Anda di halaman 1dari 40

Aging

Aging atau penuaan bukan hanya proses menjadi tua. Penuaan adalah apa yang membuat “tua
tidak sebaik baru” dan ketika laju kegagalan meningkat bersamaan dengan peningkatan usia,
orang menjadi sakit, lemah, dan kadang sekarat (Gavrilov, 2004). Aging atau penuaan secara
praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak
dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik
seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lambat
tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003).
 Aging :  menunjukan efek waktu, suatu prosesperubahan, biasanya bertahap dan spontan
 Senescence : hilangnya kemampuan sel untukmembelah dan berkembang seiring waktuakan
menyebabkan kematian
 Homeostenosis : penyempitan/berkurangnyacadangan homeostasis yang terjadi
selamapenuaan pada setiap sistem organ

Definisi aging
Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti-Aging Medicine) adalah kelemahan dan
kegagalan fisik-mental yang berhubungan dengan aging normal disebabkan oleh disfungsi
fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz,
2003). Webster’s New World Dictionary mendefinisikan aging sebagai proses menjadi tua atau
menunjukkan tanda-tanda menjadi tua. Kenyataannya aging dapat dibagi menjadi dua konsep
yang berbeda, yaitu: usia kronologis dan usia biologis.
Pada saat merayakan hari ulang tahun (merayakan usia kronologis), kadang benar bahwa
penampilan sistem tubuh seseorang, dari fungsi mental hingga penampilan seksual sampai
kekuatan fisik, lebih baik atau lebih buruk dari yang diperkirakan jika dibandingkan dengan
orang yang seusianya (ini adalah contoh usia biologis) (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila,
2007).

Mekanisme pada aging


Proses penuaan ditandai penurunan energi seluler yang menurunkan kemampuan sel untuk
memperbaiki diri. Terjadi dua fenomena, yaitu penurunan fisiologik (kehilangan fungsi tubuh
dan sistem organnya) dan peningkatan penyakit (Fowler, 2003).
Menurut Fowler (2003), aging adalah suatu penyakit dengan karakteristik yang terbagi menjadi 3
fase yaitu :
1) Fase subklinik (usia 25-35 tahun)
Kebanyakan hormon mulai menurun : testosteron, growth hormone (GH), dan estrogen.
Pembentukan radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi
tubuh, seperti diet yang buruk, stress, polusi, paparan berlebihan
radiasi ultraviolet dari matahari. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Individu
akan tampak dan merasa “normal” tanpa tanda dan gejala dari aging atau penyakit.
Bahkan, pada umumnya rentang usia ini dianggap usia muda dan normal.
2) Fase transisi (usia 35-45 tahun)
Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Kehilangan massa otot yang
mengakibatkan kehilangan kekuatan dan energi serta komposisi lemak tubuh yang
meninggi. Keadaan ini menyebabkan resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit
jantung, pembuluh darah, dan obesitas. Pada tahap ini mulai mncul gejala klinis, seperti
penurunan ketajaman penglihatan- pendengaran, rambut putih mulai tumbuh, elastisitan
dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun.
Tergantung dari gaya hidup, radikal bebas merusak sel dengan cepat sehingga individu
mulai merasa dan tampak tua. Radikal bebas mulai mempengaruhi ekspresi gen, yang
menjadi penyebab dari banyak penyakit aging termasuk kanker, arthritis, kehilangan
daya ingat, penyakit arteri koronaria dan diabetes.
3) Fase Klinik (usia 45 tahun keatas)
Orang mengalami penurunan hormon yang berlanjut, termasuk DHEA
(dehydroepiandrosterone), melatonin, GH, testosteron, estrogen, dan hormone tiroid.
Terdapat juga kehilangan kemampuan penyerapan nutrisi, vitamin, dan mineral sehingga
terjadi penurunan densitas tulang, kehilangan massa otot sekitar 1 kilogram setiap 3
tahun, peningkatan lemak tubuh dan berat badan. Di antara usia 40 tahun dan 70 tahun,
seorang pria kemungkinan dapat kehilangan 20 pon ototnya, yang mengakibatkan
ketidakmampuan untuk membakar 800-1.000 kalori perhari. Penyakit kronis menjadi
sangat jelas terlihat, akibat sistem organ yang mengalami kegagalan. Ketidakmampuan
menjadi faktor utama untuk menikmati “tahun emas” dan seringkali adanya
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sederhana dalam kehidupan sehari-harinya.
Prevalensi penyakit kronis akan meningkat secara dramatic sebagai akibat peningkatan
usia (Fowler, 2007).

1. TEORI PENUAAN

1.1. Teori Biologis


Teori biologi merupakan teori yang menjelaskan mengenai proses fisik penuaan yang meliputi
perubahan fungsi dan struktur organ, pengembangan, panjang usia dan kematian (Christofalo
dalam Stanley).Perubahan yang terjadi di dalam tubuh dalam upaya berfungsi secara adekuat
untuk dan melawan penyakit dilakukan mulai dari tingkat molekuler dan seluler dalam sistem
organ utama. Teori biologis mencoba menerangkan menganai proses atau tingkatan perubahan
yang terjadi pada manusia mengenai perbedaan cara dalam proses menua dari waktu ke waktu
serta meliputi faktor yang mempengaruhi usia panjang, perlawanan terhadap organisme dan
kematian atau perubahan seluler.

1.1.1. Teori Genetika


Teori genetika merupakan teori yang menjelaskan bahwa penuaan merupakan suatu proses yang
alami di mana hal ini telah diwariskan secara turun-temurun (genetik) dan tanpa disadari untuk
mengubah sel dan struktur jaringan. Teori genetika terdiri dari teori DNA, teori ketepatan dan
kesalahan, mutasi somatik, dan teori glikogen. DNA merupakan asam nukleat yang berisi
pengkodean mengenai infornasi aktivitas sel, DNA berada pada tingkat molekuler dan
bereplikasi sebelum pembelahan sel dimulai, sehingga apabila terjadi kesalahan dalam
pengkodean DNA maka akan berdampak pada kesalahan tingkat seluler dan mengakibatkan
malfungsi organ.
Pada manusia, berlaku program genetik jam biologi di mana program maksimal yang
diturunkan adalah selama 110 tahun. Sel manusia normal akan membelah 50 kali dalam beberapa
tahun. Sel secara genetik diprogram untuk berhenti membelah setelah mencapai 50 divisi sel,
pada saat itu sel akan mulai kehilangan fungsinya. Teori genetika dengan kata lain mengartikan
bahwa proses menua merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan akan semakin terlihat bila
usia semakin bertambah. Teori ini juga bergantung dari dampak lingkungan pada tubuh yang
dapat mempengaruhi susunan molekular.

1.1.2. Teori Wear And Tear (Dipakai dan Rusak)


Teori Wear And Tear mengajukan akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak
sintesis DNA. August Weissmann berpendapat bahwa sel somatik nomal memiliki kemampuan
yang terbatas dalam bereplikasi dan menjalankan fungsinya. Kematian sel terjadi karena jaringan
yang sudah tua tidak beregenerasi. Teori wear and tear mengungkapkan bahwa organisme
memiliki energi tetap yang tersedia dan akan habis sesuai dengan waktu yang diprogramkan.

1.1.3. Teori Rantai Silang


Teori rantai silang mengatakan bahwa struktur molekular normal yang dipisahkan mungkin
terikat bersama-sama melalui reaksi kimia. Agen rantai silang yang menghubungkan menempel
pada rantai tunggal. dengan bertambahnya usia, mekanisme pertahanan tubuh akan semakin
melemah, dan proses cross-link terus berlanjut sampai terjadi kerusakan. Hasil akhirnya adalah
akumulasi silang senyawa yang menyebabkan mutasi pada sel, ketidakmampuan untuk
menghilangkan sampah metabolik.

1.1.5. Teori Imunitas


Teori imunitas berhubungan langsung dengan proses penuaan. Selama proses penuaan, sistem
imun juga akan mengalami kemunduran dalam pertahanan terhadap organisme asing yang masuk
ke dalam tubuh sehingga pada lamsia akan sangat mudah mengalami infeksi dan kanker.
Perubahan sistem imun ini diakibatkan perubahan pada jaringan limfoid sehingga tidak adanya
keseimbangan dalam sel T intuk memproduksi antibodi dan kekebalan tubuh menurun. Pada
sistem imun akan terbentuk autoimun tubuh. Perubahan yang terjadi merupakan pengalihan
integritas sistem tubuh untuk melawan sistem imun itu sendiri.

