Anda di halaman 1dari 14

ETIKA ISLAM DALAM PENERAPAN ILMU

BAB II
PEMBAHASAN
A. ETIKA ISLAM DALAM PENERAPAN ILMU
1. Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’ yaitu ethos
sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu : tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap,
cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah Etika yang
oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologis (asal usul
kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang
adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 – mengutip
dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000), mempunyai
arti :
1. ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak);
2. kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
3. nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
 “Etika adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya
sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan seluruh tingkah laku
manusia”.
 Apakah Ilmu itu ?
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu
yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa Inggeris Ilmu
biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam
bahasa Indonesia kata science umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan
Ilmu Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu paada makna yang sama. Untuk
lebih memahami pengertian Ilmu (science) di bawah ini akan dikemukakan beberapa
pengertian :
“Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Dari pengertian di atas nampak bahwa Ilmu memang mengandung arti pengetahuan, tapi
pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang tersusun secara sistematis atau menurut Moh
Hatta (1954 : 5) “Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut Ilmu.
Ilmu adalah kumpulan ( akumulasi ) dari banyak pengetahuan, sedangkan
pengetahuan merupakan kumpulan (akumulasi )  dari banyak informasi .
B. Kedudukan Ilmu Menurut Islam
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini terlihat dari
banyaknya ayat AL qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan
mulya disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus
menuntut ilmu. Didalam Al qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari
780 kali , ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari AL qur’an sangat
kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri
penting dari agama Islam sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani9 (1995;; 39)
sebagai berikut ;‘’Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah
penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), Al quran dan Al –sunah mengajak kaum
muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan ,serta menempatkan orang-orang
yang berpengetahuan pada derajat tinggi’’
ALLah s.w.t berfirman dalam AL qur;’an surat AL Mujadilah ayat 11
 “ALLah meninggikan baberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang beriman
diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi ilmupengetahuan).dan ALLAH maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan berilmu akan menjadi
memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi
pendorong untuk menuntut ILmu ,dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar
betapa kecilnya manusia dihadapan ALLah ,sehingga akan tumbuh rasa kepada ALLah bila
melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini sejalan dengan fuirman ALLah:
“sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba –hambanya hanyaklah ulama
(orang berilmu) ; (surat faatir:28)
Disamping ayat –ayat Qur’an yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat istimewa,
AL qur’an juga mendorong umat islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu, seprti tercantum
dalam AL qur’an sursat Thaha ayayt 114
 “dan katakanlah, tuhanku ,tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan “.
Dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah ilmu
,menjadi sangat penting,dan islam telah sejak awal menekeankan pentingnya membaca ,
sebagaimana terlihat dari firman ALLah yang pertama diturunkan yaitu surat Al Alaq ayat
1sampai dengan ayat 5 yang artinya:
1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Ayat –ayat trersebut , jelas merupakan sumber motivasi bagi umat islam untuk tidak pernah
berhenti menuntut ilmu,untuk terus membaca ,sehingga posisi yang tinggi dihadapan ALLah
akan tetap terjaga, yang berearti juga rasa takut kepeada ALLah akan menjiwai seluruh
aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal shaleh , dengan demikian nampak bahwa
keimanan yang dibarengi denga ilmu akan membuahkan amal ,sehingga Nurcholis Madjd
(1992: 130) meyebutkan bahwa keimanan dan amal perbuatan membentuk segi tiga pola
hidup yang kukuh ini seolah menengahi antara iman dan amal .
Ilmu sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia dan alam
semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya. Untuk itu perlu ada etika,
ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan yang dapat menjadikan pengembangan ilmu
dan aplikasinya bagi kehidupan manusia agar tidak menimbulkan dampak negatif.
C. Peran Islam Dalam Perkembangan Iptek
1. Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma
inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan
landasan pemikiran (qaidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan
berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan,
melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang
sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan
dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
2. Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi
pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang
seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur,
bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram
(hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah
dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh
Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan
manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia
D. Hal Hal Yang Berkaitan Peran Islam Dalam Perkembangan Iptek
1. Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Untuk memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian dasar. Ilmu pengetahuan
(sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh melalui proses yang disebut
metode ilmiah (scientific method) (Jujun S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah
pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan dalam kehidupan
manusia sehari-hari (Jujun S. Suriasumantri, 1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari
segala langkah dan pemikiran untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek
(Agus, 1999). Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, untuk mengatur hubungan manusia
dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya
sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan
manusia lainnya (dengan aturan muamalah dan uqubat/sistem pidana) (An-Nabhani, 2001).
