Anda di halaman 1dari 8

STEP 5.

LEARNING OBJECTIVE

1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pengertian manajemen konflik


Manajemen konflik adalah model yang diguanakn dalam mengelola konflik agar
aktivitas organisasi tetap produktif. Masalah yang menimbulkan konflik dapat
dikendalika secara bijak, sehingga pelaku konflik dapat memiliki sikap positif
terhadap konflik yang terjadi (Puspita, 2018).
Kemampuan komunikasi adalah salah satu keterampilan interpersonal yang harus
dimiliki oleh pemimpin/manajer. Manajer yang baik harus bisa menerima dan
menyampaikan pesan (Widyastuti, 2017).

2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan aspek-aspek manajemen konflik. PR:


Contoh kasus akomodasi dalam “kalah-kalah”
Kenneth W. Thomas dan Ralph H. Kilmann (1974) mengembangkan
taksonomi gaya manajemen konflik berdasarkan dua dimensi: (1) kerja sama
(cooperativeness) pada sumbu horizontal dan (2) keasertifan (assertiveness) pada
sumbu vertikal. Kerja sama adalah upaya orang untuk memuaskan diri sendiri jika
menghadapi konflik. Di sisi lain, keasertifan adalah upaya orang untuk memuaskan
diri sendiri jika menghadapi konflik.
Berdasarkan kedua dimensi ini, Thomas dan Kilmann mengemukakan lima jenis gaya
manajemen konflik. Berikut adalah gaya manajemen konflik tersebut:
(sumber: Adil, 2018)
a. Kompetisi
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan tinggi dan tingkat
kerjasaama rendah. Gaya ini berorientasi pada kekuasaan. Contohnya dalam
organisasi dengan birokrasi yang tinggi, bawahan hanya boleh memberi masukan,
bukan mendebat. Oleh karena itu, jika terlibat konflik dnegan bawahan, atasan dapat
menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi.
b. Kolaborasi
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama yang
tinggi. Tujuannya adalah mencari alternatif bersama dan sepenuhnya memenuhi
harapan kedua pihak yang terlibat. Upaya tersebut meliputi saling memahami
permasalahan dan saling mempelajari ketidaksepakatan. Selain itu, kreativitas dan
inovasi juga digunakan untuk mencari solusi tersebut. Merupakan gaya yang paling
disukai. Gaya kolaborasi digunakan dengan alasan: menciptakan solusi integratif dan
kedua pihak tidak mempunyai cukup kekuasaan dan sumber-sumber untuk
memaksakan kehendak.
c. Kompromi
Gaya manajemen konflik menegah, dimana tingkat keasertifan dan kerja sama
sedang. Menggunakan strategi “give and take”, kedua pihk mencari alternatif titik
tengah yang memuaskan sebagian keinginan mereka. Gaya ini berada di tengah antara
kompetisi dan kolaborasi. Alasan gaya kompromi digunakan: tingkat kepentingan
tujuan dari konflik tidak cukup bernilai untuk dipertahankan (sedang). Akan tetapi,
konflik juga terlalu penting untuk dihindari, kedua pihak mempunyai kekuasaan yang
sama dan tujuan yang hampir sama, dan untuk mencapai solusi sementara atas
masalah yang kompleks.
d. Menghindar
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan dan kerja sama yang
rendah. Dalam gaya ini kedua pihak berusaha menghindari konflik, bisa berupa
menjauhkan diri dari pusat masalah, menunda pokok masalah hingga waktu yang
tepat, atau menarik diri. Gaya ini digunakan dengan alasan: kepentingan objek konflik
rendah dan/ objek konflik tidak mungkin dimenangkan.
e. Akomodasi
Gaya manajemen konflik dengan tingkat keasertifan rendah dan kerja sama
tinggi. Seseorang mengabaikan kepentingannya sendiri untuk memuaskan
kepentingan lawan konfliknya (Putra, 2015).
Konflik “kalah-kalah”

Konflik kalah-kalah terjadi, apabila tidak ada pihak yang terlibat konflik mencapai
keinginannya yang sebenarnya, dan alasan-alasan mengapa terjadinya konflik
tidak mengalami perubahan. Hasil kalah-kalah biasanya akan terjadi, apabila
konflik dimenej dengan gaya menghindar, akomodasi, atau kompromis (Alhaq,
2018; Adil, 2018). Sekalipun sebuah konflik kalah-kalah seakan-akan terselesaikan
atau memberi kesan lenyap untuk sementara waktu, tetapi mempunyai tendensi untuk
muncul kembali pada masa mendatang (Adil, 2018).

