Anda di halaman 1dari 11

HUMANIORA

VOLUME 14 Konsep Martabat


No.Tujuh 2002
dalam At-Tuchfatul-Mursalah
1 Februari Halaman 1 - 11

KONSEP MARTABAT TUJUH


DALAM AT-TUCHFATUL-MURSALAH
KARYA SYAIKH MUHAMMAD FADHLULLAH
AL-BURHANPURI:
KAJIAN FILOLOGIS DAN ANALISIS RESEPSI
Sangidu*

1. Pengantar kepada Tgk. Muhammad Mas‘ud kepada


Tgk. Ibrahim kepada Tgk. Muhammad
ilologi merupakan suatu ilmu yang Arsyad kepada Nurdin AR. Naskah tersebut
objek penelitiannya adalah naskah telah menjadi koleksi pribadi Drs. Nurdin AR.,
dan teks. Oleh karena itu, untuk M.Hum sejak tahun 1976 dan telah diinven-
meneliti naskah dan teks menurut kerja tarisasi sejak tahun 1985 setelah menye-
filologi, hal yang pertama-tama harus lesaikan pendidikan S-1-nya di Fakultas
dikerjakan oleh peneliti adalah mendaftar Sastra UGM, Bulaksumur, Yogyakarta.
semua naskah yang terdapat di berbagai Untuk mempermudah mendeskripsikan
perpustakaan, museum, dan koleksi perse- kedua naskah tersebut, naskah bernomor
orangan yang biasa menyimpan naskah. MINA 6 disebut naskah Tuchfah A dan
Daftar naskah dapat dilihat berdasarkan naskah bernomor MINA 7 disebut naskah
katalogus yang tersedia (Djamaris, 1977:20, Tuchfah B. Kedua naskah tersebut merupa-
24), buku-buku yang membicarakan kan naskah berbahasa Arab karangan Syaikh
pernaskahan, hasil-hasil penelitian yang Muhammad Fadhlullah Al-Burhanpuri
berkaitan dengan pernaskahan, dan (selanjutnya disebut Fadhlullah).
informasi-informasi lain yang berkaitan Naskah Tuchfah merupakan naskah
dengan pernaskahan. berbahasa Arab dan berisi ajaran Martabat
Naskah at-tuchfatul-mursalah ilâ rûchin- Tujuh yang telah diajarkan Fadhlullah kepada
nabî shallal-Lâhu ‘alaihi wa sallam muridnya, yaitu Syaikh Syamsuddin As-
(selanjutnya disebut Tuchfah) yang dijadikan Samatrâ’î (selanjutnya disebut Syamsuddin).
Ajaran Martabat Tujuh tersebut berkaitan
objek material di dalam penelitian ini ada dua
dengan hubungan vertikal antara manusia
buah, yaitu naskah Tuchfah bernomor MINA
dengan Tuhan. Puncak dari hubungan ter-
6 (Manuskrip Islam Nurdin AR, Nomor 6) dan
sebut adalah rasa bersatunya manusia
MINA 7. Kedua naskah tersebut terdapat di
dengan Tuhan yang terkenal dengan sebutan
perpustakaan pribadi Drs. Nurdin AR,
Wachdatul-Wujûd.
M.Hum. di Banda Aceh dan merupakan
warisan dari leluhurnya yang telah diwariskan
2. Masalah
melalui Tgk. Muhammad Arsyad bin Tgk.
Ibrahim (kakak kandung ayahnya) bin Tgk. Dari uraian di atas, terdapat beberapa
Muhammad Mas‘ud bin Tgk. Di Tunong masalah yang perlu dipecahkan di dalam

* Doktorandus, Magister Humaniora, Staf Pengajar Jurusan Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Humaniora Volume XIV, No. 1/2002 1


Sangidu

penelitian ini, yaitu masalah yang berkaitan Gejala proses penyalinan naskah yang
dengan pernaskahan Tuchfah, penyuntingan, demikian ini perlu dipecahkan dengan metode
penerjemahan, dan konsep Martabat Tujuh filologi yang sesuai dengan kondisi naskah.
yang terkandung di dalam teks Tuchfah. Di lain pihak, proses penyalinan suatu
Tulisan ini hanya menjawab dan meng- naskah dapat disalin dari sejumlah teks
ungkapkan dua masalah yang berkaitan induk, yakni naskah kontaminasi yang lahir
dengan pernaskahan Tuchfah dan konsep dari proses penyalinan yang bersifat horizon-
Martabat Tujuh yang terkandung di dalam tal. Proses penyalinan naskah secara hori-
teksnya. zontal ini dapat memberikan kebebasan
terhadap kreativitas penyalinnya yang sudah
barang tentu tidak dapat terhindar dari
3. Tinjauan Pustaka konvensi yang hidup dalam kegiatan salin-
Penelitian yang berkaitan dengan teks menyalin naskah-naskah lama. Dalam
Tuchfah pernah dilakukan oleh A.Johns menghadapi kondisi naskah yang demikian
ini, metode filologi perlu mendahulukan
(1966). Hasil penelitian yang telah dilakukan-
deskripsi naskah secara tuntas dan menye-
nya telah diterbitkan berupa kumpulan risalah
diakan aparat kritik secara layak (Chama-
Tuchfah. Selain itu, ia juga menduga bahwa
mah-Soeratno, 1991:12-14).
kumpulan risalah tersebut disusun oleh mu-
Penelitian terhadap Tuchfah sebagai
rid Syamsuddin. Penulis telah menemukan
salah satu karya sastra lama dapat dibaca
dua naskah Tuchfah yang berada di
melalui dua buah naskah salinannya, yaitu
perpustakaan pribadi Drs. Nurdin AR.,
naskah Tuchfah A dan B. Dalam menghadapi
M.Hum. dengan nomor kode MINA 6 dan
kedua naskah Tuchfah tersebut, yang
MINA 7. Penelitian yang berkaitan dengan
pertama-tama dilakukan peneliti adalah
pernaskahan, penyuntingan, penerjemahan,
membandingkan kedua naskah dan mene-
dan ajaran tasawuf yang terdapat di dalam
tapkan satu naskah unggul sebagai teks
teks Tuchfah, baik naskah Tuchfah bernomor suntingan. Perbandingan terhadap kedua
Mina 6 maupun bernomor Mina 7 belum naskah tersebut memerlukan metode filologi
pernah dilakukan sehingga perlu dilakukan yang sesuai dengan kondisi naskah dan
penelitian lebih lanjut. Namun, hasil peneliti- terkenal dengan metode landasan atau induk
an yang telah dilakukan oleh Johns besar (legger).
bantuannya untuk mendukung penelitian Metode landasan atau induk (legger)
terhadap Tuchfah, baik dari aspek per- adalah suatu metode yang menurut tafsiran
naskahan maupun dari aspek isinya. nilai naskah jelas berbeda sehingga ada satu
atau segolongan naskah yang unggul
4. Landasan Teori dan Metode kualitasnya. Keunggulan kualitas naskah
dapat dilihat dari aspek bahasa, kesastraan,
Penelitian terhadap Tuchfah secara sejarah, atau lainnya. Dengan demikian,
praktis ditujukan untuk mengungkapkan naskah yang unggul kualitasnya tersebut
pernaskahan dan konsep Martabat Tujuh dapat dijadikan sebagai naskah yang paling
yang terkandung di dalamnya. Karena itu, baik dan dapat dijadikan “landasan” atau
penelitian ini memanfaatkan dua teori, yaitu “dasar” teks (Robson, 1978:36) yang akan
teori filologi dan teori resepsi. Berikut ini disunting.
dikemukakan dasar-dasar kedua teori Perbandingan naskah, yang telah
tersebut. dilakukan oleh peneliti, menunjukkan bahwa
naskah Tuchfah A merupakan naskah yang
4.1 Teori dan Metode Filologi unggul kualitasnya sehingga naskah tersebut
dijadikan “landasan” atau “dasar” suntingan
Banyaknya jumlah naskah salinan teks. Suntingan teks yang telah dihasilkan
melahirkan variasi teks yang banyak pula. melalui kerja filologis, selanjutnya dianalisis

