Dragon The Journey A Gold and Silver Buku Pertama Gian Ganevan Putra Untuk.. jagoan kecil yang jauh disana.. Dilahirkan oleh Ibu yang luar biasa.. Damar Dias Van Geest PROLOG : LOLONGAN KEMATIAN
Kabut tipis berayun di teras lantai hutan, tertiup
menari oleh lolongan angin pelan yang menusuk. Kegelapan malam semakin membanjiri langit hutan kala itu. Uzieg yang berbadan besar, menengok dan memerhatikan setiap bayangan siluet yang bergerak dibalik kabut. Pikirannya kalut diluapkan emosi dan gairah untuk menangkap mangsa yang bersembunyi. Dibelakangnya berhamburan enam morgul yang mengikuti dengan waspada lengkap dengan perisai, pedang berkarat, sepatu boot hitam yang tebal dan berderit. “Dia tidak akan jauh dari sini,” kata mahluk itu sambil mengendus udara. Perawakan mereka mirip manusia, perbedaan jelas terlihat pada rambutnya tebal dan kasar berwarna keabuan, iris matanya merah seperti hewan nokturnal. Lengan yang kekar siap menghancurkan apapun yang ada didepannya. Jubah hitam kelam terbalut rapat di tubuh kurus kekar dengan simbol yang aneh dan sulit dipahami. Uzieg mengintip di balik pepohonan kecil, ia terdiam sejenak, memikirkan segala kemungkinan. Ia menunjuk ke arah pohon pinus besar yang terlihat mencurigakan, memberi sinyal pada anak buahnya yang membungkuk. Segera dua morgul yang berbadan kecil memencar maju memecah kepulan kabut yang semakin menebal. Amarah semakin mengguncang kepalanya, tatkala dua anak buahnya memberi tanda tidak ada mangsa itu disana. “Berpencar, bunuh dia dan ambil benda itu dari mayatnya, atau mati!” katanya geram. Para morgul bergidik ngeri, segera mereka berpencar meliuk, memasuki semak dan menelusuri pepohonan. Cuaca semakin gelap, kegelapan menyulitkan manusia dan juga morgul untuk mengamati. Dingin malam semakin menusuk, apa yang dicarinya belum juga menampakan diri. Uzieg sejenak menggenggam gada besar yang terikat di pinggangnya, kesabarannya sudah habis. Emosi membakar ketenangannya di malam dingin itu, lalu dia melolong menjerit frustasi. Kesunyian terhenti seketika suara debuman keras terdengar di arah barat tempat Uzieg berdiri, suara anak buahnya menjerit menyiksa terdengar hebat di telinga mereka. Apakah penyihir itu muncul? Dalam benaknya. Segera dia berlari menuju kepulan asap yang menjulang di balik pepohonan, namun empat morgul dibelakangnya tidak selincah dirinya. Penglihatan mereka tidak sebaik Uzieg, mereka cepat tertinggal di belakang selagi Uzieg tiba dilokasi suara itu terdengar. Dilihatnya dua anak buahnya yang sudah tergeletak tidak bernyawa, darah hitam mengalir hangat membanjiri rerumputan. Uzieg menengok mengawasi, ia yakin sang penyihir masih diam mengamati mereka. Dia mendongak mengendus udara, mencoba menghirup aroma manusia yang dipenuhi rasa takut. Ia kemudian melompat, mengayun gadanya yang besar dan berat ke arah pohon kecil di depannya. Hantamannya meremukkan pohon malang itu, sesosok bayangan menghindari runtuhnya pohon dan berusaha menghilang di balik kabut yang berpihak padanya. “Kejar, kejar dia!” teriak Uzieg. Empat morgul berlarian ke arah penyihir itu sambil mendengus. Dibelakangnya Uzieg terus mengawasi gerak gerik dari sang penyihir di depan. Debuman keras kembali terjadi, ranting-ranting besar berjatuhan dari atap hutan. Tapi itu tak cukup menghentikan derap langkah morgul. Lantai hutan semakin berbatu dan licin, kondisi ini menyulitkan semua jenis penyihir untuk bertahan. Pengejaran yang berlangsung berjam-jam dan sihir yang digunakan tiada henti, akan menguras tenaganya sampai ke sum-sum tulangnya, pikir Uzieg penuh kesombongan. Langkah mereka semakin memelan dikala pengejaran ini berujung pada sebuah jurang yang menjulang dan menajam. Dibalik keheningan yang semakin diam. Suara aliran Sungai Raen nan deras dibawahnya meringis terdengar menyerang di dasar jurang gelap. “Well, inilah akhirnya,” kata Uzieg, bangga. Sesosok pria tua bertudung tampak kelelahan, berdiri memucat di ujung jurang yang meruncing. Lengannya menyodorkan tongkat kayu yang menyala putih, memaksa mundur morgul didepannya. Tetapi tidak dihiraukan mahluk yang terus melangkah perlahan sambil membungkuk. “Pencurian adalah hal yang keji, sekalipun itu dilakukan oleh penyihir,” kata Uzieg mencaci. “Kau salah jika mengira saat ini kalian pemenangnya,” kata penyihir itu mencoba tenang. Uzieg menahan kemurkaannya dan memaksa dirinya tertawa mencibir. Dia bergerak maju mendekati penyihir yang sekarat itu. “Ini adalah pertaruhan, untuk masa depan,” kata penyihir itu, bibirnya terlihat merapalkan sesuatu, bahasa rumit yang hanya diketahui oleh dirinya. Uzieg mendongak kaget, dengan sigap berlari menjangkau penyihir itu. Tetapi debuman kencang dan ledakan putih membutakan matanya di kegelapan malam, memaksanya menutup mata menahan berkasan cahaya dari tongkat sang penyihir. Mata merahnya kembali terbuka, dilihatnya sang penyihir yang berdiri menghadap ke dasar jurang didepannya. Di ujung jarinya bertengger seekor gagak kecil yang di dekatkan pada bibirnya. Wajah penyihir itu nampak putus asa. Dia membisikkan kata-kata yang terdengar singkat pada hewan mungil itu dan menghempaskannya ke arah langit atap jurang. Dengan cepat gagak itu menghilang ditelan kegelapan hutan. “Dia berniat mati, cepat gapai tubuhnya!” geram Uzieg murka. Waktu tidak memihak para mahluk itu, sang penyihir memasrahkan tubuhnya mengikuti gravitasi jurang dan terjatuh. Uzieg yang tiba di ujung jurang mendongak mengamati dasar jurang yang hitam. Namun dia tidak melihat tanda sang penyihir. Para morgul bawahannya menghambur di ujung jurang, menengok kesana kemari, berharap tubuh sang penyihit terlihat mengambang. Namun hanya hitam pekat dan suara aliran deras yang tercerna dalam penglihatan dan pendengarannya. Mereka segera mengkonfirmasi kepada Uzieg yang berdiri angkuh, sesuatu itu telah hilang bersama lenyapnya tubuh sang penyihir. Suasana malam itu pun kembali mereda, keheningan kembali muncul perlahan dibarengi dengan para morgul yang menghilang di balik semak dan pepohonan. TIGA PEMBURU MUDA
Ketiga pemuda itu berlutut di balik batu berukuran
sedang yang tertutupi semak belukar. Damar, pemuda yang termuda di antara mereka berusia lima belas tahun. Usia yang cukup matang untuk melakukan perburuan di hutan liar. Alis mata yang hitam bertengger di atas matanya yang coklat, rambut coklatnya yang tipis tergerai menutupi kepalanya. Hans yang paling tua berusia dua puluh tiga, pola rambutnya yang berantakan hampir menyembunyikan kedua matanya yang biru. Kumis dan janggut tipis terlukis memberikan kesan dewasa. Ia mengawasi di sela-sela celah ranting semak. Fade yang berusia lebih tua tiga tahun dari Damar, berwajah lebih sigap dan agak mirip dengan Damar. Dia adalah kakak kandung Damar. Fade, menggenggam busur kayu, mencoba membidik sesuatu yang bergerak. Mereka bertiga berpakaian lusuh, di pinggangnya masing-masing menggantung belati kecil bergagang tulang. Belati kecil yang tajam untuk menebas semak, rumput dan jenis tumbuhan penghalang lainnya selama perburuan dilakukan. Langit kala itu membiru dengan kapas awan melayang di badan perbukitan sekitarnya. Lumut-lumut tumbuh subur dan aroma angin sepoi yang segar bertiup menyentuh pipi mereka. Damar berlutut di belakang fade, menjaga dirinya tidak tertinggal saat dua saudaranya bergerak gesit. Langkah kaki mereka bergerak sangat cepat, berpindah dari satu petak ke petak lainnya. Mengamati kemungkinan apapun terhadap buruan yang muncul kapan saja. “Jejak ini baru,” kata Fade, jarinya menyentuh rerunputan yang terinjak membentuk jejak kaki hewan mamalia. “Sayangnya itu benar, dan apapun hewan yang menginjak itu ada di depan kita sekarang,” kata Hans menunjuk. Siluet nampak dari kejauhan, namun menjadi semakin jelas saat cahaya yang tertutup awan mulai menembus tajuk hutan. Berdiri seekor rusa jantan berwarna kecoklatan, bertubuh sedang namun kekar. Tanjuk tajamnya mencuat mengakar, melebihi batas punggungnya. Ia tersembunyi diantara pepohohonan yang berdiri kokoh. Rusa itu nampak tenang dan memakan rerumputan di antara dua kaki depan yang berwarna keabuan. Pertanda ia tidak menyadari kehadiran si pemburu muda dari kejauhan. Damar nampak terpesona, Pertanyaan muncul dalam benak kecilnya. Bagaimana seekor rusa jantan nan gagah, berdiri jauh di hadapannya, selamat dari hewan buas manapun di hutan tanpa satupun bekas luka di tubuhnya. “Katakan apabila saat ini adalah jarak termudah untukmu membidik rusa itu,” kata Hans sambil terus mengawasi. “Aku bisa, cahaya membatu memperjelas bentuk tubuhnya, yang kubutuhkan hanya sepuluh detik,” Jawab Fade percaya diri.. Fade bersiaga, diambilnya anak panah yang tergantung di punggungnya, terikat dengan tali rotan yang mengelilingi bahu sampai ke pinggul. Nafasnya memberat, dan jarinya menegang. Ditariknya anak panah tajam itu sampai siku kurusnya menggetar. Di sisi lain, Damar merasa ketidak nyamanan menyerang pikirannya, pijakan kaki di tempat iya berlutut terasa begitu lunak selunak roti. Ia mencoba tidak menghiraukan, dan terfokus pada apa yang ia lihat sebelumnya. tetapi hal itu semakin mengganggu dirinya. kekagetan menyerbu dan membangkitkan stimulus refleks sarafnya saat dirinya mengetahui puluhan semut peluru membanjiri kakinya. Semut itu berusaha mengapai siku dan betis yang tergores lumpur yang mengeras. Hewan kecil itu tidak memberi sinyal kapan gigitannya akan menancap di kulit kakinya dan memberikan sakit luar biasa padanya. Damar berteriak keras, menendang-nendangkan kakinya ke semak rumput didepannya.berharap para semut itu terlempar dan menjauh darinya. Teriakannya cukup untuk menyadarkan rusa akan kehadiran pemburu yang berniat mengambil nyawanya. Dengan cepat rusa jantan itu berlari menerobos pepohonan dan hilang meninggalkan ketiga pemuda di belakangnya. “Kau sadar apa yang kau perbuat?” kata Hans meninggi. “Maaf Hans, gigitan mereka tidak bisa menahanku untuk diam,” jawab Damar lirih, tangannya mengusap- usap telapak kakinya yang terasa perih. “Oh ya? Hanya beberapa detik saja sebelum kakakmu fade, berhasil menancapkan anak panahnya di jantung hewan itu. Mungkin malam ini, seharusnya rusa itu sudah berada di kuali panas kita, iya kan Fade?” sahut Hans. Sejenak suara fade mengambang di udara, membuat Fade diam dan berpikir, ia tau siapa yang harus dibela saat ini. Ia kemudian memasukan anak panahnya kembali ke sarung di punggung dan berkata, “salahku tidak menyadari tempat Damar berlutut adalah sarang semut peluru. Kurasa aku pun hanya bisa menahan sakit gigitannya tidak lebih dari lima belas detik. Ini kali pertama Damar ikut dengan kita, kurasa sangat bijak apabila kau merelakan rusa itu dan memaafkan Damar.” “Well, Musim dingin sudah dekat, kurasa kau sudah cukup pintar untuk mengetahui kawanan rusa, tidak mungkin terlihat lagi di Norburry. Beberapa hari ini perut kita hanya terisi roti kering dan aku rindu daging yang dimasak! Rusa itu harusnya berlari tidak jauh dan kita harus mendapatkan kembali apa yang hampir kita dapatkan,” kata Hans menatap Damar dan memicingkan matanya. “Rusa itu mengarah ke dalam hutan Pine, memaksa kehendak kita untuk mengejar rusa itu bukanlah hal yang tepat. Bahkan, pemburu Norburry tidak pernah berani menginjakkan kaki di Pine, mereka tau Wildster bisa menyergap kapan saja.” Kata Fade. “Aku tahu ini salahku, dan aku siap mencari kembali rusa atau hewan apapun yang bisa kita masak malam ini. Kesalahanku cukup fatal untuk suatu kelompok pemburu,” kata Damar. “Pendapatmu bisa benar, tetapi berbeda apabila kita mencoba masuk ke pine lebih dalam,” potong Fade. “Apapun itu, aku masih tidak menerima, ini pertama kalinya buruan kita lepas hanya karena seseorang yang berteriak di saat hewan itu hampir terbunuh,” lanjut Hans. Ia kemudian melangkah ke arah hilangnya rusa itu. Mengawasi hutan yang semakin dalam di depannya. Hans kemudian menengok ke belakang memandang Damar dan Fade dengan wajah sewot dan berkata, “kita belum bisa pulang sampai mendapatkan minimal seekor rusa!” Fade dan Damar saling bertatapan, berusaha mencerna keadaan dengan kepala dingin. Fade mengangkat kedua bahunya pasrah. Raut bersalah tersirat jelas di wajah Damar, Namun dia merasa apa yang dikatakan Hans masih ada benarnya. Mereka membutuhkan daging untuk persediaan makan selama seminggu kedepan. Mereka bertiga kemudian melanjutkan langkahnya, menelusuri eloknya pepohonan dalam Pine yang semakin rapat dan dingin. Berusaha sejenak melupakan apa yang telah terjadi dan mengadu nasib barunya sebelum matahari pergi di hari itu. KETAKUTAN NYATA
Musim dingin di daerah Norburry memaksa
hewan mamalia bermigrasi ke selatan. Jalur-jalur utama yang mengarah ke dalam hutan mulai di tanami papan peringatan oleh patroli desa Norburry. Jalur itu sebenarnya jalur lampau yang dibuat dari para pelancong dari luar wilayah Norburry untuk menjelajah pine. Semenjak rumor hidupnya wildster di kedalaman Pine, jalur itu banyak ditutup. Hutan Pine bukanlah tempat yang bersahabat bagi hewan mamalia dalam menghadapi musim dingin. Perbukitan berbatu cadas yang mengelilingi bagian dalam hutan dan sulitnya cahaya matahari menembus tajuk hutan menjadikan hutan Pine disebut sebagai hutan kesialan bagi para pemburu di Norburry. Satu-satunya sumber kehidupan di hutan pine adalah aliran deras yang mengamuk dari sungai Raen yang terbentang dari hulu pegunungan Helmaer dan berhilir di danau Musden tidak jauh dari desa Norburry. Matahari semakin bersembunyi tertutup cakrawala, memendarkan cahaya jingga. Udara segar berganti menjadi menyakitkan. Kabut tipis mulai menyembunyikan kaki-kaki para pemburu muda, pertanda siang berganti sore. Damar, yang berjalan pelan di belakang Fade mulai merasa ini bukan pilihan yang baik. Hawa hutan yang semakin menekan membuat telapaknya mudah berkeringat. Ia melihat Hans yang berjalan paling depan merasa tidak ragu sama sekali. Langkah demi langkah adalah pertaruhan. Semakin lama mereka melangkah semakin dalam mereka masuk ke Pine, dan semakin dekat mereka dengan rumor yang beredar. Baginya, memohon kembali pada saat ini bukanlah waktu yang tepat, terlebih mereka sudah melangkah jauh dari hutan pinggiran. Hans kemudian berhenti dan memberi sinyal dibelakangnya untuk ikut berhenti. Dia berlutut dan menajamkan penglihatannya. “Didepan adalah sungai Raen, keberuntungan kita akan di uji di sana,” kata Hans singkat dan kembali melangkah. Fade mengangguk, tapi ia tetap ragu. Sungai Raen adalah tanda mereka sudah sangat jauh dari hutan pinggiran, setidaknya itu yang pelancong katakan padanya sebulan lalu. Benaknya beradu antara memaksa Hans untuk kembali ke pondok kecil di hutan pinggiran atau terus mengikuti ambisinya. Tidak lama mereka tiba di hamparan batu kerikil yang terlapisi rerumputan yang tipis. Mereka bertiga tengkurap, sesaat mengamati apa yang terlihat di depannya. Sungai Raen mengalir deras, sungai yang hanya mereka dengar dari para pelancong. Sungai itu sangat lebar mencapai dua puluh meter. Bunyi alirannya tidak terdengar ganas, tetapi terlihat mampu menyeret rombongan kuda. Tidak jauh dari tempat mereka tengkurap, Damar melihat rombongan rusa yang berjalan mengikuti aliran sungai Raen. Mereka tampak berjalan waspada. Seekor jantan berjalan paling depan sambil mengamati, tiga ekor betina dibelakangnya mengikuti dengan seksama. Hans terlihat gembira, melupakan kegagalan yang terjadi dan menepuk-nepuk bahu Fade. “Cepat! Kali ini tidak akan gagal,” kata Hans. “Kuharap ini melupakanmu dari kejadian tadi,” kata Damar, tertawa pelan. “Well, setelah salah satu dari rusa itu berhasil kita bawa pulang,” jawab Hans dingin. Jemari Fade kini lebih siap, diambilnya anak panah yang sebelumnya gagal tertembak. Cahaya matahari saat itu memudar, tetapi target buruannya masih terlihat jelas di matanya. Ia menghirup napas dalam- dalam, menenangkan semua ketegangan dalam urat-urat tubuhnya. Kembali ia menarik anak panah tajam dengan tangan kanannya. Ketika jarinya akan melepas anak panah, suara geraman keras terdengar di balik bayangan pepohonan. Bayangan hitam melompat buas menerjang kawanan rusa yang terperangah. Seekor Wildster bertubuh besar mencabik seekor rusa betina. Pemandangan ngeri terlihat tatkala pemuda- pemuda itu membeku menyaksikan seekor rusa tidak berdaya dalam satu serangan wildster. Seketika, satu rusa tumbang dan darah segar mengalir dari guratan luka cakaran mahluk buas itu. Bulu hitam legam dan lebat memenuhi seluruh permukaan kulit, dengan tiga cakar panjang seperti pisau belati mencuat dari ujung tapak tangan dan kakinya. Ukuran tubuh wildster itu sebesar beruang dewasa, dan bermoncong serigala. Aumannya lebih keras dari hewan liar pada umumnya. Ia mengamati rusa yang tergeletak di depannya dengan penuh kesiapan. Mengoyak tubuh rusa itu dengan taring putihnya yang tergantung di mulutnya. Jari fade terasa keram, apa yang dilihatnya saat itu belum memberikannya kesadaran maksimal pada otaknya. Dia tidak mampu berpikir. Dalam hitungan detik jarinya tanpa sengaja melepas anak panak yang tertarik erat sejak semenit tadi. Menembus angin dingin di balik semak dan mengenai paha wildster. Kejadian itu hanya berlangsung beberapa menit. Wildster mengaum meronta, aumannya menggema dan menggetarkan tanah tempat mereka terlindung di balik semak. Ia mengendus-ngendus udara penuh kegilaan, mencoba meresapi bau mencurigakan si penyerang sambil mencari sumber tusukan anak panah itu berasal. “Kau sudah gila!” bisik Hans. “Semua itu diluar kendaliku!” Jawab Fade. “Adikmu menghilangkan buruan kita di hutan pinggiran, dan sekarang kau baru saja menembak mahluk buas legenda negeri kita!” serang Hans. “oh ya? Kau pikir siapa yang memberi kita ide untuk memburu sekelompok rusa di dalam Pine!” bisik Fade mengeras. Mereka berdua saling menatap penuh geram, pertengkaran nyaris pecah, tetapi semua terhenti ketika Damar yang tidak mendengarkan Fade dan Hans ikut berbisik keras. “Apa Wildster itu melihat ke arah kita?” bisiknya sambil menggoyangkan bahu Fade. Tatapan Wildster menuju semak tempat mereka bersembunyi terwujud jelas di mata Damar. Ia tau Wildster tersebut menyadari keberadaan mereka. Mahluk itu mendekat sambil mengeram. Hans, Fade dan Damar bergegas meloncat dari semak, tubuh mereka bergerak tanpa kehendak. Mereka bertiga menghindari tempat itu secepat yang mereka bisa. Bagaimanapun, kecepatan mereka sangat mudah dikalahkan oleh mahluk buas itu. Derap langkah kakinya semakin terdengar besar di belakang Damar. Dengan cepat satu cakaran besar mengarah ke Damar yang berlari paling belakang. Damar melompat berbelok menuju dahan pohon yang tumbuh pendek dan besar. Lompatannya tidak sejauh ayunan dari cakar wildster yang mengarah tubuhnya. Beruntung ujung kukunya