Anda di halaman 1dari 157

Damar and His

Dragon
The Journey A Gold and Silver
Buku Pertama
Gian Ganevan Putra
Untuk.. jagoan kecil yang jauh disana..
Dilahirkan oleh Ibu yang luar biasa..
Damar Dias Van Geest
PROLOG :
LOLONGAN KEMATIAN

Kabut tipis berayun di teras lantai hutan, tertiup


menari oleh lolongan angin pelan yang menusuk.
Kegelapan malam semakin membanjiri langit hutan kala
itu. Uzieg yang berbadan besar, menengok dan
memerhatikan setiap bayangan siluet yang bergerak
dibalik kabut.
Pikirannya kalut diluapkan emosi dan gairah
untuk menangkap mangsa yang bersembunyi.
Dibelakangnya berhamburan enam morgul yang
mengikuti dengan waspada lengkap dengan perisai,
pedang berkarat, sepatu boot hitam yang tebal dan
berderit.
“Dia tidak akan jauh dari sini,” kata mahluk itu
sambil mengendus udara.
Perawakan mereka mirip manusia, perbedaan jelas
terlihat pada rambutnya tebal dan kasar berwarna
keabuan, iris matanya merah seperti hewan nokturnal.
Lengan yang kekar siap menghancurkan apapun yang ada
didepannya. Jubah hitam kelam terbalut rapat di tubuh
kurus kekar dengan simbol yang aneh dan sulit dipahami.
Uzieg mengintip di balik pepohonan kecil, ia
terdiam sejenak, memikirkan segala kemungkinan. Ia
menunjuk ke arah pohon pinus besar yang terlihat
mencurigakan, memberi sinyal pada anak buahnya yang
membungkuk. Segera dua morgul yang berbadan kecil
memencar maju memecah kepulan kabut yang semakin
menebal. Amarah semakin mengguncang kepalanya,
tatkala dua anak buahnya memberi tanda tidak ada
mangsa itu disana.
“Berpencar, bunuh dia dan ambil benda itu dari
mayatnya, atau mati!” katanya geram. Para morgul
bergidik ngeri, segera mereka berpencar meliuk,
memasuki semak dan menelusuri pepohonan.
Cuaca semakin gelap, kegelapan menyulitkan
manusia dan juga morgul untuk mengamati. Dingin
malam semakin menusuk, apa yang dicarinya belum juga
menampakan diri. Uzieg sejenak menggenggam gada
besar yang terikat di pinggangnya, kesabarannya sudah
habis. Emosi membakar ketenangannya di malam dingin
itu, lalu dia melolong menjerit frustasi.
Kesunyian terhenti seketika suara debuman keras
terdengar di arah barat tempat Uzieg berdiri, suara anak
buahnya menjerit menyiksa terdengar hebat di telinga
mereka. Apakah penyihir itu muncul? Dalam benaknya.
Segera dia berlari menuju kepulan asap yang menjulang
di balik pepohonan, namun empat morgul dibelakangnya
tidak selincah dirinya. Penglihatan mereka tidak sebaik
Uzieg, mereka cepat tertinggal di belakang selagi Uzieg
tiba dilokasi suara itu terdengar.
Dilihatnya dua anak buahnya yang sudah
tergeletak tidak bernyawa, darah hitam mengalir hangat
membanjiri rerumputan. Uzieg menengok mengawasi, ia
yakin sang penyihir masih diam mengamati mereka. Dia
mendongak mengendus udara, mencoba menghirup
aroma manusia yang dipenuhi rasa takut.
Ia kemudian melompat, mengayun gadanya yang
besar dan berat ke arah pohon kecil di depannya.
Hantamannya meremukkan pohon malang itu, sesosok
bayangan menghindari runtuhnya pohon dan berusaha
menghilang di balik kabut yang berpihak padanya.
“Kejar, kejar dia!” teriak Uzieg.
Empat morgul berlarian ke arah penyihir itu
sambil mendengus. Dibelakangnya Uzieg terus
mengawasi gerak gerik dari sang penyihir di depan.
Debuman keras kembali terjadi, ranting-ranting besar
berjatuhan dari atap hutan. Tapi itu tak cukup
menghentikan derap langkah morgul.
Lantai hutan semakin berbatu dan licin, kondisi ini
menyulitkan semua jenis penyihir untuk bertahan.
Pengejaran yang berlangsung berjam-jam dan sihir yang
digunakan tiada henti, akan menguras tenaganya sampai
ke sum-sum tulangnya, pikir Uzieg penuh kesombongan.
Langkah mereka semakin memelan dikala
pengejaran ini berujung pada sebuah jurang yang
menjulang dan menajam. Dibalik keheningan yang
semakin diam. Suara aliran Sungai Raen nan deras
dibawahnya meringis terdengar menyerang di dasar
jurang gelap.
“Well, inilah akhirnya,” kata Uzieg, bangga.
Sesosok pria tua bertudung tampak kelelahan,
berdiri memucat di ujung jurang yang meruncing.
Lengannya menyodorkan tongkat kayu yang menyala
putih, memaksa mundur morgul didepannya. Tetapi tidak
dihiraukan mahluk yang terus melangkah perlahan sambil
membungkuk.
“Pencurian adalah hal yang keji, sekalipun itu
dilakukan oleh penyihir,” kata Uzieg mencaci.
“Kau salah jika mengira saat ini kalian
pemenangnya,” kata penyihir itu mencoba tenang.
Uzieg menahan kemurkaannya dan memaksa
dirinya tertawa mencibir. Dia bergerak maju mendekati
penyihir yang sekarat itu.
“Ini adalah pertaruhan, untuk masa depan,” kata
penyihir itu, bibirnya terlihat merapalkan sesuatu, bahasa
rumit yang hanya diketahui oleh dirinya.
Uzieg mendongak kaget, dengan sigap berlari
menjangkau penyihir itu. Tetapi debuman kencang dan
ledakan putih membutakan matanya di kegelapan malam,
memaksanya menutup mata menahan berkasan cahaya
dari tongkat sang penyihir.
Mata merahnya kembali terbuka, dilihatnya sang
penyihir yang berdiri menghadap ke dasar jurang
didepannya. Di ujung jarinya bertengger seekor gagak
kecil yang di dekatkan pada bibirnya. Wajah penyihir itu
nampak putus asa. Dia membisikkan kata-kata yang
terdengar singkat pada hewan mungil itu dan
menghempaskannya ke arah langit atap jurang. Dengan
cepat gagak itu menghilang ditelan kegelapan hutan.
“Dia berniat mati, cepat gapai tubuhnya!” geram
Uzieg murka.
Waktu tidak memihak para mahluk itu, sang
penyihir memasrahkan tubuhnya mengikuti gravitasi
jurang dan terjatuh. Uzieg yang tiba di ujung jurang
mendongak mengamati dasar jurang yang hitam. Namun
dia tidak melihat tanda sang penyihir. Para morgul
bawahannya menghambur di ujung jurang, menengok
kesana kemari, berharap tubuh sang penyihit terlihat
mengambang. Namun hanya hitam pekat dan suara aliran
deras yang tercerna dalam penglihatan dan
pendengarannya.
Mereka segera mengkonfirmasi kepada Uzieg
yang berdiri angkuh, sesuatu itu telah hilang bersama
lenyapnya tubuh sang penyihir. Suasana malam itu pun
kembali mereda, keheningan kembali muncul perlahan
dibarengi dengan para morgul yang menghilang di balik
semak dan pepohonan.
TIGA PEMBURU MUDA

Ketiga pemuda itu berlutut di balik batu berukuran


sedang yang tertutupi semak belukar. Damar, pemuda
yang termuda di antara mereka berusia lima belas tahun.
Usia yang cukup matang untuk melakukan perburuan di
hutan liar. Alis mata yang hitam bertengger di atas
matanya yang coklat, rambut coklatnya yang tipis tergerai
menutupi kepalanya.
Hans yang paling tua berusia dua puluh tiga, pola
rambutnya yang berantakan hampir menyembunyikan
kedua matanya yang biru. Kumis dan janggut tipis terlukis
memberikan kesan dewasa. Ia mengawasi di sela-sela
celah ranting semak.
Fade yang berusia lebih tua tiga tahun dari Damar,
berwajah lebih sigap dan agak mirip dengan Damar. Dia
adalah kakak kandung Damar. Fade, menggenggam busur
kayu, mencoba membidik sesuatu yang bergerak.
Mereka bertiga berpakaian lusuh, di pinggangnya
masing-masing menggantung belati kecil bergagang
tulang. Belati kecil yang tajam untuk menebas semak,
rumput dan jenis tumbuhan penghalang lainnya selama
perburuan dilakukan.
Langit kala itu membiru dengan kapas awan
melayang di badan perbukitan sekitarnya. Lumut-lumut
tumbuh subur dan aroma angin sepoi yang segar bertiup
menyentuh pipi mereka. Damar berlutut di belakang fade,
menjaga dirinya tidak tertinggal saat dua saudaranya
bergerak gesit. Langkah kaki mereka bergerak sangat
cepat, berpindah dari satu petak ke petak lainnya.
Mengamati kemungkinan apapun terhadap buruan yang
muncul kapan saja.
“Jejak ini baru,” kata Fade, jarinya menyentuh
rerunputan yang terinjak membentuk jejak kaki hewan
mamalia.
“Sayangnya itu benar, dan apapun hewan yang
menginjak itu ada di depan kita sekarang,” kata Hans
menunjuk.
Siluet nampak dari kejauhan, namun menjadi
semakin jelas saat cahaya yang tertutup awan mulai
menembus tajuk hutan. Berdiri seekor rusa jantan
berwarna kecoklatan, bertubuh sedang namun kekar.
Tanjuk tajamnya mencuat mengakar, melebihi batas
punggungnya. Ia tersembunyi diantara pepohohonan yang
berdiri kokoh.
Rusa itu nampak tenang dan memakan rerumputan
di antara dua kaki depan yang berwarna keabuan.
Pertanda ia tidak menyadari kehadiran si pemburu muda
dari kejauhan. Damar nampak terpesona, Pertanyaan
muncul dalam benak kecilnya. Bagaimana seekor rusa
jantan nan gagah, berdiri jauh di hadapannya, selamat dari
hewan buas manapun di hutan tanpa satupun bekas luka
di tubuhnya.
“Katakan apabila saat ini adalah jarak termudah
untukmu membidik rusa itu,” kata Hans sambil terus
mengawasi.
“Aku bisa, cahaya membatu memperjelas bentuk
tubuhnya, yang kubutuhkan hanya sepuluh detik,” Jawab
Fade percaya diri..
Fade bersiaga, diambilnya anak panah yang
tergantung di punggungnya, terikat dengan tali rotan yang
mengelilingi bahu sampai ke pinggul. Nafasnya
memberat, dan jarinya menegang. Ditariknya anak panah
tajam itu sampai siku kurusnya menggetar.
Di sisi lain, Damar merasa ketidak nyamanan
menyerang pikirannya, pijakan kaki di tempat iya berlutut
terasa begitu lunak selunak roti. Ia mencoba tidak
menghiraukan, dan terfokus pada apa yang ia lihat
sebelumnya. tetapi hal itu semakin mengganggu dirinya.
kekagetan menyerbu dan membangkitkan
stimulus refleks sarafnya saat dirinya mengetahui puluhan
semut peluru membanjiri kakinya. Semut itu berusaha
mengapai siku dan betis yang tergores lumpur yang
mengeras. Hewan kecil itu tidak memberi sinyal kapan
gigitannya akan menancap di kulit kakinya dan
memberikan sakit luar biasa padanya.
Damar berteriak keras, menendang-nendangkan
kakinya ke semak rumput didepannya.berharap para
semut itu terlempar dan menjauh darinya. Teriakannya
cukup untuk menyadarkan rusa akan kehadiran pemburu
yang berniat mengambil nyawanya. Dengan cepat rusa
jantan itu berlari menerobos pepohonan dan hilang
meninggalkan ketiga pemuda di belakangnya.
“Kau sadar apa yang kau perbuat?” kata Hans
meninggi.
“Maaf Hans, gigitan mereka tidak bisa menahanku
untuk diam,” jawab Damar lirih, tangannya mengusap-
usap telapak kakinya yang terasa perih.
“Oh ya? Hanya beberapa detik saja sebelum
kakakmu fade, berhasil menancapkan anak panahnya di
jantung hewan itu. Mungkin malam ini, seharusnya rusa
itu sudah berada di kuali panas kita, iya kan Fade?” sahut
Hans.
Sejenak suara fade mengambang di udara,
membuat Fade diam dan berpikir, ia tau siapa yang harus
dibela saat ini. Ia kemudian memasukan anak panahnya
kembali ke sarung di punggung dan berkata, “salahku
tidak menyadari tempat Damar berlutut adalah sarang
semut peluru. Kurasa aku pun hanya bisa menahan sakit
gigitannya tidak lebih dari lima belas detik. Ini kali
pertama Damar ikut dengan kita, kurasa sangat bijak
apabila kau merelakan rusa itu dan memaafkan Damar.”
“Well, Musim dingin sudah dekat, kurasa kau
sudah cukup pintar untuk mengetahui kawanan rusa, tidak
mungkin terlihat lagi di Norburry. Beberapa hari ini perut
kita hanya terisi roti kering dan aku rindu daging yang
dimasak! Rusa itu harusnya berlari tidak jauh dan kita
harus mendapatkan kembali apa yang hampir kita
dapatkan,” kata Hans menatap Damar dan memicingkan
matanya.
“Rusa itu mengarah ke dalam hutan Pine,
memaksa kehendak kita untuk mengejar rusa itu bukanlah
hal yang tepat. Bahkan, pemburu Norburry tidak pernah
berani menginjakkan kaki di Pine, mereka tau Wildster
bisa menyergap kapan saja.” Kata Fade.
“Aku tahu ini salahku, dan aku siap mencari
kembali rusa atau hewan apapun yang bisa kita masak
malam ini. Kesalahanku cukup fatal untuk suatu
kelompok pemburu,” kata Damar.
“Pendapatmu bisa benar, tetapi berbeda apabila
kita mencoba masuk ke pine lebih dalam,” potong Fade.
“Apapun itu, aku masih tidak menerima, ini
pertama kalinya buruan kita lepas hanya karena seseorang
yang berteriak di saat hewan itu hampir terbunuh,” lanjut
Hans. Ia kemudian melangkah ke arah hilangnya rusa itu.
Mengawasi hutan yang semakin dalam di depannya. Hans
kemudian menengok ke belakang memandang Damar dan
Fade dengan wajah sewot dan berkata, “kita belum bisa
pulang sampai mendapatkan minimal seekor rusa!”
Fade dan Damar saling bertatapan, berusaha
mencerna keadaan dengan kepala dingin. Fade
mengangkat kedua bahunya pasrah. Raut bersalah tersirat
jelas di wajah Damar, Namun dia merasa apa yang
dikatakan Hans masih ada benarnya. Mereka
membutuhkan daging untuk persediaan makan selama
seminggu kedepan.
Mereka bertiga kemudian melanjutkan
langkahnya, menelusuri eloknya pepohonan dalam Pine
yang semakin rapat dan dingin. Berusaha sejenak
melupakan apa yang telah terjadi dan mengadu nasib
barunya sebelum matahari pergi di hari itu.
KETAKUTAN NYATA