2 Humaniora Volume XIV, No. 1/2002


Konsep Martabat Tujuh dalam At-Tuchfatul-Mursalah

dengan memanfaatkan teori resepsi untuk dapat ditentukan lebih baik (Pradopo, 1995:
mengungkapkan ajaran tasawuf, yaitu 234).
konsep Martabat Tujuh yang terdapat di Faktor pembaca, dalam poros komuni-
dalamnya. kasi mendapat pengertian yang bermacam-
macam. Salah satu di antaranya yang akan
4.2 Teori dan Metode Resepsi dimanfaatkan di dalam penelitian ini adalah
pembaca nyata (real reader). Pembaca ini
Teori resepsi sastra merupakan suatu merupakan pembaca dalam arti fisik, yaitu
disiplin yang memandang penting peran orang yang melaksanakan tindakan pem-
pembaca dalam memberikan makna teks bacaan. Pembaca dalam kelompok ini
sastra (Jauss, 1983:20). Berbicara tentang meliputi pembaca peneliti dan pembaca
resepsi sastra atau cara seorang pembaca umum. Pembaca peneliti dalam resepsinya
menerima dan memahami teks sastra dapat berupa reaksi atau tanggapan terhadap
merujuk teori Iser. Ia mengatakan bahwa sebuah teks sastra seperti yang dipahaminya
sebuah teks sastra dapat didefinisikan dan berdiri di dalam proses pembacaan.
sebagai wilayah indeterminasi atau wilayah Sementara itu, pembaca umum dalam
ketidakpastian (indeterminacy areas) (Iser, resepsinya berupa reaksi atau tanggapan
1987:24; Segers, 1978:40-41).Wilayah terhadap sebuah teks sastra dan berdiri di
ketidakpastian merupakan “bagian-bagian luar proses pembacaan. Dalam penelitian ini,
kosong” atau “tempat-tempat terbuka” pembaca yang dimaksudkan adalah pem-
(leerstellen, open plek) yang “mengharuskan” baca peneliti.
pembaca untuk mengisinya. Hal ini disebab- Horizon harapan dari seorang pembaca
kan oleh sifat karya sastra yang mempunyai ke pembaca dan dari periode ke periode itu
banyak tafsir (poly-interpretability) (Pradopo, selalu berbeda-beda disebabkan oleh adanya
1995:235). norma-norma yang terpaparkan dari teks-teks
Dalam mengisi “tempat-tempat kosong” yang telah dibaca oleh pembaca dan penga-
yang terdapat di dalam karya sastra, para laman serta pengetahuan pembaca atas
pembaca pada hakikatnya masuk dalam semua teks yang telah dibaca sebelumnya.
suasana berdialog dan berkomunikasi Oleh karena itu, metode resepsi yang diguna-
dengan teks sastra. Dalam komunikasi kan di dalam penelitian ini adalah metode
sastra, kedua belah pihak, yaitu teks dan kritik teks dan metode intertekstual.
pembaca berinteraksi. Dalam interaksi itu, Metode kritik teks merupakan cara kerja
wujud struktur yang terjangkau melalui teks yang merunut perkembangan tanggapan
berperan memberikan arahan kepada pem- pembaca berdasarkan bekal pengetahuan
baca yang diangkat dari repertoire (bekal atau yang telah dimiliki oleh masing-masing
bahan yang berupa pengetahuan dan penga- pembaca. Wujud tanggapannya dapat berupa
laman pembaca) dengan strateginya se- ulasan, kritik, komentar, analisis, ataupun
hingga lahirlah realisasi teks (Iser, 1978:20, hasil penelitian-penelitian yang telah
107). Realisasi teks berupa resepsi (tanggap- dilakukan oleh pembaca (Teeuw, 1984:210;
an) dan penafsiran yang berbeda-beda dari Chamamah-Soeratno, 1991:22). Sementara
para pembaca karena mereka telah dibekali itu, metode intertekstual, yaitu cara kerja
oleh pengalaman dan pengetahuan yang ber- yang melacak sambutan terhadap teks yang
beda-beda pula. Oleh karena itu, ada ke- sedang ataupun yang telah diteliti melalui
mungkinan satu karya sastra memperoleh teks lain yang menyambut teksnya. Sambut-
makna yang bermacam-macam dari berbagai an tersebut dapat saja mengolah, memutar-
kelompok pembaca (Chamamah-Soeratno, balikkan, memberontaki, meneladani, atau-
1991:21). Hal itu justru menunjukkan adanya pun menulis kembali teksnya. Hal yang
struktur teks sastra yang dinamis, makna demikian dapat dilakukan lewat penyalinan,
karya sastra akan selalu diperkaya dan dapat penyaduran, atau penerjemahan (Teeuw,
lebih terungkap, serta nilai sastranya pun 1984:213; Chamamah-Soeratno, 1991:22).