hanya menggores lengan kananya. Damar meringis kesakitan, Dilihatnya wildster itu belum cukup puas menyerangnya dan kembali mengaum ke arah tajuk hutan. Memperingatkan dirinya siapa yang berkuasa disana. Fade dan Hans yang sudah berada di depan sadar kembali berbalik arah. Mengetahui Damar berada dalam masalah antara hidup dan mati. Mereka sampai agak terlambat tepat membelakangai wildster hitam itu sejauh lima meter, terpisah antara pepohonan pinuh yang kokoh. “Terus berlari Damar!” Teriak Fade. Kata-kata itu tidak hanya melesat di udara, tapi juga meresap menuju pendengaran Damar. Sambil menggenggam lengan kirinya yang menghangat karena darah, dia mencoba terbangun dan berlari, tetapi Wilster itu mencoba mengejarnya. Anak panah segera di kaitkan pada busur rotan milik Fade. Matanya sulit melihat karena langit menggelap dan pergerakan wildster yang cepat. Segera anak panah ditembakkan dan menembus batang kayu yang berjarak sepuluh senti dari tubuh mahluk hitam itu. “Bodoh! Ini pertama kalinya kau menggunakan busur itu dengan sangat buruk!” kata Hans. Dia kemudian berbegas mengejar wildster itu yang menggila. Di sisi lain, penglihatan damar semakin kabur, pancaran langit mulai menggelap, pendar jingga berubah menjadi keabuan di susul bulan yang mulai menerang. Ketakutan memenuhi tubuhnya, apakah ini hari kematiannya? Pikirnya tiba-tiba. Adrenalinnya membanjiri seluruh pembuluh darahnya, ia merasa berlari lebih cepat dari sebelumnya, tanpa memperdulikan lukanya yang semakin membakar dagingnya. Entah berapa ranting yang terinjak, dan dahan-dahan pohon yang menabrak mukanya. Hutan ini memaksanya terus berlari semakin dalam. Suara gemercik air kembali terdengar di hadapannya. Damar menengok kebelakang memantau, mencoba minyingkirkan rasa paniknya yang meledak- ledak di kepalanya. Suara Air itu pasti berasal dari sungai Raen, pikirnya. “Setelah aku sampai di sisi sungai itu, aku akan melompat dan berenang, mahluk itu pasti tidak akan bisa berenang. Dia hanya akan melongo dan berpikir untuk mundur,” pikirnya dalam hati. Didepannya terlihat jalan setapak dari bebatuan kecil yang terintis, menuju ke arah bunyi sungai yang semakin keras. Tapi sisi kirinya menjorok ke bawah, jalan setapak itu berada di sisi dataran yang curam. Damar merasa agak lega, wildster itu tidak terdengar di belakang, derap langkah besarnya menghilang tiba-tiba. Suara Fade dan Hans terdengar dari kejauhan memanggil menggema ringan. “Damar! Damar!” gema suara itu mendengung diantara pepohonan. “Hans! Fade!” balas Damar. Dia merasa suara itu datang dari arah belakangnya. Damar berhenti berlari, dia duduk sejenak di jalan setapak berbatu. Menghembuskan napas dalam-dalam dan mencoba tenang sejenak. Tangan kanannya, masih mencengkram lengan kirinya yang terluka. Luka itu sepanjang lima senti dan bergurat seperti cakar harimau, tidak begitu dalam tapi cukup untuk memperlihatkan dagingnya. Meskipun Darah sudah berhenti mengalir, tetapi masih terasa basah dan hangat. Jantungnya dikejutkan oleh lonjakan besar berdebum tepat didepannya. Wildster itu melompat dari dahan pohon trembesi besar setinggi empat orang dewasa. Jantungnya hampir berhenti berdetak, wildster itu menganga melontarkan air dan auman dari mulutnya yang terbuka lebar. Kepalanya menggeliat seperti ular yang ekornya terjepit, rintinkan air liur berterbangan menempel di wajah Damar. Damar terlempar, berguling seperti bola rotan yang mengguling di turunan terasering persawahan. Ranting-ranting dan rumput yang berkobar menghantam seluruh tubuhnya tanpa ampun. Entah sampai kapan mahluk sinting itu akan berhenti mengamuk. Dia merasakan kepalanya terputar seperti adukan kuali. Latunya terhenti ketika pijakannya kembali mendatar dan beralas rumput lembut. Tidak perlu waktu lama untuk membuatnya sadar, dengan cepat damar mengguncang guncangkan kepalanya. Mengembalikan fokus matanya yang bergetar. Didepan menganga mulut goa yang terbuka, goa yang setinggi lima belas kaki dan lebarnya hanya selebar manusia dewasa yang berbaring. bagaimana sebuah goa bisa ada di sini? Damar memaksa dirinya berdiri, berusaha menggopoh berat tubuhnya dengan lengan kanannya yang masih bertenaga. Tubuhnya serasa berantakan, tapi dia merasa semua tulang-tulangnya masih berfungsi. Mahluk sinting itu pasti masih berada di dekat sini. Dimana hans dan fade? Apa dia tau aku di sini? Hawa dingin berhembus dari mulut goa menggelitik kulitnya yang tidak tertutup kain. Ratusan bulu kuduknya berdiri tanpa perintah, di tatapnya sekali lagi goa itu. Dalam kebingungan bercampur rasa takut, pikirannya bergelut. Perlukan dia bersembunyi di goa ini? Mungkin ini sarang wildster itu. Kemana lagi? Fade dan Hans belum terlihat. Apa akan mati di sini? Mungkin. Ah! lihat, wildster itu muncul lagi. Baiklah, akan ku susul.. ayah dan ibu.. Sesosok Wildster itu kembali muncul di antara semak rimbun. Berwujud semakin jelas dan gagah, diterangi cahaya rembulan, tiap helai bulu di tubuhnya memantulkan cahaya putih mengkilap, seperti batu pualam hitam. Makhluk itu berjalan pelan berirama, tatapannya tertuju pada mulut goa. Seakan keberadaan Damar merupakan sebuah ilusi yang dihiraukannya saat itu. Langkahnya pelan dan semakin pelan. Tetesan kental juga menetes dari paha kirinya, anak panah fade masih tertancap kokoh. Aku mendengarmu.. Damar mengedipkan matanya spontan, sesat suara itu berbisik di kepalanya. Apa itu pikirannya yang sedang kacau? Ia yakin suara itu bukan berasal dari otaknya. Dia melihat ke arah wildster itu yang duduk menghadap ke ke arah goa. Sorot matanya terlihat tenang, jauh berbeda dari beberapa menit sebelumnya. tapi ia masih kebingungan oleh suara yang muncul di kepalanya. Matanya terpejam, dipaksa oleh sakit kepala yang hebat, tangannya mencengkeram kerat pelipis dan dahinya. Kau sangat istimewa.. Apa yang membawamu hingga memilih tinggal di dalam goa itu..? Siapa? Suara apa itu! Siapa yang berada di dalam goa?! Kata damar membalas suara dikepalanya yang kesakitan. Kau? Manusia? Bisa mendengarku? kata suara itu memberat. Kau..!! Sakit kepala itu semakin hebat dan menusuk. Damar berguling-guling, berteriak seperti orang kesetanan. Secara tidak sadar ia mencoba menjauh dari ruang di kepalanya yang sesak. Bagai ratusan paku menghujam tengkorak kepalanya yang tipis. Tubuhnya semakin tidak terkendali, dan semua menjadi gelap. PONDOK KECIL
Damar terbangun di pagi hari saat matahari baru
menampakan pijarnya di cakrawala. Matanya masih menyipit. Lengan kirinya terbalut kain putih yang melilit hingga bahunya. Kepalanya masih terasa sedikit pusing. Ia melihat sekeliling, mengapa ia sudah ada dikamar tidurnya? Iya terbaring di atas ranjang rotannya yang dianyam menyilang di pondok kecil, dengan pondasi terbuat dari bambu kecil berwarna kuning. Di atasnya di baringkan alas berisi untaian kapas yang memadat. ia melihat aneka cadangan obat-obatan di dalam botol kecil berjejeran tidak beraturan di meja kecil samping ranjangnya. Bau khas dedaunan herbal tercium menyengat. Awalnya Pondok kecil ini adalah tempat bernaung Damar dan Fade, sebelum akhirnya Hans bergabung bersama mereka. Ia lega, rupanya dirinya selamat dari malam mengerikan itu. Pasti Fade dan Hans bersusah payah membawanya kembali pulang ke pondok kecil ini semalam. Damar mencoba memejamkan mata, ia teringat bagaimana dulu Gary, Kepala Desa Norbury merawat Damar dan Fade ketika masih kecil. Semua terasa berlalu begitu cepat. Masih tergambar jelas masa-masa kecil Damar bersama Fade, ketika saat itu mereka masih di asuh oleh Gary. Gary sangat menyayangi mereka berdua. Tapi, dia bukanlah ayahnya. Lalu siapa ayahnya? Mendadak kata-kata itu muncul kembali dalam benaknya. Fade sangat benci ketika Damar bertanya siapa ayah kandungnya. Fade selalu berkilah dan berkata Gary lah ayah mereka. Pasti sangat menyenangkan apabila dia mengetahui ayah kandungnya. Ia mulai teringat bagaimana Gary sempat bercerita sekilas mengenai ayahnya. Usia damar saat itu satu bulan dan fade tiga tahun, ketika seorang pria menitipkan dua anak lelaki yang menangis keras. Pria itu bersujud di depan Gary dan memohon untuk merawatnya. Hujan deras turun di kala itu. Gary nampak kebingungan dan menyeka air yang membasahi wajahnya, para anak itu pasti kedinginan. Tetapi pria itu tidak bergeming dan terus bersujud. “Kuhomon, jaga mereka berdua, hingga saatnya tiba,” kata pria itu. Damar mencoba mengingat kembali apa yang Gary katakan, tapi semua terlihat samar. Hanya maaf berulang kali yang terucap dari pria itu dan akhirnya meninggalkan rumah Gary. Begitulah yang Gary katakan dulu. Usia beranjak dua belas tahun tahun saat orang- orang di desa memandang kami berbeda. Mereka mencibir, melempari fade tomat dan telur busuk. Hanya karena mereka menganggap Fade dan Damar adalah anak liar. Fade dikala itu berusia lima belas tahun, ia murka dan marah. Ia mencoba melarikan diri bersama Damar. Tapi kesungguhan Gary dan kasih sayangnya sering meluluhkannya. Fade tahu bagaimana tekanan yang dirasakan oleh Gary. Tapi ia sungguh tidak berniat melepaskan Fade dan Damar. Fade bersikeras dan akhirnya meninggalkan rumah Gary dengan sepucuk surat. Damar tidak bisa membaca, tetapi ia mengingatnya, sebuah kata-kata yang di ucap Fade pada malam sebelum mereka meninggalkan rumah Gary di Desa Norburry. Fade menggumam sambil menulis di samping cahaya redup lilin putih, dan pena bulu gagak. Kata-katanya adalah.
Gary, aku tahu apa yang sudah kau lakukan
kepadaku dan Damar. Kebaikan dan kesungguhanmu dalam mengasuh kami si anak liar. Duniaku dan Damar masih sebatas kertas putih tanpa tulisan. Mereka tidak paham tentang kita kan? Aku mengerti itu. Belum tergores sedikitpun tinta dalam kertas itu. Percayalah, yang aku lakukan akan membuatmu mengerti. Betapa Akupun menyayangi mu Gary. Tapi, rumahmu bukanlah rumahku dan Damar. Aku akan sejenak pergi, membangun kehidupan bersama adikku.. Jangan kuatir! kami tidak akan jauh dari Norbbury! Dan, Mungkin suatu saat akan ku undang kau ke rumah baruku! Fade. Lalu ia teringat bagaimana, dia membantu Fade membangun pondok kecil ini di pinggir hutan Pine dengan sederet pegunungan Helmaer yang menjulang. Beberapa kayu-kayuan dan papan di beli dengan uang damar bekerja sebagai petani ladang. Tetapi bahan itu tidak cukup, banyak di ambil dari hutan di Pine. Pondok kecil itu tidak besar, tapi cukup dan menghangatkan. Pada saat itulah mereka belajar berburu di pinggir hutan Pine. Berbeda dengan Hans, Hans merupakan anak yatim piatu yang hidup nomaden bersama pedagang. Mereka bertemu saat Fade pulang membawa kayu bakar. Mereka bertiga saling bercerita, membagi pengalamannya masing-masing. Hans berkata dirinya membenci para pedagang karena sering membagi keuntungan tidak adil padanya, dan bermimpi dapat menjadi bangsawan yang kaya raya dan menetap di suatu istana miliknya. Banyak cerita keluar dari mulut hans saat itu. Yang paling Damar ingat adalah ketika ia bercerita sedikit tentang masa lalunya, ia berulang kali mengatakan ayah dan ibunya adalah seorang pedagang kaya dari Kota Veros. Kota perdagangan yang megah berjarak ratusan kilo dari Norburry. Damar dan Fade berusaha mempercayainya, meskipun nampak mustahil. Mereka hanya saling tertawa bahagia saat itu. Puas bercerita di dalam gubuk kecil, ia tertarik dengan kehidupan damar dan Fade sebagai pemburu dan mandiri. Lalu ia memutuskan untuk tinggal bersama mereka. Itulah awal mula cerita dari mereka bertiga, tiga pemuda pemburu. Damar masih terbaring, ia mebolak-balikkan bola matanya, mengingat apa yang terjadi semalam. Semua masih terpancar jelas dalam benaknya. Wildster hitam yang berbicara di dalam kepalanya. Ia mencoba berkonsentrasi Tapi nampaknya hanya membuat dahinya pening. Ia beranjak dari ranjang lalu meneguk segelas air yang berada di sebuah meja kecil dari kayu dekat ranjangnya. Ada sebuah kata-kata yang selalu tergiang. Ada sesuatu di dalam goa itu.. Apa? Apakah itu sarangnya? Tapi mengapa wildster itu nampak bertanya pada apa yang ada di dalam. Bukankah itu sarangnya, pikirnya terus bertanya-tanya. Wildster itu nampak tertarik pada sesuatu yang ada di sana, entah itu harta, makanan atau mungkin roh? Bulu kuduknya berdiri ngilu. Damar lalu diam, dan meneguk kembali sisa air di gelasnya. Mungkin dia harus mencari wildster itu untuk mendengar lagi apa yang dia bicarakan. Ide itu mungkin terdengar gila, tetapi ia sadar dirinya istimewa. Suara yang dia dengar semalam bukanlah ilusi atau kebohongan. Semua nyata dan ia yakin gelombang suara itu tertangkap oleh syaraf di otaknya. Samar terdengar suara keributan di luar pondok. Ia segera bangkit keluar kamarnya, mencoba mendekati sumber suara keributan di luar. Fade dan Hans saling berhadap-hadapan. Sesuatu yang serius tampak sedang di bicarakannya dengan suara yang keras. Damar mencoba bersembunyi di balik tembok. Mendengarkan secara diam-diam. Hans melipat lengannya di dada dengan bangga, “Bagaimanapun kita berhasil membunuh hewan liar itu dan membawa kulitnya, seharusnya kau bersyukur!”. Fade menatapnya dengan tajam dan menunjuk ke arah pondok kecil, “Kau semakin sinting! Yang kita bicarakan tentu nyawa Damar. Ku harap ke egoisanmu tidak akan membunuh adikku di masa yang akan datang.” “Berhentilah berbicara soal kematian, kita adalah pemburu dan semua resiko itu adalah kesempatan kita untuk bertahan hidup!” sela Hans. “musim dingin berlalu bagai kibasan angin, Apa yang terjadi apabila seminggu ini kita tidak mendapat buruan? Kau pikir kawanan rusa itu sangat cerdas hingga mereka berpikir pinggiran pine adalah rumah yang nyaman untuk bersarang?” Fade nampak tidak terima, “apa kau tidak melihat rupa wildster yang menyerang kita dan Damar? Dan apa yang kita peroleh setelah kita membunuh wildster itu? Hanya tumpukan kulit penuh bulu! dan itu bukan daging! Kuharap kau cukup tau kalau aku sama sekali tidak berminat memakan daging hitem hewan terkutuk itu!” “Kalian memanglah pemburu liar yang bodoh! Kulit itu mungkin bisa dijual dan kita bisa mendapatkan gold yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan kita selama seminggu lebih, sepuluh tahun lebih aku bersama pedagang dan aku tau ini akan bernilai di Desa Norburry!” Hans, iya memalingkan wajah dan berniat mengacuhkan Fade. Fade menghela napas, “Dan aku sudah tinggal di Desa Norburry selama sepuluh tahu lebih. Aku tau yang penduduk Norrbury butuhkan, bukan selembar kulit mahluk buas, tetapi daging dan makanan.” “Cukup! Aku sodah bosan dengan pembicaraan ini, lebih baik kubawa saja tumpukan kulit ini menuju desa. Berbicara denganmu akan membunuh lebih banyak waktu. Sampai kapan kita akan membicarakan hal malam kemarin?” jawab Hans berpura-pura sabar. Hans kemudian berjalan menuju kereta gerobak kecil yang terisi penuh oleh kulit wildster hitam itu. Mengecek rotasi dari ban yang terbuat dari kayu. Beberapa kali ia menyibukan diri di sekitar gerobak kayu itu, mencoba mendindar dari pembicaraannya dengan Fade. Fade menggelengkan kepalanya, semua terasa berat. Banyak kata yang ingin dia sampaikan pada Hans tetapi dia tau, semua akan sia-sia bagi si keras kepala Hans. “Aku akan ikut denganmu,” kata Fade singkat. “Bagus.” “Aku akan melihat keadaan Damar dulu, kalau kau pikir aku akan berangkat tanpa melihat keadaannya, maka kau akan menyesal,” Fade berjalan meninggalkan Hans. Dia kemudian mendorong pintu yang terbuat dari susunan kayu papan yang lurus. Pintu hampir berdebum keras, emosinya sedikit meluap-luap. Dia melihat damar yang duduk tidak jauh dari pintu itu, menatapnya sambil mengelus dagunya. “Seberapa banyak yang kau dengar?” kata fade menuju tempat duduk terdekat. Damar mengangkat bahu, “Mungkin, sebanyak yang kalian bicarakan.” Fade menghela napas. Ia melirik ke luar ruangan pandangannya menuju Hans yang masih serius sibuk mengeotak atik kereta dorongnya. Iya menyipitkan matanya lalu menutup pintu pondoknya rapat. “Jadi kalian berhasil membunuh wildster itu-,” kata Damar. “dan Wildster itu hampir berhasil membunuh kita bertiga,” potong Fade. “Apa yang terjadi saat aku pingsan?” “Kau seperti orang sinting, menggeliat dan berteriak-teriak. Aku pikir mahluk itu sudah menelan salah satu bagian tubuhmu,” Fade mencoba bercanda, tapi Damar tidak tertawa. “Wildster itu nampak kebingungan, bagaimanapun semua terjadi bagai tiupan angin. Kami datang tepat waktu, Hans dengan cepat menusuk leher belakang wildster itu hingga menembus lehernya. Kupikir sesaat saat kami berlari seperti orang sinting mendekatinya, ia akan berbalik dan mengunyah kita seperti kerupuk.” “tapi dia diam saja, menatap ke arah goa itu. Hans nampaknya tidak menyadarinya,” kata Fade. Fade meremas tangannya, ia terlihat sangat gusar, “Bagaimanapun Hans semakin tidak terkontrol, semua idenya akhir-akhir ini berujung petaka. Kau ingat kan bagaimana dirinya saat rusa itu lepas. Entah mengapa aku merasa sedikit muak dengannya.” “Keadaan saat itu memang sulit, dan ku akui itu salahku,” kata Damar. “Tentu kita masih mempunyai banyak pilihan, andai kita memilih bersabar mungkin rusa itu akan kembali ke pinggir pine saat ia merasa sudah aman. Yang kita butuhkan hanya beberapa jam saja.” Fade semakin serius. “keputusan fatalnya adalah memaksa kita memasuki pine lebih dalam dan akhirnya membuatmu berakhir seperti ini. Semakin lama dia bersama kita, dia semakin bertingkah.” “Aku baik-baik saja,” jawab Damar singkat. “lagipula, meskipun kita tidak mendapatkan rusa itu, sepertinya kita mendapat sesuatu yang lebih daripada rusa itu kan?” Fade menggaruk rambut coklatnya, “Entah, aku bahkan tidak yakin kulit itu akan bernilai, pedagang Norburry akan berpikir panjang untuk membeli sebuah hiasan rumah. Mereka lebih menghargai daging, gula, dan gandum.” “Seperti yang sudah kau dengar, aku dan Hans akan pergi menuju Desa Norburry, membawa kulit itu dan mencoba menukarnya dengan gold. Sebetulnya aku tidak menyukai Desa Norburry, mengingatkan kita akan banyak hal bukan?” kata Fade tersenyum. “Pastikan kau baik-baik saja, mungkin aku akan kembali esok pagi, Desa Norburry cukup jauh.” Damar melipat lengannya di atas meja kayu, dan mengangguk. “well,” Fade mencoba beranjak dari tempat duduknya, ada sesuatu yang mengganjal saat dia melihat raut Damar yang terlihat sedikit kecewa. “Kau yakin baik-baik saja? Aku ingin mengajakmu, tapi lukamu belum pulih, meskipun aku menjahitnya dengan sangat baik,” kata Fade memastikan. Kepala damar kembali melilit, sesuatu hal besar perlu di ceritakan kepada kakaknya. Ia tidak bisa menyimpannya lama-lama, rasa penasaran dan keingintahuan memenuhi kepalanya dan berputar terus menerus. Perlukan Fade tau? Mungkin Fade merasakan apa yang Damar alami. Tapi apakah Fade bersedia menemaninya menuju goa itu, untuk melihat sesuatu yang mungkin menjadi kejutan bagi mereka berdua. Melihat kondisinya sekarang, Fade pasti terlalu kuatir akan hal itu. Iya pasti akan mengurung damar sementara dan melarangnya menyentuh Hutan Pine. Damar bimbang, pikiran itu terombang ambing di antara dirinya dan Fade, “Ada hal yang ingin aku katakan mengenai semalam.” “Hmm?” Fade mengangkat alisnya. Pintu berdebum keras, menggema di ruangan kecil yang terbuat sebagian besar dari kayu-kayuan. “Kurasa aku melewatkan banyak pembicaraan?” kata Hans tajam, iya melirik ke arah damar dan Fade bergantian. “jika ini waktunya untuk berbincang hangat, maka kalian salah. Matahari tidak menunggu kita untuk tenggelam.” Fade menggelengkan kepala memaksa dirinya untuk sabar, “baiklah kita berangkat. Ah ya! Damar lanjutkan nanti saja setelah kami kembali.” “Okay Fade, selamat tinggal.” Fade dan Hans kemudian meninggalkan pondok kecil, siluet mereka kemudian perlahan menghilang di telan ujung dari jalan setapak. Damar menggerutu, mencaci dirinya dan beranjak menuju ranjangnya untuk bersantai. Tetapi, hal itu tidak menghilangkan semua pertanyaan Damar atas kekacauan malam kemarin. ALAZAR
