Anda di halaman 1dari 20

IDENTITAS KEINDONESIAAN DALAM DRAMA INDONESIA DI

ERA PUJANGGA BARU (1930--‐1942)


Indonesian Identity in Plays of Pujangga Baru Era (1930--‐
1942)

Dwi Susanto

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas M


aret
Jalan Ir. Sutami, Kentingan, Surakarta, Indonesia, Telepon/Faksimile (0271) 6345
21 Pos--‐el: dwisastra81@gmail.com

(Naskah Diterima Tanggal 27 Februari 2016—Direvisi Akhir Tanggal 11 April 2016—Disetujui Tanggal 11 April 2016)

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengeskplorasi konstruksi manusia Indonesia yang


ideal me-­‐
nurut subjek terjajah dan mengeskplorasi dampaknya secara politis dan ideologis at
as konstruksi identitas yang ditawarkan dalam drama di era Pujangga Baru. Penelitian i
ni menggunakan sudut pandang kajian pascakolonial, terutama mengenai konsep ide
ntitas dalam masyarakat kolonial atau subjek terjajah dan bagaimana mereka menga
rtikulasikan identitas mereka. Data yang digu-­‐
nakan dalam penelitian adalah struktur drama (isi teks), latar sosial, dan gagasan di e
ra drama itu. Sumber data penelitian ini adalah drama Sandhyakala ning Majapahit (ya
ng terbit pertama kali tahun 1932) karya Sanusi Pane, Lukisan Masa (yang terbit perta
ma kali tahun 1937) karya Armijn Pane, dan Gadis Modern (yang terbit pertama kali tah
un 1941) karya Adlin Affandi serta berbagai pustaka yang relevan dengan topik peneliti
an ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bah-­‐
wa konstruksi identitas keindonesiaan dibangun atas dasar tradisi yang diadaptasika
n dengan perubahan zaman. Subjek terjajah melakukan resistensi yang bersifat ambiva
len sekaligus menun-­‐ jukkan gagasan mimikri.

Kata--‐
Kata Kunci: identitas subjek terjajah, drama Pujangga Baru, kolonialis
me

Abstract: This research aims to explore the identity construction of ideal Indones
ian, as well as colonial subject. In addition, the research also aims to explore th
e political and ideological implications of the identity construction. The identity const
ruction is played by the Pujangga Baru’s plays. This research uses postcolonialism
criticism especially the identity concept in the colonial society and how the colon
ial subject represents his/her identity. The research uses text structures, the ideas an
d concepts in those eras and the discourse of thinking as data. The data source is
Sandhyakala ning Majapahit (1932) by Sanusi Pane, Lukisan Masa (1937) by Armijn P
ane, and Gadis Modern (1941) by Adlin Affandi and other books relevant to this topi
c. The result of this research is that Indonesian identity construction is based on tr
adition adapted with the social changes or spirits of the ages. The colonial subject d
emonstrates resistence and ambivalence.

Key Words: identity of colonial subject, Pujangga Baru’s plays, c


olonialism

60 60
PENDAHULUAN (Barnett, 1970, hlm. 621--‐
Drama di era Pujangga Baru dapat 632). Sebagai sebuah tanggapan atas dun
dipandang sebagai suatu tanggapan atas ia sosial, dra-­‐
struktur sosial di masa kolonial. Hal ini ma di era Pujangga Baru tidak terlepas d
senada dengan pandangan bahwa karya ari “bayang--‐bayang” kolonialisme. Da-­‐
sastra merupakan wujud tanggapan ter-­‐ lam tanggapan tersebut, berbagai strate-­‐
hadap dunia sosial pada masanya, yang gi atau cara untuk “mengimbangi”
menghadirkan semangat zamannya hegemoni atas ideologi yang dibawa oleh k
olonialisme terhadirkan dalam karya

61 61
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

drama yang ditulis oleh subjek terjajah p berusaha mengeluarkan autentisitas s


ada masanya. Salah satu persoalan uta-­‐ uaranya. Hal ini diwujudkan dari cara s
ma dalam konteks yang demikian itu a ang subjek terjajah dalam membangun i
dalah persoalan identitas dan nasional-­‐ dentitas diri mereka. Drama yang mere-­‐
isme. Persoalan identitas menjadi hal y ka hasilkan menjadi salah satu petunjuk b
ang dominan dari fenomena drama era Puj agi suara--‐
angga Baru. Foulcher (1991) telah men suara subjek terjajah yang disembunyi
gungkapkan gagasan tentang identi-­‐ kan dan disamarkan. Dengan demikian, dra
tas dalam kesastraan (hlm. 27, 39, 44) d ma Pujangga Baru meru-­‐
an Faruk (1994) mengungkapkan ga-­‐ pakan bagian dari wacana tandingan
gasan tentang nasionalisme dalam maja-­‐ atas konstruksi identitas kolonial.
lah dan para pendukung Pujangga Baru Karya sastra juga dapat dianggap
(hlm. 56, 61, 66). Bahkan, Bodden (1 sebagai representasi gagasan subjek ter-­‐
997) juga mengeksplorasi persoalan te jajah. Drama Pujangga Baru menunjuk-­‐
rsebut dengan memfokuskan pada dra kan suatu semangat yang dikenal seba-
ma--‐drama Sanusi Pane (hlm. 340-­‐ ­‐
341). gai angkatan atau masa Pujangga Baru. G
Penelitian mengenai persoalan agasan yang dihadirkan oleh subjek ini di
identitas keindonesiaan di era kolonial asumsikan sebagai sebuah usaha tan-­‐
juga telah dilakukan oleh Pujiharto, dingan atas berbagai gagasan yang ber-­‐
Wening Udasmoro, dan Mutiah Amini pa kembang di masanya, yang paling me-­‐
da tahun 2014. Pujiharto et al. (2014) me nonjol adalah persoalan kolonialisme.
mberikan kesimpulan bahwa tokoh dal Drama Pujangga Baru adalah wujud wa-­‐
am cerita pra--‐Indonesia dalam hu-­‐ cana tandingan atas kolonialisme, yang
bungannya dengan identitas pra--‐Indo-­‐ berupa cara membangun identitas ke-­‐
nesia menunjukkan adanya karakteristik t bangsaan. Konstruksi identitas menjadi
okoh yang sadar diri dan yang tidak sa-­‐ sebuah persoalan yang krusial sebab
dar diri. Kedua, penghadiran tokoh da-­‐ masyarakat terjajah atau terhegemoni
lam cerita pra--‐Indonesia dengan karak-­‐ oleh kuasa kolonial menjadi sebuah ma-­‐
terisasi yang menunjukkan identitas pra-­‐ syarakat yang hibrid, terjadi perjumpaan
Indonesia memiliki hubungan dengan fo-­‐ kebudayaan, dan diferensiasi budaya a
kalisasi pengarangnya (hlm. 289, 291). tau tradisi. Menurut Bhaba (1994), ke-­‐
Penelitian ini cenderung melihat iden-­‐ adaan ini berada di dalam sebuah ruang y
titas dalam persoalan tekstualitas teks ang disebut dengan ruang ketiga (hlm.
dan tidak berusaha menghubungkannya 36). Dari berbagai hal itu, persoalan yang
dengan subjek di luar teks apalagi dalam k muncul adalah tentang cara masyarakat
onteks wacana kolonial. Hal ini berbeda de terjajah menghadirkan atau mengartiku-­‐
ngan penelitian yang dilakukan Faruk (20 lasikan ulang dirinya.
07) yang melihat konstruksi identitas subj Representasi atau cara menghadir-­‐
ek penjajah dan subjek terjajah dala kan kembali subjek atau identitas itu ter-­‐
m kerangka wacana kolonial melalui teks kait dengan masalah nasionalisme dan k
terjemahan dan sambutannya da-­‐ ebangsaan. Namun, persoalan utama yan
lam sastra Indonesia era 1920--‐an (hlm. g menjadi bahasannya adalah ten-­‐
364--‐371). tang cara menjadi “manusia Indonesia” yan
Drama Pujangga Baru merupakan s g sebenarnya. Ataupun, sebuah pro-­‐
ebuah fakta tentang subjek terjajah ya ses untuk menjadi manusia Indonesia y
ng mengartikulasikan dirinya kembali. M ang ideal sebagai bangsa dalam beleng-­‐
elalui karya tersebut, subjek terjajah gu kolonial. Karya drama di era Pujangga B
aru dipandang mampu memberikan eks
plorasi dan gagasan yang demikian.

62 62
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

Yakni, drama di era Pujangga Baru me-­‐ Sementara itu, tujuan pertama pe-­‐
rupakan sebuah representasi dari cara s nelitian ini adalah untuk menunjukkan
ubjek kolonial (manusia terjajah) dalam m dan mengeskplorasi konstruksi manusia I
engekspresikan, menyuarakan gagas-­‐ ndonesia yang ideal menurut subjek te
an identitas, dan strategi dalam mengha-­‐ rjajah dalam drama di era Pujangga B
dapi perkembangan sosial pada masa-­‐ aru. Hal ini berdampak pada gagasan tent
nya, seperti yang diungkapkan oleh ang wujud identitas sebagai manusia Indo
Bromely (2000) bahwa kesastraan men-­‐ nesia di masa kolonial. Tujuan ke-­‐
jadi sebuah arena perdebatan dalam me-­‐ dua penelitian ini adalah untuk menge-­‐
nentukan jalan atau identitas (hlm. 3--‐ tahui dan mengeskplorasi dampak atau-­‐
4). Asumsi yang demikian ini dapat di-­‐ pun implikasi politis dan ideologis atas k
buktikan melalui sebuah peristiwa, yakni onstruksi identitas yang ditawarkan da-­‐
Polemik Kebudayaan atau perdebatan k lam drama di era Pujangga Baru. Sebagai
ebudayaan (Mihardja, 1986, hlm. 5--‐ konsekuensinya, hal ini membawa pada
8). Polemik itu hakikatnya merupakan s wacana tandingan yang diberikan oleh s
e-­‐ ubjek kolonial terjajah di era Pujangga
buah usaha untuk mengarahkan cara m Baru terhadap konstruksi identitas yang d
asyarakat Indonesia dalam memba-­‐ iberikan oleh ideologi kolonialisme ata
ngun identitas manusianya. Hal ini seru-­‐ u imperialnya.
pa dengan pandangan bahwa perdebat-­‐ Manfaat utama penelitian ini adalah
an kebudayaan itu merupakan satu wu-­‐ untuk merekonstruksi kembali gagasan n
jud terhadap tanggapan konstruksi iden-­‐ asionalisme dan identitas manusia In-­‐
titas atau cara menjadi dan membangun donesia melalui karya sastra. Selain itu, m
masyarakat Indonesia pada masa itu. F anfaat lain yang diperoleh adalah bah-­‐
akta ini tampaknya terus berkembang d wa identitas sebagai manusia Indonesia
alam masa berikutnya seperti muncul-­‐ atau keindonesiaan dalam bingkai nasio-­‐
nya Surat Gelangggang ataupun perde-­‐ nalisme bukanlah sebuah proses yang t
batan antara kelompok--‐kelompok ter-­‐ erjadi begitu saja dan berhenti pada ma-­‐
tentu dalam sejarah kesastraan Indone-­‐ sa itu saja, melainkan sebagai sebuah
sia (Supartono, 2000, hlm. 11--‐13). Haki-­‐ proses yang terus menerus untuk menja-­‐
katnya adalah bahwa perdebatan kebu-­‐ di manusia ideal Indonesia. Hal ini mem-­‐
dayaan itu merupakan suatu cara men-­‐ berikan sumbangan pada usaha melihat
cari landasan dalam menentukan kon-­‐ sejarah budaya atau pemikiran masyara-­‐
struksi identitas manusia Indonesia atau kat Indonesia melalui kesastraan.
keindonesiaan. Identitas bukanlah sebuah esensi
Drama di era Pujangga Baru me-­‐ atau yang telah ada begitu saja. Namun,
nunjukkan gagasan yang ditampilkan identitas merupakan sebuah kontruksi (
dalam polemik kebudayaan. Hal ini me-­‐ Held, 1995, hlm. 97). Identitas dalam ma
rupakan bagian dari strategi kultural dan syarakat terjajah sering disebut seba-­‐
pembentuk identitas manusia Indonesia gai usaha “antikolonial”. Dia merupakan
atau identitas keindonesiaan. Berdasar-­‐ sebuah usaha perlawanan dan sekaligus
kan hal tersebut, masalah utama yang h menyangkal hal--‐
endak diungkapkan adalah (1) bagai-­‐ hal yang telah diberikan dan dibentuk oleh
manakah konsep manusia ideal yang di-­‐ kolonialisme. Identi-­‐
tawarkan oleh drama di era Pujangga tas merupakan sebuah proses yang ter-­‐
Baru dan (2) bagaimanakah implikasi i jadi karena berbagai persilangan, seperti p
deologis terhadap konsep manusia ideal t emikiran, ras, migrasi, budaya, dan lain-­‐
ersebut bagi konstruksi identitas manu-­‐ lain. Identitas juga bisa menjadi sebuah
sia Indonesia di masa kolonial. arena negosiasi sehingga identitas akan

63 63
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

menjadi sebuah strategi dalam mengha-­‐ material yang digunakan adalah naskah
dapi kompleksitas struktur dalam ma-­‐ drama di era Pujangga Baru, yakni “San-­‐
syarakat kolonial. dhyakala ning Majapahit” (yang pertama
Melihat fenomena yang ada dalam k kali terbit tahun 1932) karya Sanusi
esastraan di era Pujangga Baru, identi-­‐ Pane, “Lukisan Masa” (yang pertama kali t
tas keindonesiaan sangat berhubungan erbit tahun 1937) karya Armijn Pane, da
dengan persoalan nasionalisme atau ke-­‐ n “Gadis modern, Tonil Girang Tiga Bab
bangsaan. Dalam terminologi pascakolo-­‐ ak” (yang pertama kali terbit tahun
nial, nasionalisme erat hubungannya de-­‐ 1941) karya Adlin Affandi, yang terang-­‐
ngan sikap atau strategi melawan yang d kum dalam Antologi Drama Indonesia Ji-
isebut dengan resistensi. Nasionalisme da ­‐
pat terjadi karena berbagai persoalan se lid 2: 1931--‐1945 (2006). Teks--‐teks terse-­‐
perti karena penemuan perasaan, tra-­‐ but dipilih sebab posisi para pengarang
disi, dan sejarah yang sama. Bahkan, na-­‐ drama yang menjadi intelektual atau ak-­‐
sionalisme didorong karena munculnya tor yang cukup dominan pada masanya. S
wilayah yang sama dan komunitas yang elain itu, drama--‐drama mereka menun-­‐
serupa ataupun karena bahasa yang di-­‐ jukkan satu gagasan yang dominan pada m
gunakan. Brennan (1990) mengatakan asa itu, yakni persoalan menentukan ar
bahwa nasionalisme merupakan sebuah ah kebudayaan atau identitas manusia pa
gagasan kolektif yang dihubungkan oleh tr da masanya.
adisi dan sejarah yang sama (hlm. 47-­‐ Objek formal penelitian ini adalah
70). konstruksi identitas keindonesiaan di
Sebagai sebuah konstruksi dan pro-­‐ era Pujangga Baru sebagaimana yang t
ses, identitas menjadi sebuah cara dalam erwakili dalam drama di era Pujangga
melawan wacana dan kuasa yang ber-­‐ Baru. Data dalam penelitian ini adalah s
kembang pada masanya. Gagasan ten-­‐ egala informasi yang berhubungan de-­‐
tang identitas tersebut berada dalam ti-­‐ ap- ngan topik penelitian, yakni latar sosial
-‐ dan politis di era Pujangga Baru, isi kar-­‐
tiap individu ataupun kelompok elite, sepe ya atau drama (struktur tematis, topik, da
rti kelompok intelektual ataupun kelas--‐ n berbagai persoalan yang muncul da-­‐
kelas tertentu dalam sebuah ma-­‐ lam drama), struktur sosial era Pujangga
syarakat. Konstruksi identitas menjadi-­‐ Baru, ideologi kolonialisme, dan lain--‐
kan individu atau kelompok tertentu m lain. Sumber data utama diperoleh dari te
enjadikannya sebuah senjata ataupun ci ks-­‐ teks drama di era Pujangga Baru. Semen-
tra diri untuk membedakannya dengan yang ­‐
lain. Sebagai sebuah cita--‐ tara sumber yang lain diperoleh dari
cita dan gagasan tentang diri, identitas ha berbagai pustaka yang berhubungan de-­‐
ruslah diwujudkan dan bukan hanya se ngan topik penelitian. Teknik pengum-­‐
kadar diangan--‐ pulan data dilakukan dengan cara mem-­‐
angankan ataupun berada da-­‐ baca dan mencatat segala informasi yang d
lam imajinasi. Identitas yang mawujud iperoleh dari sumber data.
terlihat dari sikap dan tindakan serta tu-­‐ Teknik interpretasi data dilakukan d
juan sang subjek. Dengan demikian, re-­‐ engan mendasarkan pada konsep dan pr
sistensi ataupun perlawanan atas kon-­‐ osedur yang diungkapkan oleh teori yang
disi yang membelenggu dapat terwujud p digunakan (Faruk, 2012, hlm. 19-­‐
ula. 20). Pembacaan oposisi antara subjek
yang terjajah dan penjajah menjadi lang-­‐
METODE kah yang utama. Langkah berikutnya
Penelitian ini merupakan penelitian kua-­‐ membalikkan oposisi itu dengan cara ge-­‐
litatif dalam bidang sastra. Objek rak melingkar, yakni relasi dan interaksi