1.1.6. Teori Lipofusin dan Radikal Bebas


Radikal bebas merupakan contoh produk sampah metabolisme yang dapat menyebabkan
kerusakan apabila terjadi akumulasi. Normalnya radikal bebas akan dihancurkan oleh enzim
pelindung, namun beberapa berhasil lolos dan berakumulasi di dalam organ tubuh. Radikal bebas
yang terdapat di lingkungan seperti kendaraan bermotor, radiasi, sinar ultraviolet, mengakibatkan
perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan.
Radikal bebas tidak mengandung DNA. Oleh karena itu, radikal bebas dapat
menyebabkan gangguan genetik dan menghasilkan produk-produk limbah yang menumpuk di
dalam inti dan sitoplasma. Ketika radikal bebas menyerang molekul, akan terjadi kerusakan
membran sel; penuaan diperkirakan karena kerusakan sel akumulatif yang pada akhirnya
mengganggu fungsi.
Dukungan untuk teori radikal bebas ditemukan dalam lipofusin, bahan limbah berpigmen
yang kaya lemak dan protein. Peran lipofusin pada penuaan mungkin kemampuannya untuk
mengganggu transportasi sel dan replikasi DNA. Lipofusin, yang menyebabkan bintik-bintik
penuaan, adalah dengan produk oksidasi dan oleh karena itu tampaknya terkait dengan radikal
bebas.

1.1.7. Teori Neuroendokrin


Teori neuroendokrin merupakan teori yang mencoba menjelaskan tentang terjadinya proses
penuaan melalui hormon. Penuaan terjadi karena adanya keterlambatan dalam sekresi hormon
tertentu sehingga berakibat pada sistem saraf. Hormon dalam tubuh berperan dalam
mengorganisasi organ-organ tubuh melaksanakan tugasnya dam menyeimbangkan fungsi tubuh
apabila terjadi gangguan dalam tubuh.
Pengeluaran hormon diatur oleh hipotalamus dan hipotalamus juga merespon tingkat
hormon tubuh sebagai panduan untuk aktivitas hormonal. Pada lansia, hipotalamus kehilangan
kemampuan dalam pengaturan dan sebagai reseptor yang mendeteksi hormon individu menjadi
kurang sensitif. Oleh karena itu, pada lansia banyak hormon yang tidak dapat dapat disekresi dan
mengalami penurunan keefektivitasan.
Penerunan kemampuan hipotalamus dikaitkan dengan hormon kortisol. Kortisol
dihasilkan dari kelenjar adrenal (terletak di ginjal) dan kortisol bertanggung jawab untuk
stres.Hal ini dikenal sebagai salah satu dari beberapa hormon yang meningkat dengan usia. Jika
kerusakan kortisol hipotalamus, maka seiring waktu hipotalamus akan mengalami kerusakan.
Kerusakan ini kemudian dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon sebagai hipotalamus
kehilangan kemampuan untuk mengendalikan sistem.
1.1.8. Teori Organ Tubuh (Single Organ Theory)
Teori penuaan organ tunggal dilihat sebagai kegagalan penyakit yang berhubungan dengan suatu
organ tubuh vital. orang meninggal karena penyakit atau keausan, menyebabkan bagian penting
dari tubuh berhenti fungsi sedangkan sisanya tubuh masih mampu hidup. Teori ini berasumsi
bahwa jika tidak ada penyakit dan tidak ada kecelakaan, kematian tidak akan terjadi.

1.1.9. Teori Umur Panjang dan Penuaan (Longevity and Senescence Theories)
Palmore (1987) mengemukakan dari beberapa hasil studi, terdapat faktor-faktor tambahan
berikut yang dianggap berkontribusi untuk umur panjang: tertawa; ambisi rendah, rutin setiap
hari, percaya pada Tuhan; hubungan keluarga baik, kebebasan dan kemerdekaan; terorganisir,
perilaku yang memiliki tujuan, dan pandangan hidup positif. Wacana yang timbul dari teori ini
adalah sindrom penuaan merupakan sesuatu yang universal, progresif, dan berakhir dengan
kematian.5
1.1.10. Teori Harapan Hidup Aktif dan Kesehatan Fungsional
Penyedia layanan kesehatan juga tertarik dalam masalah ini karena kualitas hidup tergantung
secara signifikan berkaitan dengan tingkat fungsi. pendekatan fungsional perawatan pada lansis
menekankan pada hubungan yang kompleks antara biologis, sosial, dan psikologis yang
mempengaruhi kemampuan fungsional seseorang dan kesejahteraannya.

1.1.11. Teori Medis (Medical Theories)


Teori medis geriatri mencoba menjelaskan bagaimana perubahan biologis yang berhubungan
dengan proses penuaan mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh manusia. Biogerontologi
merupakan subspesialisasi terbaru yang bertujuan menentukan hubungan antara penyakit tertentu
dan proses penuaan. Metode penelitian yang lebih canggih telah digunakan dan banyak data telah
dikumpulkan dari subjek sehat dalam studi longitudinal, beberapa kesimpulan menarik dari
penelitian tiap bagian berbeda.

1.2. Teori Sosiologi


Teori sosiologi merupakan teori yang berhubungan dengan status hubungan sosial. Teori ini
cenderung dipengaruhi oleh dampak dari luar tubuh.
1.2.1. Teori Kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa menggambarkan
harapan atau tugas spesifik lansia. Teori pengembangan kepribadian yang dikembangkan oleh
Jung menyebutkan bahwa terdapat dua tipe kepribadian yaitu introvert dan ekstrovert. Lansia
akan cenderung menjadi introvert kerenan penurunan tanggungjawab dan tuntutan dari keluarga
dan ikatan sosial.

1.2.2. Teori Tugas Perkembangan


Tugas perkembangan merupakan aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang
pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai penuaan yang sukses.pada kondisi
tidak danya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati kehidupan yang baik, maka lansia
tersebut berisiko untuk memiliki rasa penyeselan atau putus asa.

1.2.3. Teori Disengagement (Penarikan Diri)


Teori ini menggambarkan penarikan diri ole lansia dari peran masyarakat dan tanggung
jawabnya. Lansia akan dikatakan bahagia apabila kontak sosial telah berkurang dan
tanggungjawab telah diambil oleh generasi yang lebih muda. Manfaat dari pengurangan kontak
sosial bagi lansia adalah agar dapat menyediakan eaktu untuk mengrefleksi kembali pencapaian
yang telah dialami dan untuk menghadapi harapan yang belum dicapai.

1.2.4. Teori Aktivitas


Teori ini berpendapat apabila seorang lansia menuju penuaan yang sukses maka ia harus tetap
beraktivitas.kesempatan untuk turut berperan dengan cara yang penuh arti bagi kehidupan
seseorang yang penting bagi dirinya adalah suatu komponen kesejahteraan yang penting bagi
lansia. Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya fungsi peran lansia secara negatif
mempengaruhi kepuasan hidup, dan aktivitas mental serta fisik yang berkesinambungan akan
memelihara kesehatan sepanjang kehidupan.
1.2.5. Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas mencoba menjelaskan mengenai kemungkinan kelanjutan dari perilaku yang
sering dilakukan klien pada usia dewasa. Perilaku hidup yang membahayakan kesehatan dapat
berlangsung hingga usia lanjut dan akan semakin menurunkan kualitas hidup.

1.2.6. Teori Subkultur


Lansia, sebagai suatu kelompok, memiliki norma mereka sendiri, harapan, keyakinan, dan
kebiasaan; karena itu, mereka telah memiliki subkultur mereka sendiri. Teori ini juga
menyatakan bahwa orang tua kurang terintegrasi secara baik dalam masyarakat yang lebih luas
dan berinteraksi lebih baik di antara lansia lainnya bila dibandingkan dengan orang dari
kelompok usia berbeda. Salah satu hasil dari subkultur usia akan menjadi pengembangan
"kesadaran kelompok umur" yang akan berfungsi untuk meningkatkan citra diri orang tua dan
mengubah definisi budaya negatif dari penuaan.