Musim dingin di daerah Norburry memaksa


hewan mamalia bermigrasi ke selatan. Jalur-jalur utama
yang mengarah ke dalam hutan mulai di tanami papan
peringatan oleh patroli desa Norburry. Jalur itu
sebenarnya jalur lampau yang dibuat dari para pelancong
dari luar wilayah Norburry untuk menjelajah pine.
Semenjak rumor hidupnya wildster di kedalaman Pine,
jalur itu banyak ditutup.
Hutan Pine bukanlah tempat yang bersahabat bagi
hewan mamalia dalam menghadapi musim dingin.
Perbukitan berbatu cadas yang mengelilingi bagian dalam
hutan dan sulitnya cahaya matahari menembus tajuk
hutan menjadikan hutan Pine disebut sebagai hutan
kesialan bagi para pemburu di Norburry.
Satu-satunya sumber kehidupan di hutan pine
adalah aliran deras yang mengamuk dari sungai Raen
yang terbentang dari hulu pegunungan Helmaer dan
berhilir di danau Musden tidak jauh dari desa Norburry.
Matahari semakin bersembunyi tertutup
cakrawala, memendarkan cahaya jingga. Udara segar
berganti menjadi menyakitkan. Kabut tipis mulai
menyembunyikan kaki-kaki para pemburu muda,
pertanda siang berganti sore. Damar, yang berjalan pelan
di belakang Fade mulai merasa ini bukan pilihan yang
baik. Hawa hutan yang semakin menekan membuat
telapaknya mudah berkeringat. Ia melihat Hans yang
berjalan paling depan merasa tidak ragu sama sekali.
Langkah demi langkah adalah pertaruhan.
Semakin lama mereka melangkah semakin dalam mereka
masuk ke Pine, dan semakin dekat mereka dengan rumor
yang beredar. Baginya, memohon kembali pada saat ini
bukanlah waktu yang tepat, terlebih mereka sudah
melangkah jauh dari hutan pinggiran. Hans kemudian
berhenti dan memberi sinyal dibelakangnya untuk ikut
berhenti. Dia berlutut dan menajamkan penglihatannya.
“Didepan adalah sungai Raen, keberuntungan kita
akan di uji di sana,” kata Hans singkat dan kembali
melangkah.
Fade mengangguk, tapi ia tetap ragu. Sungai Raen
adalah tanda mereka sudah sangat jauh dari hutan
pinggiran, setidaknya itu yang pelancong katakan
padanya sebulan lalu. Benaknya beradu antara memaksa
Hans untuk kembali ke pondok kecil di hutan pinggiran
atau terus mengikuti ambisinya.
Tidak lama mereka tiba di hamparan batu kerikil
yang terlapisi rerumputan yang tipis. Mereka bertiga
tengkurap, sesaat mengamati apa yang terlihat di
depannya. Sungai Raen mengalir deras, sungai yang
hanya mereka dengar dari para pelancong. Sungai itu
sangat lebar mencapai dua puluh meter. Bunyi alirannya
tidak terdengar ganas, tetapi terlihat mampu menyeret
rombongan kuda.
Tidak jauh dari tempat mereka tengkurap, Damar
melihat rombongan rusa yang berjalan mengikuti aliran
sungai Raen. Mereka tampak berjalan waspada. Seekor
jantan berjalan paling depan sambil mengamati, tiga ekor
betina dibelakangnya mengikuti dengan seksama. Hans
terlihat gembira, melupakan kegagalan yang terjadi dan
menepuk-nepuk bahu Fade.
“Cepat! Kali ini tidak akan gagal,” kata Hans.
“Kuharap ini melupakanmu dari kejadian tadi,”
kata Damar, tertawa pelan.
“Well, setelah salah satu dari rusa itu berhasil kita
bawa pulang,” jawab Hans dingin.
Jemari Fade kini lebih siap, diambilnya anak
panah yang sebelumnya gagal tertembak. Cahaya
matahari saat itu memudar, tetapi target buruannya masih
terlihat jelas di matanya. Ia menghirup napas dalam-
dalam, menenangkan semua ketegangan dalam urat-urat
tubuhnya. Kembali ia menarik anak panah tajam dengan
tangan kanannya.
Ketika jarinya akan melepas anak panah, suara
geraman keras terdengar di balik bayangan pepohonan.
Bayangan hitam melompat buas menerjang kawanan rusa
yang terperangah. Seekor Wildster bertubuh besar
mencabik seekor rusa betina.
Pemandangan ngeri terlihat tatkala pemuda-
pemuda itu membeku menyaksikan seekor rusa tidak
berdaya dalam satu serangan wildster. Seketika, satu rusa
tumbang dan darah segar mengalir dari guratan luka
cakaran mahluk buas itu.
Bulu hitam legam dan lebat memenuhi seluruh
permukaan kulit, dengan tiga cakar panjang seperti pisau
belati mencuat dari ujung tapak tangan dan kakinya.
Ukuran tubuh wildster itu sebesar beruang dewasa, dan
bermoncong serigala. Aumannya lebih keras dari hewan
liar pada umumnya.
Ia mengamati rusa yang tergeletak di depannya
dengan penuh kesiapan. Mengoyak tubuh rusa itu dengan
taring putihnya yang tergantung di mulutnya. Jari fade
terasa keram, apa yang dilihatnya saat itu belum
memberikannya kesadaran maksimal pada otaknya. Dia
tidak mampu berpikir. Dalam hitungan detik jarinya tanpa
sengaja melepas anak panak yang tertarik erat sejak
semenit tadi. Menembus angin dingin di balik semak dan
mengenai paha wildster.
Kejadian itu hanya berlangsung beberapa menit.
Wildster mengaum meronta, aumannya menggema dan
menggetarkan tanah tempat mereka terlindung di balik
semak. Ia mengendus-ngendus udara penuh kegilaan,
mencoba meresapi bau mencurigakan si penyerang sambil
mencari sumber tusukan anak panah itu berasal.
“Kau sudah gila!” bisik Hans.
“Semua itu diluar kendaliku!” Jawab Fade.
“Adikmu menghilangkan buruan kita di hutan
pinggiran, dan sekarang kau baru saja menembak mahluk
buas legenda negeri kita!” serang Hans.
“oh ya? Kau pikir siapa yang memberi kita ide
untuk memburu sekelompok rusa di dalam Pine!” bisik
Fade mengeras.
Mereka berdua saling menatap penuh geram,
pertengkaran nyaris pecah, tetapi semua terhenti ketika
Damar yang tidak mendengarkan Fade dan Hans ikut
berbisik keras.
“Apa Wildster itu melihat ke arah kita?” bisiknya
sambil menggoyangkan bahu Fade.
Tatapan Wildster menuju semak tempat mereka
bersembunyi terwujud jelas di mata Damar. Ia tau
Wildster tersebut menyadari keberadaan mereka. Mahluk
itu mendekat sambil mengeram.
Hans, Fade dan Damar bergegas meloncat dari
semak, tubuh mereka bergerak tanpa kehendak. Mereka
bertiga menghindari tempat itu secepat yang mereka bisa.
Bagaimanapun, kecepatan mereka sangat mudah
dikalahkan oleh mahluk buas itu. Derap langkah kakinya
semakin terdengar besar di belakang Damar. Dengan
cepat satu cakaran besar mengarah ke Damar yang berlari
paling belakang.
Damar melompat berbelok menuju dahan pohon
yang tumbuh pendek dan besar. Lompatannya tidak
sejauh ayunan dari cakar wildster yang mengarah
tubuhnya. Beruntung ujung kukunya hanya menggores
lengan kananya. Damar meringis kesakitan, Dilihatnya
wildster itu belum cukup puas menyerangnya dan kembali
mengaum ke arah tajuk hutan. Memperingatkan dirinya
siapa yang berkuasa disana.
Fade dan Hans yang sudah berada di depan sadar
kembali berbalik arah. Mengetahui Damar berada dalam
masalah antara hidup dan mati. Mereka sampai agak
terlambat tepat membelakangai wildster hitam itu sejauh
lima meter, terpisah antara pepohonan pinuh yang kokoh.
“Terus berlari Damar!” Teriak Fade.
Kata-kata itu tidak hanya melesat di udara, tapi
juga meresap menuju pendengaran Damar. Sambil
menggenggam lengan kirinya yang menghangat karena
darah, dia mencoba terbangun dan berlari, tetapi Wilster
itu mencoba mengejarnya.
Anak panah segera di kaitkan pada busur rotan
milik Fade. Matanya sulit melihat karena langit
menggelap dan pergerakan wildster yang cepat. Segera
anak panah ditembakkan dan menembus batang kayu
yang berjarak sepuluh senti dari tubuh mahluk hitam itu.
“Bodoh! Ini pertama kalinya kau menggunakan
busur itu dengan sangat buruk!” kata Hans. Dia kemudian
berbegas mengejar wildster itu yang menggila.
Di sisi lain, penglihatan damar semakin kabur,
pancaran langit mulai menggelap, pendar jingga berubah
menjadi keabuan di susul bulan yang mulai menerang.
Ketakutan memenuhi tubuhnya, apakah ini hari
kematiannya? Pikirnya tiba-tiba.
Adrenalinnya membanjiri seluruh pembuluh
darahnya, ia merasa berlari lebih cepat dari sebelumnya,
tanpa memperdulikan lukanya yang semakin membakar
dagingnya. Entah berapa ranting yang terinjak, dan
dahan-dahan pohon yang menabrak mukanya. Hutan ini
memaksanya terus berlari semakin dalam.
Suara gemercik air kembali terdengar di
hadapannya. Damar menengok kebelakang memantau,
mencoba minyingkirkan rasa paniknya yang meledak-
ledak di kepalanya. Suara Air itu pasti berasal dari sungai
Raen, pikirnya.
“Setelah aku sampai di sisi sungai itu, aku akan
melompat dan berenang, mahluk itu pasti tidak akan bisa
berenang. Dia hanya akan melongo dan berpikir untuk
mundur,” pikirnya dalam hati.
Didepannya terlihat jalan setapak dari bebatuan
kecil yang terintis, menuju ke arah bunyi sungai yang
semakin keras. Tapi sisi kirinya menjorok ke bawah, jalan
setapak itu berada di sisi dataran yang curam. Damar
merasa agak lega, wildster itu tidak terdengar di belakang,
derap langkah besarnya menghilang tiba-tiba. Suara Fade
dan Hans terdengar dari kejauhan memanggil menggema
ringan.
“Damar! Damar!” gema suara itu mendengung
diantara pepohonan.
“Hans! Fade!” balas Damar. Dia merasa suara itu
datang dari arah belakangnya.
Damar berhenti berlari, dia duduk sejenak di jalan
setapak berbatu. Menghembuskan napas dalam-dalam
dan mencoba tenang sejenak. Tangan kanannya, masih
mencengkram lengan kirinya yang terluka. Luka itu
sepanjang lima senti dan bergurat seperti cakar harimau,
tidak begitu dalam tapi cukup untuk memperlihatkan
dagingnya. Meskipun Darah sudah berhenti mengalir,
tetapi masih terasa basah dan hangat.
Jantungnya dikejutkan oleh lonjakan besar
berdebum tepat didepannya. Wildster itu melompat dari
dahan pohon trembesi besar setinggi empat orang dewasa.
Jantungnya hampir berhenti berdetak, wildster itu
menganga melontarkan air dan auman dari mulutnya yang
terbuka lebar. Kepalanya menggeliat seperti ular yang
ekornya terjepit, rintinkan air liur berterbangan menempel
di wajah Damar.
Damar terlempar, berguling seperti bola rotan
yang mengguling di turunan terasering persawahan.
Ranting-ranting dan rumput yang berkobar menghantam
seluruh tubuhnya tanpa ampun. Entah sampai kapan
mahluk sinting itu akan berhenti mengamuk.
Dia merasakan kepalanya terputar seperti adukan
kuali. Latunya terhenti ketika pijakannya kembali
mendatar dan beralas rumput lembut. Tidak perlu waktu
lama untuk membuatnya sadar, dengan cepat damar
mengguncang guncangkan kepalanya. Mengembalikan
fokus matanya yang bergetar.
Didepan menganga mulut goa yang terbuka, goa
yang setinggi lima belas kaki dan lebarnya hanya selebar
manusia dewasa yang berbaring. bagaimana sebuah goa
bisa ada di sini?
Damar memaksa dirinya berdiri, berusaha
menggopoh berat tubuhnya dengan lengan kanannya yang
masih bertenaga. Tubuhnya serasa berantakan, tapi dia
merasa semua tulang-tulangnya masih berfungsi.
Mahluk sinting itu pasti masih berada di dekat
sini. Dimana hans dan fade? Apa dia tau aku di sini?
Hawa dingin berhembus dari mulut goa
menggelitik kulitnya yang tidak tertutup kain. Ratusan
bulu kuduknya berdiri tanpa perintah, di tatapnya sekali
lagi goa itu. Dalam kebingungan bercampur rasa takut,
pikirannya bergelut.
Perlukan dia bersembunyi di goa ini?
Mungkin ini sarang wildster itu.
Kemana lagi?
Fade dan Hans belum terlihat.
Apa akan mati di sini?
Mungkin.
Ah! lihat, wildster itu muncul lagi.
Baiklah, akan ku susul..
ayah dan ibu..
Sesosok Wildster itu kembali muncul di antara
semak rimbun. Berwujud semakin jelas dan gagah,
diterangi cahaya rembulan, tiap helai bulu di tubuhnya
memantulkan cahaya putih mengkilap, seperti batu
pualam hitam.
Makhluk itu berjalan pelan berirama, tatapannya
tertuju pada mulut goa. Seakan keberadaan Damar
merupakan sebuah ilusi yang dihiraukannya saat itu.
Langkahnya pelan dan semakin pelan. Tetesan kental juga
menetes dari paha kirinya, anak panah fade masih
tertancap kokoh.
Aku mendengarmu..
Damar mengedipkan matanya spontan, sesat suara
itu berbisik di kepalanya. Apa itu pikirannya yang sedang
kacau? Ia yakin suara itu bukan berasal dari otaknya. Dia
melihat ke arah wildster itu yang duduk menghadap ke ke
arah goa. Sorot matanya terlihat tenang, jauh berbeda dari
beberapa menit sebelumnya. tapi ia masih kebingungan
oleh suara yang muncul di kepalanya. Matanya terpejam,
dipaksa oleh sakit kepala yang hebat, tangannya
mencengkeram kerat pelipis dan dahinya.
Kau sangat istimewa.. Apa yang membawamu
hingga memilih tinggal di dalam goa itu..?
Siapa? Suara apa itu! Siapa yang berada di dalam
goa?! Kata damar membalas suara dikepalanya yang
kesakitan.
Kau? Manusia? Bisa mendengarku? kata suara itu
memberat.
Kau..!!
Sakit kepala itu semakin hebat dan menusuk.
Damar berguling-guling, berteriak seperti orang
kesetanan. Secara tidak sadar ia mencoba menjauh dari
ruang di kepalanya yang sesak. Bagai ratusan paku
menghujam tengkorak kepalanya yang tipis. Tubuhnya
semakin tidak terkendali, dan semua menjadi gelap.
PONDOK KECIL

Damar terbangun di pagi hari saat matahari baru


menampakan pijarnya di cakrawala. Matanya masih
menyipit. Lengan kirinya terbalut kain putih yang melilit
hingga bahunya. Kepalanya masih terasa sedikit pusing.
Ia melihat sekeliling, mengapa ia sudah ada dikamar
tidurnya?
Iya terbaring di atas ranjang rotannya yang
dianyam menyilang di pondok kecil, dengan pondasi
terbuat dari bambu kecil berwarna kuning. Di atasnya di
baringkan alas berisi untaian kapas yang memadat. ia
melihat aneka cadangan obat-obatan di dalam botol kecil
berjejeran tidak beraturan di meja kecil samping
ranjangnya. Bau khas dedaunan herbal tercium
menyengat.
Awalnya Pondok kecil ini adalah tempat bernaung
Damar dan Fade, sebelum akhirnya Hans bergabung
bersama mereka. Ia lega, rupanya dirinya selamat dari
malam mengerikan itu. Pasti Fade dan Hans bersusah
payah membawanya kembali pulang ke pondok kecil ini
semalam.
Damar mencoba memejamkan mata, ia teringat
bagaimana dulu Gary, Kepala Desa Norbury merawat
Damar dan Fade ketika masih kecil. Semua terasa berlalu
begitu cepat. Masih tergambar jelas masa-masa kecil
Damar bersama Fade, ketika saat itu mereka masih di asuh
oleh Gary. Gary sangat menyayangi mereka berdua. Tapi,
dia bukanlah ayahnya.
Lalu siapa ayahnya? Mendadak kata-kata itu
muncul kembali dalam benaknya.
Fade sangat benci ketika Damar bertanya siapa
ayah kandungnya. Fade selalu berkilah dan berkata Gary
lah ayah mereka. Pasti sangat menyenangkan apabila dia
mengetahui ayah kandungnya.
Ia mulai teringat bagaimana Gary sempat bercerita
sekilas mengenai ayahnya. Usia damar saat itu satu bulan
dan fade tiga tahun, ketika seorang pria menitipkan dua
anak lelaki yang menangis keras. Pria itu bersujud di
depan Gary dan memohon untuk merawatnya. Hujan
deras turun di kala itu. Gary nampak kebingungan dan
menyeka air yang membasahi wajahnya, para anak itu
pasti kedinginan. Tetapi pria itu tidak bergeming dan terus
bersujud.
“Kuhomon, jaga mereka berdua, hingga saatnya
tiba,” kata pria itu.
Damar mencoba mengingat kembali apa yang
Gary katakan, tapi semua terlihat samar. Hanya maaf
berulang kali yang terucap dari pria itu dan akhirnya
meninggalkan rumah Gary. Begitulah yang Gary katakan
dulu.
Usia beranjak dua belas tahun tahun saat orang-
orang di desa memandang kami berbeda. Mereka
mencibir, melempari fade tomat dan telur busuk. Hanya
karena mereka menganggap Fade dan Damar adalah anak
liar. Fade dikala itu berusia lima belas tahun, ia murka dan
marah. Ia mencoba melarikan diri bersama Damar. Tapi
kesungguhan Gary dan kasih sayangnya sering
meluluhkannya. Fade tahu bagaimana tekanan yang
dirasakan oleh Gary. Tapi ia sungguh tidak berniat
melepaskan Fade dan Damar.
Fade bersikeras dan akhirnya meninggalkan
rumah Gary dengan sepucuk surat. Damar tidak bisa
membaca, tetapi ia mengingatnya, sebuah kata-kata yang
di ucap Fade pada malam sebelum mereka meninggalkan
rumah Gary di Desa Norburry. Fade menggumam sambil
menulis di samping cahaya redup lilin putih, dan pena
bulu gagak. Kata-katanya adalah.

Gary, aku tahu apa yang sudah kau lakukan


kepadaku dan Damar.
Kebaikan dan kesungguhanmu dalam mengasuh
kami si anak liar.
Duniaku dan Damar masih sebatas kertas putih
tanpa tulisan.
Mereka tidak paham tentang kita kan? Aku
mengerti itu.
Belum tergores sedikitpun tinta dalam kertas itu.
Percayalah, yang aku lakukan akan membuatmu
mengerti.
Betapa Akupun menyayangi mu Gary.
Tapi, rumahmu bukanlah rumahku dan Damar.
Aku akan sejenak pergi, membangun kehidupan
bersama adikku..
Jangan kuatir! kami tidak akan jauh dari
Norbbury!
Dan, Mungkin suatu saat akan ku undang kau ke
rumah baruku!
Fade.
Lalu ia teringat bagaimana, dia membantu Fade
membangun pondok kecil ini di pinggir hutan Pine
dengan sederet pegunungan Helmaer yang menjulang.
Beberapa kayu-kayuan dan papan di beli dengan uang
damar bekerja sebagai petani ladang. Tetapi bahan itu
tidak cukup, banyak di ambil dari hutan di Pine. Pondok
kecil itu tidak besar, tapi cukup dan menghangatkan. Pada
saat itulah mereka belajar berburu di pinggir hutan Pine.
Berbeda dengan Hans, Hans merupakan anak
yatim piatu yang hidup nomaden bersama pedagang.
Mereka bertemu saat Fade pulang membawa kayu bakar.
Mereka bertiga saling bercerita, membagi pengalamannya
masing-masing.
Hans berkata dirinya membenci para pedagang
karena sering membagi keuntungan tidak adil padanya,
dan bermimpi dapat menjadi bangsawan yang kaya raya
dan menetap di suatu istana miliknya. Banyak cerita
keluar dari mulut hans saat itu. Yang paling Damar ingat
adalah ketika ia bercerita sedikit tentang masa lalunya, ia
berulang kali mengatakan ayah dan ibunya adalah seorang
pedagang kaya dari Kota Veros. Kota perdagangan yang
megah berjarak ratusan kilo dari Norburry. Damar dan
Fade berusaha mempercayainya, meskipun nampak
mustahil. Mereka hanya saling tertawa bahagia saat itu.
Puas bercerita di dalam gubuk kecil, ia tertarik
dengan kehidupan damar dan Fade sebagai pemburu dan
mandiri. Lalu ia memutuskan untuk tinggal bersama
mereka. Itulah awal mula cerita dari mereka bertiga, tiga
pemuda pemburu.
Damar masih terbaring, ia mebolak-balikkan bola
matanya, mengingat apa yang terjadi semalam. Semua
masih terpancar jelas dalam benaknya. Wildster hitam
yang berbicara di dalam kepalanya. Ia mencoba
berkonsentrasi Tapi nampaknya hanya membuat dahinya
pening.
Ia beranjak dari ranjang lalu meneguk segelas air
yang berada di sebuah meja kecil dari kayu dekat
ranjangnya. Ada sebuah kata-kata yang selalu tergiang.
Ada sesuatu di dalam goa itu..
Apa? Apakah itu sarangnya? Tapi mengapa
wildster itu nampak bertanya pada apa yang ada di dalam.
Bukankah itu sarangnya, pikirnya terus bertanya-tanya.
Wildster itu nampak tertarik pada sesuatu yang ada di
sana, entah itu harta, makanan atau mungkin roh? Bulu
kuduknya berdiri ngilu. Damar lalu diam, dan meneguk
kembali sisa air di gelasnya.
Mungkin dia harus mencari wildster itu untuk
mendengar lagi apa yang dia bicarakan. Ide itu mungkin
terdengar gila, tetapi ia sadar dirinya istimewa. Suara
yang dia dengar semalam bukanlah ilusi atau kebohongan.
Semua nyata dan ia yakin gelombang suara itu tertangkap
oleh syaraf di otaknya.
Samar terdengar suara keributan di luar pondok. Ia
segera bangkit keluar kamarnya, mencoba mendekati
sumber suara keributan di luar.
Fade dan Hans saling berhadap-hadapan. Sesuatu
yang serius tampak sedang di bicarakannya dengan suara
yang keras. Damar mencoba bersembunyi di balik
tembok. Mendengarkan secara diam-diam.
Hans melipat lengannya di dada dengan bangga,
“Bagaimanapun kita berhasil membunuh hewan liar itu
dan membawa kulitnya, seharusnya kau bersyukur!”.
Fade menatapnya dengan tajam dan menunjuk ke
arah pondok kecil, “Kau semakin sinting! Yang kita
bicarakan tentu nyawa Damar. Ku harap ke egoisanmu
tidak akan membunuh adikku di masa yang akan datang.”
“Berhentilah berbicara soal kematian, kita adalah
pemburu dan semua resiko itu adalah kesempatan kita
untuk bertahan hidup!” sela Hans. “musim dingin berlalu
bagai kibasan angin, Apa yang terjadi apabila seminggu
ini kita tidak mendapat buruan? Kau pikir kawanan rusa
itu sangat cerdas hingga mereka berpikir pinggiran pine
adalah rumah yang nyaman untuk bersarang?”
Fade nampak tidak terima, “apa kau tidak melihat
rupa wildster yang menyerang kita dan Damar? Dan apa
yang kita peroleh setelah kita membunuh wildster itu?
Hanya tumpukan kulit penuh bulu! dan itu bukan daging!
Kuharap kau cukup tau kalau aku sama sekali tidak
berminat memakan daging hitem hewan terkutuk itu!”
“Kalian memanglah pemburu liar yang bodoh!
Kulit itu mungkin bisa dijual dan kita bisa mendapatkan
gold yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan kita
selama seminggu lebih, sepuluh tahun lebih aku bersama
pedagang dan aku tau ini akan bernilai di Desa Norburry!”
Hans, iya memalingkan wajah dan berniat mengacuhkan
Fade.
Fade menghela napas, “Dan aku sudah tinggal di
Desa Norburry selama sepuluh tahu lebih. Aku tau yang
penduduk Norrbury butuhkan, bukan selembar kulit
mahluk buas, tetapi daging dan makanan.”
“Cukup! Aku sodah bosan dengan pembicaraan
ini, lebih baik kubawa saja tumpukan kulit ini menuju
desa. Berbicara denganmu akan membunuh lebih banyak
waktu. Sampai kapan kita akan membicarakan hal malam
kemarin?” jawab Hans berpura-pura sabar.
Hans kemudian berjalan menuju kereta gerobak
kecil yang terisi penuh oleh kulit wildster hitam itu.
Mengecek rotasi dari ban yang terbuat dari kayu.
Beberapa kali ia menyibukan diri di sekitar gerobak kayu
itu, mencoba mendindar dari pembicaraannya dengan
Fade.
Fade menggelengkan kepalanya, semua terasa
berat. Banyak kata yang ingin dia sampaikan pada Hans
tetapi dia tau, semua akan sia-sia bagi si keras kepala
Hans.
“Aku akan ikut denganmu,” kata Fade singkat.
“Bagus.”
“Aku akan melihat keadaan Damar dulu, kalau
kau pikir aku akan berangkat tanpa melihat keadaannya,
maka kau akan menyesal,” Fade berjalan meninggalkan
Hans.
Dia kemudian mendorong pintu yang terbuat dari
susunan kayu papan yang lurus. Pintu hampir berdebum
keras, emosinya sedikit meluap-luap. Dia melihat damar
yang duduk tidak jauh dari pintu itu, menatapnya sambil
mengelus dagunya.
“Seberapa banyak yang kau dengar?” kata fade
menuju tempat duduk terdekat.
Damar mengangkat bahu, “Mungkin, sebanyak
yang kalian bicarakan.”
Fade menghela napas. Ia melirik ke luar ruangan
pandangannya menuju Hans yang masih serius sibuk
mengeotak atik kereta dorongnya. Iya menyipitkan
matanya lalu menutup pintu pondoknya rapat.
“Jadi kalian berhasil membunuh wildster itu-,”
kata Damar.
“dan Wildster itu hampir berhasil membunuh kita
bertiga,” potong Fade.
“Apa yang terjadi saat aku pingsan?”
“Kau seperti orang sinting, menggeliat dan
berteriak-teriak. Aku pikir mahluk itu sudah menelan
salah satu bagian tubuhmu,” Fade mencoba bercanda, tapi
Damar tidak tertawa. “Wildster itu nampak kebingungan,
bagaimanapun semua terjadi bagai tiupan angin. Kami
datang tepat waktu, Hans dengan cepat menusuk leher
belakang wildster itu hingga menembus lehernya. Kupikir
sesaat saat kami berlari seperti orang sinting
mendekatinya, ia akan berbalik dan mengunyah kita
seperti kerupuk.”
“tapi dia diam saja, menatap ke arah goa itu. Hans
nampaknya tidak menyadarinya,” kata Fade.
Fade meremas tangannya, ia terlihat sangat gusar,
“Bagaimanapun Hans semakin tidak terkontrol, semua
idenya akhir-akhir ini berujung petaka. Kau ingat kan
bagaimana dirinya saat rusa itu lepas. Entah mengapa aku
merasa sedikit muak dengannya.”
“Keadaan saat itu memang sulit, dan ku akui itu
salahku,” kata Damar.
“Tentu kita masih mempunyai banyak pilihan,
andai kita memilih bersabar mungkin rusa itu akan
kembali ke pinggir pine saat ia merasa sudah aman. Yang
kita butuhkan hanya beberapa jam saja.” Fade semakin
serius. “keputusan fatalnya adalah memaksa kita
memasuki pine lebih dalam dan akhirnya membuatmu
berakhir seperti ini. Semakin lama dia bersama kita, dia
semakin bertingkah.”
“Aku baik-baik saja,” jawab Damar singkat.
“lagipula, meskipun kita tidak mendapatkan rusa itu,
sepertinya kita mendapat sesuatu yang lebih daripada rusa
itu kan?”
Fade menggaruk rambut coklatnya, “Entah, aku
bahkan tidak yakin kulit itu akan bernilai, pedagang
Norburry akan berpikir panjang untuk membeli sebuah
hiasan rumah. Mereka lebih menghargai daging, gula, dan
gandum.”
“Seperti yang sudah kau dengar, aku dan Hans
akan pergi menuju Desa Norburry, membawa kulit itu dan
mencoba menukarnya dengan gold. Sebetulnya aku tidak
menyukai Desa Norburry, mengingatkan kita akan
banyak hal bukan?” kata Fade tersenyum. “Pastikan kau
baik-baik saja, mungkin aku akan kembali esok pagi,
Desa Norburry cukup jauh.”
Damar melipat lengannya di atas meja kayu, dan
mengangguk.
“well,” Fade mencoba beranjak dari tempat
duduknya, ada sesuatu yang mengganjal saat dia melihat
raut Damar yang terlihat sedikit kecewa.
“Kau yakin baik-baik saja? Aku ingin
mengajakmu, tapi lukamu belum pulih, meskipun aku
menjahitnya dengan sangat baik,” kata Fade memastikan.
Kepala damar kembali melilit, sesuatu hal besar
perlu di ceritakan kepada kakaknya. Ia tidak bisa
menyimpannya lama-lama, rasa penasaran dan
keingintahuan memenuhi kepalanya dan berputar terus
menerus.
Perlukan Fade tau? Mungkin Fade merasakan apa
yang Damar alami. Tapi apakah Fade bersedia
menemaninya menuju goa itu, untuk melihat sesuatu yang
mungkin menjadi kejutan bagi mereka berdua. Melihat
kondisinya sekarang, Fade pasti terlalu kuatir akan hal itu.
Iya pasti akan mengurung damar sementara dan
melarangnya menyentuh Hutan Pine.
Damar bimbang, pikiran itu terombang ambing di
antara dirinya dan Fade, “Ada hal yang ingin aku katakan
mengenai semalam.”
“Hmm?” Fade mengangkat alisnya.
Pintu berdebum keras, menggema di ruangan kecil
yang terbuat sebagian besar dari kayu-kayuan.
“Kurasa aku melewatkan banyak pembicaraan?”
kata Hans tajam, iya melirik ke arah damar dan Fade
bergantian. “jika ini waktunya untuk berbincang hangat,
maka kalian salah. Matahari tidak menunggu kita untuk
tenggelam.”
Fade menggelengkan kepala memaksa dirinya
untuk sabar, “baiklah kita berangkat. Ah ya! Damar
lanjutkan nanti saja setelah kami kembali.”
“Okay Fade, selamat tinggal.”
Fade dan Hans kemudian meninggalkan pondok
kecil, siluet mereka kemudian perlahan menghilang di
telan ujung dari jalan setapak. Damar menggerutu,
mencaci dirinya dan beranjak menuju ranjangnya untuk
bersantai. Tetapi, hal itu tidak menghilangkan semua
pertanyaan Damar atas kekacauan malam kemarin.
ALAZAR