Bagaimana hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi
yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma :
a. Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek
adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah
dipisahkan dari kehidupan (fashl al-dinan al-hayah). Agama tidak dinafikan
eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan
tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang
agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan
iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau
hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan),
dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
b. Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan
eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada hubungan dan kaitan
apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari
agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam
paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan
keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan.
Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak
ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan memandang
agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya membuat orang
terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl Marx mengatakan: Religion
is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless world, just as it is the spirit of a
spiritless situation. It is the opium of the people. (Agama adalah keluh-kesah makhluk
tertindas, jiwa dari suatu dunia yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari
situasi yang tanpa ruh/spirit. Agama adalah candu bagi rakyat) (Lihat Karl Marx,
Contribution to The Critique of Hegels Philosophy of Right, termuat dalam On Religion,
1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166).
Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali
dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma sosialis didasarkan pada
ide dasar materialisme, khususnya Materialisme Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112).
Paham Materialisme Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses
perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-
pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung benih perkembanganitu sendiri
(Ramly, 2000: 110).
c. Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah
dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan.
Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits--
menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun
seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
 Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan
Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali
turun :
1). bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, (Qs. sl-Alaq [96]: 1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh berbagai
pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh lepas dari Aqidah
Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada
Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan berada
pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan berada pada ilmu Allah yang
mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah
SWT: kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah
(pengetahuan) Allah Maha meliputi segala sesuatu. (Qs. an-Nisaa` [4]: 126). Allah-lah yang
menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar
kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya
Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Qs. ath-Thalaq [65]: 12).
2. Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
Inilah peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan
basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang telah
dibawa oleh Rasulullah Saw.Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum
muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang.
Diakui atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan
mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam
konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang bisa menjelaskan,
mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam, diajarkan sistem ekonomi
kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal haram. Eksistensi paradigma sekuler itu
menjelaskan pula mengapa tetap diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan
keyakinan dan keimanan muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus bertolak
belakang dengan Aqidah Islam.
Kekeliruan paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan fundamental dan
perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler yang ada saat ini, dengan
paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam (bukan paham sekularisme) yang
seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu pengetahuan manusia. Namun di sini perlu
dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam dijadikan landasan iptek, bukan
berarti konsep-konsep iptek harus bersumber dari al-Qur`an dan al-Hadits, tapi maksudnya
adalah konsep iptek harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur al-Qur`an dan al-
Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996: 12).
3. Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek
Peran kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan
standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam) wajib
dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang
boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam. Sedangkan iptek yang
tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah diharamkan syariah Islam.
Keharusan tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang
mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan iptek) dengan
ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya”. (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya[528]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya). (Qs. al-Araaf [7]: 3). [528] Maksudnya: pemimpin-pemimpin yang
membawamu kepada kesesatan.
Sabda Rasulullah Saw:
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka
perbuatan itu tertolak”. [HR. Muslim].

Berikut ini akan dijelaskan tentang hubungan ilmu dan kemanusiaan,hubungan ilmu
dan kemaslahatan hidup,serta ayat-ayat alquran dan hadisnya.
A.    ILMU DAN KEMANUSIAAN
Filsafat merupakan kajian ilmu yang sangat dipertimbangkan dalam melakukan
pelbagai bentuk tindakan manusia. Kajian ilmu tersebut diharapkan agar manusia
memanfaatkan alam ini dengan bijak sesuai dengan kebutuhan yang tidak berlebihan pula
agar alam yang kita tempati ini tidak rusak dan menjadi bencana bagi umat manusia.
Hubungan ilmu dengan kemanusiaan sangatlah erat sekali dikarenakan ilmu bisa
berkembang karena keberadaan manusia,manusia mewujudkan sifat-sifat baiknya untuk
memelihara kelangsungan hidup ini didunia dan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya
juga dengan ilmu.Hal ini sesuai dengan firman Alloh SWT didalam Al-Qur’an yaitu mnusia
diciptakan oleh Alloh sebagai kholifah di bumi sebagai wakil tuhan untuk menjaga kehidupan
didunia ini.
Tentunya degan ilmu manusia akan diarahkan kepada hal yang baik menurut dirinya dan
bermanfaat untuk lainnya. Dan manusialah yang bisa mengembangkan keilmuaannnya yang
didapat melalui proses berpikir. 