Damar terbangun ketika berkasan cahaya
menembak kelopak matanya yang tertutup. Ia beranjak dari ranjangnya dan menuju ruang penyimpanan makanan. Perutnya terasa lapar, ia mengambil dua roti kering yang terbungkus daun kering. Miris pikirnya, namun memang hanya itu persediaan makanan yang mereka punya. Damar kemudian keluar dari pondok kecilnya sembari mengunyah roti keringnya dengan sangat lahap. Deretan hijau Hutan Spine membentang dihadapannya hingga sudut terjauh, di baliknya ia bisa melihat deretan perbukitan sampai pegunungan Helmaer yang bergandengan. Sisi badan gunung itu terlihat hijau lembut dari kejauhan dan puncaknya memutih tertutup salju. Gumpalan-gumpalan awan pun bergelantungan melayang di sekitar pegunungan, hendak menyembunyikan puncaknya. Cuaca saat itu cuaca yang terbaik, meski musim dingin hendak menyapa. Damar masih merasakan hembusan hangat bertiup. Ia kembali malahap roti kering itu dalam satu gigitan hingga nyaris tersedak. Bagaimana keadaan Fade dan Hans? Apa mereka sudah sampai di Desa Norburry? Entah sudah berapa lama Damar tidak mengunjungi Desa tempat dia tumbuh. Ia terdiam, lalu menghitung tahun dengan jarinya. Damar tringat saat dia bekerja bersama Gary dan Fade, memanen lahan gandum dan jagung yang luas. Gary memang kepala desa yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap ekonomi di Desa. Jika ia memilih untuk tetap tinggal bersama Gary mungkin hidup mereka jauh lebih baik, tapi Damar tidak menyesal. Bertahan hidup dengan Fade adalah yang terbaik untuknya. Kakaknya mengajari dia cara bertahan hidup tanpa bergantung pada orang lain, mendidiknya menjadi laki-laki yang tangguh. Terlebih, semua orang di desa tidak menyukai keberadaan kami. Damar kemudian membaringkan dirinya di hamparan rumput hijau di samping pondok kecilnya. Menatap langit dan bersenandung. Cuaca saat siang itu hampir memaksanya untuk memasuki lagi Pine, hanya sekedar untuk berpetualang kecil. Suara derit terdengar samar di telinganya. Mengganggu lamunan Damar di atas rumput kecil yang berkobar. Ia terperangah, sesosok pria tua keluar dari pinggir Pine. Pria itu tidak sendiri, ia mengopoh seekor rusa jantan besar yang berukuran hanpir dua kali tubuhnya. Pria itu nampak tidak kesulitan, berjalan dengan santainya sambil bersiul-siul. Wajahnya sudah berkeriput, alis putih tebal menggantung di atas matanya. Rambutnya hitam bercampur putih tumbuh berantakan seperti jerami layu yang terabaikan. Kumis putih lebat hampir menutupi bibirnya yang pucat dan jenggot tebal bergelombang tumbuh menutupi lehernya yang kurus. Damar hampir lupa mengenai dirinya, enam bulan yang lalu pria itu muncul. Dia tidak mengatakan apa-apa pada mereka yang sedang memakan sup kelinci lalu membangun gubuk tidak jauh dari pondok kecil mereka. Jarak gubuk itu sekitar satu kilo, hamparan rumput setinggi mata kaki lah yang memisahkannya, Sehingga atapnya yang terbuat dari batang jeawut dan rerumputan dapat terlihat. Sampai saat ini, Damar, Fade dan Hans tidak pernah tau apa tujuan dari pria itu, darimana asalnya dan niat dirinya tinggal di pinggir Pine jauh dari Desa Norburry. Apakah dia berbahaya? Sulit ditebak pikirnya. Beberapa bulan ini Pria itu terlihat aktif berburu. Meskipun tubuhnya terlihat sudah berkeriput, Damar mengakui kekuatan fisik luar biasa yang tersirat dari pria itu. Pria itu semakin mendekat melewati pondok kecil. Damar menatapnya dengan tajam, kekaguman terpancar dari matanya melihat rusa yang lebih besar dari temuannya kemarin malam. Berhasil di tumbangkan oleh pria yang tua. Pria itu membalas tatapan Damar. “Aku tidak sungkan untuk membaginya dengan kalian,” katanya terdiam. Damar tergoda, sudah hampir seminggu dia tidak makan daging segar. Beberapa hari ini memang sangat krisis, perutnya hanya mengoyak roti kering simpanan dan sayuran-sayuran hutan. Dia terbayang wajah Fade. Fade pasti tidak menyukai itu, bagaimanapun Fade sangat membenci belas kasihan dari orang lain. Kata-kata itu mengambang diantara mereka berdua, sampai Damar lama tidak menjawab pria. Tetapi tatapannya tidak terlepas dari rusa yang di gopohnya, terselip di kedua bahu pria itu. “Ah ya! Namaku Alazar, kita tinggal berdekatan tetapi belum pernah mengenal satu sama lain. Aku yakin kau pasti merasa kebingungan, seorang pria tua datang menawarkan buruannya,” kata Alazar tertawa ringan. “Seingatku, masih ada dua anak muda lainnya, mereka dimana? Kita bisa mendiskusikannya. Aku yakin, kalian pun tau musim dingin akan datang. Kekurangan persediaan daging akan membuat masalah yang lebih berat dari cuaca dingin itu sendiri.” “Aku Damar, Fade dan Hans menuju Desa Norburry. Menjual kulit wildster, mungkin sekarang mereka sudah disana,” katanya Damar spontan. “Wildster?” Alazar nampak terkejut. “Iya, berwarna hitam besar, kami bahkan tidak mempercayainya akan bertemu dengan mahluk itu selama bertahun menjelajah hutan Pine. Para pemburu dan pedagang nomaden mengatakan bahwa Wildster hidup jauh dari manusia, menjauhi aroma tubuh manusia dan menyendiri di hutan yang dalam. Mereka ganas, membunuh manusia-manusia yang dilihatnya tanpa ampun,” kata Damar bercerita. “Sebagian dari mereka benar dan sebagian salah,” jawab Alazar, tatapannya berubah menjadi sangat serius. “yang kau temui bernama, Orgwa, dahulu mereka hidup berkelompok di Utara Westeria. Orgwa memang Ganas, hanya jika melukainya. Selain itu kebuasannya muncul hanya jika ia kelaparan. Dahulu, Orgwa tidak menyerang manusia, mereka cendrung menjauhinya. Hingga perburuan besar-besaran atas perintah Raja Helbert dilakukan, mereka dihabisi satu persatu. Kulitnya mampu menahan dinginnya salju dan bahkan akan membuatmu tetap hangat saat badan salju sekalipun. Pihak kerajaan menggunakannya sebagai jubah musim dingin untuk bangsawan Gallard.” Damar terbelalak, seorang pria tua menjelaskan Wildster lebih rinci daripada para pedagang dan pemburu yang sering ditemuinya di Pine. Damar terlihat antusias, “Mereka memiliki nama?” “Tepatnya mereka di beri nama, oleh para elf yang datang ke benua ini lebih dahulu daripada manusia. Orgwa mampu hidup hingga ratusan tahun, semakin mengkilap bulu hitam mereka, umurnya bisa mencapai seratus tahun lebih. Jika kau beruntung mendapat pembeli yang jeli, kulit itu mampu bernilai hingga seribu gold,” ucap Alazar. “Harga yang mustahil!” kata Damar, ia terperonjak dan dari baringnya dan berdiri antusias. “Memang, tapi keberadaan Wildster adalah penyeimbang benua Westeria. Pemburuan oleh pihak kerajaan menurunkan jumlah populasi mereka secara drastis! Orgwa akhirnya terpencar dan semakin sulit di temui, dan- ” kata Alazar sejenak terhenti. “mungkin yang kalian bunuh adalah Orgwa terakhir.” Raut kesedihan terpancar di wajah Damar. Wildster itu mati karena dirinya, ia teringat kembali kesalahannya. Kalau saja perburuan rusa itu berhasil. Mereka tidak akan bertemu dengan Orgwa, dan mungkin Hans tidak akan menikamnya. Orgwa itu harusnya masih hidup. Mereka berdua sejenak kembali terdiam. Alazar memecah keheningan dan berkata, “ sepertinya kalian tidak hendak menerima pemberian yang cuma-cuma. Bagaimana kalau aku memberikan kesepakatan.” “Kesepakatan?” tanya Damar. “sementara kau menunggu Fade dan Hans kembali, Kau bekerja membantuku menguliti dan membelah rusa ini, dan kuberi imbalan dengan daging rusa untuk kalian,” kata Alazar. “selain itu, aku akan bercerita tentang hal lain tentang Wildster. Kau bisa menjamin bahwa ceritaku lebih tepat daripada apa yang para pedagang itu sampaikan.” Damar bersemangat, tidak ingin berpikir lama. Ia mengangguk. “Kita sepakat, punggungku semakin pegal, lebih baik kita bawa rusa ini dulu ke gubuk dan aku bisa tenang bercerita. Mereka berdua kemudian berjalan bersamaan, melewati jalan setapak di samping Pine. Mereka berdua kembali terdiam, tapi Damar mulai berani untuk bertanya. “Apa tujuanmu tinggal di sini Alazar?” Pertanyaan itu, menancap di kepala Alazar. Alazar berpikir, membayangkan jawaban yang akan keluar dari mulutnya. “Masa remaja memang menakjubkan, dipenuhi rasa keingintahuan.” Alazar kembali terdiam, ia menatap langit, “Sesuatu yang sangat penting.” “Kurasa itu bukanlah suatu jawaban.” “Jawaban tidak selalu berupa penjelasan yang rumit, terkadang ia memiliki makna yang tersembunyi untuk suatu tujuan yang lain, dan tujuan itu tidak bisa kusebutkan saat ini,” ketus Alazar. Mereka terus berjalan hingga jalan setapak itu mengecil, dan tiba tepat di depan gubuk Alazar. Gubuk itu lebih kecil dari pondok Damar, namun terlihat lebih rapi, dibangun dengan kayu-kayuan yang proposional. Siapapun yang membangun itu pasti memiliki tujuan yang besar hingga membangunnya sedemikian rupa. Alazar masuk ke dalam gubuknya, ia kembali membawa dua belati kecil yang terbungkus kulit hewan. “Kita bisa mengulitinya sekarang, atau kita bisa bersantai dulu dan berbincang,” kata Alazar, ia duduk sambil memposisikan buruan rusanya. “Aku ingin berbincang dahulu, kurasa kau mengetahui banyak hal yang tidak ku ketahui, mungkin itu akan berguna untukku suatu saat nanti.” “Dengan senang hati, tapi aku akan tidak akan bisa bercerita tentang semua hal di dunia ini.” “Ceritakan apa yang kau ketahui tentang wildster!” kata Damar, antusias. “Luar biasa, itu akan memakan waktu. Kau tidak keberatan?” Alazar tersenyum, Ia mengeluarkan cerutu dari sakunya yang compang-camping, lalu membakar tembakau kering, menghirup dalam-dalam dan menghembuskan sepanjang yang dia bisa. “Tentu selama ceritamu melebihi kebenaran yang para pedagang dan pelancong itu katakan,” kata Damar. “Well, Wildster adalah mahluk alami penghuni Westeria. Keberadaan mereka tercatat lebih dahulu dari ada sebelum elf, manusia dan morgul datang ke benua ini. Meski perawakan yang terkadang hampir sama dengan dengan hewan buas, ukuran mereka rata-rata lebih besar dari seekor singa dewasa dan bahkan Gajah sekalipun. Selain itu, tingkatan kecerdasan mereka di atas Hewan. Perbedaan yang sama adalah mereka hidup berkelompok atau menyendiri, tergantung yang mana yang kau temui.” Alazar berhenti sejenak, dan kembali menghirup cerutunya. “Catatan-catatan sejarah kuno dari para penjelajah Westeria banyak menyebutkan keistimewaan dari Wildster, aku sering menemukan itu selama menjelajah daratan Westeria. Sebagian lagi menyebutkan jumlah jenis mereka sebanyak puluhan, Sebagian lagi ratusan, hal itu selalu diperdebatkan, tapi itu tidak penting.” “Kau bilang mereka diberi nama? Siapa yang memberi mereka nama dan mengapa?” “Elf,” Jawab Alazar dan menghembuskan hisapan cerutunya lagi, ia melanjutkan. “Seribu tahun yang lalu, Benua ini hanya dihuni hewan liar dan Wildster. Lalu para Elf datang dengan kapal jelajah yang besar dinahkodai oleh Raja Eldrin. Mereka tiba di Westeria dengan penuh kegaguman, melihat mahluk yang tidak mereka temui di Benua asalnya, land of Eden. Eldrin memustuskan untuk membangun peradaban kaum elf di Westeria, dan mencoba membangun kehidupan yang harmonis bersama wildster. Hampir delapan abad lamanya mereka memperlajari tentang Wildster, caranya berkembang, bertahan hidup. Elf mencatat semua itu dengan lengkap, hingga Elf mengetahui hal yang luar biasa dari Wildster.” Sorot mata damar semakin tajam, ia terpaku, meresapkan setiap kata-kata yang keluar dari mulut Alazar, “apa yang luar biasa dari Wildster?” “Mereka saling berkomunikasi dengan sihir,” kata Alazar. “para penyihir Elf, mampu merasakan aliran itu, terpancar dari tubuh mereka. Para penyihir sibuk membuat mantra-manta, tapi tidak berhasil, berharap mereka mampu menyatukan gelombang sihir itu agar dapat berkomunikasi dengan para wildster.” Serontak Damar terkejut, ia teringat sesuatu. tetapi memaksa menyembunyikan raut itu dan berpura-pura untuk tenang. “Apa elf itu berhasil berbicara dengan Wildster?” kata Damar dan meneguk ludahnya. “Tidak semua dan bahkan sedikit yang bisa, hanya elf yang mempunyai bakat sihir tertentu untuk, dan kita menyebutnya sebagai seorang enchanter. Setelah itu, Enchanter Elf mulai menamai Wildster itu,” kata Alazar, ia mengelus dahinya mencoba mengingat. “Orgwa, Centa, Satyria, Gargola, Wyvera, Dragona, Alaby, dan masih banyak lainnya. Waktu kita akan terbunuh banyak kalau kau mau aku menyebutkan semua nama-nama itu.” Damar, mencoba terus menyembunyikan rautnya, tetapi kegelisahan itu mulai menarik otot-otot wajahnya. Alazar mengetahuinya. “Apa ada ingin kau sanggah dari ceritaku, wajahmu nampak gelisah,” katanya memulai menguliti rusa buruannya. Sejenak ia terdiam, mencoba menahan. Apa perlu Alazar mengetahui, Orgwa itu berbicara di kepalanya. Damar pun mulai mengiris dan memegang paha Rusa dengan kuat, membantu menguliti dan membuat semua senatural mungkin. Alazar terlihat curiga. “Apa ada sesuatu dari ceritaku?” katanya tidak basa-basi. Damar memutar matanya berpikir keras, mencari alasan yang tepat, “Setelah cerita itu, aku semakin bersedih tentang Orgwa, kuharap itu Wildster terakhir yang kami bunuh.” “Semoga, Percayalah, dahulu Wildster tidaklah menyerang manusia. Tepat sebelum kesintingan dari Helbert meracuni semua pikiran manusia terhadap wildster. Elf menjaga hubungan dengan Wildster berabad-abad lamanya. Keharmonisan itu terjaga, selain itu, lantunan harpa yang dipetik oleh jemari gadis-gadis Elf sangat disukai oleh Wildster. Dimanapun Wildster mendengarkan petikan harpa itu, mereka akan tenang.” Damar bersyukur, nampaknya alasan itu tidak membuat Alazar curiga lebih dalam. Setelah itu, Alazar terlihat sangat sibuk dengan belatinya, mengiris dan memotong daging dengan cepat. Ada satu bagian yang tidak ia iris, bagian itu adalah paha, ia masuk ke dalam gubuk, lalu keluar membawa tali rotan. Mengikatnya sedemikian rupa hingga dua paha itu bisa di gantung di bagian leher belakangnya, menyisakan dua paha rusa segar yang bergelantungan di kedua lengannya. “Kurasa ini cukup untuk beberapa hari. Simpanlah,” kata Alazar menaruh kembali paha itu di atas rumput. “Terima kasih Alazar, kuharap kita bisa berbincang lebih mengenai banyak hal lain kali!” kata Damar sambil mengalungkan daging. Alazar tersenyum, damar kemudian berjalan meninggalkan gubuk Alazar dan melambaikan tangannya. Alazar membalasnya, kepulan asap tembakau tertiup dari bibirnya. Damar berjalan menuju pondok kecilnya dengan berseri-seri, tapi setelah ia mengingat satu kata, rautnya kembali datar. Ia menghela napas, kata-kata itu tidak lepas dari benaknya sampai ia tiba di kamar dan ranjang tipisnya. Seraya melihat langit-langit atap kamrnya, ia melamun sejak dan berkata, “Enchanter”. PENEMUAN DAN KEPUTUSAN
Pagi ini damar di penuhi rasa gelisah. Semua cerita
dari alazar masih terngiang di benaknya. Dia mencoba duduk dan menenggak air putih, lalu ia keluar pondok kecil untuk menghirup udara sejuk hutan Pine. Perutnya terasa kenyang, daging rusa yang di berikan Alazar memberinya tenaga yang cukup banyak untuk memulai kegiatan hari ini. Damar masih menimbang-nimbang berbagai pilihan, apakah dia perlu kembali ke goa itu untuk mengetahui sebuah kebenaran. Fade dan Hans masih belum kembali, mungkin mereka masih berada di perjalanan menuju Norburry, atau sedang berusaha mencari pembeli potensial. Menurut Damar menemukan para pedagang yang mau membeli kulit wildster itu pasti sangat sulit. Bahkan harganya mungkin lebih sedikit dari sekarung gandum dan jagung. Apapun itu Damar hari ini bebas melakukan apapun, ia sangat bersemangat. Berkali-kali ia ingin melanggar pesan Fade, untuk tidak memasuki hutan Pine. Dia mengecek lukanya, semua baik-baik saja. Lukanya cepat mengering dan badannya terasa enteng. Dia melakukan olahraga kecil di luar pondok dan semua terasa sangat sempurna. Damar memutuskan mengabaikan pesan Fade, dia berlari menuju ke hutan Pine, menuruni lereng-lereng beralas bebatuan dan rumput hijau. Menelusuri sela-sela pepohonan pinus dan menjulang. Damar cukup hapal wilayah hutan pinggir pine, ingatannya sangat baik sebaik Fade. Ia kemudian mendaki tanjakan-tanjakan dengan lincah, sambil melihat ke arah lembah dan memandang deretan pegunungan helmaer yang saling mengait. Tiupan udara semakin dingin, berkasan matahari semakin terpecah tajuk daum jarum yang mengumpul memberi warna kuning kehijauan. Pertanda ia semakin dalam menuju hutan Pine. Damar mencoba mengingat kembali arah dia berburu bersama Fade dan Hans malam lalu. Dia menelusuri semua jalan dan mengingat setiap detil-detil langkahnya. Meraba tanah dan melihat bekas- bekas injakan. Aliran sungai Raen semakin terdengar, dia yakin berada di jalur yang tepat. Damar tiba di sebuah jalur setapak yang dibuat pemburu. Dia berjalan mengikuti jalur itu. Jalurnya berbelok dan menurun. Tepat di samping kirinya tanah menurun tepat saat dia berhenti dan memanggil nama fade dan Hans kala itu. Dia Mengecek tanda ranting pohon yang tumbang, memastikan diaman Orgwa melompat tepat di depannya. Matanya tidak terlepas dari tiap batang pohon yang menjulang. Dilihatnya sebuah ranting besar trembesi yang retak, terdapat sebuah goresan cakar yang besar. Tanda dilompati mahluk buas yang cerdas. Retakan- retakan itu saling berkaitan antara pohon disekitarnya, membentuk sebuah pola berkelanjutan. Damar mengikuti pohon-pohon itu, sesekali kakinya tersandung sebuah akar pohon yang mencuat. Tapi itu tidak membuatnya berhenti. Dia harus memastikan arah pergerakan Orgwa untuk menuntunnya menuju Goa itu. Dia tiba di sebuah pohon yang rusak, dahannya pecah tidak beraturan meninggalkan pecahan yang tajam. Orgwa itu harusnya melompat di sini, pikirnya. Lalu ia membayangkan dirinya saat itu, mencari lokasi dirinya terguling dan menyibak semak belukar di samping