DISUSUN OLEH :
A. Latar Belakang
Lansia yang sering mengalami penurunan kognitif sering dianggap sebagai
masalah biasa pada mereka yang memasuki usia lajut. Mitos yang terdapat di masyarakat
bila lanjut usia mengalami demensia atau kepikunan, hal itu dianggap wajar dan bila
lanjut usia sudah menderita demensia sudah tidak bisa dilakukn apa-apa lagi. Pada
kenyataannya demensia stadium ringan dan sedang klien masih bisa ditolong bila
terdeteksi secara dini, diberikan nasihat, dan bantuan informasi yang baik dan benar
(Nugroho, 2008)
Di Indonesia jumlah penduduk lansia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih 19
juta, usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta
(9,77%), usia harapan hidupnya 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar
28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun. Pada tahun 2012 jumlah
penduduk lansia di Jawa Timur sebesar 10,40% (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI,
2013). Dari sini dapat kita ketahui jumlah lansia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat penurunan fungsi
kognitif lansia diperkirakan 121 juta manusia,dari jumlah itu 5,8 % laki-laki dan 9,5 %
perempuan. Pada Lansia sering terjadi mudah lupa dengan prevalensi 30 % gangguan
daya ingat terjadi pada usia 50-59 tahun, 35%-39% terjadi pada usia di atas 65 tahun dan
85% terjadi pada usia di atas 80 tahun (Lisnaini, 2012).
Otak sangat mudah rusak akibat radikal bebas, karena bahan kimia berbahaya ini
mudah terserap oleh lemak sedangkan sebagian besar struktur otak adalah lemak sehingga
para penelti sepakat bahwa radikal bebas merupakan penyebab tanda-tanda penuaan.
Penuaan pada lansia menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di
susunan saraf pusat yaitu berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10% pada penuaan
antara umur 30-70 tahun. Pada proses penuaan otak, terjadi penurunan jumlah neuron
secara bertahap yang meliputi area girus temporal superior (merupakan area yang paling
cepat kehilangan neuron), girus presentralis dan area striata (Paretta, L. 2005).
Demensia biasanya dimulai secara perlahan dan makinlama makin parah, sehingga
keadaan ini padamulanya tidak disadari. Penderita akanmengalami penurunan dalam
ingatan,kemampuan untuk mengingat waktu dankemampuan untuk mengenali orang,
tempatdan benda. Penderita mengalami kesulitandalam menemukan dan menggunakan
katayang tepat dan dalam pemikiran abstrak(misalnya dalam pemakaian angka).
(Medicastore, 2012).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi demensia pada lansia?
2. Apa saja etiologi dari menesia?
3. Bagaimana klasifikasi dari demensia pada lansia?
4. Bagaimana patofisiologi demensia?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari demensia?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari demensia?
7. Apa saja komplikasi dari demensia?
8. Bagaimana penatalaksanaan demensia pada lansia?
9. Bagaimana peran keluarga dengan lansia demensia?
10. Bagaimana konsep asuhan keperawatan keluarga pada lansia dengan demensia?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui mengetahui definisi dri demensia.
b. Untuk mengetahui etiologi dari demensia.
c. Untuk mengetahui klasifikasi dari demensia.
d. Untuk mengetahui patofisiologi dari demensia pada lansia.
e. Untuk mengetahui manifestasi klinis pada demensia.
f. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien demensia.
g. Untuk mengetahui komplikasi yang terjadi pada pasien dengan demensia.
h. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada demensia pada lansia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demensia
1. Definisi
Demensia merupakan sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi
kognitif antara lain intelegensi, belajar dan daya ingat, bahasa, pemecahan masalah,
orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi, penyesuaian dan kemampuan
bersosialisasi (Corwin, 2009).
Demensia merupakan suatu gangguan fungsi daya ingat yang terjadi perlahan-
lahan, serta dapat mengganggu kinerja dan aktivitas kehidupan sehari-hari (Atun,
2010).
Menurut Josep J. Gallo dkk., 1998 bahwa demensia adalah suatun sindrom
yang dikarakteristikkan dengan adanya kehilangan kapasitas intelektual melibatkan
tidak hanya ingatan (memori), namun juga kognitif, bahasa, kemampuan visouspasial,
dan kepribadian. Kelima komponen tersebut tidak harus terganggu seluruhnya, namun
pada sebagian besar kasus, kelima komponen ini memang terganggu dalam derajat
yang bervariasi. Demensia menyebabkan gangguan intelektual dalam keadaan sadar
penuh, dan kasus ini bisa bersifat progresif, stabil atau kekambuhan (Mujahidullah,
2012).
Jadi dapat disimpulkan bahwa demensia adalah suatu gangguan fungsi
kognitif, yang meliputi intelegensi, belajar dan daya ingat, bahasa, pemecahan
masalah, orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi, penyesuaian dan kemampuan
bersosialisasi yang dapat mengganggu aktivitas kehidupan sehari-hari.
2. Etiologi
Menurut Nugroho (2008), etiologi dari demensia dapat digolongkan menjadi
3 golongan besar yaitu :
a. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal
kelainan yaitu : terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada
system enzim, atau pada metabolism
b. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati,
penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :
1) Penyakit degenerasi spino - serebelar
2) Subakut leuko-esefalitis sklerotik fan bogaert
3) Khorea Hungtington
c. Sindrome demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam golongan
ini diantranya :
1) Penyakit cerrebro kardiovaskuler
2) Penyakit-penyakit metabolik
3) Gangguan nutrisi
4) Akibat intoksikasi menahun
3. Klasifikasi
Menurut Mujahidullah (2012), Secara garis besar demensia pada usia lanjut
dapat dikategorikan dalam 4 golongan, yaitu :
a. Demensia degeneratif primer (50-60%)
Dikenal juga dengan nama demensia Alzheimer, adalah suatu keadaan
yang meliputi perubahan dari jumlah, struktur dan fungsi neuron di daerah
tertentu dari korteks otak. Terjadi suatu kekusutan neurifiblier (neurofiblier
tangles) dan plak-plak neurit dan perubahan aktivitas kolinergik di daerah-daerah
tertentu di otak. Penyebab tidak diketahui dengan pasti, tetapi beberapa teori
menerangkan kemungkinan adanya faktor kromosom atau genetik, radikal bebas,
toksi amiloid, pengaruh logam alumunium, akibat infeksi virus lambat atau
pengaruh lingkungan yang lain.
Menurut Walley, 1997 bahwa gejala klinik demensia alzheimer biasanya
berupa permulaannya yang gradual yang berlanjut secara lambat, biasanya dapat
dibedakan dalam 3 fase, yaitu :
1) Fase I : Ditandai dengan gangguan memori subyektif, konsentrasi buruk dan
gangguan visuo-spatial. Lingkungan yang biasa menjadi seperti asing, sukar
menemukan jalan pulang yang biasa dilalui. Penderita mungkin menegluhkan
agnosia kanan-kiri. Bahkan pada fase dini ini rasa tilikan (insight) sering
sudah terganggu.
2) Fase II : Terjadi tanda yang mengarah ke kerusakan fokal-kortikal, walaupun
tidak terlihat pola defisit yang khas. Gejala yang disebabkan oleh disfungsi
lobus parientalis (misal agnosia, dispraksia dan akalkulia) sering terjadi.
Gejala neurologik mungkin termasuk antara lain tanggapan ekstensor
plantaris dan beberapa kelemahan fasial. Delusi dan halusianasi mungkin
terjadi, walaupun pembicaraan mungkin masih kelihatan normal.
3) Fase III : Pembicaraan terganggu berat, mungkin sama sekali hilang.