1.   Hubungan Antara Ilmu Dan Kemanusiaan
Pada masa lampau kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari belum
dapat dirasakan. Ilmu sama sekali tidak memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Ungkapan Aristoteles tentang ilmu “Umat manusia menjamin urusannya untuk hidup sehari-
hari, barulah ia arahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan”. (Van Melsen,1987).
Dewasa ini ilmu menjadi sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah manusia
tidak dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan. Kebutuhan yang sederhanapun sekarang
memerlukan ilmu, misalnya kebutuhan sandang, papan ,dan papan sangat tergantung dengan
ilmu. Maka kegiatan ilmiah dewasa ini berdasarkan pada dua keyakinan berikut.
1.      Segala sesuatu dalam realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk mengerti
realitas dengan lebih baik, melainkan juga untuk menguasainya lebih mendalam menurut
segala aspeknya.
2.      Semua aspek realitas membutuhkan juga penyelidikan primer, seperti air, makanan ,
udara, cahaya, kehangatan, dan tempat tinggal tidak akan cukup untuk penyelidikan itu. (Van
Melsen,1987).[1]
Dengan demikian, ilmu pada dewasa ini mengalami fungsi yang berubah secara
radikal, dari tidak berguna sama sekali dalam kehidupan praktis menjadi “ tempat tergantung
“ kehidupan manusia. Oleh karena itu keterkaitan ilmu dengan kemanusiaan sangatlah erat
hubungannya dan tidak dapat dipisahkan sendiri-sendiri. Hal ini disebabkan ilmu tanpa
manusia tidak akan berkembang pesat sampai sekarang ini dan manusia tanpa ilmu juga tidak
dapat hidup untuk proses pemenuhan kebutuhan yang kompleks.
Walaupun pada zaman dahulu sering kita ketahui dalam sejarah peradaban manusia
saat itu memanfaatkan ilmu hanya untuk berperang dan menguasai daerah jajahan baru
sehingga peran serta ilmu itu sendiri jauh dari harapan manusia dalam segi nilai dan
moralitas. Dan inilah yang mengubah pemikiran manusia saat ini untuk mencapai hakekat
daripada keilmuan itu.
Kita ketahui juga ilmu saat ini berkembang dengan pesat yang mempengaruhi
reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi, ilmu bukan saja menimbulkan gejala
dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau
dengan ilmu bukanlah sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun
juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.[2]
Dengan ilmu manusia dapat memanfaatkan segala sesuatu didasari nilai yang positif
sehingga dalam kehidupan bersosialnya dapat terjalin hubungan yang serasi, seimbang,
selaras.
 
2.      Manfaat Ilmu bagi Kemanusiaan
Ilmu pada dasarnya mengungkap realitas sebagaimana adanya.Hasil-hasil kegiatan
keilmuan memberikan alternatif kepada manusia untuk mengambil suatu keputusan yang
menurut dirinya menjadi keputusan yang terbaik, walaupun nantinya keputusan itu dianggap
kurang tepat oleh manusia lain. Akan tetapi hakikat kebenaran pastinya akan dimanfaatkan
oleh manusia secara umum karena sifat daripada kebenaran yang mengungkap adalah waktu.
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang mempelajari alam sebagaimana adanya mulai
mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus
dipergunakan ? dimana batas wewenang penjelejahan keilmuan? Kearah mana
pengembangan keilmuan harus diarahkan? Pertanyaan ini jelas tidak merupakan urgensi
ilmuwan seperti Copernicus, Galileo, dan ilmuwan seangkatannya, namun bagi ilmuwan
yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup
dalam bayangan perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan tidak dapat dielakkan. Dan
untuk menjawab pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.
Banyaknya kejadian yang melanda umat manusia dewasa ini, manusia semakin menyadari
bahwa manfaat ilmu sangat penting membentuk etika, moral, norma, dan kesusilaan.
Arti kesusilaan menurut Leibniz filsuf pada zaman modern berpendapat bahwa kesusilaan
adalah hasil suatu “ menjadi” yang terjadi di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah
yang gelap sampai kehendak yang sadar, yang berarti sampai kesadaran kesusilaan yang telah
tumbuh lengkap, disebabkan oleh aktivitas jiwa sendiri. Apa yang benar-benar kita kehendaki
telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap. (Harun Hadiwijoyo,
1990, hlm. 44-45). Oleh karena itu, tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan
perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin kita.
