Anda di halaman 1dari 20

Penulis : Helena Spanjaard

Penerbit : Ombak
Tempat Terbit : Yogyakarta
Tahun : 2018
Tebal : 338 halaman

Ketika Indonesianis melacak Cita-cita


“Seni Lukis Modern” Kita?
adhi pandoyo
… Maar de hedendaagse kunst is niet langer
geografisch in te delen. De hedendaagse kunst is
transcultureel en bevat elementen uit vele culturen.
Een analyse van modern Indonesische kunst kan
alleen plaatsvinden vanuit een pluriform wereldbeeld,
waarin westerse en Indonesische warden en normen
naast elkaar kunnen bestaan. Het westen zou,
vanwege het modiale karakter van de hedendaagse
kunst, veel gebaat zijn bij meer informatie van
Indonesische kant. Een dergelijke informatie kan
voorkomen dat vormen van neo-exotisme binnen het
international kunstcircuit blijven bestaan. Het formuleren en naar buiten brengen van
Indonesische kunstcriteria kan ook een coorigerende invloed hebben op de dominante rol die
tot nu toe door het westen werd gespeeld bij de beoorde ling van “andere, niet-westerse” kunst.
De beeldvorming rond “de ander” kan zo genuanceerd worden en uiteindelijk leiden tot een
evenwichtiger dialog tussen beide partijen: Het westen (Nederland) en Indonesia. (hlm.283-
284).

Paragraf di atas merupakan bagian paling akhir dari ringkasan pendek yang dilampirkan
dalam buku “Cita-cita Seni Lukis Indonesia Modern 1900-1995”. Ringkasan ini
tampaknya dikutip sebagaimana dalam buku aslinya: Het Ideaal van een Moderne
Indonesische Schilderkunst 1900-1995: De Creatie van een Nationale Culturele
Identiteit. Drs Iswahyudi M.Hum, salah seorang pengajar di Universitas Negeri
Yogyakarta, sengaja menerjemahkan langsung ke dalam Bahasa Indonesia. Konon naskah
terjemahan itu sejak beberapa tahun lalu mangkrak di kamar kerja penerbit dan baru
ditepati pada jelang akhir tahun 2018. Menarik bahwa dalam edisi Indonesia, ditampilkan
ringkasan tersebut dalam bahasa aslinya (belanda), dan bahasa Inggris (hlm. 279-281).
Adapun Iswahyudi menerjemahkan dalam Bahasa Indonesia (hlm. 276-278), misalnya
paragraf yang saya kutip di atas sbb:
… Tetapi, seni rupa zaman sekarang tidak dapat lagi dipilah-pilah secara geografis. Seni rupa
zaman sekarang bersifat transkultural dan mengandung unsur-unsur dari banyak
kebudayaan. Suatu analisis terhadap seni rupa Indonesia modern hanya dapat dilakukan dari
sudut pandang citra dunia yang majemuk (pluriform), dengan nilai-nilai dan norma-norma
Indonesia dan Barat hadir dan berdampingan. Karena seni rupa zaman sekarang bersifat
global, maka Barat akan memperoleh manfaat yang besar dengan menggalang informasi dari
sisi Indonesia. Informasi yang demikian dapat menghindari keberlanjutan gejala neo-
eksotisme di kalangan seni rupa internasional. Dengan merumuskan dan menampilkan
kriteria seni rupa Indonesia, ini dapat juga membawa dampak yang korektif terhadap
peranan Barat yang selama ini selalu dominan dalam memberikan penilaian terhadap seni
rupa “yang lain”, yang non-Barat. Dengan demikian, citra sekitar pihak “yang lain” tersebut
dapat memperoleh nuansa dan, akhirnya dapat menghasilkan suatu dialog yang lebih
seimbang antara kedua pihak, yaitu pihak Barat (Belanda) dan Indonesia. (hlm. 278).

Taruhlah kita semua sebagai pembaca menerima terjemahan Iswahyudi di atas maupun
keseluruhan buku edisi Indonesia ini.1 Lalu saya beranjak pada sepenggal paragraf paling
akhir dalam "ringkasan", yang juga saya anggap sangat penting. Yakni bahwasanya Helena
Spanjaard meyakini bahwa keberdampingan seni rupa Barat dengan Indonesia hingga hari
ini, atau setidaknya ketika penelitiannya berakhir pada 1995, adalah sebentuk fenomena
kemajemukan atau disebutnya pluriform. Hal ini diungkapkan dalam tiga kesimpulan
pokok (hlm. 275), sbb:
1. Gambaran dunia kolonial yang modern dengan seni Timur yang bersifat tradisional dan
pertukangan sudah usang.
2. Kriteria yang bersifat “universal” dari sejarah seni Barat yang sesuai aturan apabila
diterapkan sebagai tolok ukur bagi belahan dunia lainnya akan menjadi tidak berlaku lagi.
3. Seni global masa kiini hanya dapat dinilai berdasarkan sebuah gambaran dunia yang bersifat
pluralistis sengan berbagai macam budaya saling berdampingan satu sama lain, juga
berbagai pendapat seni yang ada

Masih dalam halaman yang sama, Spanjaard menambahkan bahwa “Pada dasawarsa
mendatang dunia seni Barat juga akan dikonfrontasikan dengan dasar pikiran kolonialnya
yang bersifat inhern, dan yang harus direlatifkan”. Lebih jauh, Spanjaard seperti ingin
menegaskan perlunya nilai-nilai kelokalan, yang berguna bagi sejarawan seni Barat
maupun kritikus seni Indonesia. Lantas, benarkah karangan Spanjaard memberi latar
belakang yang memadai bagi pemahaman sejarah seni rupa kita?
Simptom Eurosentrisme yang laten
Dalam karya masyhurnya, Orientalisme, Edward Said berulang kali menjelaskan
bagaimana timur diimajinasikan, diciptakan oleh para orientalis. Salah satu penjelasan Said
yang gamblang, sebagaimana saya kutip sbb:
In other words, representations have purposes, they are effective much of the time,
they accomplish one or many tasks. Representations are formations, or as Roland Barthes has
said of all the operations of language, they are deformations, The Orient as a representation in
Europe is formed--or deformed--out of a more and more specific sensitivity towards a
geographical region called "the East." Specialists in this region do their work on it, so to speak,
because in time their profession as Orientalists requires that they present their society with
images of the Orient, knowledge about it, insight into it. And to a very large extent the
Orientalist provides his own society with representations of the Orient (a) that bear his
distinctive imprint, (b) that illustrate his conception of what the Orient can or ought to be, (c)

1 Dalam sebuah diskusi atas buku ini, yakni yang berlangsung pada 13 Desember 2018 di Gedung Ajiyasa,

lantai 1, Kampus ISI Yogyakarta; Salah seorang penanya, yang mengaku sebagai seorang kurator independen, tampak
sibuk meragukan kualitas penerjemahan Iswahyudi hingga mempermasalahkan kesalahan-kesalahan cetak (typo).
Kendati hal tersebut tak kalah penting, namun saya memutuskan untuk tidak turut mempertanyakan terjemahan
maupun hal-hal teknis tersebut, agar semata-mata lebih berkutat pada muatan bahasan/konten utama dalam sebuah
buku.
that consciously contest someone else's view of the Orient, (d) that provide Orientalist
discourse with what, at that moment, it seems most in need of, and (e) that respond to certain
cultural, professional, national, political, and economic requirements of the epoch. It will be
evident that even though it will never be absent, the role of positive knowledge is far
from absolute, Rather, "knowledge"-never raw; unmediated, Or simply objective-is
what the five attributes of Orientalist representation listed above distribute, and
redistribute.2 (pg. 273-274)

Demikianlah salah satu penjelasan Edward Said tentang bagaimana Timur, diciptakan,
dikonstruksikan melalui serangkaian kinerja para peneliti. Harus disadari bahwa
orientalisme menjadi peran imajinatif pikiran maupun gaya berpikir yang meliputi dua
millenium kesadaran "barat" terhadap “timur” alias ciptaan tentang non-barat (Gandhi,
2007: 100). Terciptalah sebuah stereotype tentang masyarakat timur dan negara-negara
timur.
Kendati memang Edward Said dan karyanya dianggap membukakan jalan bagi pemikiran
pacakolonial, namun muncul juga kritik atasnya, bahwa stereotip orientalis itu -melalui apa
yang disebut Said sebagai orientalisme-, rupanya tidaklah seperti yang dituduhkan Said
sebagai wacana kolonial-imperialis yang menyeluruh dan terpadu (Gandhi, 2007: 102).
Akan tetapi ambivalen, sehingga sebagai teks cenderung terbatas, sebab gagal
mengakomodasi kemungkinan perbedaan dalam wacana ketimuran. Oleh sebabnya,
mendesak bagi kita untuk menolak kesenangan atas stereotype kebaratan. Semata-mata agar
para terjajah tidak secara hitam putih melihat oposisi barat dan timur. Leela Gandhi lebih
lanjut menekankan perlunya pembacaan kembali formulasi orientalisme, memeriksa arsip
kajian para orientalis maupun mendengarkan dengan seksama pendapat para orientalis itu
sendiri. (Gandhi, 2007: hlm. 103-104). Hal ini tampaknya guna mengurai kembali bercak-
bercak arogansi epistemologis Eropa dalam konstruksi “pengetahuan barat”-nya, sehingga
dapat membantu mengeskavasi puing-puing pengetahuan masing-masing wilayah terjajah,
atau wilayah yang telah lama ditafsirkan sepihak oleh barat. Dengan harapan bahwa pihak
yang telah lama direpresentasi, perlahan bisa memulai berbicara sendiri. Kerja berat inilah,
yang tampaknya sejalan dengan upaya seni rupa Indonesia mencari identitasnya sendiri
hingga saat ini. Lantas bagaimana dengan narasi buku ini? Berada di posisi manakah karya
ini?
Sejak bab pendahuluan, Spanjaard sengaja menyitir Said terkait munculnya monopoli Barat
atas Timur. Timur pun dianggap “misterius”. Sehingga Barat hendak mendokumentasikan
segala temuan para orientalis atas Timur, untuk kemudian diciptakan tafsiran berbasis
imajiner atas timur, sesuai kehendaknya. Dari situ terciptalah wacana kolonial yang
berbasis: “...pemisahan antara timur dan barat, yang mana menekankan pada hubungan
hierarkis antara kolonisator dengan penduduk di daerah koloni, berdasarkan hubungan-
hubungan kekuasaan yang ada” (hlm. 8). Menariknya, wacana kolonial ini dilegitimasi
sebagai pengetahuan ilmiah yang kemudian diyakini dan diakui oleh kaum terjajah sebagai

