Anda di halaman 1dari 10

KUPAS Jurnal Lembar.

Volume 1, Tahun 2018

Penulis : Kris Budiman


Penerbit : Nyala
Tempat Terbit : Yogyakarta
Tahun : 2018
Tebal : 106 halaman

Yang Disembunyikan dalam


Bentang Tubuh, Batu dan
Hasrat

Membuka pembahasan dengan anak


judul: “Merunut Biografi Artifaktual”, Kris
Budiman membongkar tabir dalam karya-
karya Putu Sutawijaya. Disusul esai demi esai
yang menyandingkan Putu dengan Pande
Ketut Taman maupun yang khusus
membahas Nyoman Masriadi, yang mana
ketiganya tentu menggoda pembaca pada
afiliasi seniman Bali. Namun melampaui itu,
Kris berupaya menunjukkan makna-makna dalam sebuah karya visual baik dwimatra
maupun trimatra. Ihwal ini kian menyuruk, ketika esei-esei berikutnya membuka
pintu Opera Jawa, film produksi 2006 karya sutradara Garin Nugroho, terkait dengan
keterlibatan karya-karya seniman yang kini tergolong senior, seperti: Entang Wiharso,
Hendro Suseno, Nindityo Adipurnomo, S. Teddy D, Sunaryo, Titarubi dan Agus
Suwage. Lantas apa yang disembunyikan Kris Budiman?
Membaca Esai pertama: “Bentang Tubuh Putu Sutawijaya” (2015), dan Esai
terakhir/kedelapan: “Vagina Brokat dalam Konteks Performans” (2009), rupanya
menampilkan kecenderungan penting. Selain mewakili dua esai terpanjang, dua esai
yang mewakili termuda dan tertua secara tarikh pembuatan ini memberi refleksi
bagaimana klaim-klaim Kris Budiman bekerja dalam menarasikan fenomena karya
seni rupa, maupun secara luas fenomena visual itu sendiri. Dua Esai tersebut,
mendasarkan pada referensi teoritik dari Victor Turner mengenai Liminalitas, yakni
potensi situasi ambang atau keambangan, ketaksaan ataupun keambiguan, yang juga
bermakna suatu ruang transisi. Istilah Liminal sendiri, awalnya diadaptasi Turner dari
Arnold Van Gennep, dalam membahas rites de passage atau ritus peralihan. Fase
pertumbuhan dalam tiga tahap, dimana tahap kedua atau tahap tengahnya berupa
fase liminal. Fase liminal diterapkan Turner dalam hasil penelitian etnografinya
terhadap prosesi ritual masyarakat Ndembu di Zambia, Afrika. Kris Budiman menyitir
konsepsi liminalitas tersebut dalam membahas karya yang mencitrakan tubuh dari
Putu Sutawijaya, dengan karya yang mencitrakan hasrat dari Titarubi. Saya tak hendak
mengulik sejauh mana ketepatan konsepsi liminalitas ala Turner untuk diterapkan
KUPAS Jurnal Lembar. Volume 1, Tahun 2018