Humaniora Volume XIV, No. 1/2002 3


Sangidu

5. Pembahasan POSTILION buatan Belanda dengan cap air


(watermark) KUDA, PERISAI, dan KUDA
Sebagaimana telah dikemukakan di TUNGGANG yang ditunggangi seorang laki-
dalam permasalahan di atas bahwa di laki membawa terompet (Churchill,
penelitian ini akan menjawab dan meng- 1965:CCLXI). Keadaan itu menandakan
ungkapkan dua masalah, yaitu masalah yang bahwa kertas tersebut dibuat kira-kira pada
berkaitan dengan pernaskahan Tuchfah dan tahun 1776 M (Churchill, 1965:80).
masalah yang berkaitan dengan konsep Sementara itu, naskah Tuchfah B
Martabat Tujuh yang terkandung di dalam berukuran 22 x 15,5 cm dan terdiri dari 40
teksnya. Untuk itu, di bawah ini dikemukakan halaman. Ada beberapa halaman naskah
jawaban dari kedua masalah tersebut. yang hilang, yaitu halaman 3, 17, 24, 24, dan
30. Naskah ini tidak diberi nomor halaman
5.1 Pernaskahan Tuchfah sehingga penulis memberi nomor halaman
Objek material di dalam penelitian ini dari nomor 1 sampai dengan nomor 40 untuk
ada dua buah naskah, yaitu naskah Tuchfah mempermudah dalam proses pembacaan
A bernomor MINA 6 dan naskah Tuchfah B teksnya. Setiap halaman naskah memuat 7
bernomor MINA 7. Kedua naskah Tuchfah baris tulisan, kecuali pada halaman terakhir
tersebut dapat dideskripsikan sebagai memuat 8 baris tulisan. Setiap barisnya rata-
berikut. rata memuat 6 sampai dengan 8 kata.
Naskah Tuchfah A berukuran 20 x 14,5 Ukuran salinan teksnya untuk setiap
cm dan terdiri dari 7 halaman. Naskah ini halaman rata-rata 11 x 7 cm. Naskah
tidak diberi nomor halaman sehingga penulis Tuchfah B ditulis dengan tulisan berbahasa
memberi nomor halaman dari nomor 1 Arab dan Jawi (Arab-Melayu) dengan jarak
sampai dengan nomor 7 untuk memper- tulisan yang berjauhan karena di sela-sela
mudah dalam proses pembacaan teksnya. tulisan Matan Tuchfah diberi syarah dengan
Setiap halaman naskah memuat 17 sampai bahasa Arab maupun tulisan Jawi. Syarah
dengan 19 baris tulisan, kecuali pada tersebut juga ditulis mengelilingi Matan
halaman 1 memuat 9 baris tulisan. Setiap Tuchfah yang tidak beraturan sehingga
barisnya rata-rata memuat 8 sampai dengan pembaca yang ingin membaca teks Tuchfah
12 kata. B memerlukan guru dapat menuntun dalam
Ukuran salinan teksnya untuk setiap proses pembacaan teks tersebut. Melihat
halaman rata-rata 14 x 9,5 cm, kecuali pada bentuk tulisan yang terdapat pada naskah
halaman pertama berukuran 7 x 9,5 cm. Tuchfah B dapat dikemukakan bahwa dalam
Naskah Tuchfah A ditulis dengan tulisan memahami isi teks tersebut telah digunakan
berbahasa Arab, memakai tinta hitam yang sistem sorogan sebagaimana yang telah
cukup rapi, bersih, dan jelas dengan khath dilakukan di pesantren-pesantren tradisional
campuran antara riq‘i dan naskhi. Penyalinan antara ustadz dan santrinya. Tulisan yang
teksnya tidak menggunakan garis pengarah, terdapat pada naskah Tuchfah B memakai
baik garis pabrik maupun garis kuku atau tinta hitam yang cukup rapi, bersih, dan jelas
garis lainnya yang dibuat dengan tinta atau dengan khath campuran antara riq‘i dan
pensil. Judul teksnya terletak pada halaman naskhi. Penyalinan teksnya tidak mengguna-
pertama yang berada di tengah-tengah baris kan garis pengarah, baik garis pabrik maupun
tulisan. garis kuku atau garis lainnya yang dibuat
Kertas yang digunakan untuk menam- dengan tinta atau pensil. Judul teksnya
pung salinan teksnya masih bagus karena terletak pada halaman 4.
naskahnya terletak di tengah-tengah Kertas yang digunakan untuk menam-
kumpulan naskah-naskah lainnya. Kertas pung salinan teksnya masih bagus karena
yang digunakan untuk menyalin naskah naskahnya terletak di tengah-tengah kumpul-
Tuchfah A merupakan jenis kertas an naskah-naskah lainnya. Kertas yang

4 Humaniora Volume XIV, No. 1/2002


Konsep Martabat Tujuh dalam At-Tuchfatul-Mursalah

digunakan untuk menyalin naskah Tuchfah memahami teksnya tampaknya telah


B merupakan jenis kertas POSTILION buatan berlangsung proses belajar mengajar
Belanda dengan cap air (watermark) KUDA, model sorogan sebagaimana yang
PERISAI, dan KUDA TUNGGANG yang dilakukan di pesantren-pesantren
ditunggangi seorang laki-laki membawa tradisional.
terompet (Churchill, 1965:CCLXI). Keadaan 3. Dari aspek isi, naskah Tuchfah A dan
itu menandakan bahwa kertas tersebut dibuat naskah Tuchfah B sama-sama me-
kira-kira pada tahun 1776 M (Churchill, ngandung isi yang lengkap sehingga
1965:80). tidak mengganggu dalam proses
Dari deskripsi kedua naskah tersebut pemahamannya.
dapat dikemukakan bahwa menurut metode
filologi (Robson, 1978:36), apabila telah Atas dasar tiga hal tersebut di atas maka
didapatkan lebih dari satu naskah salinan, dapat ditentukan bahwa naskah Tuchfah A
perlu dilakukan perbandingan naskah, baik dipandang sebagai naskah yang unggul
dari aspek bahasa, sastra, budaya, maupun kualitasnya daripada naskah Tuchfah B. Oleh
lainnya untuk menentukan satu naskah atau karena itu, naskah Tuchfah A dijadikan
sekelompok naskah yang dipandang unggul landasan atau dasar suntingan teks dan pada
kualitasnya daripada naskah lainnya. Oleh
gilirannya akan dijadikan pijakan untuk
karena itu, berdasarkan deskripsi dan perban-
mengungkap isi yang terkandung di
dingan naskah yang telah dilakukan oleh
dalamnya, terutama yang berkaitan dengan
peneliti, baik naskah A maupun naskah B
dapat dikemukakan hal-hal yang dipandang
konsep Martabat Tujuh. Namun, perlu dike-
dapat mendukung untuk mendapatkan mukakan bahwa naskah Tuchfah B tetap
naskah yang unggul kualitasnya dari yang dipandang sebagai naskah pendukung untuk
lain, yaitu sebagai berikut. melengkapi kekurangan-kekurangan yang
terdapat di dalam naskah Tuchfah A.
1. Dari aspek fisik naskah, naskah Tuchfah
A maupun naskah Tuchfah B merupakan 5.2 Konsep Martabat Tujuh dalam
naskah tulisan tangan yang ditulis Teks Tuchfah
dengan rapi dan bahkan baris-baris yang
dipandang penting ditulis dengan tinta Dunia manusia merupakan dunia
merah. perubahan dan pergantian, tidak ada sesuatu
2. Dari aspek bahasa dan sastra, naskah yang tetap di dalamnya. Segalanya akan
Tuchfah B walaupun penulisan kata- selalu berubah, memudar, dan setelah itu
kata yang terdapat di dalamnya pada akan mati. Oleh karena itulah, manusia ingin
umumnya dipandang lengkap, tepat, berusaha mengungkap hakikat dirinya agar
jelas, dan mudah dipahami daripada dapat hidup kekal seperti Yang Menciptakan-
penulisan kata-kata yang terdapat pada nya. Untuk mengungkap hakikat dirinya,
naskah Tuchfah A, untuk memahami manusia memerlukan seperangkat penge-
kandungan naskah yang terdapat di tahuan batin yang hanya dapat dilihat dengan
dalamnya diperlukan seorang guru yang mata hati yang ada dalam sanubarinya.
dipandang mampu menjelaskannya Seperangkat pengetahuan yang dimaksud
karena teks Tuchfah B diberi syarah adalah ilmu ma‘rifatul-Lâh.
yang menjelaskan matannya. Syarah Ilmu ma‘rifatul-Lâh merupakan suatu
yang terdapat di dalam teks Tuchfah B pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman
ditulis tidak berarturan, baik yang tertulis bagi manusia untuk mengenal dan menge-
mengelilingi matannya, menyamping ke tahui Allah. Menurut Syamsuddin (dalam
kanan dan ke kiri, maupun yang tertulis Mir’atul-Muchaqqiqîn A, t.t.:12) ilmu
ke bawah. Dari segi bentuk tulisan ma‘rifatul-Lâh terbagi menjadi dua macam,
syarah yang terdapat dalam teks yaitu ilmu makrifat tanzîh (transeden) dan
Tuchfah B dapat diduga bahwa untuk ilmu makrifat tasybîh (imanen). Tuhan

Humaniora Volume XIV, No. 1/2002 5


Sangidu

menyatakan diri-Nya dalam Tujuh Martabat, Walaupun kedudukan Dzât Allah pada
yaitu martabat pertama disebut martabat tataran lâ ta‘ayyun (tidak nyata, tak
tanzîh (lâ ta‘ayyun atau martabat tidak nyata, terinderawi) atau kunhudz-dzâtil-chaqqi tidak
tak terinderawi) dan martabat kedua sampai dapat ditembus oleh ilmu dan makrifat
dengan martabat ketujuh disebut martabat manusia, Dia cinta untuk dikenal. Oleh karena
tasybîh (ta‘ayyun atau martabat nyata, itu, Dia menciptakan alam semesta seisinya
terinderawi). dengan maksud agar Diri-Nya dikenal.
Sesungguhnnya, Allah Ta‘ala itu Ada. Pemikiran tersebut berdasarkan Hadis Qudsi
Keber-Ada-anya itu tanpa bentuk, tanpa ukur- yang berbunyi: kuntu kanzan makhfiyyan fa
an, dan tanpa batas. Walaupun demikian, achbabtu an u‘rafa fa khalaqtul-khalqa fa bî
Allah tetap dapat dipahami, dimengerti, dan ‘arafûnî. Artinya, “Aku pada mulanya adalah
dilihat dengan bentuk dan ukuran melalui perbendaharaan yang tersembunyi,
alam semesta seisinya yang telah dicipta- kemudian Aku ingin dikenal, maka Kucipta-
kan-Nya. Wujud Allah itu esa dan merupakan kan makhluk supaya Aku dikenal (dan
hakikat wujud-wujud (makhluk). Semua melalui Aku mereka pun mengenal pada-Ku)
makhluk sampai sebiji atom pun tidak ter- (Fansuri dalam Syarabul-‘Àsyiqîn, t.t:3;
lepas dari Wujud yang mutlak. Sesungguh- Nasution, 1983:61). Cinta untuk dikenal inilah
nya, Wujud Allah ditinjau dari segi Kunhi- yang disebut permulaan tajalli Tuhan.
Nya tidak dapat diungkap oleh siapa pun dan Sesudah tajalli dilakukan, maka Dia
tidak dapat dijangkau oleh akal, angan- dinamakan ta‘ayyun, artinya “nyata,
angan, dan perasaan. Wujud Allah juga tidak terinderawi”. Keadaan Tuhan di dalam
dapat dianalogikan dengan apa pun karena ta‘ayyun atau “nyata, terinderawi” inilah yang
akal, angan-angan, dan perasaan merupakan dapat dicapai dan ditembus oleh pikiran,
ciptaan baru (muchdats). Siapa pun yang pengetahuan, dan makrifat manusia.
ingin berusaha sekuat tenaga untuk menge- Ta‘ayyun atau “nyata, terinderawi” dibagi ke
tahui Wujud dan wajah Allah Ta‘ala itu hanya dalam 6(enam) martabat.
merupakan pekerjaan dan perbuatan yang Dengan demikian, seseorang yang ingin
sia-sia belaka. memahami Wujud Allah Ta‘ala, ia harus
Dzât Allah Ta‘ala bernama kunhudz- mengetahui ilmu yang bertingkat-tingkat
dzâtil-chaqqi atau asal muasal Dzât Yang (mutadarrijan) dan dikenal dengan ajaran
Maha Benar. Ahlus-Sulûk menamai Martabat Tujuh (Al-Burhanpuri dalam
kunhudz-dzâtil-chaqqi dengan nama lâ Tuchfah, t.t.:2). Sementara itu, Syamsuddin
ta‘ayyun (tidak nyata, tak terinderawi). Dzât (dalam Mir’atul-Muchaqqiqîn A, t.t.)
Tuhan atau kunhudz-dzâtil-chaqqi dinama- berpendapat bahwa ketujuh martabat, baik
kan lâ ta‘ayyun (tidak nyata, tak terinderawi) yang tanzîh (transeden atau tak terinderawi)
disebabkan oleh ilmu dan makrifat para maupun yang tasybîh (imanen atau
manusia, para Ahlus-Sulûk, para wali, dan terinderawi) telah dijelaskan oleh Fadhlullah
bahkan para nabi pun tidak akan pernah di dalam karyanya berjudul Tuchfah.
dapat memikir-mikir dan menembus-Nya. Para peneliti mengira bahwa ajaran
Karena itulah, Rasulullah SAW bersabda: Wujudiyah Hamzah yang berkembang di In-
tafakkarû fî khalqil-Lâhi wa lâ tafakkarû fî donesia sampai saat ini merupakan ajaran
dzâtil-Lâhi (fî dzâtihi, fil-Lâh) fa tahlikû Martabat Tujuh. Anggapan yang demikian
(Rawâhu Abusy-Syaikh). Artinya, “berpikirlah dibantah oleh Abdul Hadi (1995:20) yang
kamu tentang makhluk yang diciptakan Al- mengatakan bahwa ajaran Martabat Tujuh
lah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzât baru berkembang pada awal abad ke-17
Allah, niscaya kamu akan binasa karenanya” dengan Syamsuddin sebagai penganjurnya
(Hadis Riwayat Abusy-Syaikh) (Fansuri yang pertama. Hamzah dan para wali di
dalam Syarabul-‘Àsyiqîn, t.t:15; Yusri, Pulau Jawa pada abad ke-16, seperti Sunan
1986:7). Bonang dan Sunan Kalijaga tidak pernah

6 Humaniora Volume XIV, No. 1/2002


Konsep Martabat Tujuh dalam At-Tuchfatul-Mursalah

menganjurkan dan mengajarkan ajaran tersebut. Pada tahap ini adalah tahap Nur
Martabat Tujuh. Muhammad atau hakikat Muhammad yang
Perlu dikemukakan bahwa penggagas merupakan sebab bagi terjadinya alam
ajaran Martabat Tujuh yang pertama adalah semesta ini. Tentang alam dalam martabat
Fadhlullah dari India yang wafat pada tahun ini masih dalam keadaan terpendam dan
1620 M. Ia mengajarkan ajaran Martabat karena itulah ia bersifat global, seperti halnya
Tujuh kepada Syamsuddin dan ajaran kacang dalam bijinya. Pada tahap seperti ini
tersebut dibukukan dalam kitab berjudul At- Tuhan pertama-tama memanifestasikan diri-
Tuchfatul-Mursalah ilâ rûchin-nabî shallal- Nya melalui sifat, lalu Tuhan keluar dan
Lâhu ‘alaihi wa sallam (Johns, 1966:5). membentangkan diri-Nya dengan sifat-sifat-
Sementara itu, Hamzah langsung mengait- Nya (Rachmân, Rachîm, dan lain sebagai-
kan dirinya dengan ajaran para sufi Arab dan nya), lalu dapat dimengerti. Oleh karena itu,
Persia sebelum abad ke-16, terutama tokoh- pada martabat ini disebut dengan istilah
tokoh seperti Bayazid Bisthami, Al-Hallaj, Ta‘ayyun Awwal (kenyataan pertama).
Fariduddin ‘Attar, Junaid Al-Baghdadi, Ibnu Ketiga, martabat Wachîdiyyah (ke-’ada’-
Arabi, dan Jalaluddin Rumi. Bazayid dan Al- an asma yang meliputi hakikat realitas
Hallaj merupakan tokoh idola Hamzah di keesaan). Pada tahap ini, segala sesuatu
dalam cinta (‘isyqi) dan makrifat (Hadi, yang terpendam itu sudah dibedakan dengan
1995:21). Dengan demikian, Syamsuddin tegas dan terperinci, tetapi belum lagi muncul
menerima ajaran Martabat Tujuh dengan dalam kenyataan. Perpindahan sesuatu yang
mendapat pengaruh dari India yang berasal terpendam itu ke dunia gejala ini tidak dapat
dari Fadhlullah dan mendapat pengaruh dari dengan sendirinya, tetapi ia memerlukan
Arab dan Persia yang berasal dari Hamzah. firman Tuhan yang berbunyi Kun fa yakûn
Untuk hal itu, di bawah ini penulis akan (Jadilah, maka Menjadilah). Dengan firman
mengemukakan ajaran Martabat Tujuh Tuhan itu, maka hal-hal yang terpendam akan
dengan mengacu pada naskah berjudul
mengalir ke luar dalam berbagai bentuk dan,
Tuchfah karangan Fadhlullah, yaitu sebagai
dengan demikian, dunia gejala pun muncul.
berikut.
Pada tahap inilah kaum Wujudiyah (Hamzah,
Pertama, martabat Achâdiyyah (ke-
Syamsuddin, dan para pengikutnya) menga-
’ada’-an Dzât yang Esa). Pada martabat ini
takan seperti halnya yang dikatakan oleh Ibnu
Dzât itu mutlak, tidak bernama, tidak bersifat
Arabi bahwa alam ini tidak terjadi dari yang
dan tidak mempunyai hubungan dengan apa
tidak ada (creatio ex nihilo), tetapi dari
pun sehingga orang tidak dapat menge-
sesuatu yang telah ada (pre-exist) dalam diri
tahuinya. Satu-satunya nama yang diberikan
Tuhan. Hal yang demikian serupa dengan
kepada Dzât yang mutlak itu adalah Huwa.
Oleh karena itu, Tuhan ditempatkan pada kacang yang terpendam dalam bijinya.
tempat yang tidak nyata sehingga disebut Batang kacang, dahan, daun, dan bijinya
dengan istilah Lâ ta‘ayyun (kenyataan yang tidak akan tampak keluar dari bijinya tanpa
tidak nyata). Tuhan itu adalah Azali (tidak ada faktor lain, seperti tanah, air, dan lain
berawal) dan Abadi (tidak berakhir). sebagainya. Karena itu, kaum Wujudiyah
Kedua, martabat Wachdah (ke-’ada’-an mengatakan bahwa Tuhan dan alam itu
sifat yang memiliki keesaan). Pada martabat seperti halnya biji kacang dan batangnya.
ini Dzat tersebut dinamakan Allah dan Tahap ini merupakan lembaga yang akan
bertajalli dalam sifat-sifat yang disebut a‘yân mendapat sasaran sifat-sifat Tuhan sehingga
tsâbitah (kenyataan yang terpendam, tahap ini disebut dengan istilah A‘yân
kenyataan yang tetap). Sifat-sifat tersebut Tsâbitah (kenyataan yang tetap). hal ini
adalah Ilmu, Wujud, Syuhud, dan Nur. Pada semua masih dalam wujud, Dzât, dan
tahap ini Dzât yang mutlak lagi esa itu hakikat-Nya, masih belum terpisah (masih
mengandung dalam diri-Nya semacam dalam kandungan Tuhan). Tahap ini juga
kejamakan akali dalam bentuk sifat-sifat disebut Ta‘ayyun Tsâni (kenyataan kedua).