2 Lihat juga Edward Said, Orientalisme, terj: Achmad Fawaid (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.
424-425.
identitas dirinya. Spanjaard sendiri menunjukkan bahwa keberlanjutan wacana kolonial
tersebut masih eksis di dalam arus utama historiografi seni rupa Indonesia.
Hal tersebut dicipta mulai dari adanya kecenderungan eurosentrisme, sehingga tercipta
oposisi biner yang meringkas dunia menjadi yang "barat" dan yang "bukan barat". Dalam
Bab ketiga, berjudul “Nasionalisme yang sedang tumbuh: Barat atau Timur” (hlm. 80-110),
Spanjaard secara khusus menyebut bagaimana wacana kolonial bekerja dalam alam
kolonialisme di Indonesia. Dalam sub judul “Upaya memajukan Budaya Timur”, Spanjaard
menyebut bagaimana perkumpulan “Het Java Instituut” yang didirikan pada 17 Desember
1919, dengan diketuai oleh Prangwedono, selaku Kepala Kraton Mangkunegoro dan Raden
Husein Djajadiningrat, selaku ahli bahasa yang telah lulus dari pendidikannya di Belanda
(hlm. 99). Dari eksistensi Java Instituut inilah terbukti -kendati sayangnya tidak ditegaskan
oleh Spanjaard-, bagaimana masyarakat "pribumi" dididik mengetahui dirinya sendiri
melalui "pengetahuan buatan" tentang dirinya, yang sejak awal dibuat oleh dan demi
kepentingan kolonial. Mekanisme ini berlaku bagi mereka yang dididik sampai di negeri
Induk Belanda, sebagaimana Raden Husein Djajadiningrat, dan masih banyak lagi
tentunya; Maupun di dalam keberadaan dan kinerja lembaga-lembaga pendidikan formal
yang bermunculan di Hindia-Belanda, seiring kebijakan Politik Etis terkait pendidikan. Tak
heran Java Instituut pun mendaku: “bertujuan untuk memajukan pengetahuan mengenai
budaya-budaya penduduk pribumi yang saling berhubungan yaitu budaya Jawa, Madura, dan
Bali” (hlm. 100).
Upaya tersebut dicatat Spanjaard, mulai dari penerbitan artikel-artikel “ilmiah” sebagai
“penerangan budaya pribumi kepada publik”, yang mana mencangkup bidang-bidang ilmu
Sastra Jawa, Arkeologi, Musik dan Tari Jawa, Sejarah, dan Antropologi (hlm. 100); hingga
terbitan, yakni “Majalah Djawa”, disusul dua kongres di Solo, yakni Kongres "Perkembangan
Budaya Jawa" pada Juli 1918, dan Kongres "Ilmu Bahasa, Geografi dan Penduduk" pada
Desember 1919. Spanjaard hanya memberi keterangan akhir terkait Java Instituut,
bahwasanya: “…kebesaran “masa lampau Timur” dimuliakan, dikonservasi, atau bahkan
direkonstruksi, baik oleh orang-orang Belanda maupun orang-orang Indonesia sendiri”.
Sayangnya alih-alih memosisikan bagaimana wacana kolonial yang bekerja dalam
menciptakan pengetahuan tentang "bagaimana Indonesia mesti dimaknai" -dalam bahasa
Said, what the Orient can or ought to be-, untuk diklaim sebagai pengetahuan, lalu secara
sistematis diproduksi dan didistribusikan oleh orang-orang "Pribumi" sendiri; Spanjaard
justru terasa lugas mendudukkan bahwa Lembaga Java Instituut telah melakukan “misi
pemberadaban” yang berimbang. inilah pertanda bahwa Spanjaard mulai tampak tidak
tegas, alih-alih hendak memberi narasi sejarah yang berimbang dan netral, layaknya klaim
obyektif akademis. Terlebih, caranya memberi judul sub-bab “Upaya Memajukan Budaya
Timur”, yang seakan masih melakukan -dalam bahasa Said- redistribute atas proyek
orientalisme maupun wacana kolonial. Dari situ timbul kecurigaan saya akan kinerja
Spanjaard, terkait sejauh mana konsistensinya menekankan kritik pascakolonial.
Memang secara eksplisit, Spanjaard mengutip para pemikir kunci dalam studi
pascakolonial, sebagai kritik atas eurosentrisme; Hal mana Spanjaard selain menyinggung
Edward Said, juga mengutip cukup panjang tulisan Franz Fanon dalam buku: De
Verworpenen der Aarde (Amsterdam, 1984), dengan edisi asli berbahasa Perancis: Les
Damnés de la Terre (Paris, 1961), yang dalam edisi Bahasa Inggris: The Wretched of The Earth
(New York, 1963), pun ada dalam edisi Bahasa Indonesia: Bumi Berantakan (Teplok, 2000)
; Sbb:
Kaum Intelektual di daerah jajahan tidak sadar bahwa dirinya pada saat yang sama menjadi
seorang ahli karya budaya, ahli teknik, dan menggunakan bahasa yang diperolehnya dari
penjajah. Ia hanya membubuhkan sebuah cap pada berbagai instrumen yang menjadi bersifat
nasional, akan tetapi menjadi aneh karena terlalu banyak berpikir tentang eksotisme. (hlm. 9)

Problematika psikologis yang dikutip dari Fanon tersebut, dianalogikan Spanjaard dengan
nasib kejiwaan para intelektual maupun pelukis Indonesia. Sehingga perasaan ingin
membebaskan diri dari belenggu latar belakang kolonialnya, dinilai Spanjaard sebagai
suatu alasan untuk kemudian: “…mengasingkan diri mereka dari budayanya sendiri maka
mereka sebenarnya sampai dengan tahun 1965 tetap menggunakan “Teknik-teknik dan
bahasa” dari pihak penjajah” (hlm. 9). Hal inilah yang dibedakan Spanjaard dengan seni
rupa Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand -setelah berpijak pada karangan A.
Poshyananda, berjudul: Modern Art in Thailand, Nineteenth and Twentieth Century- yang
mana mengembangkan diri dengan bergantung pada seni tradisional. Demikian unikkah
seni rupa Indonesia, sehingga gejolak batin senimannya begitu berbeda dengan negara-
negara tetangganya yang sebagian juga mengalami kolonialisme?
Pertanyaan tersebut tidak bisa dipastikan jawabannya dalam buku ini. Namun Spanjaard
dalam bab pendahuluan, dalam sub judul “Orientalisme Belanda dan Nasionalisme
Indonesia”, menjabarkan bagaimana proyeksi kolonial terhadap seni Indonesia, sebagai
seni tradisional yang statis: “Seni Timur dibekukan dan ditempatkan pada sebuah dimensi
yang tanpa waktu dan mistis” (hlm. 8). Hal ini bagi Spanjaard, kentara dalam caranya
memosisikan seni tradisional Indonesia sebagai seni “klasik”, sebagaimana dalam memaknai
Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi-candi lainnya, hingga Seni Tradisional di Bali
yang kesemuanya secara linier ditempatkan sebagai: “Penghubung antara tradisi dengan
seni modern…” yang mana “…di dalamnya tetap dipertahankan pemisahan antara Timur dan
Barat” (hlm. 8). Spanjaard melihat, dengan diilhami pandangan Edward Said, bahwa
pemahaman oposisi biner maupaun polarisasi yang memisahkan Barat dan Timur itu
semata-mata demi melanggengkan hubungan hierarkis antara penjajah dengan terjajah
sebagaimana hegemoni dan subordinasi yang jelas terjadi di dalam kolonialisme maupun
kolonisasi. Spanjaard pun tampak demikian luwes menempatkan kritiknya terhadap
Eurosentrisme berbasis Orientalisme, yang kemudian menjangkiti persepsi atas
historiografi seni di Indonesia.
Akan tetapi amatlah disayangkan manakala di dalam cara penulisannya, Spanjaard jelas-jelas
masih menganggap bahwa seni lukis di atas kain untuk kepentingan ritual keagamaan
Hindu -yang ada di Desa Kamasan, di dekat Klungkung- adalah “Bentuk paling penting
dari seni lukis Indonesia…” (hlm. 7). Padahal pemosisian karya seni pada kain-kain yang
digunakan sebagai dekorasi paviliun-paviliun dan candi tersebut -dimana dicatat
merupakan versi Bali atas epos Mahabharata dan Ramayana-, pada dasarnya selain
memang ditulis dalam catatan kaki bernotasi buku karya A. Forge, Balinese Traditional
Painting, juga dapatlah dipastikan berujung pada catatan-catatan maupun karya-karya tulis
yang dibahasakan sebagai “temuan-temuan” dalam mekanisme “eksplorasi” para peneliti
kolonial terdahulu. Ironisnya, dari situ tampaklah paradoks yang membuktikan bahwa;
Alih-alih penelitiannya bertujuan melakukan bantahan terhadap universalisme seni rupa
barat; Rupanya toh masih belum bisa keluar dari gejala atau simtom laten dalam
menggunakan “warisan” persepsi para penjajah. Sehingga apa yang oleh para penjajah
dianggap penting, adalah penting pula dalam pengetahuan.
Padahal patut diapresiasi bahwa upaya penulisan Spanjaard telah dengan baik mengkritisi
kemunculan seni lukis di Bali pada medio 1930-an, seiring pengaruh yang dibawa para
seniman luar negeri, yang mana dituliskannya bahwa “karya seni lukis dari Ubud dan
Batuan yang dimaksudkan untuk komoditas ekspor…” sehingga karya-karya yang kendati
menampilkan realisme “gambar-gambar dari mite religious, juga memuat gambar-gambar
aktivitas kehidupan sehari-hari.”; dinilainya “…berifat naif”. Terlebih ketika disebarluaskan
melalui kapitalisme-pariwisata kolonial hingga internasional hari ini, yang mana Spanjaard
menengarai adanya: “…gambaran yang muncul di Barat terhadap seni lukis Indonesia
didominasi oleh anggapan yang sama dengan seni lukis Bali.” (hlm. 7). Namun simtom laten
universalisme barat, dalam niat baik Spanjaard melakukan kritik melalui sumbangannya
karya tulis ini bagi historiografi seni rupa Indonesia, adalah paradoks yang riskan bagi
pengetahuan termutakhir di dalam kajian ilmu sosial maupun budaya; Khususnya yang
telah kian diperkaya dengan perspektif kajian pascakolonial. Hal yang tampaknya sangat
tipis dan nyaris tersirat inilah yang menyebabkan Spanjaard masih belum lepas dari bawah
sadar Eurosentrisme.
Menarik memang ketika membaca disertasi ini, dapatlah saya temui berbagai fakta-fakta
sejarah yang mengungkapkan bagaimana agen-agen maupun lembaga-lembaga yang
mengandung bias wacana kolonial, telah sejak lama hadir di berbagai institusi pendidikan
di Indonesia. Salah satunya ketika Spanjaard membahas pendirian Akademi Bandung, yang
nantinya diteruskan tradisinya oleh ITB (Institut Teknologi Bandung). Di sana disebutkan
tentang kiprah J. Hopman; dalam artikelnya: “Masa Depan Seni Rupa di Indonesia”
mendedahkan kritiknya pada para pelukis Indonesia, yang karya-karyanya dinilai Hopman
mengandung peniruan atas fauvisme dan impresionisme ala Barat. Sehingga Hopman
menilai bahwa seni rupa Indonesia belumlah ada. Lebih jauh Hopman bahkan menganggap
bahwa esensi dari Indonesia, sebagai peradaban Timur adalah “kehalusan hasil karya sesuai
dengan kesopansantunan”, dalam mana berlawanan dengan seni barat modern yang
menekankan pada spontanitas dan individualitas (hlm. 157-158). Oleh sebabnya, di dalam
misi pendirian Akademie Bandung, adalah mengaplikasikan cita-cita Hopman, agar “murid-
muridnya sesudah dapat menguasai Teknik Barat kemnudian akan kembali menggeluti seni
“Timur” mereka” (hlm. 158). Semua cetusan-cetusan Hopman tersebut jelas menampakkan
ideologi dalam wacana kolonial, yang mana memosisikan diri mereka (baca: penjajah atau -
dalam arti luas- Barat) sebagai penentu perkembangan dari negeri jajahan; Sekaligus paling
mengerti tentang bagaimana seharusnya si terjajah “memahami dirinya” dan “menjadi apa”.
Dalam pembahasan mengenai hal itu, Spanjaard dengan tepat menunjukkan balasan
Sudjojono atas kehendak Hopman, yang didapat dari mengutip arsip brochure kesenian
yang diterbitkan Kementrian Penerangan Republik Indonesia, Djogjakarta, 1949, sbb:
“Ya, J. Hopman membuat kritik akan tetapi sayang masih berbau bahwa kritiknja itu
bernuansa kolonial (….) Seorang Belanda seperti Hopman, tidak usah mengatakan, itu
begini, itu begitu. Kita mulai melukis tahun 1939-1940. Dalam tempo kl. (kurang lebih) 9
tahun sudah dapat kita melukis. Belanda, dalam 300 tahun hanja dapat memeberi peladjaran
kepada Raden Saleh dan inipun hanja kebetulan sadja. Belanda tidak pernah berusaha
membuat Sekolah Kesenian. Saja lebih hormat kepada Nippon, walaupun bangsa Indonesia
dipakai sebagai alat, tapi kebutuhan Indonesia dipenuhi.” (hlm. 158).

Dalam hal ini, Spanjaard memang secara umum terbilang menepati janjinya dalam
mengkritisi wacana kolonial, sehingga Spanjaard menulis “Orang-orang belanda hidup
dalam “rumah kaca”-nya sendiri, masih tetap dalam ilusi Hindia-Timur, seolah-olah tidak
terjadi peperangan dan tidak terjadi perlawanan gerilya” (hlm. 159). Lebih lanjut Spanjaard
menyimpulkan bahwa:
Situasi penuh ketegangan antara pihak Belanda dengan pihak Indonesia yang terjadi waktu
itu mengakibatkan seni lukis Indonesia yang bersifat nasionalistis menjadi lebih terbatas
ruang geraknya dan dikerdilkan oleh karena isisnya dengan jelas menunjukkan sikap anti-
Belanda. Belanda mengharapkan sebuah seni “Indonesia” yang harus sesuai dengan
gambaran Belanda terhadap budaya Indonesia yang berdasarkan pada seni yang
terdapat di dalam museum-museum antropologi, seni klasik dari periode Hindu-
Jawa atau seni pertukangan tradisional. Dalam gambaran ini sesuai dengan seni lukis
masa kini yang bersifat kritis yang sering kali memperoleh ejekan dari orang-orang Belanda
sebagai seni lukis yang sangat jelek. (hlm. 159).

Sebagaimana saya cetak tebal; Spanjaard menyimpulkan adanya hasrat khas orientalistik
yang hendak mengoleksi segala temuannya atas wilayah jajahan di dalam museum-
museum kolonial mereka. Ataupun membayangkan seni rupa Indonesia adalah sebatas
album kenangan dunia tradisional yang perlu dipertahankan eksotisasinya.
Namun lagi-lagi amatlah disayangkan, upaya yang demikian baik dan progresif tersebut,
lagi-lagi dibarengi dengan simtom laten Eurosentrisme. Dalam salah satu pembahasannya
di dalam bab enam, dengan sub judul “Fungsi Seni Modern di Asia”, Spanjaard tanpa ragu
membandingkan pencarian identitas seni rupa Indonesia dengan negara-negara asia lain,
seperti China, Jepang, Thailand, Filipina dan India (hlm. 190-193). Hal ini memang menjadi
komparasi penting, yang berguna dalam memetakan konteks perkembangan kesenian
Indonesia saat itu, di tengah dekolonisasi negara-negara terjajah lainnya semisal Malaysia,
India dan Filipina, maupun yang tak terkoloni seperti Cina, Jepang dan Thailand; Belum
lagi kondisi perpolitikan yang memanas antara kubu komunis USSR dan RRT dengan
demokrasi-liberal yang diusung USA dan Sekutu. Akan tetapi, alih-alih hendak membaca
secara ekonomi-politik, rupanya Spanjaard justru memberi kesimpulan bahwa “Gerakan-
gerakan avant garde justru muncul sejak akademi-akademi seni model barat didirikan di
sana sejak abad 19, yaitu India, Filipina, Cina dan Jepang.” (hlm. 193). Dalam mana menurut
Spanjaard, melalui akademi-akademi seni model barat tersebutlah, menjadi
memungkinkan terjadinya pertukaran dengan seni aktual yang berada di barat.
Berdasarkan kesimpulan Spanjaard tersebut, saya justru menangkap adanya universalisme
seni rupa barat, yang seakan merupakan keniscayaan penting bagi “keharusan” seni rupa
avant-garde di Asia. Tak heran Spanjaard menulis bahwa: “Hal yang menarik perhatian dari
situasi Indonesia apabila dimasukkan ke dalam konteks Asiatis, ialah posisi dunia seni di
seluruh kepulauan yang terisolasi” (hlm. 193). Seni di Indonesia secara tersirat dipandang
Spanjaard bak katak dalam tempurung tanpa keterbukaan dan pertukaran yang deras
dengan dunia internasional, yang maknanya adalah Euro-Amerika. Spanjaard pun menilai
bahwa di Indonesia, jika dibandingkan dengan India, tidak ada orang seperti Tagore
(Penyair/Pelukis/Filsuf), dan Coomaraswamy (Sejarawan Seni dan Arkeolog didikan
Inggris), yang dinilainya berhasil meletakkan dasar seni India modern yang berorientasi
pada tradisi (hlm. 192 dan 193). Bahkan dengan enteng Spanjaard menulis bahwa: “ide “Back
to Roots” dari Coomaraswamy dan Tagore muncul sesudah mereka tinggal di Barat. Sebab
seni tradisional dari berbagai negara di luar Eropa pada masa itu sedang menjadi mode di
berbagai lingkungan seni Barat yang sudah lebih banyak mengalami pencerahan” (hlm. 195).
Bukankah demikian sangat kentara menempatkan universalisme Seni Rupa Barat sebagai
keniscayaan yang mesti masuk ke dalam gerak sejarah kesenian Indonesia? Apakah
“pencerahan” Barat adalah harus berarti sebagai stimulus bagi kemajuan identitas seni
Timur?
Simtom laten Eurosentrisme ini kian menjadi-jadi manakala dalam bab tujuh, berkaitan
dengan “Back to The Roots” yang menurut Spanjaard adalah karakter pencarian identitas
seniman Indonesia di dalam periode 1965-1995; Dalam mana Spanjaard menulis:
“Pengertian Identitas Indonesia tidak dikerjakan secara metodis. Dalam hal ini tidak
terdapat juru bicara dari kelompok intelektual yang memikirkan mengenai konsep estetis
baru yang dapat memberikan bentuk kepada “identitas Indonesia” (hlm. 195). Dari situ,
Spanjaard tampak mengkritik arah perkembangan seni di Indonesia, sebagaimana diberk
judul “isolemen” alias terisolasi. Bahkan Spanjaard menilai bahwa keterlambatan Indonesia
berpijak pada tradisi, adalah akibat seniman-seniman macam Basuki Abdullah, Agus Djaja
dan Otto Djaja, yang setelah menempuh Pendidikan di luar negeri, malah tidak kembali ke
Indonesia dengan membawa kubisme, surealisme, atau abstraksi.
Tidak ketinggalan peng-kambinghitam-an Spanjaard dilemparkan pula pada Sudjojono
yang dinilai telah: “membawa realisme sosialistis dari negara-negara Blok Timur dan Cina
sebagai contoh”. Sementara, apa yang telah dimulai Sudjojono -yang kemudian digadang
sebagai “Bapak Seni Lukis Indonesia” ini- di dalam kritiknya terhadap Mooi Indie, dinilai
Spanjaard cenderung bersemangatkan “modernisme” Barat. Alasannya, bahwa Sudjojono
belajar berkarya “…dari guru-guru Jepang yang impresionistis, pengamatan terhadap koleksi
regnault di Jakarta, dan pembelajaran buku-buku mengenai seni Barat” (hlm. 194). Arah
pembahasan tersebut, kian sejalan dengan cara Spanjaard ketika memberi porsi tersendiri
bagi Akademie Bandung; Lewat ketokohan Simon Admiraal, Jack Zeylmaker, Piet Pijpers
dan utamanya Ries Mulder, di dalam mendidik secara Barat, para calon-calon senimannya.
Dalam mana pendangan Spanjaard bahwa proses kembali ke timur, alias back to roots, yang
mesti dilakukan melalui barat terlebih dahulu. Oleh sebabnya, Seniman didikan Akademie
Bandung dianggap lebih matang dalam mempelajari barat, dan dianggap lebih siap dalam
melakukan turn back. Tak pelak Spanjaard menulis: “Avant-garde paling tua dapat
ditemukan di Bandung, yang dikenal sebagai “Paris”-nya Indonesia. Kelompok Bandung
dengan Lembaga Pendidikan kolonialnya yaitu Pendidikan guru menggambar Belanda
tampil ke depan seperti halnya gerakan-gerakan avant-garde asiatis lainnya” (hlm. 195).
Dari cuplikan-cuplikan analisis Spanjaard di atas, lagi-lagi tampak bagaimana
kecenderungan mendudukkan "Barat" sebagai acuan bagi perkembangan seni rupa dunia.
Spanjaard tampak gamblang menilai perkembangan menemu jati diri, alias menuju “back
to the roots”, membutuhkan agen-agen barat maupun agen-agen "pribumi" yang
terbaratkan. Spanjaard baik tersirat maupun tersurat masih terjebak pada Eurosentrisme
hingga simtom khas penjajah, yakni “ingin mengarahkan” bahkan melalui narasi ini, seperti
“ingin mencocokkan” seni rupa Indonesia dengan konstruksi Orientalis atas “perkembangan
Asia”, semata-mata sebagai gerak sejarah ala Asia yang telah lama diproyeksikan kolonial
sebagai Sang Liyan. Hasrat melakukan generalisasi atas Asia, alih-alih menuliskan
perjalanan sejarah seni rupa Indonesia, menyebabkan Karya ini bermuatan tendensi
klasifikasi yang dahulu dilakukan para Orientalis, ketika membaca temuan-temuan
kolonialnya, sebagai klasik.
Terkait proyek identitas nasional dalam kesenian, Spanjaard berani menyimpukan bahwa
Indonesia gagal menjelaskan bentuk dan pijakan yang jelas sampai akhir demokrasi
terpimpin. Krisis identitas ini dianggap Spanjaard mengalami rehabilitasi di masa Orde
Baru. Alasannya Orde Baru terbukti berhasil melaksanakan proyek-proyek nasional
semacam TMII, berbekal konsep kebudayaan Indonesia sebagai puncak-puncak
kebudayaan daerah. Kesimpulan yang -dalam sudut pandang historiografi alternatif
Indonesia termutakhir- terasa demikian naif tersebut kian menemu kebuntuan; Manakala
menyangkut tragedi 1965-1966, Spanjaard mengaku mengalami keterbatasan, oleh sebab
penelitian atas pergolakan itu masih tabu, kalau bukan membahayakan para peneliti
sendiri. Berhubung hingga karya ini selesai pun, Indonesia masih berada di masa Orde Baru
yang lengkap dengan segala sensor dan kekangan atas kebebasan akademik hingga pers.
Akan tetapi, harus diinsafi bahwa dampak yang signifikan dari keterbatasan tersebut,
adalah juga pada kegagalan Spanjaard dalam mendudukkan kondisi Abstrak di masa Orde
Baru, sebagai konsekuensi atas pembantaian orang-orang yang dianggap PKI pada 1965-1966,
seturut melemahnya genre realisme sosial. Tak heran pula jika dari sudut padang fakta
sejarah, Spanjaard pun melewatkan peristiwa-peristiwa penting, misalnya Desember
Hitam, hingga pameran BINAL yang mengkritisi Biennale. Lucunya, kalau bukan fatal,
sepanjang bab terakhir Spanjaard justru sibuk dalam membaca keagenan seniman,
khususnya AD. Pirous, hingga Heri Dono, semata-mata sebagai subjek seniman yang
sanggup membenarkan penyamaannya dengan seniman Asia yang lain. Bahwa melalui
keduanya, terpeloporilah gerak seni rupa Indonesia untuk kembali ke akar tradisi.
Akhirnya membaca arah narasi Spanjaard atas upaya merunut genealogi “Cita-cita” seni
modern Indonesia; Alih-alih berhasil menunjukkan peran saling-silang agen -terkait
pencarian posisi identitas keindonesiaan seniman demi seniman-, sehingga Spanjaard
menyimpulkan bagaimana seni modern Indonesia bersifat eklektik. Toh justru Spanjaard
masih terjebak dalam simtom laten yang khas dari wacana kolonial maupun kerja-kerja
Orientalis. Sehingga kembali pada simpulan Edward Said yang saya singgung di awal,
tentang bagaimana karya-karya Orientalis akan mengalami reproduksi terus-menerus di
dalam kerja-kerja ilmu pengetahuan barat. Maka tidaklah bisa dimungkiri bahwa karya-
karya Indonesianis, khususnya yang berasal dari negeri-negeri dimana pijakan
akademiknya merupakan warisan kolonial yang telah meresap di dalam metodologi dan
metode; Serta merta membawa bawah sadar “misi pemberadaban” atau “misi memajukan”
