Anda di halaman 1dari 6

Nama Kelompok 3:

1. Adrianus Danang Setiawan


2. Aan Feriansyah
3. Dwi Purnama Sari
4. Romiya Gustira
5. Septia Dwi
6. Teguh

INTERSTEKTUAL

Dalam apresiasi sastra anak terdapat 3 pendekatan yaitu pendekan struktur,


feminisme, dan interstektual. Dalam pembahasan ini kami akan lebih
memaparkan mengenai pendekatan interstektual.
A. Sejarah Intertekstual
Sejarah teori Intertekstual berasal dari kata "intertekstualitas" bahasa
intertexto Latin, yang berarti untuk 'berbaur sementara tenun' (Keepetal 2000).
The "intertekstualitas" istilah pertama kali diperkenalkan dalam linguistik
sastra oleh ahli semiotika Julia Kristeva Perancis (1941) kelahiran Bulgaria
pada akhir tahun 1960. Dalam manifestonya yang meliputi esai seperti The
Teks Bounded(Kristeva 1980: 36-63) dan Word, Dialog, dan Novel (Kristeva
1980: 64-91) - Kristeva pecah dari pemikiran tradisional tentang pengaruh
penulis dan sumber teks itu. Dia berpendapat bahwa semua sistem yang
berarti, dari pengaturan untuk puisi, yang didasari oleh cara mereka mengubah
sistem menandakan sebelumnya. Sebuah karya sastra, maka, tidak hanya
produk dari seorang penulis tunggal, tetapi dari hubungannya dengan teks-teks
lain (baik lisan dan tertulis), dan struktur bahasa itu sendiri.
Perkembangan Teori Intertekstual pertama diilhami oleh gagasan
pemikiran Mikhail Bakhtin, seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat besar
pada sastra. Menurut Bakhtin, “pendekatan intertekstual menekankan
pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai tulisan sisipan atau
cangkokan pada kerangka teks-teks sastra lain, seperti tradisi, jenis sastra,
parodi, acuan atau kutipan” (Noor 2007: 4-5).
Kemudian, pendekatan intertekstual tersebut diperkenalkan atau
dikembangkan oleh Julia Kristeva. Menurut Kristeva, “Intertekstualitas
merupakan sebuah istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva” (Worton
1990:1). Istilah intertekstual pada umumnya dipahami sebagai hubungan suatu
teks dengan teks lain. Kristeva berpendapat “bahwa setiap teks terjalin dari
kutipan, peresapan, dan transformasi teks-teks lain. Semua itu disusun dan
diberi warna dengan penyesuaian, dan jika perlu mungkin ditambah supaya
menjadi sebuah karya yang utuh.
Untuk lebih menegaskan pendapat itu, Kristeva mengajukan dua
alasan. Pertama, pengarang adalah seorang pembaca teks sebelum menulis
teks. Proses penulisan karya oleh seorang pengarang tidak bisa dihindarkan
dari berbagai jenis rujukan, kutipan, dan pengaruh. Kedua, sebuah teks
tersedia hanya melalui proses pembacaan. Kemungkinan adanya penerimaan
atau penentangan terletak pada pengarang melalui proses pembacaan”
(Worton, 1990: 1)

B. Pengertian Intertekstual menurut para ahli


Ada beberapa pengertian interstektual menurut para ahli, yaitu:
1. Mikhail Bakhtin : Menurut Bakhtin, “pendekatan intertekstual
menekankan pengertian bahwa sebuah teks sastra dipandang sebagai
tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangkateks-teks sastra lain, seperti
tradisi, jenis sastra, parodi, acuan atau kutipan” (Noor 2007: 4-5).
2. Julia Kristeva Menurut Kristeva, “Intertekstualitas merupakan sebuah
istilah yang diciptakan oleh Julia Kristeva” (Worton 1990:1). Istilah
intertekstual padau mumnya dipahami sebagai hubungan suatu teks
dengan teks lain. MenurutKristeva, tiap teks merupakan sebuah mozaik
kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari
teks-teks lain (1980: 66).
3. Nurgiyantoro (1992:50) mengatakan bahwa “kajian intertekstual
merupakan terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-
bentuk hubungan tertentu”. Mengacu pendapat Nurgiyantoro tersebut,
dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual mencakup sastra bandingan,
yaitu studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih (Wellek dan
Warren, 1990 :49).

C. Prinsip Intertekstual
Prinsip Teori Intertekstual yang utama adalah prinsip memahami dan
memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai
reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. Dalam intertekstual
lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana kita
memperoleh makna sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan
karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun
puisi.
Jadi menurut kelompok kami pengertian Interstektual merupakan
sebuah karya sastra yang hampir memiliki kesamaan dengan karya sastra
lainnya. Dalam pendekatan interstektual kita harus mampu memahami dan
memberikan makna karya yang bersangkutan sehingga kita akan lebih mudah
mengetahui beberapa perbedaan dalam karya tersebut. Perbedaan tersebut
biasanya terdapat pada tokoh, alur bahkan latar yang berbeda.
Contoh dari pendekatan intersektual yaitu Malin Kundang : Sitanggang,
Timun Mas : Momotaro, dan Bawang Merah dan Bawang Putih : Kasih dan
Amara. Dari ketiga contoh ini kami akan membahas mengenai Malin Kundang
: Sitanggang. Cerita maling kundang merupakan cerita daerah yang berasal
dari Padang, Sumatra Barat, Indonesia sedangkan cerita Sitanggang
merupakan cerita yang berasal dari negara Malaysia. Kedua cerita ini memiliki
beberapa persamaan dan perbedaan:
1. Persamaan
a) Mengisahkan tentang anak durhaka
b) Kedua tokoh menjadi batu
c) Berasal dari keluarga miskin
d) Maling Kundang dan Sitanggang menjadi seorang yang kaya
e) Memiliki sikap yang angkuh dan malu mengakui orangtuanya
f) Kedua tokoh ini pandai
g) Diakhir cerita keduanya meminta maaf kepada orangtuanya sebelum
menjadi batu.
2. Perbedaan
a) Cerita Malin Kundang dengan tokoh Malin Kundang dan Sitanggang
dengan tokoh Sitanggang.
b) Cerita Malin Kundang berasal dari Padang, Indonesia sedangkan
sitanggang dari malaysia.
c) Malin Kundang menikah dengan anak saudagar sedangkan Sitanggang
menikah dengan seorang putri sultan
d) Kalau dicerita Malin Kundang yang dikutuk hanya tokohnya
sedangkan dalam cerita Sitanggang yang dikutuk menjadi batu bukan
hanya Sitanggang saja tetapi istrinya, kapal dan juga awak kapal
e) Saat menemui Malin Kundang hanya ada ibunya sedangkan dalam
cerita Sitanggang ada ayah dan ibunya.
f) Nama orangtua Maling Kundang tidak disebutkan dengan jelas
sedangkan dalam Sitanggang orangtua nya bernama si Talang dan si
Deruma.

D. Kelemahan Intertekstual

Kelemahan teori intertekstual adalah sifatnya yang mem-fait accompli


pengarang. Setiap pengarang yang melahirkan karya yang topiknya (dianggap)
sudah pernah ditulis oleh pengarang sebelumnya (karya transformatif)
dianggap telah membaca karya pendahulunya (karya hepigram). Padahal
dugaan itu belum tentu benar. Pengarang yang membuat karya sastra yang
dianggap karya transformastif belum tentu telah membaca karya hipogramnya.
Dengan dugaan seperti itu, analisis yang dilakukan adalah mencari sejauh
mana karya transformatif itu dipengaruhi oleh karya hepigramnya. