Anda di halaman 1dari 21

NAMA : MEIWAN PASRAH CHRISTIAN HULU

KELAS : D.3.2

NIM : 170204035

I.1 Definisi Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang


terjadi pada dasar tengkorak yang tebal. Fraktur ini sering
disertai dengan robekan ada duramater. Fraktur basis crania
sering terjadi ada 2 lokasi anatomi tertentu yaitu region
temporal dan region occipital condylar [ CITATION Kow112 \l
1033 ].
Fraktur basis crania dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fraktur fossa anterior
dan fraktur fossa posterior. Fraktur basis crania meruakan yang aling serius terjadi
karena melibatkan tulang – tulang dasar tengkorak dengan komplikasi otorrhea cairan
serebrosinal ( cerebrospinal fluid ) dan rhinorrhea [ CITATION Eng07 \l 1033 ].
Beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan fraktur basis cranii adalah
suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang tengkorak yang biasanya terjadi karena
adanya benturan secara langsung merupakan fraktur akibat benturan langsung ada
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita) transmisi energy yang
berasal dari benturan ada wajah atau mandibula.

I.2 Klasifikasi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), fraktur basis cranii dapat diklasifikaikan sebagai


berikut :
1. Fraktur petrosa os temporal

Fraktur petrous os temporal ini


meluas dari bagian skuamosa tulang temporal terhadap piramida petrosa dengan

1
2

sering keterlibatan sendi temporomandibular. Fraktur oblik ini sering


mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif akibat dislokasi incudostapedial.
Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi pada fraktur oblik. Keterlibatan
saraf fasialis kurang umum daripada pada fraktur transversal.
2. Fraktur longitudinal os temporal

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian


squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan
tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau
posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii
media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal
merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal
dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,
berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur
dari kedua fraktur longitudinal dan transversal
3. Fraktur transversal os temporal

Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari
piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau
temporoparietal. Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fosa
posterior, melalui pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa
kranial tengah. Kapsul otik dan kanalis auditorius internal sering terlibat juga.
4. Fraktur condylar os oksipital
3

Fraktur condylar os oksipital dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di
bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat. Akhir-akhir ini, juga terdapat
peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi
perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik
(otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap
sekuel klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%)
daripada OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf
fasialis (30-50%), SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih
tinggi daripada OCS).

I.3 Etiologi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), Etologi fraktur basis cranii dapat meliputi :


1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2. Kecelakaan terjatuh.
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4. Kejahatan dan tindak kekerasan.

I.4 Manisfestasi Klinis Fraktur Basis Cranii

Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Fraktur petrous os temporal
a. Otorrhea
b. Battle sign (Memar pada mastoids)
c. Rhinorrhea
d. Raccoon eyes (Memar di sekitar palpebral)
e. Kehilangan kesadaran dan GCS dapat bervariasi tergantung pada kondisi
patologis intracranial
4

2. Fraktur longitudinal os temporal


Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran
dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berangsung lebih dari 6 –
7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 6-7
minggu disebabkan karena hemotympanum dan oedema mukosa di fossa tmpany.
Facial palsy, nygtagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
3. Fraktur tranversal os temporal
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan lairin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss)
4. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius.Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama
dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang
serviklis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan
hemiplegia atau guadriplegia.

I.5 Patofisiologi Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis crani merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-
daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital), tansmisi energy yang
berasal dari benturan pada wajah atau mandubula, atau efek “remote” dai benturan pada
kepala (“gelombang tekanan”) yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan
bentuk tengkorak) [ CITATION Eli08 \l 1033 ].
Tipe dari fraktur basis crani yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura didasar tengkorak dimana spinal cord lewat.
Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring
fracture in komplit lebih sering dijumai. Kematian biasannya terjadi seketika kamu
cedera batan otak disertai denan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada
dasar tengkorak [ CITATION Eli08 \l 1033 ].
5

Fraktur basis crani telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk


benturan dari arah mandibular atau wajah dan kubah tengkorak, atau akiat beban inersia
pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya baban inersia, misalnya,
ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami
benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kemudian secara tiba – tiba mengalami
percepaatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh
foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian menyebabkan ring fracture. Ring
fracture juga dapat terjadi akibat paksa ruda paksa pada benturan tipe vertical, arah
benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari ara
superior kemudian diteruskan kearah acciput atau mandibular.
6

Kecelakaan
I.6 Pathway kendaraan/transportasi
Kecelakaan terjatuh Kecelakaan olahraga Kejahatan/tindak
kekerasan
Fraktur Basis Cranii

Fraktur Petrosa os Fraktur Longitudinal os Fraktur Transversal os Fraktur Condylar os


Temporal temporal temporal temporal

Menembus kulit kepala

Tulang tengkorak

B1 (Breathing) B2 (Blood) B3 (Brain) B4 (Bladder) B5 (Bowel) B6 (Bone)

Keadaan stasioner Bradikardi Kekuatan dari coup Asupan cairan Meningen Aliran
Patah Tersisa Darah
Jaringan kranial Hipotensi Otak
tulang Kerusakan Jumlah urin menurun
tengkorak Mendorong meatus
Dekat tempat Penurunan Turgor kulit Menunjukkan
otak acusticus Sianosis
benturan Rhinorhoe curah jantung lubang
Menghantarkan
isi tengkorak Gangguan TIK Otot
Kusmaul Ottorhoe
Gangguan Edema pupil Eliminasi Urine
Benturan
Sesak penglihatan TIK Mual/muntah Hemiparas
Cedera ea
Ketidakefektifan
Ketidakefektifan Gangguan Rasa sekunder Perfusi Jaringan Kekurangan Intoleransi
pola napas Nyaman (Nyeri) Kesadaran Volume Cairan Aktivitas
Otak
7

I.7 Penatalaksanaan Fraktur Basis Cranii

I.7.1 Medis [ CITATION Kow112 \l 1033 ]

1. ABC
a. Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang
dengan posisi kepala ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau
nasopharyngeal tube.
b. Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu pernafasan
misalnya Nasal Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask Nonrebreating,
Bag-Valve-Mask, dan Intubasi Endotrakea.
c. Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5
kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi
antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam
darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan
perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa
dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2. Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit. rebound
Pemberian diulang setelah
6 jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum mannitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan Diberikan bila ada
bisa diulang sampai 3 kali kejang
bila masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi
(asetaminofen) setiap 3 atau 4 jam, 650 demam serta mengatasi

7
8

mg setiap 4-6 jam, 1000 nyeri ringan sampai


mg setiap 6 sedang akibat sakit
kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam Untuk mengobati nyeri
(kodein) sesuai kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 Untuk mencegah
(fenitoin) mg perhati serangan epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan Tindakan yang sangat
antibiotic setelah 24 jam pertama, penting sebagai usaha
lalu 2 jam pertama, dan 4 untuk mencegah
jam berikutnya terjadinya infeksi pasca
operasi

3. Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil fragmen
fraktur yang terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil benda asing
dan jaringan nekrotik sehingga risiko infeksi dan kerusakan otak lebih lanjut
akibat fraktur dapat dikurangi.
4. Imobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan
servical colar. Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk
leher. Alat ini digunakan untuk mencegah pergerakan tulang servical yang dapat
memperparah kerusakan tulang servical yang patah maupun pada cedera kepala.
Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi, ekstensi, dan fleksi.

I.7.2 Keperawatan [ CITATION Kow112 \l 1033 ]

1. Pengendalian tekanan IntraCranial


Mannitol efektif untuk mengurangi odema serebral dan TIK. Selain karena efek
osmotic, mannitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan arus
microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian bolus mannitol
tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g/kg.
2. Mengontrol tekanan perfusi otak
9

Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg, baik dengan
mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP. Rehidrasi secara adekuat dan
mendukung kardiovaskuler dengan vasopressors dan inotropic untuk
meningkatkan MAP dan mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg.
3. Mengontrol hematocrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematocrit. Viskositas darah meningkat
sebanding dengan semakin meningkatnya hematocrit dan tingkat optimal sekitar
35%. Aliran darah otak berkurang jika hematocrit meningkat dari 50% dan
meningkat dengan tingkat hematocrit di bawah 30.
4. Pengaturan suhu
Demam dapat mempercepat deficit neurologis yang ada dan dapat memperburuk
kondisi pasien. Metabolisme otak akan oksigen meningkat sebesar 6-9% maka
harus diterapi karena akan memperburuk iskemik otak.
5. Kontrol cairan
NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/I, telah menjadi kristaloid pilihan
dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan 0,9% saline membutuhkan
4 kali volume darah yang hilang untuk memulihkan parameter hemodinamik
6. Posisi kepala
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-30° dapat menurunkan TIK
danmeningkatkan venous return ke jantung.

