Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ANEMIA APLASTIK

NAMA : SITI AZIZAH


NIM : 19020084

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN dr. SOEBANDI JEMBER

YAYASAN JEMBER INTERNATIONAL SCHOOL

2019

1.1 Pengertian
Anemia aplastik merupakan keadaan yang disebabkan bekurangnya sel
hematopoetik dalam darah tepi seperti eritrosit, leukosit dan trombosit sebagai
akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang.
Anemia aplastik adalah anemia yang disebabkan terhentinya pembuatan sel
darah oleh sumsum tulang (kerusakan susum tulang).
Anemia aplastik merupaka keadaan yang disebabkan bekurangnya sel
hematopoetik dalam darah tepi seperti eritrosit, leukosit dan trombosit sebagai
akibat terhentinya pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang. (Staf
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI.2005)
1.2 Etiologi
Secara etiologik penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:
1. Faktor kongenital
Anemia aplastik yang diturunkan : sindroma fanconi yang biasanya
disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari,
kelainan ginjal dan sebagainya.(Aghe, 2009).
2. Faktor didapat
· 1. bahan kimia:
1) Hidrokarbon siklik: benzena & trinitrotoluena
2) Insektisida: chlorade atau DDT
3) Arsen anorganik (Bakta,2006)

2. obat-obatan :

Banyak obat kemoterapi yang mengsupresi sum-sum sebagai toksisitas


utamanya; efeknya tergantung dengan dosis dan dapat terjadi pada
semua pengguna. Berbeda dengan hal tersebut, reaksi idiosinkronasi
pada kebanyakan obat dapat menyebabkan anemia aplastik tanpa
hubungan dengan dosis. Hubungan ini berdasarkan dari laporan kasus
dan suatu penelitian internasional berskala besar di Eropa pada tahun
1980 secara kuantitatif menilai pengaruh obat, terutama analgesic
nonsteroid, sulfonamide, obat thyrostatik, beberapa psikotropika,
penisilamin, allopurinol, dan garam emas. (Aghe, 2009) . Tidak semua
hubungan selalu menyebabkan hubungan kausatif: obat tertentu dapat
digunakan untuk mengatasi gejala pertama dari kegagalan sum-sum
(antibiotic untuk demam atau gejala infeksi virus) atau memprovokasi
gejala pertama dari penyakit sebelumnya (petechiae akibat NSAID
yang diberikan pada pasien thrombositopenia). Pada konteks
penggunaan obat secara total, reaksi idiosinkronasi jarang terjadi
walaupun pada beberapa orang terjadi dengan sangat buruk.
Chloramphenicol, merupakan penyebab utama, namun dilaporkan
hanya menyebabkan anemia aplasia pada sekitar 1/60.000 pengobatan
dan kemungkinan angka kejadiannya sebenarnya lebih sedikit dari itu
(resiko selalu lebih besar ketika berdasar kepada kumpulan kasus
kejadiannya; walaupun pengenalan chloramphenicol dicurigai
menyebabkan epidemic anemia aplasia, penghentian pemakaiannya
tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi kegagalan sum-sum
tulang). Perkiraan resiko biasanya lebih rendah ketika penelitian
berdasarkan populasi ( Harisson, 2008).
3. Akibat kehamilan
Pada kehamilan kadang-kadang ditemukan pansitopenia yang disertai
aplasia sumsum tulang yang berlangsungnya bersifat sementara.
Mungkin ini disebabkan oleh estrogen dengan predisposisi genetik,
adanya zat penghambat dalam darah atau tidak adanya perangsang
hematopoiesis. Anemia ini sembuh setelah terminasi kehamilan dan
dapat kambuh lagi pada kehamilan berikutnya (Wijanarko, 2007).
· 4. Infeksi :
Hepatitis merupakan infeksi yang paling sering terjadi sebelum
terjadinya anemia aplasia, dan kegagalan sum-sum paska hepatitis
terhitung 5% dari etiologi pada kebanyakan kejadian. Pasien biasanya
pria muda yang sembuh dari serangan peradangan hati 1 hingga 2
bulan sebelumnya; pansitopenia biasanya sangat berat. Hepatitis
biasanya seronegatif (non-A, non-B, non-C, non-G) dan kemungkinan
disebabkan oleh virus baru yang tidak terdeteksi. Kegagalan hepar
fulminan pada anak biasanya terjadi setelah hepatitis seronegatif dan
kegagalan sum-sum terjadi pada lebih sering pada pasien ini. Anemia
aplastik terkadang terjadi setelah infeksi mononucleosis, dan virus
Eipsten-Barr telah ditemukan pada sum-sum pada sebagian pasien,
beberapanya tanpa disertai riwayat penyakit sebelumnya. Parvovirus
B19, penyebab krisis aplastik transient pada anemia hemolitik dan
beberapa PRCA (Pure Red Cell Anemia), tidak biasanya menyebabkan
kegagalan sum-sum tulang yang luas. Penurunan hitung darah yang
ringan sering terjadi pada perjalanan penyakit beberapa infeksi bakteri
dan virus namun sembuh kembali setelah infeksi berakhir (Harrison,
2008).
5. Radiasi
Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi
dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA
dimana jaringan-jaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan
hematopoiesis sangat sensitif. Bila stem sel hematopoiesis yang
terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula
pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis (Aghe,2009).
Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi,
dosis dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi
berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi
tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan
penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien
yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis
yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis
kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X).
Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi
antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang
ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien
dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis
radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum
tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga
dapat menyebabkan anemia aplastik. (Solander, 2006)
1.3 Klasifikasi
a. Eritroblastopenia (anemia hipoblastik) yaitu aplasia yang hanya mengenai
system eritropetik
b. Agranulositosis ( anemia hipoplastik) yaitu aplasia yang mengenai system
agranulopoetik
c. Amegakaryositik (Penyakit Schultz) yaitu aplasia yang mengenai system
trombopoetik
d. Panmieloptsis (anemia aplastic) yaitu aplasia yang mengenai ketiga
system diatas( eritropoetik, agranulopoetik, trombopoetik)

1.4 Patofisiologi

Penyebab anemia aplastik adalah faktor kongenital, faktor didapat antara


lain : bahan kimia, obat, radiasi, faktor individu, infeksi, idiopatik. Apabila
pajanan dilanjutkan setelah tanda hipoplasia muncul, maka depresi sumsum tulang
akan berkembang sampai titik dimana terjadi kegagalan sempurna dan ireversibel.
Disinilah pentingnya pemeriksaan angka darah sesering mungkin pada pasien
yang mendapat pengobatan atau terpajan secara teratur pada bahan kimia yang
dapat menyebabkan anemia aplastik. Karena terjadi penurunan jumlah sel dalam
susmsum tulang, aspirasi sumsum tulang sering hanya menghasilkan beberapa
tetes darah. Maka perlu dilakukan biopsy untuk menentukan beratnya penurun
elemen susmsum normal dan pergantian oleh lemak. Abnormalitas mungkin
terjadi pada sel stem, prekusor granulosit, eritrosit dan trombosit, akibatnya terjadi
pansitopenia. Pansitopenia adalah menurunnya sel darah merah, sel darah putih
dan trombosit. Penurunan sel darah (anemia) ditandai dengan menurunnya tingkat
hemoglobin dan hematokrit. Penurunan sel darah merah menyebabkan penurunan
jumlah sel oksigen yang dikirimkan ke jaringan, biasanya ditandai dengan
kelemahan, kelelahan, dispnea, takikardia, ekstremitas dingin dan pucat.

Kelainan kedua setelah anemia yaitu leukopenia atau menurunnya jumlah sel
darah putih >5000-10.000/ml darah (mmᵌ) penurunan sel darah putih ini akan
menyebabkan agranulositosis dan akhirnya menekan respon inflamasi. Respon
inflamasi yang tertekan akan menyebabkan infeksi dan penurunan sistem imunitas
fisik mekanik dimana dapat menyerang pada selaput lendir, kulit, silia saluran
napas sehingga bila selaput lendirnya yang terkena maka akan mengakibatkan
ulserasi dan nyeri pada mulut serta faring, sehingga mengalami kesulitan dalam
menelan dan menyebabkan penurunan masukan diet dalam tubuh.