dalam cara membaca Kris Budiman terhadap karya Putu Sutawijaya. Alih-alih
menyinggungnya, saya justru hendak menggunakan “liminal” sebagai metafora dalam
membaca keseluruhan esai di dalam buku ini, khususnya sebagai sebuah kronologi
pemikiran maupun gagasan Kris Budiman yang tercurah dalam buku ini.
Dalam esai pertama, Kris menyebut upaya Putu, semenjak awal karir
keseniannya, kerap menghadirkan karya-karya dwi matra, alias lukisan-lukisan yang
menyodorkan tubuh sebagai tanda-tanda atau yang diistilahkan Kris, dengan menyitir
Nocholas Mirzoeff, sebagai bentang tubuh (body scape). Hal itu dikaitkannya dengan
“gestikulasi” (gesticulation), ketika segenap anggota badan -bukan hanya tangan,
lengan, lemari dan kepala- berubah menjadi wahana makna (vehicle of meaning), atau
instrumen signifikasi/penandaan (hlm. 11). Gestikulasi juga dipadankan Kris dengan
kinerja para penari, aktor maupun para pelaku seni pertunjukan, ketika menyajikan
serangkaian tanda gestural di hadapan audien. Dalam hal gestikulasi itulah, Kris
mengganggap Putu sedang menari dalam bahasa bentuk rupa, khususnya tri matra,
seperti patung dan instalasi. Entah melalui serangkaian diskusi antara Kris dengan
Putu, yang pasti Putu memang menghadirkan karya-karya dalam serial judul:
Gesticulation.
Secara ringkas, Kris memberi klaim tafsir bahwa karya-karya putu secara garis
besar menunjukkan upaya pemosisian tubuh subjek ke dalam situasi liminalitas.
“Bentang Tubuh” pada karya Putu, sebagaimana disinggung di awal tulisan, dinilai
Kris sebagai metafora atau representasi tubuh non-biologis, bahkan lebih lanjut
sebagai tubuh tanpa konteks. Hal ini diarahkan Kris pada konsep “liminalitas”, yang
mana diidap oleh “bentang tubuh”. Dalam mana liminalitas karya Putu terentang
antara kepatuhan dan resistensi, antara berwajah dan tanpa wajah, antara pasrah dan
perlawanan, antara kontinuitas dan diskontinuitas layaknya tradisi dan perubahan,
hingga ruang negosiasi tubuh atletis maskulin yang seakan ditabrakkan dengan
metafora bunga yang kerap diidentifikasi sebagai simbol feminin. Kris menafsirkan
akan adanya upaya Putu mempertanyakan kembali definisi identitas kultural yang
mapan, sehingga kecenderungan karya-karya gesticulation, bagi Kris terasa keras
namun rawan (hlm. 12-13). Keseluruhan diagnosa Kris mengenai situasi liminal itulah
yang disinggung ulang dalam pameran Betwixt and Between; judul yang kembali
mencomot dari Victor Turner.
Terlepas kemungkinan kolaborasi gagasan antara Putu dengan Kris, terkait
penjudulannya, yang pasti pameran Betwixt and Between memang seakan
menghadirkan sepenuhnya kecederungan representasi liminalitas. Sebagai ruang
transisi, durasi pameran berada di antara bulan-bulan akhir tahun 2017 dengan bulan
awal tahun 2018. Patung-patung Putu yang dihadirkan kala itu, dinilai Kris sengaja
mengisahkan sosok-sosok dalam konteks ruang transisi, yakni peralihan antara subjek
yang tidak lagi berada di sini (This World), namun belum pula di sana (That World).
Bagi Kris, situasi liminal juga dapat dibaca dari judul-judul karya: “Out from the Dark”
maupun “Beyond the Border”, yang dikaitkan Kris dengan presentasi bentuk lingkaran
KUPAS Jurnal Lembar. Volume 1, Tahun 2018

yang dengan “persepsi ke-Bali-an Putu”, dikaitkan Kris dengan “samsara” dalam tradisi
doktrin Hindu, terkait siklus kehidupan. Di situ, Kris tampak mulai mengaitkan
dengan biografi kultural Putu yang memang berasal dari Bali. Representasi liminalitas
dalam karya Putu, bagi kris terus berlanjut hingga keberadaan karya-karya lain yang
merepresentasikan kondisi pasca-liminal. Pasca-liminal disini, menurut Kris tampak
dalam karya berjudul “Datang, Tumbuh, Subur”, maupun karya berjudul “Sunyi”.
Mengenai yang terakhir, pasca-liminal berarti pasca-sepi. Kesunyian dianggap sebagai
keadaan tenteram dan pencapaian meditatif dalam tradisi spiritualitas Hindu di Bali,
yang mana Kris sengaja mengutip idiomnya: Sunya Ruri Sunyi. Ibarat kesimpulan, Kris
menafsirkan bahwa Putu telah berhasil tidak hanya pada pengisahan subjek dalam
posisi ambang secara gestural dan visual, tetapi juga sensibilitas auditoris: Sound of
Silence (hlm. 13). Demikiankah cara kerja Kris yang juga seorang pengamat seni
berbasis antropologi?
Boleh jadi pemilihan esai-esai dalam buku ini melalui serangkaian seleksi atas
berbagai tulisan yang pernah dibuat, maupun tentunya editing demi kepentingan
relevansi dan aktualisasi gagasan, kalau bukan upaya revisi kesalahan. Tetapi
ketimbang berupaya membuktikan adanya motif tersebut, tanpa mewawancarai Kris
Budiman, saya mencoba menelaah hasrat kepenulisan Kris bagi wacana Seni Rupa.

Liminalitas Kris Budiman?