Humaniora Volume XIV, No. 1/2002 7


Sangidu

Keempat, martabat Alam Arwah. Pada air laut dan ombak. Air laut dan ombak secara
tahap ini kenyataan yang terpendam lahiriah merupakan dua hal yang berbeda,
(kenyataan yang tetap) mengalir ke luar tetapi pada hakikatnya ombak itu berasal dari
mengambil bentuk alam arwah. Hakikat alam air laut sehingga keduanya merupakan satu
ini adalah satu, aspek saja yang terbagi ke kesatuan yang tidak dapat terpisah.
dalam ruh manusia, ruh hewan, dan ruh Martabat ‘alamul-insân (alam manusia)
tumbuh-tumbuhan. Pada tahap ini, Tuhan yang merupakan martabat ketujuh terdiri dari
keluar dari kandungan-Nya dari A‘yân beberapa tingkatan, yaitu benda-benda mati,
Tsâbitah ke A‘yân Khârijiyyah. Tahap ini juga tumbuh-tumbuhan, hewan, air mani (sperma
disebut A‘yân Khârijiyyah (kenyataan yang yang masih encer), nuthfah (sperma yang
ada di luar) atau disebut Ta‘ayyun Tsâlits sudah matang, dan di dalam rahim masih
(kenyataan ketiga). Menurut kaum Wujudi- dijelaskan secara rinci), Muslim (orang Is-
yah, dari A‘yân Tsâbitah ke A‘yân Khârijiyyah lam), Thâlib (orang yang mencari kebe-
itu tidak melalui ciptaan, tetapi melalui tajalli naran), Sâlik (orang yang berjalan mencari
(emanasi, pancaran) pada lembaga, yaitu kebenaran), ‘Ârif Kâmil Mukammil (orang
alam semesta. bijak yang betul-betul sempurna), Wâshil
Kelima, martabat Alam Mitsâl. Tahap ini (orang yang telah sampai di sisi Allah), dan
merupakan alam ide dan merupakan Insan Kamil (manusia sempurna). Martabat
perbatasan antara alam arwah dan alam Insan Kamil terdapat pada diri Nabi
jisim. Tahap ini juga disebut dengan istilah Muhammad SAW (As-Samatrâ’î dalam
Ta‘ayyun Râbi‘ (kenyataan keempat). Mir’atul-Muchaqqiqîn A, t.t.:10).
Keenam, martabat Alam Ajsâm (alam Martabat nama-nama ketuhanan tidak
benda). Tahap ini merupakan alam anasir boleh disamakan dengan martabat nama-
yang halus dan disebut juga dengan istilah nama alam semesta seisinya termasuk
Ta‘ayyun Khâmis (kenyataan kelima). manusia. Kedua wujud, baik wujud alam
Ketujuh, martabat Alam Insan. Tahap ini semesta maupun Wujud Allah merupakan
merupakan dunia gejala dan tajalli (pancaran) dua hal yang dipandang sempurna karena
Tuhan dalam dunia ini. Proses selanjutnya yang satu merupakan kesempurnaan Dzât-
baru memperoleh kesempurnaannya dalam Nya dan lainnya merupakan kesempurnaan
bentuk manusia. Tajjalli Tuhan sepenuhnya asmâ’-Nya.
hanya pada insan kamil, yaitu para Nabi dan Kesempurnaan Dzât adalah penjelasan
Auliyâ’ (para wali). tentang tampaknya Allah Ta‘ala atas diri-Nya
Menurut Syamsuddin (dalam Mir’atul- tanpa membutuhkan yang lain (al-ghinâ’ul-
Muchaqqiqîn A, t.t.:12-17) ketujuh proses muthlâq). Dengan demikian, al-ghinâ’ul-
perwujudan di atas, keberadaannya terjadi muthlâq merupakan kesaksian Allah Ta‘ala
bukan melalui penciptaan, tetapi melalui atas diri-Nya, penjelasan tentang ketuhanan,
emanasi (pancaran). Untuk itulah, antara dan keterkaitannya dengan hukum-hukum
martabat tanzîh (transenden atau lâ ta‘ayyun sehingga Allah Ta‘ala dengan kesaksiannya
atau martabat tidak nyata) dengan martabat ini tidak membutuhkan keberadaan alam
tasybîh (imanen atau ta‘ayyun atau martabat semesta seisinya secara terperinci. Adapun
nyata) secara lahiriah keduanya berbeda, kesempurnaan asmâ’ merupakan penjelasan
tetapi pada hakikatnya keduanya sama. tentang kesaksian Allah Ta‘ala atas diri-Nya
Seorang Sâlik yang telah mengetahui kedua dan Dzât-Nya dalam at-ta‘ayyunul-
ilmu ma‘rifatul-Lâh, baik Ma‘rifah Tanzîh (ilmu khârijiyyah, yaitu alam semesta seisinya.
yang tak terinderawi) maupun Ma‘rifah Kesaksian ini menjadi kesaksian penglihatan
Tasybîh (ilmu yang terinderawi), ia akan secara nyata (a‘yâniyyan ‘ainiyyan
sampai pada tataran tertinggi, yaitu tataran wujûdiyyan) (Al-Burhanpuri dalam Tuchfah,
rasa bersatunya manusia dengan Tuhan atau t.t.:3-4).
dikenal dengan sebutan Wachdatul-Wujûd. Sesungguhnya, alam semesta seisinya,
Uraian tersebut dapat dianalogikan dengan termasuk manusia, merupakan pertunjukan