64 64
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

antara data, misalnya struktur teks atau isi lalunya atau lapis--‐lapis identitas masa la-­‐
teks drama dengan struktur sosial, sub lunya.
jek kolonial, ideologi kolonial, dan se-­‐ Naskah drama “Lukisan Masa” (
jenisnya. Gagasan antara fakta dan fiksi d 1937) karya Armijn Pane diterbitkan d
ijembatani oleh representasi ideologi ya alam majalah Pujangga Baru tahun
ng menyertai dan subjek kolonialnya. 1937. Drama ini merupakan sebuah usa-­‐
ha subjek terjajah dalam memberikan t
HASIL DAN PEMBAHASAN anggapan atas perubahan zaman dan ke
Konsep Manusia Ideal dalam Drama adaan sosial pada masa itu. Selain mu
Pujangga Baru nculnya gagasan nasionalisme, para gen
Teks drama “Sandhyakala ning Majapa-­‐ erasi muda pribumi yang terdidik meng
hit”(1932) karya Sanusi Pane menun-­‐ alami sebuah “kehilangan jati diri” atau p
jukkan usaha untuk menjadi manusia ya anduan hidup akibat keadaan eko-­‐
ng baru. Penggambaran tentang run-­‐ nomi pada masa. Namun, gagasan yang ku
tuhnya kerajaan Majapahit menunjuk-­‐ at tentang cara manusia Indonesia yang
kan bahwa sebuah tradisi yang lama ha-­‐ seharusnya dihadirkan melalui se-­‐
ruslah diganti dengan tradisi yang baru. buah gagasan liberalisme yang disambut
Artinya, susunan dan tata manusia yang la oleh kaum perempuan.
ma akan berubah dan manusia harus me Melalui tokoh Harsini, seorang pe-­‐
ngikuti perubahan yang ada. Dengan men rempuan terdidik, yang menyambut per-­‐
gambil cerita tentang keruntuhan keraj ubahan zaman dan tokoh Suparman, lu-­‐
aan Majapahit, manusia yang baru harus lusan mahasiswa dari Belanda yang me-­‐
muncul dan dibangun atas tradisi beserta nganggur dan patah semangat, drama ini
perubahan yang ada. Hal serupa juga dika menggambarkan sebuah situasi yang di-­‐
takan oleh Oemardjati (1971) bahwa k kenal sebagai “zaman modern”. Salah sa-­‐
ehadiran drama ini merupakan usaha ge tu persoalan dari “zaman modern” ada-­‐
nerasi baru (Pujangga Baru) da-­‐ lah masalah luruhnya tradisi, gerakan
lam menghadapi krisis identifikasi kebu-­‐ perempuan, dan cara untuk menghadapi p
dayaan Barat (hlm. 90--‐99). erubahan. Namun, persoalan utama te
Pandangan yang demikian ini me-­‐ ks ini bukanlah demikian, tetapi cara ma
nunjukkan bahwa teks ini seakan--‐akan nusia atau subjek terjajah dalam me-­‐
melandaskan dirinya pada tradisi yang l nempatkan atau memosisikan dirinya d
ama atau nilai--‐nilai tradisi. Namun, se-­‐ alam situasi yang dikenalnya dengan na
benarnya, teks ini mengemukakan me-­‐ ma “zaman modern”. Berikut situasi y
ngenai gagasan manusia ideal. Manusia ang menerangkan gagasan tersebut.
ideal yang dikemukan oleh teks ini ada-­‐
lah manusia yang menjadikan masa lalu a HARSINI: Penakut! Malu dikatai orang
tau nilai--‐ , malu dipertunjuk orang. Mas lupa dik
nilai tradisi sebagai landasan untuk me a-­‐
mbangun era baru. Artinya, “masa lalu” ta dahulu, Mas berkata: Adat kebiasaa
tidaklah dilepaskan sebagai sebuah keti n harus dirombak, tiada takut dika
dakberlanjutan. Masa seka-­‐ ta orang. Aku mengatakan: bagi laki-
rang harus didasarkan dari masa lalu se-­‐ -‐
bab masa sekarang merupakan kelanjut-­‐ laki mudah merombak adat, bangsa pe
rem-­‐
an dari masa lalu. Konsep ini menunjuk-­‐
puan sukarlah dia. Mas tertawa, kata
kan bahwa identitas manusia atau men-­‐
Mas: laki--‐
jadi manusia ideal bukanlah terlepas da-­‐ laki dan perempuan sama, pandang
ri akar dan sejarahnya, melainkan sebu-­‐ an orang yang membedakan laki--‐
ah proses keberlanjutan dari masa laki dan perempuan. Perempuan har
us turut merombak adat (Pane,

65 65
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)
2006, hlm. 88).