Penderita tampak terus –menerus apatik. Banyak penderita tidak mengenali
diri sendiri atau orang yang dikenalnya. Dengan berlanjutnya penyakit,
penderita sering hanya berbaring di tempat tidur, inkontinensia baik urin
maupun alvi. Sering disertai serangan kejang epileptik dranmal. Gejala
neurologik menunjukkan gangguan berat dari gerak langkah, tonus otot dan
gambaran yang mengarah pada sindrom Kluver-Bucy (apatis, gangguan
pengenalan, gerak mulut tak terkontrol, hiperseksualitas, amnesia dan
bulimia).
b. Demensia multi infark (10-20%)
Demensia ini merupakan jenis kedua terbanyak setelah penyakit
Alzheimer. Bisa didapatkan secara tersendiri atau bersama dengan demensia jenis
lain. Didapatkan sebagai akibat/gejala sisa dari stroke kortikal atau subkortikal
yang berulang. Oleh karena lesi di otak sering kali tidak terlalu besar, gejala
strokenya (berupa defisit neurologik) tidak jelas terlihat. Ciri yang khas adalah
bahwa gejala dan tanda menunjukkan penurunan bertingkat (stepwise), dimana
setiap episode akut menurunkan keadaan kognitifnya.
Hal ini berbeda dengan dapatan pada penyakit alzheimer, dimana gejala
dan tanda akan berlangsung secara progresif. Pemeriksaan dengan scan tomografi
terkomputer (scan TK) sering tidak menunjukkan adanya lesi. Dengan MRI, lesi
sering bisa dideteksi. Pemeriksaan dengan skor Hachinsky dapat membantu
penegakan diagnosis demensia jenis ini. Satu jenis demensia tipe vaskuler yang
lain, yaitu demensia sinilis tipe Binswangar sulit dibedakan dengan demensia
multi-infark. Pada banyak penderita sering dijumpai gejala dan tanda dari
demensia tipe campuran (multi-infark dan alzheimer).
c. Sindroma amnestik dan “pelupa benigna akibat penuaan”(20-30%)
Pada kedua keadaan diatas, gejala utama adalah gangguan memori (daya
ingat), sedangkan pada demensia terdapat gangguan pada fungsi intelektual yang
lain. Pada sindroma amnestik terdapat gangguan pada daya ingat hal yang baru
terjadi. Kemungkinan penyebabnya adalah :
1) Defisiensi tiamin (sering akibat pemakaian alkohol yang berlebihan)
2) Lesi pada struktur otak bagian temporal tengah (akibat trauma atau anoksia)
3) Iskemia global transien (sepintas) akibat isufisiensi sserebrovaskuler.
Pelupa benigna akibat penuaan, biasanya terlihat sebagai gangguan ringan
daya ingat yang tidak progresif dan tidak mengganggu aktivitas hidup sehari-
hari. Biasanya dikenali oleh keluarga atau teman, karena sering mengulang
pertanyaan yang sama atau lupa pada kejadian yang baru saja terjadi.perlu
observasi beberapa bulan untuk membedakannya dengan demensia sebenarnya.
Bila gangguan daya ingat bertambah progresif disertai dengan gangguan
intelektual yang lain, maka kemungkinan besar diagnosis demensia dapat
ditegakkan (Brocklehurst and Allen, 1987; Kane et al, 1994.
a. Gangguan lain (terutama neurologik) (5-10%)
Berbagai penyakit neurologik sering disertai dengan gejala demensia.
Diantaranya yang tersering adalah penyakit Parkison, khorea Huntington dan
hidrosefalus berteknan normal. Hidrosefalus bertekanan normal jarang sekali
dijumpai. Kecurigaan akan keadaan ini perlu diwaspadai, bila pada scan TK atau
MRI didapatkan pelebaran ventrikel melebihi proporsi dibanding dengan
atrofikortikal otak. Gejala mirip demensia subkortikal, yaitu selain didapatkan
deensia juga gejala postur dan langkah serta depresi.
4. Patofisiologi
Proses menua tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya demensia.
Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomi dan biokimiawi di susunan saraf
pusat yaitu berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10 % pada penuaan antara umur
30 sampai 70 tahun. Berbagai faktor etiologi yang telah disebutkan di atas merupakan
kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi sel-sel neuron korteks serebri.