Damar terbangun ketika berkasan cahaya


menembak kelopak matanya yang tertutup. Ia beranjak
dari ranjangnya dan menuju ruang penyimpanan
makanan. Perutnya terasa lapar, ia mengambil dua roti
kering yang terbungkus daun kering. Miris pikirnya,
namun memang hanya itu persediaan makanan yang
mereka punya. Damar kemudian keluar dari pondok
kecilnya sembari mengunyah roti keringnya dengan
sangat lahap.
Deretan hijau Hutan Spine membentang
dihadapannya hingga sudut terjauh, di baliknya ia bisa
melihat deretan perbukitan sampai pegunungan Helmaer
yang bergandengan. Sisi badan gunung itu terlihat hijau
lembut dari kejauhan dan puncaknya memutih tertutup
salju. Gumpalan-gumpalan awan pun bergelantungan
melayang di sekitar pegunungan, hendak
menyembunyikan puncaknya.
Cuaca saat itu cuaca yang terbaik, meski musim
dingin hendak menyapa. Damar masih merasakan
hembusan hangat bertiup. Ia kembali malahap roti kering
itu dalam satu gigitan hingga nyaris tersedak.
Bagaimana keadaan Fade dan Hans? Apa mereka
sudah sampai di Desa Norburry? Entah sudah berapa lama
Damar tidak mengunjungi Desa tempat dia tumbuh. Ia
terdiam, lalu menghitung tahun dengan jarinya. Damar
tringat saat dia bekerja bersama Gary dan Fade, memanen
lahan gandum dan jagung yang luas.
Gary memang kepala desa yang mempunyai
pengaruh yang besar terhadap ekonomi di Desa. Jika ia
memilih untuk tetap tinggal bersama Gary mungkin hidup
mereka jauh lebih baik, tapi Damar tidak menyesal.
Bertahan hidup dengan Fade adalah yang terbaik
untuknya. Kakaknya mengajari dia cara bertahan hidup
tanpa bergantung pada orang lain, mendidiknya menjadi
laki-laki yang tangguh. Terlebih, semua orang di desa
tidak menyukai keberadaan kami.
Damar kemudian membaringkan dirinya di
hamparan rumput hijau di samping pondok kecilnya.
Menatap langit dan bersenandung. Cuaca saat siang itu
hampir memaksanya untuk memasuki lagi Pine, hanya
sekedar untuk berpetualang kecil.
Suara derit terdengar samar di telinganya.
Mengganggu lamunan Damar di atas rumput kecil yang
berkobar. Ia terperangah, sesosok pria tua keluar dari
pinggir Pine. Pria itu tidak sendiri, ia mengopoh seekor
rusa jantan besar yang berukuran hanpir dua kali
tubuhnya.
Pria itu nampak tidak kesulitan, berjalan dengan
santainya sambil bersiul-siul. Wajahnya sudah berkeriput,
alis putih tebal menggantung di atas matanya. Rambutnya
hitam bercampur putih tumbuh berantakan seperti jerami
layu yang terabaikan. Kumis putih lebat hampir menutupi
bibirnya yang pucat dan jenggot tebal bergelombang
tumbuh menutupi lehernya yang kurus.
Damar hampir lupa mengenai dirinya, enam bulan
yang lalu pria itu muncul. Dia tidak mengatakan apa-apa
pada mereka yang sedang memakan sup kelinci lalu
membangun gubuk tidak jauh dari pondok kecil mereka.
Jarak gubuk itu sekitar satu kilo, hamparan rumput
setinggi mata kaki lah yang memisahkannya, Sehingga
atapnya yang terbuat dari batang jeawut dan rerumputan
dapat terlihat.
Sampai saat ini, Damar, Fade dan Hans tidak
pernah tau apa tujuan dari pria itu, darimana asalnya dan
niat dirinya tinggal di pinggir Pine jauh dari Desa
Norburry. Apakah dia berbahaya? Sulit ditebak pikirnya.
Beberapa bulan ini Pria itu terlihat aktif berburu.
Meskipun tubuhnya terlihat sudah berkeriput, Damar
mengakui kekuatan fisik luar biasa yang tersirat dari pria
itu.
Pria itu semakin mendekat melewati pondok kecil.
Damar menatapnya dengan tajam, kekaguman terpancar
dari matanya melihat rusa yang lebih besar dari
temuannya kemarin malam. Berhasil di tumbangkan oleh
pria yang tua. Pria itu membalas tatapan Damar.
“Aku tidak sungkan untuk membaginya dengan
kalian,” katanya terdiam.
Damar tergoda, sudah hampir seminggu dia tidak
makan daging segar. Beberapa hari ini memang sangat
krisis, perutnya hanya mengoyak roti kering simpanan
dan sayuran-sayuran hutan. Dia terbayang wajah Fade.
Fade pasti tidak menyukai itu, bagaimanapun Fade sangat
membenci belas kasihan dari orang lain.
Kata-kata itu mengambang diantara mereka
berdua, sampai Damar lama tidak menjawab pria. Tetapi
tatapannya tidak terlepas dari rusa yang di gopohnya,
terselip di kedua bahu pria itu.
“Ah ya! Namaku Alazar, kita tinggal berdekatan
tetapi belum pernah mengenal satu sama lain. Aku yakin
kau pasti merasa kebingungan, seorang pria tua datang
menawarkan buruannya,” kata Alazar tertawa ringan.
“Seingatku, masih ada dua anak muda lainnya, mereka
dimana? Kita bisa mendiskusikannya. Aku yakin, kalian
pun tau musim dingin akan datang. Kekurangan
persediaan daging akan membuat masalah yang lebih
berat dari cuaca dingin itu sendiri.”
“Aku Damar, Fade dan Hans menuju Desa
Norburry. Menjual kulit wildster, mungkin sekarang
mereka sudah disana,” katanya Damar spontan.
“Wildster?” Alazar nampak terkejut.
“Iya, berwarna hitam besar, kami bahkan tidak
mempercayainya akan bertemu dengan mahluk itu selama
bertahun menjelajah hutan Pine. Para pemburu dan
pedagang nomaden mengatakan bahwa Wildster hidup
jauh dari manusia, menjauhi aroma tubuh manusia dan
menyendiri di hutan yang dalam. Mereka ganas,
membunuh manusia-manusia yang dilihatnya tanpa
ampun,” kata Damar bercerita.
“Sebagian dari mereka benar dan sebagian salah,”
jawab Alazar, tatapannya berubah menjadi sangat serius.
“yang kau temui bernama, Orgwa, dahulu mereka hidup
berkelompok di Utara Westeria. Orgwa memang Ganas,
hanya jika melukainya. Selain itu kebuasannya muncul
hanya jika ia kelaparan. Dahulu, Orgwa tidak menyerang
manusia, mereka cendrung menjauhinya. Hingga
perburuan besar-besaran atas perintah Raja Helbert
dilakukan, mereka dihabisi satu persatu. Kulitnya mampu
menahan dinginnya salju dan bahkan akan membuatmu
tetap hangat saat badan salju sekalipun. Pihak kerajaan
menggunakannya sebagai jubah musim dingin untuk
bangsawan Gallard.”
Damar terbelalak, seorang pria tua menjelaskan
Wildster lebih rinci daripada para pedagang dan pemburu
yang sering ditemuinya di Pine. Damar terlihat antusias,
“Mereka memiliki nama?”
“Tepatnya mereka di beri nama, oleh para elf yang
datang ke benua ini lebih dahulu daripada manusia.
Orgwa mampu hidup hingga ratusan tahun, semakin
mengkilap bulu hitam mereka, umurnya bisa mencapai
seratus tahun lebih. Jika kau beruntung mendapat pembeli
yang jeli, kulit itu mampu bernilai hingga seribu gold,”
ucap Alazar.
“Harga yang mustahil!” kata Damar, ia
terperonjak dan dari baringnya dan berdiri antusias.
“Memang, tapi keberadaan Wildster adalah
penyeimbang benua Westeria. Pemburuan oleh pihak
kerajaan menurunkan jumlah populasi mereka secara
drastis! Orgwa akhirnya terpencar dan semakin sulit di
temui, dan- ” kata Alazar sejenak terhenti. “mungkin yang
kalian bunuh adalah Orgwa terakhir.”
Raut kesedihan terpancar di wajah Damar.
Wildster itu mati karena dirinya, ia teringat kembali
kesalahannya. Kalau saja perburuan rusa itu berhasil.
Mereka tidak akan bertemu dengan Orgwa, dan mungkin
Hans tidak akan menikamnya. Orgwa itu harusnya masih
hidup.
Mereka berdua sejenak kembali terdiam. Alazar
memecah keheningan dan berkata, “ sepertinya kalian
tidak hendak menerima pemberian yang cuma-cuma.
Bagaimana kalau aku memberikan kesepakatan.”
“Kesepakatan?” tanya Damar.
“sementara kau menunggu Fade dan Hans
kembali, Kau bekerja membantuku menguliti dan
membelah rusa ini, dan kuberi imbalan dengan daging
rusa untuk kalian,” kata Alazar. “selain itu, aku akan
bercerita tentang hal lain tentang Wildster. Kau bisa
menjamin bahwa ceritaku lebih tepat daripada apa yang
para pedagang itu sampaikan.”
Damar bersemangat, tidak ingin berpikir lama. Ia
mengangguk.
“Kita sepakat, punggungku semakin pegal, lebih
baik kita bawa rusa ini dulu ke gubuk dan aku bisa tenang
bercerita.
Mereka berdua kemudian berjalan bersamaan,
melewati jalan setapak di samping Pine. Mereka berdua
kembali terdiam, tapi Damar mulai berani untuk bertanya.
“Apa tujuanmu tinggal di sini Alazar?”
Pertanyaan itu, menancap di kepala Alazar. Alazar
berpikir, membayangkan jawaban yang akan keluar dari
mulutnya. “Masa remaja memang menakjubkan, dipenuhi
rasa keingintahuan.”
Alazar kembali terdiam, ia menatap langit,
“Sesuatu yang sangat penting.”
“Kurasa itu bukanlah suatu jawaban.”
“Jawaban tidak selalu berupa penjelasan yang
rumit, terkadang ia memiliki makna yang tersembunyi
untuk suatu tujuan yang lain, dan tujuan itu tidak bisa
kusebutkan saat ini,” ketus Alazar. Mereka terus berjalan
hingga jalan setapak itu mengecil, dan tiba tepat di depan
gubuk Alazar.
Gubuk itu lebih kecil dari pondok Damar, namun
terlihat lebih rapi, dibangun dengan kayu-kayuan yang
proposional. Siapapun yang membangun itu pasti
memiliki tujuan yang besar hingga membangunnya
sedemikian rupa.
Alazar masuk ke dalam gubuknya, ia kembali
membawa dua belati kecil yang terbungkus kulit hewan.
“Kita bisa mengulitinya sekarang, atau kita bisa
bersantai dulu dan berbincang,” kata Alazar, ia duduk
sambil memposisikan buruan rusanya.
“Aku ingin berbincang dahulu, kurasa kau
mengetahui banyak hal yang tidak ku ketahui, mungkin
itu akan berguna untukku suatu saat nanti.”
“Dengan senang hati, tapi aku akan tidak akan bisa
bercerita tentang semua hal di dunia ini.”
“Ceritakan apa yang kau ketahui tentang
wildster!” kata Damar, antusias.
“Luar biasa, itu akan memakan waktu. Kau tidak
keberatan?” Alazar tersenyum, Ia mengeluarkan cerutu
dari sakunya yang compang-camping, lalu membakar
tembakau kering, menghirup dalam-dalam dan
menghembuskan sepanjang yang dia bisa.
“Tentu selama ceritamu melebihi kebenaran yang
para pedagang dan pelancong itu katakan,” kata Damar.
“Well, Wildster adalah mahluk alami penghuni
Westeria. Keberadaan mereka tercatat lebih dahulu dari
ada sebelum elf, manusia dan morgul datang ke benua ini.
Meski perawakan yang terkadang hampir sama dengan
dengan hewan buas, ukuran mereka rata-rata lebih besar
dari seekor singa dewasa dan bahkan Gajah sekalipun.
Selain itu, tingkatan kecerdasan mereka di atas Hewan.
Perbedaan yang sama adalah mereka hidup berkelompok
atau menyendiri, tergantung yang mana yang kau temui.”
Alazar berhenti sejenak, dan kembali menghirup
cerutunya.
“Catatan-catatan sejarah kuno dari para penjelajah
Westeria banyak menyebutkan keistimewaan dari
Wildster, aku sering menemukan itu selama menjelajah
daratan Westeria. Sebagian lagi menyebutkan jumlah
jenis mereka sebanyak puluhan, Sebagian lagi ratusan, hal
itu selalu diperdebatkan, tapi itu tidak penting.”
“Kau bilang mereka diberi nama? Siapa yang
memberi mereka nama dan mengapa?”
“Elf,” Jawab Alazar dan menghembuskan hisapan
cerutunya lagi, ia melanjutkan. “Seribu tahun yang lalu,
Benua ini hanya dihuni hewan liar dan Wildster. Lalu para
Elf datang dengan kapal jelajah yang besar dinahkodai
oleh Raja Eldrin. Mereka tiba di Westeria dengan penuh
kegaguman, melihat mahluk yang tidak mereka temui di
Benua asalnya, land of Eden. Eldrin memustuskan untuk
membangun peradaban kaum elf di Westeria, dan
mencoba membangun kehidupan yang harmonis bersama
wildster. Hampir delapan abad lamanya mereka
memperlajari tentang Wildster, caranya berkembang,
bertahan hidup. Elf mencatat semua itu dengan lengkap,
hingga Elf mengetahui hal yang luar biasa dari Wildster.”
Sorot mata damar semakin tajam, ia terpaku,
meresapkan setiap kata-kata yang keluar dari mulut
Alazar, “apa yang luar biasa dari Wildster?”
“Mereka saling berkomunikasi dengan sihir,” kata
Alazar. “para penyihir Elf, mampu merasakan aliran itu,
terpancar dari tubuh mereka. Para penyihir sibuk
membuat mantra-manta, tapi tidak berhasil, berharap
mereka mampu menyatukan gelombang sihir itu agar
dapat berkomunikasi dengan para wildster.”
Serontak Damar terkejut, ia teringat sesuatu. tetapi
memaksa menyembunyikan raut itu dan berpura-pura
untuk tenang.
“Apa elf itu berhasil berbicara dengan Wildster?”
kata Damar dan meneguk ludahnya.
“Tidak semua dan bahkan sedikit yang bisa, hanya
elf yang mempunyai bakat sihir tertentu untuk, dan kita
menyebutnya sebagai seorang enchanter. Setelah itu,
Enchanter Elf mulai menamai Wildster itu,” kata Alazar,
ia mengelus dahinya mencoba mengingat. “Orgwa, Centa,
Satyria, Gargola, Wyvera, Dragona, Alaby, dan masih
banyak lainnya. Waktu kita akan terbunuh banyak kalau
kau mau aku menyebutkan semua nama-nama itu.”
Damar, mencoba terus menyembunyikan rautnya,
tetapi kegelisahan itu mulai menarik otot-otot wajahnya.
Alazar mengetahuinya.
“Apa ada ingin kau sanggah dari ceritaku,
wajahmu nampak gelisah,” katanya memulai menguliti
rusa buruannya.
Sejenak ia terdiam, mencoba menahan. Apa perlu
Alazar mengetahui, Orgwa itu berbicara di kepalanya.
Damar pun mulai mengiris dan memegang paha Rusa
dengan kuat, membantu menguliti dan membuat semua
senatural mungkin. Alazar terlihat curiga.
“Apa ada sesuatu dari ceritaku?” katanya tidak
basa-basi.
Damar memutar matanya berpikir keras, mencari
alasan yang tepat, “Setelah cerita itu, aku semakin
bersedih tentang Orgwa, kuharap itu Wildster terakhir
yang kami bunuh.”
“Semoga, Percayalah, dahulu Wildster tidaklah
menyerang manusia. Tepat sebelum kesintingan dari
Helbert meracuni semua pikiran manusia terhadap
wildster. Elf menjaga hubungan dengan Wildster
berabad-abad lamanya. Keharmonisan itu terjaga, selain
itu, lantunan harpa yang dipetik oleh jemari gadis-gadis
Elf sangat disukai oleh Wildster. Dimanapun Wildster
mendengarkan petikan harpa itu, mereka akan tenang.”
Damar bersyukur, nampaknya alasan itu tidak
membuat Alazar curiga lebih dalam. Setelah itu, Alazar
terlihat sangat sibuk dengan belatinya, mengiris dan
memotong daging dengan cepat. Ada satu bagian yang
tidak ia iris, bagian itu adalah paha, ia masuk ke dalam
gubuk, lalu keluar membawa tali rotan. Mengikatnya
sedemikian rupa hingga dua paha itu bisa di gantung di
bagian leher belakangnya, menyisakan dua paha rusa
segar yang bergelantungan di kedua lengannya.
“Kurasa ini cukup untuk beberapa hari.
Simpanlah,” kata Alazar menaruh kembali paha itu di atas
rumput.
“Terima kasih Alazar, kuharap kita bisa
berbincang lebih mengenai banyak hal lain kali!” kata
Damar sambil mengalungkan daging.
Alazar tersenyum, damar kemudian berjalan
meninggalkan gubuk Alazar dan melambaikan tangannya.
Alazar membalasnya, kepulan asap tembakau tertiup dari
bibirnya. Damar berjalan menuju pondok kecilnya dengan
berseri-seri, tapi setelah ia mengingat satu kata, rautnya
kembali datar. Ia menghela napas, kata-kata itu tidak lepas
dari benaknya sampai ia tiba di kamar dan ranjang
tipisnya. Seraya melihat langit-langit atap kamrnya, ia
melamun sejak dan berkata, “Enchanter”.
PENEMUAN DAN KEPUTUSAN