[3]
 
C.    fungsi manusia dalam perkembangan ilmu
Manusia merupakan makhluk yang sangat sempurna dibanding dengan makluk-makluk
ciptaan Alloh yang lain di muka bumi ini.Dengan dibekali pembawaan dari Alloh SWT
berupa akal untuk mengelola keseimbangan alam ini.Tujuan Alloh menciptakan manusia itu
sendiri adalah sebagai wakil atau kholifah secara langsung di muka bumi ini agar tujuan
hidup menjadi serasi, selaras, seimbang.
Manusia mendapatkan ilmu melalui perantaraan kalam yang diciptakan oleh Alloh.Hal ini
sesuai dengan firman Alloh surat Al-Alaq Ayat 1-5 sebagai berikut :
( ‫)عَلَّ َم اإل ْن َسانَ َما لَ ْم يَ ْعلَ ْم‬٤( ‫)الَّ ِذي عَلَّ َم بِ ْالقَلَ ِم‬٣( ‫)ا ْق َر ْأ َو َربُّكَ األ ْك َر ُم‬٢( ‫ق‬
ٍ َ‫ق اإل ْن َسانَ ِم ْن َعل‬ َ ِّ‫ا ْق َر ْأ بِاس ِْم َرب‬
َ َ‫ك الَّ ِذي خَ ل‬
َ َ‫) َخل‬١( ‫ق‬

Artinya:  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
 
Dapat kita ketahui tentang ayat diatas bahwa Alloh menciptakan manusia dengan penuh kasih
sayang dan kesempurnaan baik secara fisik dan rohani. Dengan dibekali hal diatas maka
fungsi manusia terhadap ilmu adalah menemukan, mengembangkan, menciptakan, kemudian
mengevaluasi terhadap ilmu yang didapatnya melalui proses berpikir yang alami dan
sistematis. dengan pemikiran seperti itu manusia bisa membagi atau memetakan suatu ilmu
degan spesifikasi tertentu yang berkembang saat ini dan sudah dimanfaatkan oleh manusia.
Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu, meskipun
secara metodoloigis ilmu tidak membedakan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial secara
garis besar.
Berhubungan dengan ilmu sosial maka ada keterkaitan antara manusia dengan
kemanusiaan sehingga melahirkan konsep ilmu itu sendiri yaitu :
1.      Interaksi
2.      saling ketergantungan
3.      Kesinambungan dan Perubahan
4.      Keragaman/Kesamaan/Perbedaan
5.      Konflik dan konsensus
6.      Pola (Pattern)
7.      Tempat atau lokasi
8.      Kekuasaan atau Power
9.      Nilai Kepercayaan
10.  Keadilan Dan Pemerataan
11.  Kelangkaan
12.  Kekhususan
13.  Budaya (Culture)
14.  Nasionalisme.[4]

B. Filsafat dalam kemaslahatan hidup insani


Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia
dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu untuk dibentuk
atau diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui pendidikan atau ilmu yang
mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan dunianya, melalui kehidupan sosial atau polis,
dan melalui agama. Dalam paper kerja ini kami akan membahas tentang unsur-unsur
pembentuk manusia yang dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik. Dengan kata lain,
konteksfilsafat budaya sebagai ilmu tentang kahidupan manusia akan lebih disempitkan atau
dibatasi pada kerangka berpikirpembentukan manusia yang lebih baik. Pembentukan manusia
yang lebih baik bukan dalam arti moral; baik buruknya manusia, tetapi dalam arti
pembentukan manusia sebagai makhluk yang hidup dan berbudaya dalam perspektif filsafat
budaya, yakni hidup yang lebih bijaksana,  dan lebih kritis. Filsafat bukanlah ilmu positif
seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat adalah ilmu kritis yang otonom di luar ilmu-ilmu
positif. Kelompok mencoba mengangkat tiga unsur pembentukan manusia. Ketiga unsur
pembentuk itu antara lain:
(1) pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan lingkungannya;
(2)  manusia dalam hubungannya dengan hidup komunitas; dan
(3)  agama membantu manusia hidup dengan lebih baik.
Pengetahuan menjadi unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang
lebih baik. Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri dan
hidupnya. Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan, dalam ilmu diketahui
secara lebih masuk akal. Dalam hal ini ilmu lebih kritis daripada hanya menerima apa yang
didapat dari pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok megangkat pengetahuan untuk
memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di
sini lebih pada pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia
mengetahui dan mengenal dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna dan
lebih baik dalam dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu manusia juga
membutuhkan pengetahuan tentang lingkungan atau dunianya. Dengan pengetahuan yang ia
miliki tentang dunia atau lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara
cepat dan lebih mudah.