Akomodasi: Bersikap kooperatif, tetapi tidak asertif. Membiarkan keinginan pihak


lain menonjol, meratakan perbedaan-perbedaan guna mempertahankan harmoni yang
diciptakan secara buatan (passive-agressive).
Kompromis: Bersikap cukup kooperatif dan asertif, tetapi tidak hingga tingkat
ekstrem. Bekerja menuju arah pemuasan kepentingan parsial pihak-pihak yang
berkepentingan, melaksanakan upaya tawar-menawar untuk mencapai pemecahan,
tetapi bukan secara optimal, sehingga tidak ada seorang pun yang merasa ia
menang atau kalah secara mutlak.

Konflik “menang-kalah”
Konflik menang-kalah terjadi, apabila salah satu pihak mencapai apa yang
diinginkannya dengan mengorbankan keinginan pihak lain. Hal tersebut terjadi karena
adanya kompetisi, dimana orang yang mencapai kemenangan melalui kekuatan,
ketrampilan yang superior, atau karena unsur dominasi dan akomodasi (Widyastuti,
2017).

Konflik “menang-menang”

Konflik menang-menang diatasi dengan jalan menguntungkan semua pihak yang


terlibat konflik yang bersangkutan. Hasil ini akan didapat dengan menggunakan gaya
manajemen konflik kolaborasi.
Kolaborasi: Bersikap kooperatif dan asertif, berupaya mencapai kepuasan
sesungguhnya bagi tiap pihak berkepentingan dengan jalan bekerja melalui
perbedaan yang ada, mencari dan memecahkan masalah sedemikian rupa, sehingga
tiap orang mencapai keuntungan sebagai hasilnya.

3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan startegi dalam manajemen konflik.


PR: Perbedaan menghindar dan mendiamkan
Frame work untuk manajemen konflik adalah:
a. Creative-problem Solving
Semua pihak bekerjasama untuk mendapatkan solusi yang memuaskan semua
pihak dan merupakan cara paling efektif. Langkah-langkah untuk mencapai solusi
ini adalah:
1) Mulai dengan berdiskusi oada waktu dan tempat yang kondusif.
2) Hargai perbedaan individu.
3) Bersikap emoati pada semua pihak.
4) Gunakan komunikasi asertif dengan memaparkan isu dan fakta, melihat dari
berbagai sudut pandang, membuat kerangka isu utama, menjadi pendengar
yang baik.
5) Setuju terhadap solusi yang seimbang (win-win solution).
b. Compromise
Dalam mode ini setiap pihak mengalami keuntungan dan kerugian. Mode ini
digunakan saat kedua pihak menginginkan keharmonisan dengan cara setiap sisi
membagi tuntutannya, sehingga jalan tengah diambil.
c. Defensive
Mode ini dilakukan jika dua metode lain tidak bisa digunakan. Mode ini bisa
untuk menambah waktu untuk menenangkan diri atau mencari cara yang lebih
efektif dalam mengelola konflik. Contoh strategi yang digunakan adalah
memisahkan pihak yang bertentangan (Julianto dan Soelarto, 2016).

4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi


manajemen konflik
Jika dijelaskan secara singkat, faktor yang mempengaruhi manajemen konflik per
individu diantaranya:
1) Internal: ketidakmampuan adaptasi yang menimbulkan tekanan sehingga
mudah frustasi konflik batin, ketidak pekaan pada persaan orang lain, dan
emosi labil.
2) Eksternal: pendidikan keluarga, lingkungan rumah dan sekolah, solidaritas
kelompok (Putra, 20150.
Sedangkan jika diuraikan, maka faktor yang empengaruhi manajemen konflik adalah:
a. Tipe kepemimpinan
Peran pemimpin dalam organisasi adalah menciptakan rasa aman dan harus bisa
mengelola konflik agar terselesaikan dengan baik. “Kepemimpinan pelayan”
adalah model kepemimpinan yang dikembangkan untuk mengatasi krisis yang
dialami suatu organisasi. Pemimpin pelatan mengutamakan kebutuhan,
kepentingan, dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya di atas
dirinya(Widyastuti, 2016).
b. Tipe komunikasi
Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi antara dua orang
atau lebih. Konflik terjadi karena kegagalan komunikasi interpersonal atau
komunikasi tidak efektif. Hal ini berarti gagasan yang disampaikan tidak mudah
dipahami, menjengkelkan, menciptakan jarak, serta gagal mendorong orang lain
untuk bertindak. Sedangkan komunikasi efektif apabila komunikasi adalah hal
yang menyenangkan bagi pihak yang terlibat (Dewi, 2013).

c. Tipe kepribadian
Menurut pandangan psikologi cara individu menyikapi konflik tergantung pada
seberapa penting tujuan pribadi dan hubungan individu tersebut dengan pihak lain.
Karakter kepribadian berpengaruh pada gaya manejemn konflik. Apakah individu
cenderung agresif, berorientasi kooperatif atau kompetitif, empati, dan
kemampuan menemukan alternatif penyelesaian konflik (Widyastuti, 2016).
Boardman dan Horowitz mengatakan faktor sikap etnosentrik (cara pandang yang
menggunakan norma kelompok sebagai tolak ukur dalam memandang segala
sesuatu, termasuk menilai orang lain) sangat berpengaruh. Sikap tersebut akan
memperkecil kemungkinan terjadi proses manajemen yang produktif dalam
interaksi antar individu dalam kelompok berbeda (Putra, 2015).