66 66
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

Subjek terjajah dalam segmentasi menampilkan kesalahan dalam mema-­‐


gender menjadi isu yang dibahas oleh t hami liberalisme bagi perempuan. Mela-­‐
eks ini. Ada dua subjek gender perem-­‐ lui tokoh Marianna, Adlin Affandi meng-­‐
puan yang terepresentasi dari teks ini, s gambarkan pemahaman yang salah da-­‐
eperti yang diwakili tokoh Harsini dan Sa lam menghadapi perubahan zaman. Mo-­‐
rti. Harsini merupakan representasi man dern atau liberalisme bagi seorang pe-­‐
usia terjajah yang siap menyambut zam rempuan hanya diartikan sebagai kebe-­‐
an modern. Harsini mengenalkan kons basan yang tanpa batas. Liberalisme se-­‐
ep bahwa laki--‐ ring kali dipandang sebagai sesuatu yang
laki dan perempuan merupakan subjek ya berhubungan dengan terbebasnya has-­‐
ng setara, tetapi se-­‐ rat dan keinginan terhadap hal--‐
bagai perempuan Timur Harsini tetap p hal yang bersifat keduniawian, seperti k
ada upayanya sebagai seorang “perem-­‐ esenang-­‐
puan Timur yang modern”. Gagasan an akan harta, materi, dan hidup berme-­‐
yang dihadirkan adalah bahwa kemaju-­‐ wah--‐mewahan menurut gaya orang-­‐
an Barat (liberalisme) dianggap sebagai orang Eropa. Gaya yang ditampilkan se-­‐
pelengkap dalam mencapai tujuan pe-­‐ perti nonton pertunjukan, makan di res-­‐
rempuan Timur, yakni membangun rela-­‐ toran, piknik atau berlibur, menjadi nyo-­‐
si antara laki--‐laki dengan perempuan da-­‐ nya rumah, dan hidup senang dalam pa
lam sebuah keluarga yang ideal. ndangan berlimpahnya materi.
Sementara itu, Sarti merupakan re-­‐ Namun, di satu sisi, teks ini juga me-­‐
presentasi korban “zaman modern” yang nampilkan wacana tandingan atas keke-­‐
merupakan korban liberalisme. Kema-­‐ liruan dalam memahami dunia modern y
juan ataupun liberalisme oleh Sarti disa-­‐ ang identik dengan kontra tradisi. Bah-­‐
lahtafsirkan sehingga dirinya terjebak kan, kekeliruan atas tafsir tradisi, ter-­‐
dalam sebuah konsep materialisme atau h utama disimbolkan melalui pernikahan
edonisme. Orang tua Harsini dan Sa menurut kehendak orang tua, ditampil-­‐
rtini, Puspohadi dan Dr. Sumardjo, di-­‐ kan melalui para tokoh yang lain teruta-­‐
hadirkan sebagai sebuah citra “pergulat-­‐ ma Rustam dan Ruslan. Secara sederha-­‐
an antara tradisi dan perubahan zaman”. M na, teks ini dapat dipandang membuka-­‐
ereka menjadi orang tersingkir dalam pe kan generasi tradisional tentang perlu-­‐
rubahan zaman itu, tetapi sekaligus me nya reinterpretasi tradisi dalam konteks k
miliki suara yang sigfinikan. Hal ini dibu ekinian atau mengikuti perubahan za-­‐
ktikan dengan gagasan mereka bah-­‐ man. Hal itu diwujudkan dengan per-­‐
wa “zaman modern atau liberalisme” ha-­‐ ubahan sikap ayah Rustam dan Ruslan,
nya dipandang mengubah citra luar ma-­‐ yang menolak Marianna, sebab hanya
nusia terjajah, tetapi identitas atau jati diri mencintai harta kekayaan. Teks ini tentu s
para generasi muda masih menjadi seb aja berbeda dengan gagasan yang di-­‐
uah “pergulatan”, masih belum me-­‐ sampaikan oleh tokoh Harsini dalam “
nemukan bentuk, dan hanya mengikuti Lukisan masa”. Berikut ini adalah per-­‐
“kemauan zaman” yang sedang berubah t debatan masalah modernitas ataupun s
anpa melihat akar dan ruh perubahan itu. ambutan atas zaman modern yang m
Serupa dengan teks “Lukisan Masa”, uncul dalam teks “Gadis Modern” (19
teks “Gadis Modern”, Tonil Girang Tiga 41).
Babak” (1941) karya Adlin Affandi me-­‐
nampilkan persoalan liberalisme bagi s SALIM: RUSLAN, aku dan ibumu dulu
ubjek terjajah perempuan. Teks terse-­‐ tidak berkenalan dan mengenal bud
but sesuai dengan judulnya i pekertimya masing--‐
masing. Dan bagai-­‐
mana kaulihat sekarang? Adakah sala
h-­‐ nya?

67 67
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

RUSLAN: Tetapi itu zaman yang suda nya. Teks “Lukisan Masa” (1937) dan “
h lewat. Zaman Ayah, zaman kolot. K Gadis Modern” (1941) memberikan
ini zaman modern. Kita mau tidak
mau mesti menurut aliran zaman, a
palagi kami angkatan baru. Dahulu p
erkenal-­‐
an terjadi pada waktu malam perka-
­‐
winan, tetapi sekarang perkenalan da
n percintaan lebih dahulu, barulah terj
adi perkawinan. Ini kehendak angkatan
ba-­‐
ru, kehendak zaman baru. (Affandi,
2006, hlm. 122)
.

Selain itu, hal yang penting dalam


teks ini penolakan terhadap konsep m
odern bagi perempuan. Penolakan ini me
nunjukkan bahwa identitas atau ke-­‐
modernan bagi subjek perempuan terja-­‐
jah bukanlah sebuah liberalisme yang ti-­‐
dak dikendalikan atas nilai tradisi. Kebe-­‐
basan yang demikian telah ditolak oleh
Harsini dalam “Lukisan Masa” (1937).
Dengan demikian, kedua teks tersebut
menunjukkan sebuah gagasan yang se-­‐
rupa. Namun, yang menjadi persoalan y
ang perlu dieksplorasi lebih lanjut ada-­‐
lah persoalan liberalisme (“modern”) ba-­‐
gi perempuan. Perempuan dalam kedua t
eks ini menjadi “bermasalah” ketika di-­‐
hadapkan pada gagasan liberalisme. Hal ini
menunjukkan bahwa perempuan pa-­‐
da eranya masih dipandang sebagai ba-­‐
gian dari penjaga tradisi sehingga peno-­‐
lakan terhadap gagasan liberlisme pada
perempuan menunjukkan sebagai upaya
perlawanan terhadap gagasan yang di-­‐
bawa oleh kolonialisme, yakni “zaman
modern”, atau zaman yang bertumpu pa-­‐
da materialisme atau liberalisme. Hal ini
serupa dengan usaha menentang “Ero-­‐
panisasi” atau standar identitas manusia
Barat menurut teks drama tersebut.
Ketiga teks tersebut menunjukkan
sebuah usaha untuk membangun identi-­‐
tas manusia Timur. Gagasan ini menun-­‐
jukkan bahwa ketiga teks itu memberi-­‐
kan sebuah alternatif untuk menjadi ma-­‐
nusia yang ideal menurut versi zaman-­‐

68 68
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)
gagasan tentang posisi subjek terjajah
dengan simbolisasi perempuan. Kedua t
eks ini mengungkapkan bahwa menjadi m
anusia yang ideal adalah manusia yang ha
rus mampu menyesuaikan keadaan dan
memberikan wacana tandingan atas peru
bahan zaman yang ada. Wacana tan-­‐
dingan itu berupa kembali pada nilai tra-­‐
disi dan disesuaikan dengan perubahan z
aman. Sementara itu, teks yang perta-­‐
ma dari Sanusi Pane mengungkapkan
bahwa manusia ideal adalah manusia
yang melanjutkan tradisi masa lalu atau-­‐
pun lapis--‐lapis identitas masa lalunya.
Manusia yang ideal menurut ketiga te
ks tersebut adalah manusia yang kem-­‐
bali pada tradisi. Hal yang dikemukakan
oleh ketiga teks ini adalah gagasan ten-­‐
tang subjek terjajah yang bersifat cair,
yakni menanggapi perubahan dengan ti-­‐
dak meninggalkan kehidupan masa lalu, y
akni tradisi yang mengikatnya. Hal ini dit
unjukkan dari kemampuannya ber-­‐
adaptasi dengan keadaan masa kini dan
tidak berusaha melawan realitas pada z
amannya. Sebagai contoh adalah sim-­‐
bolisasi Harsini dalam “Lukisan Masa”
(1937) dan Ruslan dalam “Gadis Mo-­‐
dern” (1941). Kedua teks ini menunjuk-­‐
kan bahwa sifat yang lentur, adaptif, dan k
ompromis dengan masa kini atau per-­‐
ubahan sangat diperlukan dengan tidak
meninggalkan lapis--‐
lapis identitas yang membentuknya. Lapis-
-‐
lapis identitas itu adalah tradisi yang mem
bangun mereka.

HARSINI: Nah, laki--‐laki mau ngritik. Su-­‐


dah kubaca, tapi tadi kubaca sekali lag
i. Anehnya belum pernah dibaca ora
ng buku itu sebagai roman kehidupan
pe-­‐
rempuan. Tidak dipandang orang se-­‐
bagai perjuangan mencapai cita--‐
cita. (Pane, 2006, hlm. 80)

HARSINI: Mula ingin berdiri sendiri


, hendak ke negeri Belanda. Kemudia
n dapat uang sokongan pemerintah,
tapi lalu tidak hendak lagi, karena tid
ak baik ke negeri Belanda, lalu he
ndak ke

69 69
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

Jakarta saja, tetapi ini pun tidak jadi, la-


­‐ MENAK KOCAR: (Berdiri marah) Prab
lu dia pun nikah. Katanya, sebenarn u,
ya berdiri sendiri itu bagi perempuan inikah terima kasih Gusti kepada
tia-­‐
da baik. Baiknya berjuang di sisi laki--‐
la-­‐
ki, perempuan baru berisi jiwanya, bil
a di sisi seorang suami! Pikiranku, Kar
tini kurang aktif, berangan--‐
angan saja. Dia senang berangan--‐
angan, bercita--‐
cita. (Pane, 2006, hlm. 80).