8 Humaniora Volume XIV, No. 1/2002


Konsep Martabat Tujuh dalam At-Tuchfatul-Mursalah

dan yang dipertunjukkan adalah Allah Ta‘ala. Allah Ta‘ala pada makhluk-Nya dan
Dengan pertunjukan itulah, manusia dapat menyaksikan makhluk pada Allah Ta‘ala.
mengenal dan mengetahui Allah melalui Dengan demikian, antara keduanya tidak ada
dirinya dan terpusat dalam hatinya. Untuk perbedaan antara yang satu dengan lainnya.
itu, semakin jernih dan bening hati Tingkatan ini lebih utama dan lebih tinggi
seseorang, maka ia semakin jelas mengenal daripada tingkatan yang pertama dan kedua.
dan melihat Tuhan dan pada gilirannya ia Selain itu, tingkatan ini merupakan tingkatan
akan dapat merasakan bersatu dengan-Nya pada nabi, pada wali, dan orang-orang yang
(Wachdatul-Wujûd). mengikuti ajaran mereka, yaitu para shâlichîn
Untuk dapat merasa bersatu dengan (orang-orang yang berbuat baik atau shaleh).
Tuhan, manusia memerlukan dua pendekat- Menurut tingkatan yang ketiga ini dikemuka-
an, yaitu pendekatan wajib (qurbul-farâ’id) dan kan bahwa semua makhluk dilihat dari segi
pendekatan sunat (qurbun-nawâfil). Qurbul- hakikatnya adalah Allah Ta‘ala, sedangkan
farâ’id (kedekatan berbagai amalan wajib) dilihat dari segi ta‘ayyunnya bukan Allah.
adalah hilangnya perasaan terhadap seluruh Untuk memahami pernyataan ini dapat
maujûdât sampai dengan dirinya sendiri dan diibaratkan seperti gelombang laut, ombak,
hal ini tetap dalam pandangan Wujud Allah dan saljunya. Gelombang laut, ombak, dan
Yang Maha Benar. Artinya, sang hamba saljunya dilihat dari segi hakikatnya adalah
melakukan amalan-amalan ibadah wajib air, sedangkan dilihat dari segi ta‘ayyunnya
untuk mencapai kedekatan dengan Allah bukan air. Untuk memperkuat pendapat
Ta‘ala. Adapun qurbun-nawâfil (kedekatan tentang tingkatan Wachdatul-Wujûd yang
berbagai amalan ibadah sunat) adalah ketiga ini dikutip ayat-ayat Alquran dan Hadis-
hilangnya sifat-sifat kemanusiaan dan hadis nabi Muhammad SAW. Ayat Alquran
munculnya sifat-sifat ketuhanan. Artinya, yang dimaksud antara lain di dalam Q.S. Qaf
sang hamba melakukan amalan-amalan ayat 16 berbunyi: wa nachnu aqrabu ilaihi
ibadah sunat untuk mencapai kedekatan min chablil-warîd. Artinya, “Kami lebih dekat
dengan Allah Ta‘ala. Dengan amalan-amalan kepadanya daripada urat lehernya”.
tersebut, sang hamba dapat mendengar dan Sementara itu, Hadis Nabi yang dimaksud
melihat sesuatu tidak dari telinga dan mata antara lain berbunyi: idzâ qâma ilash-shalâti
saja. Selain itu, ia juga dapat mendengar dan fa innamâ yunâji rabbahu, fa inna rabbahu
melihat sesuatu dari jauh. Semuanya ini bainahu wa baina qalbihi. Artinya, “apabila
merupakan buah dari qurbun-nawâfil. Dengan seseorang mendirikan shalat, maka
dua pendekatan sebagaimana dikemukakan sesungguhnya ia sedang mengharap kepada
di atas, sang hamba dapat menyatu dengan Allah. Jarak antara ia dengan Allah seperti
Allah Ta‘ala atau Wachdatul-Wujûd (Al- ia dengan hatinya sendiri” (Al-Burhanpuri
Burhanpuri dalam Tuchfah, t.t.:5-7; dalam Tuchfah, t.t.:7-8).
Armstrong, 1996:231-232). Dari tiga tingkatan Wachdatul-Wujûd di
Pengertian Wachdatul-Wujûd (kesatuan atas dapat dikemukakan bahwa apabila
wujud) ada tiga tingkatan. Pertama, Wach- seseorang ingin sampai dan bertemu dengan
datul-Wujûd berarti sang hamba mengetahui Allah Ta‘ala hendaknya mengikuti nabi
bahwa Allah Ta‘ala adalah hakikat seluruh Muhammad SAW, baik perkataan maupun
makhluk. Akan tetapi, ia tidak menyaksikan perbuatan lahir dan batin dan kemudian
Allah dalam ciptaan-Nya. Kedua, Wachdatul- berusaha sekuat tenaga untuk memahami
Wujûd berarti dapat menyaksikan Allah Wachdatul-Wujûd. Selain itu, cara untuk
Ta‘ala melalui makhluk-Nya dengan kesaksi- mendekatkan diri pada Allah Ta‘ala adalah
an hati. Tingkatan ini lebih tinggi daripada dengan menghilangkan ego yang ada pada
tingkatan yang pertama. Ketiga, Wachdatul- diri masing-masing (Al-Burhanpuri dalam
Wujûd berarti sang hamba menyaksikan Tuchfah, t.t.:8-9).