jalan setapak sambil menuruni turunan. Memotong semak-semakan yang melilit kakinya dengan pisau belatinya. Damar tiba di sebuah pelataran rumput yang cukup luas. Di ujungnya terdapat aliran sungai raen yang deras, tepinya di tumbuhi pohon khas tepi sungai. Pada saat malam itu, pelataran ini tidak terlihat karena termakan kegelapan malam. Tapi saat ini matanya dapat melihat jelas, seakan selimut hijau terbentang di depannya. Di ujung-ujungnya cahaya berkilauan akibat dari embun yang membentuk butiran air bagai permata. Mulut goa itu terlihat, Damar berusaha mendekatinya. Damar Berjalan membungkuk sangat hati- hati. Saat itu pikirannya sempat ragu. Apa dia akan menemukan bahaya. Tapi dia hapal arah jalan pulang. Kalau dia bertemu hal yang buruk, ia akan berusaha lari sekencang mungkin. Damar yakin akan dapat keluar dari hutan Pine tanpa terluka. Damar mencoba berkonsentrasi, apakah dia akan berbicara dengan suatu wildster. Dia memejamkan mata, mencoba menggapai suara, tetapi tidak terjadi apa-apa. Damar kecewa, mungkin di dalam goa itu memang tidak ada sesuatu. Dia sampai di depan mulut goa, kakinya bergetar, rasa takut sedikit merasuki dirinya. Tetapi goa itu terlihat tidak dalam. Dia mengikatkan sebuah kain di ranting kering dan menyalakan dengan batu api yang di bawa dari pondok kecil. Memastikan dia mendapat cahaya di dalam Goa itu. Damar melangkah pelan, melalui sisi-sisi stalagmit dan bebatuan. Bunti suara kelelawar menganggunya. Damar Mengusir kelelawar yang bergelantungan di atap goa. Kelelawar itu berderit, berterbangan keluar goa seperti bola-bola hitam yang mengacau. Sesaat Damar mencoba tenang, dan berkonsentrasi lagi. Sesuatu di ujung Goa nampak bergerak, Damar bersembunyi di balik batu besar. Cukup untuk melindungi dirinya, melihat dan mengamati dari balik batu itu. Matanya menyipit dan memastikan sesuatu yang bergerak di ujung Goa. Makhluk itu sedang memakan sesuatu, melompat-lompat dan berputar. Menyadari ada yang mengintip mahluk itu merayap mendekat, mendekati sumber cahaya kekuningan dari obor kecil Damar. Damar tersentak mundur, kaget dan memaki. Tapi dia terlambat untuk lari, Damar merayap mundur dan terhenti ketika punggungnya menabrak stalagmit besar. Di hadapannya, mahluk kecil bermata hijau menatapnya dengan heran, dan melompat kegirangan. Tampak seekor naga kecil. Naga itu tidak lebih panjang dari lengan Damar, moncongnya seperti kadal tetapi lebih runcing seperti buaya. Cara berdirinya sangat anggun dan berwibawa. Sisik-sisiknya berwarna perak mengkilap seperti mutiara yang di asah. Naga itu mengembangkan sayap tipisnya yang berukuran dua kali lipat dari panjang punggungnya. Tulang-tulang tipis menjulur bagai serat-serat yang bergerak. Dua taring melengkung mencuat dari rahang atasnya seputih gading dan nampak tajam. Tanduk kecil berwarna putih susu tumbuh mungil berpola aneh seperti sebuah alat ukir yang terpasang di atas pelipisnya. Naga itu melirik ke arah Damar, menatapnya dengan bingung. Ia membalikkan pandangannya ke sisi satunya, lalu melompat-lompat dan berputar. Damar bergeser ke samping, mengarahkan obor itu ke arah naga kecil dan bergerak menjauhi batu di belakangnya. Pandangan naga itu mengikuti arah gerak Damar nampak menikmatinya. Naga itu mungkin musuh yang sulit apabila menyerang. Sesekali mulut naga itu terbuka, menguap dan menguik dengan sederetan gigi kecil runcing. Damar masih terpaku pada naga itu. Sesaat Naga itu kehilangan minat dengan Damar dan berjalan menjauhi Damar. Damar mencoba mendekat perlahan, merogoh saku kecilnya dan menggenggam roti kering. Dia menaruhnya di atas batu kecil di sampingnya. Naga itu tampak tertarik dan merayap mendekat sambil mengendus. Dia terdiam, dan nampak ragu. Lalu membuka mulut kecilnya dan mengunyah, hanya hitungan detik dia memuntahkannya dan terlihat jijik. Pandangannya melirik ke sesuatu yang meraik dari bebatuan dia bergerak lincak, mengejar cicak Goa. Damar mengikutinya dengan penasaran. Naga itu tampak jinak, wajar saja mungkin karena masih kecil, pikirnya. Naga itu meraih cicak yang merayap di bebatuan Goa, dan menelan cicak itu dengan satu tarikan. Damar tampak pangling, menatapnya penuh keanggunan. Naga itu melompat-lompat lagi kegirangan. “Apa Orgwa itu berbicara denganmu?” kata Damar pelan. Naga itu tidak merespon, dan asik mengelilingi sisi goa lagi, melompat dan mencari hewan kecil lainnya. Damar mencoba meraih pikirannya, dan berkata dalam hati. Mengulang seperti saat dia berbicara dengan Orgwa, tetapi nihil. Naga itu tampak tidak tertarik. “Apa kau tidak bisa mendengarku?” kata Damar penasaran, dalam pikirannya. Naga itu tidak merespon, dan asik sendiri. Damar mencoba membimbingnya menuju mulut Goa. Awalnya dia diam melihat Damar menjauh, tapi kali ini naga itu yakin dan mengikutinya dari belakang, berjalan pelan dengan kaki mungilnya dan cakar-cakar kecil yang timbul. Langkah Damar semakin ringan ketika ia melihat mulut goa dengan pancaran matahari putih yang berkelap- kelip dari kejauhan. Sebentar lagi ia akan membimbing naga itu keluar goa, berharap akan mengikutinya keluar dari goa. Setelah Damar tiba di ujung goa, naga itu terhenti, keraguan terpancar dari bola mata hijaunya yang memandang Damar. Naga itu kemudian mundur secara perlahan. Damar masih mengamatinya, berusaha memancingnya dengan siulan dan ketukan jari. Tetapi Naga itu tidak bergeming dan menguik menjauh. Damar tahu Naga itu bukan mahluk yang mudah di bodohi, dia membutuhkan daging untuk menarik minatnya. Tetapi kemudian dia berpikir, jika dia berhasil mengajak naga itu keluar dari persembunyiannya di goa, dia akan menyembunyikan naga itu dimana? Pondok kecil bukan tempat terbaik untuk menyimpan mahluk anggun ini. Dalam hitungan menit pasti Fade dan Hans akan mengetahuinya. Selain itu, keanggunan naga ini pasti akan mengundang para pemburu untuk menjadikannya hiasan rumah, dan lebih buruknya menjadi peliharaan untuk mengangon kambing- kambing peternak norburry. Tapi bagaimana seekor naga bisa ada di sini? Naga ini juga masih berupa anakan. Apabila sejak dahulu kala ras naga sudah hidup di daerah pine, sudah beratus-ratus tahun lalu ditemukan induk naga yang lebih besar terbang mengitari langit Norburry. Tapi belum ada kisah naga sama sekali di daratan Norburry. Alazar nampaknya menyebutkan sedikit tentang ras wildster dragona, tapi dia sama sekali tidak mengatakan tentang keberadaan ras dragona di hutan Pine. Meskipun hutam ini sangat luas, Naga tidak mungkin mampu bersembunyi tanpa terlihat di langit. Damar berjalan berputar-putar di depan mulut Goa, Naga perak itu masih memandangnya dari dalam Goa, tanpa mau melangkah kedepan lebih jauh. Damar masih berpikir tentang langkah apa yang seharusnya dia lakukan. Damar yakin menceritakan penemuannya pada Fade mungkin ide yang baik, hanya memberitahu Fade tanpa sepengetahuan Hans menjadi hal yang sulit. Hans adalah penguping terbaik di antara ketiganya. Hans lebih mudah curiga dan peka terhadap perubahan-perubahan gimik dari Fade dan Damar. Dia pasti akan segera menyadari tentang keberadaan rahasia tentang Naga ini cepat atau lambat. Selain itu, pergi mengendap-ngentap setiap hari untuk menemui naga ini di Goa tanpa sepengetahuan Hans pastilah sangat sulit. Damar segera melupakan pilihan itu dan mencoba berpikir lagi. Apakah Alazar orang yang tepat? Tetapi Damar masih belum mengetahui kebenaran seutuhnya tentang Alazar. Alazar mungkin mengetahui banyak tentang wildster dan sejarah-sejarah Westeria, tapi apakah tepat untuk memberitahukannya? Damar curiga bahwa Alazar sebenarnya adalah pemburu Wildster seperti yang digembor-gemborkan oleh Hans. Apabila Raja Ambert mengetahui penemuan ras naga di hutan Pine, dia pasti akan memberi imbalan kekayaan yang melimpah untuk penemunya. Meskipun Alazar tidak terlihat seperti orang yang gila harta, Damar harus tetap hati-hati. Sewaktu Damar mendinginkan kepala, dia menggaruk dagunya. Melirik ke arah naga kecil itu yang berdiam, membaur dengan kegelapan di dalam goa dan masih setia melihatnya dengan tatapan berbinar. Damar sudah menentukan pilihan, dia akan mencoba menyembunyikan penemuan ini beberapa minggu, hingga waktunya tiba, saat naga itu sudah sedikit lebih besar. Dia akan menceritakannya pada Fade untuk membantunya pergi dari daerah Pine. Mungkin itu lebih baik untuk naga itu, daripada hidup di hutan Pine yang rentan dengan pemburu. “Kau tinggu di sini, aku akan kembali ke pondok dan membawakan potongan daging rusa. Kau pasti akan menyukainya, daging itu lebih lunak dari daging cicak ataupun kadal yang hidup di dalam goa ini,” katanya sambil membungkuk. Naga itu menguik, dan mengembuskan uap kecil dari cuping hidungnya dan membentuk gumpalan asap kecil. “Kuanggap itu jawaban iya,” kata Damar tersenyum, dan beranjak menjauhi Goa itu. Kakinya berjalan lebih cepat, meninggalkan goa di belakangnya, menerobos semak dan pepohonan pinus yang berdiri kokoh. Perasaan gembira memenuhi dirinya, seperti seorang pendaki gunung yang berhasil menginjakkan kakinya di ujung puncak dan melihat keindahan dunia. Damar merasa pertemuan dengan naga itu adalah pertanda baik untuk hidupnya kelak. LUKE SI AROGAN
Semua mata di pasar Norburry tertuju oleh dua
pemuda yang tiba siang ini di Desa Norburry. Orang- orang itu saling berbisik, sisanya hanya menatapnya dengan picing. Lalu-lalang tidak hentinya berhenti, semua memiliki perannya yang vital di pasar Norbury. Tetapi waktu telah di bekukan oleh kehadian Fade dan Hans, bersama kulit hitam berbulu mengkilap di atas karavan dorongnya. Kehadiran Fade dan Hans menjadi pusat perhatian para pedagang dan pembeli di pasar. Pandangan itu membuat Fade dan Hans merasa risih, tetapi mereka tidak mengindahkan itu dan terus berjalan. Mencari tempat lapak-lapak pusat pasar didirikan. Para pedagang mendirikan lapak-lapaknya di pusat pasar, mengantung daging-daging untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Sayuran-sayuran juga terpajang di meja kayu di hadapan penjual, ada juga yang di baringkan beralaskan kain yang lebar. Mereka tiba di pusat pasar Norburry, penjual daging berkumpul dan berteriak menjajakan daging hasil buruan atau ternakan. Semakin lama mereka berjalan pandangan orang-orang semakin tajam. Orang-orang semakin membicarakan mereka. Semua tertarik dengan apa yang mereka bawa. Semua orang yakin itu bukanlah buruan biasa, bukan berasa dari hewan yang normal. Semua yang dijual di pasar Norburry kebanyakan hanyalah bahan-bahan kebutuhan hidup seperti, gula, garam, selada, jagung, gandum, dan daging-dagingan. Tidak ada satupun di pasar itu yang menjajakan perhiasan dan barang antik lainnya. Fade dan Alazar berhenti di salah satu lapak, pedagang di sebelahnya menatap dengan tegang. “Kami ingin menjual kulit ini. Hitam dan mengkilat, kau bisa melihatnya sendiri,” kata Hans. Orang itu nampak ragu untuk memerika, Dia berdiri dari tempatnya, hanya menegok sekilas. Terlihat enggan untuk menyentuhnya. “Apa itu kulit beruang?” katanya sinis. “Kau bisa sebut apapun yang kau mau, jadi berapa harganya?” jawab Hans singkat ingin segera selesai. “Tapi apa kulit itu bisa dimakan?” Pria itu mendongak sekali lagi. “Apa harus segala sesuatu yang pemburu bawa kesini berupa daging yang dimakan? Berpikirlah, kulit ini bisa menjadi hiasan dindin yang bagus! Orang akan kagum saat mereka bertamu ke rumahmu dengan pajangan kulit hewan yang berwarna hitam mengkilap!” Hans meninggi. Pria kurus itu nampak panik, orang-orang semakin melihat ke arahnya, berbisik tidak menyenangkan. “Li-lima gold!” kata pria kurus itu sambil menyeka dahinya dengan kain. “Lima gold? Itu harga yang pantas untuk daging usang yang kau pajang di ini!” kata Hand mendobrak meja kayu lapak pria kurus itu. Fade, memegang bahu Hans, menepuknya untuk segera menyudahi emosinya. “Terima kasih, mohon maaf atas keributan ini,” kata Fade sopan. Dia mendorong Hans menjauhi lapak Pria kurus itu. Pria kurus itu terdiam dan menunduk. “Kita akan pulang ke pondok dengan kulitm ini tanpa uang apabila kau menjual dengan cara seperti itu!” kata Fade berbisik kencang pada Hans di depannya. Kau lihat sendiri bagaimana pedagang bodoh itu? Menghargai kulit wildster ini dengan lima Gold, bahkan jumlah itu hanya cukup selama dua sampai tiga hari!” bisik Hans keras. Fade mendekati Hans dan berbisik di telinganya. “Bodoh! Jangan menyebut nama wildster di keramaian ini! Kau akan semakin menarik perhatian mereka!” Hans mereda, mereka berkeliling sepanjang pasar itu. Menemui banyak penjaja daging dan perkakas. Tapi tidak satupun tertarik dengan apa yang mereka bawa. Orang-orang hanya melihat dan mcibir, tanpa ada satupun yang bertanya. Fade dan Hans tiba di ujung jalan. Mereka kelelahan, tidak ada satupuk lapak pedagang yang mau membeli kulit wildster miliknya. Fade bersandar di sebuah pohon yang jauh dari keramaian pasar, setidaknya itu membuat mereka merasa sedikit nyaman karena tidak menjadi bahan perhatian orang. Fade melihat sekeliling sedangkan Hans berbaring di atas rumput sebelah pohon itu. Memastikan mereka sudah mendatangi lapak pedagang dan pembeli hasil buruan. Tapi mereka sangat kehausan dan kelaparan, berjalan mengelilingi pasar di Desa Norburry sangat menguras tenaganya. Membawa barang itu kembali ke pondok kecil tanpa sepeser pun uang akan membuat perjalananya sia-sia. Haruskah ia mendatangi Luke? “Aku kenal seseorang,” Fade tiba-tiba. Hans mengintip dari matanya yang terpejam, “lalu?” “Dia adalah orang sinting, percayalah aku dan Damar sangat membencinya. Sejak kami kecil dia selalu merendahkanku, tapi ku akui kemampuannya berdagangnya sangat luar biasa. Mungkin, Saat ini pasti dia sudah menjadi orang kaya di Norburry.” “Kenapa hal itu tidak kau sampaikan sejak kedatangan kita?” “Aku sudah bilang, aku membencinya. Kau pasti akan merasakan hal yang sama saat kau berbicara dengannya. Biasanya orang kaya selalu memandang rendah para pemburu kotor seperti kita.” “Itu tidak berlaku saat kita membutuhkan uang, lebih baik bawa kulit ini menuju orang itu. Kita akan tau apakah dia saudagar yang cerdas atau bodoh.” Mereka berjalan melanjutkan langkahnya, menjauhi keramaian pasar. Fade diam sejenak mengamati sekitar, mengingat-ingat dimana Luke tinggal dan mengikuti arah bangunan-bangunan yang kokoh. Bangunan itu memiliki atap yang terbuat dari jerami, dan ada yang terbuat dari genteng. Fade mendengarkan orang- orang berbicara dengan suara yang keras, memarahi anak- anak yang berkelahi. Fade mendorong gerobaknya, menyusuri sela-sela rumah. Di ujung jalan mereka tiba di sebuah rumah yang besar, cerobong asap mencuat dari atap rumah itu membubungkan asap keabuan yang mengepul. Di depan pintunya terpasang papan persegi berbahan kayu berkualitas, di ukir dengan pahat sedekimian rupa proporsional. Tertulis Kios Luke. Perasaan mual meninju perutnya, mengingat wajah luke saja sudah membuat dirinya ingin menjauhi rumah itu. Semua sudah berlalu, dia harus segera menemuinya sebelum hari sudah gelap. Fade mendorong pintu hingga terbuka dan hampir berdebum, ruangan yang luas itu terasa hangat dan sunyi. Api berkobar di perapian batu bata berwarna merah. Meja membentang di ujung ruangan. Ruangan itu sangat bersih, lilin putih tergantung di setiap sisi dindingnya. Seakan pemiliknya tidak ingin kegelapan memakan ruangan mewah itu. Di belakang meja, berdiri Luke. Wajahnya pucat, mata hitamnya memandang gelisah, seperti menolak tamu di depannya. Dia berpura-pura mengelap gelas yang terpajang di rak belakangnya. Entah apa yang perlu di elap, semua gelas sudah mengkilap. Mulut Luke berdesis, saat gerobak kecil itu dipaksa masuk ke dalam ruangannya yang bersih oleh Hans. Hans duduk, dan Fade mendekati Luke. Luke memandangnya lugas, dan menyilangkan lengannya, “Well, lihat apa yang kutemui siang ini. Dua orang pemburu menyedihkan, dengan hewan buruan di dalam gerobak peot. Kuharap isinya tidak menumpahkan tetesan darah di lantaiku!” “Tidak akan,” kata Fade. “Jadi itu daging kering?” tanya Luke sombong. “Bukan daging,” Fade menatapnya, melihat kecurigaan terpancar dalam garis mata Luke. “Lihat apa yang Pemburu kotor ini bawa ke dalam tokoku, bukan hewan, bukan daging,” suara Luke terdengar merendahkan. Sejak dulu Luke selalu memperlakukan Fade dengan jijik. Menganggapnya sebagai anak buangan terlantar yang secara kebetulan di asuh oleh kepala desa. Semenjak istrinya meninggal, hanya satu orang perempuan yang dia perdulikan, yaitu anak gadisnya Tia. Bagi Luke semua orang selain Tia adalah pengisi kekosongan kehidupan dunia saja. “Cepat katakan apa yang kau bawa dan segera selesaikan pembicaraan ini,” caci Luke. Tentu Fade setuju, dia pun merasa muak, harus melihatnya hari ini. Fade membawa gerobaknya mendekat, memaksa Luke untuk mencodongkan badannya, melewati meja di depannya dan melihat dengan mata kepalanya sendiri. Hans duduk memperhatikan. Bulu pada kulit itu memantulkan cahaya lilin, Luke mencoba menyentuhnya, sangat lembut pikirnya. “Aku terpana,” kata Luke pura-pura. “Kulit hewan apa itu?” “Wildster, kami membunuhnya semalam,” jawab Fade singkat. “Ku akui ini cantik, tapi berapa nilainya?” kata Luke sambil mengelus kembali bulunya, memperhatikan tiap helaian bulu yang mengkilap. “Menurutmu? Aku bukanlah pedagang, seharusnya kau tau harga itu melebihi orang-orang di pasar apabila kau menyebut dirimu saudagar,” kata Fade menantang. “Menarik sekali, seorang pemburu kotor membunuh salah satu mahluk legenda, bagaimana rupa mahluk itu,” gumam Luke. “Aku ke sini untuk menjualnya bukan bercerita, sebutkan harga darimu. Kau bukanlah pria bodoh yang akan membeli benda itu sangat murah, itu akan mempermalukan dirimu sebagai tukang kios terbesar di desa ini,” cibir Fade, meskipun dia merasa tidak nyaman berbicara seperti itu. “Jelas sekali,” kata Luke dengan kesabaran dibuat-buat. Luke mengelus dagu gundulnya, memperhatikan sekali lagi kulit berbulu hitam legam itu, matanya tidak henti-hentinya memandang pantulan cahaya lilin dari tiap helai bulu. “Tawaranku untuk kulit itu sebesar dua puluh gold.” “Itu terlalu murah! Seharusnya kulit ini mampu bernilai hingga berkali-kali lipat dari itu!” protes Hans. Dua puluh gold tidak akan mencukupi kebutuhan hidup mereka bertiga selama seminggu, tidak saat musim dingin akan datang. “Terserah, kalau kau tidak suka tawaranku, kalian bisa kembali menawarkannya kepada para pedagang kecil di pasar Norburry. Kecuali kalian tidak cukup pintar, mengetahui nilai yang ditawarkan pedagang di pasar itu jauh lebih rendah. Mereka tidak memperdulikan keindahan dan kualitas kulit ini, hanya sesuatu yang dapat masuk kedalam perut mereka,” Luke sambil tersenyum licik. Fade setuju, nilai yang mereka dapatkan dari para pedagang di pasar jauh lebih rendah dari Luke. Sekalipun harga itu tidak masuk akal. Jauh lebih baik ketimbang tidak satupun gold dapat mereka kantungi. “Omong kosong!” Hans meninggi. “Kami terima,” potong Fade. “Harga segitu tidak sebanding dengan apa yang hampir menimpa kita dan Damar!” protes Hans. “Apa yang menimpa Damar karena ke egoisanmu dan kita dihadapkan pilihan terakhir saat ini, kau pikir dimana lagi kita akan menjual kulit ini dengan harga yang tinggi?” Fade tersulut. “Cukup! Cepat putuskan atau kalian bisa tinggalkan toko ini!” kata Luke mendobrak meja hingga bergetar. Fade mengangguk, Hans keluar meninggalkan kios, debuman keras terdengar pada pintu yang terbanting oleh Hans. “Pemburu sinting!” kata Luke, ia segera mengeluarkan koin-koin dari laci kecil di meja, menghitung dengan cepat dan meyodorkannya pada Fade. Fade segera menerima, tangan Luke mengibas-ngibas ke arah tubuh Fade. Fade mengangguk, dia segera meninggalkan toko itu. “Terkutuk!” maki Hans di luar jauh dari kios Luke. “Sudah puas?” tanya Fade, berpura-pura sabar dan mendekati Hans. “Kesabaranku sudah habis, katakan sejujurnya apa yang kau harapkan hidup bersama kami.” Hans mencengkeram tanganya, Wajah Hans terlihat kusut dan pucat. Emosinya semakin sulit terkendali. Fade merasa sangat kesal dengan sikap Hans beberapa bulan ini. Ia tau ada kebohongan dia sembunyikan. “Kau bilang kau suka berburu, tapi itu bukan alasan sebenarnya kau tinggal bersama kami,” kata Fade bernada memaksa. Dia tidak puas melihat Hans terdiam. “Jika memang kau memaksa untuk jujur. Aku muak dengan kehidupan miskin ini,” gumam Hans. “Itu pilihanmu, kau yang memutuskan untuk tinggal dengan kami, ” kata Fade menatap tajam. “kenapa kau memilih tinggal bersama kami? kupikir kau menyukai hidup liar dan penuh tantangan.” “Tidak ada satupun pilihan itu yang membuatku senang,” Hans meninju batang pohon, tapi tangannya kesakitan. ia kemudian mondar-mandir tidak karuan di sepanjang tepi jalan. “Tujuanku ikut bersama pedagang itu karena aku benci berada di Gallard, melihat kehidupan para bangsawan keluarga raja Helbert, hidup penuh kejayaan dan harta. Membuatku iri!” “Kau tidak bisa egois dan menyalahkan takdirmu, kenyataannya kita semua berusaha untuk hidup lebih baik,” Fade mengangkat bahu, menatapnya wajah Hans penuh kekesalan. “Kupikir kau menyukai kehidupan liar, ketika kau bertemu aku dan Damar kau seharusnya sadar bahwa kami tidak akan membawakan kekayaan kepadamu.” “Aku hanya mencoba hidup berbeda, melupakan bayang-bayang kehidupan para bangsawan di Gallard, di bawah atap emas tahta kerajaan, baju-baju sutra, sajian makanan mewah berupa daging-daging panggang dan kue raspberry, dan para pelayan yang siap melayani mereka tiap jam,” wajah Hans berubah muram. Fade menatapnya dingin, “Lalu itu yang membuatmu meninggalkan Ibukota Gallard?” “Pada saat itu, para pedagang nomaden singgah di Gallard, membangun tenda-tenda di tepi hutan dekat kota. Aku mengunjunginya, dan berharap tidak pernah menemuni para keturunan bangsawan yang sombong. Di tenda itu para pedagang membicarakan hal yang menarik perhatianku. Mereka berbicara tentang cerita legenda wildster, hal yang paling kuingat ‘memburu wildster akan membuatmu kaya dan terpandang’. Pada saat itu semua pedagang tertawa keras dan mencibir lalu membalas ‘tapi memburu wildster akan membunuhmu lebih cepat”. Berbeda denganku aku mendengarnya dengan khidmat setiap perkataan dari perbincangan pedagang itu.” “Jadi kau memutuskan untuk berburu wildster?” kata Fade tiba tiba. “Hampir, tapi hari demi hari mereka bergosip semakin sering. Hampir tiap perbincangan malam di sela makan malam dan gelas bir perbincangan antara pedagang dengan penduduk Gallard semakin intens. Semua keluarga kerajaan senang apabila seseorang membawa tubuh wildster di hadapan Raja, berdiri penuh kesombongan di depan tubuh wildster yang mati. Pihak kerajaan menganggap keberadaan wildster mengancam kehidupan manusia di Westeria, semua pikiran itu menancap di seluruh keluarga elit kerajaan. Raja akan menghadiahkan harta dan posisi bangsawan apabila seorang pemburu, atau prajurit di bawa simbol kerajaan Gallard membawa mayat wildster ke hadapan Raja Ambert.” “Kau yakin itu bukan bualan?” “Entah, belum pernah aku melihat wildster seekorpun dalam hidupku saat itu, belum prnah juga aku mendengar seorangpun berhasil membawanya ke hadapan raja,” iya menggosok kepalan jarinya yg lecet. “Jadi itu alasanmu kenapa kau menetap di pinggir Pine bersamaku dan Damar? Berharap menemukan Wildster dan memuaskan pencarianmu?” tanya Fade, penasaran. “Benar, Setelah pedagang itu berencana meninggalkan Gallard, aku memilih untuk meninggalkan Gallard. satu bulan penuh aku tinggal bersama pedagang berpindah-pindah tempat. Menuju Bardford, melintasi sungai nuin, mereka menerimaku dengan sangat baik. Mengajariku cara untuk berdagang dan memberi banyak informasi tentang wildster. Ketika mereka memutuskan menutup tenda-tenda dan meninggalkan Gallard Aku memutuskan berkelana bersama para pedagang untuk memburu wildster, berharap menemukan lokasi dimana wildster hidup dan membawanya ke Gallard.” “Kenyataannya adalah jarak kita dengan Gallard sangat jauh, dan dengan keadaan keuangan kita saat ini tidak memungkinkan membawa mayat Wildster itu ke Gallard. Terlebih para bandit dan morgul yang berkeliaran di luar sana,” kata Hans menatap Fade dengan tajam. “Satu-satunya yang sama dari kita adalah kita tidak tau siapa orang tua kita, lalu Kupikir tinggal bersama kalian akan membuatku lebih baik melupakan semua kenyataan bahwa aku adalah anak yatim piatu dari keluarga petani.” “Haus akan kekayaan akan mengakibatkan dirimu menjadi sinting, semakin sulit untuk membuatmu berpikir jernih,” balas Fade menatap balik. “Itu karena kau belum melihat seperti apa Gallard, kau tidak akan pernah terbayang kehidupan makmur bangsawan keluarga Ambert.” “lagipula aku tidak tertarik engan kekayaan.” “Ya, kau bodoh. Memilih hidup menyedihkan bersama adikmu,” Ejek Hans. “Jangan begitu,” potong Fade. “Kau sudah lihat sendiri betapa menyedihkannya Norburry, semakin jelas mengapa pihak kerajaan mengacuhkan wilayah Norburry. Mereka adalah orang- orang menyedihkan,” maki Hans. Fade mengepalkan tangannya, emosinya tersulut. “Kau lebih menyedihkan! Berkali-kali membuat hidup kami terancam, menginginkan ambisi bodoh yang mustahil kau dapatkan,” balas Fade. Hans bangkit dari duduknya, ia mengepalkan juga tangannya dan menghempaskan tinju ke arah pipi kiri fade. Fade menghindar, mencengkeram lengannya yang terhunus dan membantingnya. Fade tersungkur dan bangkit lalu mencaci. Debu-debu berterbangan di pijakan yang tercabik-cabik gerakan lihai fade dan Hans. Orang-orang di sekitar datang berkumpul, menontonnya dan bersorak. Memberi dukungan ke entah siapa, hanya merasa gembira melihat perkelahian. Fade dan Hans berguling-guling saling mengikat, wajah keduanya lebam dan kotor tersiram debu jalanan. seorang gadis datang, dia anak Tia anak Luke. Membelah kerumunan orang semakin rapat menonton perkelahian Fade dan Hans. Tia lalu memisahkan Hans dari kuncian Fade di atas tanah, Mereka berdua kelelahan saling menatap dingin dan menggosok darah yang keluar dari hidung. Pandangan Hans kabur karena debu tapi dia sadar ada seorang wanita yang melerainya. “Hentikan, kalian harus berhenti sekarang,” kata Tia yang berada diantara Fade dan Hans. Tia lalu membubarkan orang-orang yang menonton, mereka tampak kecewa tapi berlalu dan pergi meninggalkan mereka bertiga. Fade menatap Tia terperangah, gadis itu bertambah dewasa, wajahnya tirus dan rambutnya yang lurus seperti benang sutra tergerai sampai di bahunya. Matanya bulat dan wajah mengkerut karena marah. “Kenapa dengamu Fade?” kata Tia bernada cemas dan marah. “Ah Tia, sudah lama tidak bertemu. Kami berkelahi,” kata Fade singkat. “Aku tahu itu! Kalian seperti anak-anak,” kata Tia sambil mengelap dahi Fade yang tergores dan menatap Hans dingin memaksa untuk berbicara. Hans mengangkat bahu. “Tanya saja Fade, dia yang memulai. Semua menjadi rumit dan terjadi begitu saja.” “Omong kosong, kau yang memulai!” kata Fade, mereka saling menatap lagi terpisah dengan siluet Tia. “Kumohon cukup, temuilah Garreth, dia pasti merindukanmu saat ini,” kata Tia bepura-pura sabar. “Ah iya, Garreth, Aku mengerti, cukup sedih mengingat aku di sini tanpa kehadiran Garry,” kata Fade menyesal, ia bangkit dan menepok pinggul dan pahanya, menerbangkan debu yang melekat. Pinggulnya terasa sakit, sepertinya tinju hans berkali-kali mengenai pinggangnya saat dia mengunci tubuh hans dengan lengannya. Fade berbicara kepada Hans, “Kau sudah puas?” “Entah,” kata Hans, ia juga bangkit dengan kesakitan. “Jadi setelah ini apa yang akan kita lakukan? Kembali ke pondok kecil?” “Bukan ide bagus,” kata Hans tidak setuju. “melihat cuaca yang semakin gelap kita membutuhkan tempat singgah sementara, bagaimana?” “Lebih baik kalian mengunjungi Garreth, sudah pasti dia akan mengijinkan kalian tinggal sampai besok,” saran Tia. “Aku setuju, mungkin Garreth akan banyak bertanya juga padamu,” kata Fade ke arah Hans “Tidak masalah, aku sudah terbiasa menghadapi hal itu,” balas Hans singkat. Fade dan Hans berjalan mengikuti arah jalan sepatak kecil yang lurus. Melewati sela-sela rumah berpagar kayu yang di ikat tali dan rumah-rumah yang sederhana. Langkah mereka pelan dan terhuyung-huyung. Fade dan Hans kelaparan, sekalipun Fade masih sangat merasa kesal dengan Hans, dia mencoba bersabar. Dia tau Hans semakin berubah akhir-akhir ini. Perasaan itu membuat kepalanya serasa ingin meledak ketika memikirkan tentang hans. Mereka tiba di ujung jalan, di depannya terhampar kebun gandum yang memenuhi mata. Di tengahnya terdapat jalan kecil yang membelah hamparan kebun gandum, menuju ke sebuah rumah kecil di akhir jalan kecil itu. Seorang lelaki cukup tua duduk sambil mengunyah kue pie cherry. Pria itu cukup gemuk, seperti sebuah karung goni yang terisi penuh oleh butiran gandum. Mata coklatnya membelalak saat melihat seseorang yang cukup membuatnya bernostalgia. Segera dia meninggalkan pienya di meja kecil dan melambai. “Fade! Tia,” teriak Garreth dari kejauhan. Wajahnya nampak kebingungan melihat Hans, Garreth tidak mengenali Hans, dia berpikir mungkin orang itu pemburu seperti fade yang tinggal di pinggir Pine. “Hai Garreth ,” jawab Fade. Fade kemudian duduk di kursi kayu kecil tepat di samping Garreth, sedangkan tia masuk ke dalam rumah, mencoba mengambil sesuatu apapun yang bisa meredakan luka perkelahian Fade dan Hans. Hans hanya menunduk dan tersenyum tipis. Dia mencari tempat duduk terdekat tetapi akhirnya memilih untuk bersandar memandang kebun gandum yang luas. Jemarinya masih meraba-raba lebam di wajahnya, semua masih terasa sakit. “Ada apa dengan kalian? Aku melihat bekas perkelahian,” kata Garreth penasaran. Hans tidak menjawab dan memandang ke arah ladang gandum yang membentang di hadapannya. Fade menunggu Hans menjawab, tetapi dia hanya diam tidak memberi komentar. Fade lalu membelah sedikit pie cherry milik Garreth untuk menenangkan dirinya, membuka balasan. “Kami sedikit berdebat, bukan hal penting untuk dipermasalahkan. Sepertinya, Aku akan tinggal sementara di sini, kami harus melalui satu malam ini untuk kembali ke Pine.” “Sesuatu permasalahan yang di selesaikan dengan perkelahian dapat berujung sangat fatal tergantung bagaimana kondisi itu mengalir. Banyak diantara pria labil yang sulit mengontrol kejernihan cara berpikirnya, melupakan jalan penyelesaian yang seharusnya dan berakhir sia-sia”. Kata-kata itu menancap di kepala Hans yang termenung, dia merasa malu, tetapi masih diam mengamati. “Kalian bisa tinggal sesuka kalian, di sini terdapat banyak makanan, ada kue Cherry, kue apel, keju, roti dan sedikit daging asap. Aku sudah harus mengurangi porsi makanku, Aline mudah marah akhir-akhir ini melihat kerakusanku,” kata Garreth terbahak-bahak. “Lagipula, Norburry hari ini sangat ramai, apa kalian tahu besok para pedagang nomaden akan singgah di Norburry? Aku mendengar isu dari para pedagang Norburry dan tukang jagal bahwa akan ada prajurit kerajaan dan bangsawan datang membawa berita pengumuman.” Kata-kata itu terdengar jelas di telinga Hans, tapi Hans sengaja berpura-pura menahan keingintahuannya. “Pengumuman?” kata Fade masih mengunyah pienya. “Untuk apa pasukan Gallardian datang menuju desa terpencil di Westeria bersama para pedagang? Prajurit dengan tingkat kehormatan yang tinggi tentu sulit berarak bersama pedagang.” lanjut Fade curiga. “Isu-isu itu berdatangan melalui mulut pedagang yang kembali dari Gallard, membawa banyak berita mengenai kerajaan tanpa sepengetahuan Gallardian. Biasanya mereka bergosip di kedai milik Josh, sambil menggoda para wanita. Kebetulan aku di sana dan Josh menceritakannya padaku, kau tahu pedagang itu terlalu bodoh untuk mengendalikan mulutnya saat sedang mabuk berat,” kata Garreth meringis, lalu meminum seteguk air dalam gelas besarnya. “Akhir-akhir keganjilan merasuki desa Norburry, sudah hampir beberapa dekade Norburry tidak pernah tersentuh oleh pengaruh kerajaan, mungkin saja karena wilayah kita miskin dari sumberdaya yang menggiurkan.” “Lalu kenapa sekarang Gallardian mengnjungi Norburry?” tanya Fade. “Apapun, kita semua tau Pine memang misterius. Hutan itu seolah tidak ingin menguak rahasianya kepada kita, para pemburu termasuk kau Damar, dan Garry, tahu betul isinya hanya berisi hewan liar, kanopi rapat dan juga wildster ganas. Seharusnya hal tersebut bisa jadi sesuatu yang membosankan bagi kerajaan. Tapi melihat keseriusan para prajurit dan bangsawan untuk sampai ke desa terpencil seperti ini,” kata Garreth, matanya menyipit. “Aku yakin ada sesuatu yang besar di Pine.” “Apakah ada kaitannya dengan wildster, atau emas?” tanya Hans mendadak, wajahnya menegang. Garreth kaget melihat reaksi Hans, tapi dia berpura-pura tenang, dan menjawab, “Mungkin, kita tau pihak kerajaan sangat membenci keberadaan wildster. Wildster dinilai sangat berbahaya, mengancam dan tidak bernilai. Banyak generasi bangsawan yang terbunuh oleh wildster berabad tahun yang lalu, hampir menghabiskan darah murni Helbert,” jawab Garreth menjelaskan. “Tapi, apabila memang yang di incar mereka hanyalah wildster seharusnya pihak kerajaan sudah membangun beberapa pos pengawasan di daerah Norburry dan melakukan pembersihan.” “Itu sudah cukup menjawab bahwa ada sesuatu hal besar yang di cari oleh Helbert, dan itu bernilai,” kata Hans tersenyum tipis memaksa. “Aku akan datang besok, dan mencari tahu apa yang mereka cari.” “Kusarankan jangan terlalu dekat dengan anggota kerajaan,” kata Garreth menasehati. “Aku tidak melarang dirimu untuk menemui dan mengingat semua berita manis yang keluar dari mulut bangsawan gallard, tapi mencoba membangun kedekatanmu dengan Gallard akan melahirkan ambisi kebencian yang tajam seperti raja Helbert itu sendiri.” “Apa masalahnya?” Hans tidak terima. “Masa kepemimpinan Helbert bukanlah masa kepemimpinan yang kita inginkan, semua bangsawan kerajaan menikmati kekayaan di atas kesengsaraan rakyatnya atas aturan pajak dari Helbert. Sudah cukup beruntung wilayah kita sangat jauh dari jangkauan aturan dari Gallard.” “Tapi itu tidak menjawab masalah yang kita bicarakan,” kata Hans memprotes. “Menurutku besok adalah kesempatan diriku untuk membuktikan, apa yang orang tuaku lakukan dulu adalah keputusan yang salah, dan aku sebagai keturunan bangsawan berhak mengklaim semua yang seharusnya menjadi milikku. Aku bertekad untuk membersihkan namaku dari kebodohan ayahku.” Garreth tertegun, kata-kata itu keluar dari seorang pemburu biasa. Kata itu keluar bagai amukan deras air yang mencoba mengikis bebatuan-bebatuan yang menghalangi alirannya. Saat itu Garreth tidak tahu tentang pilihan yang salah dan benar. Dia hanya mencoba menjadi dinding tipis penghalang dari ambisi Hans. Garreth tidak ingin berdebat lebih panjang, ia mengangguk dan mengangkat bahu. Tia lalu keluar membawa obat dan perban linen yang digulung, menaruhnya di meja sebelah pie lalu mengobati luka-luka Fade. Tangannya sangat cekatan, lebih lihai daripada kemampuan Fade mengobati luka Damar. Dengan cepat untaian perban menutupi luka Fade. Tia lalu mendekati Hans, namun Hans menolak. “Aku akan mengobatinya sendiri,” kata Hans, angkuh. Tia sangat kelas dan meringis. Berdiri meninggalkan Hans dan masuk ke dalam rumah untuk menenangkan dirinya yang emosi. Hans menatap Garreth dan Fade yang tidak bergeming. Hans lalu beranjak dari sandaranya dan berkata, "Aku sangat berterima kasih kau mengizinkan aku untuk tinggal. Aku akan masuk untuk tidur, kurasa tidak ada yang perlu aku tanyakan dan bicarakan lagi saat ini.” Fade mengangguk setuju, tubuhnya serasa remuk dan tidak bertenaga. Kejadian hari ini terlalu sulit untuk dilalui baginya. Fade lalu segera masuk ke dalam rumah Garreth, dia berbaring di sebuah ranjang berukuran tubuhnya yang tergerai di ruangan tengah. Ranjang itu cukup empuk dan nyaman meskipun perasaannya sedang tidak enak. Tanpa pikir panjang, dia memejamkan mata, berharap melalui hari esok tanpa menemui masalah yang aneh. Prajurit Elit Gallardian
Fade terbangun di tepi kesadarannya sewaktu