d. Budaya organisasi
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok dan diwariskan dari generasi ke generasi (Suheri, 2019). Di
dalam organisasi terdapat budaya yang tercipta oleh tiap individu dalam organisasi
tersebut. Budaya ini yang membedakan organisasi satu dengan lainnya, baik dari
perilaku, kemampuan bekerja, pengambilan keputusan, maupun penyelesaian
konflik (Widyastuti, 2016).
e. Sosio-ekonomi
Contohnya sistem imbalan.(Widyastuti, 2015)
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan konflik di bidang kesehatan
Masalah di bidang keperawatan
a. Belum ada kejelasan mengenai hirarki kompetensi perawatan yang berlaku secara
umum, sehingga standar kompetensi tersebut seringkali harus ditetapkan oleh
masing-masing lembaga pelayanan kesehatan secara terbatas dan berbedabeda
antara institusi kesehatan yang satu dengan yang lain. Contoh yang paling jelas
adalah belum adanya peraturan yang baku tentang batas kewenangan perawat
lulusan D3 dan S1.
b. Tuntutan kompetensi dari perawat yang diangkat sebagai supervisor pun belum
didefinisikan secara khusus. Posisi manajerial dalam keperawatan seringkali
diasumsikan berbanding lurus dengan durasi pengabdiannya di institusi kesehatan
yang bersangkutan atau pengalaman teknisnya, sehingga tuntutan akan
kompetensi manajerial justru tidak terpenuhi.
c. Hubungan kolaborasi dengan profesi lainnya (terutama dokter) juga belum
distandarisasi. Batasan antara wewenang perawat dan wewenang dokter seringkali
kabur, sehingga seringkali menyudutkan profesi perawat.
d. Standar kompensasi yang saat ini berlaku, masih berbasis profesi. Ini
menyebabkan timbulnya rasa ketidakadilan di sisi tenaga perawat karena untuk
tindakan yang sama dengan durasi serta risiko yang sama, tenaga perawat
mungkin menerima kompensasi yang lebih rendah dibandingkan profesi lainnya.
e. Belum adanya pemisahan fungsi manajerial dan teknikal pada profesi perawat.
Meskipun keduanya merupakan satu kesatuan kompetensi yang sulit dipisahkan,
namun pencampuradukkan fungsi manajerial dan teknikal pada satu orang tenaga
perawat menghasilkan konflik kepentingan dalam pemberian asuhan keperawatan.
Perawat yang menyandang dua fungsi tersebut setiap kali harus menentukan
kepentingan mana yang harus ia dahulukan, kepentingan pasien atau kepentingan
manajemen.
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan visi, misi dan tujuan organisasi

Daftar Pustaka

Dewi, T. H., & Handayani, A. (2013). Kemampuan mengelola konflik interpersonal di


tempat kerja ditinjau dari persepsi terhadap komunikasi interpersonal dan tipe
kepribadian ekstrovert. Jurnal Psikologi, 12(1), 1-12.
Julianto, M., & Soelarto, R. S. U. P. (2016). Peran dan Fungsi Manajemen Keperawatan
dalam Manajemen Konflik. Jurnal Rumah Sakit Fatmawati.
Putra, A. K. U. (2015). Gaya Manajemen Kompromi dalam Menekan Konflik
Antarkelompok (Studi kualitatif dengan Pendekatan Studi Kasus Mengenai Gaya
Manajemen Kompromi Antarkelompok di Asrama Putra SMA Terpadu Krida
Nusantara Angkatan 18 dan 19) (Doctoral dissertation, Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Islam Bandung (Unisba)).
Puspita, W. (2018). Manajemen Konflik: Suatu Pendekatan Psikologi, Komunikasi, dan
Pendidikan. Deepublish.
Sari, T. D., & Widyastuti, A. (2016). Hubungan antara kecerdasan emosi dengan
kemampuan manajemen konflik pada istri. Jurnal Psikologi, 11(1), 49-54.
Suheri, S. (2019). Akomodasi Komunikasi. Network Media, 2(1).
Widyastuti, T. (2016). PENGARUH KEPEMIMPINAN PELAYAN DAN BUDAYA
ORGANISASI TERHADAP PENGELOLAAN KONFLIK. Cakrawala-Jurnal
Humaniora, 16(2).
Widyastuti, T. (2017). Pengaruh Komunikasi Asertif Terhadap Pengelolaan
Konflik. Widya Cipta: Jurnal Sekretari dan Manajemen, 1(1), 1-7.

Anda mungkin juga menyukai