Pagi ini damar di penuhi rasa gelisah. Semua cerita


dari alazar masih terngiang di benaknya. Dia mencoba
duduk dan menenggak air putih, lalu ia keluar pondok
kecil untuk menghirup udara sejuk hutan Pine. Perutnya
terasa kenyang, daging rusa yang di berikan Alazar
memberinya tenaga yang cukup banyak untuk memulai
kegiatan hari ini.
Damar masih menimbang-nimbang berbagai
pilihan, apakah dia perlu kembali ke goa itu untuk
mengetahui sebuah kebenaran. Fade dan Hans masih
belum kembali, mungkin mereka masih berada di
perjalanan menuju Norburry, atau sedang berusaha
mencari pembeli potensial. Menurut Damar menemukan
para pedagang yang mau membeli kulit wildster itu pasti
sangat sulit. Bahkan harganya mungkin lebih sedikit dari
sekarung gandum dan jagung.
Apapun itu Damar hari ini bebas melakukan
apapun, ia sangat bersemangat. Berkali-kali ia ingin
melanggar pesan Fade, untuk tidak memasuki hutan Pine.
Dia mengecek lukanya, semua baik-baik saja. Lukanya
cepat mengering dan badannya terasa enteng. Dia
melakukan olahraga kecil di luar pondok dan semua terasa
sangat sempurna.
Damar memutuskan mengabaikan pesan Fade, dia
berlari menuju ke hutan Pine, menuruni lereng-lereng
beralas bebatuan dan rumput hijau. Menelusuri sela-sela
pepohonan pinus dan menjulang. Damar cukup hapal
wilayah hutan pinggir pine, ingatannya sangat baik sebaik
Fade. Ia kemudian mendaki tanjakan-tanjakan dengan
lincah, sambil melihat ke arah lembah dan memandang
deretan pegunungan helmaer yang saling mengait.
Tiupan udara semakin dingin, berkasan matahari
semakin terpecah tajuk daum jarum yang mengumpul
memberi warna kuning kehijauan. Pertanda ia semakin
dalam menuju hutan Pine. Damar mencoba mengingat
kembali arah dia berburu bersama Fade dan Hans malam
lalu. Dia menelusuri semua jalan dan mengingat setiap
detil-detil langkahnya. Meraba tanah dan melihat bekas-
bekas injakan.
Aliran sungai Raen semakin terdengar, dia yakin
berada di jalur yang tepat. Damar tiba di sebuah jalur
setapak yang dibuat pemburu. Dia berjalan mengikuti
jalur itu. Jalurnya berbelok dan menurun. Tepat di
samping kirinya tanah menurun tepat saat dia berhenti dan
memanggil nama fade dan Hans kala itu. Dia Mengecek
tanda ranting pohon yang tumbang, memastikan diaman
Orgwa melompat tepat di depannya.
Matanya tidak terlepas dari tiap batang pohon
yang menjulang. Dilihatnya sebuah ranting besar trembesi
yang retak, terdapat sebuah goresan cakar yang besar.
Tanda dilompati mahluk buas yang cerdas. Retakan-
retakan itu saling berkaitan antara pohon disekitarnya,
membentuk sebuah pola berkelanjutan.
Damar mengikuti pohon-pohon itu, sesekali
kakinya tersandung sebuah akar pohon yang mencuat.
Tapi itu tidak membuatnya berhenti. Dia harus
memastikan arah pergerakan Orgwa untuk menuntunnya
menuju Goa itu.
Dia tiba di sebuah pohon yang rusak, dahannya
pecah tidak beraturan meninggalkan pecahan yang tajam.
Orgwa itu harusnya melompat di sini, pikirnya.
Lalu ia membayangkan dirinya saat itu, mencari lokasi
dirinya terguling dan menyibak semak belukar di samping
jalan setapak sambil menuruni turunan. Memotong
semak-semakan yang melilit kakinya dengan pisau
belatinya.
Damar tiba di sebuah pelataran rumput yang
cukup luas. Di ujungnya terdapat aliran sungai raen yang
deras, tepinya di tumbuhi pohon khas tepi sungai. Pada
saat malam itu, pelataran ini tidak terlihat karena
termakan kegelapan malam. Tapi saat ini matanya dapat
melihat jelas, seakan selimut hijau terbentang di
depannya. Di ujung-ujungnya cahaya berkilauan akibat
dari embun yang membentuk butiran air bagai permata.
Mulut goa itu terlihat, Damar berusaha
mendekatinya. Damar Berjalan membungkuk sangat hati-
hati. Saat itu pikirannya sempat ragu. Apa dia akan
menemukan bahaya. Tapi dia hapal arah jalan pulang.
Kalau dia bertemu hal yang buruk, ia akan berusaha lari
sekencang mungkin. Damar yakin akan dapat keluar dari
hutan Pine tanpa terluka.
Damar mencoba berkonsentrasi, apakah dia akan
berbicara dengan suatu wildster. Dia memejamkan mata,
mencoba menggapai suara, tetapi tidak terjadi apa-apa.
Damar kecewa, mungkin di dalam goa itu memang tidak
ada sesuatu.
Dia sampai di depan mulut goa, kakinya bergetar,
rasa takut sedikit merasuki dirinya. Tetapi goa itu terlihat
tidak dalam. Dia mengikatkan sebuah kain di ranting
kering dan menyalakan dengan batu api yang di bawa dari
pondok kecil. Memastikan dia mendapat cahaya di dalam
Goa itu.
Damar melangkah pelan, melalui sisi-sisi
stalagmit dan bebatuan. Bunti suara kelelawar
menganggunya. Damar Mengusir kelelawar yang
bergelantungan di atap goa. Kelelawar itu berderit,
berterbangan keluar goa seperti bola-bola hitam yang
mengacau. Sesaat Damar mencoba tenang, dan
berkonsentrasi lagi.
Sesuatu di ujung Goa nampak bergerak, Damar
bersembunyi di balik batu besar. Cukup untuk melindungi
dirinya, melihat dan mengamati dari balik batu itu.
Matanya menyipit dan memastikan sesuatu yang bergerak
di ujung Goa. Makhluk itu sedang memakan sesuatu,
melompat-lompat dan berputar.
Menyadari ada yang mengintip mahluk itu
merayap mendekat, mendekati sumber cahaya
kekuningan dari obor kecil Damar. Damar tersentak
mundur, kaget dan memaki. Tapi dia terlambat untuk lari,
Damar merayap mundur dan terhenti ketika punggungnya
menabrak stalagmit besar. Di hadapannya, mahluk kecil
bermata hijau menatapnya dengan heran, dan melompat
kegirangan. Tampak seekor naga kecil.
Naga itu tidak lebih panjang dari lengan Damar,
moncongnya seperti kadal tetapi lebih runcing seperti
buaya. Cara berdirinya sangat anggun dan berwibawa.
Sisik-sisiknya berwarna perak mengkilap seperti mutiara
yang di asah. Naga itu mengembangkan sayap tipisnya
yang berukuran dua kali lipat dari panjang punggungnya.
Tulang-tulang tipis menjulur bagai serat-serat yang
bergerak. Dua taring melengkung mencuat dari rahang
atasnya seputih gading dan nampak tajam. Tanduk kecil
berwarna putih susu tumbuh mungil berpola aneh seperti
sebuah alat ukir yang terpasang di atas pelipisnya.
Naga itu melirik ke arah Damar, menatapnya
dengan bingung. Ia membalikkan pandangannya ke sisi
satunya, lalu melompat-lompat dan berputar. Damar
bergeser ke samping, mengarahkan obor itu ke arah naga
kecil dan bergerak menjauhi batu di belakangnya.
Pandangan naga itu mengikuti arah gerak Damar nampak
menikmatinya. Naga itu mungkin musuh yang sulit
apabila menyerang.
Sesekali mulut naga itu terbuka, menguap dan
menguik dengan sederetan gigi kecil runcing. Damar
masih terpaku pada naga itu. Sesaat Naga itu kehilangan
minat dengan Damar dan berjalan menjauhi Damar.
Damar mencoba mendekat perlahan, merogoh saku
kecilnya dan menggenggam roti kering. Dia menaruhnya
di atas batu kecil di sampingnya. Naga itu tampak tertarik
dan merayap mendekat sambil mengendus.
Dia terdiam, dan nampak ragu. Lalu membuka
mulut kecilnya dan mengunyah, hanya hitungan detik dia
memuntahkannya dan terlihat jijik. Pandangannya melirik
ke sesuatu yang meraik dari bebatuan dia bergerak lincak,
mengejar cicak Goa. Damar mengikutinya dengan
penasaran. Naga itu tampak jinak, wajar saja mungkin
karena masih kecil, pikirnya.
Naga itu meraih cicak yang merayap di bebatuan
Goa, dan menelan cicak itu dengan satu tarikan. Damar
tampak pangling, menatapnya penuh keanggunan. Naga
itu melompat-lompat lagi kegirangan.
“Apa Orgwa itu berbicara denganmu?” kata
Damar pelan.
Naga itu tidak merespon, dan asik mengelilingi
sisi goa lagi, melompat dan mencari hewan kecil lainnya.
Damar mencoba meraih pikirannya, dan berkata dalam
hati. Mengulang seperti saat dia berbicara dengan Orgwa,
tetapi nihil. Naga itu tampak tidak tertarik.
“Apa kau tidak bisa mendengarku?” kata Damar
penasaran, dalam pikirannya.
Naga itu tidak merespon, dan asik sendiri. Damar
mencoba membimbingnya menuju mulut Goa. Awalnya
dia diam melihat Damar menjauh, tapi kali ini naga itu
yakin dan mengikutinya dari belakang, berjalan pelan
dengan kaki mungilnya dan cakar-cakar kecil yang
timbul. Langkah Damar semakin ringan ketika ia melihat
mulut goa dengan pancaran matahari putih yang berkelap-
kelip dari kejauhan.
Sebentar lagi ia akan membimbing naga itu keluar
goa, berharap akan mengikutinya keluar dari goa. Setelah
Damar tiba di ujung goa, naga itu terhenti, keraguan
terpancar dari bola mata hijaunya yang memandang
Damar. Naga itu kemudian mundur secara perlahan.
Damar masih mengamatinya, berusaha memancingnya
dengan siulan dan ketukan jari. Tetapi Naga itu tidak
bergeming dan menguik menjauh.
Damar tahu Naga itu bukan mahluk yang mudah
di bodohi, dia membutuhkan daging untuk menarik
minatnya. Tetapi kemudian dia berpikir, jika dia berhasil
mengajak naga itu keluar dari persembunyiannya di goa,
dia akan menyembunyikan naga itu dimana?
Pondok kecil bukan tempat terbaik untuk
menyimpan mahluk anggun ini. Dalam hitungan menit
pasti Fade dan Hans akan mengetahuinya. Selain itu,
keanggunan naga ini pasti akan mengundang para
pemburu untuk menjadikannya hiasan rumah, dan lebih
buruknya menjadi peliharaan untuk mengangon kambing-
kambing peternak norburry.
Tapi bagaimana seekor naga bisa ada di sini? Naga
ini juga masih berupa anakan. Apabila sejak dahulu kala
ras naga sudah hidup di daerah pine, sudah beratus-ratus
tahun lalu ditemukan induk naga yang lebih besar terbang
mengitari langit Norburry. Tapi belum ada kisah naga
sama sekali di daratan Norburry.
Alazar nampaknya menyebutkan sedikit tentang
ras wildster dragona, tapi dia sama sekali tidak
mengatakan tentang keberadaan ras dragona di hutan
Pine. Meskipun hutam ini sangat luas, Naga tidak
mungkin mampu bersembunyi tanpa terlihat di langit.
Damar berjalan berputar-putar di depan mulut
Goa, Naga perak itu masih memandangnya dari dalam
Goa, tanpa mau melangkah kedepan lebih jauh. Damar
masih berpikir tentang langkah apa yang seharusnya dia
lakukan. Damar yakin menceritakan penemuannya pada
Fade mungkin ide yang baik, hanya memberitahu Fade
tanpa sepengetahuan Hans menjadi hal yang sulit. Hans
adalah penguping terbaik di antara ketiganya.
Hans lebih mudah curiga dan peka terhadap
perubahan-perubahan gimik dari Fade dan Damar. Dia
pasti akan segera menyadari tentang keberadaan rahasia
tentang Naga ini cepat atau lambat. Selain itu, pergi
mengendap-ngentap setiap hari untuk menemui naga ini
di Goa tanpa sepengetahuan Hans pastilah sangat sulit.
Damar segera melupakan pilihan itu dan mencoba
berpikir lagi. Apakah Alazar orang yang tepat? Tetapi
Damar masih belum mengetahui kebenaran seutuhnya
tentang Alazar. Alazar mungkin mengetahui banyak
tentang wildster dan sejarah-sejarah Westeria, tapi apakah
tepat untuk memberitahukannya? Damar curiga bahwa
Alazar sebenarnya adalah pemburu Wildster seperti yang
digembor-gemborkan oleh Hans. Apabila Raja Ambert
mengetahui penemuan ras naga di hutan Pine, dia pasti
akan memberi imbalan kekayaan yang melimpah untuk
penemunya. Meskipun Alazar tidak terlihat seperti orang
yang gila harta, Damar harus tetap hati-hati.
Sewaktu Damar mendinginkan kepala, dia
menggaruk dagunya. Melirik ke arah naga kecil itu yang
berdiam, membaur dengan kegelapan di dalam goa dan
masih setia melihatnya dengan tatapan berbinar. Damar
sudah menentukan pilihan, dia akan mencoba
menyembunyikan penemuan ini beberapa minggu, hingga
waktunya tiba, saat naga itu sudah sedikit lebih besar. Dia
akan menceritakannya pada Fade untuk membantunya
pergi dari daerah Pine. Mungkin itu lebih baik untuk naga
itu, daripada hidup di hutan Pine yang rentan dengan
pemburu.
“Kau tinggu di sini, aku akan kembali ke pondok
dan membawakan potongan daging rusa. Kau pasti akan
menyukainya, daging itu lebih lunak dari daging cicak
ataupun kadal yang hidup di dalam goa ini,” katanya
sambil membungkuk.
Naga itu menguik, dan mengembuskan uap kecil
dari cuping hidungnya dan membentuk gumpalan asap
kecil.
“Kuanggap itu jawaban iya,” kata Damar
tersenyum, dan beranjak menjauhi Goa itu.
Kakinya berjalan lebih cepat, meninggalkan goa
di belakangnya, menerobos semak dan pepohonan pinus
yang berdiri kokoh. Perasaan gembira memenuhi dirinya,
seperti seorang pendaki gunung yang berhasil
menginjakkan kakinya di ujung puncak dan melihat
keindahan dunia. Damar merasa pertemuan dengan naga
itu adalah pertanda baik untuk hidupnya kelak.
LUKE SI AROGAN