Garreth mengguncangkan tubuhnya dan berkata, “Apa kau terbiasa bangun kesiangan?”. Fade mengangguk tidak setuju, ia melihat di sebelahnya tertata potongan- potongan roti berselai nanas dan sebotol gelas berisi susu. Fade mencoba mengamati sekitar ruangan sebelum akhirnya dia mengambil satu potong roti dan mulai menelannya. “Apa aku tertidur cukup lama?” “Ya, Seperti orang pingsan,” kata Garreth mencibir. Aline kemudian datang dari dapur membawakan sebuah kain hangat, lalu mengelapkan kain itu ke sisi muka fade yang lebam dengan penuh kelembutan. “Terakhir kulihat anak Garry bertengkar ketika dia melihat adiknya diganggu oleh penghujat di Norburry, itupun sewaktu mereka masih kecil!” kata Aline kecewa. “Maafkan aku, aku tidak berniat saling melukai,” kata Fade bersalah. “Simpan maafmu untuk keselamatanmu, apakah hal itu cukup bijak dilakukan dengan partner berburu kalian?” suaranya terdengar lembut, tetapi berisi kemarahan yang tertahan. “Tidak sama sekali, Hans memiliki ambisi yang kuat, semua prospek yang dia impikan mampu mengalahkan ketenangan dalam tubuhnya. Perbincangan kami buntu dan begini akhirnya,” kata Fade menjelaskan. “Aku mengerti tentang keputusan Garry untuk membawa dan mendidik kalian menjadi seorang pemburu. Memikirkan bagaimana kakakku yang keras kepala, memilih hidu bersama para penjerat dan pemburu Pine, dan akhirnya mengasuh anak tanpa seorang istri, cukup membuatku kuatir melebihi para kuda yang kelaparan,” kata Aline menegang, dia kemudian menaruh handuk dan duduk di sebelah Fade dan menatapnya dengan serius. “Apa kau yakin dia partner yang tepat?” Fade menelan ludah, sesaat ia tertegun dengan pertanyaan Aline. Pertanyaan itu harus dijawab dengan berbagai pertimbangan yang logis. Dia kemudian mengambil lagi satu potongan roti untuk membantunya berpikir. “Aku tidak tahu.” Jawaban itu mengecewakan Aline, tetapi Aline masih mencoba bernapas dan menghela napas. “Pikirkan baik-baik, sudah hampir satu tahun kalian kehilangan Garry. Aku yakin, bahkan kau sendiri tidak ingin Damar terancam dengan kebuasan partner kalian sendiri. Kalian adalah pemburu tangguh di Pine, piawai untuk menaklukan buruan liar. Tapi tidak dengan manusia dengan hasrat seperti harimau dalam dirinya, terlebih dia adalah orang yang dekat denganmu.” “Aku mengerti, akan kupikirkan baik-baik,” balas Fade pelan. Lubuk hatinya setuju dengan semua yang Aline katakan. Sewaktu itu Garry memberi tahu tentang seorang pria yang menitipkan dua anaknya, Aline dan Garreth hendak mengambil hak asuk Damar dan Fade. Tetapi Garry menolak, mereka bertengkah hebat dan berdebat, hingga akhirnya Garry membawanya ke pinggir Pine. Mencoba membesarkan dengan segala pengetahuan sederhana yang dia miliki. Fade tampak curiga, dia bisa melihat jelas lokasi matahari di luar jendela bundar kecil. Dia menepuk jidaknya kecewa, rupanya dia tertidur hingga siang bolong. Fade bangkit dan melihat keadaan lalu berkata, “Tia tidak ada?” “Tia pulang tidak lama kau tertidur, Luke pasti murka apabila gadis itu tidak kembali setelah tengah malam,” kata Garreth sambil melahap roti-roti yang dipersiapkan untuk Fade, Aline menepak tangannya hingga roti itu terjatuh dan memelototinya. “dan.. Hans?” Garreth tertawa terbahak, “Itulah mengapa tertidur lama tidak baik bagi kesehatanmu, kau lupa tentang pengumuman prajurit? Saat fajar tiba, Hans sudah terbangun dan memakan banyak kue cherry milikku, tanpa berkata panjang dia pamit menuju pusat desa.” “Dia tidak berniat mengajakku?” “Jangan salah paham, aku sudah menanyainya, tapi Hans tidak tertarik dan membiarkanmu tidur. Lagipula apa kau tertarik dengan prajurit-prajurit bodoh itu?” “Aku akan menemuinya untuk memastikan sesuatu, lagipula kami harus kembali ke pine, Damar mungkin sudah menunggu kepulanganku,” Fade berkomentar. Garreth mengangguk setuju, Fade lalu mencuci mukanya dengan aliran yang mengalir melalui batang bambu yang di belah setengah. Setelah itu, Aline memberinya sebungkus bekas roti isi daging, Fade menunduk berterima kasih. Hatinya berkata ingin berlama-lama berbincang dengan Garreth dan Aline. Tapi kerinduan itu dikalahkan oleh kekuatirannya terhadap Hans. Terlebih kehadiran bangsawan di Norburry dapat memicu ambisinya yang sudah terkurung dalam penjara di hatinya. Apabila bangsawan itu mengumumkan sesuatu penawaran yang layak atas keturunan bangsawan, Fade yakin hal itu cukup menghancurkan gembok ambisi milik Hans. Sewaktu Fade sudah tiba di pusat desa, orang- orang banyak berkumpul. Masing-masing orang bersuara dengan suara bisikan yang sulit dimengerti. Kumpulan itu cukup rapat, seolah semua kesibukan desa terpusat pada satu titik temu di pelataran. Anak-anak dipaksa diam oleh orang tuanya dan yang lainnya berdiri gelisah. Mata Fade menajam curiga ketika di sisi kumpulan orang-orang desa berdiri beberapa orang prajurit dengan baja kokoh yang bersinar memantulkan sinar siang. Salah satu prajurit mencengkram sebuah tongkat kayu panjang berukuran dua kali tubuhnya, di atasnya terkait sebuah kain besar dengan simbol dua pedang panjang yang disilangkan. Kain itu berkobar- kobar bergelombang mengguncang simbol di tengahnya, Prajurit itu mencengkram dengan wajah bangga. Tampaknya sesuatu yang benar-benar penting akan di umumkan, tapi cukup mustahil melihat prajurit itu kebanggaan kerajaan Gallard menginjakan kakinya di desa kecil yang miskin seperti ini, pikir Fade. Fade melirik waspada, mencari keberadaan Hans, tetapi kumpulan orang di depannya menyulitkan pencariannya. Fade merasa terdesak dengan sekumpulan orang yang bersemangat, dia mencoba membelah sekawanan orang didepannya, mencari sudut pandang ideal untuk menerawang sesuatu yang menjadi perhatian orang-orang. Semakin waktu berjalan orang itu semakin rapat dan bersorak ketika di atas panggung kayu di tengahnya. Fade seperti kehabisan napas, samar-samar orang-orang marah karena saling berdesakan, tetapi ada yang tidak perduli dan terus bersorak. Sejenak mereka diam ketika suara lalu-lalang prajurit berjalan berarak menaiki panggung. Suara gema terdengar bergemuruh saat hentakan boots prajurit berderak beriringan, lengkap dengan berdera kerajaan yang berkobar. Di tengah kumpulan prajurit yang berbaris rapat, berdiri seorang penunggang kuda berjubah lebih lengkap dari prajurit lainnya, ia berjalan dengan kudanya, menuntun dengan penuh kewibaan. Rambut keemasan pria itu tergerai panjang sampai ke bahu, tatapannya sejatam tombak dan wajahnya lancip penuh ketegasan. Cukup membuat gadis desa yang menatapnya berteriak dan berhalusinasi. Pria itu menunggang kuda yang diselimuti zirah keperakan seperti sisik perak yang berdayun. Di pinggangnya tergantung pedang panjang yang berselimut emas murni dan berbagai permata berwarna yang tidak perlu. Sewaktu pria itu turun dari kudanya, prajurit menghentakkan tombak-tombak bermata perak ke tanah hingga menggema, lalu memecah barisan hingga membuka jalan untuk pria itu. Di hadapannya berdiri puluhan orang yang bersorak ribut, ada yang mencaci, dan ada yang kagum atraksi barusan. Pria itu mengangkat tangannya tinggi memberi sinyal untuk diam, tetapi orang-orang masih bersorak tidak wajar. Pria itu mencoba tersenyum dan mengangkat tangannya lagi, melambai dan menunduk, yang lainnya masih enggan untuk tenang. “DIAM!” teriak suara serak yang berasal dari salah satu prajurit yang berbadan besar, urat tangannya mencuat seperti akar pohon yang berumur ratusan tahun. prajurit itu berteriak seperti orang sinting, dengan satu tarikan napas. Suaranya membuat orang-orang menutup telinga. “Beliau adalah Virlius, salah satu dari lima prajurit elit Gallardian, salah satu dari pelindung utama Keluarga Raja Helbert, dan bangsawan mulia Gallard. Kehadirannya disini membawa maksud yang baik untuk kepentingan desa, setiap kata-katanya dibutuhkan untuk saat ini dan kedepannya,” lanjut prajurit yang berbadan besar dan kekar. “Drael tidak bermaksud begitu,” kata Virlius lembut, menenangkan orang-orang yang ketakutan. “Sudah semenjak beberapa dekade, wilayah Norburry menjadi wilayah yang tidak tersentuh oleh Raja Helbert. Norburry, dengan berbagai potensi dan sumberdaya, luput dari perhatian kami di Selatan, Aku akui itu merupakan kesalahan yang sulit diterima,” kata Virlius, ketenangan mewarnai suaranya. “Raja Helbert dengan penuh pertimbangan, berdasarkan rundingan dari penasehat-penasehat terpercayanya, memutuskan untuk diberlakukannya peraturan baru yang saat sebelumnya luput dari perhatian.” Orang-orang bersorak tidak setuju, menurut mereka, kedatangan pihak raja dan bangsawannya di sini justru berpotensi untuk memperbudak Norburry dan memperkaya sumberdaya Gallard. Penduduk Norburry sudah kehilangan kepercayaannya sejak beberapa tahun lalu, sewaktu daerah ini menjadi zona bebas tanpa perintah dari Raja Helbert. Mereka membangun desa dari usaha dan kerja keras sendiri. Membangun jalinan perekonomian melalui pedagang nomaden melalui hasil pertanian ternak dan perburuan di Pine. Semenjak itu, penduduk enggan untuk berhubungan dengan pihak kerajaan, karena mereka dinilai tidak mampu memperhatikan wilayah terpencil Norburry dari bahaya dan kemakmuran. “Kami tidak menerima pajak!” bantah seorang tukang jagal. “Jika itu yang kau inginkan, maka pergilah! Kami mempunyai parang dan garpu jerami untuk mengusir kalian!” Situasi beralih memanas, yang lainnya mengangguk setuju dan berganti tatapan kepada Virlius dan prajurit lainnya. Tidak lama Virlius menyampaikan pidatonya orang-orang tersulut emosi. Para prajurit menggenggam senjata yang tergantung di pingganya. Memastikan tidak ada tindakan tidak wajar dari emosi para penduduk yang tidak terkontrol. Virlius menanggapi dengan senyum yang tipis, ketenangan terpancar di wajahnya seperti sinar rembulan. Dengan sigap dia memberi aba-aba pada para prajurit pengawalnya yang nampak waspada dan siaga. Prajurit itu menuruti Virlius. Dia menarik napas panjang dan mulai menyambung, “Saat ini, Raja sedang melakukan pemerataan pengawasan di wilayah Norburry dan suaraku akan mewakili suara Raja Helbert. Dalam beberapa hari kedepan, Gallardian akan membangun tenda dan pos tidak jauh dari Pine, pihak raja menyadari kesalahan fatal kami. Oleh sebab itu,kami membawa banyak persediaan dan sumberdaya yang dengan mudah akan kami bagi sama rata. Masing-masing kepala keluarga akan mendapatkan satu kantung gandum, dan satu ranjang penuh sayuran dan beberapa ternak.” “Semua gratis?” kata seorang wanita salah satu penonton. “Tentu, semua mewakili keseriusan Raja helbert untuk menata dan mengolah pemerintahannya menjadi lebih baik, dan tidak ada pajak ataupun konpensasi yang kalian bayarkan kepada pengawalan kami,” Virlius menjelaskan. Raut gembira terpancar dari wajah-wajah penduduk yang tersenyum. Seorah jawaban itu memberi angin segar di tengah-tengah terik yang membanjiri pelataran. “Ada hal lain yang menjadi perhatian dari Raja Helbert,” lanjut Virlius, yang lainnya mendengarkan dengan wajah menegang. “Wilayah Norburry yang sebelumnya tidak menjadi perhatian raja, rentan akan serangan morgul dan wildster, kami sudah memastikan pergerakan morgul di daerah pegunungan Goldur yang berjarak tidak jauh dari kerajaan gallard.” “Bahkan, sewaktu kami menuju kesini, kami sudah membunuh sekawanan morgul yang beristirahat di daerah hutan Qeston. Mengingat, keadaan semakin kacau balau seiring dengan perkembangan kekuatan infantri morgul di wilayah barat yang sulit ditebak. Raja menduga, ada dalang di balik pergerakan morgul yang semakin gencar akhir-akhir ini.” Semua penonton bergidik ngeri mendengar nama morgul, suatu mahluk kuno yang galas dan berwata merah, mulai menginjakkan kaki di tanah berbalut rumput hijau. Meski pengetahuan penduduk Norburry tentang wilayah luar tidak sebanyak kota dengan perlindungan Raja Helbert, tapi mereka sangat paham tentang kengerian morgul. “Hal itu yang menjadi fokus utama Raja saat ini. Memang, sangat sedikit sejarah yang menjelaskan tentang perang berdarah yang terjadi antara kaum elf, manusia dan morgul. Semenjak raja kegelapan Zenoth, sang enchanter jahat penunggang naga iblis Baldarog, Zenoth dimusnahkan oleh aliansi tiga bangsa. Raja resah karena itu bukan menjadi jaminan kita sudah mencapai kedamaian seutuhnya. Para pelayan setianya bahkan masih belum diketahui keberadaan saat ini.” “Raja sadar kesalahannya dan merasa kita sudah memasuki era kedamaian dan hidup dengan membangun visi dan misinya di wilayah masing-masing. Tapi, kami ragu itu akan bertahan lama. Semakin manusia cenderung lalai dengan kedamaiannya, kaum lain semakin kuat dengan pasukan dan pedangnya yang terasah.” “Kami menghindari kemungkinan terburuk dari yang sangat buruk, wilayah Norburry adalah wilayah terabaikan yang berada jauh dari pusat-pusat kekacauan di Westeria. Tetapi justru, itu dapat menjadi kelemahan Raja itu sendiri, Raja tidak tau sejauh apa perkembangan morgul saat ini dan ada kemungkinan mereka akan melakukan ekspansi terhadap wilayah yang luput dari perhatian raja.” Orang-orang mulai merinding, butiran-butiran keringan mulai membanjiri kening mereka yang gundah. Akankah sejarah terulang lagi? Perang besar yang melibatkan kaum-kaum besar di Westeria dan juga wildster. “Hal terakhir yang akan kusampaikan kepada kalian adalah suatu kesempatan yang akan membuat kehidupan kalian berubah,” sejenak Virlius diam, memandangi ekspresi dari penonton. “Raja mendapat informasi tentang adanya salah satu bahaya yang mengincar Norburry melebihi keberadaan morgul itu sendiri, dan di sinilah peran kalian sangat di butuhkan oleh kerajaan. Sumber dugaan bahaya itu terdapat di dalam Hutan Pine.” Mata saling bertatapan antar orang-orang yang sibuk berpikir. Perasaan mereka seakan terkoyak oleh kenyataan dari sebuah informasi yang di bawa oleh bangsawan kerajaan. Semua berita datang bagaikan hujanan anak panah yang terhempas dari semak belukar yang rimbun, menancap di benak ketidak tahuan yang berujung sakit. Salah seorang tampak ketakutan dan meninggalkan kerumunan. Beberapa sadar tentang bahayanya prospek ini karena tidak seorang pun para petani dan peternak yang terlatih dalam urusan pertempuran. Keadaan menjadi semakin tidak kondusif ketika seseorang dengan janggut tebal menyela, “jadi kalian akan mengorbankan kami?” “Salah!” jawaban Virlius penuh keyakinan, “kalian akan bertindak sebagai pahlawan di bawah bendera kerajaan Gallard. Sebuah informasi penting datang dari salah seorang elit Gallardian bernama Thrall, melalui mata-matanya yang bergerak di wilayah Eclorian, dia berhasil menyadap percakapan dari Uzieg, salah satu pelayan terkutuk Zenoth. Kabar tersebar secepat hembusan angin, berita itu menyebutkan adanya pencurian sebutir telur dragona atau naga oleh seorang penyihir yang berasal dari kaum pemberontak kerajaan.” Mendengar kata naga, banyak orang ternganga tidak percaya. Mereka semua diberi kisah tentang kepunahan naga penghuni Westeria sejak perang berdarah antara tiga kaum. Naga terakhir dinyatakan punah bersama mayat raja kegelapan Zenoth di tanah kematian Dura, seiring dengan lenyapnya elf di hutan pedalaman Ocadena “Sebuah perintah besar ini akan di mulai saat ini, melalui surat kuasa dari Raja Helbert putra dari Ambert, raja di bawah kerajaan emas Gallard. Raja akan menghadiahkan bagi siapapun yang berhasil menemukannya sebutir naga curian penyihir itu di hutan Pine!” teriak Virlius membara. Suara Virlius cukup membuat para penontonnya terbelalak, termasuk Fade yang mengamati. Seorang pemuda mengangkat tangannya, menginterupsi perkataan politis dari Virlius, dia adalah Hans. Virlius menatap wajahnya dari kejauahan, tatapan Hans pun sama tajamnya seperti mata tombak yang berkilau. Sejenak waktu seakan berhenti, lalu Hans berkata,“Apa imbalan yang pantas untuk penemuan itu.” Virlius bangga dengan keberanian Hans, Dia kemudian memalingkan pandangan dan melihat ke arah seluruh wajah depan penonton di hadapannya yang menegang. Virlius lalu mengusap keringan yang menetes dari atas kening rambut emasnya yang berkilauan dan berkata, “10.000 gold dan jabatan khusus sebagai komandan prajurit Gallardian, tepat di bawah satu tingkat dari prajurit elit Gallardian. Dalam kata lain, Jasanya bernilai sangat tinggi dan membanggakan keluarga dan desanya. Orang itu akan berjuang bersama prajurit atas nama Raja Helbert dan menemukan penemuan penting yang berpotensi sebagai ancaman Westeria. Jabatan itu adalah kehormatan yang pantas untuk seorang ksatria, dan kerajaan pun akan memberikan kehidupan yang layak di balik istana emasnya di Gallard.” Hampir semua mulut penonton menganga, tubuh mereka seakan membeku oleh kalimat-kalimat penuh penghormatan yang dijanjikan Virlius. Suatu imbalan besar bagi seluruh kebutuhan yang diperlukan selama setahun penuh. Uang itu mampu membeli desa itu beserta isinya sekalipun, banyak diantara mereka menimbang kemungkinan terburuk yang terjadi apabila mereka ikut andil dalam misi pencarian telur naga itu. Beragam pikiran muncul dari setiap benak penduduk yang berdiri menyaksikan, mereka membayangkan kekayaan-kekayaan yang di dapat setelah telur itu ditemukan. Tapi apakah benda yang dicari itu masih berupa telur? Meskipun Virlius mengatakannya dengan penuh keyakinan, tidak ada satupun bukti dari pembenaran atas perkataannya. Telur itu bisa saja sudah menjadi seekor naga yang meliuk-liuk di balik semak dan pepohonan pinus di Pine. Mungkin saja sekarang sudah sebesar lumbung gandum yang mampu mengunyah tubuh manusia dengan mudahnya. Cakarnya saja mungkin sudah sebesar pahat baja. Disatu sisi mereka membayangkan kesejukan dan keindahan kekayaan dan kemakmuran dari imbalan barusan, tetapi sisi lainnya memberikan tekanan dan sayatan yang jauh lebih besar. Semua masuk akal, imbalan yang tidak masuk akal sepadan dengan resikonya. Banyak diantara mereka mulai sadar akan resiko kematian yang tidak terduga dihadapannya. Apabila naga itu tidak berbahaya, sayembara itu tidak akan di umumkan semudah ini oleh Gallardian. Itu sebabnya mereka lebih memilih menumbalkan rakyat kecil dengan iming-iming segudang emas dan tahta. Itupun hanya seorang. “Jika kalian bersedia, tetap berdiri di tempat kalian berdiri, dan apabila kalian belum merasa siap dan layak atas imbalan itu kalian dapat meninggalkan tempat ini, mulailah kembali pekerjaan yang kalian kerjakan seperti biasa,” kata Virlus tidak memberi jeda. Orang-orang mulai berbisik, ada yang bimbang dan ketakutan, mereka saling mengangkat bahu dan enggan untuk ikut, membayangkan nama Pine saja sudah membuat perutnya melilit, ditambah lagi dengan adanya telur naga. Semua Informasi itu simpang siur, jika memang hanya telur saja yang dibutuhkan, prajurit tidak akan serepot ini. Beberapa diantaranya saling berdebat, meributkan hal antara kekayaan dan kematian. Selama sepuluh menit berlalu, satu per satu penduduk meninggalkan pelataran dengan prinsipnya masing-masing, menurutnya prospek seperti itu tidak sebanding dengan resiko yang seolah menghunus tubuh mereka bagai pedang. Selain itu, mereka masih belum mendapatkan kepercayaan dari Raja Helbert sepenuhnya. “Hentikan ambisi gilamu,” kata Fade yang berdiri di belakang Hans. Mereka berdua membeku dalam keramaian berkurang sedikit demi sedikit. “Aku tidak memaksamu menghentikanku, Virlius memberi kesempatan untuk para pengecut pergi dari sini,” katanya sambil menoleh kepada Fade dan menatapnya tajam. “Bukan itu,” kata Fade terhenti, “Apa kau mempercayai kata-katanya begitu saja?” “Jadi imbalan itu ilusi yang terucap di bawah alam sadar dia?” kata Hans mencibir. “Well.. Bukan soal harta dan tahta yang dijanjikan. Semua tentang bahaya yang tidak mereka sebutkan,” Fade mencoba sabar. “Kita belum tau sudah sampai mana perkembangan telur itu, lagipula apa menurutmu seekor telur datang tanpa adanya seekor induk? Memang, imbalan yang dijanjikan sangat besar, tapi apakah Virlius sudah menyebutkan semua informasinya?” “Kenapa aku harus peduli?” “Tentu kau harus peduli, mereka akan menjadikan kau sebagai tameng Gallardian untuk sesuatu hal yang mereka cari, ya! Mereka cari!” Hans membisu tidak menanggapi Fade dan memalingkan wajahnya. Pandangannya terfokus pada sekumpulan prajurit di depannya yang masih menunggu orang-orang yang menyerah. “Sepenting itukah tahta bangsawan