I.8 Komplikasi Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari fraktur basis cranii yaitu :
1. Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)
2. Perdarahan
3. Kejang
4. Infeksi (trauma terbuka)
5. Depresi pernapasan dan gagal napas
6. Paralisis otot-otot fasialis dan rantai tulang-tulang pendengaran
10

7. Pasien dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan


serebrospinal (CSS) dari hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan
menyebabkan meningitis.
8. Sindrom vernet atau sindrom foramen jugular adalah fraktur basis cranii yang
terkait dengan gangguan nervus IX, X, dan XI.
9. Sindrom Collet-Sicard adalah fraktur condyler occipital yang banyak berdampak
terhadap nervus IX, X, dan XII.

I.9 Pemeriksaan Penunjang Fraktur Basis Cranii

Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan penunjang fraktur basis cranii yaitu :


1. Pemeriksaan laboratorium yang dilakuakan yaitu pemeriksaan neurologis lengkap,
pemeriksaan darah rutin, dan pemberian tetanus toxoid
2. CT Scan menunjukkan perdarahan intrakranial akibat ruptur pembuluh darah dan
pembengkakan. CT Scan juga membantu untuk penilaian fraktur condylar
occipital, tetapi biasanya rekonstruksi tiga dimensi tidak diperlukan.
3. MRI menunjukkan kecurigaan adanya cedera ligamentum dan vaskular. MRI juga
memberikan pencitraan jaringan lunak yang lebih baik.
4. X-ray posisi AP, lateral, Towne’s view dan tangensial terhadap bagian yang
mengalami benturan untuk menunjukkan suatu fraktur depresi Sinar x kepala dan
servikal untuk mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur.
5. Pungsi lumbal meningitis bila pasien memperlihatkan tanda-tanda iritasi
meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang). Pungsi lumbal merupakan
kontraindikasi jika terdapat lesi yang luas.

I.10 Prognosis Fraktur Basis Cranii

Pada fraktur basis cranii fossa anterior dan media, prognosis baik selama tanda
tanda vital dan status neurologis dievaluasi secara teratur dan dilakukan tindakan sedini
mungkin apabila ditemukan deficit neurologis serta diberikan profilaksis antibiotic
untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder, sedangkan pada fraktur basis cranii
posterior, prognosis buruk dikarenakan fraktur pada fossa posterior dapat
mengakibatkan kompresi batang otak [ CITATION Eli08 \l 1033 ].
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANII

II.1 Pengkajian

II.1.1 Identitas

Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar daripada
risiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15 hingga 24 tahun,
dan lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, dan diagnosa medis.

II.1.2 Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya lesi/luka dikepala.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi, adanya
akumulasi sekret pada saluran pernafasan, lemah, paralisis, takipnea.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Biasanya klien memiliki riwayat jatuh.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama
sebelumnya.

II.1.3 Pemeriksaan Primer

1. Airway management/penatalaksanaan jalan napas:


a. Kaji obstruksi dengan menggunakan tangan dan mengangkat dagu (pada pasien
tidak sadar).
b. Kaji jalan napas dengan jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal (pada
pasien tidak sadar).
c. Kaji adanya obstruksi jalan nafas antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan oto bantu pernafasan, sianosis.

11
12

d. Kaji jalan napas definitive (akses langsung melalui oksigenasi intratrakeal).


e. Kaji jalan napas dengan pembedahan (krikotiroidotomi).
2. Breathing/pernapasan:
a. Kaji pemberian O2.
b. Kaji nilai frekuensi napas/masuknya udara (simetris)/pergerakan dinding dada
(simetris)/posisi trakea.
c. Kaji dengan oksimetri nadi dan observasi.
3. Circulation/sirkulasi:
a. Kaji frekuensi nadi dan karakternya/tekanan darah/pulsasi apeks/JVP/bunyi
jantung/bukti hilangnya darah.
b. Kaji darah untuk cross match, DPL, dan ureum + elektrolit.
c. Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.