Semua mata di pasar Norburry tertuju oleh dua


pemuda yang tiba siang ini di Desa Norburry. Orang-
orang itu saling berbisik, sisanya hanya menatapnya
dengan picing. Lalu-lalang tidak hentinya berhenti, semua
memiliki perannya yang vital di pasar Norbury. Tetapi
waktu telah di bekukan oleh kehadian Fade dan Hans,
bersama kulit hitam berbulu mengkilap di atas karavan
dorongnya. Kehadiran Fade dan Hans menjadi pusat
perhatian para pedagang dan pembeli di pasar.
Pandangan itu membuat Fade dan Hans merasa
risih, tetapi mereka tidak mengindahkan itu dan terus
berjalan. Mencari tempat lapak-lapak pusat pasar
didirikan. Para pedagang mendirikan lapak-lapaknya di
pusat pasar, mengantung daging-daging untuk memenuhi
kebutuhan penduduknya. Sayuran-sayuran juga terpajang
di meja kayu di hadapan penjual, ada juga yang di
baringkan beralaskan kain yang lebar.
Mereka tiba di pusat pasar Norburry, penjual
daging berkumpul dan berteriak menjajakan daging hasil
buruan atau ternakan. Semakin lama mereka berjalan
pandangan orang-orang semakin tajam. Orang-orang
semakin membicarakan mereka. Semua tertarik dengan
apa yang mereka bawa.
Semua orang yakin itu bukanlah buruan biasa,
bukan berasa dari hewan yang normal. Semua yang dijual
di pasar Norburry kebanyakan hanyalah bahan-bahan
kebutuhan hidup seperti, gula, garam, selada, jagung,
gandum, dan daging-dagingan. Tidak ada satupun di pasar
itu yang menjajakan perhiasan dan barang antik lainnya.
Fade dan Alazar berhenti di salah satu lapak,
pedagang di sebelahnya menatap dengan tegang.
“Kami ingin menjual kulit ini. Hitam dan
mengkilat, kau bisa melihatnya sendiri,” kata Hans.
Orang itu nampak ragu untuk memerika, Dia
berdiri dari tempatnya, hanya menegok sekilas. Terlihat
enggan untuk menyentuhnya.
“Apa itu kulit beruang?” katanya sinis.
“Kau bisa sebut apapun yang kau mau, jadi berapa
harganya?” jawab Hans singkat ingin segera selesai.
“Tapi apa kulit itu bisa dimakan?” Pria itu
mendongak sekali lagi.
“Apa harus segala sesuatu yang pemburu bawa
kesini berupa daging yang dimakan? Berpikirlah, kulit ini
bisa menjadi hiasan dindin yang bagus! Orang akan
kagum saat mereka bertamu ke rumahmu dengan
pajangan kulit hewan yang berwarna hitam mengkilap!”
Hans meninggi.
Pria kurus itu nampak panik, orang-orang semakin
melihat ke arahnya, berbisik tidak menyenangkan.
“Li-lima gold!” kata pria kurus itu sambil
menyeka dahinya dengan kain.
“Lima gold? Itu harga yang pantas untuk daging
usang yang kau pajang di ini!” kata Hand mendobrak meja
kayu lapak pria kurus itu.
Fade, memegang bahu Hans, menepuknya untuk
segera menyudahi emosinya.
“Terima kasih, mohon maaf atas keributan ini,”
kata Fade sopan. Dia mendorong Hans menjauhi lapak
Pria kurus itu. Pria kurus itu terdiam dan menunduk.
“Kita akan pulang ke pondok dengan kulitm ini
tanpa uang apabila kau menjual dengan cara seperti itu!”
kata Fade berbisik kencang pada Hans di depannya.
Kau lihat sendiri bagaimana pedagang bodoh itu?
Menghargai kulit wildster ini dengan lima Gold, bahkan
jumlah itu hanya cukup selama dua sampai tiga hari!”
bisik Hans keras.
Fade mendekati Hans dan berbisik di telinganya.
“Bodoh! Jangan menyebut nama wildster di keramaian
ini! Kau akan semakin menarik perhatian mereka!”
Hans mereda, mereka berkeliling sepanjang pasar
itu. Menemui banyak penjaja daging dan perkakas. Tapi
tidak satupun tertarik dengan apa yang mereka bawa.
Orang-orang hanya melihat dan mcibir, tanpa ada satupun
yang bertanya. Fade dan Hans tiba di ujung jalan. Mereka
kelelahan, tidak ada satupuk lapak pedagang yang mau
membeli kulit wildster miliknya.
Fade bersandar di sebuah pohon yang jauh dari
keramaian pasar, setidaknya itu membuat mereka merasa
sedikit nyaman karena tidak menjadi bahan perhatian
orang. Fade melihat sekeliling sedangkan Hans berbaring
di atas rumput sebelah pohon itu. Memastikan mereka
sudah mendatangi lapak pedagang dan pembeli hasil
buruan. Tapi mereka sangat kehausan dan kelaparan,
berjalan mengelilingi pasar di Desa Norburry sangat
menguras tenaganya. Membawa barang itu kembali ke
pondok kecil tanpa sepeser pun uang akan membuat
perjalananya sia-sia. Haruskah ia mendatangi Luke?
“Aku kenal seseorang,” Fade tiba-tiba.
Hans mengintip dari matanya yang terpejam,
“lalu?”
“Dia adalah orang sinting, percayalah aku dan
Damar sangat membencinya. Sejak kami kecil dia selalu
merendahkanku, tapi ku akui kemampuannya
berdagangnya sangat luar biasa. Mungkin, Saat ini pasti
dia sudah menjadi orang kaya di Norburry.”
“Kenapa hal itu tidak kau sampaikan sejak
kedatangan kita?”
“Aku sudah bilang, aku membencinya. Kau pasti
akan merasakan hal yang sama saat kau berbicara
dengannya. Biasanya orang kaya selalu memandang
rendah para pemburu kotor seperti kita.”
“Itu tidak berlaku saat kita membutuhkan uang,
lebih baik bawa kulit ini menuju orang itu. Kita akan tau
apakah dia saudagar yang cerdas atau bodoh.”
Mereka berjalan melanjutkan langkahnya,
menjauhi keramaian pasar. Fade diam sejenak mengamati
sekitar, mengingat-ingat dimana Luke tinggal dan
mengikuti arah bangunan-bangunan yang kokoh.
Bangunan itu memiliki atap yang terbuat dari jerami, dan
ada yang terbuat dari genteng. Fade mendengarkan orang-
orang berbicara dengan suara yang keras, memarahi anak-
anak yang berkelahi.
Fade mendorong gerobaknya, menyusuri sela-sela
rumah. Di ujung jalan mereka tiba di sebuah rumah yang
besar, cerobong asap mencuat dari atap rumah itu
membubungkan asap keabuan yang mengepul. Di depan
pintunya terpasang papan persegi berbahan kayu
berkualitas, di ukir dengan pahat sedekimian rupa
proporsional. Tertulis Kios Luke.
Perasaan mual meninju perutnya, mengingat
wajah luke saja sudah membuat dirinya ingin menjauhi
rumah itu. Semua sudah berlalu, dia harus segera
menemuinya sebelum hari sudah gelap. Fade mendorong
pintu hingga terbuka dan hampir berdebum, ruangan yang
luas itu terasa hangat dan sunyi. Api berkobar di perapian
batu bata berwarna merah. Meja membentang di ujung
ruangan. Ruangan itu sangat bersih, lilin putih tergantung
di setiap sisi dindingnya. Seakan pemiliknya tidak ingin
kegelapan memakan ruangan mewah itu.
Di belakang meja, berdiri Luke. Wajahnya pucat,
mata hitamnya memandang gelisah, seperti menolak tamu
di depannya. Dia berpura-pura mengelap gelas yang
terpajang di rak belakangnya. Entah apa yang perlu di
elap, semua gelas sudah mengkilap.
Mulut Luke berdesis, saat gerobak kecil itu
dipaksa masuk ke dalam ruangannya yang bersih oleh
Hans. Hans duduk, dan Fade mendekati Luke.
Luke memandangnya lugas, dan menyilangkan
lengannya, “Well, lihat apa yang kutemui siang ini. Dua
orang pemburu menyedihkan, dengan hewan buruan di
dalam gerobak peot. Kuharap isinya tidak menumpahkan
tetesan darah di lantaiku!”
“Tidak akan,” kata Fade.
“Jadi itu daging kering?” tanya Luke sombong.
“Bukan daging,” Fade menatapnya, melihat
kecurigaan terpancar dalam garis mata Luke.
“Lihat apa yang Pemburu kotor ini bawa ke dalam
tokoku, bukan hewan, bukan daging,” suara Luke
terdengar merendahkan. Sejak dulu Luke selalu
memperlakukan Fade dengan jijik. Menganggapnya
sebagai anak buangan terlantar yang secara kebetulan di
asuh oleh kepala desa.
Semenjak istrinya meninggal, hanya satu orang
perempuan yang dia perdulikan, yaitu anak gadisnya Tia.
Bagi Luke semua orang selain Tia adalah pengisi
kekosongan kehidupan dunia saja.
“Cepat katakan apa yang kau bawa dan segera
selesaikan pembicaraan ini,” caci Luke.
Tentu Fade setuju, dia pun merasa muak, harus
melihatnya hari ini. Fade membawa gerobaknya
mendekat, memaksa Luke untuk mencodongkan
badannya, melewati meja di depannya dan melihat dengan
mata kepalanya sendiri. Hans duduk memperhatikan.
Bulu pada kulit itu memantulkan cahaya lilin, Luke
mencoba menyentuhnya, sangat lembut pikirnya.
“Aku terpana,” kata Luke pura-pura. “Kulit hewan
apa itu?”
“Wildster, kami membunuhnya semalam,” jawab
Fade singkat.
“Ku akui ini cantik, tapi berapa nilainya?” kata
Luke sambil mengelus kembali bulunya, memperhatikan
tiap helaian bulu yang mengkilap.
“Menurutmu? Aku bukanlah pedagang,
seharusnya kau tau harga itu melebihi orang-orang di
pasar apabila kau menyebut dirimu saudagar,” kata Fade
menantang.
“Menarik sekali, seorang pemburu kotor
membunuh salah satu mahluk legenda, bagaimana rupa
mahluk itu,” gumam Luke.
“Aku ke sini untuk menjualnya bukan bercerita,
sebutkan harga darimu. Kau bukanlah pria bodoh yang
akan membeli benda itu sangat murah, itu akan
mempermalukan dirimu sebagai tukang kios terbesar di
desa ini,” cibir Fade, meskipun dia merasa tidak nyaman
berbicara seperti itu.
“Jelas sekali,” kata Luke dengan kesabaran
dibuat-buat. Luke mengelus dagu gundulnya,
memperhatikan sekali lagi kulit berbulu hitam legam itu,
matanya tidak henti-hentinya memandang pantulan
cahaya lilin dari tiap helai bulu. “Tawaranku untuk kulit
itu sebesar dua puluh gold.”
“Itu terlalu murah! Seharusnya kulit ini mampu
bernilai hingga berkali-kali lipat dari itu!” protes Hans.
Dua puluh gold tidak akan mencukupi kebutuhan hidup
mereka bertiga selama seminggu, tidak saat musim dingin
akan datang.
“Terserah, kalau kau tidak suka tawaranku, kalian
bisa kembali menawarkannya kepada para pedagang kecil
di pasar Norburry. Kecuali kalian tidak cukup pintar,
mengetahui nilai yang ditawarkan pedagang di pasar itu
jauh lebih rendah. Mereka tidak memperdulikan
keindahan dan kualitas kulit ini, hanya sesuatu yang dapat
masuk kedalam perut mereka,” Luke sambil tersenyum
licik.
Fade setuju, nilai yang mereka dapatkan dari para
pedagang di pasar jauh lebih rendah dari Luke. Sekalipun
harga itu tidak masuk akal. Jauh lebih baik ketimbang
tidak satupun gold dapat mereka kantungi.
“Omong kosong!” Hans meninggi.
“Kami terima,” potong Fade.
“Harga segitu tidak sebanding dengan apa yang
hampir menimpa kita dan Damar!” protes Hans.
“Apa yang menimpa Damar karena ke egoisanmu
dan kita dihadapkan pilihan terakhir saat ini, kau pikir
dimana lagi kita akan menjual kulit ini dengan harga yang
tinggi?” Fade tersulut.
“Cukup! Cepat putuskan atau kalian bisa
tinggalkan toko ini!” kata Luke mendobrak meja hingga
bergetar.
Fade mengangguk, Hans keluar meninggalkan
kios, debuman keras terdengar pada pintu yang terbanting
oleh Hans.
“Pemburu sinting!” kata Luke, ia segera
mengeluarkan koin-koin dari laci kecil di meja,
menghitung dengan cepat dan meyodorkannya pada Fade.
Fade segera menerima, tangan Luke mengibas-ngibas ke
arah tubuh Fade. Fade mengangguk, dia segera
meninggalkan toko itu.
“Terkutuk!” maki Hans di luar jauh dari kios
Luke.
“Sudah puas?” tanya Fade, berpura-pura sabar dan
mendekati Hans. “Kesabaranku sudah habis, katakan
sejujurnya apa yang kau harapkan hidup bersama kami.”
Hans mencengkeram tanganya, Wajah Hans
terlihat kusut dan pucat. Emosinya semakin sulit
terkendali. Fade merasa sangat kesal dengan sikap Hans
beberapa bulan ini. Ia tau ada kebohongan dia
sembunyikan.
“Kau bilang kau suka berburu, tapi itu bukan
alasan sebenarnya kau tinggal bersama kami,” kata Fade
bernada memaksa. Dia tidak puas melihat Hans terdiam.
“Jika memang kau memaksa untuk jujur. Aku
muak dengan kehidupan miskin ini,” gumam Hans.
“Itu pilihanmu, kau yang memutuskan untuk
tinggal dengan kami, ” kata Fade menatap tajam. “kenapa
kau memilih tinggal bersama kami? kupikir kau menyukai
hidup liar dan penuh tantangan.”
“Tidak ada satupun pilihan itu yang membuatku
senang,” Hans meninju batang pohon, tapi tangannya
kesakitan. ia kemudian mondar-mandir tidak karuan di
sepanjang tepi jalan. “Tujuanku ikut bersama pedagang
itu karena aku benci berada di Gallard, melihat kehidupan
para bangsawan keluarga raja Helbert, hidup penuh
kejayaan dan harta. Membuatku iri!”
“Kau tidak bisa egois dan menyalahkan takdirmu,
kenyataannya kita semua berusaha untuk hidup lebih
baik,” Fade mengangkat bahu, menatapnya wajah Hans
penuh kekesalan. “Kupikir kau menyukai kehidupan liar,
ketika kau bertemu aku dan Damar kau seharusnya sadar
bahwa kami tidak akan membawakan kekayaan
kepadamu.”
“Aku hanya mencoba hidup berbeda, melupakan
bayang-bayang kehidupan para bangsawan di Gallard, di
bawah atap emas tahta kerajaan, baju-baju sutra, sajian
makanan mewah berupa daging-daging panggang dan kue
raspberry, dan para pelayan yang siap melayani mereka
tiap jam,” wajah Hans berubah muram.
Fade menatapnya dingin, “Lalu itu yang
membuatmu meninggalkan Ibukota Gallard?”
“Pada saat itu, para pedagang nomaden singgah di
Gallard, membangun tenda-tenda di tepi hutan dekat kota.
Aku mengunjunginya, dan berharap tidak pernah
menemuni para keturunan bangsawan yang sombong. Di
tenda itu para pedagang membicarakan hal yang menarik
perhatianku. Mereka berbicara tentang cerita legenda
wildster, hal yang paling kuingat ‘memburu wildster akan
membuatmu kaya dan terpandang’. Pada saat itu semua
pedagang tertawa keras dan mencibir lalu membalas ‘tapi
memburu wildster akan membunuhmu lebih cepat”.
Berbeda denganku aku mendengarnya dengan khidmat
setiap perkataan dari perbincangan pedagang itu.”
“Jadi kau memutuskan untuk berburu wildster?”
kata Fade tiba tiba.
“Hampir, tapi hari demi hari mereka bergosip
semakin sering. Hampir tiap perbincangan malam di sela
makan malam dan gelas bir perbincangan antara
pedagang dengan penduduk Gallard semakin intens.
Semua keluarga kerajaan senang apabila seseorang
membawa tubuh wildster di hadapan Raja, berdiri penuh
kesombongan di depan tubuh wildster yang mati. Pihak
kerajaan menganggap keberadaan wildster mengancam
kehidupan manusia di Westeria, semua pikiran itu
menancap di seluruh keluarga elit kerajaan. Raja akan
menghadiahkan harta dan posisi bangsawan apabila
seorang pemburu, atau prajurit di bawa simbol kerajaan
Gallard membawa mayat wildster ke hadapan Raja
Ambert.”
“Kau yakin itu bukan bualan?”
“Entah, belum pernah aku melihat wildster
seekorpun dalam hidupku saat itu, belum prnah juga aku
mendengar seorangpun berhasil membawanya ke
hadapan raja,” iya menggosok kepalan jarinya yg lecet.
“Jadi itu alasanmu kenapa kau menetap di pinggir
Pine bersamaku dan Damar? Berharap menemukan
Wildster dan memuaskan pencarianmu?” tanya Fade,
penasaran.
“Benar, Setelah pedagang itu berencana
meninggalkan Gallard, aku memilih untuk meninggalkan
Gallard. satu bulan penuh aku tinggal bersama pedagang
berpindah-pindah tempat. Menuju Bardford, melintasi
sungai nuin, mereka menerimaku dengan sangat baik.
Mengajariku cara untuk berdagang dan memberi banyak
informasi tentang wildster. Ketika mereka memutuskan
menutup tenda-tenda dan meninggalkan Gallard Aku
memutuskan berkelana bersama para pedagang untuk
memburu wildster, berharap menemukan lokasi dimana
wildster hidup dan membawanya ke Gallard.”
“Kenyataannya adalah jarak kita dengan Gallard
sangat jauh, dan dengan keadaan keuangan kita saat ini
tidak memungkinkan membawa mayat Wildster itu ke
Gallard. Terlebih para bandit dan morgul yang berkeliaran
di luar sana,” kata Hans menatap Fade dengan tajam.
“Satu-satunya yang sama dari kita adalah kita tidak tau
siapa orang tua kita, lalu Kupikir tinggal bersama kalian
akan membuatku lebih baik melupakan semua kenyataan
bahwa aku adalah anak yatim piatu dari keluarga petani.”
“Haus akan kekayaan akan mengakibatkan dirimu
menjadi sinting, semakin sulit untuk membuatmu berpikir
jernih,” balas Fade menatap balik.
“Itu karena kau belum melihat seperti apa Gallard,
kau tidak akan pernah terbayang kehidupan makmur
bangsawan keluarga Ambert.”
“lagipula aku tidak tertarik engan kekayaan.”
“Ya, kau bodoh. Memilih hidup menyedihkan
bersama adikmu,” Ejek Hans.
“Jangan begitu,” potong Fade.
“Kau sudah lihat sendiri betapa menyedihkannya
Norburry, semakin jelas mengapa pihak kerajaan
mengacuhkan wilayah Norburry. Mereka adalah orang-
orang menyedihkan,” maki Hans.
Fade mengepalkan tangannya, emosinya tersulut.
“Kau lebih menyedihkan! Berkali-kali membuat hidup
kami terancam, menginginkan ambisi bodoh yang
mustahil kau dapatkan,” balas Fade.
Hans bangkit dari duduknya, ia mengepalkan juga
tangannya dan menghempaskan tinju ke arah pipi kiri
fade. Fade menghindar, mencengkeram lengannya yang
terhunus dan membantingnya. Fade tersungkur dan
bangkit lalu mencaci. Debu-debu berterbangan di pijakan
yang tercabik-cabik gerakan lihai fade dan Hans.
Orang-orang di sekitar datang berkumpul,
menontonnya dan bersorak. Memberi dukungan ke entah
siapa, hanya merasa gembira melihat perkelahian. Fade
dan Hans berguling-guling saling mengikat, wajah
keduanya lebam dan kotor tersiram debu jalanan.
seorang gadis datang, dia anak Tia anak Luke.
Membelah kerumunan orang semakin rapat menonton
perkelahian Fade dan Hans. Tia lalu memisahkan Hans
dari kuncian Fade di atas tanah, Mereka berdua kelelahan
saling menatap dingin dan menggosok darah yang keluar
dari hidung. Pandangan Hans kabur karena debu tapi dia
sadar ada seorang wanita yang melerainya.
“Hentikan, kalian harus berhenti sekarang,” kata
Tia yang berada diantara Fade dan Hans.
Tia lalu membubarkan orang-orang yang
menonton, mereka tampak kecewa tapi berlalu dan pergi
meninggalkan mereka bertiga. Fade menatap Tia
terperangah, gadis itu bertambah dewasa, wajahnya tirus
dan rambutnya yang lurus seperti benang sutra tergerai
sampai di bahunya. Matanya bulat dan wajah mengkerut
karena marah.
“Kenapa dengamu Fade?” kata Tia bernada cemas
dan marah.
“Ah Tia, sudah lama tidak bertemu. Kami
berkelahi,” kata Fade singkat.
“Aku tahu itu! Kalian seperti anak-anak,” kata Tia
sambil mengelap dahi Fade yang tergores dan menatap
Hans dingin memaksa untuk berbicara.
Hans mengangkat bahu. “Tanya saja Fade, dia
yang memulai. Semua menjadi rumit dan terjadi begitu
saja.”
“Omong kosong, kau yang memulai!” kata Fade,
mereka saling menatap lagi terpisah dengan siluet Tia.
“Kumohon cukup, temuilah Garreth, dia pasti
merindukanmu saat ini,” kata Tia bepura-pura sabar.
“Ah iya, Garreth, Aku mengerti, cukup sedih
mengingat aku di sini tanpa kehadiran Garry,” kata Fade
menyesal, ia bangkit dan menepok pinggul dan pahanya,
menerbangkan debu yang melekat. Pinggulnya terasa
sakit, sepertinya tinju hans berkali-kali mengenai
pinggangnya saat dia mengunci tubuh hans dengan
lengannya. Fade berbicara kepada Hans, “Kau sudah
puas?”
“Entah,” kata Hans, ia juga bangkit dengan
kesakitan. “Jadi setelah ini apa yang akan kita lakukan?
Kembali ke pondok kecil?”
“Bukan ide bagus,” kata Hans tidak setuju.
“melihat cuaca yang semakin gelap kita membutuhkan
tempat singgah sementara, bagaimana?”
“Lebih baik kalian mengunjungi Garreth, sudah
pasti dia akan mengijinkan kalian tinggal sampai besok,”
saran Tia.
“Aku setuju, mungkin Garreth akan banyak
bertanya juga padamu,” kata Fade ke arah Hans
“Tidak masalah, aku sudah terbiasa menghadapi
hal itu,” balas Hans singkat.
Fade dan Hans berjalan mengikuti arah jalan
sepatak kecil yang lurus. Melewati sela-sela rumah
berpagar kayu yang di ikat tali dan rumah-rumah yang
sederhana. Langkah mereka pelan dan terhuyung-huyung.
Fade dan Hans kelaparan, sekalipun Fade masih sangat
merasa kesal dengan Hans, dia mencoba bersabar. Dia tau
Hans semakin berubah akhir-akhir ini. Perasaan itu
membuat kepalanya serasa ingin meledak ketika
memikirkan tentang hans.
Mereka tiba di ujung jalan, di depannya terhampar
kebun gandum yang memenuhi mata. Di tengahnya
terdapat jalan kecil yang membelah hamparan kebun
gandum, menuju ke sebuah rumah kecil di akhir jalan
kecil itu.
Seorang lelaki cukup tua duduk sambil
mengunyah kue pie cherry. Pria itu cukup gemuk, seperti
sebuah karung goni yang terisi penuh oleh butiran
gandum. Mata coklatnya membelalak saat melihat
seseorang yang cukup membuatnya bernostalgia. Segera
dia meninggalkan pienya di meja kecil dan melambai.
“Fade! Tia,” teriak Garreth dari kejauhan.
Wajahnya nampak kebingungan melihat Hans, Garreth
tidak mengenali Hans, dia berpikir mungkin orang itu
pemburu seperti fade yang tinggal di pinggir Pine.
“Hai Garreth ,” jawab Fade.
Fade kemudian duduk di kursi kayu kecil tepat di
samping Garreth, sedangkan tia masuk ke dalam rumah,
mencoba mengambil sesuatu apapun yang bisa
meredakan luka perkelahian Fade dan Hans. Hans hanya
menunduk dan tersenyum tipis. Dia mencari tempat
duduk terdekat tetapi akhirnya memilih untuk bersandar
memandang kebun gandum yang luas. Jemarinya masih
meraba-raba lebam di wajahnya, semua masih terasa
sakit.
“Ada apa dengan kalian? Aku melihat bekas
perkelahian,” kata Garreth penasaran.
Hans tidak menjawab dan memandang ke arah
ladang gandum yang membentang di hadapannya. Fade
menunggu Hans menjawab, tetapi dia hanya diam tidak
memberi komentar. Fade lalu membelah sedikit pie cherry
milik Garreth untuk menenangkan dirinya, membuka
balasan. “Kami sedikit berdebat, bukan hal penting untuk
dipermasalahkan. Sepertinya, Aku akan tinggal sementara
di sini, kami harus melalui satu malam ini untuk kembali
ke Pine.”
“Sesuatu permasalahan yang di selesaikan dengan
perkelahian dapat berujung sangat fatal tergantung
bagaimana kondisi itu mengalir. Banyak diantara pria
labil yang sulit mengontrol kejernihan cara berpikirnya,
melupakan jalan penyelesaian yang seharusnya dan
berakhir sia-sia”. Kata-kata itu menancap di kepala Hans
yang termenung, dia merasa malu, tetapi masih diam
mengamati.
“Kalian bisa tinggal sesuka kalian, di sini terdapat
banyak makanan, ada kue Cherry, kue apel, keju, roti dan
sedikit daging asap. Aku sudah harus mengurangi porsi
makanku, Aline mudah marah akhir-akhir ini melihat
kerakusanku,” kata Garreth terbahak-bahak.
“Lagipula, Norburry hari ini sangat ramai, apa
kalian tahu besok para pedagang nomaden akan singgah
di Norburry? Aku mendengar isu dari para pedagang
Norburry dan tukang jagal bahwa akan ada prajurit
kerajaan dan bangsawan datang membawa berita
pengumuman.”
Kata-kata itu terdengar jelas di telinga Hans, tapi
Hans sengaja berpura-pura menahan keingintahuannya.
“Pengumuman?” kata Fade masih mengunyah
pienya.
“Untuk apa pasukan Gallardian datang menuju
desa terpencil di Westeria bersama para pedagang?
Prajurit dengan tingkat kehormatan yang tinggi tentu sulit
berarak bersama pedagang.” lanjut Fade curiga.
“Isu-isu itu berdatangan melalui mulut pedagang
yang kembali dari Gallard, membawa banyak berita
mengenai kerajaan tanpa sepengetahuan Gallardian.
Biasanya mereka bergosip di kedai milik Josh, sambil
menggoda para wanita. Kebetulan aku di sana dan Josh
menceritakannya padaku, kau tahu pedagang itu terlalu
bodoh untuk mengendalikan mulutnya saat sedang mabuk
berat,” kata Garreth meringis, lalu meminum seteguk air
dalam gelas besarnya.
“Akhir-akhir keganjilan merasuki desa Norburry,
sudah hampir beberapa dekade Norburry tidak pernah
tersentuh oleh pengaruh kerajaan, mungkin saja karena
wilayah kita miskin dari sumberdaya yang menggiurkan.”
“Lalu kenapa sekarang Gallardian mengnjungi
Norburry?” tanya Fade.
“Apapun, kita semua tau Pine memang misterius.
Hutan itu seolah tidak ingin menguak rahasianya kepada
kita, para pemburu termasuk kau Damar, dan Garry, tahu
betul isinya hanya berisi hewan liar, kanopi rapat dan juga
wildster ganas. Seharusnya hal tersebut bisa jadi sesuatu
yang membosankan bagi kerajaan. Tapi melihat
keseriusan para prajurit dan bangsawan untuk sampai ke
desa terpencil seperti ini,” kata Garreth, matanya
menyipit. “Aku yakin ada sesuatu yang besar di Pine.”
“Apakah ada kaitannya dengan wildster, atau
emas?” tanya Hans mendadak, wajahnya menegang.
Garreth kaget melihat reaksi Hans, tapi dia
berpura-pura tenang, dan menjawab, “Mungkin, kita tau
pihak kerajaan sangat membenci keberadaan wildster.
Wildster dinilai sangat berbahaya, mengancam dan tidak
bernilai. Banyak generasi bangsawan yang terbunuh oleh
wildster berabad tahun yang lalu, hampir menghabiskan
darah murni Helbert,” jawab Garreth menjelaskan. “Tapi,
apabila memang yang di incar mereka hanyalah wildster
seharusnya pihak kerajaan sudah membangun beberapa
pos pengawasan di daerah Norburry dan melakukan
pembersihan.”
“Itu sudah cukup menjawab bahwa ada sesuatu hal
besar yang di cari oleh Helbert, dan itu bernilai,” kata
Hans tersenyum tipis memaksa. “Aku akan datang besok,
dan mencari tahu apa yang mereka cari.”
“Kusarankan jangan terlalu dekat dengan anggota
kerajaan,” kata Garreth menasehati. “Aku tidak melarang
dirimu untuk menemui dan mengingat semua berita manis
yang keluar dari mulut bangsawan gallard, tapi mencoba
membangun kedekatanmu dengan Gallard akan
melahirkan ambisi kebencian yang tajam seperti raja
Helbert itu sendiri.”
“Apa masalahnya?” Hans tidak terima.
“Masa kepemimpinan Helbert bukanlah masa
kepemimpinan yang kita inginkan, semua bangsawan
kerajaan menikmati kekayaan di atas kesengsaraan
rakyatnya atas aturan pajak dari Helbert. Sudah cukup
beruntung wilayah kita sangat jauh dari jangkauan aturan
dari Gallard.”
“Tapi itu tidak menjawab masalah yang kita
bicarakan,” kata Hans memprotes. “Menurutku besok
adalah kesempatan diriku untuk membuktikan, apa yang
orang tuaku lakukan dulu adalah keputusan yang salah,
dan aku sebagai keturunan bangsawan berhak mengklaim
semua yang seharusnya menjadi milikku. Aku bertekad
untuk membersihkan namaku dari kebodohan ayahku.”
Garreth tertegun, kata-kata itu keluar dari seorang
pemburu biasa. Kata itu keluar bagai amukan deras air
yang mencoba mengikis bebatuan-bebatuan yang
menghalangi alirannya. Saat itu Garreth tidak tahu tentang
pilihan yang salah dan benar. Dia hanya mencoba menjadi
dinding tipis penghalang dari ambisi Hans. Garreth tidak
ingin berdebat lebih panjang, ia mengangguk dan
mengangkat bahu.
Tia lalu keluar membawa obat dan perban linen
yang digulung, menaruhnya di meja sebelah pie lalu
mengobati luka-luka Fade. Tangannya sangat cekatan,
lebih lihai daripada kemampuan Fade mengobati luka
Damar. Dengan cepat untaian perban menutupi luka Fade.
Tia lalu mendekati Hans, namun Hans menolak.
“Aku akan mengobatinya sendiri,” kata Hans,
angkuh. Tia sangat kelas dan meringis. Berdiri
meninggalkan Hans dan masuk ke dalam rumah untuk
menenangkan dirinya yang emosi. Hans menatap Garreth
dan Fade yang tidak bergeming. Hans lalu beranjak dari
sandaranya dan berkata, "Aku sangat berterima kasih kau
mengizinkan aku untuk tinggal. Aku akan masuk untuk
tidur, kurasa tidak ada yang perlu aku tanyakan dan
bicarakan lagi saat ini.”
Fade mengangguk setuju, tubuhnya serasa remuk
dan tidak bertenaga. Kejadian hari ini terlalu sulit untuk
dilalui baginya. Fade lalu segera masuk ke dalam rumah
Garreth, dia berbaring di sebuah ranjang berukuran
tubuhnya yang tergerai di ruangan tengah. Ranjang itu
cukup empuk dan nyaman meskipun perasaannya sedang
tidak enak. Tanpa pikir panjang, dia memejamkan mata,
berharap melalui hari esok tanpa menemui masalah yang
aneh.
Prajurit Elit Gallardian