untukmu? Berpikirlah dengan jernih tentang prospek manis ambisimu!” kata Fade geram. “Kebenaran itu masih belum banyak terungkap, terburu-buru seperti ini akan membunuhmu sebelum kau mencapai ambisi itu, percayalah ini terlalu berbahaya.” “Kenapa kau tidak memperjelas bahwa kau ingin menghalangiku dengan wajah menyedihkan seperti itu seperti wajah adikmu,” balas Hans mencibir sombong. Fade mengigit bibirnya, darahnya serasa mendidih dan cukup untuk membuat otot-otot tangannya menegang. Sebuah kepalan keras melayang di antara udara yang memisahkan kedua tubuh Fade dan Hans. Satu pukulan telak menghantam pipi Hans dan membuatnya terhempas dan tersungkur. Hans menatapnya dengan penuh kebencian, darah hangat mengalir dari ujung bibirnya dan menetes melalui dagunya. Pukulan itu adalah pukulan terkeras yang pernah dia rasakan, pipinya seperti dihujam tongkat besar dan rasa perih yang menyengat seperti tusukan paku di sela gusinya. “Jadi itu yang kau mau,” kata Hans mencoba bangkit dan menepuk pinggangnya yang berdebu. Hans bergerak lincah menyambut Fade yang masih bersiaga mengepalkan tangan, dan melepaskan tinju balasan. Serangan itu mudah terbaca oleh Fade, dengan kesadarannya yang di balut emosi, Fade dengan mudah menghindari laju tinju Hans. Sewaktu Hans menyadari tubuh Fade kekurangan keseimbangan akibat hindarannya yang terlalu cepat, Hans menghujamkan tendangan telak ke perut Fade dan membuatnya kini terlempar lebih jauh dari Hans. Butiran debu melayang menyamarkan tubuh Fade yang berbaring di atas tanah berdebu. Orang-orang mulai bersorak senang. “Hentikan!” teriak Garreth, dia menyilangkan lengan besarnya di dada Hans yang ingin mengejar tubuh Fade yang berbaring kesakitan. cengkeraman Garreth sangat kuat, besar lengannya memang dua kali lebih besar dari lengan Hans. Hans meronta dan memberontak tetapi badannya tidak bisa melangkan sedikitpun tertahan oleh kekuatan Garreth. “Sudah cukup!” suara itu datang dari Drael, prajurit pengawal Virlius. Guratan otot-otot tubuh Drael terlihat seperti akar-akar tanaman. Menatap Hans dan Fade dengan tatapan seperti bison waspada. “Dia ingin menghentikanku dari misi pencarian telur naga!” kata Hans yang mulai berhenti meronta, lalu Garreth melepaskan cengkeramannya. Drael lalu memandang Garreth tepat di matanya, melihatnya seolah ingin membaca pikirannya. Garreth merasa mual dan mengangkat kedua tangannya dan mundur menjauhi Hans. Mereka berdua menyerah pada keadaan dan menatap Hans berdiri sombong. “Apa itu benar?” kata Drael memindahkan tatapannya ke arah Fade yang mencoba bangkit. Tatapan “Tidak, aku salah orang,” kata Fade, berpura-pura sabar. “Bagus, dan apabila kalian tidak ada keperluan lagi, kalian bisa kembali bekerja seperti yang lainnya,” kata Drael memastikan, Drael menatap Fade tanpa berkedip. “Untuk semua yang masih berdiri di sini, menunggu untuk mengubah nasib dirinya dan keluarganya menjadi lebih baik, silakan berkumpul mendekat!” teriak Virlius dari kejauahan. Para penduduk desa berbisik ramai dengan wajah kebingungan. Mereka pelan-pean bergabung dengan para prajurit di dekat Virlius. Drael pun berjalan meninggalkan Fade, Garreth dan Hans yang membeku. Hans tersenyum tipis dan menggelengkan wajahnya dua kali merasa menang. Dia lalu berbalik arah dan meninggalkan Fade dan Garreth tanpa berkata apa-apa. “Dasar bocah sinting!” caci Garreth. “Ambisinya sudah mengalahkan akal sehatnya.” “Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” Fade bangkit dan meraba dadanya yang terasa sakit, ia kemudian meludahkan darah dari mulutnya. Sejak tadi darah itu terasa seperti besi berkarat yang memenuhi mulutnya. Fade mengangkat bahu dan berkata, “entahlah, aku akan kembali ke Pine besok, sepertinya malam ini aku harus menumpang lagi di tempatmu Garreth.” Tawa lebar tampak di wajah Garreth, dia mengangguk lalu berjalan meninggalkan pelataran Norburry, mengacuhkan berbagai suara-suara menggema dibelakangnya. Menurut Fade keputusan Hans berada pada posisi yang sulit untuk diterima dan juga sulit untuk ditolak. Dia dan Fade sama-sama memiliki kisah hidup yang sulit dan Fade tidak ingin terlalu ikut campur dengan permasalahan dalam dirinya. Kesintingan apapun yang sudah menguasai dirinya kelak akan menjadi bumerang untuk masa depannya. Kenapa aku harus berpikir sampai sejauh itu? Apabila memang hutan Pine memiliki suatu bahaya besar yang mengancam kerajaan, Damar harus segera mengetahui tentang kebenaran itu. Mereka adalah pemburu dan selalu menjadi pemburu. Fade merinding, membayangkan bahwa telur naga itu sudah menetas menjadi naga yang lebih besar dari pondoknya. Mengintai di balik perbukitan dan terbang melayang-layang di atas tajuk pohon. Menerkam segala jenis pemburu di hutan Pine tanpa menyisakan tulang belulangnya. Semoga Damar baik-baik saja, pikirnya. NALURI SEEKOR NAGA
Sudah hampir empat jam lebih Damar
menghabiskan waktunya bersama naga itu di gua. Kebanyakan waktu itu terkikis karena usahanya yang luar biasa untuk mengajaknya keluar dalam Goa. Kali ini Damar datang dengan sekantung daging rusa potong pemberian Alazar hari lalu. Dengan hati-hati Damar menyodorkan spotong daging itu ke depan mulut naga yang memperhatikannya dengan heran. Naga itu mengendus dan kemudian mematukkan mulutnya menyambar potongan daging itu bagai ular. Damar yakin daging itu langsung melewati tenggorokannya tanpa dikunyah terlebih dahulu. Tidak lama naga itu mendekati tungkai sepatu kulit Damar dan menyodok-nyodokkan tandung kecilnya, meminta makanan lagi. Potongan daging itu cepat sekali habisnya ketika Damar tidak menghitung berapa banyak potongan yang sudah dia sodorkan kepada mulut naga itu. Saat Damar meraba kantung kecilnya, dia menyadari dagingnya tinggal sepotong. Naga itu terlihat malas dan merangkak di sekitar Damar yang berjongkok. Ketika Damar menyodorkan potongan terakhir, naga itu enggan melirik dan membuka mulutnya terpaksa, kali ini dia mengunyah tampak suram. Setelah kenyang, naga itu mendengus dan merayap naik ke bahu Damar, melilitkan setengah tubuhnya ke leher belakang Damar, seperti seekor kadal yang telah jinak. Awalnya Damar ketakutan, tetapi terbiasa dan kegelian. Dia bangkit dari jongkoknya dan berjalan meninggalkan Goa. Mencoba lagi percobaannya untuk membawa naga itu keluar dari goa. Kalau aku gagal naga ini akan menggigit leherku dan memberikan luka yang tidak kecil, tapi kalau berhasil aku akan membawanya jalan-jalan ke atas bukit, pikir Damar ragu. Sewaktu Damar sudah di mulut Goa, Naga itu bergetar ngilu. Getarannya cukup terasa hingga membuat Damar merinding. Sesekali Damar berhenti mengamati apakah naga itu akan mengigitnya. Sebelum melanjutan lagi langkahnya keluar goa, Damar diam sejenak. Di luar, cahaya kekuningan terang membanjiri padang rumput yang terbentang didepannya, seolah tidak ada awan yang menggantung yang membiaskan cahaya matahari. Siang hari ini lebih cerah dari hari-hari sebelumnya, kondisi ini merupakan kondisi terbaik untuk berburu, tetapi Damar masih asik dengan naga itu yang sekarang mendekap di leher belakangnya. Sewaktu cahaya itu menyentuh sisik naga perak itu, cahaya berpendar seperti mutiara berkilauan yang di bentuk pipih menyerupai sisik. Menyebarkan cahaya kekuningan menjadi keperakan dengan konstelasi yang mutlak.Damar tertegun, kesadarannya di uji ketika dia berkali-kali meyanggah bahwa sesosok naga kecil meringkuk di punggungnya sedang menikmati cahaya siang. Tepat pada saat ia mengira naga itu sedang tidur karena kekenyangan, ia segera menjauhi goa itu dan berjalan dengan sigap. Berkilo-kilometer dilaluinya dengan kegembiraan atas temuannya hingga Damar tiba di kaki bukit di kedalaman hutan Pine. Logikanya yang sederhana menyebutkan bahwa mungkin orang tua dari naga itu hidup disalah satu bukit yang tumbuh di sisi-sisi kedalaman hutan Pine. Bagaimana mungkin induknya bisa melewatkan seekor telur yang tersasar di dalam goa yang jauh dari ketinggian manapun di Hutan Pine. Kali ini Damar optimis, apabila dia menemui induk naga itu, dia merencanakan sedikit pembicaraan dengan induk naga itu. Meskipun terdengar cukup gila, Damar harus memastikan kemampuannya sebagai Enchanther sungguhlah benar. Mungkin dia bisa bernegosiasi dengan induknya, atau sang induk akan memberinya hadiah atas kembalinya anaknya yang hilang. Sedikit informasi tentang kawanan rusa sudah cukup baginya. Selama beberapa jam berikutnya cuaca semakin dingin, cahaya megah perlahan berubah menjadi semburat merah kekuningan yang sayup. Udara mulai sedikit dingin dan kasar. Entah sudah berapa bebatuan yang didaki Damar bersama naga yang tertidur pulas di bahunya. Hebatnya Damar tidak merasa kelelahan, dia merasa sangat luar biasa dan bertenaga. Jauh di bawah sana Damar mendengar desis Sungai Raen yang beradu dengan batu. Sungai itu tidak pernah beristirahat, gumamnya. Jalan setapak menanjak membawa Damar menuju area hutan yang mulai miskin pohon, di hadapannya terbentang hutan Pine yang luas terbuka bagai selembar kertas papyrus yang di lukis dengan warna kehijauan. Agak jauh di arah tenggara, terdapat bangunan-bangunan kecil kecoklatan dengan asap putih kecil membubung. Damar memperkirakan ukuran bangunan itu hanya sebesar biji kacang hijau, itupun bangunan yang terbesar. Sungai Raen juga tampak meliuk-liuk memecah tajuk hijau lebat dari Hutan Pine, berujung di sebuah daratan yang tertutup oleh deretan pegunungan Helmaer. Sambil menikmati puncak bukit itu, Damar mengawasi sekelilingnya berharap melihat induk sang naga sedang terbang mencari makan ataupun menikmati udara sore hari. Sejauh matanya memandang, tidak ada seekor pun naga yang terlihat melintas di langit Norburry, hanya sekumpulan burung gagak dan rajawali yang berputar- putar di atas Pine. Ini gila, kalaupun ada Naga para pemburu pasti sudah memburunya dengan uang imbalan yang besar, pikirnya. Damar diam sejenak, perutnya lapar dan dia memakan bekal roti daging yang dia bawa sejak meninggalkan pondok kecil untuk menemui naga itu. Naga itu bergumam dan mengeluarkan suara geraman kecil dari tenggorokannya, karena kesulitan, Damar menurunkan naga itu kepangkuannya selagi dia mengunyah roti sandwinchnya. Sewaktu matahari mulai menghilang di tepi Horison dan memendarkan cahaya keunguan yang pudar. Damar menuruni bukit, mengetahui usahanya sia-sia atas simpulannya bahwa induk naga itu tidak ada di Pine. Damar menuruni bukit itu dengan cepat seperti seekor kancil yang melompat-lompat menghindari lubang. Begitu Damar tiba di mulut goa, dia mengembalikan naga itu ke dekat mulut goa yang mulai dibanjiri cahaya bulan, membiarkannya menjulur turun meninggalkan bahunya yang ramping. Damar lalu memandangnya dengan sedih. Naga itu terdiam memandangnya dengan pupil hijaunya yang memantulkan cahaya bulan. “Aku akan kembali lagi ke sini besok, sepertinya aku akan mengajak Fade,” kata Damar sambil tersenyum muram. Tanpa pikir panjang Damar meninggalkan tempat itu dan beranjak menuju pondok kecil di pinggir Pine. Cahaya bulan semakin megah sewaktu Damar tiba di sisi jalan setapak pinggir Pine yang berbatasan dengan deretan hutan. Damar melirik waspada mengamati sekelilingnya dan mendapati bahwa semua penduduk pinggir Pine sudah berada di rumah sibuk dengan keluarganya masing-masing. Meskipun suara samar anak- anak yang ribut masih terdengar samar, menandakan waktu belum menunjukan tengah malam. Sewaktu Damar melangkahkan kaki menjauhi hutan dan menuju jalan setapak yang mengarah ke pondok kecil, bunyi derakan terdengar samar dibelakang semak hutan, karena curiga, Damar memeriksa untuk memastikan dirinya aman sampai ke rumah. Mata Damar terbelalak dan tubuhnya terlonjak ketika menyadari naga itu ada di balik semak. Mengikutinya dari goa menuju desa pinggir Pine. Damar terperangan dan menggaruk rambut coklatnya yang lusuh. Kebingungan dan juga kagum, Apakah dia telah mendapatkan kesetiaan naga kecil itu? Naga itu masih bersembunyi di balik semak seolah tidak menyadari dirinya telah did ekati Damar. Sewaktu damar membuka sesemakan dengan kedua tangannya, naga itu menguik dan mengepulkan asap kecil dari cuping hidungnya. Damar tidak mengerti maksud dari naga itu tetapi dia bisa merasakan energi kegembiraan yang terpancar dari naga itu. “Aku bisa saja membawamu ke pondok, tetapi tidak menjamin apa yang akan terjadi padamu kalau sampai Hans melihat dirimu,” katanya sedih. “Kau bisa di jual.” Naga itu muram, dan melompat-lompat. Tidak lama dia menggelayut dan bertengger di bahu Damar, seperti seekor iguana kecil yang manja. “Aku akan memastikan kau tidak melakukannya setelah kau tumbuh dewasa, cakarmu cukup untuk mengoyak bahuku,” Damar sambil tertawa. Damar sekali lagi memastikan tidak ada orang yang melintas di jalan setapak kecil selebar dua kaki itu. Dia berjalan membungkuk menghindari jalan setapak dan merayap perlahan seperti seorang pencuri, dngan naga yang bertengger gembira di pundaknya. Di kejauhan damar bisa melihat rumah Alazar, jendelanya bermandikan cahaya lilin yang kuning dan kepulan asap menggumpal di cerobongnya yang kecil. Aku yakin kalau pemburu tua itu tau tentang keberadaan dragona ini, semua akan menjadi lebih sulit dan merepotkan, katanya dalam benak. Pondok kecil terlihat gelap, Damar mengintip di balik jendela untuk mengawasi. Semua terlihat gelap dan tidak menimbulkan bentuk fisik apapun selain warna hitam, Fade dan Hans masih belum kembali. Damar lalu merayap menyusuri didin kayu pondok hingga ke pintu depan, dan membuka pintu kayunya secara perlahan. Pintunya bergoyang menderit pelan tanpa berdebum. Kemudian Ia mengambil lilin dan menyalakannya dengan pemantik api di sakunya, dan mulai menggantung lilin- lilin itu di dinding. Sewaktu lilin itu, hendak ia gantungkan di dinding, sontak sebuah cengkraman kuat mengait lengan kirinya di balik kegelapan malam. Dengan reflek yang cepat Damar berbalik arah, menguatkan pertahanan di segala sisi tubuhnya dengan indra penderangan dan perabanya di kegelapan ruangan. Siluet sesosok pria yang lebih tinggi sepuluh sentimeter berdiri di hadapannya seperti bayangan mengerikan. Entah apa maksud pria itu, damar mengarahkan cahaya lilin ke arah wajahnya, berharap mampu mengusir roh jahat yang mungkin menghantui pondoknya. “Kau kemana saja baru pulang?” Damar terbelalak saat mengenali suara itu, itu suara Fade, tidak lama setelah cahaya lilin menjelaskan semua yang ada di hadapannya. Fade melihat sesuatu yang bertengger di bahu Damar. Kadal? Tidak bukan, iguana? Fade mengusap matanya yang bodoh dengan wajah kecewa. Lalu membuka lagi dan melihat dengan jelas. Setelah menyadari seeokor naga perak yang bertengger tidak berselera melihat wajah Fade, dia terperonjak dan terhempas jauh hingga punggungnya menambak meja dan kursi. Jarinya bergetar hebat dan ngilu, menahan teriakan. “Apa itu, naga?” kata Fade dengan suara bergetar. “Benar, akan aku ceritakan, kumohon tenang,” kata Damar sambil mengangkat kedua tangannya menenangkan. “Jangan beri tahu Hans dulu, tapi kenapa kau pulang dan menetap seperti seorang pencuri? Mengurung dan mematikan semua lampu seakan ingin menyergapku?” “Aku akan menceritakan tentang Hans dan kesintingannya dia tidak akan kembali, semua itu berhubungan dengan mahluk yang berterngger di bahumu!” kata Fade mencoba tenang. “Aku kembali sejak sore tadi, melihat dirimu pergi lama dan tidak kembali kuputuskan untuk mengagetkanmu saat kau pulang, tapi siapa yang menyangka bahwa adikku pulang dengan membawa seekor naga buronan kerajaan? Apa dunia sudah semakin sinting.” “Ceritaku lebih rumit daripada yang akan pernah kau ketahui Fade, sementara kita harus menenangkan diri dulu, dan melewatkan malam ini. Aku lelah mencari induk naga ini dan tidak menemui setitik pun sosok induknya.” Fade menggangguk dan menelan ludahnya, ia setuju, dan mereka berdua masuk ke dalam kamar tidur. Di malam yang terasa panjang ini, Fade sulit tidur, beberapa kali ia terbangun dan mengawasi Naga itu yang berdiri dengan gagah di hadapan jendela memandang ke arah bulan. Takdir gila apa yang akan menghadapi mereka berdua dengan seekor naga kecil buruan kerajaan sekarang berdiri di pondok kecil milik dirinya dan Damar. KEJUJURAN PENYIHIR
Suama buk terdengar cukup kencang sewaktu