1.3. Teori Psikologis


Teori psikologis merupakan teori yang luas dalam berbagai lingkup karena penuaan psikologis
dipengaruhi oleh faktor biologis dan sosial, dan juga melibatkan penggunaan kapasitas adaptif
untuk melaksanakan kontrol perilaku atau regulasi diri.

1.3.1. Teori Kebutuhan Manusia


Banyak teori psikologis yang memberi konsep motivasi dan kebutuhan manusia. Teori Maslow
merupakan salah satu contoh yang diberikan pada lansia. Setiap manusia yang berada pada level
pertama akan mengambil prioritas untuk mencapai level yang lebih tinggi; aktualisasi diri akan
terjadi apabila seseorang dengan yang lebih rendah tingkat kebutuhannya terpenuhi untuk
beberapa derajat, maka ia akan terus bergerak di antara tingkat, dan mereka selalu berusaha
menuju tingkat yang lebih tinggi.

1.3.2. Teori Keberlangsungan Hidup dan Perkembangan Kepribadian


Teori keberlangsungan hidup menjelaskan beberapa perkembangan melalui berbagai tahapan dan
menyarankan bahwa progresi sukses terkait dengan cara meraih kesuksesan di tahap sebelumnya.
ada empat pola dasar kepribadian lansia: terpadu, keras-membela, pasif-dependen, dan tidak
terintegrasi (Neugarten et al.)
Teori yang dikemukakan Erik Erikson tentang delapan tahap hidup telah digunakan
secara luas dalam kaitannya dengan lansia. Ia mendefinisikan tahap-tahap kehidupan sebagai
kepercayaan vs ketidakpercayaan, otonomi vs rasa malu dan keraguan, inisiatif vs rasa bersalah,
industri vs rendah diri, identitas vs difusi mengidentifikasi, keintiman vs penyerapan diri,
generativitas vs stagnasi, dan integritas ego vs putus asa. Masing-masing pada tahap ini
menyajikan orang dengan kecenderungan yang saling bertentangan dan harus seimbang sebelum
dapat berhasil dari tahap itu. Seperti dalam teori keberlangsungan hidup lain, satu tahapan
menentukan langkah menuju tahapan selanjutnya.

1.3.3. Recent and Evolving Theories


Teori kepribadian genetik berupaya menjelaskan mengapa beberapa lansia lebih baik
dibandingkan lainnya.; hal ini tidak berfokus pada perbedaan dari kedua kelompok tersebut.
Meskipun didasarkan pada bukti empiris yang terbatas, teori ini merupakan upaya yang
menjanjikan untuk mengintegrasikan dan mengembangkan lebih lanjut beberapa teori psikologi
tradisional dan baru bagi lansia. Tema dasar dari teori ini adalah perilaku bifurkasi atau
percabangan dari seseorang di berbagai aspek seperti biologis, sosial, atau tingkat fungsi
psikososial. Menurut teori ini, penuaan didefinisikan sebagai rangkaian transformasi terhadap
meningkatnya gangguan dan ketertiban dalam bentuk, pola, atau struktur.

2. PERUBAHAN PADA LANSIA PADA SEMUA SISTEM DAN IMPLIKASI KLINIK

2.1. Perubahan pada Sistem Sensoris


Persepsi sensoris mempengaruhi kemampuan seseorang untuk saling berhubungan dengan orang
lain dan untuk memelihara atau membentuk hubungan baru, berespon terhadap bahaya, dan
menginterprestasikan masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.1
Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat keengganan untuk
bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indra yang dimiliki
seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan kesatuan
integrasi dari persepsi sensori.
2.1.1. Penglihatan
Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk
penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil, akibat penuan, dan
perubahan warna serta kekeruhan lansa mata, yaitu katarak. Semakan bertambahnya usia, lemak
akan berakumulasi di sekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan
di antara iris dan sklera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat proses menua:

2.1.1.1. Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan akomodasi. Kerusakan ini
terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah dan kendur, dan lensa kristalin mengalami
sklerosis, dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan jarak
dekat. Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam membaca huruf-huruf yang kecil dan
kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang dekat.
2.1.1.2. Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter pupil mengalami
sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu penyempitan lapang pandang dan mempengaruhi
penglihatan perifer pada tingkat tertentu.
2.1.1.3. Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang terakumulasi dapat
menimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini adalah penglihatan menjadi kabur yang
mengakibatkan kesukaran dalam membaca dan memfokuskan penglihatan, peningkatan
sensitivitas terhadap cahaya, berkurangnya penglihatan pada malam hari, gangguan dalam
persepsi kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian ketinggian), perubahan dalam
persepsi warna.
2.1.1.4. Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata berpotensi terjadi
sindrom mata kering.

2.1.2. Pendengaran
Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara dramatis dapat mempengaruhi kualitas
hidup. Kehilangan pendengaran pada lansia disebut presbikusis.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat proses menua:
2.1.2.1. Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal ini terjadi karena
telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi
perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan pendengaran secara bertahap.
Ketidak mampuan untuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan dalam mendeteksi suara
dengan frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan (misal f, s, sk, sh, l).
2.1.2.2. Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran timpani,
pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi lemah dan kaku. Implikasi dari
hal ini adalah gangguan konduksi suara.
2.1.2.3. Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit menjadi lebih tipis
dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah potensial terbentuk serumen
sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara.

2.1.3. Perabaan
Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungisional apabila terdapat
gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Perubahan kebutuhan akan sentuhan dan sensasi
taktil karena lansia telah kehilangan orang yang dicintai, penampilan lansia tidak semenarik
sewaktu muda dan tidak mrngundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari masyarakat umum
terhadap lansia tidak mendorong untuk melakukan kontak fisik dengan lansia.

2.1.4. Pengecapan
Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat seseorang bertambah tua
mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu keniknatan dalam kehidupan. Perubahan yang
terjadi pada pengecapan akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau
kuncup-kuncup perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas terhadap rasa (manis,
asam, asin, dan pahit) berkurang.
2.1.5. Penciuman
Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat kimia yang mudah
menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat proses menua yaitu penurunan atau
kehilangan sensasi penciuman kerena penuaan dan usia. Penyebab lain yang juga dianggap
sebagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman termasuk pilek, influenza, merokok,
obstruksi hidung, dan faktor lingkungan. Implikasi dari hal ini adalah penurunan sensitivitas
terhadap bau.

2.2. Perubahan pada Sistem Integumen


Pada lasia, epidermis tipis dan rata, terutama yang paling jelas diatas tonjolan-tonjolan tulang,
telapak tangan, kaki bawah dan permukaan dorsalis tangan dan kaki. Penipisan ini menyebabkan
vena-vena tampak lebih menonjol. Poliferasi abnormal pada terjadinya sisa melanosit, lentigo,
senil, bintik pigmentasi pada area tubuh yang terpajan sinar mata hari, biasanya permukaan
dorsal dari tangan dan lengan bawah.
Sedikit kolagen yang terbentuk pada proses penuaan, dan terdapat penurunan jaringan
elastik, mengakibatkan penampiln yang lebih keriput. Tekstur kulit lebih kering karena kelenjar
eksokrin lebih sedikit dan penurunan aktivitas kelenjar eksokri dan kelenar sebasea. Degenerasi
menyeluruh jaringan penyambung, disertai penurunan cairan tubuh total, menimbulkan
penurunan turgor kulit.3
Massa lemak bebas berkurang 6,3% BB per dekade dengan penambahan massa lemak 2% per
dekade. Massa air berkurang sebesar 2,5% per dekade.

2.2.1. Stratum Koneum


Stratum korneun merupakan lapisan terluar dari epidermis yang terdiri dari timbunan korneosit.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada stratum koneum akibat proses menua:
2.2.1.1. Kohesi sel dan waktu regenerasi sel menjadi lebih lama. Implikasi dari hal ini adalah
apabila terjadi luka maka waktu yang diperlukan untuk sembuh lebih lama.
2.2.1.2. Pelembab pada stratum korneum berkurang. Implikasi dari hal ini adalah penampilan
kulit lebih kasar dan kering.

