Anda di halaman 1dari 16

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN INFLAMMATORY


BOWEL DISEASE

J. N. E. Joseph, B.J. Waleleng

DIPENTASKAN DI DEPAN FORUM ILMIAH PROGRAM


PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/KSM ILMU
PENYAKIT DALAM FK UNSRAT RSUP PROF. DR. R.D.
KANDOU MANADO
2020
PENDAHULUAN
Inflammatory bowel disease (IBD) menggambarkan suatu kondisi
peradangan saluran cerna kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis
ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC) dan IBD type unclassified (IBDU, dulunya
dikenal sebagai indeterminate colitis).1 Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya
dimengerti. Faktor genetik dan lingkungan dalam saluran cerna seperti perubahan
bakteri usus dan peningkatan permeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan
dalam gangguan imunitas saluran cerna yang berujung pada kerusakan saluran
cerna.1-3
Insidens IBD sejak akhir Perang Dunia ke II di negara Barat sampai
dasawarsa 90-an selalu meningkat dan cenderung terjadi pada kelompok kulit
putih, sosial ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi oral dan diet
rendah.4 Gambaran klinis kedua entitas IBD dapat berbentuk ringan, dalam arti
mencapai remisi tanpa penggunaan obat-obatan dalam jangka lama atau dalam
bentuk kronik aktif yakni pasien mengalami remisi hanya jika mengonsumsi obat-
obatan dalam jangka lama. Mengingat patofisiologi IBD yang diterima luas
berupa adanya respons imun berlebihan pada saluran cerna maka secara umum
terapi IBD saat ini lebih banyak berupa anti-inflamasi atau imunosupresan. 2,3,5
Dalam beberapa waktu terakhir, kemajuan pesat terjadi dalam hal pengobatan
IBD, khususnya terapi biologi.
Penatalaksanaan IBD sejatinya tidak hanya berupa terapi medis melainkan
harus melalui tiga pendekatan yakni rencana diagnostik, rencana terapeutik dan
rencana edukasional. Tulisan ini akan lebih menitikberatkan pada rencana
terapeutik IBD.

EPIDEMIOLOGI
Sekitar satu hingga dua juta orang di Amerika Serikat diperkirakan
mengalami KU ataupun PC, dengan insindens berkisar 70-150 kasus per 100.000
individu. Sedangkan di Eropa, insidens KU berkisar 7.3 kasus per 100.000
penduduk dan insidens PC sekitar 5.8 kasus per 100.000 penduduk. 6 Di Indonesia

1
sendiri belum ada studi epidemiologi mengenai IBD, data masih didasarkan
laporan rumah sakit saja (hospital based). Simadibrata dari Jakarta pada tahun
2002 melaporkan 5.2% kasus PC dan KU dari seluruh total kasus kolonoskopi
yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo. Dari data di unit endoskopi pada
beberapa rumah sakit di Jakarta (RSCM, RS Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS
Jakarta) terdapat kesan bahwa kasus IBD berkisar 12.2% kasus yang dikirim
dengan diare kronik, 3.9% kasus hematoschezia, 25.9% kasus diare kronik
berdarah dan nyeri perut, sedangkan pada kasus nyeri perut didapatkan sekitar
2.8%. Data ini juga menyebutkan bahwa secara umum, kejadian KU lebih banyak
daripada kasus PC.4 Secara global dikatakan bahwa insidens IBD adalah 10 kasus
per 100.000 penduduk, KU 2.2–14.3 kasus per 100.000 penduduk dan PC 3.1–
14.6 kasus per 100.000 penduduk.6

ETIOPATOGENESIS

Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya dimengerti. Banyak
teori diajukan namun belum ada kausa tunggal yang diketahui sebagai penyebab
IBD. Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi imunologi pada
individu yang memang rentan secara genetis. IBD diyakini merupakan hasil
respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada flora normal
usus yang berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus. Kondisi ini didukung
dengan adanya temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan diidentifikasinya
gen CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya IBD.7 Secara genetis,
disebutkan bahwa adanya mutasi pada gen NOD2 (gen IBD1) atau CARD15 (gen
NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan dengan terjadinya IBD (terutama untuk
PC). Meski demikian, gen-gen ini tidak disebutkan bersifat kausal terhadap IBD. 8
Secara konsep, patogenesis IBD dapat digambarkan seperti pada gambar 1.