Naga itu mendarat di tepian meja untuk menangkap secuil daging rusa kering. Perut naga itu sudang menggembung kenyang dan hampir malas bergerak, tapi dia berusaha semampunya untuk menyambar daging terakhir dari lemparan tangan Fade. Fade membalasnya dengan tawa gembira. Seketika naga itu tenggelam dalam kenyangnya dan berguling seperti seekor kucing. “Baru malam lalu kau ketakutan dengan naga itu dan sekarang mempermainkannya,” kata Damar yang baru terbangun dan mengusap matanya. “Tidak semua hal yang ditakuti harus selamanya kutakuti, setidaknya semua berubah ketika dia membangunkanku dengan menjilati mataku,” kata Fade riang. “Jadi, kita bisa mulai bercerita tentang hal yang penting?” tanya Damar. Damar kemudian mengambil roti-roti kering yang terbalut daun jati dan mengunyahnya, mengamati kakaknya yang menggelitik leher naga yang kekenyangan dengan jari telunjuknya. Sekarang Fade yang tergoda akan keanggunan naga itu, pikirnya. “Ceritaku cukup mengerikan,” Fade sejenak terhenti dan mencoba duduk tenang. “Prajurit kerajaan emas Gallardian sudah menempati Desa Norburry, datang dengan kesombongan yang tidak dibuat-buat bersama dengan prajurit elit bangsawan tentunya.” “Prajurit elit? Yang kau maksud adalah bangsawan yang menyandang gelar komandan prajurit kerajaan?” kata Damar terperangah. “Tepat sekali, dia adalah Virlius. Semua perkataannya yang disampaikan di pelataran Desa Norburry menjurus pada kebaikan umat manusia dan penduduk Norburry, tapi semua itu tentu dengan maksud dan misi tersembunyi dari raja Helbert.” “Dan misi itu?” “Menemukan telur naga yang tersesat di hutan Pine, dengan kata lain, seekor wildster legendaris yang sudah dinyatakan punah sejak perang berdarah antara elf, manusia dengan Wildster,” Fade lalu menengguk segelas air untuk menenangkan dirinya dan melanjutkan, “Saat ini kemungkinan Raja Helbert menganggap wilayah Norburry adalah prioritas utama yang mengancam kedamaian umat manusia, jujur saja aku kurang percaya mendengar kata kedaiaman keluar dari mulut seorang raja yang tidak memperdulikan wilayah Norburry beberapa dekade ini.” “Jadi mereka belum mengetahui lebih dalam mengenai telur itu bahwa sekarang telah menetas menjadi ‘seekor’ dan bukan ‘sebutir’ lagi?” “Ya, belum sama sekali tahu.” “Apa yang terjadi dengan Hans?” Damar kemudian mengunyah rotinya lagi. Gigi Fade gemetar menahan amarah, dia menenggak air minum berkali-kali, “Hadiah yang dijanjikan Raja Helbert berupa sepuluh ribu gold, dengan jabatan pemimpin pasukan di bawah perintah bangsawan elit, atau bisa disebut sebagai tangan kanan bangsawan elit.” “Mengerikan, dan Hans tertarik?” “Aku sudah berusaha mencegahnya, terlalu bodoh mempercayai kata-kata kerajaan begitu saja. Bagaimanapun dia sudah sinting dan kami berkelahi, pada akhirnya aku membiarkannya menuruti ego bodohnya akan kekuasaan dan harta.” “Sepuluh ribu gold bukanlah jumlah yang sedikit Fade, bagaimana denganmu?” “Tidak, aku sama sekali tidak berniat menjalankan misi itu untuk uang, bagiku bukanlah uang hadiah yang aku kuatirkan saat mendengar tentang adanya telur naga di dekat tempat tinggal kita, tapi kemurkaan sesosok mahluk legendaris yang mampu menghancurkan Norburry dalam satu hembusan napas,” Fade menggaruk kepalanya, “Well, siapa sangka ternyata yang dicarinya adalah sekor naga yang masih kecil, bahkan seperti seekor anjing kecil yang gembira?” “Aku setuju, tapi apa yang harus kita lakukan selanjutnya, aku tidak memiliki rencana dan sama sekali tidak menyangka kerajaan emas akan memburunya seperti ini,” kata Damar kuatir. “Kita bisa bicarakan itu nanti, sebelumnya bisa kau ceritakan bagaimana menemukan naga ini?” “Ceritaku lebih rumit, dan berhubungan dengan apa yang ingin kuceritakan padamu sesaat sebelum kau ingin meninggalkan pinggir Pine untuk menjual kulit wildster itu, kau ingat?” “Ah! ya, aku ingat.” Damar menghembuskan napasnya pelan, “semua bermula ketika malam sewaktu wildster itu menyerang, aku seperti seorang yang sekarat, kesadaranku seolah terlepas dari mataku dan beralih menuju ruang benak di dalam kepalaku.” “Hmm, menarik.” Fade mengangguk. “Lalu aku mendengar sebuah suara, suara yang memenuhi kepalaku. Awalnya aku mengira itu adalah suara-suara ilusi yang mengantarkanku pada kematian, suara itu mengarahkan perhatianku menuju ke suatu hal di dalam goa, didekat kau dan Hans membunuh wildster itu,” keringat mulai menetes melalui dahi Damar. “Suara itu? Suara siapa?” tanya Fade penasaran dan juga takut. “Wildster,” jawab Damar merinding. “Kau sudah memastikan hal itu? Darimana asalnya informasi, kau harus berhati-hati.” “Alazar, seorang pemburu tua yang tinggal tidak jauh dari pondok kita, kau mengenal dia kan?” “Bah, bukannya dia hanyalah pemburu biasa yang sudah berumur?” Fade menyeringai. “Itu yang kurasa tepatnya sebelum kau tahu, aku pingsan dan tidak menyaksikan apapun pada malam itu. Ketika semua berlalu begitu cepat, kau pergi meninggalkan pinggir Pine menuju Desa Norburry. Suara-suara yang kudengar menggangguku dan meningkatan rasa keingintahuanku, Aku gelisah dan ingin menuju ke Goa itu lagi. Pada saat itu aku melihat Alazar menggotong rusa jantan besar seperti ayah muda yang menggendong seorang anak manusia berumur 3 tahun!” “Kalau begitu dia sangat kuat.” “Pada saat itu aku mengetahui tentang wildster- wildster itu, tentang nama mereka, prilaku dan sedikit sejarah tentangnya, melebihi cerita para pedagang nomaden.” “Apakah Alazar mengetahui tentang penemuan nagamu?” kata Fade curiga. “Sama sekali belum, ini pertama kalinya aku membawa naga ini ke pondok. Waktu yang kuhabiskan di hari-hari sebelumnya adalah memberinya makan dan mencari induknya,” kata Damar berusaha menenangkan. “Keadaan ini semakin menyulitkan kita. Aku tidak bisa menjamin sampai berapa lama prajurit Gallard akan menempati Norburry. Tidak lama mereka akan menyusuri hingga ke pinggir Pine dan mengetahui kebenaran tentang naga itu,” kata Fade begidik ngeri. “Secepatnya kita harus menemukan induk naga itu, mengembalikannya dan membuatnya menjauhi Norburry secepatnya.” “Bukannya itu lebih beresiko?” “Aku bisa mencoba untuk berbicara ketika kita melihatnya dari kejauhan, berunding untuk mengembalikan anaknya dengan syarat menjauhi daerah Norburry.” “Itu sama saja mengancam,” kata Fade tidak setuju. “Kita perlu meyakinkannya tentang bahaya dari wilayah Norburry, tentang pencarian naga oleh Raja Helbert akan rasnya yang langka dan berbahaya. Apakah kau melihat tanda-tanda induknya?” “Sama sekali belum.” “Hutan Pine sangat luas, seluas-luasnya mustahil pemburu tidak ada yang menyadari kehadirannya saat terbang melintasi tajuk-tajuk untuk mencari makan,” kata Fade cemas. Sejenak mereka berdua terdiam, kata-kata Fade terakhir mengambang diantara mereka berdua. Keduanya hampir putus asa karena buntu dan ketakutannya itu sendiri. Mereka takut akan terbongkarnya penemuan naga itu oleh para Gallardian, dan juga ketakutannya akan rencana-rencana buntu yang menyulitkan keadaan mereka berdua. Lain halnya dengan naga itu, masih melompat- lompat gembira menyusuri ruangan kecil di pondok. Mengendus-ngendus penasaran setiap sisi-sisi ruangan dan antusias terhadap semua benda yang tergantung di dinding-dinding kayu. Damar mencoba mencari solusi lain, mempertimbangkan segala kemungkinan, yang mereka butuhkan saat ini adalah informasi tentang naga. Hanya satu orang saja yang menurutnya sesuai untuk kualifikasi itu. “Kita harus menemui Alazar,” kata Dama putus asa. “Kau yakin?” “Dia tau lebih banyak tentang Wildster, kita bisa mendapatkan informasi tentang keberadaan induknya, atau mungkin dia bisa membantu kita menyelesaikan permasalahan ini. Tentunya aku tidak ingin naga ini membahayakan masa depan Norburry saat menjadi dewasa, tetapi aku juga tidak ingin kerajaan menangkapnya dan membunuhnya begitu saja. Mereka berhak hidup.” Fade mengangguk. Segala aspek pilihan memiliki suatu resiko, Fade setuju tentang pilihan itu. Saat ini mereka sama sekali tidak mengetahui apapun tentang Naga itu, dan pihak kerajaan dalam waktu yang diketahui dapat menjadi potensi bahaya yang lebih tinggi. Cepat atau lambar mereka akan menyisiri daerah pinggir Pine. Menginterogerasi semua pemburu dan menawarkan uang imbalan yang besar. Damar dan Fade juga tidak yakin mereka mampu menyembunyikan kehadiran naga itu lebih lama. Naga itu perlu makan dan dia makan daging lebih banyak daripada mereka berdua. Damar bisa saja menyembunyikan naga itu di balik keranjang atau kandang penjebak hewan. Tapi apakan naga itu akan betah? Apabila seorang pemburu awam menyadari mereka memelihara seekor naga, semua akan gusar dan berita itu akan tersebar cepat sampai ke Desa Norburry. Dengan sigap para prajurit Gallard dan virlius akan segera tiba, melakukan pencarian intensif. Mereka sama gilanya dengan Raja Helbert. Semua konflik-konflik antara manusia dan Wildster itu sendiri berasa dari ketakutannya akan bahaya dari mahluk asli Westeria tersebut. Alazar memang benar, tidak sepantasnya manusia membantai keberadaan mahluk penghuni asli Westeria atas nama kedamaian. Kedamaian itu hanyalah sebuat percikan api atas nama penaklukkan, ambisi untuk menguasai westeria tanpa adanya ancaman dari keseimbangan alami. Damar kemudian menaruh naga itu ke dalam keranjang anyaman dari serat-serat bambu. Anyaman itu memberikan cukup ruang untuk cahaya masuk dan menyamarkan tentang isi dari keranjang itu. Naga itu terlihat tidak menolak dan bersedia. Damar kagum dengan naga itu, bagaimana ternyata di usianya yang masih kecil mampu untuk bekerja sama sekalipun dalam kondisi yang genting. Meskipun dia sudah berada dalam keranjang, mereka tetap waspada dan berhati-hati terhadap para penduduk yang beraktifitas di sekitar Pine. Mereka ingin memastikan tidak ada seorang pun yang mencurigai isi dari keranjang itu, bahkan anak-anak sekalipun. Damar mencoba jalan senatural mungkin, meskipun tangannya sedikit gemetar. Fade tiba lebih dahulu di gubuk Alazar. Mengamati sekelilingnya dan mencari keberadaan pemburu tua itu. Dia mengintip dari jendela bundarnya dan mengetuk pintunya. Tidak ada sahutan dari gubuk itu, tetapi di sampingnya terdapat bekar api unggun kecil dengan tulang-tulang rusa di samping bara yang sudah menghitam. “Ini sarapannya, dan dia pasti sudah pergi berburu,” kata Fade. Damar mengangguk, pencarian di hutan lebih memudahkan karena mereka dapat melepaskan naga itu untuk bergerak lebih bebas daripada harus mengurungnya di dalam keranjang. Damar tidak menyukainya. Jam-jam berikutnya banyak terlewati oleh aktifitas mereka berdua dalam pencarian Alazar di dalam Hutan Pine. Mereka hampir putus asa karena berkasan cahaya sudah berubah dari putih terik menjadi merah dan jingga. Sekumpulan gagak sudah mulai berterbangan di langit-langit kanopi hutan dan udara mulai terasa dingin menusuk. Mereka merasa seperti seperti orang bodoh yang mencari pemburu tua dengan membawa seekor naga buronan kerajaan. Sesekali mereka beristirahat di tepian batu besar di tepi Sungai Raen, sekedar menghabiskan bekal daging kering dan roti lapis selada yang sudah layu karena tertutup terlalu lama. Kuatir akan laparnya naga perak itu, Fade menombak sekumpulan ikan-ikan yang terlihat di pesisir Sungai Raen dengan ranting kayu yang diruncingkan. Fade memiliki ketajaman mata yang melebihi Damar, itu sebabnya sejak berburu, keahlian utamanya adalah menggunakan busur untuk menumbangkan buruannya. Menurutnya sekumpulan ikan di sungai Raen tidak lebih dari seekor kelinci yang sedang berjongkok di rerumputan pendek. Dengan gerakan lihai yang seimbang ia menombakkan tongkat runcingnya ke dalam air dan menghasilkan tumpahan dan percikan yang keras. Seperti pecahan cermin yang tertusuk duri, Fade melonjak gembira dan mendapati tombaknya mengenai tiga ikan bass sekaligus. Sang Naga nampak kelaparan dan gelisah, meskipun cahaya bulan sudah mulai timbul di balik gumpalan awan jingga. Mereka berdua tetap tenang dan membuat api unggun kecil dari ranting-ranting. Membakar tiga ekor ikan untuk makanan si naga. Naga itu tidak keberatan dan meringkuk gembira. Sewaktu ikan itu matang, naga itu mengunyahnya dengan rakus dan menghasilkan bunyi krek yang tinggi. Mereka kagum dengan kekuatan deretan gigi seekor naga yang mampu negoyak tulang ikan bass seperti kerupuk. “Apa tidak seharusnya kita memberinya nama naga itu?” kata Fade. “Tadinya kupikir perlu, tapi kita bukan ingin memeliharanya, memberinya nama akan menambah ikatan kedekatan yang sangat kuat,” kata Damar ragu. “Aku kuatir naga itu akan semakin dekat dengan kita dan membuat kita lupa bahwa naga itu di incar kerajaan.” “Kau benar, sesaat aku merasa dekat dengannya, lihat lah keanggunan dirinya. Sisiknya yang berwarna keperakan seperti mutiara, matanya yang hijau seperti permata dan cakarnya yang putih seperti gading,” Fade menatap dalam naga yang masih lahap memakan ikan itu, terhanyut pada kewibawaan naganya. “Dia mahluk yang sempurna.” “Kuharap kita bisa segera menyelesaikan masalah ini dan memutuskan apa yang seharusnya kita lakukan ternadapnya,” kata Damar tersenyum tipis, “kalau perlu aku bersedia walau harus membawanya jauh dari Norburry dan membawanya pergi jauh ke wilayah Timur.” Kita dibuat semakin mencintai mahluk ini, pikir Fade. Dari kejauhan terdengar bunyi klik yang cukup kencang, sesuatu terhempas di balik semak pohon yang tumbuh rimbun di kejauahan. Sesuatu yang tajam melaju dengan kecepatan yang tinggi melewati pohon-pohon cemara juniper dan pinus. Mengoyak angin dan kabut tipis menuju ke arah mereka berdua. Fade merespon dengan cekatan, telinga mereka berdua sudah sangat terlatih dengan bunyi hempasan itu. Fade yang sigap mendorong jatuh Damar dengan kedua tangannya yang terlentang ke depan. Memberinya kesempatan berharga untuk menghindarinya dari kematian. “Anak panah!” kata Damar. Fade mengambil busurnya yang tergantung di punggungnya yang kokoh, menarik anak panah dengan tarikan maksimum dan menghempaskannya ke arah datangnya laju anak panah tadi. Anak panahnya berdesing hebat menembus semak di kejauhan dan menghantam sesuatu di baliknya, menghasilkan lolongan yang mengerikan. Sang naga mendesis hebat, membuka mulut dan rahannya memamerkan deretan gigi tajam seperti silet kecil. Siapa yang menyerang kami? Kelut damar. Munculah dua sosok mahluk yang berdiri tegap dan jangkung, mahluk itu sangat jelek dan kotor. Rambut panjangnya kusut berwarna abu-abu dan kasar. Matanya bersinar merah seperti hewan nokturnal dengan gigi yang tumbuh tidak beraturan, masing-masing menggenggam pedang berkarat. Salah satu temannya di bahunya tertancap anak panah tulang milik Fade. Anak panah itu menancap cukup dalam, memberinya luka yang parah hingga mengucurkan darah merah kehitaman. “Terkutuk, morgul merasuki Hutan Pine!” kata Fade. Morgul yang kesakitan bergerak maju tidak karuan, melolong dan menjerik sambil mengibaskan pedang melengkungnya yang berkarat. Bau tubuh morgul itu tercium sangat tidak enak. Fade berhasil menghindar dari serangan morgul itu. Memberinya kesempatan untuk menyerang balik dengan belati di pinggangnya. Ketika hendak meraih belatinya, morgul melolong keras untuk kesekian kalinya. Suaranya teriakannya sama tajamnya dengan jarum yang berterbangan di udara. Menusuk gendang telinga Fade dan Damar, memaksa mereka berdua menutup telinganya. Peluang itu dimanfaatkan oleh teman morgul satunya yang berderap maju dan meraih pertahanan di dada Damar yang terbuka. Dengan sigap Damar melepas kedua tangannya dari telinga dan menahan lengan kanan morgul dan menghindar ke kiri. Morgul itu kecewa dan mengangkan kakinya yang kekar. Damar terlempar sejauh sepuluh kaki saat morgul itu menendang perutnya dengan kaki berbalut sepatu boots yang tebal. Naga itu meraung-raung di hadapan morgul itu. “Kalian, manusia kampung tidak akan mampu melawan kami,” kata morgul itu sombong. “Apa yang kalian inginkan!” kata Fade yang berlari meraih Damar yang tersungkur. “Naga itu, adalah naga yang seharusnya menjadi milik tuan kami Lord Zenoth,” dengus sang morgul. “Semua ulah si penyihir busuk penghianat itu, sekarang kami harus bersusah payah mencari naga itu sampai ke Pine.” Morgul yang masih bugar membantu mencabut anak panah yang tertancap kuat di lengan kiri temannya. Sewaktu anak panah itu terlepas, darah hitam mengucur deras memberikan sengatan rasa yang tidak terkira, morgul itu hanya meraung-raung seperti mahluk kesetanan. Pertanda dirinya tidak mampu bertempur lebih lama. Morgul yang bugar meraih lagi pedang karatnya yang ditancapkan di tanah dan berusaha mendekati Damar dan Fade dengan wajah bengis. Sepatu bootsnya yang berderap mengerikan membuat jantung mereka berdebar. “Lari! Bawa Naga itu menjauh,” teriak Fade pada Damar yang sudah bangkit. “Naga itu mahluk yang bebas, bukan milik mahluk hina seperti kalian!” kata Fade murka.. “Itu alasan kenapa manusia kampung lebih cepat mati dari jenis manusia lainnya.” Jeritan memekakkan telinga menghambur dari Fade saat dia menyerang morgul itu di hadapannya, menyeruduknya dan meninju wajahnya yang kasar. Morgul itu tertegun dan marah. Fade tidak berhenti sampai disana iya mengayunkan belatinya ke arah wajah depan morgul itu, tapi berhasil di hindarinya. Morgul yang terluka mencoba meraih tangan Fade yang terbuka, tepat sebelum dia mencengkram lengan Fade. Damar melesat di sampingnya, menghujani wajah Morgul yang terluka dengan kerikil tajam, memaksa dirinya memejamkan mata. Dengan sigap, belati milik damar mengiris leher morgul yang lengah itu, membuatnya terjatuh dan mati seketika. Damar tampak mual dan ngeri, tidak menyangka dirinya akan mencabut nyawa selain dari hewan buruan. Darah hijam membasahi rambut dan wajah Damar yang meringkuk di tanah. Morgul satunya semakin murka, ia berdiri tegap dan percaya diri. Rasanya kali ini kekuatannya bertambah setelah kematian temannya oleh satu pemuda kampung. Ia mencengkeram leher Fade dan mengangkatnya tinggi- tinggi hingga lengannya lurus menghadap cahaya bulan. Cengkeraman itu menyesakkan fade yang memberontak, Damar yang melemah kembali mencoba bangkit dan melupakan rasa mualnya. Waktu terasa sangat lambat dan tiap detiknya sangat berharga seperti tumpahan jam pasir. Morgul itu mencaci dengan bahasa yang tidak dimengerti mereka berdua. Sewaktu ia hendak mengayunkan pedangnya menghujam Fade yang tercekik. Suara debuman keras terdengar di balik pepohonan pinus yang rapat. Sesuatu kekuatan besar seperti meriam angin mendorong dan melempar morgul itu sejauh tiga puluh kaki. Memasrahkan tubuhnya menghantam bebatuan kokoh di sisi sungai. Morgul itu kesakitan dan menjerit seperti kawannya yang sudah mati. Tetapi tekadnya lebih besar, ia bangkit dengan terbatuk-batuk, memuntahkan darah hitam yang merembes melalui taring di mulutnya. “Terkutuk kau penyihir! Keluar, tunjukan keberanianmu dan buang sikap pengecutmu!” kata Morgul itu putus asa. Muncul seseorang dengan jubah coklat yang lusuh menutupi tubuh yang tegak. Sebuah tuduh yang hampir mencuat sampai setengah wajahnya menyamarkan wajahnya dan hanya menyisakan bibir kering berwarna pucat dan jenggot putih yang lurus. Tangannya menggenggam sebuah tongkat yang panjangnya hampir setengah tubuhnya, di ujungnya nampak membulat seperti di ukir sedemikian rupa. Fade yang ngos-ngosan takjub dengan penyihir itu. Kedatangannya sangat tepat, Fade yakin kalau penyihir itu datang terlambat, dirinya pasti sudah terbelah dua. Damar menggopoh Fade dan menjauhi tempat itu meyakinkan dirinya mereka aman dari serangan penyihir yang berpotensi akan mengenai mereka. Sedangkan naga perak itu bersembunyi di balik semak hijau, bergetar ketakutan. Morgul itu tertawa melihat kehadiran penyihir itu. Kini dirinya dipenuhi kesombongan. Dia berlari sekencangnya sambil mendengus. Mengayunkan pedangnya dari kejauhan. Kecepatannya sangat luar biasa mengerikan. Sang penyihir tetap berdiri tenang dan merapalkan sesuatu dari mulutnya. “Du vrongar, du eldan.” Butiran api bermunculan di ujung tombak si penyihir, awalnya hanya sebesar biji kacang. Bermunculan semakin banyak dan berputar seperti pusaran. Membentuk sebuah bola api yang kokoh dan membawa berwarna merah kekuningan. Morgul itu terbelalak dan hendak mundur. Tapi sangat terlambat ketika jaraknya sudah terlanjur dekat dengan jangkauan penyihir. Dengan cepat api itu menyambar mogul itu seperti sulur-sulur yang bergerak ganas. Membakar tubuh morgul itu dan membuatnya menggeliat seperti orang gila. Dalam tiga puluh detik, tubuhnya hangus meninggalkan bau menjijikan dengan asap hitam mengepul dari tubuhnya. Penyihir itu, tersungkur seperti setengah berlutut. Menumpu keseimbangan tubuh dengan tongkatnya yang ditancapkan. Kekuatan sihir sehebat itu pasti menguras semua tenaga penyihir terhebat manapun di Westeria. Damar dan Fade dengan cepat mendekati penyihir itu, memastikan dirinya baik-baik saja. Sewaktu Damar dan fade di dekatnya. Penyihir itu nampak lemah dan membuka tudung yang menutupi kepala dan setengah wajah. Raut tersenyum tipis tersirat di wajahnya melihat kemenangan kecil malam itu. Damar dan fade tertegun, sesaat mereka tidak percaya wajah siapa yang dilihatnya. Mereka menelan ludan. Hanyut dalam kekagumannya yang sekejap, dan berkata lirih. “Alazar…”