2.2.2. Epidermis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada epidermis akibat proses menua:
2.2.2.1. Jumlah sel basal menjadi lebih sedikit , perlambatan dalam proses perbaikan sel, dan
penurunan jumlah kedalaman rete ridge. Implikasi dari hal ini adalah pengurangan kontak antara
epidermis dan dermis sehingga mudah terjadi pemisahan antar lapisan kulit, menyebabkan
kerusakan dan merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi.
2.2.2.2. Terjadi penurunan jumlah melanosit. Implikasi dari hal ini adalah perlindungan terhadap
sinar ultraviolet berkurang dan terjadinya pigmentasi yang tidal merata pada kulit.
2.2.2.3. Penurunan jumlah sel langerhans sehingga menyebabkan penurunan konpetensi imun.
Implikasi dari hal ini adalah respon terhadap pemeriksaan kulit terhadap alergen berkurang.
2.2.2.4. Kerusakan struktur nukleus keratinosit. Implikasi dari hal ini adalah perubahan
kecepatan poliferasi sel yang menyebabkan pertumbuhan yang abnormal seperti keratosis
seboroik dan lesi kulit papilomatosa.

2.2.3. Dermis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada dermis akibat proses menua:
2.2.3.1. Volume dermal mengalami penurunan yang menyebabkan penipisan dermal dan jumlah
sel berkurang. Implikasi dari hal ini adalah lansia rentan terhadap penurunan termoregulasi,
penutupan dan penyembuhan luka lambat, penurunan respon inflamasi, dan penurunan absorbsi
kulit terhadap zat-zat topikal.
2.2.3.2. Penghancuran serabut elastis dan jaringan kolagen oleh enzim-enzim. Implikasi dari hal
ini adalah perubahan dalam penglihatan karena adanya kantung dan pengeriputan disekitar mata,
turgor kulit menghilang.
2.2.3.3. Vaskularisasi menurun dengan sedikit pembuluh darah kecil. Implikasi dari hal ini
adalah kulit tampak lebih pucat dan kurang mampu malakukan termoregulasi.

2.2.4. Subkutis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada subkutis akibat proses menua:
2.2.4.1. Lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan. Implikasi dari hal ini adalah
penampilan kulit yang kendur/ menggantung di atas tulang rangka.
2.2.4.2. Distribusi kembali dan penurunan lemak tubuh. Implikasi dari hal ini adalah gangguan
fungsi perlindungan dari kulit.1

2.2.5. Bagian tambahan pada kulit


Bagian tambaha pada kulit meliputi rambut, kuku, korpus pacini, korpus meissner, kelenjar
keringat, dan kelenjar sebasea.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada rambut, kuku, korpus pacini, korpus
meissner, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea akibat proses menua:
2.2.5.1. Berkurangnya folikel rambut. Implikasi dari hal ini adalah Rambut bertambah uban
dengan penipisan rambut pada kepala. Pada wanita, mengalami peningkatan rambut pada wajah.
Pada pria, rambut dalam hidung dan telinga semakin jelas, lebih banyak dan kaku.
2.2.5.2. Pertumbuhan kuku melambat. Implikasi dari hal ini adalah kuku menjadi lunak, rapuh,
kurang berkilsu, dan cepet mengalami kerusakan.
2.2.5.3. Korpus pacini (sensasi tekan) dan korpus meissner (sensasi sentuhan) menurun.
Implikasi dari hal ini adalah beresiko untuk terbakar, mudah mengalami nekrosis karenan rasa
terhadap tekanan berkurang.
2.2.5.4. Kelenjar keringat sedikit. Implikasi dari hal ini adalah penurunan respon dalam keringat,
perubahan termoregulasi, kulit kering.
2.2.5.5. Penurunan kelenjar apokrin. Implikasi dari hal ini adalah bau badan lansia berkurang.

2.3. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal


Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik, atau
denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal
ini terjadi karena penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon
lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur berubah dan seiring
patah baik akibat benturan ringan maupun spontan.

2.3.1. Sistem Skeletal


Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh mengalami penurunan. Berikut ini
merupakan perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua:
2.3.1.1. Penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan didkus intervertebral dan
penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih
bungkuk dengan penampilan barrel-chest.
2.3.1.2. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi sebagai perlindungan
terhadap beban geralkan rotasi dan lengkungan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan
terjadinya risiko fraktur.
2.3.2. Sistem Muskular
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem muskular akibat proses menua:
2.3.2.1. Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari hal ini adalah
perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang aktif.
2.3.2.2. Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi, penyusustan
dan sklerosis tendon dan otot, den perubahan degeneratif ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini
adalah peningkatan fleksi.

2.3.3. Sendi
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses menua:
2.3.3.1. Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah nyeri,
inflamasi, penurunan mobilitas sendi da deformitas.
2.3.3.2. Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko cedera.

2.4. Perubahan pada Sistem Neurologis


Berat otak menurun 10 – 20 %. Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkat
menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun,berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun
penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata
5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 million sel termasuk diantaranya sel
neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem neurologis akibat proses menua:
2.4.1. Konduksi saraf perifer yang lebih lambat. Implikasi dari hal ini adalah refleks tendon
dalam yang lebih lambat dan meningkatnya waktu reaksi.
2.4.2. Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron. Implikasi dari hal ini adalah
vasokonstriksi dan vasodilatasi yang tidak sempurna.
2.4.3. Termoregulasi oleh hipotalamus kurang efektif. Implikasi dari hal ini adalah bahaya
kehilangan panas tubuh.

2.5. Perubahan pada Sistem Kardiovaskular


Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural maupun fungisional.
Penurunan yang terjadi berangsur-angsur sering terjadi ditandai dengan penurunan tingkat
aktivitas, yang mengakibatkan penurunan kebutuhan darah yang teroksigenasi.
Jumlah detak jantung saat istirahat pada orang tua yang sehat tidak ada perubahan, namun
detak jantung maksimum yang dicapai selama latihan berat berkurang. Pada dewasa muda,
kecepatan jantung di bawah tekanan yaitu, 180-200 x/menit. Kecepatan jantung pada usia 70-75
tahun menjadi 140-160 x/menit.
2.5.1. Perubahan Struktur
Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan terhadap fungsi
kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan merupakan faktor penting dalam
menjelaskan berbagai keragaman fungsi kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan
tanpa penyakit-terkait.
Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot jantung, yang mungkin
berkaitan dengan usia atau penyakit seperti penimbunan amiloid, degenerasi basofilik, akumilasi
lipofusin, penebalan dan kekakuan pembuluh darah, dan peningkatan jaringan fibrosis. Pada
lansia terjadi perubahan ukuran jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun. Berikut
ini merupakan perubahan struktur yang terjadi pada sistem kardiovaskular akibat proses menua:
2.5.1.1. Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen dan hilangnya
fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini adalah ketidakmampuan jantung untuk distensi
dan penurunankekuatan kontraktil.
2.5.1.2. Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his kehilangan serat
konduksi yang yang membawa impuls ke ventrikel. Implikasi dari hal ini adalah terjadinya
disritmia.
2.5.1.3. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena peningkatan serat
kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri. Implikasi dari hal ini adalah
penumpulan respon baroreseptor dan penumpulan respon terhadap panas dan dingin.
2.5.1.4. Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah vena menjadi tidak
kompeten atau gagal dalam menutup secara sempurna sehingga mengakibatkan terjadinya edema
pada ekstremitas bawah dan penumpukan darah.

2.6. Perubahan pada Sistem Pulmonal


Perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru dan dinding dada turut berperan dalam
peningkatan kerja pernapasan sekitar 20% pada usia 60 tahun. Penurunan lajuekspirasi paksa atu
detik sebesar 0,2 liter/dekade.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem pulmonal akibat proses menua:
2.6.1. Paru-paru kecil dan kendur, hilangnya rekoil elastis, dan pembesaran alveoli. Implikasi
dari hal ini adalah penurunan daerah permukaan untuk difusi gas.
2.6.2. Penurunan kapasitas vital penurunan PaO2 residu. Implikasi dari hal ini adalah penurunan
saturasi O2 dan peningkatan volume.
2.6.3. Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi. Implikasi dari hal ini adalah dispnea
saat aktivitas.
2.6.4. Kalsifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi pengembangan. Implikasi
dari hal ini adalah Emfisema sinilis, pernapasan abnominal, hilangnya suara paru pada bagian
dasar.
2.6.5. Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru. Implikasi dari hal ini adalah
atelektasis.
2.6.6. Kelenjar mukus kurang produktif. Implikasi dari hal ini adalah akumulasi cairan, sekresi
kental dan sulit dikeluarkan.
2.6.7. Penurunan sensitivitas sfingter esofagus. Implikasi dari hal ini adalah hilangnya sensasi
haus dan silia kurang aktif.
2.6.8. Penurunan sensitivitas kemoreseptor. Implikasi dari hal ini adalah tidak ada perubahan
dalam PaCO2 dan kurang aktifnya paru-paru pada gangguan asam basa.