Dalam esai terakhir, menyangkut Vagina Brokat-nya Titarubi, Kris
meghadirkan salah satu pembahasan penting dalam sub-judul: “Pandangan Dasar
Antropologi Seni”. Kris menyinggung Harry R. Silver, terkait Ethnoart, dimana
antropologi seni berupaya memahami hakikat pengalaman artistik maupun informasi
dalam bahasa seni beserta kerja-kerja substantif proses seni itu sendiri. Kris mengutip
Silver: “Pandangan antropologis terhadap seni berbeda dari disiplin yang lain lantaran
tidak semata-mata tertuju pada obyek seni itu sendiri, melainkan terutama pada proses-
proses kultural yang berkelindan dengan produksi, penggunaan, makna-makna, dan
penghargaan terhadapnya” (hlm. 86). Menariknya, Kris memberi kesimpulan bahwa
antropologi seni ialah tak lain dari “kepedulian kultural”. Melalui “kepedulian
kultural” ini, seorang Kris adalah etnografer yang hendak: mendeskripsikan dan
merefleksikan seni, sekaligus menghubungkan seni dengan dinamika manusiawi, serta
pola-pola pengalaman yang dihidupi secara kolektif (hlm. 86).
Demi mempercanggih, Kris kemudian menegaskan bahwa pandangan dasar
antropologi seni, perlu dipijakkan pada pendirian semiotik. Dari situ, Kris berargumen
secara metodologis, bahwa dalam dirinya memahami instalasi sebagai karya seni akan
lebih “peka konteks” (context sensitive), khususnya berkaitan dengan tema-tema di
sekitar liminalitas dan politik identitas gender (hlm. 85). Sebagai esai tertua, boleh jadi
tulisan ini merupakan pijakan metodologis maupun narasi pembacaan awal Kris
dalam memulai pergumulannya di bidang pengkajian seni, maupun kuratorial itu
sendiri. Maka baik pembacaan atas karya Putu, misalnya dalam esai keempat di buku
KUPAS Jurnal Lembar. Volume 1, Tahun 2018

ini, mengenai pengalaman Kris bersama Putu saat melukis candi-candi dan situs
peninggalan Majapahit; hingga dalam esai ini, yakni mengulas keterkaitan “Vagina
Brokat”-nya Titarubi dengan unsur penceritaan Opera Jawa; Kesemuanya
mengandung upaya pejabaran yang mustahil untuk tidak mengaitkannya dengan
signifikasi-signifikasi kultural baik dalam diri seniman dan lingkungannya, hingga
publik resepsi seni secara luas. Lantas mengapa pada esai termuda sekaligus pertama
dalam buku ini, Kris merasa harus menulis: “Tidak akan ada pula pembahasan yang
kabur berlarian ke luar “bingkai” karya.” (hlm. 3). Apa motifnya?
Sebelum berupaya menebak motifnya, saya perlu mendedahkan problematisasi
antropologi seni, dimana dalam esai tertua Kris di buku ini, jelas sekali diketengahkan
pembacaan karya, sebagaimana disebut sebagai “peka konteks”, menjadi kekuatan
utama antropologi seni. Kris tampak membutuhkan legitimasi dari Clifford Geertz,
salah seorang antropolog indonesianis kenamaan yang gagasan dan konsepsinya
banyak menjadi “berhala” sudut pandang dalam kajian Indonesia, baik oleh sarjana
asing maupun sarjana dalam negeri. Tak heran Kris sendiri merasa perlu mengutip
pernyataan lengkapnya tentang seni, yakni: “Anything may [...] play a role in helping
society work, painting and sculpting included; just as anything may help to tear itself
apart” (hlm. 86). Bahkan tak cuma itu, Kris mengutip sekali lagi, pernyataan Geertz,
bahwa: “a theory of art is thus at the same time a theory of culture”. Sulitkah memberi
pendapat demikian tanpa ‘menisbahkan’ pada Geertz? Sampai di sini, Geertz memang
tidak salah untuk disebut sebagai berhala, sejak antropologi ekonomi hingga seni di
Indonesia. Kris-lah salah satu pemujanya. Maupun barangkali kita semua?
Menarik memang, ketika Kris sendiri mendedahkan tiga implikasi, dari Geertz,
yakni: (1) Anropologi Seni berupaya melakukan eksplorasi atas sensibilitas tertentu; (2)
Sensibilitas tertentu itu, sejatinya merupaka formasi kolektif; (3) Formasi kolektif yang
dimaksud, memiiki fondasi-fondasi yang seluas dan sedalam keberadaan sosial itu
sendiri (hlm. 86). Ketiga hal itu sendiri pada intinya hendak menekankan bahwa
dalam antropologi seni membahasakan seni rupa, ia tidak semata craftmanship atau
kekriyaan yang berlabuh pada tataran instrumental semata, tetapi juga pada tataran
semiotis. Determinasi pencapaian kultural, kemudian menjadi harapan penting Kris
dalam mengkawinkan kajian semiotika-nya dengan antropologi seni. Hal itu
dipertegas dengan kalimatnya: “Dengan kata lain, yang dibutuhkan oleh antropologi
seni adalah semacam kemampuan diagnostik, yakni sebuah semiotika yang mampu
menentukan makna dari berbagai artefak dalam konteks kehidupan di sekeliling kita”
(hlm. 87). Saya sebagai pembaca, merasa beruntung dapat memahami penjelasan Kris,
terkait pentingnya antropologi seni yang peka konteks. Namun, haruskah determinasi
kultural, sebagi upaya peka konteks, harus meminggirkan kebutuhan aspek biografis?
Simak kutipan (cetak tebal oleh saya) sbb:

“Karena pencermatan ini hanya menyandarkan diri pada karya-karya semata, -katakanlah
artifaktual atau tekstual, maka tidak akan ada perbincangan khusus di sini yang coba
mengait-ngaitkan karakteristik karya dengan aspek-aspek biografi diri dan/atau
KUPAS Jurnal Lembar. Volume 1, Tahun 2018

latar belakang sosiologis dan kultural perupa. Tidak akan ada pula pembahasan
yang kabur berlarian ke luar “bingkai” karya. Bukan karena tidak cukup data tentang
latar-belakang tersebut, tetapi karena pilihan ini merupakan sebuah kemungkinan
metodologis yang hampir tidak pernah disentuh dan ditempuh oleh umumnya
para pengamat dan kritikus seni rupa di Indonesia. Sebuah pilihan metodologis yang
bisa kita sebut dengan tidak terlalu kaku sebagai pembacaan cermat (close reading), yang
berlandas pada pembacaan atas karya sebagai sebuah teks, sebagai sebuah sistem tanda-
tanda formal (Mirzoeff, 1995: 197).” (hlm: 3-4).

Dari pernyataan itu, seolah antropologi seni yang “peka konteks” hendak menujukkan
signifikasi-signifikasi kultural tertentu dalam kesenian; mendadak dikebiri sendiri
oleh Kris, melalui klaim yang disebutnya “pembacaan cermat” yang berlandaskan pada
pembacaan atas “karya sebagai sebuah teks”. Lantas dimanakah antropologi seni yang
“peka konteks”, jika mengecualikan “aspek-aspek biografi diri dan/atau latar belakang
sosiologis dan kultural dari perupa?” Kris sendiri masih menegaskan sbb:

“Keutuhan esai-esai tersebut saya harap dapat tetap terjaga oleh landasan pendekatan yang
sama, yakni semiotika, meskipun dengan kadar yang berbeda-beda. Pilihan yang demikian
sekaligus berarti gerak menjauh dari kecenderungan dominan dalam telaah-telaah
dan tinjauan-tinjauan seni rupa di Indonesia yang sampai sejauh ini masih
mengedepankan pendekatan “biografis” (dalam tanda kutip), tafsir-tafsir
parafrastik, dan kadang sedokit dipercanggih dengan permainan jargon.” (hlm: ii)

Menyangkut tafsir-tafsir parafrastik dan permainan jargon, saya kira diidap oleh setiap
narasi kuratorial, pun Kris sendiri, sebagaiman dapat diperhatikan dalam buku ini.
Saya justru curiga mengapa justifikasi itu muncul? Siapa yang disasar? Bukankah hal
yang ditolaknya itu merupakan salah satu kiat dalam kinerja antropologi seni, dimana
laku “peka konteks” adalah tidak menafikkan latar belakang sosiologis dan kultural
seniman, beserta aspek biografis atau psikis kedirian, yang mana jelas-jelas
menentukan keterhadiran karya, berikut pencerapan makna atau interpretasi atas
karya? Di sinilah, dua esai yang mewakili dua yang terpanjang di buku ini,
menunjukkan “liminalitas” Kris, dalam arti pula ambiguitas Kris, kalau bukan
paradoks atau bahkan inkonsistensi. Jika inkonsistensi harus dianggap sebagai
perubahan, inikah pergeseran kredo interpretasi seni dari Kris Budiman? Haruskah
antropologi seni yang menurut Kris memiliki atau bisa dilengkapi dengan pisau bedah
semiotika, kemudian harus menyisihkan “sejarah” seniman ketika harus sepenuhnya
membaca karya “dalam bingkai”?
Saya mencoba mengulik perlahan, motif apakah yang melatar belakangi
peryataan Kris di dalam esai pertama, yang seakan menolak apa yang dahulu –
sebagaimana tampak dalam esai terakhir buku ini- dia bela sebagai “kontruksi sosial
seni”?. Usut punya usut, buat saya Kris merujuk pada apa yang dia kritik, kalau bukan
upaya menyelisihi narasi kuratorial Jim Supangkat atas Putu Sutawijaya. Jim
Supangkat dalam tulisan panjangnya untuk buku: Legacy of Sagacity memang
memberi penjelasan panjang lebar terkait biografi Putu, mulai dari soal kakeknya yang
KUPAS Jurnal Lembar. Volume 1, Tahun 2018