yang bersembunyi dalam wajah “obyektifitas pengetahuan”.
Kendati itikad baik Spanjaard, bersenjatakan pisau bedah kajian pascakolonial, maupun
garis besar penulisan ini yang tampa nyata berupaya memaparkan berbagai fakta penting;
Namun tendensi yang ada, seakan menggerogoti upaya tersebut. Inilah bawah sadar
Eurosentrisme yang laten dari para Indonesianis, yang kadang terasa aksiomatik.
Batas-batas Historiografi?!
Kalau kita baca sekilas saja, mulai sejak dalam Bab Pertama, dalam judul “Sejarah Awal:
Raden Saleh dan Dokumentasi Barat Mengenai Budaya Timur” (hlm. 17-39); Tampak sekali
bagaimana arah sejarah seni rupa Indonesia hendak dirunut oleh Spanjaard. Singkatnya, frasa
‘Sejarah Awal’, menegaskan bagaimana “cita-cita modern” dalam seni lukis Indonesia -
sebagaimana yang dimaksudkan Spanjaard dalam pelacakan buku ini-, adalah semata-mata
dimulai dari menyoal Raden Saleh. Spanjaard pun melalui disertasinya ini masih menebalkan
mainstream historiografi seni rupa yang memeloporkan Raden Saleh sebagai sejarah awal keseni-
rupaan Indonesia.
Di dalam pendahuluan, terkait sub judul “Satu-satunya Titik Awal Penelitian Saya Sendiri”,
dengan salah satu kalimatnya: “Saya ingin menunjukkan di dalam penelitian saya bahwa
seni modern mengalami perkembangan menurut jalannya sendiri oleh karena secara
langsung berhubungan dengan kolonisasi Indonesia pada zaman dahulu.” (hlm. 15).
Bermotifkan itu, Spanjaard pun tampak mengurai bagaimana Indonesia sebagai sebuah
negeri yang perkembangan keseniannya tidak bisa dipisahkan dari budaya kolonial.
Sehingga dalam bab pertama tersebut, Spanjaard mulai dengan pembahasan terkait
representasi barat atas timur, misalnya terkait Pameran Kolonial yang demikian
mempromosikan eksotisasi dan antikuarian.
Mengusung judul “Exposition Universelle Coloniale et d’Exportation Generale”, pameran
bertarikh 1883 di Amsterdam tersebut menampilkan representasi dunia imaji “Timur”
semata-mata sebagai kesuksesan eksplorasi atas koloni. Tak heran jika Spanjaard menulis
bahwa: “Seni lukis yang dipertontonkan dengan manifestasi-manifestasi ini mengenalkan
pengetahuan mengenai “Hindia-Belanda Kita”.” (hlm. 18). Dengan demikian, pengetahuan
“Hindia-Belanda kita” adalah pengetahuan yang menjadi kepemilikan kita (baca: Sang
Penjajah). Pameran Kolonial tersebut dengan gamblang mendudukkan wilayah koloni
beserta representasi atasnya, baik manusia-manusianya, benda-benda kesehariannya
hingga produk-produk keseniannya yang dihadirkan dalam pameran kolonial tersebut,
adalah bukti kekuatan Belanda yang layak dipamerkan bagi publik negeri Induk. Tentunya
pameran itu sebagai bentuk unjuk gigi atau pamer kegengsian di hadapan negeri-negeri
penjajah Eropa lainnya.
Perlu diakui bahwa karya Spanjaard ini adalah satu dari buku pegangan dalam sejarah seni
rupa kita hari ini, sebagaimana motif penerjemahannya kini. Dalam hal penulisan,
tampaknya memang Spanjaard berbeda bila dibandingkan dengan karya Indonesianis
sebelumnya yang menulis soal seni rupa, misalkan dua nama yang juga dijadikan tinjauan
pustaka oleh Spanjaard, yakni Claire Holt (Art in Indonesia: Continuities and Change), dan
Astri Wright (Soul, Spirit, and Mountain: Preoccupations of Contemporary Indonesian
Painters). Di samping keberanian Spanjaard mengusung pendekatan pascakolonial, juga
dalam pemaparan sejarahnya yang dengan gamblang menggunakan sistematika
pembabagan khas tulisan sejarah akademis.
Dalam bab empat (hlm. 111-138), secara khusus Spanjaard memberi judul “Persagi dan
Peranan Sudjojono”, yang berarti adanya penebalan kanon atas ketokohan Sudjojono
sebagai subjek atau agen yang layak ditahbiskan dalam pembabagan sejarah seni rupa
Indonesia. Adapun jika ditilik dalam penulisannya, Spanjaard tampak hanya berpijak pada
dua sumber utama, yakni: Tulisan-tulisan Sudjojono beserta wawancaranya pada 1985;
ditambah sebuah karangan, yakni disertasi Sanento Yuliman di EHESS: Genese de la
Peinture Indonesienne Contemporaine, Le Role de S. Sudjojono (Paris, 1981). Singkatnya, tak
ada yang baru selain penceritaan ulang dari sumber-sumber penulisan rujukannya. Baik
mengenai perjalanan Sudjojono, yang mana Spanjaard tampak mengandalkan disertasi
Sanento Yuliman, dan mengutip maupun membahasakan ulang tulisan pelukis bernama
asli Sindudarsono Sudjojono ini, khususnya yang terhimpun dalam buku: Seni Loekis,
Kesenian dan Seniman (1946). Memang di dalam membahas biografi Sudjojono, Spanjaard
merunut-hubungkan dengan konteks pergulatan seni rupa di akhir kolonial, misalnya
terkait Bataviasche Kunstkring (Lingkungan Seni Batavia), dimana telah dijelaskan panjang
lebar di dalam bab tiga, terkait peranan Regnault dan bisnis seninya. Di dalam bab tiga itu
pula Spanjaard memaparkan peranan Sudjojono yang signifikan, baik sebagai salah satu
seniman di dalam pameran 1941, yang mana merupakan tonggak perdana seniman
“pribumi” di hadapan publik kolonial; Maupun selaku seniman pendiri PERSAGI, yang
kemudian menonjol dalam pemikiran seni rupa Indonesia. Sehingga Spanjaard tanpa
tanggung-tanggung menjuduli salah satu sub-babnya sebagai: “Teori Seni Sudjojono”,
dengan melampirkan tulisan Sudjojono yang berjudul: Seni Lukis Indonesia Sekarang dan
di Masa Depan, yang berasal dari kolom terbitan: Keboedajaan dan Masjarakat, 6 Okotber
1939. Lantas, mengapa Spanjaard sampai melewatkan begitu saja konsepsi penting
Sudjojono dalam berkesenian, yakni “Jiwa Ketok”?
“Jiwa ketok” atau dalam bahasa inggris sering diterjemahkan sebagai Visible Soul, memang
sama sekali tidak disinggung Spanjaard. Sehingga alih-alih menyebut teori Seni Sudjojono
(hlm. 122-124), Spanjaard hanya berpijak pada dua esai, yakni “Menoedjoe Tjorak Seni Loekis
Persatoean Indonesia Baroe” dan “Kebenaran Nomor Satoe, Baru Kebagoesan”. Malahan
secara keseluruhan, dalam soal analisisnya atas Sudjojono, Spanjaard hanya bermuara
dalam beberapa garis besar, yakni: (1) Sudjojono sebagai seniman yang berpijak pada
pengalaman religius dan mistis, baik sebagai orang Jawa maupun sebagai orang Kristen,
yang mana antara manusia dan Tuhan (Dewa-Dewi) membentuk suatu hubungan kosmis
(hlm. 114); (2) Adapun dalam merumuskan arah seni rupa "Indonesia Baru" yang berguna
bagi “persatuan Indonesia”, semata-mata tidak hanya berpijak pada seni rupa barat, tetapi
mempelajari berbagai seni di dunia, termasuk seni tradisional di seluruh Indonesia yang
mesti digunakan sebagai “Jimat”; yang kemudian dapat menemu hakikat identitas diri
sebagai seniman Indonesia; (3) Bahwa pemikiran estetis Sudjojono, berhubungan dengan
kredo “kebenaran ialah sama dengan keindahan”, sehingga “tanda kebenaran keindahan
tidak akan pernah menjadi “Indah” yang menjijikkan, memuakkan dan menggelikan” yang
mana lagi-lagi Spanjaard kaitkan dengan pemikiran filosofi Jawa, yang dinilainya sebagai
pengaruh dari pendidikan Sudjojono di Taman Siswa (hlm. 124).
Spanjaard dalam hal ini, bagi saya tampak terburu-buru dalam memberi tafsir atas Sudjojono
terkait budaya Jawa. Begitupun ketika mengaitkan dengan Jimat ditulisnya merupakan:
“sebuah objek yang mempunyai nilai spiritual yang berasal dari masa kebesaran zaman
dahulu kala, sebuah sumber inspirasi dalam rangka pencarian seni “baru”. (hlm. 124).
Kemudian, Spanjaard mengarahkan penjelasan bahwasanya Sudjojono mengkritisi nilai-
nilai tradisi, khususnya yang disebut “hierarki feodal Jawa lama”. Bahkan Spanjaard menulis:
“Berbagai seremoni yang bersifat religius tradisional dan bentuk-bentuk seni yang termasuk
di dalamnya, seperti misalnya pertunjukkan wayang oleh para seniman berpaham nasionalis
dianggap sesuatu yang konservatif dan bertentangan dengan zaman modern” (hlm. 9).
Pendapat ini sendiri terbilang terlalu menggeneralisir. Sebab jika yang dimaksud adalah
kritik atas hierarki feodal, tampaknya dapat saja dibenarkan ketika yang dimaksud adalah
seniman yang berhaluan kiri, terlebih yang turut serta dalam partai Komunis seperti
Sudjojono, maupun yang turut serta dalam Lekra. Akan tetapi untuk kemudian menyebut
bahwa seniman-seniman yang berpandangan nasionalis memandang sebelah mata seni
Wayang, hemat saya sangat sulit untuk dibenarkan; Sebab di kalangan seniman berhaluan
kiri saja, misalnya di dalam Lekra, diketemukan data tentang propaganda yang
menggunakan medium seni Wayang. Sedangkan bagi seniman-seniman nasionalis,
tentunya memandang Wayang sebagai suatu modal penting dalam memberi jati diri dalam
kesenian Indonesia.
Ringkasnya, di dalam bab empat dan lima sangatlah kentara Spanjaard menggunakan
Sudjojono sebagai kuas dalam menyapu kanvas sejarah seni rupa Indonesia. Kendati
menarik dicatat tentang beberapa fakta yang disampaikan Spanjaard, terkait Sudjojono,
yang mana menjadi bukti tentang adanya eurosentrisme di dalam resepsi seni karya
"pribumi". Dalam mana mendudukkan bangsa terjajah sebagai pihak yang akan
dimodernkan maupun dimajukan atau didewasakan melalui transfer pengetahuan dari
Eropa (Penjajah), khususnya di dalam mengenalkan seni rupa. Sehingga seniman "pribumi"
apabila ingin mencapai standar seni (Barat) adalah musti diarahkan. Jadi seni lukis atau seni rupa
kita dianggap belum bisa menentukan mana yang baik untuk dirinya dan mana yang tidak.
Semisal komentar dari Nyonya de Loos-Haaxman, dalam De Fakkel, No. 8 Juni 1941 yang
berjudul “Indonesische Schilders” (Pelukis-pelukis Indonesia), sebagaimana dikutip
Spanjaard: “Sebaiknya para pelukis muda ini tidak mengacu pada barat dan seperti yang
diharapkan oleh orang-orang Indonesia, maka mereka akan lebih dapat memahami dengan
baik seni lukis Bali yang sudah berkembang itu”. Kritik-kritik yang berkembang pun
umumnya menganggap seniman Indonesia masih kurang menguasai teknik lukis modern
seperti Barat.
Di dalam membaca Sudjojono maupun keberlanjutan seniman di masa penjajahan Jepang,
Spanjaard juga menyinggung tentang lembaga bernama Keimin Bunka Shidoso. Kendati
memang jelas fasilitas Jepang yang diberikan melalui Keimin Bunka Shidoso adalah bagian
dari propaganda; Semisal kasus karya lukisan Affandi yang menampakkan romusha yang
kesusahan kemudian ditolak, sebab bertentangan dengan citra yang ingin ditampakkan
Jepang, bahwasanya romusha adalah pahlawan yang berjasa bagi Pemikiran Asia Raya”
(hlm. 143). Namun, berbeda dengan resepsi di masa kolonial Hindia-Belanda yang bersifat
elitis, kolonial Jepang tidak membatasi dari segi gaya maupun aliran. Sehingga fasilitas
propaganda dalam pameran-pameran maupun kegiatan berkesenian yang ada justru dinilai
Spanjaard meleburkan batas antara pelukis mooi indie dengan pelukis nasionalis. Bahkan
Spanjaard menyitir Kusnadi, bahwa di masa Jepang inilah, kritik kesenian berkembang,
seiring dengan diberinya hak penulisan bagi para bumiputra, terlebih dengan bahasa
Indonesia, sebab bahasa Belanda dilarang (hlm. 143). Namun, benarkah cara penulisan
Spanjaard yang membuat oposisi antara pelukis mooi indie dengan pelukis nasionalis itu
tepat? Apakah yang nasionalis itu berarti yang realis semata? lalu yang mooi indie adalah
tidak nasionalis? Di sinilah Spanjaard masih terjebak dalam mainstream klasifikasi di
dalam historiografi seni rupa Indonesia.
Sejatinya pembabagan penulisan yang dilakukan Spanjaard adalah khas sebagaimana
mainstream yang kemudian mewarnai historiografi seni Indonesiasentris. Hal ini tampak
dalam caranya menonjolkan Sudjojono sebagai agensi dalam narasi besar seni rupa modern
Indonesia, sehingga lukisan seni rupa modern Indonesia adalah kontradiski antara mooi
indie bahkan neo-mooi indie dengan realisme sosial bahkan realisme sosialis. Penghadapan
yang demikian, tampak dalam bab enam, dimana Spanjaard menjuduli dengan demikian
kentara, akan suatu gejala pengkubuan, yakni: “Kontroversi antara Yogyakarta dan
Bandung”. Judul ini sendiri, alih-alih berbicara Bandung dan Yogyakarta, penjelasan yang
ada sengaja mempersoalkan agency atau keagenan dan kesenimanan dalam konteks yang
berubah. Spanjaard menyinggung secara khusus dalam bab ini mengenai “Kreasi Sebuah
Identitas Indonesia” yang dihasung melalui penciptaan bentuk maupun gaya kesenian yang
mana darinya tercipta suatu kanon seni nasional, sebagaimana digalakkan oleh propaganda
masa Demokrasi terpimpin. Lebih jauh Spanjaard berkeyakinan, sebagaimana ditulis sejak
dalam bab pendahuluan, bahwasanya: “Para pelukis Indonesia yang berpaham nasionalis
ingin membebaskan diri dari latar belakang kolonialnya. Dengan mengasingkan mereka dari
budayanya sendiri maka mereka sebenarnya sampai pada tahun 1965 menggunakan “teknik-
teknik dan bahasa” dari pihak penjajah.” (hlm. 9). Dalam hal ini, tampaknya Spanjaard
cukup jitu memberi penafsiran, terkait ketergantungan atas teknik dan bahasa dari
penjajah, sebagaimana legitimasi pendapatnya dengan menyitir kalimat Franz Fanon.
Motif kajian pascakolonial yang ada mulai diaplikasikan sebagai upaya memperluas
perspektif historiografi seni rupa Indonesia, sumbangan penting bagi "ideologi" historiografi
seni Indonesiasentris.
Upaya menarik tersebut, dilanjutkan dengan salah satunya dengan melakukan pembahasan
yang meluas, dan berupaya mengulik secara tajam pada jantung ideologi seni modern
Indonesia. Hal ini cukup berbeda dengan cara Indonesianis sebelumnya, semisal Claire
Holt, yang menyebut pula secara khusus Yogyakarta, Bandung, dan ditambah Jakarta;
Dalam mana ketiga kota dipandang sebagai pembentuk ruang (habitus) pendidikan
seniman, pencapaian karya, maupun proses kreatif seniman-seniman yang ada di dalamnya
(Holt, 2000: 324-379). Holt menjelaskan Yogyakarta dengan menyinggung kemunculan
ASRI sebagai lngkungan akademik kesenian pertama yang dibentuk pemerintah, disusul
kesenimanan Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi, Trubus, Harijadi Sumadidjaja, Batara
Lubis, Kusnadi, Rusli, Amrus Natalsya dsb. Dalam hal ini Holt tentu saja menyebut
kemunculan SIM, Pelukis Rakyat, PI, PIM, hingga Sanggar Bambu maupun Sangggar Bumi
Tarung. Hal ini sejatinya masih diulang kembali oleh Spanjaard, hanya saja Spanjaard
berupaya lebih mendetil di sekitar kemunculan ASRI, melalui kiprah penting R.J. Katamsi,
Hendra Gunawan dan Kusnadi, disusul Djajengasmoro (hlm. 164-167), dengan
melampirkan pula arsip Surat Keputusan Kementrian 15 Desember 1949 (hlm. 315). Dari situ
bentuk tubuh mainstream historiografi seni rupa Indonesia, adalah menyangkut kuas besar
agensi ataupun ketokohan seperti Sudjojono, lalu sanggar-sanggar, kampus Seni ASRI
maupun ITB, hingga kejadian-kejadian penting yang menyuruk ke dalam terma-terma
kolonial Belanda, Jepang, dan Revolusi Kemerdekaan.
Terkait Bandung, memang Claire Holt masih menggunakan pola narasi yang menunjukkan
bagaimana seni rupa Bandung dimunculkan melalui sekolah seni buatan Belanda, dan
ketokohan M.N. Mulder, yang menurut Holt, dengan mesra dipanggil dengan Ries, oleh
mahasiswanya (Holt, hlm. 348). Holt memang kemudian hanya menyinggung adanya St.
Lucas Gild, sebagai Gilda Seni yang diisi seniman Belanda; Disusul asosiasi seniman
Indonesia seperti Jiwa Mukti yang diorganisir Barli pada 1948, dan Tjipta Pantjaran atau
TPR yang dibentuk R. Walujo, Abedy dan Angkama Setjadipradja. Sampai soal generasi
Ahmad Sadali, But Mochtar, Srihadi, Popo Iskandar, Subhakto, hingga sebagian yang ke
luar negeri. Menyoal penjelasan tersebut, Spanjaard terbukti lebih mendetil dengan
menjurus pada beberapa person seniman. Namun pada hematnya, terdapat contoh-contoh
lain dimana antara Holt dengan Spanjaard seakan memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing, khususnya di dalam pemaparan fakta. Terdapat penjelasan Holt yang
menarik terkait posisi BMKN, Lekra, LKN, maupun sekilas tentang NU, kendati tidak
disebut Lesbumi, yang mana kesemua lembaga tersebut menghadapi pergulatan politik
seni, hingga penciptaan kubu dan orientasi seni dan seniman. Kendati demikian kedua
karya tersebut jika dibaca secara bersamaan, seakan saling melengkapi. Hanya saja perlu
diakui bahwa Spanjaard terbukti memiliki kelebihan dalam caranya menyusun narasi
pembabagan, perluasan penjelasan fakta-fakta maupun bangunan gagasan dalam memberi
makna dari sejarah seni rupa Indonesia. Inilah mengapa karya-karya Indonesianis tidak bisa
tidak untuk dianggap penting dalam mewarnai historiografi seni rupa Indonesia.
Menarik memang ketika Spanjaard memberi narasi sambung-menyambung terkait
peristiwa-peristiwa penting yang membentuk pijakan identitas kesenian Indonesia. Salah
satunya dengan adanya pameran KAA, hingga setahun kemudian dilaksanakan “Seminar
Ilmu dan Kebudayaan” di UGM, tepatnya pada 16 Juni 1956. Hal mana dalam buku ini
Spanjaard memang hanya menyinggung peristiwa seminar tahun 1956 itu di dalam satu
paragraf saja. Yakni menekankan pada usulan Kusnadi mengenai kebutuhan dokumentasi
seni rupa Indonesia, maupun kebutuhan akan museum seni modern yang mesti disertai
membeli karya-karya pelukis dalam negeri. Penting dicatat bahwa seminar kebudayaan
tahun 1956 itu dihadiri berbagai pakar, termasuk seniman Sudjojono dan Hendra Gunawan.
Tak heran sejarawan seni Indonesia, Aminuddin TH Siregar, menilai penting terjadinya acara
tersebut sebagai peristiwa yang paling menentukan pertarungan arah wacana kesenian
Indonesia, khususnya dalam membangun ideologi historiografi seninya. Aminuddin TH
Siregar atau akrab disapa Ucok, di dalam sebuah seminar sejarah seni rupa di ISI Yogyakarta,
pernah menjelaskan bahwa melalui seminar tersebut, sosok Kusnadi berperan dalam
penciptaan sebuah penulisan sejarah seni rupa Indonesia, yang mana kemudian menjadi
baku, atau bahkan kanon yang membentuk arus utama historiografi seni Indonesia,
sebagaimana dalam buku sejarah seni Indonesia yang terbit pada tahun 1981. Sayangnya, karya
Kusnadi tersebut masih bertumpu pada periodisasi ala penelitian para indolog, yang mana
jelas bias wacana kolonial maupun studi orientalis. Buku itulah yang juga disinggung dan
digunakan oleh Spanjaard. Corak historiografi seni rupa ala Kusnadi inilah yang dinilai Ucok
terus berlanjut menjadi hegemonik, terbukti adanya pola pembabagan yang juga
mempengaruhi Spanjaard.
Pemosisian identitas di dalam arah historiografi seni rupa itulah, yang dapat dihubungkan