2.7. Perubahan pada Sistem Endokrin


Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem endokrin akibat proses menua:
2.7.1. Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah Glukosa darah puasa 140
mg/dL dianggap normal.
2.7.2. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini adalah kadar glukosa
darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal.
2.7.3. Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini adalah pemantauan
glukosa urin tidak dapat diandalkan.
2.7.4. Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit menurun, dan waktu paruh
T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini adalah serum T3 dan T4 tetap stabil.

2.8. Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria


Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder, uretra, dan sisten
nervus yang berdampak pada proses fisiologi terlait eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu
kemampuan dalam mengontrol berkemih, sehingga dapat mengakibatkan inkontinensia, dan
akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh.
2.8.1. Perubahan pada Sistem Renal
Penurunan nefron terjadi sebesar 5-7% setiap dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin
berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai penyaring darah, perubahan aliran vaskuler
akan mempengaruhi kerja nefron dan akhirnya mempebgaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan
matabolik sistem renal.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem renal akibat proses menua:
2.8.1.1. Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada area fokal, dan total
permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang dan volume tubulus proksimal berkurang,
dan penurunan aliran darah renal. Implikasi dari hal ini adalah filtrasi menjadi kurang efisien,
sehingga secara fisiologis glomerulus yang mampu menyaring 20% darah dengan kecepatan 125
mL/menit (pada lansia menurun hingga 97 mL/menit atau kurang) dan menyaring protein dan
eritrosit menjadi terganggu, nokturia.
2.8.1.2. Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh, penurunan
cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan untuk memekatkan urine.
Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan tubuh dan risiko dehidrasi.
2.8.1.3. Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran gastrointestinal.
Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko osteoporosis.

2.8.2. Perubahan pada Sistem Urinaria


Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua, yaitu penurunan kapasitas
kandung kemih (N: 350-400 mL), peningkatan volume residu (N: 50 mL), peningkatan kontraksi
kandung kemih yang tidak di sadari, dan atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi
dari hal ini adalah peningkatan risiko inkotinensia.
2.9. Perubahan pada Sistem Gasrointestinal
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal akibat proses menua:
2.9.1. Rongga Mulut
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada rongga mulut akibat proses menua:
2.9.1.1. Hilangnya tulang periosteum dan periduntal, penyusustan dan fibrosis pada akar halus,
pengurangan dentin, dan retraksi dari struktur gusi. Implikasi dari hal ini adalah tanggalnya gigi,
kesulitan dalam mempertahankan pelekatan gigi palsu yang lepas.
2.9.1.2. Hilangnya kuncup rasa. Implikasi dari hal ini adalah perubahan sensasi rasa dan
peningkatan penggunaan garam atau gula untuk mendapatkan rasa yang sama kualitasnya.
2.9.1.3. Atrofi pada mulut. Implikasi dari hal ini adalah mukosa mulut tampak lebih merah dan
berkilat. Bibir dan gusi tampak tipis kerena penyusutan epitelium dan mengandung keratin.
2.9.1.4. Air liur/ saliva disekresikan sebagai respon terhadap makanan yang yang telah dikunyah.
Saliva memfasilitasi pencernaan melalui mekanisme sebagai berikut: penyediaan enzim
pencernaan, pelumasan dari jaringan lunak, remineralisasi pada gigi, pengaontrol flora pada
mulut, dan penyiapan makanan untuk dikunyah. Pada lansia produksi saliva telah mengalami
penurunan.

2.9.2. Esofagus, Lambung, dan Usus


Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada esofagus, lambung dan usus akibat proses
menua:
2.9.2.1. Dilatasi esofagus, kehilangan tonus sfingter jantung, dan penurunan refleks muntah.
Implikasi dari hal ini adalahpeningkatan terjadinya risiko aspirasi.
2.9.2.2. Atrofi penurunan sekresi asam hidroklorik mukosa lambung sebesar 11% sampai 40%
dari populasi. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan dalam mencerna makanan dan
mempengaruhi penyerapan vitamin B12, bakteri usus halus akan bertumbuh secara berlebihan
dan menyebabkan kurangnya penyerapan lemak.
2.9.2.3. Penurunan motilitas lambung. Implikasi dari hal ini adalah penurunan absorbsi obat-
obatan, zat besi, kalsium, vitamin B12, dan konstipasi sering terjadi.

2.9.3. Saluran Empedu, Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas


Pada hepar dan hati mengalami penurunan aliran darah sampai 35% pada usia lebih dari 80
tahun.5 Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada saluran empedu, hati, kandung
empedu, dan pankreas akibat proses menua:
2.9.3.1. Pengecilan ukuran hari dan penkreas. Implikasi dari hal ini adalah terjadi penurunan
kapasitas dalam menimpan dan mensintesis protein dan enzim-enzim pencernaan. Sekresi insulin
normal dengan kadar gula darah yang tinggi (250-300 mg/dL).
2.9.3.2. Perubahan proporsi lemak empedu tampa diikuti perubahan metabolisme asam empedu
yang signifikan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan sekresi kolesterol.

2.10. Perubahan pada Sistem Reproduksi


2.10.1. Pria
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi pria akibat proses menua:
2.10.1.1. Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.
2.10.1.2. Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia noduler benigna
terdapat pada 75% pria >90 tahun.

2.10.2. Wanita
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi wanita akibat proses
menua:
2.10.2.1. Penurunan estrogen yang bersikulasi. Implikasi dari hal ini adalah atrofi jaringan
payudara dan genital.
2.10.2.2. Peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini adalah penurunan massa
tulang dengan risiko osteoporosis dan fraktur, peningkatan kecepatan aterosklerosis.
Batas-Batas Lanjut Usia.
Batasan usia menurut WHO meliputi :
 usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun
 lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun
 lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun
 usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun
Karakteristik Pasien Geriatri dan Sindrom Geriatri
Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang memiliki karakteristik khusus yang
membedakannya dari pasien usia lanjut pada umumnya. Karakteristik pasien geriatri yang
pertama adalah multipatologi, yaitu adanya lebih dari satu penyakit kronis degeneratif.
Karakteristik kedua adalah daya cadangan faali menurun karena menurunnya fungsi organ
akibat proses menua. Karakteristik yang ketiga adalah gejala dan tanda penyakit yang tidak
khas. Tampilan gejala yang tidak khas seringkali mengaburkan penyakit yang diderita pasien.
Karakteristik berikutnya adalah penurunan status fungsional yang merupakan kemampuan
seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Penurunan status fungsional menyebabkan
pasien geriatri berada pada kondisi imobilisasi yang berakibat ketergantungan pada orang lain.
Karakteristik khusus pasien geriatri yang sering dijumpai di Indonesia ialah malnutrisi. Setiati et
al12 melaporkan malnutrisi merupakan sindrom geriatri terbanyak pada pasien usia lanjut yang
dirawat (42,6%) di 14 rumah sakit.

Sindrom Geriatri
Masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri adalah sindrom geriatri yang meliputi: imobilisasi,
instabilitas, inkontinensia, insomnia, depresi, infeksi, defisiensi imun, gangguan pendengaran dan
penglihatan, gangguan intelektual, kolon irritable, impecunity, dan impotensi.
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring selama 3 hari atau lebih, diiringi gerak
anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis. Imobilisasi menyebabkan
komplikasi lain yang lebih besar pada pasien usia lanjut bila tidak ditangani dengan baik. Gangguan
keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah
tulang.
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak
dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga mengakibatkan masalah sosial dan
higienis. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya karena malu atau tabu
untuk diceritakan, ketidaktahuan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut
serta tidak perlu diobati. Prevalensi inkontinensia urin di Indonesia pada pasien geriatri yang dirawat mencapai
28,3%. Biaya yang dikeluarkan terkait masalah inkontinensia urin di poli rawat jalan Rp 2.850.000,- per tahun
per pasien.13 Masalah inkontinensia urin umumnya dapat diatasi dengan baik jika dipahami pendekatan klinis
dan pengelolaannya.
Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada pasien geriatri. Umumnya mereka
mengeluh bahwa tidurnya tidak memuaskan dan sulit memertahankan kondisi tidur. Sekitar 57% orang
usia lanjut di komunitas mengalami insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut mengeluh tetap terjaga
sepanjang malam, 19% mengeluh bangun terlalu pagi, dan 19% mengalami kesulitan untuk tertidur.
Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak dikenali. Gejala
depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian dari proses menua. Prevalensi depresi pada
pasien geriatri yang dirawat mencapai 17,5%. 12 Deteksi dini depresi dan penanganan segera sangat penting
untuk mencegah disabilitas yang dapat menyebabkan komplikasi lain yang lebih berat.
Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada usia lanjut. Infeksi
yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain
seperti kurang gizi, multipatologi, dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut terkena infeksi.
Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal yang biasa akibat
proses menua. Prevalensi gangguan penglihatan pada pasien geriatri yang dirawat di Indonesia
mencapai 24,8%.12 Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan kegiatan waktu
senggang, status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas. Gangguan penglihatan dan pendengaran
berhubungan dengan kualitas hidup, meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh,
fraktur panggul, dan mortalitas.
Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah yang muncul sering tumpang
tindih dengan gejala yang sudah lama diderita sehingga tampilan gejala menjadi tidak jelas. Penyakit
degeneratif yang banyak dijumpai pada pasien geriatri adalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia,
osteoartritis, dan penyakit kardiovaskular. Penelitian multisenter di Indonesia terhadap 544 pasien geriatri yang
dirawat inap mendapatkan prevalensi hipertensi dan diabetes melitus sebesar 50,2% dan 27,2%. 12
Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan berbagai jenis obat dalam jumlah
banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut,
namun obat tetap menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip penggunaan
obat yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian multi/interdisiplin yang mengedepankan
pendekatan secara holistik.
Peran pemenuhan kebutuhan gizi untuk mempertahankan kkesehatan dan kebugaran
sertamemperlambat timbulnya penyakit degenaratif sehingga menjamin hari tua tetap sehat dan
aktif.
 Masalah yang sering dihadapi : penurunan alat penciuman dan pengecapan, pengunyahankurang
sempurna, rasa kurang nyaman saat makan karena gigi tidak lengkap, rasa penuhdiperut dan
kesukaran BAB karena melemahnya otot lambung dan peristaltik usus sehingganafsu makan
berkurang.
Menolak makan/makan berlebihan akibat kecemasan dan putus asa akibat gangguan
tugasperkembangan
Intervensi :
 Berikan makanan porsi kecil tapi sering.
 Berikan banyak minum dan kurangi makan.
 Usahakan makanan banyak mengandung serat. 
 Batasai makanan yang mengandung kalori (gula, makanan manis, minyak, makanan
berlemak).
 Kebutuhan kalori laki-laki 2100 kalori, wanita 1700 kalori
 KH 60% dari jumlah kalori
 Lemak 15 – 20%
 Protein 20 – 25%
 Vitamin dan mineral > kebutuhan usia muda.
 Air 6 – 8 gelang/hari.
 Membatasi minum kopi dan teh

Meningkatkan keamanan dan keselamatan lansia 


Kecelakaan yang sering terjadi : jatuh, kecelakaan lalu lintas, kebakaran karena
fleksibilitaskai mulai berkurang, penurunan fungsi pendengaran dan penglihatan, lingkungan
yangkurang amanIntervensi:
 biarkan menggunakan alat bantu
 latih untuk / mobilisasi
 menggunakan kaca mata
 menemani bila berpergian
 meletakkan bel dibawah bantal
 tempat tidur tidak terlalu tinggi
 menyediakan meja kecil dekat tempat tidur
 lantai bersih, rata dan tidak licin / basah
 pasang pengaman dikamar mandi
 hindari lampuyang redup dan yang menyilaukan ( sebaiknya lampu 70-100 watt)
 gunakan sepatu dan sandal yang beralat karet

Memelihara kebersihan diri :


Sebagaian lansia mengalami kemunduran /motivasi untuk melakukan perawatan diri secara
teratur karena penurunan daya ingat, kebiasaan diusia muda, kelemahan dan tidakmampuan.
Masalah :keringat berkurang kulit lansia bersisik, kering
Intervensi :
  Mengingatkan / membantu
 Menganjurkan untuk menggunakan sabun lunak dan gunakan skin lotion.

Memelihara keseimbangan istirahat / tidur :


Masalah yang sering terjadi :gangguan tidur
Intervensi :
 Menyediakan tempat tidur yang nyaman
 Mengatur lingkungan yang cukup ventilasi
 Melatih melakukan latihan fisik yang ringan (berkebun, berjalan, dll)

Meningkatkan hubungan interpersonal :


Masalah yang sering ditemukan : penurunan daya ingat, pikun, depresi, lekas marah
mudahtersinggung, curiga dapat terjadi karena hubungan interpersonal yang tidak adekuat
.Intervensi:
  Berkomunikasi dengan kontak mata
 Memberikan stimulus/mengingatkan lansia terhadap kegiatan yang akan dilakukan
 Memberikan kesempatan untuk mengekspresikan perasaan
 Menghargai pendapat lansia
 Melibatkan lansia dalam kegiatan sehari – hari sesuai dengan kemampuan

Indeks Barthel (IB)


Indeks Barthel merupakan suatu instrument pengkajian yang berfungsi mengukur
kemandirian fungsional dalam hal perawatan diri dan mobilitas serta dapat juga digunakan
sebagai kriteria dalam menilai kemampuan fungsional bagi pasien-pasien yang mengalami
gangguan keseimbangan.
 menggunakan 10 indikator, yaitu :
Tabel 1.   Instrument pengkajian dengan Indeks Barthel.

No. Item yang dinilai Skor Nilai


1. Makan (Feeding) 0  =    Tidak mampu
=    Butuh bantuan memotong, mengoles mentega
dll.
=    Mandiri
2. Mandi (Bathing) =    Tergantung orang lain
=    Mandiri
3. Perawatan diri=    Membutuhkan bantuan orang lain
(Grooming) =    Mandiri dalam perawatan muka, rambut, gigi,
dan bercukur
4. Berpakaian =    Tergantung orang lain
(Dressing) =    Sebagian dibantu (misal mengancing baju)
=    Mandiri
5. Buang air kecil =    Inkontinensia atau pakai kateter dan tidak
(Bowel) terkontrol
=    Kadang Inkontinensia (maks, 1x24 jam)
=    Kontinensia (teratur untuk lebih dari 7 hari)
6. Buang air besar=    Inkontinensia (tidak teratur atau perlu enema)
(Bladder) =    Kadang Inkontensia (sekali seminggu)
=    Kontinensia (teratur)
7. Penggunaan toilet=    Tergantung bantuan orang lain
=    Membutuhkan bantuan, tapi dapat melakukan
beberapa hal sendiri
=    Mandiri
8. Transfer =    Tidak mampu
=    Butuh bantuan untuk bisa duduk (2 orang)
=    Bantuan kecil (1 orang)
=    Mandiri
9. Mobilitas =    Immobile (tidak mampu)
=    Menggunakan kursi roda
=    Berjalan dengan bantuan satu orang
=    Mandiri (meskipun menggunakan alat bantu
seperti, tongkat)
10. Naik turun tangga=    Tidak mampu
=    Membutuhkan bantuan (alat bantu)
=    Mandiri

Interpretasi hasil :
20        : Mandiri
12-19   : Ketergantungan Ringan
9-11     : Ketergantungan Sedang
5-8       : Ketergantungan Berat
0-4       : Ketergantungan Tota

Makanan yang Mengandung Oksidan (Radikal Bebas)