Penyakit degeneratif pada otak, gangguan vaskular dan penyakit lainnya, serta
gangguan nutrisi, metabolik dan toksisitas secara langsung maupun tak langsung
dapat menyebabkan sel neuron mengalami kerusakan melalui mekanisme iskemia,
infark, inflamasi, deposisi protein abnormal sehingga jumlah neuron menurun dan
mengganggu fungsi dari area kortikal ataupun subkortikal.
Di samping itu, kadar neurotransmiter di otak yang diperlukan untuk proses
konduksi saraf juga akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan gangguan fungsi
kognitif (daya ingat, daya pikir dan belajar), gangguan sensorium (perhatian,
kesadaran), persepsi, isi pikir, emosi dan mood. Fungsi yang mengalami gangguan
tergantung lokasi area yang terkena (kortikal atau subkortikal) atau penyebabnya,
karena manifestasinya dapat berbeda. Keadaan patologis dari hal tersebut akan
memicu keadaan konfusio akut demensia (Boedhi-Darmojo, 2009).
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis demensia berlangsung lama dan bertahap sehingga pasien
dengan keluarga tidak menyadari secara pasti kapan timbulnya penyakit. Manifestasi
klinis dari demensia menurut Nugroho (2008) jika dilihat secara umum tanda dan
gejala demensia adalah :
a. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, lupa menjadi
bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
b. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan, tahun,
tempat penderita demensia berada.
c. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar,
menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau
cerita yang sama berkali-kali.
d. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah
drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, rasa
takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti
mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
e. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan gelisah.
6. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan
demensia antara lain :
a. Pemeriksaan laboratorium rutin
b. Imaging : Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging)
c. Pemeriksaan EEG
d. Pemeriksaan cairan otak
e. Pemeriksaan genetika
f. Pemeriksaan neuropsikologis
7. Komplikasi
Menurut Kushariyadi (2010), menyatakan bahwa komplikasi yang sering
terjadi pada demensia adalah:
a. Kejang
b. Kontraktur sendi
c. Kehilangan kemampuan untuk merawat diri
d. Malnutrisi dan dehidrasi akibat nafsu makan dan kesulitan menggunakan
peralatan
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan demensia antara lain sebagai berikut :
a. Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan.
A. Pengkajian
1). Data subyektif :
Pasien mengatakan mudah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi, dan tidak
mampu mengenali orang, tempat dan waktu.
2). Data Obyektif:
Pasien kehilangan kemampuannya untuk mengenali wajah, tempat dan objek yang
sudah dikenalnya dan kehilangan suasana keluarganya (belum spesifik), Pasien sering
mengulang-ngulang cerita yang sama karena lupa telah menceritakannya. Terjadi
perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan kata-kata yang lebih
sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan
kata-kata yang tepat .
B. Keadaan Umum
1) Tingkat kesadaran: composmentis dengan nilai GCS 15 yang dihitung dari linai E : 5
V:4 M: 6,tekanan darah sistolik/ diastolik 120/80 mmHg. BB: kg, TB : cm. postur
tulang belakang lansia: membungkuk, BB : 45 Kg, tinggi badan: 146 cm.
2) Indentias klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa/latar belakang
kebudayaan, status sipil, pendidikan, pekerjaan dan alamat.
3) Riwayat Psikososial Konsep diri
a) Gambaran diri, tressor yang menyebabkan berubahnya gambaran diri karena proses
patologik penyakit.
b) Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan individu.
c) Peran, transisi peran dapat dari sehat ke sakit, ketidak sesuaian antara satu peran
dengan peran yang lain dan peran yang ragu diman aindividu tidak tahun dengan
jelas perannya, serta peran berlebihan sementara tidak mempunyai kemmapuan dan
sumber yang cukup.
d) Ideal diri, keinginann yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kemampuan yang
ada.
e) Harga diri, tidakmampuan dalam mencapai tujuan sehingga klien merasa harga
dirinya rendah karena kegagalannya.