Humaniora Volume XIV, No. 1/2002 9


Sangidu

6. Kesimpulan DAFTAR PUSTAKA

Manusia diciptakan oleh Allah tidak lain Al-Burhanpuri, Muhammad Fadhlullah. t.t. At-
hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam Tuchfatul-Mursalah ilâ Rûchin-
rangka pengabdiannya kepada Allah sudah NabîShallal-Lâhu ‘Alaihi wa Sallam A. 9
barang tentu tidak terlepas dari pengetahuan halaman. Naskah Koleksi Pribadi Drs.
tentang keber-Ada-an dan ke-Ada-an Allah Nurdin AR., M.Hum. Peuniti, Banda
itu sendiri. oleh karena itu, manusia perlu Aceh.
mengenal Allah sedekat mungkin agar —————— t.t. At-Tuchfatul-Mursalah ilâ
pengabdiannya mendapatkan hasil yang baik Rûchin- NabîShallal-Lâhu ‘Alaihi wa
di sisi-Nya. Banyak orang yang bertahun- Sallam B. 39 halaman. Naskah Koleksi
tahun telah mengabdi dengan melaksanakan Pribadi Drs. Nurdin AR., M.Hum.
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Al- Peuniti, Banda Aceh.
lah, tetapi karena ia belum mengenal Allah
Armstrong, Amatullah. 1996. Khazanah
dalam pengertian yang lebih terarah, peng-
Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Ta-
abdiannya belum mendapatkan hasil yang sawuf diterjemahkan oleh M.S. Nashrul-
baik. lah dan Ahmad Baiquni dari judul asli
Mengenal Allah merupakan jalan terbaik Sufi Terminilogy (Al-Qamus Al-Sufi) The
agar manusia dapat bertemu dengan-Nya Mystical Language of Islam. Cetakan I
sedekat mungkin. Cara mengenal Allah yang Mizan, Bandung.
terarah dan sistematis salah satu di antara-
nya adalah melalui konsep Martabat Tujuh. As-Samatrâ’î, Syamsuddin.t.t. Mir’atul-
Muchaqqiqîn A. 18 halaman. Naskah
Namun, perlu diketahui bahwa untuk mema-
Koleksi Filologika Museum Negeri
hami konsep Martabat Tujuh, manusia ter-
Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda
lebih dahulu harus menempuh empat tanjak-
Aceh.
an, yaitu syariat, tarikat, hakikat, dan
makrifat. ——————. t.t. Mir’atul-Muchaqqiqîn B.
Syariat merupakan peraturan-peraturan Naskah Berbahasa Arab 20 halaman.
Allah yang bersumber pada Alquran dan Naskah Koleksi Filologika Museum
Hadis. Menurut kalangan sufi, syariat Negeri Provinsi Daerah Istimewa Aceh,
merupakan amal ibadah lahir, baik mengenal Banda Aceh.
hubungan antara manusia dengan manusia Chamamah-Soeratno, Siti. 1991. Hikayat
lainnya (chablun minas-nâs) maupun Iskandar Zulkarnain Analisis Resepsi.
hubungan antara manusia dengan Tuhannya Balai Pustaka, Jakarta.
(chablun minal-Lâh). Tarikat merupakan
Churchil, W.A. 1965. Watermark in Paper in
pelaksanaan peraturan-peraturan Allah yang Holland, England, France, Etc. in The
bersumber pada Alquran dan hadis. Orang XVII and XVIII Centuries and Their In-
yang dapat menjalankan syariat secara terconnection. Menno Hertz-berger &
kontinyu akan mendapatkan karunia dari Allah Coo, Amsterdam.
sehingga ia dapat melihat-Nya dengan
matahati yang ada di dalam sanubarinya. Djamaris, Edwar. 1977. “Filologi dan Cara
Hakikat merupakan tujuan pokok agar Kerja Penelitian Filologi” dalam Bahasa,
sampai pada Allah dengan keyakinan akal, dan Sastra. Tahun III Nomor 1 halaman
20-33.
kehendak, angan-angan, dan jiwanya.
Adapun makrifat adalah mengenal Allah Fansuri, Hamzah.t.t.Syarabul-‘Asyiqîn. 25
dengan sebenar-benarnya, baik Af‘âl halaman. Naskah Koleksi Filologika Mu-
(Perbuatan-Perbuatan, Asmâ’ (Nama-Nama), seum Negeri Provinsi Daerah Istimewa
Sifat-Sifaf, maupun Dzât-Nya. Aceh, Banda Aceh.

10 Humaniora Volume XIV, No. 1/2002


Konsep Martabat Tujuh dalam At-Tuchfatul-Mursalah

Hadi W.M., Abdul.. 1995. Hamzah Fansuri: Pradopo, Rachmat Djoko.1995. Beberapa
Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. Teori Sastra, Metode, Kritik, dan Pene-
Mizan, Bandung. rapannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Iser, Wolfgang. 1978. The Act of Reading A Robson, S.O. 1978. “Pengkajian Sastra-
Theory of Aesthetic Response. The John Sastra Tradisional Indonesia” dalam Ba-
Hopkins Press Ltd., London. hasa dan Sastra, Tahun IV Nomor 6.
Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aes- Segers, Rien T. 1978. The Evaluation of Text.
thetic of Reception. University of The Peter de Ridder Press, Lisse.
minnesota Press, Minneapolis. Teeuw, Andries. 1984. Sastra dan Ilmu
Johns, A.H. 1966. The Gift Addressed to The Sastra, Pengantar Teori Sastra.
Spirit of The Prophet. Published by The Pustaka Jaya, Jakarta.
Australian National University, Yusri, Hasan. 1986. Rahasia dari Sudut
Camberra. Tasawuf (Jalan bagi Hamba Allah).
Nasution, Harun. 1983. Falsafat dan Mistisis- Cetakan I Bina Ilmu, Surabaya.
me dalam Islam. Bulan Bintang,
Jakarta.

Humaniora Volume XIV, No. 1/2002 11

Anda mungkin juga menyukai