Fade terbangun di tepi kesadarannya sewaktu


Garreth mengguncangkan tubuhnya dan berkata, “Apa
kau terbiasa bangun kesiangan?”. Fade mengangguk tidak
setuju, ia melihat di sebelahnya tertata potongan-
potongan roti berselai nanas dan sebotol gelas berisi susu.
Fade mencoba mengamati sekitar ruangan sebelum
akhirnya dia mengambil satu potong roti dan mulai
menelannya.
“Apa aku tertidur cukup lama?”
“Ya, Seperti orang pingsan,” kata Garreth
mencibir.
Aline kemudian datang dari dapur membawakan
sebuah kain hangat, lalu mengelapkan kain itu ke sisi
muka fade yang lebam dengan penuh kelembutan.
“Terakhir kulihat anak Garry bertengkar ketika dia
melihat adiknya diganggu oleh penghujat di Norburry,
itupun sewaktu mereka masih kecil!” kata Aline kecewa.
“Maafkan aku, aku tidak berniat saling melukai,”
kata Fade bersalah.
“Simpan maafmu untuk keselamatanmu, apakah
hal itu cukup bijak dilakukan dengan partner berburu
kalian?” suaranya terdengar lembut, tetapi berisi
kemarahan yang tertahan.
“Tidak sama sekali, Hans memiliki ambisi yang
kuat, semua prospek yang dia impikan mampu
mengalahkan ketenangan dalam tubuhnya. Perbincangan
kami buntu dan begini akhirnya,” kata Fade menjelaskan.
“Aku mengerti tentang keputusan Garry untuk
membawa dan mendidik kalian menjadi seorang
pemburu. Memikirkan bagaimana kakakku yang keras
kepala, memilih hidu bersama para penjerat dan pemburu
Pine, dan akhirnya mengasuh anak tanpa seorang istri,
cukup membuatku kuatir melebihi para kuda yang
kelaparan,” kata Aline menegang, dia kemudian menaruh
handuk dan duduk di sebelah Fade dan menatapnya
dengan serius. “Apa kau yakin dia partner yang tepat?”
Fade menelan ludah, sesaat ia tertegun dengan
pertanyaan Aline. Pertanyaan itu harus dijawab dengan
berbagai pertimbangan yang logis. Dia kemudian
mengambil lagi satu potongan roti untuk membantunya
berpikir. “Aku tidak tahu.”
Jawaban itu mengecewakan Aline, tetapi Aline
masih mencoba bernapas dan menghela napas. “Pikirkan
baik-baik, sudah hampir satu tahun kalian kehilangan
Garry. Aku yakin, bahkan kau sendiri tidak ingin Damar
terancam dengan kebuasan partner kalian sendiri. Kalian
adalah pemburu tangguh di Pine, piawai untuk
menaklukan buruan liar. Tapi tidak dengan manusia
dengan hasrat seperti harimau dalam dirinya, terlebih dia
adalah orang yang dekat denganmu.”
“Aku mengerti, akan kupikirkan baik-baik,” balas
Fade pelan. Lubuk hatinya setuju dengan semua yang
Aline katakan.
Sewaktu itu Garry memberi tahu tentang seorang
pria yang menitipkan dua anaknya, Aline dan Garreth
hendak mengambil hak asuk Damar dan Fade. Tetapi
Garry menolak, mereka bertengkah hebat dan berdebat,
hingga akhirnya Garry membawanya ke pinggir Pine.
Mencoba membesarkan dengan segala pengetahuan
sederhana yang dia miliki.
Fade tampak curiga, dia bisa melihat jelas lokasi
matahari di luar jendela bundar kecil. Dia menepuk
jidaknya kecewa, rupanya dia tertidur hingga siang
bolong. Fade bangkit dan melihat keadaan lalu berkata,
“Tia tidak ada?”
“Tia pulang tidak lama kau tertidur, Luke pasti
murka apabila gadis itu tidak kembali setelah tengah
malam,” kata Garreth sambil melahap roti-roti yang
dipersiapkan untuk Fade, Aline menepak tangannya
hingga roti itu terjatuh dan memelototinya.
“dan.. Hans?”
Garreth tertawa terbahak, “Itulah mengapa tertidur
lama tidak baik bagi kesehatanmu, kau lupa tentang
pengumuman prajurit? Saat fajar tiba, Hans sudah
terbangun dan memakan banyak kue cherry milikku,
tanpa berkata panjang dia pamit menuju pusat desa.”
“Dia tidak berniat mengajakku?”
“Jangan salah paham, aku sudah menanyainya,
tapi Hans tidak tertarik dan membiarkanmu tidur.
Lagipula apa kau tertarik dengan prajurit-prajurit bodoh
itu?”
“Aku akan menemuinya untuk memastikan
sesuatu, lagipula kami harus kembali ke pine, Damar
mungkin sudah menunggu kepulanganku,” Fade
berkomentar.
Garreth mengangguk setuju, Fade lalu mencuci
mukanya dengan aliran yang mengalir melalui batang
bambu yang di belah setengah. Setelah itu, Aline
memberinya sebungkus bekas roti isi daging, Fade
menunduk berterima kasih. Hatinya berkata ingin
berlama-lama berbincang dengan Garreth dan Aline. Tapi
kerinduan itu dikalahkan oleh kekuatirannya terhadap
Hans.
Terlebih kehadiran bangsawan di Norburry dapat
memicu ambisinya yang sudah terkurung dalam penjara
di hatinya. Apabila bangsawan itu mengumumkan sesuatu
penawaran yang layak atas keturunan bangsawan, Fade
yakin hal itu cukup menghancurkan gembok ambisi milik
Hans.
Sewaktu Fade sudah tiba di pusat desa, orang-
orang banyak berkumpul. Masing-masing orang bersuara
dengan suara bisikan yang sulit dimengerti. Kumpulan itu
cukup rapat, seolah semua kesibukan desa terpusat pada
satu titik temu di pelataran. Anak-anak dipaksa diam oleh
orang tuanya dan yang lainnya berdiri gelisah.
Mata Fade menajam curiga ketika di sisi
kumpulan orang-orang desa berdiri beberapa orang
prajurit dengan baja kokoh yang bersinar memantulkan
sinar siang. Salah satu prajurit mencengkram sebuah
tongkat kayu panjang berukuran dua kali tubuhnya, di
atasnya terkait sebuah kain besar dengan simbol dua
pedang panjang yang disilangkan. Kain itu berkobar-
kobar bergelombang mengguncang simbol di tengahnya,
Prajurit itu mencengkram dengan wajah bangga.
Tampaknya sesuatu yang benar-benar penting
akan di umumkan, tapi cukup mustahil melihat prajurit itu
kebanggaan kerajaan Gallard menginjakan kakinya di
desa kecil yang miskin seperti ini, pikir Fade.
Fade melirik waspada, mencari keberadaan Hans,
tetapi kumpulan orang di depannya menyulitkan
pencariannya. Fade merasa terdesak dengan sekumpulan
orang yang bersemangat, dia mencoba membelah
sekawanan orang didepannya, mencari sudut pandang
ideal untuk menerawang sesuatu yang menjadi perhatian
orang-orang.
Semakin waktu berjalan orang itu semakin rapat
dan bersorak ketika di atas panggung kayu di tengahnya.
Fade seperti kehabisan napas, samar-samar orang-orang
marah karena saling berdesakan, tetapi ada yang tidak
perduli dan terus bersorak. Sejenak mereka diam ketika
suara lalu-lalang prajurit berjalan berarak menaiki
panggung. Suara gema terdengar bergemuruh saat
hentakan boots prajurit berderak beriringan, lengkap
dengan berdera kerajaan yang berkobar.
Di tengah kumpulan prajurit yang berbaris rapat,
berdiri seorang penunggang kuda berjubah lebih lengkap
dari prajurit lainnya, ia berjalan dengan kudanya,
menuntun dengan penuh kewibaan. Rambut keemasan
pria itu tergerai panjang sampai ke bahu, tatapannya
sejatam tombak dan wajahnya lancip penuh ketegasan.
Cukup membuat gadis desa yang menatapnya berteriak
dan berhalusinasi.
Pria itu menunggang kuda yang diselimuti zirah
keperakan seperti sisik perak yang berdayun. Di
pinggangnya tergantung pedang panjang yang berselimut
emas murni dan berbagai permata berwarna yang tidak
perlu.
Sewaktu pria itu turun dari kudanya, prajurit
menghentakkan tombak-tombak bermata perak ke tanah
hingga menggema, lalu memecah barisan hingga
membuka jalan untuk pria itu. Di hadapannya berdiri
puluhan orang yang bersorak ribut, ada yang mencaci, dan
ada yang kagum atraksi barusan.
Pria itu mengangkat tangannya tinggi memberi
sinyal untuk diam, tetapi orang-orang masih bersorak
tidak wajar. Pria itu mencoba tersenyum dan mengangkat
tangannya lagi, melambai dan menunduk, yang lainnya
masih enggan untuk tenang.
“DIAM!” teriak suara serak yang berasal dari
salah satu prajurit yang berbadan besar, urat tangannya
mencuat seperti akar pohon yang berumur ratusan tahun.
prajurit itu berteriak seperti orang sinting, dengan satu
tarikan napas. Suaranya membuat orang-orang menutup
telinga.
“Beliau adalah Virlius, salah satu dari lima prajurit
elit Gallardian, salah satu dari pelindung utama Keluarga
Raja Helbert, dan bangsawan mulia Gallard.
Kehadirannya disini membawa maksud yang baik untuk
kepentingan desa, setiap kata-katanya dibutuhkan untuk
saat ini dan kedepannya,” lanjut prajurit yang berbadan
besar dan kekar.
“Drael tidak bermaksud begitu,” kata Virlius
lembut, menenangkan orang-orang yang ketakutan.
“Sudah semenjak beberapa dekade, wilayah Norburry
menjadi wilayah yang tidak tersentuh oleh Raja Helbert.
Norburry, dengan berbagai potensi dan sumberdaya, luput
dari perhatian kami di Selatan, Aku akui itu merupakan
kesalahan yang sulit diterima,” kata Virlius, ketenangan
mewarnai suaranya.
“Raja Helbert dengan penuh pertimbangan,
berdasarkan rundingan dari penasehat-penasehat
terpercayanya, memutuskan untuk diberlakukannya
peraturan baru yang saat sebelumnya luput dari
perhatian.”
Orang-orang bersorak tidak setuju, menurut
mereka, kedatangan pihak raja dan bangsawannya di sini
justru berpotensi untuk memperbudak Norburry dan
memperkaya sumberdaya Gallard. Penduduk Norburry
sudah kehilangan kepercayaannya sejak beberapa tahun
lalu, sewaktu daerah ini menjadi zona bebas tanpa
perintah dari Raja Helbert. Mereka membangun desa dari
usaha dan kerja keras sendiri. Membangun jalinan
perekonomian melalui pedagang nomaden melalui hasil
pertanian ternak dan perburuan di Pine.
Semenjak itu, penduduk enggan untuk
berhubungan dengan pihak kerajaan, karena mereka
dinilai tidak mampu memperhatikan wilayah terpencil
Norburry dari bahaya dan kemakmuran.
“Kami tidak menerima pajak!” bantah seorang
tukang jagal. “Jika itu yang kau inginkan, maka pergilah!
Kami mempunyai parang dan garpu jerami untuk
mengusir kalian!”
Situasi beralih memanas, yang lainnya
mengangguk setuju dan berganti tatapan kepada Virlius
dan prajurit lainnya. Tidak lama Virlius menyampaikan
pidatonya orang-orang tersulut emosi. Para prajurit
menggenggam senjata yang tergantung di pingganya.
Memastikan tidak ada tindakan tidak wajar dari emosi
para penduduk yang tidak terkontrol.
Virlius menanggapi dengan senyum yang tipis,
ketenangan terpancar di wajahnya seperti sinar rembulan.
Dengan sigap dia memberi aba-aba pada para prajurit
pengawalnya yang nampak waspada dan siaga. Prajurit itu
menuruti Virlius. Dia menarik napas panjang dan mulai
menyambung, “Saat ini, Raja sedang melakukan
pemerataan pengawasan di wilayah Norburry dan suaraku
akan mewakili suara Raja Helbert. Dalam beberapa hari
kedepan, Gallardian akan membangun tenda dan pos tidak
jauh dari Pine, pihak raja menyadari kesalahan fatal kami.
Oleh sebab itu,kami membawa banyak persediaan dan
sumberdaya yang dengan mudah akan kami bagi sama
rata. Masing-masing kepala keluarga akan mendapatkan
satu kantung gandum, dan satu ranjang penuh sayuran dan
beberapa ternak.”
“Semua gratis?” kata seorang wanita salah satu
penonton.
“Tentu, semua mewakili keseriusan Raja helbert
untuk menata dan mengolah pemerintahannya menjadi
lebih baik, dan tidak ada pajak ataupun konpensasi yang
kalian bayarkan kepada pengawalan kami,” Virlius
menjelaskan.
Raut gembira terpancar dari wajah-wajah
penduduk yang tersenyum. Seorah jawaban itu memberi
angin segar di tengah-tengah terik yang membanjiri
pelataran.
“Ada hal lain yang menjadi perhatian dari Raja
Helbert,” lanjut Virlius, yang lainnya mendengarkan
dengan wajah menegang. “Wilayah Norburry yang
sebelumnya tidak menjadi perhatian raja, rentan akan
serangan morgul dan wildster, kami sudah memastikan
pergerakan morgul di daerah pegunungan Goldur yang
berjarak tidak jauh dari kerajaan gallard.”
“Bahkan, sewaktu kami menuju kesini, kami
sudah membunuh sekawanan morgul yang beristirahat di
daerah hutan Qeston. Mengingat, keadaan semakin kacau
balau seiring dengan perkembangan kekuatan infantri
morgul di wilayah barat yang sulit ditebak. Raja menduga,
ada dalang di balik pergerakan morgul yang semakin
gencar akhir-akhir ini.”
Semua penonton bergidik ngeri mendengar nama
morgul, suatu mahluk kuno yang galas dan berwata
merah, mulai menginjakkan kaki di tanah berbalut rumput
hijau. Meski pengetahuan penduduk Norburry tentang
wilayah luar tidak sebanyak kota dengan perlindungan
Raja Helbert, tapi mereka sangat paham tentang kengerian
morgul.
“Hal itu yang menjadi fokus utama Raja saat ini.
Memang, sangat sedikit sejarah yang menjelaskan tentang
perang berdarah yang terjadi antara kaum elf, manusia dan
morgul. Semenjak raja kegelapan Zenoth, sang enchanter
jahat penunggang naga iblis Baldarog, Zenoth
dimusnahkan oleh aliansi tiga bangsa. Raja resah karena
itu bukan menjadi jaminan kita sudah mencapai
kedamaian seutuhnya. Para pelayan setianya bahkan
masih belum diketahui keberadaan saat ini.”
“Raja sadar kesalahannya dan merasa kita sudah
memasuki era kedamaian dan hidup dengan membangun
visi dan misinya di wilayah masing-masing. Tapi, kami
ragu itu akan bertahan lama. Semakin manusia cenderung
lalai dengan kedamaiannya, kaum lain semakin kuat
dengan pasukan dan pedangnya yang terasah.”
“Kami menghindari kemungkinan terburuk dari
yang sangat buruk, wilayah Norburry adalah wilayah
terabaikan yang berada jauh dari pusat-pusat kekacauan
di Westeria. Tetapi justru, itu dapat menjadi kelemahan
Raja itu sendiri, Raja tidak tau sejauh apa perkembangan
morgul saat ini dan ada kemungkinan mereka akan
melakukan ekspansi terhadap wilayah yang luput dari
perhatian raja.”
Orang-orang mulai merinding, butiran-butiran
keringan mulai membanjiri kening mereka yang gundah.
Akankah sejarah terulang lagi? Perang besar yang
melibatkan kaum-kaum besar di Westeria dan juga
wildster.
“Hal terakhir yang akan kusampaikan kepada
kalian adalah suatu kesempatan yang akan membuat
kehidupan kalian berubah,” sejenak Virlius diam,
memandangi ekspresi dari penonton. “Raja mendapat
informasi tentang adanya salah satu bahaya yang
mengincar Norburry melebihi keberadaan morgul itu
sendiri, dan di sinilah peran kalian sangat di butuhkan
oleh kerajaan. Sumber dugaan bahaya itu terdapat di
dalam Hutan Pine.”
Mata saling bertatapan antar orang-orang yang
sibuk berpikir. Perasaan mereka seakan terkoyak oleh
kenyataan dari sebuah informasi yang di bawa oleh
bangsawan kerajaan. Semua berita datang bagaikan
hujanan anak panah yang terhempas dari semak belukar
yang rimbun, menancap di benak ketidak tahuan yang
berujung sakit.
Salah seorang tampak ketakutan dan
meninggalkan kerumunan. Beberapa sadar tentang
bahayanya prospek ini karena tidak seorang pun para
petani dan peternak yang terlatih dalam urusan
pertempuran. Keadaan menjadi semakin tidak kondusif
ketika seseorang dengan janggut tebal menyela, “jadi
kalian akan mengorbankan kami?”
“Salah!” jawaban Virlius penuh keyakinan,
“kalian akan bertindak sebagai pahlawan di bawah
bendera kerajaan Gallard. Sebuah informasi penting
datang dari salah seorang elit Gallardian bernama Thrall,
melalui mata-matanya yang bergerak di wilayah Eclorian,
dia berhasil menyadap percakapan dari Uzieg, salah satu
pelayan terkutuk Zenoth. Kabar tersebar secepat
hembusan angin, berita itu menyebutkan adanya
pencurian sebutir telur dragona atau naga oleh seorang
penyihir yang berasal dari kaum pemberontak kerajaan.”
Mendengar kata naga, banyak orang ternganga
tidak percaya. Mereka semua diberi kisah tentang
kepunahan naga penghuni Westeria sejak perang berdarah
antara tiga kaum. Naga terakhir dinyatakan punah
bersama mayat raja kegelapan Zenoth di tanah kematian
Dura, seiring dengan lenyapnya elf di hutan pedalaman
Ocadena
“Sebuah perintah besar ini akan di mulai saat ini,
melalui surat kuasa dari Raja Helbert putra dari Ambert,
raja di bawah kerajaan emas Gallard. Raja akan
menghadiahkan bagi siapapun yang berhasil
menemukannya sebutir naga curian penyihir itu di hutan
Pine!” teriak Virlius membara. Suara Virlius cukup
membuat para penontonnya terbelalak, termasuk Fade
yang mengamati.
Seorang pemuda mengangkat tangannya,
menginterupsi perkataan politis dari Virlius, dia adalah
Hans. Virlius menatap wajahnya dari kejauahan, tatapan
Hans pun sama tajamnya seperti mata tombak yang
berkilau. Sejenak waktu seakan berhenti, lalu Hans
berkata,“Apa imbalan yang pantas untuk penemuan itu.”
Virlius bangga dengan keberanian Hans, Dia
kemudian memalingkan pandangan dan melihat ke arah
seluruh wajah depan penonton di hadapannya yang
menegang. Virlius lalu mengusap keringan yang menetes
dari atas kening rambut emasnya yang berkilauan dan
berkata, “10.000 gold dan jabatan khusus sebagai
komandan prajurit Gallardian, tepat di bawah satu tingkat
dari prajurit elit Gallardian. Dalam kata lain, Jasanya
bernilai sangat tinggi dan membanggakan keluarga dan
desanya. Orang itu akan berjuang bersama prajurit atas
nama Raja Helbert dan menemukan penemuan penting
yang berpotensi sebagai ancaman Westeria. Jabatan itu
adalah kehormatan yang pantas untuk seorang ksatria, dan
kerajaan pun akan memberikan kehidupan yang layak di
balik istana emasnya di Gallard.”
Hampir semua mulut penonton menganga, tubuh
mereka seakan membeku oleh kalimat-kalimat penuh
penghormatan yang dijanjikan Virlius. Suatu imbalan
besar bagi seluruh kebutuhan yang diperlukan selama
setahun penuh. Uang itu mampu membeli desa itu beserta
isinya sekalipun, banyak diantara mereka menimbang
kemungkinan terburuk yang terjadi apabila mereka ikut
andil dalam misi pencarian telur naga itu.
Beragam pikiran muncul dari setiap benak
penduduk yang berdiri menyaksikan, mereka
membayangkan kekayaan-kekayaan yang di dapat setelah
telur itu ditemukan. Tapi apakah benda yang dicari itu
masih berupa telur? Meskipun Virlius mengatakannya
dengan penuh keyakinan, tidak ada satupun bukti dari
pembenaran atas perkataannya. Telur itu bisa saja sudah
menjadi seekor naga yang meliuk-liuk di balik semak dan
pepohonan pinus di Pine. Mungkin saja sekarang sudah
sebesar lumbung gandum yang mampu mengunyah tubuh
manusia dengan mudahnya. Cakarnya saja mungkin
sudah sebesar pahat baja.
Disatu sisi mereka membayangkan kesejukan dan
keindahan kekayaan dan kemakmuran dari imbalan
barusan, tetapi sisi lainnya memberikan tekanan dan
sayatan yang jauh lebih besar. Semua masuk akal,
imbalan yang tidak masuk akal sepadan dengan
resikonya. Banyak diantara mereka mulai sadar akan
resiko kematian yang tidak terduga dihadapannya.
Apabila naga itu tidak berbahaya, sayembara itu tidak
akan di umumkan semudah ini oleh Gallardian. Itu
sebabnya mereka lebih memilih menumbalkan rakyat
kecil dengan iming-iming segudang emas dan tahta.
Itupun hanya seorang.
“Jika kalian bersedia, tetap berdiri di tempat kalian
berdiri, dan apabila kalian belum merasa siap dan layak
atas imbalan itu kalian dapat meninggalkan tempat ini,
mulailah kembali pekerjaan yang kalian kerjakan seperti
biasa,” kata Virlus tidak memberi jeda.
Orang-orang mulai berbisik, ada yang bimbang
dan ketakutan, mereka saling mengangkat bahu dan
enggan untuk ikut, membayangkan nama Pine saja sudah
membuat perutnya melilit, ditambah lagi dengan adanya
telur naga. Semua Informasi itu simpang siur, jika
memang hanya telur saja yang dibutuhkan, prajurit tidak
akan serepot ini. Beberapa diantaranya saling berdebat,
meributkan hal antara kekayaan dan kematian.
Selama sepuluh menit berlalu, satu per satu
penduduk meninggalkan pelataran dengan prinsipnya
masing-masing, menurutnya prospek seperti itu tidak
sebanding dengan resiko yang seolah menghunus tubuh
mereka bagai pedang. Selain itu, mereka masih belum
mendapatkan kepercayaan dari Raja Helbert sepenuhnya.
“Hentikan ambisi gilamu,” kata Fade yang berdiri
di belakang Hans. Mereka berdua membeku dalam
keramaian berkurang sedikit demi sedikit.
“Aku tidak memaksamu menghentikanku, Virlius
memberi kesempatan untuk para pengecut pergi dari sini,”
katanya sambil menoleh kepada Fade dan menatapnya
tajam.
“Bukan itu,” kata Fade terhenti, “Apa kau
mempercayai kata-katanya begitu saja?”
“Jadi imbalan itu ilusi yang terucap di bawah alam
sadar dia?” kata Hans mencibir.
“Well.. Bukan soal harta dan tahta yang dijanjikan.
Semua tentang bahaya yang tidak mereka sebutkan,” Fade
mencoba sabar. “Kita belum tau sudah sampai mana
perkembangan telur itu, lagipula apa menurutmu seekor
telur datang tanpa adanya seekor induk? Memang,
imbalan yang dijanjikan sangat besar, tapi apakah Virlius
sudah menyebutkan semua informasinya?”
“Kenapa aku harus peduli?”
“Tentu kau harus peduli, mereka akan menjadikan
kau sebagai tameng Gallardian untuk sesuatu hal yang
mereka cari, ya! Mereka cari!”
Hans membisu tidak menanggapi Fade dan
memalingkan wajahnya. Pandangannya terfokus pada
sekumpulan prajurit di depannya yang masih menunggu
orang-orang yang menyerah.
“Sepenting itukah tahta bangsawan untukmu?
Berpikirlah dengan jernih tentang prospek manis
ambisimu!” kata Fade geram. “Kebenaran itu masih
belum banyak terungkap, terburu-buru seperti ini akan
membunuhmu sebelum kau mencapai ambisi itu,
percayalah ini terlalu berbahaya.”
“Kenapa kau tidak memperjelas bahwa kau ingin
menghalangiku dengan wajah menyedihkan seperti itu
seperti wajah adikmu,” balas Hans mencibir sombong.
Fade mengigit bibirnya, darahnya serasa mendidih
dan cukup untuk membuat otot-otot tangannya menegang.
Sebuah kepalan keras melayang di antara udara yang
memisahkan kedua tubuh Fade dan Hans. Satu pukulan
telak menghantam pipi Hans dan membuatnya terhempas
dan tersungkur. Hans menatapnya dengan penuh
kebencian, darah hangat mengalir dari ujung bibirnya dan
menetes melalui dagunya. Pukulan itu adalah pukulan
terkeras yang pernah dia rasakan, pipinya seperti dihujam
tongkat besar dan rasa perih yang menyengat seperti
tusukan paku di sela gusinya.
“Jadi itu yang kau mau,” kata Hans mencoba
bangkit dan menepuk pinggangnya yang berdebu.
Hans bergerak lincah menyambut Fade yang
masih bersiaga mengepalkan tangan, dan melepaskan
tinju balasan. Serangan itu mudah terbaca oleh Fade,
dengan kesadarannya yang di balut emosi, Fade dengan
mudah menghindari laju tinju Hans. Sewaktu Hans
menyadari tubuh Fade kekurangan keseimbangan akibat
hindarannya yang terlalu cepat, Hans menghujamkan
tendangan telak ke perut Fade dan membuatnya kini
terlempar lebih jauh dari Hans.
Butiran debu melayang menyamarkan tubuh Fade
yang berbaring di atas tanah berdebu. Orang-orang mulai
bersorak senang.
“Hentikan!” teriak Garreth, dia menyilangkan
lengan besarnya di dada Hans yang ingin mengejar tubuh
Fade yang berbaring kesakitan. cengkeraman Garreth
sangat kuat, besar lengannya memang dua kali lebih besar
dari lengan Hans. Hans meronta dan memberontak tetapi
badannya tidak bisa melangkan sedikitpun tertahan oleh
kekuatan Garreth.
“Sudah cukup!” suara itu datang dari Drael,
prajurit pengawal Virlius. Guratan otot-otot tubuh Drael
terlihat seperti akar-akar tanaman. Menatap Hans dan
Fade dengan tatapan seperti bison waspada.
“Dia ingin menghentikanku dari misi pencarian
telur naga!” kata Hans yang mulai berhenti meronta, lalu
Garreth melepaskan cengkeramannya.
Drael lalu memandang Garreth tepat di matanya,
melihatnya seolah ingin membaca pikirannya. Garreth
merasa mual dan mengangkat kedua tangannya dan
mundur menjauhi Hans. Mereka berdua menyerah pada
keadaan dan menatap Hans berdiri sombong.
“Apa itu benar?” kata Drael memindahkan
tatapannya ke arah Fade yang mencoba bangkit. Tatapan
“Tidak, aku salah orang,” kata Fade, berpura-pura
sabar.
“Bagus, dan apabila kalian tidak ada keperluan
lagi, kalian bisa kembali bekerja seperti yang lainnya,”
kata Drael memastikan, Drael menatap Fade tanpa
berkedip.
“Untuk semua yang masih berdiri di sini,
menunggu untuk mengubah nasib dirinya dan
keluarganya menjadi lebih baik, silakan berkumpul
mendekat!” teriak Virlius dari kejauahan.
Para penduduk desa berbisik ramai dengan wajah
kebingungan. Mereka pelan-pean bergabung dengan para
prajurit di dekat Virlius. Drael pun berjalan meninggalkan
Fade, Garreth dan Hans yang membeku. Hans tersenyum
tipis dan menggelengkan wajahnya dua kali merasa
menang. Dia lalu berbalik arah dan meninggalkan Fade
dan Garreth tanpa berkata apa-apa.
“Dasar bocah sinting!” caci Garreth.
“Ambisinya sudah mengalahkan akal sehatnya.”
“Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?”
Fade bangkit dan meraba dadanya yang terasa
sakit, ia kemudian meludahkan darah dari mulutnya.
Sejak tadi darah itu terasa seperti besi berkarat yang
memenuhi mulutnya. Fade mengangkat bahu dan berkata,
“entahlah, aku akan kembali ke Pine besok, sepertinya
malam ini aku harus menumpang lagi di tempatmu
Garreth.”
Tawa lebar tampak di wajah Garreth, dia
mengangguk lalu berjalan meninggalkan pelataran
Norburry, mengacuhkan berbagai suara-suara menggema
dibelakangnya. Menurut Fade keputusan Hans berada
pada posisi yang sulit untuk diterima dan juga sulit untuk
ditolak. Dia dan Fade sama-sama memiliki kisah hidup
yang sulit dan Fade tidak ingin terlalu ikut campur dengan
permasalahan dalam dirinya. Kesintingan apapun yang
sudah menguasai dirinya kelak akan menjadi bumerang
untuk masa depannya. Kenapa aku harus berpikir sampai
sejauh itu?
Apabila memang hutan Pine memiliki suatu
bahaya besar yang mengancam kerajaan, Damar harus
segera mengetahui tentang kebenaran itu. Mereka adalah
pemburu dan selalu menjadi pemburu. Fade merinding,
membayangkan bahwa telur naga itu sudah menetas
menjadi naga yang lebih besar dari pondoknya. Mengintai
di balik perbukitan dan terbang melayang-layang di atas
tajuk pohon. Menerkam segala jenis pemburu di hutan
Pine tanpa menyisakan tulang belulangnya. Semoga
Damar baik-baik saja, pikirnya.
NALURI SEEKOR NAGA

