat sebuah sayatan kecil
untuk melebarkan lubang uretra dan lubang pada kandung kemih, sehingga terjadinya
perbaikan laju aliran air kemih dan gejala berkurang. Komplikasi yang mungkin
terjadi adalah perdarahan, infeksi, penyempitan uretra, dan impotensi.18
c. TULP (Trans Urehral Laser Prostatectomy)
Kelenjar prostat pada suhu 600-650C akan mengalami koagulasi dan pada suhu
yang lebih dari 1000C mengalami vaporisasi. Pemakaian laser ternyata lebih sedikit
menimbulkan komplikasi dan penyembuhan lebih cepat, tetapi meningkatkan
perbaikan gejala miksi tidak sebaik TURP. Disamping itu terapi ini membutuhkan
terapi ulang 2% setiap tahun.
d. Prostatektomi Terbuka
Sebuah sayatan bisa dibuat di perut (melalui struktur di belakang tulang
kemaluan/retropubik dan diatas tulang kemaluan/suprapubik atau di daerah perineum
(dasar panggul yang meliputi skrotum sampai anus). Pendekatan melalui perineum
saat ini jarang digunakan lagi karena angka kejadian impotensi setelah pembedahan
mencaai 50%. Pembedahan ini memerlukan waktu dan biasanya penderita harus
dirawat selama 5-10 hari. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah impotensi (16-
32%, tergantung kepada pendekatan pembedahan) dan inkontinensia uri (kurang dari
1%).18
Dikenal 3 cara:
a. Prostatektomi suprapubik transvesikalis (Freyer)
Balfied tahun 1887 pertama kali melakukan pembedahan cara ini, kemudian
oleh Sir Peter Freyer dari London dilaporkan pada kongres SIU di Paris tahun
1900.
b. Prostatektomi retropubik (Terence Millin)
Tahun 1945 dikenalkan oleh Terence Millin dari Inggris
Keuntungan : Sumber perdarahan jelas dan apeks prostat lebih mudah dicapai.
Operasi terbuka ini dianjurkan pada BPH dengan berat lebih dari 50 gram atau
yang diperkirakan tidak dapat reseksi dengan sempurna dalam waktu satu jam.
BPH yang disertai penyulit, misalnya batu buli-buli yang diameternya lebih

29
dari 2,5 cm atau multipel dan bila tidak tersedia fasilitas untuk melakukan
TUR Prostat baik sarana maupun tenaga ahlinya.
c. Prostatektomi perinealis (Young)
Dalam pendekatan ini, ahli bedah menghilangkan prostat melalui sayatan di
kulit antara skrotum dan anus. Saraf-sparing lebih sulit untuk dicapai, dan
pendekatan ini mungkin kurang efisien jika kelenjar getah bening perlu
dihilangkan atau diperiksa sebelum prostat akan diangkat.

3.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak
mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan
apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal.17
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin
dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi
dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). 17

3.11 PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak segera
ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker
prostat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker pembunuh nomor 2
pada pria setelah kanker paru-paru. BPH yang telah diterapi juga menunjukkan
berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita. 17

30
BAB IV
KESIMPULAN

Semakin lanjut usia semakin banyak dijumpai pria yang menderita BPH dengan
keluhan mulai terjadi perubahan dalam berkemih, tidak bisa berkemih, sampai
keluhan yang lebih berat karena komplikasi yang terjadi akibat BPH. Diagnosis
didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pendekatan melalui
pemeriksaan penunjang yang turut berfungsi sebagai kontrol terhadap terapi yang
diberikan. Penentuan terapi yang tepat paling sering didapatkan dari hasil IPSS yang
harus dijawab oleh pasien sebelumnya. Terapi yang diberikan berupa pemberian obat-
obatan berupa penghambat adrenergik a-1, penghambat enzim 5a reduktase, dan
fitoterapi sampai dengan tindakan invasif seperti prostatektomi terbuka, TURP, TUIP,
TULP, TUMT, HIFU, stent uretra, TUNA, dan ILC yang dipilih sesuai dengan
indikasi dan keadaan umum pasien. Pada gejala yang ringan (skor IPSS <7), penderita
BPH tidak diberikan terapi apapun melainkan hanya menjalankan program watchful
waiting dengan pemantauan IPSS secara berkala untuk menentukan terapi
selanjutnya.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Roehrborn CG, McConnell JD. Etiology, Pathophysiology, Epidemiology, and