2
Tabel 1 Gambaran Klinis IBD

Klinis Kolitis ulseratif (KU) Penyakit Crohn (PC)


Diare kronik ++ ++
Hematoschezia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa abdomen (-) ++
Fistulasi + ++
Stenosis/ striktur + ++
Keterlibatan usus halus + ++
Keterlibatan rectum 95% 50%
Ekstra-intestinal + +
Megatoksik kolon + +
Keterangan: ++ = sering; + = kadang; + = jarang; (-) = tidak ada

Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali adanya


infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan
dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade
proses inflamasi pada dinding usus.4
Banyak mediator inflamasi telah dikenali dalam patogenesis IBD. Sitokin
yang dilepaskan oleh makrofag sebagai respons terhadap berbagai stimulus
antigenik akan berikatan dengan beragam reseptor dan menghasilkan efek
autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin mengubah limfosit menjadi sel T dimana
sel T helper-1 (Th-1) berperan dalam patogenesis PC dan sel T-helper 2 (Th-2)
berperan dalam KU. Respons imun ini akhirnya akan merusak mukosa saluran
cerna dan memicu terjadinya kaskade proses inflamasi kronik.9
Banyak studi pada beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa
adanya heparan sulfate proteoglycans (HSPGs) terikat mengatur aktivitas
berbagai faktor inflamasi.10 Syndecan-1 (Sdc-1) merupakan contoh penting dari
3
HSPGs yang menutup permukaan sel epitel.11 Sdc-1 memiliki beragam peranan
biologis diantaranya penyembuhan luka, tumorigenesis, dan pengaturan respons
inflamasi. Peranan Sdc-1 dalam hal respons inflamasi adalah dengan mengatur
sinyal sitokin pro-inflamasi, khususnya tumor necrosis factor-α (TNF-α).11 Day
dkk (1999) mendapatkan adanya penurunan ekspresi Sdc-1 pada pasien-pasien
KU yang dikaitkan dengan gangguan penyembuhan ulkus pada kolon.12
Floer dkk melakukan penelitian pada tikus percobaan dengan defisit
ekspresi Syndecan-1 (Sdc-1).11 Ia mendapatkan bahwa Sdc-1 berperan dalam
mempertahankan integritas mukosa dengan mempengaruhi fungsi sel epitel,
proliferasi sel, ekspresi kemokin dan sitokin. Kekurangan atau penurunan ekspresi
Sdc-1 akan meningkatkan ekspresi sitokin pro-inflamasi terutama TNF-α, selain
itu juga mengganggu proses penyembuhan luka. Dalam studinya, Floer
mendapatkan bahwa pemberian enoxaparin mampu mengurangi kerusakan kolon
pada tikus dengan defisit ekspresi Sdc-1.11 Pengetahuan ini penting karena
memberikan alternatif baru dalam hal penatalaksanaan IBD.

Gambar 1 Konsep dasar patogenesis IBD 4

4
Pada KU, proses peradangan dimulai direktum dan meluas ke proksimal
secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan seluruh bagian kolon.
Lesi biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus. Inflamasi
hampir tidak pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis
juga terdapat peradangan. Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada KU,
tidak adanya skip area yakni area normal di antara daerah lesi menjadi penanda
khas KU sehingga dapat dijadikan pembeda dengan PC.4,9
Pada PC, peradangan dapat melibatkan seluruh mukosa saluran cerna
dimulai dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas
yakni adanya peradangan, striktur, dan fistula. Berbeda dengan KU, lesi pada PC
tidak hanya melibatkan mukosa dan submukosa namun juga dapat transmural. Hal
ini menjadi penanda patologis yang khas untuk PC. Selain itu, lesi pada PC
bersifat diskontinu sehingga akan ditemukan skip area.4,9

GAMBARAN KLINIS
Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah,
dan nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna
(ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema
nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat dijumpai gambaran
sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti anemia, demam, gangguan
nutrisi.3,4,9 Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan klinis IBD bersifat