Jenis makanan tertentu seperti fast food (cepat saji) dan makanan kemasan atau kaleng ditengarai
berpotensi meninggalkan racun dalam tubuh, sebab jenis makanan ini berlimpah lemak dan
mengandung pengawet. Padahal untuk zaman sekarang kebiasaan makan makanan berlemak
tinggi menjadi sesuatu yang sulit dihindari karena perubahan pola hidup masyarakat, khususnya
di perkotaan. Para ahli pangan, gizi, dan kesehatan menyebutkan makanan berlemak dapat
menjadi sumber radikal bebas dalam tubuh. Yaitu, suatu molekul atau atom apa saja yang sangat
tidak stabil karena memiliki satu atau lebih elektron yang tak berpasangan.
Menurut Prof Dr dr Harijono KS, SpKK, dosen Fakultas Kedokteran UNS, radikal bebas
ini berbahaya karena amat reaktif mencari pasangan elektronnya. Jika radikal bebas sudah
terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai dan menghasilkan radikal bebas baru
yang akhirnya jumlahnya terus bertambah. Selanjutnya akan menyerang sel-sel tubuh kita
sehingga terjadilah kerusakan jaringan yang akan mempercepat proses penuaan.
Penggolongan Antioksidan berdasarkan sumbernya
Ada dua macam antioksidan berdasarkan sumbernya, yaitu antioksidan alami dan
antioksidan sintetik .
Antioksidan alami
Antioksidan alami biasanya lebih diminati, karena tingkat keamanan yang lebih
baik dan manfaatnya yang lebih luas dibidang makanan, kesehatan dan kosmetik.
Antioksidan alami dapat ditemukan pada sayuran, buah-buahan, dan tumbuhan
berkayu. Metabolit sekunder dalam tumbuhan yang berasal dari golongan alkaloid,
flavonoid, saponin, kuinon, tanin, steroid atau triterpenoid. Quezada et al. (2004)
menyatakan bahwa fraksi alkaloid pada daun “Peumus boldus” dapat berperan
sebagai antioksidan. Zin “et al”. (2002) menyatakan bahwa golongan senyawa yang
aktif sebagai antioksidan pada batang, buah, dan daun mengkudu berasal dari
golongan flavonoid. Gingseng yang berperan sebagai antioksidan, antidiabetes,
antihepatitis, antistres, dan antineoplastik, mengandung saponin glikosida (steroid
glikosida). Uji aktivitas antioksidan yang dilakukan pada daun “Ipomea pescaprae”
menunjukkan keberadaan senyawa kuinon, kumarin, dan furanokumarin. Tanin
yang banyak terdapat pada teh dipercaya memiliki aktivitas antioksidan yang
tinggi. Sementara itu, Iwalokum “et al”.(2007)menyatakan bahwa “Pleurotus
ostreatus” yang mengandung triterpenoid, tanin, dan sterois glikosida dapat
berperan sebagai antioksidan dan antimikrob.
Penggolongan Antioksidan berdasarkan mekanisme kerjanya
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibedakan menjadi antioksidan primer
yang dapat bereaksi dengan radikal bebas atau mengubahnya menjadi produk yang
stabil , dan antioksidan sekunder atau antioksidan preventif yang dapat mengurangi laju
awal reaksi rantai serta antioksidan tersier. Mekanisme kerja antioksidan selular menurut
Ong et al. (1995) antara lain, antioksidan yang berinteraksi langsung dengan oksidan,
radikal bebas, atau oksigen tunggal; mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif;
mengubah jenis oksigen rekatif menjadi kurang toksik; mencegah kemampuan oksigen
reaktif; dan memperbaiki kerusakan yang timbul.
1) Antioksidan primer
Antioksidan primer berperan untuk mencegah pembentukan radikal bebas baru
dengan memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi produk yang lebih
stabil. Contoh antioksidan primer, ialah enzim superoksida dimustase (SOD),
katalase, dan glutation dimustase.
2) Antioksidan Sekunder
Antioksidan sekunder berfungsi menangkap senyawa radikal serta mencegah
terjadinya reaksi berantai. Contoh antioksidan sekunder diantaranya yaitu vitamin
E, Vitamin C, dan β-karoten.
3) Antioksidan Tersier
Antioksidan tersier berfungsi memperbaiki kerusakan sel dan jaringan yang
disebabkan oleh radikal bebas. Antioksidan digunakan luas sebagai bahan
kandungan suplemen makanan dengan harapan dapat membantu menjaga
kesehatan dan mencegah penyakit-penyakit seperti kanker dan sakit jantung
koroner. Walaupun kajian awal mensugestikan bahwa suplemen antioksidan
mungkin dapat meningkatkan kesehatan, uji klinis lebih lanjut dalam skala besar
tidak berhasil mendeteksi adanya keuntungan-keuntungan tersebut. Sebaliknya,
asupan suplemen yang berlebihan malah dapat membahayakan tubuh. Selain itu,
senyawa-senyawa antioksidan juga digunakan secara luas untuk keperluan industri,
misalnya sebagai zat pengawet makanan dan kosmetik.
Makanan yang Mengandung Antioksidan
Ada beberapa makanan yang merupakan sumber antikosidan. Yakni makanan yang mengandung
Vitamin A, C, E, melantonin, betakaroten seperti sayuran, kacang-kacangan, jagung, kedelai dan
buah. Saat ini juga tersedia suplemen dan susu yang mengandung antioksidan. Daging
mengandung banyak oksidan, jadi sebaiknya perbanyak konsumsi sayur dan buah.
Vitamin E dan C dikenal sebagai antioksidan yang potensial dan banyak dikonsumsi.
Penelitian yang terbaru berdasarkan hasil studi epidemiologi menunjukkan asupan sehari vitamin
E lebih dari 400 IU akan meningkatkan resiko kematian dan harus dihindari. Sementara dosis
konsumsi vitamin E bagi orang dewasa normal cukup 8-10 IU per hari.
Selama ini di pasaran suplemen vitamin E dan C umumnya dijual dalam dosis relatif
tinggi. Beberapa produk mengandung vitamin C 1.000 mg per tablet. Padahal, kecukupan gizi
vitamin C per hari bagi orang dewasa yang hidup tenang, tidak stres atau kondisi lain yang tidak
sehat, adalah sekitar 60-75 mg per hari. Untuk mereka yang tinggal di kota besar yang penuh
polusi seperti Jakarta, dosis 500 mg bisa diterima.
Secara spesifiknya,berikut ini merupakan beberapa jenis makanan yang mengandung
antioksidan tinggi, sehingga bisa meningkatkan kekebalan tubuh kita terhadap berbagai penyakit:

1) Brokoli

Brokoli dapat meningkatkan imunitas serta pembentukan sel dalam tubuh melalui
kandungan asam foliknya terkenal berkhasiat melawan kanker terutama kanker payudara,
cervix (kanker mulut rahim) colon dan paru paru. Brokoli juga kaya akan chromium yang
bermanfaat membantu mengatur insulin dan gula darah dalam tubuh. Selain itu, brokoli juga
dapat mencegah penyakit jantung dan osteoporosis serta mampu memperlambat penuaan
dini.
2) Pepaya

Dengan kandungan Vitamin C dan karotenoid, pepaya dapat mempertahankan tekanan darah
anda dalam kondisi yang normal. Di dalam buah pepaya segar terdapat sebuah enzim yang
menjadi katalisator penambah kecepatan reaksi dalam tubuh. Pepaya juga membantu
mencerna daging dan tepung sehingga memperlancar pencernaan, juga membantu menjaga
daya tahan tubuh dan mencegah memar.
3) Bawang Putih

Bawang putih dipercaya dapat membunuh parasit, bakteri dan virus melalui kandungan
Alicin dan Selenium. Mengkonsumsi bawang putih secara teratur dapat menghalangi
terjadinya penyumbatan pada arteri, meningkatkan sistem imunitas tubuh serta mengontrol
tekanan darah. Selain dapat menurunkan kadar kolesterol, bawang putih juga memiliki zat
anti kanker, dapat menyembuhkan radang otak, mengurangi sakit pada persendian,
menambah energi, meningkatkan nafsu makan dan libido.
4) Kacang Kedelai

Mutu protein kacang kedelai hampir setara dengan mutu protein pada daging. Kedelai ini
kaya akan isoflavonoids yang berguna untuk mencegah kanker, dapat meningkatkan kadar
estrogen pada wanita, mencegah kanker, memperkuat tulang, menurunkan kadar kolesterol.
5) Tomat

Kandungan lycopene dan vitamin C sebagai antioksidan dalam tomat dapat meminimalkan
resiko kanker (terutama kanker pankreas) serta mencegah peradangan usus buntu. Lycopene
pada tomat merupakan antioksidan yang dahsyat dalam menetralisir radikal bebas perusak
sel-sel kulit, tomat juga mengandung chlorine yang berfungsi untuk merangsang hati untuk
menyaring sisa bahan beracun dan menjaga hati dari peradangan. Tomat juga mencegah
penyakit jantung dan menjaga tekanan darah.