Kelainan ketiga setelah anemia dan leukopenia yaitu trombositopenia,


trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit dibawah 100.000/mmᵌ.
Akibat dari trombositopenia yaitu antara lain ekimosis, ptekie, epistaksis,
perdarahan saluran kemih, perdarahan susunan saraf dan perdarahan saluran
cerna. Gejala dari perdarahan saluran cerna adalah anoreksia, nausea, konstipasi,
atau diare dan stomatitis (sariawan pada lidah dan mulut), perdarahan saluran
cerna dapat menyebabkan hematemesis melena. Perdarahan akibat
trombositopenia mengakibatkan aliran darah ke jaringan menurun. (Brunner and
Suddarth, 2002)
1.5 Pathway
Faktor kongenital, faktor didapat

Hipoplasia

Depresi sumsum tulang

Kegagalam sempurna dan


ireversibel

Penurunan jumlah sel dalam


sumsum tulang
biopsi Defisiensi
pengetahuan
Abnormalitas pada sel stem, prekusor granulosit,
eritrosit, dan trombosit

Pansitopenia
Pansitopenia

Leukopenia ( leukosit <4500- Trombositopenia ( platelet <


Anemia ( Hb < 12-16 gr/dl
10.000/mm3 100.00/mm3)
Sirkulasi oksigen yang Sel darah putih turun Gangguan dalam pembekuan darah
dikirim ke jaringan
menurun
Perdarahan
Agranulositosis

kelemahan Ketidakefektifan perfusi


Pucat, ekstermitas Respon inflamasi jaringan perrifer
dingin tertekan
Intoleransi
aktifitas
Ketidakefektifan Berpengaruh pada
perfusi jaringan Resiko infeksi pertahanan fisis
mekanis
perifer

Ulserasi pada mukosa


dan faring

Kesulitan menelan
Nyeri

Anoreksia

Konstipasi Intake makanan


menurun

BB menurun

Kebutuhan nutrisi kurang dari


kebutuhan tbuh
1.6 Manifestasi Klinis
a. Pucat
b.Kelemahan
c. Sesak nafas
d. Ruam
e. Mudah lebam
f. Hidung berdarah
g. Gusi berdarah
h. Anoreksia
i.Sakit tenggorokan
j. Ulserasi Mulut dan faring
k. Perdarahan ke dalam tenggorokan, gusi,usus dan ginjal.