dengan narasi sejarah yang ditulis oleh Spanjaard, yang muncul sebagai bagian dari
konsekuensi pandangan di dalam arus utama ideologi Indonesiasentris. Sebab tidak bisa
dimungkiri Spanjaard memiliki motif untuk melepaskan diri dari sudut pandang kolonial.
Persoalan mencari sudut pandang indonesiasentris di dalam seminar ilmu dan kebudayaan itu
bersambut gayung dengan seminar nasional sejarah pada tahun selanjutnya, yakni 14-18
Desember 1957; Dimana mulai dipikirkan secara serius mengenai pijakan-pijakan menuju
historiografi Indonesiasentris. Di dalam seminar tersebut, masyhur dikenal adanya dua
kubu pemikiran filsafat sejarah, yakni antara Mohammad Yamin yang nasionalistik,
sehingga beberapa menilainya mengandung glorious past akan masa lalu leluhur Indonesia.
Sedang di hadapan lain, Sudjatmoko misalnya yang berupaya mengedepankan penulisan
sejarah secara akademik-ilmiah, yang mau tak mau bergantung pada penulisan sejarah oleh
kolonial, yang dianggap memiliki metodologi ilmiah, kendati jelas tidak lepas dari bias
wacana kolonial.
Melampaui perdebatan itu, untuk selanjutnya penulisan sejarah di Indonesia berada dalam
pertarungan ideologi, terlebih pergeseran yang kontras antara masa Soekarno dengan
Soeharto dengan Orde Baru-nya. Mengenai hal tersebut, sebagaimana telah saya singgung,
dapat disimpulkan pula bahwa karya Spanjaard tetap sebagaimana dilema historiografi kita,
yakni menujukkan adanya batas-batas problematis. Di satu sisi, ia berada dalam pondasi
perspektif warisan kolonial yang telah lama mempengaruhi historiografi Indonesia akademis
maupun yang terus direproduksi beberapa Indonesianis selama ini. Di sisi lain, karya tersebut
berada dalam upaya memperluas dan memberi alternatif bagi wacana historiografi
Indonesiasentris, lewat sejimpit kepedulian yang bersumber dari kajian pascakolonial. Di dalam
posisi ambang inilah karya Spanjaard menjadi semakin problematis ketika narasi yang ada
mengandung cacat-cacat simtom sudut pandang eurosentrik, maupun universalisme seni
rupa barat, hingga hasrat ingin mengarahkan penafsiran sejalan dengan generalisasi gerak
sejarah mode asiatik. Hal ini jelas menunjukkan kelemahan yang perlu diwaspadai di dalam
membaca karya ini. Bagitupun mengenai kelemahan pembabagan, dan kanonisasi yang
meminggirkan kemungkinan ragam kondisi di dalam gerak sejarah. Sementara dalam
penulisannya, Spanjaard masih membangun narasi yang memperkokoh sampan
historiografi dalam sungai pembabagan ala kolonial. Spanjaard belum keluar dari pola
klasik, yang justru bias orientalis-wacana kolonial.
Permasalahan yang terakhir di atas, sangat mencolok di dalam kanonisasi seni rupa Bali,
yang mana selalu saja membahasakan ulang narasi sejarah warisan kolonial, yang memberi
porsi khusus pada Bali. Hal mana sikap tersebut, selain tidak berimbang bagi wilayah-
wilayah lain di Indonesia, juga memosisikan Bali di dalam determinasi yang pada akhirnya
rawan, kalau bukan lekat dengan mistifikasi hingga eksotisasi, yang khas dari warisan
proyek peneliti kolonial. Tercatat Jenis tulisan Indonesianis awal terkait Bali, misalnya
“Uncencores Joys of Balinese”, lalu yang masyhur mempromosikan Bali, adalah karya
Maquel Covarrubias yang terbit pada 1937, berjudul “Islands of Bali”. Ia merupakan pelukis
asal Meksiko, yang tinggal di Amerika, kemudian tinggal dan meneliti Bali pada 1930
(Tamara, 1997 :12). Belum lagi apa yang diakibatkan oleh penelitian antropolog Amerika
seperti Margaret Mead, professor di Columbia University, New York ini, bersama Gregory
Bateson yang melakukan penelitian di Bali pada 1936-1938. Seperti ditulis Nasir Tamara,
bahwa pada 1939 mereka kembali lagi ke Bali, dan bekerja sama dengan orang-orang asing
yang telah meneliti di sana seperti Colin McPhee yang meneliti musik Bali, lalu Katherin
Mershon yang meneliti tari dan agama di Bali. Adapun dalam kinerja penciptaan narasi atas
Bali itu mereka berkorespondensi dengan para orang asing yang telah tinggal di sana
sebelumnya seperti Jane Belo, maupun utamanya Walter Spies. Walter Spies inilah yang
ternasuk memelopori rekayasa Bali menjadi sedemikian eksotis, sehingga sesuai dengan
harapan imajiner barat terhadap "Surga" timur. Proyek eksotisasi ini dilakukan Spies ketika
dirinya dipasrahi oleh Raja Bali untuk merancang upacara penyambutan pejabat Kolonial.
Dalam mana Spies semacam mengkurasi sebuah upacara penyambutan, hingga
pertunjukkan yang mencitrakan Bali sebagai surga kemurnian budaya yang telah lama
dicari barat.
Eksotisasi tersebut ternyata masih berulang dalam cara Holt menempatkan seni Bali dalam
keterkaitannya dengan kekunoan ala seni Hindu-Budha. Demikian pula di dalam narasi
Spanjaard yang tidak lepas dari determinasi Bali sebagai suatu sub bahasan tersendiri.
Kendati secara kritis dan juga dengan baik, Spanjaard mulai selangkah lebih jauh dari Holt,
dengan membahas “Bali” (hlm.106-107), yang disusul dengan pembahasan mengenai
Orientalisme (hlm. 107- 109), yang mana Spanjaard menulis bahwa: “Budaya “Timur” yang
dikembangkan oleh para ahli orientalis harus tetap bersifat statis sehingga dengan demikian
akan mudah untuk dikuasai” (hlm. 109). Kalimat tersebut jelas menunjukkan upaya kritis
Spanjaard di dalam mengusung penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan kajian
pascakolonial -kendati masih terbatas-, yang memang melampaui karya-karya Indonesianis
sebelumnya di bidang sejarah seni rupa kita.
Namun perlu ditegaskan sekali lagi bahwa posisi progresif ini terbukti melemah ketika
Spanjaard dihadapkan pada narasi-narasi besar yang mewarnai sumber-sumber kolonial,
sehingga mudah terjerembab ke dalam simptom laten sudut pandang orientalis, khususnya
Eurosentrisme, maupun Universalisme sejarah seni rupa barat. Tidak ketinggalan adanya
tendensi Spanjaard untuk menyejajarkan sejarah seni rupa Indonesia ke dalam “gerak khas
asiatis” yang “dikonstruksi oleh peneliti secara seragam” ke dalam pola gerak menuju seni
rupa berbasis akar tradisi. Terbukti di dalam pembahasan setelah sub bab “Orientalisme”,
Spanjaard menjuduli penjelasan pendeknya, sebagai: “Modernitas” (hlm. 109-110), yang
mana ujung dari penjelasannya adalah bahwa: “Budaya Indonesia Modern adalah dalam
esensi “eklektis”, sebuah kumpulan dari berbagai unsur dari berbagai budaya dicampur
sampai satu budaya baru”. Sayangnya kesimpulan menarik tersebut, didasari pada kalimat
di awal paragraf, yakni: “Modernitas yang sudah diperjuangkan oleh Alisjahbana dan
Sudjojono didasarkan pada pendidikan barat mereka. “Pengasingan” intelektual mereka dari
budayanya sendiri mengakibatkan kesadaran diri secara individual. Dari posisinya itu bagi
mereka akan terdapat kemungkinan usaha menciptakan budaya Indonesia Baru.” Kalimat
tersebut jelas memijakkan diri pada universalisme rasional barat, sebagai pondasi
“eksistensialisme”, yang menurut Spanjaard berguna di dalam memosisikan diri ketika
menyusun konsep cita-cita seni modern. Bagi saya sendiri, asumsi tersebut sangatlah
meragukan, mengingat kompleksitas agen-agen maupun subjek-subjek beserta struktur
sosial, ekonomi, politik hingga psikologis di dalam sejarah Indonesia, maupun sejarah seni
rupa itu sendiri. Dalam mana kompleksitas tersebut menutut kita untuk menelaah kembali
asumsi-asumis lama, baik menyangkut sudut pandang Sudjojono kontra Sutan Takdir
Alisjahbana, maupun para tokoh-tokoh lain dan berbagai faktor lain, yang mana
mengandung perluasan, atau paling tidak alternatif di dalam peng-arus-utama-an temuan-
temuan di dalam historiografi seni rupa “modern” Indonesia yang ada. Sehingga
“modernisme” seni Indonesia menjadi dapat lebih terjelaskan secara progresif, dan
tentunya terus merevisi diri.
Dalam buku ini, masih sebagaimana Holt, Spanjaard pun tidak berhasil mengkritisi Orde
Baru. Artinya Spanjaard belum berhasil memugar hegemoni historiografi Orde Baru.
Dengan demikian buku ini membuat Historiografi Seni Rupa Indonesia tidak banyak berubah,
bahkan semakin menebalkan pemisahannya dengan sejarah sosial Indonesia. Dalam bab
pertama, sebagaimana narasi yang memulai dengan menceritakan soal Raden Saleh;
Sejatinya sangatlah kentara bahwa Spanjaard masih dalam kerangkeng historiografi seni
Rupa Indonesia yang terjebak dalam pencarian akar “seni rupa modern”, khususnya dalam
wajah stereotipikal yang retoris, dalam hal ini karya-karya seorang Indonesia yang sudah
menggunakan kanvas, palet maupun cat minyak, sebagaimana sama dengan karya-karya
romantik di Eropa.
Hingga kemudian di dalam bab terakhir, bab tujuh: Back To The Roots, Spanjaard berupaya
keras mengaitkan perubahan kesenimanan Indonesia yang mulai mengaitkan kembali
akar-akar tradisinya, diantaranya dengan menyinggung kesenimanan Heri Dono. Dalam
mana Spanjaard tanpa tedeng aling-aling menyimpulkan bahwa kesenimanan dalam
budaya Jawa adalah dengan menempatkan seniman sebagai medium. Terlepas penilaian
tersebut masih bisa diperdebatkan benar tidaknya, namun toh legitimasi terhadap Heri
Dono menjadi terkesan sangat menggeneralisir. Akibatnya dalam memberi penilaian,
Spanjaard semata-mata berbasis pencapaian subjek atau keagenan, sejauh ia tampak di
dalam perhelatan seni rupa “global”. Sejak Raden Saleh, Sudjojono hingga Heri Dono,
menunjukkan bagaimana Spanjaard masih terjebak dalam pola konservatif di dalam
historiografi yang sibuk memilah subjek atau agen, oleh sebab enggan membaca bangunan
struktur dengan teliti.
Namun menarik disoroti ketika di bab akhir bukunya tersebut, terdapat sub-judul: “Dunia
Seni Indonesia”, Spanjaard secara lugas mengkritisi kinerja kritik seni di Indonesia. Adapun
menyitir ungkapan Jim Supangkat, Spanjaard menunjukkan adanya upaya untuk
menciptakan teori seni tersendiri khas Indonesia, berdasar kenyataan atau konteks yang
ada, yang berbeda dengan wilayah asia lain maupun barat. Spanjaard pun menutup
bahasan dalam sub-bab tersebut, dengan pertanyaan: “Akan tetapi siapakah yang
seharusnya mengembangkan teori ini melihat kenyataan bahwa di sini pendidikan teori seni
yang bersifat ilmiah tidak diajarkan?” (hlm. 258). Pertanyaan yang terkesan sangat kritis
tersebut, alih-alih mengkritik pendidikan seni di Indonesia, justru menghendaki standar
pendidikan yang ilmiah, adalah semata-mata mengacu pada pendidikan di negeri-negeri
barat. Dengan kata lain, yang berhak ditahbiskan sebagai ilmiah, adalah selayaknya sistem
akademis yang berlaku di dalam tradisi pengetahuan barat. Lagi-lagi simtom eurosentris
kembali muncul.
Kecolongan-kecolongan Spanjaard dalam segala simtom eurosentris dan kehendak
mengatur dan mengarahkan gerak sejarah seni rupa Indonesia di atas, menjadikan
pelacakan cita-cita seni lukis modern di dalam disertasi ini terasa sekenanya. Kendati sekali
lagi perlu ditegaskan, bahwa di sana-sini pendekatan pascakolonial telah digunakan,
sehingga pemaparan narasi sejarah, diperkuat dengan interpretasi yang kritis. Seperti misal
dalam sub-bab berjudul “Lingkup Internasional”, mana kala telah marak internasionalisasi
maupun globalisasi, yang mana menyebabkan bermunculannya peristiwa-persitiwa
pameran dalam skala asia, seperti Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art di Brisbane,
pada tahun 1993, dimana seniman-seniman seperti Dadang Christanto, Nyoman Erawan,
FX Harsono dan Heri Dono turut serta, dan acara-acara sejenis di sejak awal medio 1990-
an; Dalam mana menempatkan seni modern Asia sebagai tawaran wacana, seiring pula
dengan kemunculan ekonomi Asia-Pasifik. Maka dalam hal ini Spanjaard mengkritisi
adanya pameran-pameran tersebut, yang dilakukan: “dalam rangka perayaan ulang tahun
penting dari bekas daerah-daerah koloni lama. Peristiwa-peristiwa semacam ini ditandai
dengan penyusunan barat yang bersifat senang mengalah terhadap pemahaman
kemanusiaan sebagai “kerja sama kebudayaan” dan “identitas sendiri” (hlm. 262). Tak
ketinggalan ketika menyinggung simposium di Oakland (San Fransisco), tepatnya di Mills
College Art Gallery, pada 1991, berjudul: “Reflections: The Individual and Society in
Indonesian Art” dimana Spanjaard sendiri terlibat untuk turut serta memberikan ceramah,
selain misalnya Moira Roth, lalu Astri Wright, maupun seniman-seniman Indonesia seperti
Soedarso Soepadmo, Kartika, dan Sulebar M. Soekarman. Menariknya dalam simposium
tersebut muncul upaya penghubungan tema “seni Indonesia modern” dengan
permasalahan yang dianggap aktual yakni “minoritas” dan “identitas kultural”.
Di dalam mengetengahkan kedua isu terakhir, sebagaimana dituliskan di dalam buku ini,
Spanjaard mengkritisi bahwa: “Dari simposium menjadi jelas bahwa keterkaitan Barat
terhadap budaya-budaya non-Barat pada saat ini berhubungan erat dengan masalah internal
kebijaksanaan kelompok minoritas”, lebih lanjut Spanjaard berkesimpulan: “Dalam berbagai
diskusi seperti ini kepentingan dari budaya sendiri dari kelompok minoritas kembali
disambungkan dengan istilah-istilah dari pola pikir kebijaksanaan kolonial yang kuat pada
masa sebelum peperangan” (hlm. 263). Bahkan Spanjaard memaparkan adanya
ketidakadilan dalam memperlakukan seniman barat, ketika mengambil inspirasi dari
negeri-negeri "non-barat", maka akan disanjung dan individualitasnya dianggap semakin
besar. Sedangkan seniman “non-barat” ketika mengambil, atau sekedar mendekati seni
Barat, maka menimbulkan kecurigaan, kekacauan dan penolakan, sehingga dianggap
“tidak asli”, “penjiplak”, dsb (hlm. 264). Belum lagi di dalam sub bahasan terakhir, berjudul
“Neo-Kolonialisme”, Spanjaard tidak tanggung-tanggung memberi penjelasan yang
tampak sangat baik menggunakan pendekatan pascakolonial, sehingga kentara dalam cara
Spanjaard menunjukkan sikap polariosasi barat dan timur. Polarisasi itulah yang terus
diternakkan dalam program-program kesenian, khususnya di dalam kurasi-kurasi yang
melibatkan ahli-ahli antropologi maupun sejarawan-sejarawan seni; Dan tak urung
merupakan sebuah agenda yang menempatkan universalisme Seni Barat sebagai tolak ukur
estetis di dalam penahbisan modern maupun kontemporer-nya sebuah seni rupa di luar
Euro-Amerika.
Hal di atas itulah yang dianggap Spanjaard sebagai wujud neo-kolonialisme di dalam
format kerja-kerja perhelatan seni rupa internasional. Bahkan beberapa kalimat penutup
di dalam bab terakhir, buat saya layak dijadikan kutipan penting, bahwasanya: “...untuk
melakukan interpretasi terhadap seni modern diperlukan informasi yang kontekstual adalah
berlaku baik uintuk Barat maupun bagian dunia lainnya. Dari pengalaman saya selama
sepuluh tahun terakhir ini maka terbukti bahwa selama barat tetqap mempertahankan
kriteria-kriteria “lainnya” maka akan tercipta sebuah situasi yang palsu. Satu-satunya
kemungkinan untuk mempelajari seni global atas dasar persamaan ialah bahwa barat harus
bel;ajar untuk menerima bahwa budayanya merupakan salah satu budaya dari banyak
budaya lainnya. Karena seni sebagai objek yang bersifat otonom dan universal merupakan
sebuah fiksi. Interpretasi sebuah karya seni akan selalu tetap bergantung pada sejumlah
faktor: status sosial, selera, identitas kultural, cita-cita nasional, pasar seni, dan lain
sebagainya. Hal ini berlaku untuk seni rupa barat, mau pun seni timur.” (hlm.269-270).
Namun kembali saya ingatkan bahwa setelah penjabaran kritis yang melampaui
indonesianis-indonesianis sebelumnya, Spanjaard tetaplah terbukti menuliskan
pernyataan-pernyataan yang bernuansa "memperpanjang kebenaran" atau mereproduksi
universalitas pendidikan seni yang baik atau modern adalah seilmiah barat. Terlebih dalam
cara Spanjaard mengarahkan seni rupa Indonesia untuk sejalan dengan garis besar “Back
To Roots” di dalam seni asiatis, tentu menunjukkan adanya simtom laten atas hasrat klasik
kolonial yang ingin mengarahkan, mengajari, laksana seorang bapak kepada anaknya. Maka
garis besar narasi Spanjaard ini terasa tak konsisten, dan kekritisan yang ada menjadi
semacam kepedulian atau rasa derma atau bahkan rasa kasihan, berbungkus penelitian
akademis yang diyakini obyektif, dan bisa dipertanggung jawabkan sebagai ilmiah, serta
berimbang. Paradoks inilah yang lahir di dalam celah-celah disertasi Spanjaard.
Barangkali ketika pertama kali diujikan, disertasi ini terbilang memiliki perspektif yang
meluas dibanding karya sejarah dalam historiografi seni rupa sebelumnya, terlebih dalam
jajaran karya-karya Indonesianis. Namun simtom-simtom eurosentris di sana-sini kemudian
menempatkan ketertinggalan narasi Spanjaard dalam perspektif progresif termutakhir.
Benar adanya jika disertasi ini selesai sebelum momen penting keruntuhan Orde Baru.
Namun mestinya tidak menjadi alasan untuk tidak bisa membaca keterkaitan hegemoni
Orde Baru yang nyata di dalam sejarah sosial, ekonomi maupun poilitik, yang tentu saja
berimbas masif di dalam jalannya seni rupa Indonesia. Akhirnya karya disertasi Spanjaard
adalah sumbangan penting namun lemah. Dan walhasil buku ini menuntut untuk direvisi
baik secara metodologi maupun cakupan sumber-sumber sejarah alternatif. Sebagaimana
hal ini adalah tuntutan utama bagi perkembangan penulisan sejarah Indonesiasentris,
maupun penulisan sejarah seni rupa kita itu sendiri. Mengingat masa depan historiografi kita
bergantung pada upaya terus menerus mensintesiskan perspektif-perspektif maupun
pendekatan-pendekatan alternatif yang sanggup memperluas, kalau bukan melabilkan
hegemoni wacana kolonial di dalam arus utama.

Daftar Pustaka
Gandhi, Leela. 2007. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat, terjemahan.
Yogyakarta: Qalam.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, terj. Prof. Dr. R.M.
Soedarsono. Yogyakarta. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Picard, Michel. 1996. “A Living Museum”, on, Bali: Cultural Tourism and Touristic Culture.
Singapore: Archipelago Press, page. 16-38.
Said, Edward. 2010. Orientalism (New York: Vintage Book, 1979),
Spanjaard, Helena. 2018. Cita-cita Seni Lukis Indonesia Modern 1900-1995: Sebuah Kreasi
Identitas Kultural Nasional, terj. Drs. Iswahyudi, M. Hum. Yogyakarta: Ombak.
Tamara, Nasir. 1997. Mengkaji Indonesia: Pengaruh Amerika dalam Dunia Intelektual
Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Anda mungkin juga menyukai