II.1.4 Pemeriksaan Sekunder

1. Penampilan atau keadaan umum


Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah, lemas.
2. Tingkat kesadaran
Kesadaran klien mengalami penurunan GCS <15.
3. Tanda-Tanda Vital
Suhu Tubuh : Biasanya meningkat saat terjadi benturan (Normalnya 36,5-
37,5°C)
Tekanan Darah : Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak dengan tekanan
darah sistolik <90 mmHg (Normalnya 110/70-120/80 mmHg)
Nadi : Biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan dan TIK
meningkat (Normalnya 60-100 x/menit)
RR : Biasanya menurun saat TIK meningkat (Normalnya 16-22)
4. Pemeriksaan Nervus Cranial
a. Nervus I : Penurunan daya penciuman.
b. Nervus II : Pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
karena edema pupil.
13

c. Nervus III, IV, VI : Penurunan lapang pandang, reflex cahaya menurun,


perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
d. Nervus V : Gangguan mengunyah karena terjadi anastesi daerah
dahi.
e. Nervus VII, XII : Lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada
2/3 anterior lidah.
f. Nervus VIII : Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh.
g. Nervus IX, X, XI : Jarang ditemukan.
h. Nervus XII : Jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartia.
5. Pemeriksaan Head to Toe
a. Pemeriksaan Kepala
Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, ada
deformitas, ada luka, tidak ada benjolan, tidak ada pembesaran kepala)
Palpasi (ada nyeri tekan, ada robekan)
Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada
kemerahan)
Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan
simetris, tidak ada lesi) Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
Rambut : Inspeksi (rambut tidak bersih, mudah putus, ada ketombe, ada uban)
Palpasi (rambut mudah rontok)
Mata : Inspeksi (simestris, konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil
anisokor, reflex pupil tidak teratur, pupil tidak bereaksi terhadap
rangsangan cahaya, gerakan mata tidak normal, banyak sekret) Palpasi
(bola mata normal, tidak ada nyeri tekan)
Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada rhinorhoe (cairan serebrospinal keluar
dari hidung), ada pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi septum)
Palpasi sinus (ada nyeri tekan)
Telinga : Inpeksi (Simetris, kotor, fungsi pendengaran tidak baik, ada otorrhoe
(cairan serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau
ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid), dan memotipanum
(perdarahan di daerah membrane timpani telinga)) Palpasi (tidak ada
lipatan, ada nyeri)
14

Mulut : Inspeksi (keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membran mukosa
kering pucat, bibir kering, lidah simetris, lidah bersih, gigi tidak bersih,
gigi atas dan bawah tanggal 3/2, tidak goyang, faring tidak ada pembekakan,
tonsil ukuran normal, uvula simetris, mual-muntah) Palpasi (tidak ada lesi,
lidah tidak ada massa)
Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, tidak
ada pembesaran limfe, leher tidak panas, trakea normal, tidak ditemukan
kaku kuduk)
b. Pemeriksaan Dada dan Thorak
 Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas dada
cepat dan dangkal, sesak nafas, frekuensi nafas <16 x/menit.
Palpasi : Suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi : Sonor pada kedua paru.
Auskultasi : Suara nafas tidak baik, ada weezing.
 Jantung :
Inspeksi : Bentuk simetris, Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada V±2cm, tidak ada nyeri tekan, denyut nadi
Bradikardia
Perkusi : Pekak, batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri,
batas kanan ics 2 sternal kanan dan ics 5 axilla anterior kanan
Auskultasi : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, Irama nafas
tidak teratur, tekanan darah menurun
c. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Permukaan simetris, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba,
limpa tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada
Titik Mc. Burney.
Perkusi : Tidak ada cairan atau udara suara redup
d. Pemeriksaan Genetalia
15

Inspeksi : Terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan


e. Pemeriksaan Ekstremitas
Inspeksi : Adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot, adanya
sianosis
Palpasi : Turgor buruk, kulit kering
6. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien
memperlihatkan tanda-tanda iritasi meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang).
d. X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang..
e. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
f. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial.
g. Screen Toxicologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.

II.2 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d cedera sekunder.