1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboraturium
a) Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang
terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda
regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi
menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan
makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis. (Widjanarko, 2007)
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif
terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan
trombosit kurang dari 20.000/mm3menandakan anemia aplastik berat. Jumlah
neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.
(Solander, 2006) Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara
kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit,
leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang
didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya
produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel
aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini
produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa
minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.(Aghe,2009) Laju
endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan
begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia.
Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan
pada anemia aplastik konstitusional.Plasma darah biasanya mengandung growth
factor hematopoiesis, termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang
menstimulasi koloni myeloid. Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe
memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi
(Solander,2006).
b) Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah
yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel
plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan
kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen
ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi
adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan
normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah
(Solander,2006). Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik
secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan
gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat
kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat
hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum
tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis
(Aghe,2009)
c) Laju Endap Darah
Laju endap darah selalu meningkat. Ditemukan bahwa 62 dari 70 kasus (89%)
mempunyai laju endap darah lebi dari 100 mm dalam jam pertama. (Widjanarko,
2007).
d) Faal Hemostasis
Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh
trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal (Widjanarko, 2007).
2. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosa anemia aplastik. Survei skletelal khusunya berguna
untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang diturunkan, karena banyak
diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada pemeriksaan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu
ketidakhadiran elemen seluler dan digantikan oleh jaringan
lemak(Solander, 2006).
a. Nuclear Magnetic Resonance Imaging
Pemeriksaan ini merupakan caara terbaik untuk mengetahui
luasnya perlemakan karena dapat membuat pemisahan tegas antara daerah
sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang berseluler(Widjanarko,
2007).
b. Radionuclide Bone Marrow Imaging
Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning
tubuh setelah disuntik dengan koloidradioaktif technetium sulfur yang
akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodium cloride yang akan
terikat pada transferrin(Widjanarko, 2007).
1.8 Diagnosa Banding
a. Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell
leukemia
Anemia megaloblastik
b. Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
1.9 Penatalaksanaan
1. Manajemen Awal Anemia Aplastik
• Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga
menjadi penyebab anemia aplastik.
• Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
• Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang
dibutuhkan.
• Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
• Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme
spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat
badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur)
pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-
CSF.
• Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan
histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien.
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG,
siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.9
Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi
sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang
cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau
beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling
baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien
yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik
dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih
tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif.
Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia
aplastik.
a. Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red
cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi
trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah
20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.
Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti
terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang
cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung).
Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak
dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa
hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek.
b. Terapi Imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte globulin
(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau
ALG diindikasikan pada :
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat
pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih
dari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin
melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan
stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis.
Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi
ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan
menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik.
Protokol Pemberian ATG pada anemia aplastik
Dosis test ATG :
ATG 1:1000 diencerkan dengan saline 0,1 cc disuntikan intradermal pada lengan
dengan saline kontrol 0,1 cc disuntikkan intradermal pada lengan sebelahnya. Bila
tidak ada reaksi anafilaksis, ATG dapat diberikan.
Premedikasi untuk ATG (diberikan 30 menit sebelum ATG) :
Asetaminofen 650 mg peroral
Difenhidrahim 50 mg p.o atau intravena perbolus
Hidrokortison 50 mg intravena perbolus
Terapi ATG :
ATG 40 g/kg dalam 1000 cc NS selama 8-12 jam perhari untuk 4 hari
Obat-obat yang diberikan serentak dengan ATG :
Prednison 100 mg/mm2 peroral 4 kali sehari dimulai bersamaan dengan ATG dan
dilanjutkan selama 10-14 hari; kemudian bila tidak terjadi serum sickness,
tapering dosis setiap 2 minggu.
Siklosporin 5mg/kg/hari peroral diberikan 2 kali sehari sampai respon maksimal
kemudian di turunkan 1 mg/kg atau lebih lambat. Pasien usia 50 tahun atau lebih
mendapatkan dosis siklosporin 4mg/kg. Dosis juga harus diturunkan bila terdapat
kerusakan fungsi ginjal atau peningkatan enzim hati.
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi
ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70%
pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka
remisi sebesar 46%.
Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi
imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki
kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap
siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat
imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini
pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari
pada kombinasi ATG dan siklosporin. Pemberian dosis tinggi siklofosfamid
sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini
belum dikonfirmasi. Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan
lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah
dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG.
c. Terapi penyelamatan (Salvage theraphies)
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian faktor-
faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik.
Pasien yang refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap
siklus imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yang refrakter
ATG kuda tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik seperti Granulocyte-Colony
Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan tetapi
neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan neutrofil
oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor pertumbuhan
hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi anemia
aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan untuk
terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang
lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin dan
sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk
ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen
digunakan sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi
imunosupresif.
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil
pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan
HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum
dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan
terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula
kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host
Disesase/GVHD).15 Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang
lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda.
Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang
lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif Pasien dengan
umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka
pemberian transplantasi sumsum tulang dapat dipertimbangkan. Akan tetapi
survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah
mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum
mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali.
Pada pasien yang mendapat terapi imunosupresif sering kali diperlukan transfusi
selama beberapa bulan. Transfusi komponen darah tersebut sedapat mungkin
diambil dari donor yang bukan potensial sebagai donor sumsum tulang. Hal ini
diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan cangkokan (graft rejection) karena
antibodi yang terbentuk akibat tansfusi.
Kriteria respon terapi menurut kelompok European Marrow Transplantation
(EBMT) adalah sebagai berikut :
- Remisi komplit : bebas transfusi, granulosit sekurang-kurangnya 2000/mm3 dan
trombosit sekurang-kurangnya 100.000/mm3.
- Remisi sebagian : tidak tergantung pada transfusi, granulosit dibawah 2000/mm3
dan trombosit dibawah 100.000/mm3.
- Refrakter : tidak ada perbaikan.
1.10 Komplikasi
1) Gagal jantung dan kematian akibat beban jantung yang berlebihan dapat
terjadi pada anemia berat.
2) Kematian akibat infeksi dan perdarahan jika sel darah putih atau trombosit
juga terlibat.
(Corwin, 2009)

1.11 Proses Keperaawatan


1.1.1 Pengkajian
A. Pengkajian
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari anemia yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa
berupa kronologi terjadinya penyakit.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab anema aplastik, serta
penyakit yang pernah diderita klien sebelumnya yang dapat memperparah keadaan
klien dan menghambat proses penyembuhan.
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit anemia merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya anemia, sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan anemia aplastik yang cenderung diturunkan secara genetik.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Aktivitas / Istirahat
• Keletihan, kelemahan otot, malaise umum.
• Kebutuhan untuk tidur dan istirahat lebih banyak.
• Takikardia, takipnea ; dipsnea pada saat beraktivitas atau istirahat.
• Letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya.
• Ataksia, tubuh tidak tegak.
• Bahu menurun, postur lunglai, berjalan lambat dan tanda – tanda lain yang
menunjukkan keletihan
b) Sirkulasi
• Riwayat kehilangan darah kronis, mis : perdarahan GI.
• Palpitasi (takikardia kompensasi).
• Hipotensi postural.
• Disritmia : abnormalitas EKG mis : depresi segmen ST dan pendataran atau
depresi gelombang T.
• Bunyi jantung murmur sistolik.
• Ekstremitas : pucat pada kulit dan membrane mukosa (konjungtiva, mulut,
faring, bibir) dan dasar kuku.
• Sclera biru atau putih seperti mutiara.
• Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke perifer dan
vasokonsriksi kompensasi).
• Kuku mudah patah, berbentuk seperti sendok (koilonikia).
• Rambut kering, mudah putus, menipis
a) Integritas Ego
• Keyakinan agama / budaya mempengaruhi pilihan pengobatan mis transfusi
darah.
• Depresi
b) Eliminasi
• Riwayat pielonefritis, gagal ginjal.
• Flatulen, sindrom malabsorpsi.
• Hematemesis, feses dengan darah segar, melena.
• Diare atau konstipasi.
• Penurunan haluaran urine.
• Distensi abdomen.
c) Makanan / cairan
• Penurunan masukan diet.
• Nyeri mulut atau lidah, kesulitan menelan (ulkus pada faring).
• Mual/muntah, dyspepsia, anoreksia.
• Adanya penurunan berat badan.
• Membran mukosa kering,pucat.
• Turgor kulit buruk, kering, tidak elastis.
• Stomatitis.
• Inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah

d) Neurosensori
• Sakit kepala, berdenyut, pusing, vertigo, tinnitus, ketidakmampuan
berkonsentrasi.
• Insomnia, penurunan penglihatan dan bayangan pada mata.
• Kelemahan, keseimbangan buruk, parestesia tangan / kaki.
• Peka rangsang, gelisah, depresi, apatis.
• Tidak mampu berespon lambat dan dangkal.
• Hemoragis retina.
• Epistaksis.
• Gangguan koordinasi, ataksia.
e) Nyeri/kenyamanan
• Nyeri abdomen samar, sakit kepala
f) Pernapasan
• Napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
• Takipnea, ortopnea dan dispnea.
g) Keamanan
• Riwayat terpajan terhadap bahan kimia mis : benzene, insektisida,
fenilbutazon, naftalen.
• Tidak toleran terhadap dingin dan / atau panas.
• Transfusi darah sebelumnya.
• Gangguan penglihatan.
• Penyembuhan luka buruk, sering infeksi.
• Demam rendah, menggigil, berkeringat malam.
• Limfadenopati umum.
• Petekie dan ekimosis
1.1.2 Diagnosa
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
b. Intoleransi aktifitas
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
d. Resiko infeksi
e. Defisiensi Pengetahuan
f. Konstipasi
No Diagnosa Rencana Keperawatan
Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam Perawatan Sirkulasi
perfusi jaringan Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer dengan kriteria 1. Lakukan penilaian sirkulasi
perifer hasil: perifer secara komprehensif
( seperti mengecek nadi perifer,
Perfusi jaringan perifer ( 0407)
edema, waktu pengisian kapiler,
warna dan suhu kulit )
Kode Indikator S.A ST
040715 Pengisian 3 5 2. Monitor tingkat
kapiler jari ketidaknyamanan atau nyeri
040716 Pengisian 3 5 dada
kapiler jari 3. Berikan tranfusi darah yang
kaki
040710 Suhu kulit 3 5 sesuai
ujung kaki 4. Monitor intake dan output
dan tangan cairan
040727 Tekanan 3 5 5. Monitor adanya demam atau
darah
diastolik leukositosis
040728 Tekanan 3 5 6. Monitor nilai elektrolit, BUN,
darah sistolik kreatinin setiap hari
040743 Muka pucat 3 5 7. Ubah posisi pasien setiap 2 jam
sekali
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. (Agung Waluyo: Penerjemah). Ed. 8. Jakarta: EGC.


NANDA International.2015. Diagnosis keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2015-2017. Jakarta: EGC
Nursing Interventions Clasifications (NIC) : Elsevier
Nursing Outcomes Clasifications (NOC) : Elsevier
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. (Brahm U. Pendit: Penerjemah). Ed. 6. Jakarta: EGC.
Smeltzer, A. C., & Bare, B. G. 2002. Buku ajar keperawatan medical bedah

Anda mungkin juga menyukai