meninggal, hingga “pemberontakan budaya” terkait kehendak Putu memberi Upacara


Ngaben pada jenazah kakeknya, yang harus berhadapan dengan masalah tertentu di
adat Hindu-Bali (Supangkat, 2008: hlm. 245-263). Pemberontakan budaya itu bagi Jim,
terepresentasikan Putu dalam citra tubuh-tubuh, hal mana bagi Jim: “...tubuh-tubuh
itu melambangkan kehidupan, termasuk orang-orang di dalamnya yang berontak
menghadapi adat-istiadat. Putu bersama mereka (karya-karyanya) mencari kekuatan
dalam sebuah perjalanan yang tidak punya orientasi jelas” (hlm. 107). Dalam ungkapan
lain, Jim menyebut bahwa: “Menyatunya konsep seni Putu (berpangkal pada budaya
Bali) dengan raison d’etre praktek seni Indonesia (muncul melalui budaya klasik jawa),
bisa dilihat sebagai kesamaan persepsi, pada tradisi-tradisi etnik di Indonesia (hlm. 97).
Jim memang tampak hendak memberi landasan khas dari sejarah seni rupa Indonesia
yang memiliki konteks dan latar belakang kondisi yang berbeda dengan generalisasi
sejarah seni dunia, yang memang bias sejarah seni rupa barat, atau diistilahkan Jim:
euro-american sentris. Tak heran upaya menggali khazanah tradisi yang lama
ditenggelamkan wacana modernitas maupun kolonial, menjadi pilihan Jim guna
menggali virtuositas Putu Sutawijaya. Apa yang dilakukan Jim semacam upaya
menguak habitus Putu Sutawijaya, sejak lautan pengalaman kulturalnya, hingga
pengalaman berkesenian di Indonesia.
Ihwal ini kian menarik ketika upaya Jim, dimentahkan Kris Budiman. Kris
menyatakan bahwa: “Uraian yang cenderung bertele-tele itu, sayangnya, tidak berhasil
mendudukkan tari Sanghyang sebagai teks-latar yang signifikan bagi penafsiran atas
karya-karya Putu” (hlm. 2-3). Saya sebagai pembaca tak hendak menghakimi, kedua
belah pihak yang sama-sama menyinggung unsur spiritualitas Hindu-bali, maupun
Kultur Bali, di mana Jim merasa mantap dengan ulasan panjang lebar, sedangkan Kris
sepintas lalu dalam singgungan-singgungannya. Hanya saja, Kris tampak malu-malu
menyinggung latar belakang atau unsur spiritualitas khas Hindu-bali, sebab dibatasi
penolakannya, sebagaimana disebut di atas, yang tampak sebagai bahasa politisnya
menghadapi narasi Jim. Lantas, Apakah biografi artifaktual, harus dipisahkan dari
konteks kepengarangan/penciptaan sang seniman, yang mengandung “aspek-aspek
biografi diri dan/atau latar belakang sosiologis dan kultural perupa”? Bukankah Kris
sendiri mengutp Harry R. Silver tentang apa yang disebut sebagai “kontruksi sosial
seni”? Hal mana: “...menekankan bahwa antropologi mesti menaruh perhatian lebih
dekat terhadap seni sebagai sebuah proses dinamis yang melibatkan penciptaan objek-
objek publik atau peristiwa-peristiwa yang menstimulasi pengalaman kualitatif,
pengalaman yang bermakna” (hlm. 88). Pengalaman kualitatif, maupun pengalaman
yang bermakna dalm konteks kepengarangan seorang seniman, bisakah dipisahkan
dari unsur biografis, sosiologis maupun kultural hingga pengalaman-pengalaman
psikis itu sendiri? Bagaimana mungkin “kontruksi sosial seni” mendadak ditinggalkan,
dengan dalih pembacan “karya sebagai sebuah teks?” Memadaikah apabila pembacaan
“karya sebagai teks” musti dipisahkan dari “teks biografis kepengarangan?” Atau
jangan-jangan penolakan Kris adalah cermin kegengsiannya untuk menghasilkan
KUPAS Jurnal Lembar. Volume 1, Tahun 2018