4) Hubungan sosial Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang disingkirkan
atau kesepian, yang selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga timbul akibat berat seperti
delusi dan halusinasi. Keadaan ini menimbulkan kesepian, isolasi sosial, hubungan
dangkal dan tergantung.
5) Riwayat Spiritual Keyakinan klien terhadap agama dan keyakinannya masih kuat.tetapi
tidak atau kurang mampu dalam melaksnakan ibadatnmya sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
6) Status mental
a) Penampilan klien tidak rapi dan tidak mampu utnuk merawat dirinya sendiri.
b) Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren.
c) Aktivitas motorik, Perubahan motorik dapat dinmanifestasikan adanya peningkatan
kegiatan motorik, gelisah, impulsif, manerisme, otomatis, steriotipi.
d) Alam perasaan: klien nampak ketakutan dan putus asa.
e) Afek dan emosi. Respon emosional klien mungkin tampak bizar dan tidak sesuai
karena datang dari kerangka pikir yang telah berubah. Perubahan afek adalah
tumpul, datar, tidak sesuai, berlebihan dan ambivalen
f) Interaksi selama wawancara Sikap klien terhadap pemeriksa kurawng kooperatif,
kontak mata kurang.
7) Persepsi melibatkan proses berpikir dan pemahaman emosional terhadap suatu obyek.
Perubahan persepsi dapat terjadi pada satu atau kebiuh panca indera yaitu penglihatan,
pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan. Perubahan persepsi dapat ringan,
sedang dan berat atau berkepanjangan. Perubahan persepsi yang paling sering
ditemukan adalah halusinasi.
a) Proses berpikir Klien yang terganggu pikirannya sukar berperilaku kohern,
tindakannya cenderung berdasarkan penilaian pribadi klien terhadap realitas yang
tidak sesuai dengan penilaian yang umum diterima. Penilaian realitas secara
pribadi oleh klien merupakan penilaian subyektif yang dikaitkan dengan orang,
benda atau kejadian yang tidak logis (Pemikiran autistik). Klien tidak menelaah
ulang kebenaran realitas. Pemikiran autistik dasar perubahan proses pikir yang
dapat dimanifestasikan dengan pemikian primitf, hilangnya asosiasi, pemikiran
magis, delusi (waham), perubahan linguistik (memperlihatkan gangguan pola pikir
abstrak sehingga tampak klien regresi dan pola pikir yang sempit misalnya
ekholali, clang asosiasi dan neologisme.
b) Tingkat kesadaran:
1. Kesadaran yang menurun, bingung.
2. Disorientasi waktu, tempat dan orang.
3. Memori: Gangguan daya ingat sudah lama terjadi (kejadian beberapa tahun yang
lalu).
4. Tingkat konsentrasi Klien tidak mampu berkonsentrasi
5. Kemampuan penilaian Gangguan berat dalam penilaian atau keputusan.
a) Tidur, klien sukar tidur karena cemas, gelisah, berbaring atau duduk dan gelisah .
Kadang-kadang terbangun tengah malam dan sukar tidur kemabali. Tidurnya
mungkin terganggu sepanjang malam, sehingga tidak merasa segar di pagi hari.
b) Selera makan, klien tidak mempunyai selera makan atau makannya hanya sedikit,
karea putus asa, merasa tidak berharga, aktivitas terbatas sehingga bisa terjadi
penurunan berat badan.
c) Eliminasi Klien mungkin tergnaggu buang air kecilnya, kadangkdang lebih sering
dari biasanya, karena sukar tidur dan stres. Kadang-kadang dapat terjadi konstipasi,
akibat terganggu pola makan.
d) Mekanisme koping Apabila klien merasa tridak berhasil, kegagalan maka ia akan
menetralisir, mengingkari atau meniadakannya dengan mengembangkan berbagai
pola koping mekanisme. Koping mekanisme yang digunakan seseorang dalam
keadaan delerium adalah mengurangi kontak mata, memakai kata-kata yang cepat
dan keras (ngomel-ngomel) dan menutup diri.
C. Intervensi Keperawatan
1. Intervensi lansia dengan demensia