Sudah hampir empat jam lebih Damar


menghabiskan waktunya bersama naga itu di gua.
Kebanyakan waktu itu terkikis karena usahanya yang luar
biasa untuk mengajaknya keluar dalam Goa. Kali ini
Damar datang dengan sekantung daging rusa potong
pemberian Alazar hari lalu. Dengan hati-hati Damar
menyodorkan spotong daging itu ke depan mulut naga
yang memperhatikannya dengan heran.
Naga itu mengendus dan kemudian mematukkan
mulutnya menyambar potongan daging itu bagai ular.
Damar yakin daging itu langsung melewati
tenggorokannya tanpa dikunyah terlebih dahulu. Tidak
lama naga itu mendekati tungkai sepatu kulit Damar dan
menyodok-nyodokkan tandung kecilnya, meminta
makanan lagi.
Potongan daging itu cepat sekali habisnya ketika
Damar tidak menghitung berapa banyak potongan yang
sudah dia sodorkan kepada mulut naga itu. Saat Damar
meraba kantung kecilnya, dia menyadari dagingnya
tinggal sepotong. Naga itu terlihat malas dan merangkak
di sekitar Damar yang berjongkok. Ketika Damar
menyodorkan potongan terakhir, naga itu enggan melirik
dan membuka mulutnya terpaksa, kali ini dia mengunyah
tampak suram.
Setelah kenyang, naga itu mendengus dan
merayap naik ke bahu Damar, melilitkan setengah
tubuhnya ke leher belakang Damar, seperti seekor kadal
yang telah jinak. Awalnya Damar ketakutan, tetapi
terbiasa dan kegelian. Dia bangkit dari jongkoknya dan
berjalan meninggalkan Goa. Mencoba lagi percobaannya
untuk membawa naga itu keluar dari goa. Kalau aku gagal
naga ini akan menggigit leherku dan memberikan luka
yang tidak kecil, tapi kalau berhasil aku akan
membawanya jalan-jalan ke atas bukit, pikir Damar ragu.
Sewaktu Damar sudah di mulut Goa, Naga itu
bergetar ngilu. Getarannya cukup terasa hingga membuat
Damar merinding. Sesekali Damar berhenti mengamati
apakah naga itu akan mengigitnya. Sebelum melanjutan
lagi langkahnya keluar goa, Damar diam sejenak. Di luar,
cahaya kekuningan terang membanjiri padang rumput
yang terbentang didepannya, seolah tidak ada awan yang
menggantung yang membiaskan cahaya matahari.
Siang hari ini lebih cerah dari hari-hari
sebelumnya, kondisi ini merupakan kondisi terbaik untuk
berburu, tetapi Damar masih asik dengan naga itu yang
sekarang mendekap di leher belakangnya. Sewaktu
cahaya itu menyentuh sisik naga perak itu, cahaya
berpendar seperti mutiara berkilauan yang di bentuk pipih
menyerupai sisik. Menyebarkan cahaya kekuningan
menjadi keperakan dengan konstelasi yang mutlak.Damar
tertegun, kesadarannya di uji ketika dia berkali-kali
meyanggah bahwa sesosok naga kecil meringkuk di
punggungnya sedang menikmati cahaya siang.
Tepat pada saat ia mengira naga itu sedang tidur
karena kekenyangan, ia segera menjauhi goa itu dan
berjalan dengan sigap. Berkilo-kilometer dilaluinya
dengan kegembiraan atas temuannya hingga Damar tiba
di kaki bukit di kedalaman hutan Pine. Logikanya yang
sederhana menyebutkan bahwa mungkin orang tua dari
naga itu hidup disalah satu bukit yang tumbuh di sisi-sisi
kedalaman hutan Pine. Bagaimana mungkin induknya
bisa melewatkan seekor telur yang tersasar di dalam goa
yang jauh dari ketinggian manapun di Hutan Pine.
Kali ini Damar optimis, apabila dia menemui
induk naga itu, dia merencanakan sedikit pembicaraan
dengan induk naga itu. Meskipun terdengar cukup gila,
Damar harus memastikan kemampuannya sebagai
Enchanther sungguhlah benar. Mungkin dia bisa
bernegosiasi dengan induknya, atau sang induk akan
memberinya hadiah atas kembalinya anaknya yang
hilang. Sedikit informasi tentang kawanan rusa sudah
cukup baginya.
Selama beberapa jam berikutnya cuaca semakin
dingin, cahaya megah perlahan berubah menjadi semburat
merah kekuningan yang sayup. Udara mulai sedikit dingin
dan kasar. Entah sudah berapa bebatuan yang didaki
Damar bersama naga yang tertidur pulas di bahunya.
Hebatnya Damar tidak merasa kelelahan, dia merasa
sangat luar biasa dan bertenaga. Jauh di bawah sana
Damar mendengar desis Sungai Raen yang beradu dengan
batu. Sungai itu tidak pernah beristirahat, gumamnya.
Jalan setapak menanjak membawa Damar menuju
area hutan yang mulai miskin pohon, di hadapannya
terbentang hutan Pine yang luas terbuka bagai selembar
kertas papyrus yang di lukis dengan warna kehijauan.
Agak jauh di arah tenggara, terdapat bangunan-bangunan
kecil kecoklatan dengan asap putih kecil membubung.
Damar memperkirakan ukuran bangunan itu hanya
sebesar biji kacang hijau, itupun bangunan yang terbesar.
Sungai Raen juga tampak meliuk-liuk memecah tajuk
hijau lebat dari Hutan Pine, berujung di sebuah daratan
yang tertutup oleh deretan pegunungan Helmaer.
Sambil menikmati puncak bukit itu, Damar
mengawasi sekelilingnya berharap melihat induk sang
naga sedang terbang mencari makan ataupun menikmati
udara sore hari.
Sejauh matanya memandang, tidak ada seekor pun
naga yang terlihat melintas di langit Norburry, hanya
sekumpulan burung gagak dan rajawali yang berputar-
putar di atas Pine. Ini gila, kalaupun ada Naga para
pemburu pasti sudah memburunya dengan uang imbalan
yang besar, pikirnya.
Damar diam sejenak, perutnya lapar dan dia
memakan bekal roti daging yang dia bawa sejak
meninggalkan pondok kecil untuk menemui naga itu.
Naga itu bergumam dan mengeluarkan suara geraman
kecil dari tenggorokannya, karena kesulitan, Damar
menurunkan naga itu kepangkuannya selagi dia
mengunyah roti sandwinchnya.
Sewaktu matahari mulai menghilang di tepi
Horison dan memendarkan cahaya keunguan yang pudar.
Damar menuruni bukit, mengetahui usahanya sia-sia atas
simpulannya bahwa induk naga itu tidak ada di Pine.
Damar menuruni bukit itu dengan cepat seperti seekor
kancil yang melompat-lompat menghindari lubang.
Begitu Damar tiba di mulut goa, dia
mengembalikan naga itu ke dekat mulut goa yang mulai
dibanjiri cahaya bulan, membiarkannya menjulur turun
meninggalkan bahunya yang ramping. Damar lalu
memandangnya dengan sedih. Naga itu terdiam
memandangnya dengan pupil hijaunya yang
memantulkan cahaya bulan.
“Aku akan kembali lagi ke sini besok, sepertinya
aku akan mengajak Fade,” kata Damar sambil tersenyum
muram.
Tanpa pikir panjang Damar meninggalkan tempat
itu dan beranjak menuju pondok kecil di pinggir Pine.
Cahaya bulan semakin megah sewaktu Damar tiba di sisi
jalan setapak pinggir Pine yang berbatasan dengan
deretan hutan. Damar melirik waspada mengamati
sekelilingnya dan mendapati bahwa semua penduduk
pinggir Pine sudah berada di rumah sibuk dengan
keluarganya masing-masing. Meskipun suara samar anak-
anak yang ribut masih terdengar samar, menandakan
waktu belum menunjukan tengah malam.
Sewaktu Damar melangkahkan kaki menjauhi
hutan dan menuju jalan setapak yang mengarah ke pondok
kecil, bunyi derakan terdengar samar dibelakang semak
hutan, karena curiga, Damar memeriksa untuk
memastikan dirinya aman sampai ke rumah.
Mata Damar terbelalak dan tubuhnya terlonjak
ketika menyadari naga itu ada di balik semak.
Mengikutinya dari goa menuju desa pinggir Pine. Damar
terperangan dan menggaruk rambut coklatnya yang lusuh.
Kebingungan dan juga kagum, Apakah dia telah
mendapatkan kesetiaan naga kecil itu?
Naga itu masih bersembunyi di balik semak seolah
tidak menyadari dirinya telah did ekati Damar. Sewaktu
damar membuka sesemakan dengan kedua tangannya,
naga itu menguik dan mengepulkan asap kecil dari cuping
hidungnya. Damar tidak mengerti maksud dari naga itu
tetapi dia bisa merasakan energi kegembiraan yang
terpancar dari naga itu.
“Aku bisa saja membawamu ke pondok, tetapi
tidak menjamin apa yang akan terjadi padamu kalau
sampai Hans melihat dirimu,” katanya sedih. “Kau bisa di
jual.”
Naga itu muram, dan melompat-lompat. Tidak
lama dia menggelayut dan bertengger di bahu Damar,
seperti seekor iguana kecil yang manja.
“Aku akan memastikan kau tidak melakukannya
setelah kau tumbuh dewasa, cakarmu cukup untuk
mengoyak bahuku,” Damar sambil tertawa.
Damar sekali lagi memastikan tidak ada orang
yang melintas di jalan setapak kecil selebar dua kaki itu.
Dia berjalan membungkuk menghindari jalan setapak dan
merayap perlahan seperti seorang pencuri, dngan naga
yang bertengger gembira di pundaknya. Di kejauhan
damar bisa melihat rumah Alazar, jendelanya
bermandikan cahaya lilin yang kuning dan kepulan asap
menggumpal di cerobongnya yang kecil. Aku yakin kalau
pemburu tua itu tau tentang keberadaan dragona ini,
semua akan menjadi lebih sulit dan merepotkan, katanya
dalam benak.
Pondok kecil terlihat gelap, Damar mengintip di
balik jendela untuk mengawasi. Semua terlihat gelap dan
tidak menimbulkan bentuk fisik apapun selain warna
hitam, Fade dan Hans masih belum kembali. Damar lalu
merayap menyusuri didin kayu pondok hingga ke pintu
depan, dan membuka pintu kayunya secara perlahan.
Pintunya bergoyang menderit pelan tanpa berdebum.
Kemudian Ia mengambil lilin dan menyalakannya dengan
pemantik api di sakunya, dan mulai menggantung lilin-
lilin itu di dinding.
Sewaktu lilin itu, hendak ia gantungkan di
dinding, sontak sebuah cengkraman kuat mengait lengan
kirinya di balik kegelapan malam. Dengan reflek yang
cepat Damar berbalik arah, menguatkan pertahanan di
segala sisi tubuhnya dengan indra penderangan dan
perabanya di kegelapan ruangan. Siluet sesosok pria yang
lebih tinggi sepuluh sentimeter berdiri di hadapannya
seperti bayangan mengerikan. Entah apa maksud pria itu,
damar mengarahkan cahaya lilin ke arah wajahnya,
berharap mampu mengusir roh jahat yang mungkin
menghantui pondoknya.
“Kau kemana saja baru pulang?”
Damar terbelalak saat mengenali suara itu, itu
suara Fade, tidak lama setelah cahaya lilin menjelaskan
semua yang ada di hadapannya. Fade melihat sesuatu
yang bertengger di bahu Damar. Kadal? Tidak bukan,
iguana? Fade mengusap matanya yang bodoh dengan
wajah kecewa. Lalu membuka lagi dan melihat dengan
jelas.
Setelah menyadari seeokor naga perak yang
bertengger tidak berselera melihat wajah Fade, dia
terperonjak dan terhempas jauh hingga punggungnya
menambak meja dan kursi. Jarinya bergetar hebat dan
ngilu, menahan teriakan.
“Apa itu, naga?” kata Fade dengan suara bergetar.
“Benar, akan aku ceritakan, kumohon tenang,”
kata Damar sambil mengangkat kedua tangannya
menenangkan. “Jangan beri tahu Hans dulu, tapi kenapa
kau pulang dan menetap seperti seorang pencuri?
Mengurung dan mematikan semua lampu seakan ingin
menyergapku?”
“Aku akan menceritakan tentang Hans dan
kesintingannya dia tidak akan kembali, semua itu
berhubungan dengan mahluk yang berterngger di
bahumu!” kata Fade mencoba tenang. “Aku kembali sejak
sore tadi, melihat dirimu pergi lama dan tidak kembali
kuputuskan untuk mengagetkanmu saat kau pulang, tapi
siapa yang menyangka bahwa adikku pulang dengan
membawa seekor naga buronan kerajaan? Apa dunia
sudah semakin sinting.”
“Ceritaku lebih rumit daripada yang akan pernah
kau ketahui Fade, sementara kita harus menenangkan diri
dulu, dan melewatkan malam ini. Aku lelah mencari
induk naga ini dan tidak menemui setitik pun sosok
induknya.”
Fade menggangguk dan menelan ludahnya, ia
setuju, dan mereka berdua masuk ke dalam kamar tidur.
Di malam yang terasa panjang ini, Fade sulit tidur,
beberapa kali ia terbangun dan mengawasi Naga itu yang
berdiri dengan gagah di hadapan jendela memandang ke
arah bulan. Takdir gila apa yang akan menghadapi mereka
berdua dengan seekor naga kecil buruan kerajaan
sekarang berdiri di pondok kecil milik dirinya dan Damar.
KEJUJURAN PENYIHIR