2. Ketidakefektifan pola napas b.d gangguan neurologis (mis. Fraktur basis cranii).
3. Kekurangan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi.
4. Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi jantung.
5. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d agen cedera fisik.
6. Gangguan eliminasi urine b.d penyebab multipel.
7. Intoleran aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
16

II.3 Intervensi Keperawatan

Diagnose Rencana keperawatan


No
keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan NOC NIC
Tujuan: Manajemen Edema Serebral
perfusi jaringan
Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda-tanda vital
otak b.d cedera
keperawatan selama 2x24 2. Monitor adanya
sekunder
diharapkan aliran darah kebingungan, perubahan
melalui pembuluh darah pikiran, keluhan pusing,
otak untuk mempertahankan pinsan
fungsi otak tercukupi 3. Monitor status neurologi
Dengan KH: dengan ketat dan bandingkan
1. Tekaran intracranial dengan nilai normal
dalam kisaran normal 4. Monitor karakteristik cairan
2. Tekanan darah sistolik serebrospinal : warna,
dalam kisaran normal kejernihan, konsistensi
3. Tekanan darah diastolic 5. Monitor TIK
dalam kisaran normal 6. Posisikan tinggi kepala
4. Tidak ada sakit kepala tempat tidur 30 derajat atau
5. Tidak ada penurunan lebih
tingkat kesadaran 7. Batasi cairan
8. Dorong keluarga/orang yang
penting untuk bicara pada
pasien
9. Kolaborasi pemberian obat
2 Ketidakefektifan Tujuan: Manajemen jalan napas
pola napas b.d Setelah dilakukan tindakan 1. O : Observasi TTV
gangguan keperawatan selama 2x24 2. O : Monitar aliran oksigen
neurologis (mis., diharapkan pola napas 3. N : Buka jalan napas dengan
trauma kepala) kembali efektif tekhnik chin lift atau jaw
Dengan KH: thrust
1. Kedalaman inspirasi 4. N : Posisikan pasien untuk
17

dalam kisaran normal memaksimalkan ventilasi


(RR : 16-24 x/menit) 5. N : Masukkan alat
2. Kepatenan jalan napas nasoparyngeal airway atau
dalam kisaran normal, oropharyngeal airway
klien tidak merasa 6. E : Informasikan pada pasien
tercekik, tidak ada suara dan keluarga tentang teknik
nafas abnormal relaksasi untuk memperbaiki
3. Frekuensi dan irama pola nafas
pernapasan dalam 7. C : Kolaborasi dengan dokter
keadaan normal dalam pemberian terapi obat
dan pemberian oksigen
3 Kekurangan Tujuan: Manajemen cairan
volume cairan b.d Setelah dilakukan tindakan 1. O : Obsersavi TTV
gangguan keperawatan selama 1x24 2. O : Monitor status hidrasi
mekanisme jam diharapkan kekurangan (mis., membrane mukosa
regulasi volume cairan teratasi. lembab denyut nadi adekuat,
Dengan KH: dan tekanan darah ortostatik)
1. Mempertahankan urine 3. N : Berikan cairan IV
output sesuai dengan usia 4. N : Pertahankan catatan
dan BB intake dan output yang akurat
2. Tidak ada tanda-tanda 5. E : Dorong pasien dan
dehidrasi, elastisitas keluarga untuk menambah
turgor kulit baik, intake oral misalnya minum
membran mukosa 6. C : Kolaborasi pemberian
lembab, tidak rasa haus cairan IV
yang berlebihan
3. TTV dalam batas normal
4 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Perawatan jantung
jantung b.d keperawatan selama …. 1. O : Monitor EKG, adakah
perubahan diharapkan penurunan curah perubahan segmen ST
frekuensi jantung jantung teratasi 2. O : Monitor TTV
Dengan KH: 3. N : Atur periode latihan dan
18

1. Tekanan darah sistol istirahat untuk menghindari


dan diastol dalam kelelahan
kisaran normal (110/70- 4. N : Evaluasi adanya nyeri
120/80 mmHg) dada
2. Denyut nadi perifer 5. O : Anjurkan untuk
dalam kisaran normal menurunkan stress
(60-100 x/menit) 6. C : Kolaborasi untuk
3. Denyut jantung apikal menyediakan terapi
dalam kisaran normal antiaritmia sesuai kebijakan
(16-24 x/menit) unit (mis., obat antiaritmia,
4. Tidak ada penurunan kardioversi, atau defibrilasi)
kesadaran
5 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
nyaman nyeri b.d keperawatan selama …. 1. O : Lakukan pengkajian nyeri
gejala terkait Diharapkan rasa nyaman secara komprehensif
penyakit kembali 2. N : Tingkatkan istirahat
Dengan KH: 3. N : Kontrol lingkungan yang
1. Mengontrol nyeri dapat mempengaruhi nyeri
(mengetahui penyebab seperti suhu ruangan,
nyeri, mengetahui cara pencahayaan, dan kebisingan
mengurangi nyeri) 4. E : Ajarkan tentang teknik
2. Rasa nyaman tidak non farmakologi
terganggu 5. C : Kolaborasi dengan dokter
3. Mengontrol gejala nyeri pemberian analgetik
6 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Irigasi kandung kemih
eliminasi urine b.d keperawatan selama …. 1. O : Lakukan penilaian kemih
penyebab multipel diharapkan gangguan yang komprehensif
eliminasi urine teratasi 2. N : Siapkan peralatan irigasi
Dengan KH: yang steril, dan pertahankan
1. Jumlah urin tidak tekhnik steril setiap kali
terganggu tindakan
2. Warna urin tidak 3. N : Bersihkan sambungan
19

terganggu kateter atau ujung Y dengan


3. Tidak ada darah dalam kapas alcohol
urin 4. N : Catat jumlah cairan yang
4. Intake cairan dalam digunakan, karakteristik
rentang normal cairan, jumlah cairan yang
keluar
5. E : Ajarkan pasien atau
keluarga untuk mencatat urin
6. C : Kolaborasi dengan dokter
dengan penberian obat
7 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Terapi aktivitas
b.d keperawatan selama …. 1. O : Monitor respon fisik,
ketidakseimbangan diharapkan intoleransi emosi, social dan spiritual
antara suplai dan aktivitas teratasi 2. N : Bantu klien untuk
kebutuhan oksigen Dengan KH: mengidentifikasi aktivitas
1. Berpartisipasi dalam yang mampu dilakukan
aktivitas fisik tanpa 3. E : Bantu pasien dan
disertai peningkatan ttv keluarga untuk
2. Hemoglobin, hematocrit, mengidentifikasi kekurangan
glukosa darah, serum dalam beraktivitas
elektrolit darah tidak 4. C : Kolaborasi dengan
terganggu Tenaga Rehabilitasi Medik
3. Mampu melakukan dalam merencanakan
aktivitas sehari-hari program terapi yang tepat
secara mendiri
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Fraktur basis cranii adalah suatu kondisi dimana suatu fraktur ada tulang
tengkorak yang biasanya terjadi karena adanya benturan secara langsung merupakan
fraktur akibat benturan langsung ada daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,
supraorbita) transmisi energy yang berasal dari benturan ada wajah atau mandibular.
Penyebab dari fraktur basis cranii yaitu Kecelakaan kendaraan atau transportasi,
Kecelakaan terjatuh, Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga, Kejahatan dan tindak
kekerasan. Manifestasi klinis dari fraktur basis cranii yang umum yaitu terjadi
penurunan kesadaran, nyeri hebat, dan adanya lesi. Komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK), Perdarahan, Kejang, Infeksi
(trauma terbuka), Depresi pernapasan dan gagal napas, dan paralisis otot-otot paralisis.
Penatalaksanan secara medis yaitu diantaranya dengan ABC untuk
mempertahankan jalan nafas, Pemberian obat-oabatan, dapat dilakukan pembedahan,
dan immobilisasi. Sedangkan penatalaksanaan keperawatan yaitu memantau ttv, adanya
perdarahan, riwayat cidera, rehidrasi cairan, serta mencegah infeksi akibat pembedahan.
Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien trauma kepala mulai dari
pengkajian misalnya biodata, riwayat kesehatan, pengkajian primer, pengkajian
sekunder, dan pemeriksaan penunjang. Setelah itu ditentukan diagnosa keperawatan dan
dilanjut dengan intervensi keperawatan.

III.2 Saran
Diharapkan para pembaca memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah
agar dapat membuat makalah yang baik dan benar. Terutama litelatur yang
berhubungan dengan penatalaksaan yang lebih efektif mengenai fraktur basis cranii
karena di dalam makalah ini penatalaksaannya masih banyak kekurangan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.


Jakarta: Salemba Medika.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Engram, B. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi 3.
Jakarta: Salemba Medika.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta:
EGC.
Oman, K. S. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

21

Anda mungkin juga menyukai