THE
EQUA-
TOR
Volume 4
Nomor 1
Januari - Maret 2016
Terbitan triwulan | GRATIS
NEWSLETTER
YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA
YANG MUDA,
YANG BERBAHAYA
2
PENGANTAR REDAKSI
Pembaca yang budiman,
Edisi ini akan memulai lembaran baru pasca-perhelatan Biennale Jogja seri Equator #3 pada
November-Desember tahun lalu. Kami pun merasa perlu untuk mengangkat isu-isu terbaru yang tidak
lagi menyentil perhelatan yang sudah lewat. Pada kesempatan kali ini, kita akan membicarakan
berbagai isu soal anak muda dan gerakan kaum muda terkini. Untuk itu, berbagai topik akan
dieksplorasi, melihat berbagai corak dan kemungkinan yang ada atau muncul belakangan ini. Isu atau
kegelisahan itu kami coba ikat dalam satu tema besar; “Yang Muda, Yang Berbahaya!”
Edisi ini “dimulai” dengan provokasi dari Tia Pamungkas yang tampak gelisah dengan lesunya inisiatif
kaum muda dari kalangan mahasiswa dalam merespon beragam persoalan penting dan mendesak.
Singkatnya, Tia melihat bahwa para penggerak perubahan di Kota Yogyakarta justru berasal dari anak
muda yang ada di Karangtaruna, komunitas-komunitas sub-kultur, dan seniman-seniman muda.
Gerakan mahasiswa justru dipandang lesu dan kurang mampu menjadi inisiator gerakan.
Tulisan kedua dan ketiga–Hamada dan Irham Nur Anshari–boleh dibilang saling terkait satu sama lain.
Keduanya berusaha menyoroti fenomena terkini di kalangan anak muda. Hamada menguraikan
fenomena budaya produksi anak muda, khususnya Yogyakarta; “hacking”, yang menjiwai budaya
produksi alternatif. Do It Yourself–Do It With Other bukan sekadar jargon, tetapi mewakili sebuah
prilaku produksi yang mencoba melawan budaya produksi-konsumsi dominan. Bila Hamada berfokus
pada budaya produksi anak muda, maka Irham sebaliknya, menilik aspek konsumsinya. Dalam hal ini,
Irham memilih untuk membahas budaya menonton di kalangan anak muda Yogyakarta sebagaimana ia
amati dan cermati. Perkembangan teknologi informasi memberi pengaruh pada budaya menonton;
pergeseran ruang tontonan dari ruang keluarga (atau bioskop dalam konteks yang lebih besar) ke layar
laptop yang lebih privat.
Tulisan keempat adalah sebuah ulasan kritis dari Maria Puspitasari Munthe, menyoroti dan memeriksa
ulang posisi politis dari budaya populer sebagaimana sempat disuarakan teoritikus Kajian Budaya.
Diskursus itu menempatkan budaya populer sebagai bagian dari “aksi politis” (red.). Lewat tulisannya,
Pita tidak hanya memeriksa asas-asas teoritisnya, tetapi juga gerakan-gerakan tertentu yang
menggunakan budaya populer sebagai atribut strategis untuk menggalang kesadaran politis tertentu.
Tulisan terakhir di edisi ini adalah tulisan dari Aquino Wreddya Hayunta yang mengangkat masalah
kebebasan berekspresi dalam seni. Isu itu menjadi krusial atau penting karena kita memang butuh
sebuah definisi perihal apa itu “kebebasan berekspresi”, khususnya dalam ranah seni terkini. Sedang ia
menjadi sensitif karena seringkali dikonotasikan sebagai salah satu bentuk mutakhir dari praktik
liberalisme, terutama oleh kaum agamis yang puritan atau negara bila itu terkait isu tertentu.
Buah pikiran dari kelima penulis di atas tentu sangat berharga bagi kita semua. Di samping itu, kritik
dan perdebatan gagasan selalu terbuka bila membincang salah satu dari lima topik yang kami
suguhkan pada kesempatan ini. Akhir kata, selamat membaca!
The Equator merupakan newsletter Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: berbasis seni-budaya, the-equator@biennalejogja.org
berkala setiap tiga bulan diterbitkan the-equator@biennalejogja.org. penyempurnaan blue print kultural Januari - Maret 2016, 1000 exp
Yayasan Biennale Yogyakarta. Tersedia kompensasi untuk tulisan kota masa depan sebagai ruang hidup
Newsletter ini dapat diakses secara yang diterbitkan. bersama yang adil dan demokratis. Penanggung jawab: Direktur Yayasan
online pada situs: Berdiri pada 23 Agustus 2010. Biennale Yogyakarta
www.biennalejogja.org Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta Redaktur Pelaksana: Arham Rahman
(YBY) Alamat: Kontributor: Arie Setyaningrum
Redaksi The Equator menerima
kontribusi tulisan dari segala pihak Misi YBY adalah: Taman Budaya Yogyakarta Pamungkas, Hamada Adzani
sepanjang 1500 - 2000 kata dengan Menginisiasi dan memfasilitasi Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Mahaswara, Irham Nur Anshari, Maria
tema terkait isu Nusantara berbagai upaya mendapatkan konsep Telp: +62 274 587712 Puspitasari Munthe, Aquino Hayunta
Khatulistiwa. strategis perencanaan kota yang E-mail: Fotografi: Penulis, Arsip YBY, sumber-
3
DAFTAR ISI
4| DICARI PEMUDA TRANSFORMER
(KAUM MUDA SEBAGAI PENGGERAK SOSIAL)
Arie Setyaingrum Pamungkas
(staf pengajar di Departemen Sosiologi, UGM
aktivis budaya dan pengamat seni rupa)
MENJADI POLITIS
LEWAT YANG POPULER |27
Maria Puspitasari Munthe, Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi
dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
27| KEBEBASAN
POSISI KESENIAN DALAM
BEREKSPRESI
Aquino Hayunta (Koalisi Seni Indonesia)
sumber internet Kab. Cianjur Semarang: Kolektif Hysteria Dukungan untuk Yayasan Biennale
Desainer: Yohana T. Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Surabaya: C2O Yogyakarta dikirim ke:
Outlet Penyebaran Jakarta Perpustakaan UIN Yogyakarta, Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Yayasan Biennale Yogyakarta
Ruangrupa, Goethe Institut, Perpustakaan Pusat UGM, Koentono BNI 46 Yogyakarta
Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Perpustakaan Pascasarjana USD, Bali: Ketemu Project Space No.rek: 224 031 615
Tjikini, Serrum Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie,
Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Makasar: Rumata Artspace, Colliq Yayasan Biennale Yogyakarta
Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Puji’e BCA Yogyakarta
Galeri Soemardja, Tobucil Contemporary, PKKH UGM,
Angkringan Mojok No.rek: 0373 0307 72
Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala,
Perum Bukit Rantau Indah C27 NPWP: 03.041.255.5-541.000
Kademangan Pasir Halang Kec. Mande
4
“DICARI PEMUDA
TRANSFORMER!”
(KAUM MUDA
SEBAGAI PENGGERAK
PERUBAHAN SOSIAL)
Arie Setyaningrum Pamungkas
Staf pengajar di Departemen Sosiologi, UGM, aktivis budaya dan pengamat seni rupa
5
Pengantar
kaum muda di masa ini, khususnya mahasiswa mengabaikan unsur kreativitas dan
yang relatif memiliki 'kemerdekaan' kemandirian, apalagi berpikir secara kritis.
ketimbang di masa Orde Baru, semakin Ketiga, mulai lunturnya konstruksi
terkikis peranannya sebagai agen perubahan nasionalisme atau rasa kebangsaan sebagai
sosial?; Apakah itu hanya akan menjadi mitos pengikat solidaritas kaum muda. Nasionalisme
sejarah?; Atau barangkali ada sesuatu yang sebagai konstruksi budaya sekaligus politik
masih bisa kita harapkan di tengah kehidupan memperoleh tantangan karena merebaknya
kita saat ini–di mana potensi ancamannya politik identitas yang primordialis. Hal ini
tidak lagi represif seperti yang digambarkan misalnya muncul dalam gerakan sosial yang
dalam novel 1984, melainkan suatu menggunakan sentimen keagamaan–yang
perubahan dari siklus kehidupan sehari-hari menganjurkan jalan kekerasan dan gandrung
yang mengancam keseimbangan ekosistem, pada persoalan ketidakadilan global, tetapi
solidaritas sosial, dan menjauhkan kita dari abai pada kondisi lokal yang juga timpang.
kesadaran untuk berbagi? Kaum muda diajak untuk mengimajinasikan
sebuah peradaban yang dianggap baru
Pemuda (Mahasiswa) sebagai Agen dengan mengabaikan sejarah lokal mereka
Perubahan Sosial: Mitos atau Fakta? sendiri.