Suama buk terdengar cukup kencang sewaktu


Naga itu mendarat di tepian meja untuk menangkap secuil
daging rusa kering. Perut naga itu sudang menggembung
kenyang dan hampir malas bergerak, tapi dia berusaha
semampunya untuk menyambar daging terakhir dari
lemparan tangan Fade. Fade membalasnya dengan tawa
gembira. Seketika naga itu tenggelam dalam kenyangnya
dan berguling seperti seekor kucing.
“Baru malam lalu kau ketakutan dengan naga itu
dan sekarang mempermainkannya,” kata Damar yang
baru terbangun dan mengusap matanya.
“Tidak semua hal yang ditakuti harus selamanya
kutakuti, setidaknya semua berubah ketika dia
membangunkanku dengan menjilati mataku,” kata Fade
riang.
“Jadi, kita bisa mulai bercerita tentang hal yang
penting?” tanya Damar.
Damar kemudian mengambil roti-roti kering yang
terbalut daun jati dan mengunyahnya, mengamati
kakaknya yang menggelitik leher naga yang kekenyangan
dengan jari telunjuknya.
Sekarang Fade yang tergoda akan keanggunan
naga itu, pikirnya.
“Ceritaku cukup mengerikan,” Fade sejenak
terhenti dan mencoba duduk tenang. “Prajurit kerajaan
emas Gallardian sudah menempati Desa Norburry, datang
dengan kesombongan yang tidak dibuat-buat bersama
dengan prajurit elit bangsawan tentunya.”
“Prajurit elit? Yang kau maksud adalah
bangsawan yang menyandang gelar komandan prajurit
kerajaan?” kata Damar terperangah.
“Tepat sekali, dia adalah Virlius. Semua
perkataannya yang disampaikan di pelataran Desa
Norburry menjurus pada kebaikan umat manusia dan
penduduk Norburry, tapi semua itu tentu dengan maksud
dan misi tersembunyi dari raja Helbert.”
“Dan misi itu?”
“Menemukan telur naga yang tersesat di hutan
Pine, dengan kata lain, seekor wildster legendaris yang
sudah dinyatakan punah sejak perang berdarah antara elf,
manusia dengan Wildster,” Fade lalu menengguk segelas
air untuk menenangkan dirinya dan melanjutkan, “Saat ini
kemungkinan Raja Helbert menganggap wilayah
Norburry adalah prioritas utama yang mengancam
kedamaian umat manusia, jujur saja aku kurang percaya
mendengar kata kedaiaman keluar dari mulut seorang raja
yang tidak memperdulikan wilayah Norburry beberapa
dekade ini.”
“Jadi mereka belum mengetahui lebih dalam
mengenai telur itu bahwa sekarang telah menetas menjadi
‘seekor’ dan bukan ‘sebutir’ lagi?”
“Ya, belum sama sekali tahu.”
“Apa yang terjadi dengan Hans?” Damar
kemudian mengunyah rotinya lagi.
Gigi Fade gemetar menahan amarah, dia
menenggak air minum berkali-kali, “Hadiah yang
dijanjikan Raja Helbert berupa sepuluh ribu gold, dengan
jabatan pemimpin pasukan di bawah perintah bangsawan
elit, atau bisa disebut sebagai tangan kanan bangsawan
elit.”
“Mengerikan, dan Hans tertarik?”
“Aku sudah berusaha mencegahnya, terlalu bodoh
mempercayai kata-kata kerajaan begitu saja.
Bagaimanapun dia sudah sinting dan kami berkelahi, pada
akhirnya aku membiarkannya menuruti ego bodohnya
akan kekuasaan dan harta.”
“Sepuluh ribu gold bukanlah jumlah yang sedikit
Fade, bagaimana denganmu?”
“Tidak, aku sama sekali tidak berniat menjalankan
misi itu untuk uang, bagiku bukanlah uang hadiah yang
aku kuatirkan saat mendengar tentang adanya telur naga
di dekat tempat tinggal kita, tapi kemurkaan sesosok
mahluk legendaris yang mampu menghancurkan
Norburry dalam satu hembusan napas,” Fade menggaruk
kepalanya, “Well, siapa sangka ternyata yang dicarinya
adalah sekor naga yang masih kecil, bahkan seperti seekor
anjing kecil yang gembira?”
“Aku setuju, tapi apa yang harus kita lakukan
selanjutnya, aku tidak memiliki rencana dan sama sekali
tidak menyangka kerajaan emas akan memburunya
seperti ini,” kata Damar kuatir.
“Kita bisa bicarakan itu nanti, sebelumnya bisa
kau ceritakan bagaimana menemukan naga ini?”
“Ceritaku lebih rumit, dan berhubungan dengan
apa yang ingin kuceritakan padamu sesaat sebelum kau
ingin meninggalkan pinggir Pine untuk menjual kulit
wildster itu, kau ingat?”
“Ah! ya, aku ingat.”
Damar menghembuskan napasnya pelan, “semua
bermula ketika malam sewaktu wildster itu menyerang,
aku seperti seorang yang sekarat, kesadaranku seolah
terlepas dari mataku dan beralih menuju ruang benak di
dalam kepalaku.”
“Hmm, menarik.” Fade mengangguk.
“Lalu aku mendengar sebuah suara, suara yang
memenuhi kepalaku. Awalnya aku mengira itu adalah
suara-suara ilusi yang mengantarkanku pada kematian,
suara itu mengarahkan perhatianku menuju ke suatu hal di
dalam goa, didekat kau dan Hans membunuh wildster
itu,” keringat mulai menetes melalui dahi Damar.
“Suara itu? Suara siapa?” tanya Fade penasaran
dan juga takut.
“Wildster,” jawab Damar merinding.
“Kau sudah memastikan hal itu? Darimana
asalnya informasi, kau harus berhati-hati.”
“Alazar, seorang pemburu tua yang tinggal tidak
jauh dari pondok kita, kau mengenal dia kan?”
“Bah, bukannya dia hanyalah pemburu biasa yang
sudah berumur?” Fade menyeringai.
“Itu yang kurasa tepatnya sebelum kau tahu, aku
pingsan dan tidak menyaksikan apapun pada malam itu.
Ketika semua berlalu begitu cepat, kau pergi
meninggalkan pinggir Pine menuju Desa Norburry.
Suara-suara yang kudengar menggangguku dan
meningkatan rasa keingintahuanku, Aku gelisah dan ingin
menuju ke Goa itu lagi. Pada saat itu aku melihat Alazar
menggotong rusa jantan besar seperti ayah muda yang
menggendong seorang anak manusia berumur 3 tahun!”
“Kalau begitu dia sangat kuat.”
“Pada saat itu aku mengetahui tentang wildster-
wildster itu, tentang nama mereka, prilaku dan sedikit
sejarah tentangnya, melebihi cerita para pedagang
nomaden.”
“Apakah Alazar mengetahui tentang penemuan
nagamu?” kata Fade curiga.
“Sama sekali belum, ini pertama kalinya aku
membawa naga ini ke pondok. Waktu yang kuhabiskan di
hari-hari sebelumnya adalah memberinya makan dan
mencari induknya,” kata Damar berusaha menenangkan.
“Keadaan ini semakin menyulitkan kita. Aku tidak
bisa menjamin sampai berapa lama prajurit Gallard akan
menempati Norburry. Tidak lama mereka akan menyusuri
hingga ke pinggir Pine dan mengetahui kebenaran tentang
naga itu,” kata Fade begidik ngeri.
“Secepatnya kita harus menemukan induk naga
itu, mengembalikannya dan membuatnya menjauhi
Norburry secepatnya.”
“Bukannya itu lebih beresiko?”
“Aku bisa mencoba untuk berbicara ketika kita
melihatnya dari kejauhan, berunding untuk
mengembalikan anaknya dengan syarat menjauhi daerah
Norburry.”
“Itu sama saja mengancam,” kata Fade tidak
setuju. “Kita perlu meyakinkannya tentang bahaya dari
wilayah Norburry, tentang pencarian naga oleh Raja
Helbert akan rasnya yang langka dan berbahaya. Apakah
kau melihat tanda-tanda induknya?”
“Sama sekali belum.”
“Hutan Pine sangat luas, seluas-luasnya mustahil
pemburu tidak ada yang menyadari kehadirannya saat
terbang melintasi tajuk-tajuk untuk mencari makan,” kata
Fade cemas.
Sejenak mereka berdua terdiam, kata-kata Fade
terakhir mengambang diantara mereka berdua. Keduanya
hampir putus asa karena buntu dan ketakutannya itu
sendiri. Mereka takut akan terbongkarnya penemuan naga
itu oleh para Gallardian, dan juga ketakutannya akan
rencana-rencana buntu yang menyulitkan keadaan mereka
berdua. Lain halnya dengan naga itu, masih melompat-
lompat gembira menyusuri ruangan kecil di pondok.
Mengendus-ngendus penasaran setiap sisi-sisi ruangan
dan antusias terhadap semua benda yang tergantung di
dinding-dinding kayu.
Damar mencoba mencari solusi lain,
mempertimbangkan segala kemungkinan, yang mereka
butuhkan saat ini adalah informasi tentang naga. Hanya
satu orang saja yang menurutnya sesuai untuk kualifikasi
itu.
“Kita harus menemui Alazar,” kata Dama putus
asa.
“Kau yakin?”
“Dia tau lebih banyak tentang Wildster, kita bisa
mendapatkan informasi tentang keberadaan induknya,
atau mungkin dia bisa membantu kita menyelesaikan
permasalahan ini. Tentunya aku tidak ingin naga ini
membahayakan masa depan Norburry saat menjadi
dewasa, tetapi aku juga tidak ingin kerajaan
menangkapnya dan membunuhnya begitu saja. Mereka
berhak hidup.”
Fade mengangguk. Segala aspek pilihan memiliki
suatu resiko, Fade setuju tentang pilihan itu. Saat ini
mereka sama sekali tidak mengetahui apapun tentang
Naga itu, dan pihak kerajaan dalam waktu yang diketahui
dapat menjadi potensi bahaya yang lebih tinggi. Cepat
atau lambar mereka akan menyisiri daerah pinggir Pine.
Menginterogerasi semua pemburu dan menawarkan uang
imbalan yang besar.
Damar dan Fade juga tidak yakin mereka mampu
menyembunyikan kehadiran naga itu lebih lama. Naga itu
perlu makan dan dia makan daging lebih banyak daripada
mereka berdua. Damar bisa saja menyembunyikan naga
itu di balik keranjang atau kandang penjebak hewan. Tapi
apakan naga itu akan betah?
Apabila seorang pemburu awam menyadari
mereka memelihara seekor naga, semua akan gusar dan
berita itu akan tersebar cepat sampai ke Desa Norburry.
Dengan sigap para prajurit Gallard dan virlius akan segera
tiba, melakukan pencarian intensif. Mereka sama gilanya
dengan Raja Helbert.
Semua konflik-konflik antara manusia dan
Wildster itu sendiri berasa dari ketakutannya akan bahaya
dari mahluk asli Westeria tersebut. Alazar memang benar,
tidak sepantasnya manusia membantai keberadaan
mahluk penghuni asli Westeria atas nama kedamaian.
Kedamaian itu hanyalah sebuat percikan api atas nama
penaklukkan, ambisi untuk menguasai westeria tanpa
adanya ancaman dari keseimbangan alami.
Damar kemudian menaruh naga itu ke dalam
keranjang anyaman dari serat-serat bambu. Anyaman itu
memberikan cukup ruang untuk cahaya masuk dan
menyamarkan tentang isi dari keranjang itu. Naga itu
terlihat tidak menolak dan bersedia. Damar kagum dengan
naga itu, bagaimana ternyata di usianya yang masih kecil
mampu untuk bekerja sama sekalipun dalam kondisi yang
genting.
Meskipun dia sudah berada dalam keranjang,
mereka tetap waspada dan berhati-hati terhadap para
penduduk yang beraktifitas di sekitar Pine. Mereka ingin
memastikan tidak ada seorang pun yang mencurigai isi
dari keranjang itu, bahkan anak-anak sekalipun.
Damar mencoba jalan senatural mungkin,
meskipun tangannya sedikit gemetar. Fade tiba lebih
dahulu di gubuk Alazar. Mengamati sekelilingnya dan
mencari keberadaan pemburu tua itu. Dia mengintip dari
jendela bundarnya dan mengetuk pintunya. Tidak ada
sahutan dari gubuk itu, tetapi di sampingnya terdapat
bekar api unggun kecil dengan tulang-tulang rusa di
samping bara yang sudah menghitam.
“Ini sarapannya, dan dia pasti sudah pergi
berburu,” kata Fade.
Damar mengangguk, pencarian di hutan lebih
memudahkan karena mereka dapat melepaskan naga itu
untuk bergerak lebih bebas daripada harus mengurungnya
di dalam keranjang. Damar tidak menyukainya.
Jam-jam berikutnya banyak terlewati oleh
aktifitas mereka berdua dalam pencarian Alazar di dalam
Hutan Pine. Mereka hampir putus asa karena berkasan
cahaya sudah berubah dari putih terik menjadi merah dan
jingga. Sekumpulan gagak sudah mulai berterbangan di
langit-langit kanopi hutan dan udara mulai terasa dingin
menusuk.
Mereka merasa seperti seperti orang bodoh yang
mencari pemburu tua dengan membawa seekor naga
buronan kerajaan. Sesekali mereka beristirahat di tepian
batu besar di tepi Sungai Raen, sekedar menghabiskan
bekal daging kering dan roti lapis selada yang sudah layu
karena tertutup terlalu lama. Kuatir akan laparnya naga
perak itu, Fade menombak sekumpulan ikan-ikan yang
terlihat di pesisir Sungai Raen dengan ranting kayu yang
diruncingkan.
Fade memiliki ketajaman mata yang melebihi
Damar, itu sebabnya sejak berburu, keahlian utamanya
adalah menggunakan busur untuk menumbangkan
buruannya. Menurutnya sekumpulan ikan di sungai Raen
tidak lebih dari seekor kelinci yang sedang berjongkok di
rerumputan pendek. Dengan gerakan lihai yang seimbang
ia menombakkan tongkat runcingnya ke dalam air dan
menghasilkan tumpahan dan percikan yang keras. Seperti
pecahan cermin yang tertusuk duri, Fade melonjak
gembira dan mendapati tombaknya mengenai tiga ikan
bass sekaligus.
Sang Naga nampak kelaparan dan gelisah,
meskipun cahaya bulan sudah mulai timbul di balik
gumpalan awan jingga. Mereka berdua tetap tenang dan
membuat api unggun kecil dari ranting-ranting.
Membakar tiga ekor ikan untuk makanan si naga. Naga
itu tidak keberatan dan meringkuk gembira.
Sewaktu ikan itu matang, naga itu mengunyahnya
dengan rakus dan menghasilkan bunyi krek yang tinggi.
Mereka kagum dengan kekuatan deretan gigi seekor naga
yang mampu negoyak tulang ikan bass seperti kerupuk.
“Apa tidak seharusnya kita memberinya nama
naga itu?” kata Fade.
“Tadinya kupikir perlu, tapi kita bukan ingin
memeliharanya, memberinya nama akan menambah
ikatan kedekatan yang sangat kuat,” kata Damar ragu.
“Aku kuatir naga itu akan semakin dekat dengan kita dan
membuat kita lupa bahwa naga itu di incar kerajaan.”
“Kau benar, sesaat aku merasa dekat dengannya,
lihat lah keanggunan dirinya. Sisiknya yang berwarna
keperakan seperti mutiara, matanya yang hijau seperti
permata dan cakarnya yang putih seperti gading,” Fade
menatap dalam naga yang masih lahap memakan ikan itu,
terhanyut pada kewibawaan naganya. “Dia mahluk yang
sempurna.”
“Kuharap kita bisa segera menyelesaikan masalah
ini dan memutuskan apa yang seharusnya kita lakukan
ternadapnya,” kata Damar tersenyum tipis, “kalau perlu
aku bersedia walau harus membawanya jauh dari
Norburry dan membawanya pergi jauh ke wilayah
Timur.”
Kita dibuat semakin mencintai mahluk ini, pikir
Fade.
Dari kejauhan terdengar bunyi klik yang cukup
kencang, sesuatu terhempas di balik semak pohon yang
tumbuh rimbun di kejauahan. Sesuatu yang tajam melaju
dengan kecepatan yang tinggi melewati pohon-pohon
cemara juniper dan pinus. Mengoyak angin dan kabut tipis
menuju ke arah mereka berdua.
Fade merespon dengan cekatan, telinga mereka
berdua sudah sangat terlatih dengan bunyi hempasan itu.
Fade yang sigap mendorong jatuh Damar dengan kedua
tangannya yang terlentang ke depan. Memberinya
kesempatan berharga untuk menghindarinya dari
kematian.
“Anak panah!” kata Damar.
Fade mengambil busurnya yang tergantung di
punggungnya yang kokoh, menarik anak panah dengan
tarikan maksimum dan menghempaskannya ke arah
datangnya laju anak panah tadi. Anak panahnya berdesing
hebat menembus semak di kejauhan dan menghantam
sesuatu di baliknya, menghasilkan lolongan yang
mengerikan.
Sang naga mendesis hebat, membuka mulut dan
rahannya memamerkan deretan gigi tajam seperti silet
kecil. Siapa yang menyerang kami? Kelut damar.
Munculah dua sosok mahluk yang berdiri tegap
dan jangkung, mahluk itu sangat jelek dan kotor. Rambut
panjangnya kusut berwarna abu-abu dan kasar. Matanya
bersinar merah seperti hewan nokturnal dengan gigi yang
tumbuh tidak beraturan, masing-masing menggenggam
pedang berkarat. Salah satu temannya di bahunya
tertancap anak panah tulang milik Fade. Anak panah itu
menancap cukup dalam, memberinya luka yang parah
hingga mengucurkan darah merah kehitaman.
“Terkutuk, morgul merasuki Hutan Pine!” kata
Fade.
Morgul yang kesakitan bergerak maju tidak
karuan, melolong dan menjerik sambil mengibaskan
pedang melengkungnya yang berkarat. Bau tubuh morgul
itu tercium sangat tidak enak. Fade berhasil menghindar
dari serangan morgul itu. Memberinya kesempatan untuk
menyerang balik dengan belati di pinggangnya.
Ketika hendak meraih belatinya, morgul melolong
keras untuk kesekian kalinya. Suaranya teriakannya sama
tajamnya dengan jarum yang berterbangan di udara.
Menusuk gendang telinga Fade dan Damar, memaksa
mereka berdua menutup telinganya. Peluang itu
dimanfaatkan oleh teman morgul satunya yang berderap
maju dan meraih pertahanan di dada Damar yang terbuka.
Dengan sigap Damar melepas kedua tangannya dari
telinga dan menahan lengan kanan morgul dan
menghindar ke kiri.
Morgul itu kecewa dan mengangkan kakinya yang
kekar. Damar terlempar sejauh sepuluh kaki saat morgul
itu menendang perutnya dengan kaki berbalut sepatu
boots yang tebal. Naga itu meraung-raung di hadapan
morgul itu.
“Kalian, manusia kampung tidak akan mampu
melawan kami,” kata morgul itu sombong.
“Apa yang kalian inginkan!” kata Fade yang
berlari meraih Damar yang tersungkur.
“Naga itu, adalah naga yang seharusnya menjadi
milik tuan kami Lord Zenoth,” dengus sang morgul.
“Semua ulah si penyihir busuk penghianat itu, sekarang
kami harus bersusah payah mencari naga itu sampai ke
Pine.”
Morgul yang masih bugar membantu mencabut
anak panah yang tertancap kuat di lengan kiri temannya.
Sewaktu anak panah itu terlepas, darah hitam mengucur
deras memberikan sengatan rasa yang tidak terkira,
morgul itu hanya meraung-raung seperti mahluk
kesetanan. Pertanda dirinya tidak mampu bertempur lebih
lama.
Morgul yang bugar meraih lagi pedang karatnya
yang ditancapkan di tanah dan berusaha mendekati Damar
dan Fade dengan wajah bengis. Sepatu bootsnya yang
berderap mengerikan membuat jantung mereka berdebar.
“Lari! Bawa Naga itu menjauh,” teriak Fade pada
Damar yang sudah bangkit. “Naga itu mahluk yang bebas,
bukan milik mahluk hina seperti kalian!” kata Fade
murka..
“Itu alasan kenapa manusia kampung lebih cepat
mati dari jenis manusia lainnya.”
Jeritan memekakkan telinga menghambur dari
Fade saat dia menyerang morgul itu di hadapannya,
menyeruduknya dan meninju wajahnya yang kasar.
Morgul itu tertegun dan marah. Fade tidak berhenti
sampai disana iya mengayunkan belatinya ke arah wajah
depan morgul itu, tapi berhasil di hindarinya. Morgul
yang terluka mencoba meraih tangan Fade yang terbuka,
tepat sebelum dia mencengkram lengan Fade. Damar
melesat di sampingnya, menghujani wajah Morgul yang
terluka dengan kerikil tajam, memaksa dirinya
memejamkan mata.
Dengan sigap, belati milik damar mengiris leher
morgul yang lengah itu, membuatnya terjatuh dan mati
seketika. Damar tampak mual dan ngeri, tidak menyangka
dirinya akan mencabut nyawa selain dari hewan buruan.
Darah hijam membasahi rambut dan wajah Damar yang
meringkuk di tanah.
Morgul satunya semakin murka, ia berdiri tegap
dan percaya diri. Rasanya kali ini kekuatannya bertambah
setelah kematian temannya oleh satu pemuda kampung. Ia
mencengkeram leher Fade dan mengangkatnya tinggi-
tinggi hingga lengannya lurus menghadap cahaya bulan.
Cengkeraman itu menyesakkan fade yang memberontak,
Damar yang melemah kembali mencoba bangkit dan
melupakan rasa mualnya.
Waktu terasa sangat lambat dan tiap detiknya
sangat berharga seperti tumpahan jam pasir. Morgul itu
mencaci dengan bahasa yang tidak dimengerti mereka
berdua. Sewaktu ia hendak mengayunkan pedangnya
menghujam Fade yang tercekik. Suara debuman keras
terdengar di balik pepohonan pinus yang rapat. Sesuatu
kekuatan besar seperti meriam angin mendorong dan
melempar morgul itu sejauh tiga puluh kaki.
Memasrahkan tubuhnya menghantam bebatuan kokoh di
sisi sungai.
Morgul itu kesakitan dan menjerit seperti
kawannya yang sudah mati. Tetapi tekadnya lebih besar,
ia bangkit dengan terbatuk-batuk, memuntahkan darah
hitam yang merembes melalui taring di mulutnya.
“Terkutuk kau penyihir! Keluar, tunjukan
keberanianmu dan buang sikap pengecutmu!” kata
Morgul itu putus asa.
Muncul seseorang dengan jubah coklat yang lusuh
menutupi tubuh yang tegak. Sebuah tuduh yang hampir
mencuat sampai setengah wajahnya menyamarkan
wajahnya dan hanya menyisakan bibir kering berwarna
pucat dan jenggot putih yang lurus. Tangannya
menggenggam sebuah tongkat yang panjangnya hampir
setengah tubuhnya, di ujungnya nampak membulat seperti
di ukir sedemikian rupa.
Fade yang ngos-ngosan takjub dengan penyihir
itu. Kedatangannya sangat tepat, Fade yakin kalau
penyihir itu datang terlambat, dirinya pasti sudah terbelah
dua.
Damar menggopoh Fade dan menjauhi tempat itu
meyakinkan dirinya mereka aman dari serangan penyihir
yang berpotensi akan mengenai mereka. Sedangkan naga
perak itu bersembunyi di balik semak hijau, bergetar
ketakutan.
Morgul itu tertawa melihat kehadiran penyihir itu.
Kini dirinya dipenuhi kesombongan. Dia berlari
sekencangnya sambil mendengus. Mengayunkan
pedangnya dari kejauhan. Kecepatannya sangat luar biasa
mengerikan. Sang penyihir tetap berdiri tenang dan
merapalkan sesuatu dari mulutnya.
“Du vrongar, du eldan.”
Butiran api bermunculan di ujung tombak si
penyihir, awalnya hanya sebesar biji kacang.
Bermunculan semakin banyak dan berputar seperti
pusaran. Membentuk sebuah bola api yang kokoh dan
membawa berwarna merah kekuningan. Morgul itu
terbelalak dan hendak mundur. Tapi sangat terlambat
ketika jaraknya sudah terlanjur dekat dengan jangkauan
penyihir. Dengan cepat api itu menyambar mogul itu
seperti sulur-sulur yang bergerak ganas. Membakar tubuh
morgul itu dan membuatnya menggeliat seperti orang
gila. Dalam tiga puluh detik, tubuhnya hangus
meninggalkan bau menjijikan dengan asap hitam
mengepul dari tubuhnya.
Penyihir itu, tersungkur seperti setengah berlutut.
Menumpu keseimbangan tubuh dengan tongkatnya yang
ditancapkan. Kekuatan sihir sehebat itu pasti menguras
semua tenaga penyihir terhebat manapun di Westeria.
Damar dan Fade dengan cepat mendekati penyihir
itu, memastikan dirinya baik-baik saja. Sewaktu Damar
dan fade di dekatnya. Penyihir itu nampak lemah dan
membuka tudung yang menutupi kepala dan setengah
wajah. Raut tersenyum tipis tersirat di wajahnya melihat
kemenangan kecil malam itu.
Damar dan fade tertegun, sesaat mereka tidak
percaya wajah siapa yang dilihatnya. Mereka menelan
ludan. Hanyut dalam kekagumannya yang sekejap, dan
berkata lirih.
“Alazar…”

Anda mungkin juga menyukai