Natural History of Benign Prostatic Hyperplasia. Dalam: Campbell’s Urology,
edisi ke-7. Editor: Walsh PC, Retik AB, Vaughan ED, dan Wein AJ.
Philadelphia: WB Saunders Co; 2000. p. 1297-330, 1429-52.
2. Chatelain CH, Denis L, Foo JKT, et al. Recommendations of The International
Scientific Committee: Evaluation and Treatment of Lower Urinary Tract
Symptoms (LUTS) in older man. Dalam: Chatelain Ch, Denis L, Foo JKT.
Khoury S, McConnell J (editors). Benign Prostatic Hyperplasia. 5th
International Consultation on BPH. London, Health Publication Ltd; 2000. p.
519-35.
3. Lee C, Cockett A, Cussenot O, Griflith K, Isaac W, Shalken J. Regulation of
Prostatic Growth. Dalam: Chatelain CH, Denis L, Foo KT, Khoury S,
McConnell J (editors). Benign Prostatic Hyperplasia. 5th International
Consultation on BPH. London, Health Publication Ltd; 2001. p.79-116.
4. Ramsey EW Elhilail M, Goldenberg SL, Nickel CJ, Norman R, Perreault JP et
al. Practice Patterns of Canadian Urologist in BPH and Prostate Cancer. J Urol
163; 2000. p. 499-502.
5. Narayan P. Neoplasma of The Prostate Gland inTanagho EA, Mc Annich JW
(eds). Smith’s General Urology. Appleton and Lange 1992; 13: p.378-9.
6. Rous SN. Anatomy of The Prostate in Rous SN (ed) Urology, A Core
Textbook 2nd edition. Blackwell Science 1996: p. 186-8.
7. Snell R. Anatomi Klinik. Pelvis: Bagian II Cavitas Pelvis. In: Hartanto H,
Listiawati E, Suyono Y, Susilawati, Mahatmi T, Prawira J, et al, Editors.
Anatomi Klinik. 6th ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 350-2.
8. Mc Neal JE. Prostate and Prostatic Urethra: A Morphologic Study. J Urol
1972;107:1008.
9. Vaalsti A, Herronen A. Autonomic Innervation of The Human Prostate. Invest
Urol 198;17: p.293.
10. Lepor H, Gregerman M, Crosby R et al. Precise Localization of The
Autonomic Nerves from The Pelvic Plexus to The Corpora Cavernosa: A
Detailed Anatomical Study of The Adult Male Prostate. J Urol 1985; 133: p.
207-12.

32
11. Dixon JS, Gosling JA. Macro Anatomy of The Prostate in Kirby R, McConnel
JM, Fitzpatrick J, Rochborn C, Boyle P (eds). Textbook of Benign Prostate
Hyperplasia. ISIS Medical Media Oxford 1996: p. 3-10.
12. Sherwood L. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Ed ke-2. Jakarta: EGC;
2001. p. 499-502.
13. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi
ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85.
14. Kirby R, Christmas TJ. Benign Prostate Hyperplasia, 2 nd ed. Mosby
International, 1997: p. 1-6.
15. Rahardjo D, Birowo P. Karakteristik Penderita-Penderita Pembesaran Prostat
Jinak di RS.Sumber Waras dan RSCM. Submitted to MKI.
16. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. Panduan Penatalaksanaan (Guidelines) Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) di Indonesia. Jakarta. 2003. p. 15-35.
17. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-Kelainan Jinak, Diagnosis, dan Penanganan.
Jakarta: 1999. p. 42-55.
18. Medicastore. [Internet] Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic
Hyperplasia). Available from: URL:
http://medicastore.com/penyakit/557/Pembesaran_Prostat_Jinak_BPH_Benign
_Prostatic_Hyperplasia.html. Accessed on: November 25, 2013.

33

Anda mungkin juga menyukai