Manusia ternyata tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan
dengan dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia, yaitu
sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk dapat membentuk dan
mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara lebih baik; lebih bijaksana dan lebih
kritis. Dengan demikian manusia pada hakikatnya hidup bersama dengan orang lain atau
hidup dalam suatu komunitas tertentu, mengalami kehidupan polis. Jadi, kebersamaannya
dengan orang lain dalam suatu komunitas inilah yang turut menentukan pembentukan yang
memperkenankan manusia itu hidup atas cara yang lebih baik dan lebih sempurna dalam
dunianya.
Unsur lain yang menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia sehingga
manusia dapat hidup secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama. Dengan kata lain,
agama mengandung nilai-nilai universal yang pada hakikatnya mengajarkan yang baik bagi
penganutnya.
Ketiga unsur pembentuk manusia untuk hidup secara lebih baik itu akan dilihat dan
dijelaskan secara lebih dalam pokok-pokok berikut.
I. Manusia mengetahui dirinya dan dunianya
Telah dikatakan sebelumnya (pada bagian pendahuluan) bahwa pengetahuan
merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia
untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia adalah makluk yang sadar dan
mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan
akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi. Dunia yang dimaksudkan di sini adalah
dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di
mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi
pembentukan dan pengembangan dirinya.
Pengetahuan merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi makhluk yang
memilikinya. Manusia dapat mengetahui segala-galanya, maka ia menguasai makhluk lain
yang penguasaannya terhadap pengetahuan kurang. Dalam lingkungan manusia sendiri
seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak tahu
apa-apa. Pengetahuan menjadikan manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang
lain, dan itu membentuk manusia itu sendiri.
Namun, pengetahuan manusia begitu kompleks. Pengetahuan manusia menjadi
kompleks karena dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat daging dan jiwa sekaligus, 
maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus inderawi dan intelektif. Pengetahuan
dikatakan inderawi lahir atau luar  bila pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang mengelilingi
manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan inderawi batin ketika pengetahuan itu
memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi
atau yang belum pernah ada maupun yang terdapat di luar jangkauan manusia.
Pengetahuan intelektif merupakan watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya
dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia mengetahui dirinya
berarti mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Sementara,
manusia mengetahui duninya berarti menusia mengenal secara baik apa yang ada atau
terkandung dalam dunianya itu, baik potensi yang dapat memudahkan manusia itu sendiri
maupun tantangan yang diperhadapkan kepadanya. Kekurangan manusia dapat diatasi dengan
apa yang ada dalam dunianya. Tentu saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan orang lain
maupun relasi dengan alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu
manusia untuk mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah satu cara manusia
mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah melalui pendidikan. Dan pendidikan di sini
tentu saja pendidikan yang diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya untuk manusia,
dan yang membedakannya dari semua binatang.
Jadi, melalui pengetahuanlah manusia mempunyai hubungan dengan dirinya, dunia
dan orang lain. Melalui pengetahuan benda-benda dimanisfestasikan dan orang-orang
dikenal, dan bahwa tiap orang menghadiri dirnya. Melalui pengetahuan pula manusia bisa
berada lebih tinggi, dan dapat membentuk hidupnya secara lebih baik. Dengan pengetahuan
manusia dapat melalukan sesuatu atau membentuk kembali sesuatu yang rusak menjadi baik
berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Melalui pengetahuan manusia dapat mengenal
dirinya, orang lain dan dunia di sekitarnya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya dalam
dunianya itu (dapat beradaptasi dengan dunianya).
II. Manusia dalam hidup komunitas
Secara umum komunitas dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan atau persekutuan
manusia yang bersifat permanen demi pencapaian suatu tujuan umum yang diinginkan. Dan
umumnya tujuan yang hendak dicapai itu didasarkan atas kesatuan cinta dan keprihatinan
timbal balik satu dengan yang lain. Jadi, secara tidak langsung hidup komunitas dapat
dimengerti sebagai suatu kehidupan dimana terdapat individu-individu manusia yang
membentuk suatu persekutuan guna mancapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang dicapai
itu selalu merunjuk pada nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama. Misalnya, nilai
kebaikan, keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam mencapai tujuan
bersama itu setiap individu (anggota persekutuan) saling berinteraksi atau bekerjasama satu
dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
Akan tetapi serentak pula tak dapat disangkal bahwa melalui kehidupan komunitas
kepribadian manusia dapat dibentuk melalui proses sosialisai dan internalisasi. Artinya,
melalui nilai-nilai yang dicapai dalam hidup komunitas itu disampaikan kepada setiap
individu (anggota persekutuan). Selanjutnya, nilai-nilai itu dijadikan oleh pegangan dalam
diri setiap individu.
Dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik, maka
pertanyaan yang patut dikemukakan adalah apakah kehidupan komunitas dapat membentuk
manusia untuk hidup secara lebih baik atau lebih bijaksana dan kritis?
Menjawab pertanyaan di atas maka dapat dikatakan bahwa kehidupan komunitas
dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik. Dapat dikatakan demikian karena    pada
dasarnya kodrat manusia adalah makhluk sosial. Itu berarti manusia selalu berada bersama
dengan sesamanya atau orang lain. Ia tidak berada sendirian, melainkan selalu berada
bersama dengan orang lain. Manusia selalu berada dengan orang lain dan membentuk suatu
persekutuan yang disebut sebagai komunitas. Mereka membentuk hidup besama karena ada
nilai yang ingin dicapai secara bersama. Nilai yang ingin dicapai adalah membentuk hidup
secara lebih baik. Nilaihidup secara lebih baik itu dicapai lewat interaksi atau kerja sama
setiap individu dalam komunitas. Selanjutnya, setelah mencapai nilai  yang diinginkan itu
(membentuk hidup secara lebih baik), kemudian disosialisasikan kepada individu (anggota
komunitas) dan selanjutnya individu menjadikan nilai tersebut menjadi pegangan dalam
dirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui kehidupan komunitas dapat
membentuk hidup manusia secara lebih baik, lewat nilai yang ditemukan dalam kehidupan
komunitas itu. Nilai itulah yang membentuk manusia menjadi lebih baik, lebih bijaksana dan
kritis dalam hidup.
III. Agama membantu manusia hidup lebih baik
Arti budaya telah diangkat kembali oleh renesans dengan karakter naturalistik, yaitu
budaya dipahami sebagai pembentukan manusia dalam dunianya, yakni sebagai pembentukan
yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih bijaksana dan lebih sempurna
dalam dunia yang adalah dunianya. Dalam konteks ini, agama mendapat tempat dan peranan
penting. Agama dimengerti sebagai unsur integral dari budaya, terutama karena mengajarkan
bagaimana hidup dengan baik, hidup dengan bijaksana dan nilai-nilai universal lainnya.
Dalam agama terkandung ajaran-ajaran kebijaksanaan (dalam arti tertentu filsafat dipahami
sebagai kebijaksanaan) yang dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik.
Dengan demikian, hidup yang lebih baik dalam perspektif filsafat budaya adalah
pembentukan kebijaksanaan secara internal dalam diri manusia melalui ajaran-ajaran agama.
Manusia tidak dapat dilepaskan dari agama dalam kehidupannya. Maksudnya adalah
bahwa agama menjadi sarana di mana manusia dapat memenuhi keinginannya untuk dapat
hidup dengan lebih bijaksana. Dengan kata lain agama membantu manusia untuk dapat hidup
lebih baik. Melalui agama manusia dapat menjadi bijaksana untuk mencapai realisasi dirinya
yang lengkap sehingga menjadi suatu microcosmos yang sempurna dalam macrocosmos.
Setiap agama umumnya mengajarkan kepada para penganut atau pengikutnnya untuk
hidup sebagai orang yang saleh, baik di hadapan manusia maupun di hadapan yang ilahi.
Dengan demikian agama dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik. Agama
membentuk manusia untuk menjadi lebih baik, lebih bijaksana dengan menanamkan nilai-
nilai universal dalam diri manusia itu.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ilmu sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia dan
alam semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya. Untuk itu perlu
ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan yang dapat menjadikan
pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi kehidupan manusia agar tidak menimbulkan
dampak negatif.
2. Peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi,
paradigma Islam, dan bukannya paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat
Islam dalam membangun struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam
sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat
(utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam
mengaplikasikan iptek. Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik,
insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat
manusia. Mari kita simak firman-Nya: “Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya”. (Qs. al-A’raaf [7]: 96).

Anda mungkin juga menyukai