6) Semangka

Kandungan airnya yang mencapai 90% sangat baik untuk mengganti cairan tubuh yang
hilang. Vitamin A dan C yang terkandung di dalamnya juga mempercepat penyembuhan
luka, menjaga gusi tetap sehat, mencegah memar, dan meningkatkan imunitas.
7) Bayam

Bayam penuh kandungan lutein dan zeaxanthin, antioksidan yang melindungi retina dari
degenerasi makular yang datang dengan bertambahnya usia.
8) Alpukat

Peneliti dari University of Ohio mengatakan lemak baik dalam alpukat bisa meningkatkan
kemampuan tubuh dalam menyerap zat karotenoid. Sebaiknya, Anda mengonsumsi 43 gram
alpukat saja, agar terhindar dari kelebihan kalori. Jika memungkinkan, pilihlah alpukat
mentega, karena mengandung lebih banyak lemak tak jenuh tunggal.
9) Wortel

Kandungan beta-karoten atau pro-vitamin A pada wortel berperan sebagai antioksidan yang
melindungi tubuh dari berbagai penyakit kronis, seperti penyakit jantung dan kanker. Selain
itu vitamin A yang terkandung dalam wortel ini juga dapat melindungi mata dari kerusakan
akibat proses penuaaan.

Beberapa faktor dan obat-obat yang dapat digunakan sebagai antiaging, antara lain:
1) Restriksi kalori
Diit adalah faktor lingkungan yang berperan penting untuk mencegah proses penuaan.
Pembatasan asupan kalori akan mengakibatkan enersi dialihkan untuk mempertahankan
fungsi sel dan memperbaiki kerusakan sel serta mengurangi produksi radikal bebas (Merry.,
2002, Martin et al., 2006). Menurut penelitian Bishop et al (2007) pada C.elegans, kalori
restriksi dapat meningkatkan respirasi dan metabolisme pada jaringan perifer sehingga dapat
meningkatkan kemampuan hidupnya (Bishop et al., 2007). Efek dari kalori restriksi adalah:
mengurangi produksi radikal bebas, memperbaiki kerusakan sel, meningkatkan kadar BDNF
dan menekan expresi gen penuaan (Prolla et al ., 2001)
2) Olah raga, exercise yang teratur dapat menghambat pemendekan telomer (Cotman., 2002)
3) Pendidikan yang berkelanjutan (Shenkin., 2003, Staff., 2004)
4) Rangsangan kognisi (Lazarov., 2005)
5) Peningkatan asupan polyunsaturated fatty acids, seperti Omega 3 (Kyle., 2002)
6) Vitamin B6, B12 dan asam folat (Elias., 2006).
7) Meditasi (Khalsa., 1998)
8) Cukup tidur
Kurang tidur akan meningkatkan radikal bebas dan juga mengakibatkan menurunnya
produksi growth hormon. Pada usai tua terjadi penurunan produksi melatonin yang
mengakibatkan proses tidur kurang berkualitas, hal ini akan mengakibatkan gangguan
konsentrasi dan penurunan fungsi memori (Karasek., 2004).
9) Statin
Statin dapat meningkatkan eNOS, menghambat respon inflamasi, mempunyai efek
antioksidan, memperbaiki fungsi endotel, dan menurunkan aktivasi platelet. Pada
Alzheimer, terjadinya komplex beta amyloid dan Cu2+ merupakan katalisator dari H2O2 yang
merupakan hasil dari oksidasi cholesterol. Baik H2O2 dan kompleks A-Cu sangat berperan
terjadinya degenerasi sel (Puglielli et al., 2005, DeKosky., 2005). Penelitian secara klinis
menunjukkan bahwa atorvastatin bermakna untuk penderita Alzheimer serta dapat
memperbaiki fungsi kognisi (Spark et al., 2006, Parale et al., 2005).
10) Mengkonsumsi wine, karena kulit dan biji anggur mengandung resveratrol (3,5,4-
trihydroxystilbene) yang dapat meningkatkan sensitivitas dari insulin, menurunkan insulin-
like growth factor-1 (IGF-1), meningkatkan AMP-activated protein kinase (AMPK) dan
peroxisome proliferator-activated receptor-coactivator1 (PGC-1), serta meningkatkan
aktivitas mitokhondria (Baur etal., 2007).
11) Sildenafil, suatu PDE-5-inhibitor dapat meningkatkan plasma nitrik oksida (NO), cAMP,
menghambat hidrolisis cGMP, merangsang forforilai Akt (Li et al., 2007).
http://indoneuroscience.blogspot.com/2008/08/anti-aging-by-fenny-l-yudairto-md-phd.html
Anti aging by Fenny L. Yudairto MD., PhD

KIAT MENCEGAH PROSES PENUAAN OTAK


Fenny L. Yudiarto
Mardi Rahayu Hospital, Kudus – Jawa tengah
Life is a temporary victory over the causes of death
Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ sehingga pemberian obat
sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang
pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang
diperkirakan. Diantara demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang
sebagian dapat bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini
lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita lebih dari satu
penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi, gagal jantung dan infark serta
gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga
terjadi keadaan yang sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan
badan, penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia memperoleh
pengobatan yang banyak jenisnya(Darmansjah, 1994).

KONSEP DASAR PEMAKAIAN OBAT


Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan obat
Diagnosis dan patofisiologi penyakit
Kondisi organ tubuh
Farmakologi klinik obat (Boedi, 2006)
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat yang dibeikan perlu
dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat yang akan diresepkan. Pada
usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat,
karena pada golongan lansia berbagai perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh akan
mempengaruhi tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan obat pada
usia lanjut :
1. Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada indikasi yang
tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang sesungguhnya
2. Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkandan tidak
berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya
3. Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan pada
orang dewasa yang masih muda.
4. Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu dengan memonitor
kadar plasma pasien. Dosis penuNjang yang tepat umumnya lebih rendah.
5. Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah ditelan untuk
memelihara kepatuhan pasien
6. Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat yang tidak
diperlukan lagi (Manjoer, 2004)

FARMAKOKINETIK
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi
obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat
penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran
cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut,
kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh dan
ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat dengan
protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk
organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak
dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma. Penurunan
albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi
pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan
meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat
efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh kecepatan
ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat menjadi lebih
larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya
oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan
(uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada
kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan
juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain,
dan propanolol.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat
diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya berkaitan
dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga dengan bersihan
kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut,
fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi
glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi,
kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi
tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium,
yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan
tubulus (Bustami, 2001).

INTERAKSI FARMAKOKINETIK
1. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal dan
menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar
kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga
memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi
dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan
kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa
kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi
yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga
mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek
samping terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun
sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah jantung
sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus
digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-toxic,
misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark miokard dan
pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal, khususnya bila
memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua
obat yang sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga
kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia.
2. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga penurunan fungsinya
tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih sulit
ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance.
ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan
karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel
hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi
obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai
normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya
pemakaian methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati.
Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati
berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan
hati untuk metabolisme dengan obat-obat tertentu.
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding) berpengaruh
penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian
terbesar akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati sebelum memasuki
sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan
mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang
kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang
dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberikan secara intra-
vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena
itu untuk obat-obat tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih
kecil daripada dosis oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat
banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan dengan
protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah
dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin)
sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi
menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin
yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein
sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek
samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas
perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma
hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk
obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001)

FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia secara
keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon homeostatik yang
berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses
biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma
bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya
akan besar juga sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya
menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi
homeostatis melemah (Boedi, 2006)

INTERAKSI FARMAKODINAMIK
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat dan
target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan
kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin
menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis
“normal” dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif
seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang
terlalu besar) pada lansia.
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut, sehingga
obat antihipertensi seperti prazosin, suatu α1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi
ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga
menyebabkannya (Darmansjah, 1994)

Anda mungkin juga menyukai