Beragam narasi sejarah selalu diwarnai oleh Ketiga tantangan itulah yang kini menyeruak
narasi tentang peranan kaum muda. Meski dan menjadikan pemuda sebagai sasaran
demikian, kini tantangan yang dihadapi oleh empuk bagi suatu sistem yang terus
para pemuda, khususnya mahasiswa, menjadi menciptakan ketimpangan sosial. Dalam
jauh lebih kompleks ketimbang sebelumnya. sistem yang demikian, kaum muda tidak
Pertama, perubahan konteks ekonomi-politik ditempatkan sebagai subjek yang mampu
global yang tidak hanya berdampak pada menafsirkan kehendaknya sendiri dan
cara-cara produksi, tetapi juga pada pola memiliki daya untuk memobilisasi segala
konsumsi massa, sehingga turut potensinya sebagai manusia. Kondisi inilah
mempengaruhi sistem reproduksi sosial dan yang kita hadapi saat ini. Kondisi yang
kultural secara lokal. Perubahan inilah yang menjadikan para pemuda hanya sebagai objek
menimbulkan gangguan ekosistem sebagai strategis bagi sistem ekonomi-politik yang
akibat dari sistem ekonomi neoliberal yang melanggengkan ketidakadilan dan sistem
mengabaikan keseimbangan alam (eksploitasi sosial yang segregatif (terkotak-kotak). Proses
atas ruang secara spatial yang mengakibatkan kultural yang demikian menjauhkan subjek
kerusakan alam, perubahan iklim, dari sikap inklusif (pluralis) dan tampak
menyempitnya ruang hijau, dan ketiadaan condong menyuburkan kebudayaan yang
ruang publik yang mampu mempertemukan bersifat ekslusif.
beragam kelas sosial). Kedua, pertumbuhan
jumlah penduduk usia muda atau bonus Kondisi yang bersifat antagonis di atas sangat
demografi yang semata-mata dihitung sebagai dimungkinkan karena perubahan sosio-
potensi perluasan pasar dari sistem ekonomi kultural juga menyangkut perubahan tata
neo-kapitalis yang mengandalkan ruang dan kependudukan (demografi). Pada
pertambahan keuntungan (profit making) tahun 2015 saja, Indonesia memperoleh
melalui praktek konsumsi massa. Akibatnya, 'bonus demografi', yakni tingginya jumlah
ruang yang tersedia bagi kaum muda, penduduk usia produktif–usia sekolah dan
khususnya melalui lembaga pendidikan, berpendidikan menengah tinggi antara 16
diarahkan (dikondisikan) secara sistemik hingga 30 tahun sejumlah lebih dari 63 juta
untuk mempersiapkan mereka menjadi jiwa. Sementara itu, untuk data
angkatan kerja produktif yang cenderung kependudukan di Provinsi DIY pada tahun
7
2016 ini, Biro Pusat Statistik diproyeksikan infrastruktur kampus sebagai korporasi.
akan mencapai angka 3,6 juta manusia. Akibatnya, mahasiswa lebih suka membangun
Padahal di Provinsi ini saja, tingkat kepadatan solidaritas mereka berdasarkan 'peer-
penduduk yang menghuni ruang secara grouping', cenderung bersifat eksklusif,
spasial cukup tinggi di tahun 2010, yakni ditambah lagi ketiadaan ruang publik
1.100 jiwa/km2. Sementara itu, jumlah kaum sehingga mereka menjadikan 'kampus'
muda berusia produktif (19-35 tahun) di sebagai ruang komunal mereka.
Provinsi DIY (data sensus BPS tahun 2014),
menunjukkan angka 30% dari total jumlah Memang masih ada beberapa gerakan
penduduk. Tidak dapat disangkal lagi bahwa mahasiswa lintas kampus, tetapi basisnya
di Yogyakarta sendiri, kaum muda menjadi tidak lagi di dalam kampus. Orientasi inilah
angkatan yang harus dipertimbangkan dalam yang menjadikan banyak mahasiswa saat ini
berbagai kebijakan. Hal ini tidak hanya lebih suka menjadi 'event organizer'
penting, tetapi juga mendesak, mengingat ketimbang 'aktivis'. Dengan kata lain,
tantangan perubahan spasial di Yogyakarta kemerdekaan yang dimiliki para mahasiswa
yang bahkan nyaris meniadakan ruang publik saat ini bukan lagi kemerdekaan untuk
untuk memfasilitasi gairah dan kreativitas memperjuangkan perubahan kondisi kelas
kaum muda. sosial mereka, melainkan kemerdekaan untuk
berkompetisi di dalam sistem ekonomi yang
Terkait geliat kaum muda di Yogyakarta, hal melanggengkan individualisme.
yang juga perlu dicermati adalah perubahan
esensial yang terjadi di banyak perguaran Para Pemuda 'Transfomer': Pemuda
tinggi di kota ini. Perubahan tersebut Karangtaruna, Seniman dan Komunitas
memberi dampak pada pola interaksi yang Subkultur
dijalani oleh para mahasiswa. Pasca-
reformasi, arah kebijakan perguruan tinggi “Karangtaruna itu memang ciptaannya
cenderung semakin mendukung sistem Orde Baru. Ini adalah organisasi yang
'marketisasi universitas', di mana pola didirikan dengan platform yang sangat
manajemen universitas dijalankan ibarat absurd, meskipun dengan jargon yang
sebuah korporasi. Pada konteks inilah, memuliakan bangsa Indonesia. Kita
infrastruktur yang dibangun oleh perguruan tahu kalau organisasi kepemudaan
tinggi diupayakan untuk menjadi ruang yang didirikan Orde Baru itu semua
pendukung bagi sistem kerja universitas memanipulasi kaum muda untuk
sebagai mesin pencetak tenaga kerja menjadi sekrup-sekrup kekuasaan
produktif yang efektif. Pada gilirannya, yang serakah. Persoalannya semenjak
suprastruktur (sistem nilai dan budaya) yang Orba runtuh, organisasi ini terus mau
tercipta dari ruang itu mempengaruhi pola diapakan? Ini masih ada di seluruh
interaksi mereka yang terlibat di dalamnya. Ini Indonesia di setiap kelurahan malahan,
yang tampak dari hasil penelitian saya di dan sekarang dalam kondisi 'sekarat'
tahun 2014 pada empat Perguruan Tinggi di nyaris seperti anak ayam kehilangan
Yogyakarta (UGM, ISI, USD dan UMY). induknya! Orang-orangnya juga masih
Depolitisasi kampus sejak masa Orde ada yang berminat meskipun semakin
Baru–yang menjauhkan perhatian mahasiswa hari semakin sedikit terutama di
dari masalah sosial dan politik–justru baru perkotaan, apalagi kalau aktif di
dirasakan dampaknya pada masa ini. Ini Karangtaruna itu sekarang
nampak pada semakin terpolarisasinya dianggapnya nggak keren, ndeso,
mahasiswa ke dalam unit-unit kegiatan seperti agen Orba yang tolol mau-
mahasiswa (UKM) yang mendukung
8
PLBK (Penataan Lingkungan maunya didikte kekuasaan. Ini nggak benar! Justru karena
Berbasis Komunitas) Karangwaru
Riverside, Kecamatan Tegalrejo, Karangtaruna itulah puing-puing rumahnya kaum muda yang
Yogyakarta terbengkalai, kita perlu mengisi semangatnya di sana,
(Arsip Tia Pamungkas) ideologinya apa? Tujuannya untuk apa? Kan bangsa Indonesia
ini banyak mengalami ancaman perpecahan, nah
Karangtaruna itulah tempatnya kita mulai menyemai kembali
pengetahuan kita sebagai kaum muda, kaum muda
Transformers!”