5
kronik-eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan fase
remisi.4
Pemahaman atas proses inflamasi yang terjadi pada patogenesis IBD akan
membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas IBD.
Misalnya kita akan menemui keluhan yang lebih seragam pada KU dibandingkan
PC karena distribusi anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon
sedangkan pada PC lebih bervariasi. Perbedaan gambaran klinis dan patologis
antara KU dan PC disajikan dalam tabel 1 dan tabel 2. Namun perlu diingat
bahwa terkadang sulit membedakan gambaran IBD dengan penyakit lain yang
kerap ditemukan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yakni kolitis
infeksi dan tuberculosis usus.4
Secara umum, terdapat kriteria klinik sebagai gambaran aktivitas penyakit
untuk keperluan pedoman keberhasilan pengobatan maupun penetapan fase remisi
yakni Disease Activity Index (DAI) yang didasarkan pada frekuensi diare, ada
tidaknya perdarahan peranal, penilaian kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan
endoskopi serta penilaian keadaan umum pasien.

PENATALAKSANAAN IBD
Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga macam pendekatan, yakni
rencana diagnostic, rencana terapeutik, dan rencana edukasional.

Rencana Diagnostik Pemeriksaan Serologik untuk Penanda IBD


Secara laboratorik, tidak ada parameter yang spesifik untuk IBD.
Umumnya yang digunakan adalah parameter penanda inflamasi secara umum
seperti laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP). Pada PC, kadar
CRP serum berkorelasi positif dengan aktivitas penyakit dan dengan penanda
inflamasi lainnya sesuai dengan indeks aktivitas PC. Peningkatan kadar CRP >
45mg/L pada pasien IBD dapat membantu klinisi untuk mengambil keputusan
perlunya dilakukan kolektomi.7 Dikatakan pemeriksaan kultur tinja dapat
membantu penentuan apakah peradangan disebabkan oleh infeksi atau non-
infeksi.
Dewasa ini, dikatakan pula bahwa pemeriksaan serologi dapat membantu
menegakkan diagnosis IBD dan dapat membedakan antara KU dan PC yakni
6
dengan pemeriksaan pANCA (perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody)
untuk pasien KU dan anti-saccharomyces cerevisiae antibody (ASCA) untuk
pasien PC. p-ANCA ditemukan pada 50-67% kasus KU meski juga dapat
ditemukan pada 6 sampai 15% kasus PC. ASCA lebih sering dijumpai pada PC,
yakni sekitar 40 sampai 60%, dan hanya sekitar 4 sampai 14% dijumpai pada
KU.7 Sayangnya, pemeriksaan ini tidak terlalu sensitif mendiagnosis IBD
sehingga tidak tepat sebagai modalitas diagnostik tunggal.10 Meski begitu,
kombinasi pemeriksaan p-ANCA dan ASCA dapat membantu meningkatkan
spesifisitas hingga lebih dari 90%. Pola hasil kombinasi untuk KU adalah ASCA
negatif/p-ANCA positif sedangkan untuk PC adalah ASCA positif/p-ANCA
negatif. Untuk pemantauan terapi, kedua pemeriksaan ini tidak dianjurkan
mengingat kadar ANCA maupun ASCA tetap tinggi setelah terapi.7
Terdapat penurunan kadar ekspresi Syndecan-1 (Sdc-1) pada IBD
khususnya pada KU.11,12 Pemeriksaan ekspresi Syndecan-1 dapat membantu
menegakkan diagnosis penyakit IBD meski masih terbatas guna kepentingan
penelitian. Baru-baru ini, adanya target antigen mikroba khusus seperti OmpC
(Eschericia coli outer membrane porin), I2 dan flagelin CBir1 pada sebagian besar
pasien PC. Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa jumlah atau tingkat
respons imun terhadap beberapa antigen berkaitan dengan keparahan perjalanan
penyakit. Hal ini memerlukan penelitian-penelitian yang lebih dalam lagi.7

7
Gambar 2 Algoritma rencana terapeutik KU di Pelayanan Lini Kesehatan Primer 4

Gambar 3 Algoritma rencana terapeutik PC di Pelayanan Kesehatan Lini Pertama 4

Pemeriksaan endoskopi berperan sangat penting dalam penegakan


diagnosis sekaligus terapi IBD dengan akurasi diagnostik berkisar 89%.4
Umumnya, pemeriksaan endoskopi diikuti dengan pemeriksaan histopatologi
sediaan biopsi. Pemeriksaan lain seperti pencitraan dengan kontras ganda dapat
dilakukan sebagai alat konfirmasi endoskopi.

Rencana Terapeutik
Fokus utama rencana Terapeutik adalah upaya penghambatan kaskade
proses inflamasi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Secara umum, prinsip
terapi IBD adalah (1) mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat hingga
tercapai remisi; (2) mencegah peradangan berulang dengan mempertahankan
remisi selama mungkin; dan (3) mengobati serta mencegah komplikasi. Sayang
tidak semua lini kesehatan memiliki fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu
algoritma penatalaksanaan terutama pada lini kesehatan primer (gambar 2 dan 3).
Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap terakhir jika medikamentosa gagal
atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi misalnya perforasi usus,

8
perdarahan persisten, stenosis usus fibrotik, obstruksi, degenerasi maligna ataupun
megakolon toksik yang sering terjadi pada KU.4,5
Skema ringkas metode pengobatan masing-masing KU dan PC diilustrasikan
dalam gambar 4 dan 5.

Pengobatan Umum
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000
mg per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit,
terutama PC. Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi antibiotik. Antibiotik
diberikan dengan latar belakang bahwa salah satu agen proinflamasi disebabkan
oleh bakteri intraluminal. Sebagian besar bakteri intraluminal bersifat komensal
dan tidak menginduksi reaksi inflamasi namun mereka masih mampu
memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel intestinal untuk menekan
kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin proinflamasi dan meningkatkan
produksi interleukin 10.10 Interaksi antara bakteri pejamu ini dikenal dengan
istilah disbiosis.5 Pemberian probiotik seperti laktobasilus berperan dalam upaya
mencapai kondisi 85% remisi klinis dan endoskopis pada pasien pasca
kolektomi.14-16

Pengobatan Radang Aktif


Dua golongan obat yang dikenal luas untuk mengobati radang aktif IBD
bertujuan menginduksi remisi secepat mungkin adalah kortikosteroid dan asam
amino salisilat.

Kortikosteroid
Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid masih merupakan obat
pilihan untuk IBD derajat sedang dan berat dalam fase peradangan aktif.
Pemilihan obat steroid konvensional, seperti prednison, metilprednisolon ataupun
steroid enema, masih menjadi primadona karena harga yang murah dan
ketersediaan yang luas. Dosis umumnya adalah setara 40 – 60 mg prednison.
Namun, jangan dilupakan efek sistemik obat-obatan ini. Idealnya, dicapai kadar

9
steroid yang tinggi pada dinding usus namun dengan efek sistemik yang rendah.
Umumnya, preparat yang digunakan dewasa ini adalah budesonid. Remisi
biasanya tercapai dalam waktu 8 – 12 minggu yang kemudian diikuti dengan
penurunan dosis (tapering down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga tercapai
dosis 40 mg atau 5 mg per minggu hingga tercapai 20 mg. Kemudian dosis
ditapering off 2.5 mg per minggu.1

Asam Aminosalisilat
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini lebih
disukai dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil meski

10
efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia, sulfasalazin dipasarkan dalam bentuk
sediaan tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL, serta supositoria 500 mg.
Dosis rerata untuk mencapai remisi adalah 2 – 4 gram per hari meski ada
kepustakaan yang menyebutkan penggunaan 5-ASA ini minimal 3 gram per hari. 1
Umumnya remisi tercapai dalam 16 – 24 minggu yang kemudian diikuti dengan
dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5 – 3 gram per hari. Untuk kasus-kasus
usus bagian kiri atau distal, dapat diberikan mesalazin supositoria atau enema,
sedangkan untuk kasus berat, biasanya tidak cukup hanya dengan menggunakan
preparat 5-ASA.

Pengobatan Pencegahan Keradangan Berulang


Untuk mencegah peradangan berulang, dilakukan upaya mempertahankan
masa remisi selama mungkin melalui dosis pemeliharaan 5-ASA yang bersifat
individual atau mengganti obat steroid pada fase peradangan akut dengan obat-
obatan golongan imunosupresif, anti-tumor necrosis antibody, dan probiotik.

Imunomodulator
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin, dan metotreksat merupakan
beberapa jenis obat kelompok imunomodulator. Dosis inisial azatrioprin 50 mg
diberikan hingga tercapai efek substitusi lalu dinaikkan bertahap 2.5 mg per
kgBB. Umumnya, efek terapeutik baru tercapai dalam 2 – 3 bulan. Efek samping
yang sering dilaporkan adalah nausea, dispepsia, leukopeni, limfoma, hepatitis
hingga pankreatitis.
Siklosporin intravena diketahui dapat bermanfaat untuk kasus akut KU
refrakter steroid dengan angka keberhasilan 50 – 80%. Efek samping yang sering
dilaporkan meliputi gangguan ginjal dan infeksi oportunistik. Sedangkan
metotreksat dikenal sebagai preparat yang efektif untuk kasus PC steroid
dependent sekaligus untuk mempertahankan remisi pada KU. Dosis induksi 25
mg intramuskular atau subkutan per minggu hingga selesai tapering off steroid.

Agen Baru

11
Dewasa ini beberapa obat anti-tumor yang dikenal juga sebagai agen
biologik banyak dicoba pada IBD, misalnya infliksimab yang memiliki anti-
tumor necrosing factor (anti- TNF). Umumnya digunakan untuk kasus-kasus PC
fistulated sedang dan berat (refrakter steroid). Studi ACCENT I dan ACCENT II
adalah studi yang meneliti dosis infliksimab sebagai pemeliharaan PC. Dalam
studi tersebut diajukan dosis infliksimab 5 mg – 10 mg/kgbb selama 8 minggu.2
Agen lain adalah obat yang bekerja pada interleukin 6 (IL-6) sebagai salah
satu sitokin proinflamasi. Penggunaan tocolizumab, suatu anti IL-6, menunjukkan
respons kilnis sebesar 70% setelah 6 minggu.16 Terakhir, sedang dikembangkan
penggunaan G-CSF (filgrastim) dan GM-CSF (sargramostim), suatu growth
factor. Meski menjanjikan, mekanisme kerja kedua modalitas ini belum jelas.2
Secara umum, semua modalitas sangat menjanjikan namun masih sangat
mahal. Diharapkan, golongan obat baru ini dapat lebih terjangkau sehingga dapat
diimplementasikan secara nyata dalam terapi IBD.

KESIMPULAN

Inflammatory bowel disease (IBD) yang terbagi atas kolitis ulseratif dan
penyakit Crohn merupakan kondisi peradangan saluran cerna kronik dan
idiopatik. Gambaran klinis IBD sangat berkaitan dengan patogenesis IBD. Faktor
genetik diduga berperan penting, misalnya peranan gen CARD15 dan syndecan-1.
Beberapa pemeriksaan serologi, misalnya Anti-saccharomyces cerevisiase
antibody (ASCA), perinuclear antineutrophil cytoplasmic antibody (p-ANCA),
dan beberapa pemeriksaan baru, seperti kadar ekspresi syndecan-1 (Sdc-1),
OmpC, I2, dan flagelin CBir1, diketahui dapat membantu menegakkan diagnosis
IBD. Namun, pemeriksaan endoskopi tetap merupakan modalitas utama dalam
penegakan diagnosis IBD. Steroid dan 5-aminosalilisat sejauh ini masih
merupakan pilihan terapi IBD. Modalitas baru, seperti anti-tumor necrosing
factor, anti-interleukin-6, dan probiotik, banyak diteliti peranannya dalam
penanganan IBD.

Conclusion

12
Inflammatory bowel disease (IBD) consisting of Ulcerative Colitis and
Crohn’s disease is an idiopathic and chronic inflammatory condition of the
gastrointestinal tract. Genetic factors such as CARD15 gene and Syndecan-1 is
suspected play an important role. The clinical features of IBD is associated with
the pathogenesis of IBD. Some serologic tests had known to aid diagnosis of IBD
such as Anti-Saccharomyces cerevisiase antibody (ASCA), perinuclear
antineutrophil cytoplasmic antibody (p-ANCA), and several new tests such as the
levels of expression of Syndecan-1 (SDC-1), OMPC, I2, and flagelin CBir1.
However, endoscopy remains the main modality in the diagnosis of IBD. Steroids
and 5-aminosalicylate so far is still the preferred treatment of IBD. New
modalities such as anti-tumor necrosing factor, anti-interleukin-6, probiotics are
widely studied in IBD treatment.

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Kuhbacher T, Folsch UR. Practical guidelines for the treatment of infl
ammatory bowel disease. World J Gastroenterol 2007; 13(8): 1149 – 55.
2. Sands BE. New therapies for the treatment of infl ammatory bowel disease.
Surg Clin N Am 2006; 86: 1045–64.
3. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al.
World gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis and
management of IBD in 2010. Inflamm Bowel Dis 2010; 16(1): 112-24.
4. Kelompok Studi Infl ammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus nasional
penatalaksanaan infl ammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Jakarta:
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia 2011.
5. Tamboli CP. Current medical therapy for chronic infl ammatory bowel
disease. Surg Clin N Am 2007; 87: 697 – 725.
6. Loftus EV Jr, Silverstein MD, Sandborn WJ, Tremaine WJ, Harmsen WS,
Zinsmeister AR. Ulcerative colitis in Olmsted County, Minnesota, 1940-1993:
incidence, prevalence, and survival. Gut 2000; 46(3): 336-43.
7. Bossuyt X. Serologic markers in infl ammatory bowel disease. Clinical Chem
2006;52(2):171-81.
8. Bengston MB, Solberg IC, Aamodt G, Jahnsen J, Moum B, Vatn MH.
Relationships between infl ammatory bowel disease and perinatal factors: both
maternal and paternal disease are related to preterm birth off spring. Infl amm
Bowel Dis 2010; 16(5): 847-55.
9. Rowe WA, Katz J. Infl ammatory bowel disease. [disitasi tanggal 18 April
2012]. Tersedia pada http://www.medscape.com
10. Bartlett AH, Hayashida K, Park PW. Molecular and cellular mechanisms of
syndecans in tissue injury and infl ammation. Moll Cells 2007;24(2):153-66.
11. Floer M, Gotte M, Wild MK, et al. Enoxaparin improves the course of dextran
sodium sufate-induced colitis in syndecan-1-defi cient mice. Am J Path.
2010;176(1):146-57.

14
12. Day R, Ilyas M, Daszak P, Talbot I, Forbes A. Expression of syndecan-1 in
infl ammatory bowel disease and a possible mechanism of heparin therapy.
Dig Dis Sci. 1999;44:2508-15.
13. Mokrowiecka A, Daniel P, Slomka M, Majak P, Malecka-Panase E. Clinical
utility of serological markers in infl ammatory bowel disease.
Hepatogastroenterology. 2009;56(89):162-6.
14. Haller D, Serrant P, Peruisseau G. Il-10 producing CD14 low monocytes by
commensal bacteria. Microbiol Immunol 2002;46:195–205.
15. Gionchetti P, Rizzello F, Venturi A, et al. Oral bacteriotherapy as maintenance
treatment in patients with chronic pouchitis: a double-blind, placebo-
controlled trial. Gastroenterology.2000;119:305–9.
16. Mimura T, Rizzello G, Helwig U, et al. Once daily high dose probiotic
therapy (VSL#3) for maintaining remission in recurrent or refractory
pouchitis. Gut. 2004;53:108–14.
17. Ito H, Takazoe M, Fukuda Y, et al. A pilot randomized trial of a human anti-
interleukin-6 receptor monoclonal antibody in active Crohn’s disease.
Gastroenterology. 2004;126(4):989–96.

15

Anda mungkin juga menyukai