tulisan yang sejenis dengan Jim Supangkat? Atau malah antropologi seni telah
ditinggalkan Kris? Entahlah. Yang pasti sulit bagi saya untuk memahami penolakan
Kris atas “aspek-aspek biografi diri dan/atau latar belakang sosiologis dan kultural dari
perupa.”, sepenuhnya bertujuan sebagai bagian dari sebuah alternatif dalam tinjaun
seni atas karya Putu Sutawijaya, maupun literasi seni pada umumnya.
*
Dalam karya-karya yang dipilah Kris meliputi: “Terjepit” (1998), “Sendiri” (1998),
"Energi VII" (1999), "Dialog IX" (2000), dan "Bercinta" (2002), kesemuanya dinilai Kris
sebagai sosok androgin yang hadir di ruang yang sama sekali tak definitis, sehingga
menurutnya demikian tanpa konteks, kecuali komposisi geometris dan warna-warna
tertentu dalam latar belakang. Ke-tanpa-konteks-an ini bagi Kris Budiman masih tetap
tampak, kendati dua karya terakhir sebagai citra tubuh telah menunjukkan lintas
tubuh, atau berjumpa dengan tubuh-tubuh tak bernama lain. Lebih jauh hal itu
ditengara Kris sebagai pasangan-pasangan yang seakan tindak bercinta, tetapi tetap
andorgini, sehingga sulit diidentifikasi sebagai heteroseksual ataupun homoseksual.
Kris memberi klaim melalui identifikasi beberapa citra visual tubuh, yang salah
satunya berupa penyatuan dua tubuh dengan satu kepala, hal yang dinilainya sebagai
gagasan tentang persetubuhan benak atau pikiran hingga kesadaran. Tafsir Kris jelas
sekali hendak mempertegas bahwa karya-karya Putu sebagai bentang tubuh atau
tanda-tanda yang bukan tubuh biologis, dan tidak berkonteks. Jadi singkatnya, semua
citra tubuh dalam gestur, gerak dan pose, yang mana kendati berupa tubuh personal,
pasangan hingga yang massal sekalipun, adalah manifestasi bentang citra tubuh tanpa
identitas dan tanpa konteks. Di situlah, narasi penafsiran Kris seakan hendak
menghindari narasi yang telah dibuat Jim. Seakan-akan muncul oposisi, antara Jim
yang memberi penjelasan panjang lebar guna memberi konteks
“kepengarangan”/”penciptaan” Putu, dengan Kris yang hendak meminimalisir konteks
kepengarangan, maupun latar belakang sosiologis dan kultural, sehingga memilih
jalur yang tak akan keluar dari bingkai, dan bahkan menafsirkan tubuh, harus
melepaskannya dari konteks. Jika alasannya adalah tidak ada konteks dalam judul
maupun citra, bukankah seni rupa kontemporer dituntut memiliki pemaknan yang
mendalam, sehingga kuratorial adalah bagaimana memberi benang merah antara
karya seni dengan persoalan yang sedang dihadapi manusia? Saya tak akan berpanjang
lebar mengenai perdebatan klasik tentang hakikat seni. Namun bila setiap narasi
kuratorial maupun tafsir atas karya seni disederhanakan sebagai klaim eklektik atas
karya, maka klaim eklektik Jim dan Kris atas karya-karya Putu Sutawijaya, adalah
semacam pertarungan antara Konteks vs Non-Konteks.
Sebagai pembanding misalnya, Stanislaus Yangni yang akrab dipanggil Sius,
memberi penilaian yang hampir sama dengan Kris, terkait pameran Gesticulation.
Misalnya Sius menulis: “Tubuh-tubuh manusia dalam karya Putu memang hampir
semuanya tak berwajah, tak beridentitas. Mereka menunduk, rambutnya turun
menutupi wajah. Mereka, dalam patung-patung Putu, juga instalasinya, tidak hanya
KUPAS Jurnal Lembar. Volume 1, Tahun 2018