Sumber Referensi
Biro PusatStatistik, 2014. ProyeksiPenduduk Indonesia 2010-2035. BPS:
Jakarta.
BKM TridayaWaruMandiri, 2010. Dokumen RPLP-
RencanaPenataanLingkunganPemukiman (tidakdipublikasikan).
Lefebvre, Henri, 2003. The Urban Revolution. University of Minneapolis
Press: Minneapolis.
Pamungkas, Arie Setyaningrum, 2015. LaporanPenelitianHibah DIKTI.
ProduksiRuangdanPerubahanSosialdi Kota Yogyakarta.DepartemenSosiologi,
FakultasIlmuSosialdanIlmuPolitik, UGM (tidakdipublikasikan).
11
Do It Yourself dan
Do It With Others:
Praktik Produksi
Anak Muda
Yogyakarta
Mesin Torch dan lanskap meja Hamada Adzani Mahaswara
kerja Ivan Bestari Mahasiswa Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM
13
Do It Yourself (DIY) belakangan ini menjadi musik atau mode, tetapi juga merambah ke
terminologi yang mengemuka di kalangan bidang elektronik, furnitur dll.
anak muda. Istilah ini—seakan latah—sering
disematkan pada praktik produksi, reparasi Juan Ignacio Gallego Perez, dalam artikelnya
sampai kolaborasi independen yang dianggap bertajuk Do It Yourself: Cultura y Tecnologia
kreatif, kekinian dan berbeda. Beriringan memandang platform ini memungkinkan
dengan DIY, dikenal juga terminologi Do It setiap orang untuk menciptakan,
With Others (DIWO). Lantas, apa itu mendistribusikan dan mempromosikan
sesungguhnya DIY dan DIWO? Dari mana produk melewati batas peraturan dasar yang
istilah tersebut berasal dan bagaimana diciptakan oleh industri kapitalis (2009). Ia
praktiknya di Indonesia saat ini? kemudian menjelaskan bahwa DIY juga
berpengaruh terhadap ideologi tunggal,
Kemunculan DIY-DIWO menjadi bentuk perlawanan terhadap struktur
pemasaran yang hegemonik, serta
Dalam beberapa literatur yang telah disarikan, mendorong ekspresi warga. Salah satu tujuan
Do It Yourself merupakan kegiatan kreasi, utama DIY adalah meniadakan spesialisasi dan
modifikasi atau reparasi obyek tertentu, memisahkan jarak antara pekerja/buruh dan
secara mandiri tanpa bantuan dari kreator. Gerakan DIY telah mengubah relasi
ahli/profesional. Para pelaku DIY biasa disebut sosial, menciptakan komunitas baru, dan
“amatir” dan pada umumnya praktik DIY tidak perlahan lepas dari kebergantungan terhadap
dimotivasi oleh tujuan komersial. Praktik DIY industri.
merupakan salah satu efek kultural dari
revolusi industri di Eropa yang turut Belakangan, DIY-DIWO telah menjadi
berdampak ke USA. Sementara itu, Do It With semangat bagi praktik kreasi anak muda.
Others (DIWO) merupakan upaya kolaborasi Terminologi hackers, makers sampai makers
bersama antar-individu dengan saling berbagi movement muncul dan berkembang untuk
pengetahuan/keahlian dalam rangka mendeskripsikan proses reka-cipta yang
mengkreasikan produk tertentu. menggunakan metode peretasan dan
teknologi informasi. Kehadiran majalah Make
Terminologi DIY tidak lepas dari ideologi punk di tahun 2005 merangsang partisipasi individu
dan semangat anti-konsumerisme. Ia untuk membuat segala sesuatu secara
merupakan reaksi atas praktik produksi kustom, sesuai dengan keinginan mereka.
massal yang kian masif, khususnya industri Gelombang makers yang muncul ini disadari
mode. Punk mencoba tampil berbeda dengan sebagai potensi besar, hingga kemudian
menjahit sendiri pakaian dan atributnya, serta digelar suatu perhelatan bertajuk “Maker
menciptakan identitas dan tren baru. DIY Faire” di Amerika Serikat (2007) sebagai ajang
secara tajam menolak budaya konsumsi pertemuan para makers untuk saling berbagi
massa yang menciptakan kebergantungan pengalaman dan memamerkan inovasi
pada struktur yang sudah stabil. ciptaan mereka. Kegiatan tahunan ini masih
berlangsung hingga kini dan dianggap sebagai
Pada tahun 1990 kultur DIY menjadi semakin ajang prestisius bagi para pegiat DIY.
kuat seiring dengan globalisasi dan
perkembangan teknologi. Hal ini didorong Kultur DIY dan Perkembangannya di
oleh kehadiran netlabel movement yang Indonesia
berfokus pada industri rekaman independen.
Di awal abad ke-21, seiring dengan kehadiran Berdasarkan paparan di atas, sesungguhnya
internet, pertukaran informasi menjadi DIY bukanlah metode kerja baru di Indonesia.
semakin mudah dan turut membuat kultur Jauh sebelum para ilmuwan saintifik
DIY semakin meluas, tidak hanya di bidang
14
menemukan terminologi mengenai DIY, nenek kaum muda seperti itulah yang terus
moyang kita telah memulainya. Misalnya berbenturan hingga kini. Menganai hal itu,
dengan merakit perahu/kapal secara mandiri, ada kaum muda memilih diam dan menerima
merancang sistem pertanian dengan begitu saja, ada yang memilih menjadi
peralatan tradisional (misalnya sistem Subak oposan, tetapi–di luar dari dua kutub ekstrim
di Bali), tambal ban, reparasi dan duplikat itu–ada juga yang melakukan negosiasi
kunci dan masih banyak lagi bidang kerja yang dengan menciptakan peluang dari berbagai
dipraktikan secara amatir—yaitu tanpa kemungkinan yang tersedia.
sekolah dan berbekal keahlian yang
diwariskan turun-temurun. Namun demikian, Dalam penelitian bertajuk “Generation DIY:
kita tidak pernah mengenal terminologi DIY. Youth, Class, and the Culture of Indie
Adapun istilah yang dikenal berkisar antara Production in Digital-Age Indonesia” yang
'utak-atik', 'ngulik', atau 'ngoprek'. dikerjakan oleh Brent Luvaas (2009), kultur
DIY di Indonesia tidak bisa lepas dari konteks
Sama halnya dengan DIY, istilah DIWO sendiri sosio-kultural yang melatar-belakanginya.
sebelumnya telah mengemuka dengan istilah Pada awal periode 1990, anak-anak muda di
gotong royong atau kerja sama. Praktik ini Bandung merupakan kelas menengah yang
biasa dilakukan ketika sebuah keluarga cenderung konsumtif. Dengan harga dollar
menggelar hajatan perkawinan, sunatan atau yang masih terbilang rendah, mereka terbiasa
kegiatan kerja bakti membersihkan desa. membeli majalah, CD, T-Shirt band luar negeri
Istilah kolaborasi, belakangan menjadi dengan leluasa. Hal ini juga didorong oleh
terminologi yang jamak kita dengar untuk kondisi musik Indonesia saat itu yang
sebuah upaya saling membantu ini. cenderung menampilkan band-band cengeng
dan film India. Bagi mereka, apa yang
Dengan segala keterbatasan (baik itu akses ditampilkan cenderung norak dan tidak
dan teknologi) yang ada, praktik DIY-DIWO mewakili semangat zaman yang progresif.
menjadi relevan hingga sekarang. Berbeda
dengan konteks negara Barat di mana DIY- Senada dengan temuan Luvaas, penelitian
DIWO merupakan representasi dari sikap anti yang digelar oleh Youth Studies Centre UGM
konsumerisme dan upaya perlawanan, (2014) mengungkapkan, ketidakpuasan anak
semangat ngoprek dan gotong royong di muda pada masa itu mendorong mereka
Indonesia sesungguhnya dilatar-belakangi untuk berkreasi dan berkolaborasi untuk
keadaan yang mendesak. menciptakan semangat kemandirian atau
indie. Karena buruknya kondisi ekonomi di
Kebanyakan praktik DIY-DIWO dilakukan oleh akhir 90-an, anak muda ini tidak bisa lagi
anak muda, mengingat fleksibilitas waktu dan mengimpor barang-barang yang mereka
rasa keingintahuan yang tinggi untuk sukai. Kondisi tersebut merangsang mereka
mengeksplorasi tema/isu tertentu. Populasi untuk “mencari jalan keluar”, seperti misalnya
anak muda di Indonesia terbilang besar. menggambar figur artis idola dan
Kondisi ini turut andil dalam merangsang menyablonnya di atas kaos. Produk inilah
pergerakan sosial, dimulai dari revolusi 1945 yang kemudian digandrungi oleh banyak anak
hingga reformasi. Di sisi lain, pada ranah muda di Bandung dan menjadi embrio distro.
mikro, kaum muda juga berperan terhadap Selain di bidang mode, anak muda di Bandung
perubahan budaya. Mereka digadang-gadang juga membangun 'skena musiknya sendiri'
untuk dapat menciptakan suatu kondisi yang dengan membuat kamar rekaman
ideal dalam masyarakat, tetapi juga kerap independen dan menyelenggarakan konser
ditampilkan dalam stigma negatif yang dapat musik atau gigs dari panggung-panggung kecil
menimbulkan chaos. Kesan paradoks perihal di Bandung.
15
Karya Ivan Bestari dari hasil Dalam perkembangannya, penggunaan social media, Youtube sampai
teknik flameworking Pinterest yang semakin massif, turut mempermudah praktik DIY-
DIWO. Video tutorial dan petunjuk pembuatan produk tertentu
secara sederhana dengan mudah ditemukan di Youtube atau fasilitas
lain di internet. Setidaknya hal itu telah membuka ruang
kemungkinan bagi kita untuk menciptakan sesuatu (produk) sesuai
dengan yang diinginkan atau dibutuhkan.
Dalam sub tema ini, saya mencoba mengangkat dua praktik kreatif
individu dan komunitas yang menjalankan praktik DIY-DIWO di
Yogyakarta. Keduanya memang memiliki karakter berbeda, tetapi
diharapkan mampu memberi gambaran singkat perihal gerakan ini.
“Di industri kaca pada umumnya, ada dua teknik pembentukan, cetak
panas dan dingin. Sampai akhirnya menemukan teknik yang pas buat
saya, namanya flameworking,” ujar Ivan. Ia juga membuat mesin
torch sendiri dari material tidak terpakai. Tidak adanya literatur yang
16
dan memasarkan produk melalui social 2012, Lifepatch justru menggali aspek
media, website atau www.etsy.com (situs pengetahuan lokal dari warga pinggiran
yang menjual produk-produk DIY, -pen),” sungai di beberapa titik seperti Code,
tutupnya. Winongo dan Gajah Wong, melakukan
pemetaan terhadap potensi lokal serta
Aktor kedua yang menjalankan semangat DIY- berkolaborasi dengan warga memecahkan
DIWO dalam proses berkaryanya adalah masalah sehari-hari seperti pencemaran
Lifepatch. Senada dengan apa yang dijelaskan bakteri dan filtrasi air. Pada proyek Lifepatch
dalam dua penelitian sebelumnya, bagi bertajuk “Proyek Nenek” yang berkolaborasi
Lifepatch, kita semua adalah makers dan dengan Cindy Linn dan Stefanie Wuschitz,
praktik DIY sebetulnya telah dimulai dari hal- ditemukan bahwa sumber produksi dan
hal sederhana. “Repair culture (kemampuan reproduksi pengetahuan dalam sebuah
reparasi, -pen) misalnya telah kita adopsi dan keluarga berasal dari interaksi yang terjadi
reproduksi secara organik,” ungkap Adhani dapur. Tidak dipungkiri, perubahan sosial
Donora (Ade) salah satu anggota Lifepatch. dalam skala lokal hingga global dapat berasal
dari peran ibu-ibu.
Lifepatch sendiri merupakan sebuah inisiatif
warga di bidang seni, sains dan Lifepatch juga pernah bekerja dengan
teknologi—organisasi lintas disiplin berbasis Paguyuban Warga Stren Kali, Surabaya.
komunitas yang mengajak siapapun terlibat Paguyuban ini merupakan sebuah organisasi
dalam aktivitas meneliti, menggali dan inisiatif warga yang bermukim di Wonokromo,
mengembangkan kehadiran teknologi, Surabaya. Ada banyak permasalahan di
sumber daya alam, serta sumber daya kawasan tersebut, misalnya, prostitusi,
manusia di daerah sekitarnya. Istilah inisiatif campur tangan partai politik dalam kebijakan
warga dipilih untuk memberi ruang lebih luas warga, terbatasnya infrastruktur (listrik dan
bagi keberagaman praktik anggotnya dan air bersih), legalitas pemukiman, dan
memacu kreativitas masing-masing anggota penggusuran. Lifepatch memilih bekerja
dalam berkolaborasi. dengan warga dalam permasalahan sumber
air bersih. Permasalahan ini dipandang cukup
Do It Yourself (DIY) dan Do It With Others ironis mengingat PDAM Bratang Tangkis
(DIWO) adalah semangat yang dipegang oleh berlokasi persis di sebelah pemukiman warga.
Lifepatch untuk memacu kemunculan suatu Namun demikian, warga sama sekali tidak
pola dan sistem baru yang lugas dari proses mendapatkan air bersih dari PDAM. Hal ini
kreatif individu maupun komunitas, serta membuat mereka menggunakan air sungai
interaksi antar-individu dalam rangkaian kerja yang (diduga) tercemar limbah industri di
komunitas. Lifepatch sendiri menolak untuk Surabaya. Dugaan tersebut disebabkan
disebut sebagai hackers atau makers, karena adanya buliran kertas yang naik ke permukaan
apa yang mereka kerjakan tidak melulu air setelah warga menampung air dari sungai
membincang persoalan teknologi informasi, dan melakukan penanganan “pembersihan
peretasan sistem dan komputerisasi. “Sebut air” secukupnya (menggunakan tawas).
saja komunitas kreatiflah untuk lebih
mudahnya, salah satu proyek yang digarap Menyadari rumitnya penanganan air,
Lifepatch yaitu Jogja River Project, justru jauh Lifepatch juga berkolaborasi dengan
dari aspek high technology,” lanjutnya. komunitas dan ilmuwan lokal yang berbasis di
Surabaya. Kolaborasi yang dilakukan adalah
Dalam Jogja River Project (JRP) yang telah penyelidikan kualitas air sungai serta
dikerjakan secara berkelanjutan sejak tahun
18
Simpulan
Bagi filsuf Perancis dan kritikus seni Jacques Ranciere, seni tidak
hanya menciptakan karya atau benda, tetapi menciptakan bentuk
situasi baru yang mendorong bentuk baru dalam konteks relasi-
relasi sosial. Kebangkitan dari pergerakan kolektif (DIY-DIWO)
dalam budaya jejaring—diikuti pula oleh revolusi digital yang
jamak dipraktikan di berbagai wilayah telah menerima pengakuan
atas potensinya yang besar dan menyediakan solusi inovatif
terhadap permasalahan sehari-hari yang terjadi di aras lokal.
Sesungguhnya, keberadaan para makers, inisiatior kreatif atau
praktisi DIY ini jika digali lebih jauh, dapat memberikan
sumbangan besar bagi situasi kehidupan yang “serba global”
seperti saat ini.
Sumber Referensi
Luvaas, Brent. 2009. Generation DIY: Youth, Class, and the Culture of
Indie Production in Digital-Age Indonesia. University of California.
Perez, J.I.G. 2009. DO IT YOURSELF: Cultura y Tecnologia. Revista Icono,
278-291. Madrid.
Ranciere, J. 2009. The Politics of Aesthetics. New York: Ed. Continum
Youth Studies Centre. 2014. Masih ada Alternatif lain: Pemuda, Transisi dan
Dinamika Kewirausahaan Kreatif di Yogyakarta, Bandung, dan Bali.
19
BUDAYA
TONTONAN
PASCA-ORBA
Irham Nur Anshari, Peneliti SOAP (Study on Art Practice)
Suasana di salah satu bilik Aksan, anak seorang pemilik penyewaan laser disc yang terobsesi
internet di Yogyakarta
untuk membuat film, berencana merampok uang ayahnya. Belum
Sumber: studyinjogja.net juga rencananya terwujud, ia tertembak oleh sekawanan remaja
iseng yang merampok penyewaan laser disc ayahnya. Bersimbah
darah, Aksan pun berucap, “Gue cuma mau bikin film..., gue kan
cuma pengen bikin film...”
SERBA-SERBI
BIENNALE
JOGJA XIII
INDONESIA BERTEMU NIGERIA
TERIMAKASIH
SAMPAI JUMPA DI TAHUN 2017
produk dalam jumlah Dalam praktik lokal yang spesifik, kondisi ini
setidaknya memunculkan dua hal. Pertama
terbatas. Di warnet, audiens adalah apa yang lebih mudah disebut
seolah dituntut untuk aktif misrepresentasi, di mana pengguna internet
ataupun penonton media global sulit
menentukan sendiri apa yang menemukan dirinya dalam layar, sekaligus
ingin mereka tonton, atau sulit menemukan imajinasinya di dalam
realitas. Drama-drama Hollywood ataupun
dalam konteks konsumen Asia Timur misalnya, seringkali menempatkan
warnet: apa yang harus kehidupan generasi muda yang jauh dari
mereka kopi. tekanan keluarga ataupun tuntutan agama.
Sedangkan implikasi kedua dari kondisi aliran
Beberapa pengopi menyiapkan daftar yang media global adalah lahirnya anak muda
ingin dikopi sebelumnya, misalnya mengacu hibrid, yang secara sadar atau tak sadar
pada referensi tayangan populer yang disebut mampu membaurkan budaya yang ada di luar
dalam forum-forum online. Sementara dan dalam layar. Anak muda hibrid ini
beberapa yang lain, datang ke warnet tanpa misalnya ditemukan pada sosok perempuan
rencana, berselancar dalam database warnet muda berjilbab yang gemar menirukan tarian
yang luas, mengakses pengetahuan yang (cover dance) K-pop. Sosok hibrid ini seolah
sangat personal. Pada titik ini kita melihat menerabas batas wacana perempuan
bahwa sekat dalam bilik-bilik warnet tidak berjilbab yang harus bertindak-tanduk kalem
hanya membatasi para penonton secara fisik, sekaligus menabrak imaji girl band-girl band
tapi juga membatasi dialog, intervensi, K-pop yang umumnya mengurai rambut dan
ataupun kontrol antara satu penonton dengan memperlihatkan kaki-kaki yang panjang.
yang lain, terlebih lagi antara satu generasi
dengan yang lain. Menonton Masa Depan
Menarik lebih luas ke dalam konteks nasional, Pertanyaannya kemudian, sejauh mana
praktik menonton dalam sekat-sekat “kebebasan baru” baru anak muda dan
membawa kita menjadi perlu budaya tontonan ini dapat disikapi secara
mempertanyakan lagi kondisi nasionalisme optimis? Apakah aliran baru budaya populer
saat ini. Jika Benedict Anderson secara tegas ini sejalan dengan tumbuhnya daya kritis baru
menyatakan bahwa nasion (bangsa) adalah kaum muda Indonesia? Atau jangan-jangan,
suatu komunitas imajiner yang hilangnya aliran ideologi dari generasi tua ke
kebersamaannya dibangun melalui media muda di ranah lokal menciptakan aliran
nasional, kini komunitas imajiner macam apa ideologi global dan relasi kuasa yang lebih
yang terbentuk dari simpang-siur media terpusat? Tentunya pertanyaan tersebut
global melalui internet? Komunitas yang bukan merupakan pertanyaan yang bisa
terkait dengan budaya populer Jepang atau dijawab, mengingat kompleksnya aliran
Korea misalnya, semakin menjamur dengan budaya populer yang bersifat cepat, fluid,
agenda utama seperti menonton tayangan sekaligus temporer. Seperti halnya yang
idola bersama. Sebagian pemikir memilih digagas Arjun Appadurai dalam membaca
untuk menjelaskan situasi kontemporer ini aliran transaksi budaya dalam ekonomi
dengan istilah kosmopolitanisme, di mana budaya global,5 alih-alih menunjuk jelas mana
sekat-sekat nasion di antara masyarakat dunia yang hulu ataupun hilir (seperti Amerikanisasi,
telah pudar. Westernisasi, atau Asianisasi), aliran-airan itu
perlulah dipahami sebagai gejala tak
26
MENJADI POLITIS
Studi Kajian Budaya LEWAT YANG
POPULER
pertama kali dibuka di
Universitas Birmingham,
Inggris.
Sumber:
moderncontemporarybham Maria Puspitasari Munthe
.wordpress.com Mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma
28
memberikan apresiasi atas karya komunitas pelakunya punya ruang lebih untuk
tertentu. Pada level yang lebih tinggi, tak melakukan eksplorasi ekspresinya tanpa
jarang komunitas-komunitas ini saling banyak intervensi dari kriteria industri arus
memberikan sponsor, entah itu materi, utama. Tak jarang mencuat pernyataan bahwa
tenaga, dan bahkan kolaborasi penciptaan orang mulai (atau bahkan sudah lama) muak
karya atau produksi. Pola ini menjadi kekuatan dengan produksi musik industri arus utama
utama komunitas anak muda Yogyakarta (acara musik pagi di televisi contohnya). Pada
untuk bertahan dan berproduksi. titik itu, indie menjadi jawaban untuk
alternatif karya yang layak dapat apresiasi
Salah satu contoh pemanfaatan pertumbuhan lebih. Tak jarang, karya para seniman dari
komunitas yang amat subur di Yogyakarta jalur produksi indie ini malah memberikan
tampak dalam perhelatan JAFF (Jogja-Netpac angin segar dan terbilang gemilang.
Asian Film Festival). Pada event terakhir tahun
2015 lalu, JAFF yang berusia 10 tahun, melalui Elemen pendukung produksinya pun
jajaran konseptornya, menyatakan bahwa berkembang. Kini ada banyak netlabel yang
mereka berhasil bertahan dan berkembang mendistribusikan karya musik dengan
oleh karena geliat komunitas film di memberikan fasilitas unduh gratis legal.
Yogyakarta yang terbilang tekun dan ramai. Dengan cara ini, karya dapat menjangkau
Bahkan dalam beberapa sesi khusus, acara ini publik dengan lebih luas. Salah satu netlabel,
sempat menghadirkan komunitas-komunitas Yes No Wave, dalam keterangan yang termuat
film dari luar Pulau Jawa untuk berinteraksi di situs webnya, menyebut pola ini sebagai
dengan komunitas film di Yogyakarta, mulai “aksi 'gift economy', sebuah eksperimentasi
dari kelompok pelajar pembuat film hingga dalam menerapkan model musik gratis
mereka yang sudah cari makan dari film. kepada pecinta musik di dunia yang
kapitalistik ini”.5
Dalam tulisan sambutannya sebagai presiden
festival, Garin Nugroho secara jelas Ada pula jenis komunitas di Yogyakarta yang
menyatakan bahwa “JAFF dilahirkan untuk mengambil bentuk lebih cair dan fleksibel
melakukan perlawanan”.Perlawanan atas dalam medium yang digunakan. Sebut saja
keterbatasan sumber daya yang mendukung contohnya ketjilbergerak. Komunitas ini
kerja mereka. Juga perlawanan sebagai mencoba mengantarkan gagasan mereka
momen yang mampu menghidupkan dua lewat medium yang dekat dengan anak muda,
momen sekaligus, yakni momen apresiasi dan misalnya mural, musik, dan festival rakyat.
kreasi, lewat menghidupkan dan Salah satunya yang belum lama ini mereka
mendiskusikan karya-karya film di luar arus tampilkan adalah “Taman Tiban” dalam
utama.4 perhelatan Biennale XIII Yogyakarta tahun
lalu. Tagline yang mengiringi judul proyek ini
Corak komunal yang sama juga muncul dalam adalah “Sebelum semua ruang diukur dengan
musik, misalnya dalam skena musik indie. uang”. Dengan karya ini, ketjilbergerak
Indie dapat berarti alternatif pola produksi mencoba menghadirkan simulasi ruang publik
dan distribusi karya yang tidak mengikuti yang belakangan susah (atau bahkan tidak
mekanisme industri arus utama. Dalam mungkin) diakses oleh warga Yogyakarta
konteks berbeda juga dapat merujuk pada akibat kencangnya laju pembangunan yang
genre musik tertentu. Dalam pengertian tidak memberi porsi cukup untuk itu.
pertama, indie bukan semata-mata berlaku
untuk produksi musik saja, melainkan dapat Lantas, Politiskah Itu Semua?
juga diterapkan pada bentuk karya lainnya.
Sebagai sebuah pola produksi alternatif Kembali pada pertanyaan yang diajukan
dengan etos do it yourself (lakukan sendiri), kepada (teoretikus) cultural studies mengenai
memilih berada di jalur indie membuat budaya populer dalam kaitannya dengan sikap
31
politis dan resistensi, apakah gugatan ini Dengan kondisi semacam itu, penilaian soal
benar adanya dalam konteks gerakan anak politis atau tidaknya sebuah praktik budaya
muda Yogyakarta seperti yang dipaparkan di populer mesti dilihat secara terpisah dari segi
atas? motivasi tindakannya secara individual dan
tujuan gerakannya secara komunal. Di bawah
Pada satu titik, budaya populer yang dikenal payung komunal, barangkali bisa disebut
sekarang ini punya benang merah fitur makna politis lantaran praktik ini masih mencoba
yang sama dengan “budaya populer” menghadirkan bentuk alternatif yang
sebagaimana dipahami pada masa awal berbeda dari “budaya tinggi” atau produk
penyebutan istilah tersebut. Garin dan jajaran
manajemen Yes No Wave dengan jelas industri arus utama. Sementara dalam ranah
menyebutkan bahwa ada resistensi yang motivasi individual, perlu dilihat lebih jauh
dengan sadar menjadi motif gerakan mereka. apa yang menggerakkan tiap-tiap orang di
Mencoba peluang untuk mengangkat produk- dalamnya. Bisa jadi, dimensi politis tindakan
produk alternatif di luar dominasi industri mereka dapat terlihat, akan tetapi pelaku
arus utama. Pada portal unduh gratis musik yang bersangkutan tidak berniat atau bahkan
pun terlihat sebuah upaya untuk melakukan enggan dikatakan demikian.
sesuatu dengan cara yang berbeda dari
kecenderungan kapitalistik masyarakat masa Meski sikap politis tidak
kini. Tidak semuanya mesti dijual untuk untuk dipaksakan, tetapi
mendapatkan keuntungan. Pada contoh
komunitas ketjilbergerak, tendensi resistensi “populer”-nya budaya
tampak dari gagasan yang mereka angkat populer memang masih
sebagai tema kegiatan. Ada unsur kritik atas
kehidupan masyarakat secara umum yang banyak diharapkan bisa jadi
menandai adanya kondisi tidak ideal dan
upaya untuk membuatnya jadi lebih baik.
atribut strategis untuk
menggalang kesadaran politis
Nah, pada titik lainnya, saya rasa kita tidak
bisa menutup mata pada kritik atas cultural
tertentu.
studies seperti yang disebutkan sebelumnya. 1
Storey, John. 2007. Pengantar Komprehensif Teori dan
Pernyataan tegas dari founder gerakan Metode Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.
tertentu bahwa mereka melakukan Diterjemahkan dari Cultural Studies and The Study of Popular
perlawanan atas budaya dominan tertentu Culture: Theories and Methods. Yogyakarta: Jalasutra.
2
tidak dapat menjadi jaminan atas afirmasi Gitlin, Todd. 1997. “The Anti-political Populism of Cultural
konsep dan motif yang merata pada para Studies” dalam Cultural Studies in Question. Eds. Ferguson,
Marjorie dan Peter Golding. London: Sage Publications.
pelakunya secara individual. Budaya punya 3
Op. cit
dimensi personal yang terwujud dalam diri 4
Disarikan dari tulisan sambutan Garin Nugroho (presiden
pelakunya. Di sinilah ada lebih banyak ragam festival JAFF) berjudul “Melawan Dengan Sederhana” untuk
motivasi yang menjadi dorongan mereka JAFF ke-10 yang diselenggarakan awal Desember 2015.
untuk bergabung dalam praktik budaya 5
http://www.yesnowave.com/about/
populer ketimbang semata-mata ambil
bagian dalam gerakan perlawanan. Bahkan
pada sebagian orang anak muda, terkadang
ada gelagat untuk menghindari label “politis”,
“resisten”, dan semacam itu bagi aktivitas
budaya populer yang mereka geluti.
Barangkali enggan punya asosiasi dengan
kaum yang resisten dan rajin protes.
32
Posisi
Kesenian
dalam
Kebebasan
Berekspresi
Aquino Hayunta, Koalisi Seni Indonesia
Ekspresi adalah kata yang cukup bermasalah berpotongan rambut, beragama dan
untuk dijelaskan, dan pada umumnya orang seterusnya. Bahkan setelah zaman reformasi
masih curiga pada kata ini. Bagi mereka yang pun masih saja banyak aturan yang ingin
besar di zaman Orde Baru tentu sudah sering diciptakan oleh orang-orang yang senang
mendengar ungkapan macam “kebebasan mengatur itu; ada yang mengatur bagaimana
yang bertanggung jawab” atau “berekspresi perempuan mesti berpakaian, bagaimana kita
boleh tapi jangan kebablasan”. Jadilah mesti beribadah, bagaimana relasi kita
ekspresi anak muda zaman itu seperti dengan orang lain, bahkan ada aturan yang
teriakan yang tertahan; ada sesuatu yang mengatur bagaimana seorang perempuan
ingin dikeluarkan dari dada, tapi karena tidak harus duduk di sepeda motor.
boleh kebablasan maka teriakan yang keluar
pelan saja bunyinya. Rasanya tidak puas Namun mengapa orang-orang yang
karena sebetulnya kita masih harus patuh memegang kekuasaan tampaknya secara
pada aturan (lebih tepatnya patuh pada orang alami senang mengatur kebebasan
yang suka mengatur–aturan yang benar berekspresi? Karena mereka tahu bila ekspresi
munculnya dari konsensus bersama, seseorang sudah bisa dikendalikan, maka itu
sedangkan orang yang suka mengatur itu menjadi pintu masuk untuk mengendalikan
dasarnya suka-suka dia saja, yang penting dia hak-hak lainnya yang lebih asasi. Mengatur
memegang kendali), sementara apa yang ingin ekspresi sebetulnya adalah mengatur isi
kita ungkapkan belum dikeluarkan semua. kepala seseorang. Dalam rezim otoriter, setiap
Dan begitulah aturan-aturan itu berkembang, manusia “dipotong” kepalanya, tidak
dibolehkan berpikir secara berbeda, tidak
ia mengatur cara kita berpakaian,
33
boleh menjadi pribadi yang otentik, harus yang justru kerap merugikan sesama warga
taat aturan dan adat. Penyeragaman masyarakat. Dan konflik horizontal semacam
membuat orang jadi mirip satu sama lain, ini justru makin menguntungkan penguasa,
bahkan sampai-sampai penampilannya pun yang tidak menginginkan konflik vertikal,
mirip. Tidak heran jika kita melihat pada antara penguasa dan rakyat, terjadi.
suatu korps yang sangat mengekang
kebebasan berekspresi seperti militer, Jadi sejauh ini, apakah ekspresi itu? Dalam
sepintas kita melihat wajah anggota- konteks hak asasi manusia, ekspresi berarti
anggotanya mirip semua. Dan ketika isi kesempatan bagi seseorang untuk
kepala orang mulai sama, maka tidaklah menampilkan pemikiran, perasaan, sikap dan
terlalu sulit untuk kemudian merampas tanah kebutuhannya. Basis dasar dari ekspresi
mereka, merampas hak suara mereka dalam adalah menyampaikan kebutuhan yang asasi.
pemilu atau mengorupsi pajak mereka. Toh Butuh air susu ibu? Maka bayi menangis.
kalaupun ada segelintir orang yang sadar Kesakitan karena diinjak kakinya? Maka orang
bahwa telah terjadi perampasan hak, mereka meringis atau mengaduh. Gelisah karena
ini pun tidak bisa menyampaikan kesadaran upah bulanan tidak mencukupi kebutuhan
mereka ke banyak orang karena kesempatan hidup? Maka buruh berdemonstrasi. Ekspresi
mengeskpresikan kesadaran itu sudah dalam konteks hak asasi berarti kesempatan
dikendalikan. untuk menyatakan bahwa ada hak lain yang
lebih asasi yang perlu dipenuhi. Bila kita
Dan begitulah kita terbiasa diatur sehingga melihat kebebasan berekspresi dari konteks
kemudian secara otomatis mengatur dan ini, maka tidak akan ada istilah “kebebasan
membatasi sendiri ekspresi kita. Begitu ekspresi yang kebablasan”. Selama hak kita
kerapnya ekspresi kita diatur sehingga kita belum terpenuhi, maka penyampaian
kehilangan pegangan tentang apa yang ekspresi masih akan terus ada. Dan karena
disebut kebebasan berekspresi itu. Bentuk- konsep hak asasi manusia memberikan
bentuk ekspresi yang tertahan itu kemudian kesempatan bagi semua manusia untuk
muncul dalam bentuk, tempat, dan waktu tampil setara, memiliki keunikan, memenuhi
yang tidak tepat. Kemarahan terpendam kebutuhan khususnya, menumbuhkan
terhadap ketidakadilan biasa dilampiaskan kembali kepala yang dipotong, maka seolah-
dengan menggebuki maling motor yang olah kebebasan berekspresi bersifat
tertangkap basah. Buah pikiran yang kerap individualis dan karenanya bertentangan
dipendam (karena tidak ada budaya berdebat dengan masyarakat Indonesia yang “kolektif”.
dalam sekolah maupun keluarga) bisa muncul Padahal sebetulnya, individualis atau kolektif
dalam sesi tanya jawab seminar sehingga itu adalah suatu fase, bukan sifat dari suatu
menghasilkan pembicara-pembicara dadakan masyarakat. Artinya, ada masa di mana suatu
yang kadang bicara sama panjangnya dengan masyarakat menjadi individualis, dan ada
para narasumber. Mampetnya masanya mereka menjadi kolektif. Pada
ekspresi/kebutuhan untuk menikmati layanan masyarakat yang baru bebas dari penindasan
dasar transportasi yang layak menghasilkan tentu saja pengakuan terhadap hak-hak
perilaku yang seenaknya dalam berlalu lintas. individu menjadi agenda setiap orang,
Orang tidak biasa mengkritik dan dikritik sehingga terkesan bahwa setiap orang
sehingga ketika ada persoalan dengan orang menonjolkan diri sendiri. Padahal penonjolan
lain, maka kekerasanlah yang muncul sebagai terhadap individu merupakan sesuatu yang
ekspresinya. Intinya, ekspresi yang ditekan perlu dalam rangka menghilangkan
tidaklah hilang-menguap dengan sendirinya. penyeragaman dan kontrol. Setiap orang
Ia berubah bentuk menjadi ekspresi lainnya menjadi otonom dan ini terlihat sebagai
34
sesuatu yang egois. Begitu juga ketika suatu dan dikekang. Ada sejumlah indikasi yang
saat hak-hak dasar manusia mulai terpenuhi mengarah pada upaya membungkam kembali
satu persatu, maka kelompok masyarakat kebebasan berekspresi seperti kian
akan mengusahakan agar kelompok lainnya populernya penggunaan pasal 27 UU ITE
juga memperoleh haknya sama dengan untuk membungkam orang lain. Begitu juga
mereka. Dan disinilah suatu masyarakat aturan gubernur DKI Jakarta yang hendak
memasuki fase kolektif, fase di mana mereka membatasi ekspresi demonstrasi, pelarangan
saling membantu untuk memenuhi hak sejumlah diskusi dan perhelatan seni,
anggota masyarakat yang lain. pembredelan pers kampus, rencana perluasan
wewenang lembaga sensor film, adanya ide
Konsep kebebasan berekspresi dari konteks pembentukan KomisiPerlindungan
hak di atas dapat memberikan jawaban atas Kebudayaan di draft RUU Kebudayaan yang
pertanyaan lainnya yang juga kerap muncul; bertugas menyensor kebudayaan, sampai
“bila kebebasan berekspresi itu telah program Bela Negara yang berusaha
diperoleh, lantas untuk apa? Apakah hanya meyeragamkan cara wargamengekspresikan
untuk sekadar membebaskan ekspresi, atau nasionalismenya.
adakah hal-hal lain yang lebih esensial yang
bisa kita dapatkan dari berekspresi tersebut?” Di tengah kebisingan ini tentu masyarakat
Dengan itu kita bisa menjawab bahwa butuh penyegaran, dan seni mampu
kebebasan berekspresi yang kita peroleh memberikan penyegaran tersebut. Melalui
adalah untuk memastikan bahwa hak-hak kita seni, ekspresi-ekspresi yang disampaikan bisa
dan hak orang lain bisa terpenuhi. lebih mudah diterima, relatif lebih estetis dan
lebih segar. Selain itu, ekspresi melalui seni
Namun harus diakui, dengan makin umumnya sudah melalui proses pematangan
banyaknya orang mengekspresikan diri, hiruk- ide, eksekusi hingga ke bentuk akhirnya.
pikuk tidak dapat dihindarkan. Dan Dengan kata lain, ada unsur refleksi yang kuat
sebagaimana lazimnya kehiruk-pikukan, akan ketika sebuah ekspresi dituangkan ke dalam
ada ekspresi yang sifatnya esensial dan ada sebuah karya atau proses artistik.
yang sifatnya atributif belaka. Ada orang yang
tahu mengapa dia bersuara dan ada yang Ada dua level di mana seni bisa menjadi alat
bersuara karena sekadar tidak mau penyampaian ekspresi:
ketinggalan. Ada orang yang melancarkan 1. Seniman menyuarakan isu sosial
kritik karena ingin negara memenuhi melalui karya seninya: masyarakat
kebutuhan warganya, dan ada juga yang bersentuhan dengan gagasan sang
melancarkan kritik karena kebetulan pihak seniman melalui produk akhir
yang berkuasa bukan merupakan pilihannya berupa karya yang ditampilkan di
pada Pemilu yang lalu. Ada buruh dan warga ruang publik. Proses perjumpaan
tergusur yang menyampaikan aspirasi mereka, antara warga dengan karya seni
sementara itu semakin banyak pula orang semacam ini disebut kampanye.
yang menyampaikan syahwat berkuasa Sebuah pesan yang sudah diolah
mereka secara terang-terangan, membuat oleh si seniman kemudian dibawa ke
batas antara ekspresi dan praktek kekuasaan ruang publik agar publik dapat
menjadi kabur. menangkap pesan yang sudah diolah
tersebut.
Orang menjadi bingung karena kebisingan 2. Pelaku seni bekerja bersama
tersebut dan tergoda untuk kembali percaya konstituennya untuk menghasilkan
bahwa kebebasan berekspresi perlu diatur suatu karya seni atau menggunakan
35
metode seni ketika bekerja bersama Sementara itu, belum banyak praktek seni di
konstituennya untuk menghasilkan Indonesia yang berinteraksi dengan
perubahan sosial berbasis hak asasi masyarakat sebagaimana disebutkan pada
manusia. Dalam hal ini, proses level kedua di atas. Padahal seni mampu
artistik seringkali menjadi lebih menumbuhkan semangat kolektivitas di
penting daripada hasil akhirnya. antara masyarakat. Kegunaan ekspresi pada
Warga atau dampingan berproses zaman ini adalah untuk merangsang agar
bersama pegiat seni sejak awal dan kelompok masyarakat yang selama ini tidak
diajak mengerti prinsip-prinsip bisa berekspresi menjadi sadar bahwa
mengapa ekspresi tersebut lahir. mereka juga perlu dan bisa berekspresi. Ini
Pada proses semacam ini biasanya awalnya, tapi kemudian kebebasan
batasan antara seniman dengan berekspresi diharapkan bisa menyadarkan
konstituennya menjadi lebur. orang terhadap kebutuhan mereka yang lebih
asasi. Untuk itu seni perlu menjangkau lebih
Praktek seni pada level yang pertama, saat ini banyak orang dan berani keluar dari galeri,
sudah banyak tersedia. Seniman-seniman studio, gedung kebudayaan, museum atau
telah menyampaikan berbagai jenis ekspresi hanggar tempat mereka biasa diletakkan.
atau kegelisahan masyarakat dalam karya- Dengan bekerja dan berproses bersama
karyanya, mulai dari isu lingkungan, hak asasi warga, sesungguhnya pegiat seni telah
manusia, kesetaraan gender, kapitalisme dan mengajak warga untuk secara bersama
demokrasi. Perdebatan antara “seni untuk melakukan proses refleksi tentang bagaimana
seni” dan “seni untuk masyarakat” sudah ekspresi seni diartikulasikan–dan proses
lama lewat. Kini karya seni yang berbicara inilah yang mengubah noise menjadi voice,
mengenai problem-problem sosial makin mengubah kebisingan menjadi suara yang
mudah ditemukan di mana-mana. Bahkan lebih berarti.
kini ada semacam kecenderungan bahwa
“kritis itu menjual”, “kritis itu keren” sehingga Ada sejumlah praktek semacam ini yang
kerap kali seniman menghasilkan karya sosial patut dicatat. Misalnya bagaimana sebuah
karena ingin tampak “keren”. Atau barangkali sanggar pendampingan anak-anak marginal
mencari ketenaran dan pengakuan cepat menggunakan seni musik dan teater sebagai
melalui kegiatan progresif–radikal itu pelajaran pokok untuk memberdayakan anak-
menjual. Biasa juga ditempatkan sebagai anak tersebut. Proses belajar musik dan
sarana untuk mencari beasiswa atau bermain teater telah mengajarkan anak-anak
bepergian ke luar negeri. Ada beberapa kasus tersebut untuk menghargai perbedaan yang
di mana seniman menghasilkan karya-karya mereka miliki, dan juga pada gilirannya,
yang peka secara sosial, tetapi di lain waktu, menjadi lebih berdaya karena mereka
ia justru melakukan hal-hal yang memiliki ketrampilan khusus. Ketrampilan
bertentangan dengan pesan-pesan yang yang bahkan bisa menjadikan mereka
dibawa karyanya. Kejadian seperti ini pengajar musik di sekolah-sekolah formal.
sebetulnya menegaskan bahwa sebuah
ekspresi yang asasi tidaklah berdiri sendiri. Ia Komunitas pendamping anak lainnya
lahir dari sebuah kebutuhan akan hak-hak menggunakan seni musik, teater dan olah
lain yang lebih esensial sebagaimana telah raga egrang sebagai materi pokok ajar
disebut di atas. Ekspresi hendaknya mereka. Dan karena konsistensi mereka
merupakan pengejawantahan sikap para dalam berkarya dan membuat pagelaran
pelakunya, bukan sesuatu yang dihasilkan pentas anak-anak, mereka bisa memperoleh
hanya agar lebih unik atau lebih “politically pengakuan dari pejabat setempat sampai ke
correct”. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Karena
36
Salah satu aktivitas seni, adanya pengakuan tersebut, maka mereka bisa memasukkan
Komunitas Tanoker, Jember
perempuan dan anak ke dalam komposisi Musrembang
Dokumentasi Aquino kabupaten sehingga pada gilirannya menghasilkan aturan lokal
Hayunta yang ramah terhadap anak dan buruh migran perempuan.
pihak untuk turut bekerja sama dalam membangun apa yang akan
diekspresikan. Antara bentuk, proses dan tujuan melebur menjadi
satu.
NANTIKAN
SIMPOSIUM KHATULISTIWA
2-3 November 2016
YAYASAN
Pemerintah
TAMAN BUDAYA Daerah Istimewa Yogyakarta
YOGYAKARTA The Window of Yogyakarta Dinas Kebudayaan
39
BIENNALE JOGJA
BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional biennale ini mematok batasan geografis
yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap tertentu di planet bumi sebagai wilayah
dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, kerjanya, yakni kawasan yang terentang di
Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap
23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu,
Selatan. Biennale Jogja mengembangkan atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai
perspektif baru yang sekaligus juga membuka 'rekanan', dengan mengundang seniman-
diri untuk melakukan konfrontasi atas seniman dari negara-negara yang berada di
'kemapanan' ataupun konvensi atas event wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya,
sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan berpameran, bertemu, dan berdialog dengan
akan menjadi common platform untuk seniman-seniman, kelompok-kelompok,
'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia
diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta di Yogyakarta.
(YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium
Khatulistiwa yang diadakan pada tahun Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar
berselang dengan even Biennale Jogja. Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah
Barat. Biennale Jogja tidak mengawali
Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari
keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan
YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY
Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki
harus diperhitungkan dalam konstelasi seni tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale
rupa internasional. Di tengah dinamika medan Jogja XI pada tahun 2011.
seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-
olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar
dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja
Oleh karena itu pula, kebutuhan-kebutuhan sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021
untuk melakukan intervensi menjadi sangat adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negara-
mendesak. negara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negara-
negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII
YBY mengangankan suatu sarana (platform) 2015), Negara-negara di Amerika Latin
bersama yang mampu menyanggah, menyela (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di
atau sekurang-kurangnya memprovokasi Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk
dominasi sang pusat, dan memunculkan Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV
alternatif melalui keragaman praktik seni rupa 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ
kontemporer dari perspektif Indonesia. XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut'
(Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia
Dimulai pada tahun 2011, YBY akan Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri
menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI
pameran yang berangkat dari satu tema besar, KHATULISTIWA pada tahun 2022.
yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian
YAYASAN
YOGYAKARTA
Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta
Dinas Kebudayaan