Kutipan tersebut menunjukkan per-­‐


debatan yang dilakukan oleh Harsini t
entang cara menjadi manusia ideal da-­‐
lam menghadapi perkembangan zaman,
dengan mengambil contoh tokoh eman-­‐
sipasi Kartini, meskipun dengan meng-­‐
gunakan subjek perempuan. Menurut te
ks “Lukisan Masa” (1937), Kartini bu-­‐
kanlah tipe ideal perempuan Timur atau
manusia ideal dunia Timur. Baginya,
Kartini tidak mampu mewujudkan ga-­‐
gasan, terlalu lemah pada kehendak
adat, dan tidak mampu menyiasati tra-­‐
disi sehingga dia justru pasrah pada ke-­‐
hendak tradisi. Kembali pada tradisi itu t
idak seperti yang dicontohkan pada K
artini, sang pejuang kaum perempuan da
n sebagai simbolisasi dunia modern. Se
lanjutnya, teks ini juga membanding-­‐
kan tokoh perempuan dalam roman Su
tan Takdir Alisjahbana (Armijn Pane,
2006, hlm. 80). Menurut teks “Lukisan M
asa” (1937), emanispasi dan usaha un-­‐
tuk menuju dunia modern yang digaung-­‐
kan oleh Sutan Takdir Alisjahbana dapat di
terima. Sang tokoh perempuan harus tetap
menerima tradisi sebagai bagian dari p
erjuangannya untuk memajukan dunia p
erempuan dan memasuki zaman modern.
Kembali pada tradisi ini justru ditunjukka
n pada persatuan antara mo-­‐
dernitas dan dunia asalinya, yakni dunia T
imur, seperti kehendaknya Sutan Takdir
Alisjahbana pada tokoh Tuti yang harus m
enerima Yusuf (Pane, 2006, hlm.
80).

70 70
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)
Damar Wulan? Majapahit akan puna Ketiga teks ini menawarkan sebuah
h, kstaria penghabisan telah hilang. A gagasan tentang usaha untuk menem-­‐
ku baru mendapat kabar Asipati Bint patkan manusia dalam kebudayaannya.
ara sudah sedia akan menyerang Ma Usaha ini menunjukkan bahwa persoal-­‐
japa-­‐ an utama yang dibangun oleh ketiga teks
hit. Rakyat di sini sekarang sudah mula
i bunuh membunuh. Sebentar lagi pa
nji Islam akan berkibar di atas kota
Maja-­‐
pahit. Hanya seorang Damar Wulan da-­‐
pat melawan wali sanga. Dasar keraj
a-­‐
an ini sudah lapuk, tidak bertenaga lag
i, kemakmuran negeri yang dijadik
an Damar Wulan, cuma sinar matahari
se-­‐
belum terbenam. Prabu, patik tidak
menghasut bala tentara, karena bud
i Damar Wulan teringat patik. Akan te-
­‐
tapi, patik meletakkan jabatan patik
dan meninggalkan kota yang terkut
uk. (Pane, 2006, hlm. 66--‐67).

MENAK KOCAR: Sumpah Dewata


menghancurkan kamu, para menteri,
dan kepala agama serta Majapahit. Se-
­‐
bentar lagi kota ini akan musnah, aka
n tinggal bekasnya saja dan kamu, Suh
ita, akan meratap di atasnya. Ketika Da
mar Wulan, ksatria yang penghabisan
, run-­‐
tuh ke tanah, seri Majapahit pindah k
e Bintara. Majapahit, runtuhlah kamu! (
Ia pergi) (Pane, 2006, hlm. 67)

Kutipan tersebut merupakan sebu-­‐


ah simbolisasi dari suatu masyarakat
atau suatu konstruksi identitas manusia. D
amar Wulan merupakan citra dari ma-­‐
sa lalu yang menyelamatkan Majapahit.
Dia merupakan bagian dari tradisi yang
dapat membangun Majapahit. Ketika tra-­‐
disi itu hilang, masyarakat dan manusia
Majapahit musnah tatanannya dan ter-­‐
gantikan dengan tatanan yang baru. Ke-­‐
hancuran masa lalu bukanlah sebuah ke-­‐
hancuran total, melainkan sebuah usaha
membentuk bangunan baru yang tidak m
eninggalkan sesuatu yang menyatu-­‐
kan, yakni tradisi. Tradisi itu disimbol-­‐
kan melalui Damar Wulan.

71 71
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

ini adalah menyelaraskan dan menghi-­‐ demikian, konstruksi identitas sebagai


dupkan konsep antara alam sebagai se-­‐ manusia yang ideal merupakan sebuah
buah realitas dan kebudayaan sebagai negosiasi antara yang dilawan atau yang d
sebuah pemikiran. Bila alam diasosiasi-­‐ itolak dengan yang digunakan untuk m
kan dengan masa kini ataupun perubah-­‐ enolaknya. Ambiguitas dari konstruksi ide
an, pemikiran dapat disimbolkan atau di-­‐ ntitas ini bukanlah sesuatu yang ter-­‐
turunkan menjadi kebudayaan. Ketiga t jadi begitu saja, tetapi sebagai sebuah ca-­‐
eks ini mengaplikasikan bahwa tindak-­‐ ra atau negosiasi atas kuasa yang me-­‐
an yang tepat untuk mengatasi sebuah p lingkupinya.
erubahan atau zamannya dilakukan de-­‐ Konstruksi menjadi manusia yang i
ngan cara bersifat adaptif. Hal ini dapat di deal itu dapat ditelusuri juga melalui be-­‐
contohkan melalui kehancuran Maja-­‐ berapa hal. Yang pertama, antara tokoh H
pahit dalam “Senjakala ning Majapahit”, arsini dan Sarti dengan kedua orang tua
yang berarti senja atau luruhnya kebu-­‐ mereka terdapat gagasan yang ber-­‐
dayaan masa lalu atau tradisi yang me-­‐ beda dalam menanggapi dan menjadi
nyusun lapis--‐lapis masyarakat dan ma-­‐ manusia ideal menurut versi zamannya.
nusianya. Kedua, dalam teks karya Sanusi Pane, ke-­‐
Kemodernan juga menjadi bagian adaan serupa juga terjadi yakni runtuh-­‐
perdebatan dalam drama Pujangga Baru. Se nya kerajaan Majapahit sebagai awal un-­‐
bagai contohnya adalah “bagaimana-­‐ tuk membangun tradisi yang ada, yang b
kah manusia menghadapi perubahan ke-­‐ erlandaskan pada sesuatu yang bernilai d
budayaan atau perjumpaan berbagai tra-­‐ ari masa lalu. Ketiga, subjek perempuan me
disi”. “Lukisan Masa” memberikan con-­‐ njadi subjek yang tertundukkan atas kol
toh pada persatuan yang dikenalkan onialisme sehingga terjebak pada li-­‐
Sutan Takdir Alisjahbana, yakni ini anta-­‐ beralisme yang membabi buta, suatu ga-­‐
ra Timur dan Barat. Sementara “Gadis gasan yang hanya dilihat pada tingkat pe
Modern” justru “mengolok--‐ rmukaan saja, yang dikritik dalam “Ga
olok” mereka yang tidak memahami arti “ dis Modern” dan muncul dalam “Lu-­‐
modern”. Ke-­‐ kisan Masa”.
modernan harus tetap berpegang pada ni Konstruksi sebagai manusia yang
lai dan lapis identitas masa lalu, yakni ter ideal dalam ketiga drama itu juga ber-­‐
ekam dalam tradisi dan kebudayaan. singgungan dengan “modernitas”. Barat s
Meskipun demikian, konstruksi i ebagai sebuah dunia yang ingin dicapai, y
dentitas menjadi manusia ideal dari ke-­‐ akni dunia yang menawarkan kemaju-­‐
tiga teks tersebut menunjukkan sebuah s an dan modernitas. Subjek terjajah atau
ifat yang ambigu atau ambivalensi. Am-­‐ manusia Timur berusaha menggapai “
bivalensi itu terletak pada percampuran modernitas” yang ditawarkan dunia Ba-­‐
antara yang “ditolak” atau “yang dila-­‐ rat. Seperti yang ada dalam teks “Lukisan
wan” dengan cara atau sesuatu yang di-­‐ Masa” (1937), gagasan modernitas di-­‐
bentuk guna melawan yang ditolaknya. F tanggapi dengan tetap membalutnya
akta ini terlihat dari usahanya untuk me melalui tradisi, seperti yang dilakukan
nyatukan diri dengan realitas. De-­‐ oleh tokoh Harsini, yang juga menyalah-­‐
ngan menolak wacana liberalisme, ketiga t kan Kartini. Sementara, di satu sisi, aki-­‐
eks tersebut justru terjebak pada usaha unt bat “modernitas”, tokoh yang lain, Sarti, j
uk menggapai liberalisme. Namun, si-­‐ ustru terjebak dan tergelincir dalam ge-­‐
kap adaptif dari usaha menggapai libe-­‐ gap gempitanya “modernitas” dunia Ba-­‐
ralisme itu juga muncul sebagai suara-­‐ rat, seperti subjek perempuan dalam “
suara dari subjek untuk membangun i Gadis Modern”(1941), melalui tokoh
dentitas yang ideal. Dengan asumsi yang

72 72
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

Mariana. Sementara itu, kembali pada pi-­‐ Implikasi Ideologis: Persentuhan Li-­‐
lihan tradisi dalam teks “Gadis Modern” beralisme dengan Tradisi Kolonialis
(1941) dilakukan oleh tokoh Ruslan dan R me Belanda (Eropa) salah sa-­‐
ustam. tunya membawa gagasan liberalisme.
Tokoh Rustam, Ruslan, Menak K Gagasan liberalisme ini diawali dengan
ocar, dan Harsini menunjukkan cara me kemenangan golongan liberal di negeri
nanggapi “modernitas” atau perubah-­‐ Belanda. Kemudian, melalui “misi mo-­‐
an zaman yang dibawa oleh liberalisme ral”, kolonialisme Belanda berupaya
dunia Barat. Hal itu serupa dengan solusi y membangun masyarakat terjajah agar
ang diberikan oleh teks “Sandhyakala n menjadi beradab dan maju (Gouda,
ing Majapahit” (1932). Fakta ini mem-­‐ 2007, hlm. 53--‐
berikan bukti bahwa para pengarang se-­‐ 54). Melalui suatu paham imperalisme, p
bagai sebuah kelompok elite dan intelek-­‐ ara penjajah melakukan usaha yang diken
tual muda pada masanya menunjukkan al dengan standardisasi nilai dan kehidupan
sebuah gagasan tentang mengidentifika-­‐ di negeri jajahan. Se-­‐
si dan membangun generasinya dalam cara infrastruktur, mereka mendirikan k
menghadapi gelombang modernitas me-­‐ ebudayaan kota atau urban culture (
lalui gagasan liberalisme dunia Barat. Pi-­‐ Kroef, 1978, hlm. 20--‐
lihan atas tradisi atau tidak melupakan “ 23). Lambat laun, mereka pun akhirnya b
lapis--‐lapis” masa lalu dan “isi” dari ma-­‐ erusaha membu-­‐
nusia Timur, yakni lapis tradisi yang ber-­‐ at sebuah kebudayaan yang setara atau
anekaragam, memberikan bukti bahwa k sejajar dengan negeri Eropa untuk mas-­‐
onstruksi sebagai manusia ideal meru-­‐ yarakat terjajah. Usaha inilah yang men-­‐
pakan sebuah upaya untuk menahan jadikan subjek terjajah melakukan sebu-­‐
dan bertahan dalam lacunya modernitas at ah perlawanan yang dinamakan perla-­‐
aupun liberalisme yang dikenalkan ol wanan kultural. Akhirnya, perlawanan ini
eh struktur masyarakat kolonial. memunculkan gagasan nasionalisme keb
Meskipun demikian, kecenderung-­‐ angsaan.
an untuk mengikuti “dunia Barat” yang b Melalui gagasan konstruksi manusia
ersinonim dengan kemajuan atau mo-­‐ ideal yang kembali pada tradisi, ketiga
dernitas juga tidak dapat dihindarkan. H teks itu menyambut gagasan liberalisme
al ini terlihat bahwa para tokoh, teruta-­‐ Barat. Namun, sambutan itu tidak sepe-­‐
ma Harsini lebih memilih kemajuan un-­‐ nuhnya dan hal ini dimaksudkan untuk m
tuk perempuan sebagai satu pilihan ber-­‐ enghindari sebuah kemajuan dan mo-­‐
tahan pada zamannya. Mimikri yang di-­‐ dernitas yang membabi buta, seperti y
lakukan dengan menyetujui liberalisme ang terjadi pada Sarti dalam “Lukisan M
bagi perempuan bukanlah sebuah mi-­‐ asa” (1937) dan Mariana dalam “Gadis M
mikri yang sepenuhnya ataupun mimikri odern” (1941). Sambutan atas gagasan lib
yang sesungguhnya. Mimikri tersebut eralisme itu hakikatnya bukanlah usa-­‐
merupakan sebuah upaya untuk “me-­‐ ha mengikuti kehendak Sang Penguasa, t
nyembunyikan diri” dan bertahan agar ti etapi lebih dari itu, usaha ini merupakan se
dak larut dalam gelombang zaman yan buah penolakan atas kehendak Sang Pengu
g ada, seperti yang terjadi pada Sarti ataup asa. Penolakan itu dilakukan de-­‐
un tokoh Mariana dalam “Gadis Moder ngan cara mengikuti sesuatu yang diwa-­‐
n” (1941). canakan dan dikehendakinya. Fakta ini m
enunjukkan bahwa Harsini tampaknya patu
h dan mengikuti gelombang zaman, tetap
i dia tetap berpegang teguh pada tradisi
dan konstruksinya sebagai manu-­‐
sia atau perempuan Timur. Hal serupa

73 73
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

juga dilakukan Sanusi Pane dalam dra-­‐ mudah merombak adat, bagi perempu-
manya tersebut. ­‐
an sukarlah dia. Masa tertawa, kata
RUSLAN: (Memotong pembicar Mas: Laki--‐
aan laki dan perempuan sama, pandanga
ayahnya). Ayah berikan saya kemer n orang yang memperdebat-­‐ kan laki--‐
de-­‐ laki dan perempuan. Perempu-­‐
kaan untuk membentangkan buah pi-­‐ an harus turut merombak adat! (Pa
kiran saya. Saya tidak akan dapat me- ne,
­‐ 2006, hlm. 88
nurut perkataan Ayah itu. Kalau say )
a turut juga, tentu akan ada dua jiwa ya
ng Baik “Lukisan Masa” (1937) dan
selamanya bertentangan. Dan jiwa ya “Gadis Modern” (1941) mempermasa-­‐
ng akan menderita dan akhirnya akan lahkan pilihan generasi pada masanya,
ber-­‐ yakni liberalisme, seperti yang terdapat
cerai. Ini semua karena “paksa” da dalam kutipan teks “Lukisan Masa” (
n “mesti”. Ayah, saya tidak dapat h 1937) karya Armijn Pane. Namun, pilih-­‐
idup dengan Marianna (Affandi, 2006, an itu bukanlah liberalisme seperti yang
hlm. dikehendakkan pada zamannya, melain-­‐
122) kan tetap berbalut pada tradisi. Hal ini
Kutipan tersebut menunjukkan usa-­‐
ha pilihan atas liberalisme yang dilaku-­‐ s, sudah tahu harga dirinya, tahu kem
kan oleh tokoh utama dalam “Lukisan au-­‐ annya (Pane, 2006, hlm. 77).
Masa” (1937). Liberalisme diartikan se-­‐
bagai sebuah pilihan yang ditandai de-­‐ HARSINI: Penakut!. Malu dikatai orang
ngan sikap individualisme atas pilihan hi , malu dipertunjuk orang. Mas lupa dik
dup. Namun, meskipun dia memilih ja-­‐ a-­‐
lan liberalisme atau kebebasan kehen-­‐ ta dahulu, Mas berkata: Adat kebiasaa
dak, drama “Lukisan Masa” (1937) seca-­‐ n harus dirombak, tiada takut dika
ra ideologis tetap menggunakan tradisi s ta orang. Aku mengatakan: Bagi laki-
ebagai acuannya. Dalam membangun za -‐laki
man baru, kebebasan berpikir, pilihan at
as nasib, dan pilihan terhadap memba-­‐
ngun identitas dinyatakan secara bebas
bagi si individu, tetapi nilai dan lapis i
dentitas lama tetap memainkan peran ata
upun persatuan antara kebebasan de-­‐
ngan tradisi.

MARTONO: (Dengan lambat--‐lambat).


Kebanyakannya, anak--‐
anak muda tiada dapat menahan hatin
ya. Mau lekas--‐le-­‐
kas saja, barang apa saja mudah ba
gi-­‐ nya, tidak tahu menimbang--‐
nimbang. Tapi kebayakan orang tua
tiada pula hendak tahu--‐
menahu tentang masa se-­‐
karang. Anak gadis sudah dididik beba

74 74
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)
telah diingatkan oleh Sanusi Pane dalam
“Sandhyakala ning Mapajahit” (1932)
melalui simbolisasi hilangnya Damar
Wulan, yang berarti hilangnya tradisi b
agi kerajaan atau manusia Majapahit. Ke
rajaan Majapahit akan hilang dan run-­‐
tuh oleh nilai baru bila tidak menegak-­‐
kan dan menjadikan tradisi masa lalu se-­‐
bagai nilai atas tradisi masa kini.
Implikasi secara ideologis atas pilih-­‐
an liberalisme dan tradisi itu menjadi ba-­‐
gian dari wacana nasionalisme. Pan-­‐
dangan yang demikian serupa dengan a
sumsi bahwa kesastraan menjadi se-­‐
buah ruang dan alternatif dalam pe-­‐
ngumpulan sejarah, tradisi, kebudayaan, d
an pengetahuan dalam menghadirkan wa
cana atas kolonialisme (McLeod,
2000, hlm. 90). Sebab, nasionalisme itu di
wujudkan dengan menolak wacana ko
lonialisme melalui suatu usaha bahwa man
usia Timur harus memiliki jati diri atau
memiliki identifikasi kebudayaan-­‐
nya. Polemik Kebudayaan yang digagas
oleh para intelektual pada zamannya, se-­‐
perti Sanusi Pane dan Sutan Takdir Al
isjahbana, merupakan wujud dari ga-­‐
gasan nasionalisme keindonesiaan mela-­‐
lui penemuan kembali “citra manusia Ti-­‐
mur”. Nasionalisme yang demikian ini m
erupakan sebuah upaya resistensi kul-­‐
tural atas keadaan yang melingkupinya.

75 75
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

Meskipun demikian, gagasan tersebut ti-­‐ itu tidak dapat dihilangkan. Namun, sifat ya
dak dapat dilepaskan dari wacana kolo-­‐ ng cair dari lapis--‐lapis tradisi atau ke-­‐
nialisme yang memberikan peran yang d budayaan dari manusia Timur itu yang h
ominan atas munculnya gagasan nasio-­‐ arus diadaptasikan dengan perubahan yan
nalisme kebangsaan. g ada. Hal ini dapat diilustrasikan bah
Kedua teks, terutama “Lukisan Ma-­‐ wa ”air dalam gelas yang sudah pe-­‐
sa” (1937) dan “Gadis Modern” (1941), nuh” dapat diisi lagi, tetapi air itu ber-­‐
menggunakan subjek perempuan dalam campur di dalamnya serta yang lain akan t
melihat persoalan liberalisme dalam wa-­‐ umpah dengan sendirinya. Konstruksi m
cana kolonial. Hal ini menunjukkan bah-­‐ anusia ideal yang digagas oleh Sanusi Pa
wa perempuan menjadi subjek yang “le-­‐ ne dalam dramanya tersebut memba-­‐
mah” dalam menghadapi arus moderni-­‐ wa implikasi ideologis yang berupa re-­‐
tas. Fakta ini memperkuat bahwa peran p sistensi atas wacana liberalisme atau
erempuan didasarkan atas “pemelihara tr materialisme pada masanya. Gagasan se-­‐
adisi”. Sebagai konsekuensinya, perem-­‐ rupa juga diungkapkan oleh “Lukisan
puan masih ditempatkan dalam kelas ke-­‐ Masa” (1937) dan “Gadis Modern” (
dua dalam konteks kolonialisme, tetapi 1941), bahwa manusia Timur tidak ak
memiliki pengaruh yang kuat dan domi-­‐ an mungkin dapat hidup dan bertahan dala
nan atas keberlangsungan suatu tradisi. P m menyambut era modernitas kolo-­‐
erubahan suatu kelompok atau masya-­‐ nial bila meninggalkan tradisi dan lapis id
rakat dapat terjadi bila sang perempuan i entitas yang membentuknya. Hal ini dic
tu berubah. Modernitas, liberalisme, dan pe ontohkan oleh tokoh Sarti dan Marian
rempuan merupakan sebuah praktik dan a yang kehilangan kendali diri” dan “te
pertandingan antara wacana koloni-­‐ rjebak dalam nafsu modernitas”.
alisme dengan tradisi. Selain itu, perem-­‐ Gagasan manusia ideal atau iden-­‐
puan juga menjadi simbol bagi “kulit pu-­‐ titas yang dikemukan oleh tiga teks itu
tih untuk menguasai dunia Timur”. De-­‐ menunjukkan sebuah usaha yang bersi-­‐
ngan hal ini menjadi sebuah asumsi bah-­‐ fat ambivalen atau ambigu dalam meng-­‐
wa “perempuan pribumi disembunyikan hadapi wacana kolonialisme ataupun p
oleh laki--‐laki kulit putih dari laki--‐laki ku-­‐ enolakan terhadap gagasan liberal-­‐
lit cokelat”. Artinya, mengubah dan me-­‐ isme (materialisme) dunia Barat. Seba-­‐
nguasai perempuan sama halnya dengan gai contohnya, tradisi yang dimaksudkan a
mengubah dan menguasai dunia laki-­‐ dalah nilai spiritualitas dan lokalitas da-­‐
laki atau dunia Timur atau manusia Ti-­‐ lam masyarakat pendukungnya. Kedua n
mur. Gagasan itu sama halnya dengan u ilai ini seakan--‐akan tercampur dan la-­‐
saha dalam membentuk perempuan se-­‐ rut dalam gelombang modernitas dunia
bagaimana yang ada dalam teks--‐ kolonial. Nilai tradisi itu seakan bersatu
teks sastra sebelum era Pujangga Baru dan mengubah dirinya di dalam wacana k
yang lain, seperti Azab Sengsara, Siti Nur olonial tersebut. Namun, hakikatnya ni-­‐
baya, dan Salah Asuhan (Arimbi, 2014, lai tradisi tersebut masih melekat dalam d
hlm. iri manusia Timur yang telah bercam-­‐
160--‐161) pur dengan dunia modernitas beserta ni-­‐
Seperti yang telah dikemukakan da-­‐ lai modernitas yang dibawanya.
lam drama “Sandhyakala ning Majapa-­‐ Implikasi ideologis yang muncul be-­‐
hit” (1932) karya Sanusi Pane, manusia rikutnya adalah perlawanan yang bersi-
Timur tersusun dari lapis--‐ ­‐
lapis identitas atau lapis--‐ fat mimikri atas wacana yang ada. Fakta
lapis kebudayaan. Untuk men-­‐ demikian menunjukkan bahwa manusia
jadi manusia dan masyarakat yang baru, l Timur memakai “baju dunia Barat”,
apis--‐lapis masa lalu dari sebuah tradisi

76 76
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

tetapi jiwa dan dirinya adalah manusia T SIMPULAN


imur. Keadaan ini sering diartikan se-­‐ Konstruksi identitas keindonesiaan da-­‐
bagai sebuah bentuk mimikri yang ditu-­‐ lam drama di era Pujangga Baru ditun-­‐
jukan untuk melawan wacana kolonial. jukkan melalui usaha untuk kembali pa-­‐
Harsini dalam “Lukisan Masa” (1937) da tradisi. Menjadi manusia Timur atau I
merupakan salah satu contoh dari mi-­‐ ndonesia yang modern merupakan se-­‐
mikri dan sifat ambiguitas yang demiki-­‐ buah upaya membangun identitas. Se-­‐
an ini. Hakikatnya, mimikri dan ambi-­‐ mentara itu, dalam menanggapi gagasan
guitas itu menolak wacana kolonial. Atau d modernitas dunia Barat sebagai subjek
engan perkataan lain, perjumpaan dan pe penjajah, melalui liberalisme, subjek ter-­‐
maksaan atas suatu tradisi kebudaya-­‐ jajah melakukan resistensi yang bersifat a
an menyebabkan subjek terjajah memi-­‐ mbivalen dan sekaligus menunjukkan
lih cara yang aman dan bertahan dalam p gagasan mimikri. Wacana nasionalisme
osisinya sambil melakukan penolakan at menjadi salah satu wujud dari resistensi k
as keadaan dirinya. ultural dalam membangun identitas ke-­‐
Ketiga teks tersebut telah menun-­‐ indonesiaan.
jukkan tanggapannya terhadap wacana Drama di era Pujangga Baru me-­‐
kolonial yang membawa istilah “zaman nunjukkan dan memproklamirkan suatu
modern” ataupun menuju modernitas narasi kebangsaan sebagai wacana tan-­‐
suatu masyarakat. Modernitas oleh ke-­‐ ding tentang gagasan “masyarakat mo-­‐
tiga subjek tersebut diartikan sebagai s dern”. Narasi kebangsaan itu menjadi se-­‐
uatu upaya pembaratan ataupun kolo-­‐ buah gagasan yang harus mawujud. Dra-­‐
nialisme kultural yang berakibat pada p ma--‐
embentukan konstruksi identitas ma-­‐ drama tersebut, terutama “Lukisan Mas
nusia Timur sesuai selera dan cita rasa a” (1937) dan “Gadis Modern” (1941)
dari dunia Barat atau kolonialisme. Ga-­‐ memanfaatkan simbolisasi sub-­‐
gasan mengenai liberalisme dan materi-­‐ jek terjajah dengan gender perempuan.
alisme adalah salah satu contohnya. Na-­‐ Hal ini menyimbolkan tentang perempu-­‐
mun, implikasi secara ideologis adalah an sebagai penjaga tradisi dan sekaligus
sebuah penolakan yang dilakukan de-­‐ perempuan sebagai Ibu Pertiwi yang ha-­‐
ngan memberikan wacana tandingan rus dijaga dari “tangan--‐
atas konstruksi identitas dunia Barat, y tangan liar dan asing”.
akni perjumpaan antara tradisi dan li-­‐ Gagasan yang utama adalah bahwa
beralisme. Sebagai strateginya, mimikri drama era Pujangga Baru memberikan
dan ambiguitas tidak dapat dihindarkan un bukti tentang pentingnya identitas ke-­‐
tuk menunjukkan resistensi atas ko bangsaan atau manusia Indonesia. Iden-­‐
nstruksi identitas yang ditawarkan oleh titas menjadi sebuah kekuatan dan ha-­‐
dunia kolonial. Subjek terjajah me-­‐ ruslah mawujud agar dapat mengimba-­‐
lakukannya dengan kembali pada lapis t ngi perubahan zaman. Dengan suatu pr
radisi pembentuk masyarakat Timur. T oses yang dicontohkan dalam ketiga nask
ujuannya adalah manusia Timur, tetapi cara ah drama itu, seharusnya manusia Indo
untuk mencapai tujuan itu dengan gagasa nesia mampu mempertahankan identi
n yang disampaikan oleh wacana kolo tasnya agar dapat menyikapi peru-­‐
nial, yakni menunju suatu masyara-­‐ bahan zaman.
kat yang modern yang berdasarkan atas n
ilai--‐nilai liberalisme. UCAPAN TERIMA KASIH
Artikel ini merupakan bagian dari hasil
penelitian Hibah Peneliti Utama sebagai
Rujukan Hibah MRG--‐UNS dari Lembaga

77 77
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

Penelitian dan Pengabdian pada Masya-­‐ -­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐


rakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret, . (2012). Metode penelitian sastra:
2016. Kepada LPPM UNS, penulis meng-­‐ Sebuah penjelajahan awal. Yogya-
ucapkan terima kasih karena telah mem-­‐ ­‐ karta: Pustaka Pelajar.
berikan dana untuk penelitian dengan to Foulcher, K. (1991). Pujangga Baru: Ke-
pik “Narasi Keindonesiaan dan Nasio-­‐ ­‐ susasteraan dan nasionalisme di In-
nalisme dalam Drama Era Pujangga Baru (1 ­‐ donesia 1993--‐
930--‐1942): Kajian Pascakolonial” 1942. (Sriwibawa, S., penerjemah).
Bandung: Girimukti Pasaka. (Karya
asli pertama terbit tahun 1988).
DAFTAR PUSTAKA Gouda, F. (2007). Dutch culture overseas:
Affandi, A. (2006). Gadis “modern”. Pratik kolonial di Hindia Belanda,
Mc.Glynn, J.H., Budianta, M., D 1900--‐1942. (Soegiarto, J. dan
amono, S.D., Dewanto, N., Mo Rusdiarti, S.R., penerjemah). Jakarta: S
hamad, G., Soepeno, A.S. (Ed). Anto erambi Ilmu Semesta. (Karya asli p
logi Drama Indonesia Jilid 2: ertama terbit tahun 1995).
1931--‐1945. Jakarta: Amanah Lontar Held, D. (1995). The development of the m
(Karya asli pertama terbit tahun odern state. Hall, S dan Gieben, B. (Ed.
1941). ). Formations of modernity. Ca
Arimbi, D. A. (2014). Finding feminist li-­‐ mbridge: Polity Press.
terary reading: Portrayal of women Kroef, J.M. Van der. (1978). The city: Its
in the 1920s Indonesian literary culture and evolution. Nas, P.J.M. d
writings. Atavisme, 17(2), 148--‐162. an Suryochondro, S. (Ed.). Classic es
Barnet, J.H. (1970). The sociology of art. A says on the city in Indonesia. Jakar-­‐
lbrecht, M.C. (Ed.). The sociology of a ta: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas I
rt and literature: A reader. New ndonesia.
York and Washington: Praeger McLeod, J. (2000). Beginning postcoloni-­‐
Publishers. alism. Manchester and New York: M
Bhabha, H.K. (1994). The location of cul-­‐ anchester University Press.
ture. London and New York: Rout-­‐ Mihardja, A.K. (1986). (Ed.). Polemik ke-­‐
ledge budayaan. Jakarta: Pustaka Jaya. Oemard
Bodden, M.H. (1997). Utopia and the sh jati, B.S. (1971). Bentuk lakon da-­‐
adow of nationalism the plays of San lam sastra Indonesia. Jakarta: Gu-
usi Pane 1928--‐1940. BKI, 153 (III). ­‐
Brennan, T. (1990). The national longing for nung Agung.
from. Bhabha, H.K. (Ed.). Nation and Pane, A. (2006). Lukisan masa. Mc.Glynn, J.
Narration. London: Routledge. H. Budianta, M., Damono, S.D., De
Bromley, R. (2000). Narratives for a new wanto, N., Mohamad, G., Soepeno, A.S.
belonging. Edinburgh: Edinburgh (Ed). Antologi drama Indonesia jilid
University Press. 2: 1931--‐
Faruk. (1994). Ke dataran kesempurna-­‐ 1945. Jakarta: Amanah Lontar. (Karya
anmu. Nasionalisme dalam sastra P asli pertama terbit tahun 1937).
ujangga Baru. Jurnal Kalam, (3). Pane, S. (2006). Sandhyakala ning Maja-­‐
-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐-­‐. (2007). Belenggu pasca--‐kolonial. pahit. Mc.Glynn, J.H. Budianta, M., Da
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. mono, S.D., Dewanto, N., Moh
amad, G., Soepeno, A.S. (Ed). Antol
ogi drama Indonesia jilid 2:
1931--‐1945. Jakarta: Amanah Lontar
(Karya asli pertama terbit tahun
1932).

78 78
ATAVISME, Vol. 19, No. 1, Edisi Juni, 2016: 60--‐ Keindonesiaan dalam Drama … (Dwi Susant
Identitas
74 o)

Pujiharto, Udasmoro, W., dan Amini, M. (2 Supartono, A. (2000). Lekra vs manikebu


014). Identitas pra--‐ perdebatan kebudayaan Indonesia
Indonesia dalam cerita--‐cerita pra--‐
Indonesia. LITERA, 13(2), 277--‐292. 1950--‐1965. (Skripsi tidak diterbit-­‐
kan). STF Driyakara, Jakarta.

79 79

Anda mungkin juga menyukai