faceless, sekumpulan sosok anonim, massal, tidak teridentifikasi secara individual, tapi
juga facelessness, tak berwajah. Sepertinya, lewat ketiadaan elemen wajah dan atribut
itu, Putu lebih ingin melahirkan gerak, gerak itu sendiri, gerak “manusia,” bukan gerak
individu.” (Yangni, 2012: hlm. 144). Hanya saja salah satu bedanya, Sius dalam tulisan
singkatnya itu memberi tafsir yang berani, ketimbang Kris, khususnya terkait karya
Sendiri (1998), dimana Sius menyimpulkannya sebagai citra tubuh biologis bergender,
yakni: “seorang laki-laki seperti baru saja terjatuh, terkapar” (Yangni, 2012: hlm. 147).
Sampai di sini kita dihadapkan dalam medan penafsiran karya seni rupa, yang
kesemuanya mengandung subjektifitas dan perspektif penafsir. Akan tetapi, di tengah
medan penafsiran atas karya Putu tersebut, dalam tafsir keseluruhan, baik Jim, Sius,
maupun Kris sendiri tampak menyepakati muatan spiritualitas, maupun citra ritual
yang bermuatan sakral. Dengan catatan, hanya Jim, yang oleh Kris disebut “bertele-
tele” itu, yang berani mengaitkan Putu secara panjang lebar dengan unsur biografis
pengalaman dengan kultur dan spiritualitas Bali, bahkan Jim mendudukkan Putu
Sutawijaya dalam konteks perkembangan filsafat estetika maupun pertarungan
teoritik terkait resepsi atas seni rupa kontemporer.
**
Ketika mencoba mencermati esai kedua dengan judul “Bentang Tubuh dalam
Tarian Ingatan”, muncul pernyataan Kris: “Bisa dikatakan bahwa, ...fragmen-fragmen
ingatan biografis Putu Sutawijaya terlibat dalam rangkaian dialog yang terus menerus
atas kontruksi identitas sebagai warga yang telah terlanjur menjadi bagian dari budaya
tertentu.” Frasa “budaya tertentu”, buat saya sebagai pembaca, justru terkesan Kris
seakan malu-malu mendedahkan dan mengaitkan dengan latar belakang kultur
budaya Bali. Rasa malu-malu ini kian kentara dalam esai keempat, ketika Kris
membaca proses kreatif dan karya-karya Putu yang menampakkan situs peninggalan
sejarah. Di dalam esai tersebut, Kris memang mengakui perihal keterbatasan dirinya
menjembatani atau lebih tepatnya membantu menjawab apa yang dikatakannya
sebagai relasi-relasi dalam perlawatan, ruang ketaksaan antara kesinambungan dan
keterputusan makna di antara candi-candi Jawa Tengah yang menggunakan batu
andesit, dengan candi candi Jawa Timur yang berbahan batu bata merah, atau disebut
Kris sebagai: “…antara periode klasik akhir dengan seni religius-arsitektural bali hari
ini? Maupun relasi relasi antar teks macam apakah yang berhasil atau gagal putu
pelajari dalam perlawatan-perlawatannya itu?” (hlm. 46). Kalau demikian, adakah
kesulitan Kris dalam menjembatani relasi-relasi perlawatan Putu Sutawijaya di
hadapan peninggalan-peninggalan sejarah, kemudian mengilhaminya melakukan
pembatasan, sebagaimana tampak dalam penolakannya dalam esai pertama?
Saya sekali lagi tak akan menebak-nebak kedekatan Kris dengan Putu, namun
dalam tulisan keempat dalam buku ini, Kris bekerja layaknya seorang etnographer,
yang alih-alih berenang, ia menyelam bersama sang seniman yang tengah “melukis
batu”. Dalam hal ini Kris sebenarnya berhadapan dengan momen mendalam, antara
Putu yang merekam lagi menafsir peninggalan masa silam dalam bahasa rupa, dengan
KUPAS Jurnal Lembar. Volume 1, Tahun 2018

dirinya yang turut serta dalam proses kesejarahan baru sang seniman ketika mencipta
karya yang merespon sebuah peninggalan sejarah. Kris dalam tulisan tersebut tampak
penuh percaya diri dengan mengklaim banyak hal, mulai dari menyejajarkan Putu
dengan Paul Gauguin, Picasso, Arie Smith, Walter Spies, Sudjana Kerton, Basuki
Resobowo, Rusli dan Affandi, dalam hal melukis on the spot. Lebih jauh, Kris
menyebut proses kreatif Putu sebagai laku ziarah yang produktif, selaku apa yang
diistilahkannya sebagai “seniman-pelawat”. Kris menulis: “Dalam posisi sebagai
seorang seniman-pelawat, mungkin saja Putu belum bisa keluar dari tatapan romantik
(romantic gaze), namun –inilah bedanya dengan para turis yang menemani
pelawatannya- dia tampak bagaikan seorang pencari yang menelusuri jejak-jejak
penziarahan pada batu dan obyek visual yang tidak tampak di mata orang lain.” (hlm.
47). Barangkali momen sang seniman dalam berkarya itu, menggoda saya untuk
mengaitkan lagi dengan persoalan liminalitas atau ketaksaan. Sebagaimana Kris
sendiri menganggap bahwa karya Putu selama menggarap objek candi maupun
gerbang Wringin Lawang peninggalan kerajaan Majapahit, adalah goresan dan
cipratan di atas kanvas yang diwarnai oleh campur aduk di antara keterpukauan dan
perasaan frustasi (hlm. 44). Liminalitas di antara perasaan takjub dengan warisan
kebesaran masa silam, dengan rasa frusutasi di tengah kerumunan yang hanya
menontonnya, sementara dirinya berusaha menangkap sensibilitas visual pada candi.
Maka dapatlah disimpulkan bahwa interpretasi ketaksaan Putu yang ditawarkan Kris,
sejatinya tampak tidak bisa dielakkan dari pembahasan “di luar bingkai”; Yakni
konteks penciptaan/keterhadiran karya atau latar belakang kekaryaan. Dalam esai
keempat buku ini tersebut. Kris Budiman selaku teman perjalanan, tentu sekaligus
sebagai etnografer yang jelas terlibat, seperti pengakuannya: “kami sama-sama
bermeditasi, andai boleh dikatakan demikian, namun dengan modus yang berbeda”
(hlm. 44). Dalam kebersamaam berproses kreatif itu, Kris sendiri mengakui: “Kendala
utamanya adalah sulitnya menarik distansi agar dapat menempati posisi sebagai
seorang pengamat yang tak terlibat” (hlm. 46). Mendadak muncul pertanyaan di
benak saya: Pentingkah menjadi “pengamat yang tak terlibat” ketika secara faktual
telah terlibat? Benarkah upaya “menjadi pengamat yang tak terlibat” demi kebutuhan
“menarik distansi”, dapat dilegitimasi sebagai laku obyektifikasi peneliti dalam
merengkuh kebenaran maupun kebijakan “ilmu pengetahuan” yang mutlak?
Dalam konteks seni rupa, frasa “pengamat yang tak terlibat”, jelas ibarat
memberi oposisi usang antara kurator maupun kritikus sebagai pengamat, sedang
seniman sebagai subjek pelaku. Hasrat untuk menjadi yang “tak terlibat namun
terlibat” inilah, yang kian memperkuat saya dalam menemu “liminalitas” Kris yang
boleh jadi terasa naif. “Liminalitas” dalam hal ini menjadi suatu cermin kebimbangan
Kris, kalau bukan sebagai sebuah tahap perkembangan penafsiran seninya. Kris seakan
hendak memungkiri keterlibatan agar menggapai jarak, yang darinya boleh jadi Kris
merasa lebih obyektif dan sanggup lebih luas melihat fenomena. Hasrat mengejar
obyektifitas ini mengingatkan saya pada pragmatisme peneliti akademik, kalau bukan
KUPAS Jurnal Lembar. Volume 1, Tahun 2018

warisan “ideologi kolonial” dalam ilmu pengetahuan modern, yang mana menjanjikan
keterpisahan subjek terdidik-modern dengan fenomena yang mereka hadapi sebagai
objek-tertinggal. Peneliti/pengamat seakan membawa misi pemberadaban kepada
yang diamati, sebagai lahan garapan demi kemajuan kemanusiaan. Alhasil, sudut
pandang ini, buat saya mengandung hasrat khas dari warisan para orientalis yang
menghasrati “kebaikan timur/mereka/objek” lewat pamahaman “barat/kami/subjek”.
Boleh jadi, Kris Budiman tidak berniat sebagaimana sangkaan saya. Kris pun
barangkali menolak pula “tradisi usang yang terlanjur mapan” itu, yang seolah belum
banyak berkurang hegemoninya, kendati di masa kini kian dikikis oleh beberapa
kajian pascakolonial. Namun sulit rasanya membantah hasrat yang terlanjur
menghinggapi “bawah sadar” munculnya kalimat tadi.
Sampailah pada pertanyaan, apakah tawaran kredo Kris dalam esai pertama
merupakan pilihan metodologis berdalih alternatif, ataukah keengganan yang
mencerminkan ego sektoral semata? Buat saya, yang tersembunyi dalam Bentang
Tubuh, Batu dan Hasrat adalah kenyataan “liminalitas” itu sendiri. Liminalitas yang
dekat pada inkonsistensi, ketimbang sebuah transisi mendalam. Dari kasus
“liminalitas” Kris dalam buku ini, tampaklah pula bagi saya suatu wajah laten, ‘yang
terpendam’ di balik sebuah telaah karya seni. Wajah laten itu tersingkap dari topeng
esai seninya, menampakkan pertarungan tafsir dan peta literasi atas seni rupa. Antara
kebimbangan antropologi seni dengan tagihan kuratorial seni. Antara pembacaan
karya seni berbasis metodologi, dengan pemberian klaim-klaim di hadapan politik
interpretasi, yang bertungkus lumus dengan konstruksi respesi publik, maupun
keseluruhan ranah ataupun medan seni rupa itu sendiri.
***

Daftar Pustaka
Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Pantheon.

Supangkat, Jim. 2008. Legacy of Sagacity: The Case of Putu Sutawijaya. Jakarta: Galeri
Canna.

Budiman, Kris. 2018. Bentang Tubuh, Batu dan Hasrat: Sejumlah Esai Seni Rupa.
Yogyakarta: Nyala.

Yangni, Stanislaus. 2012. Dari Khaos ke Khaosmos: Estetika Seni Rupa. Yogyakarta:
Erupsi Akademia dan Institut Seni Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai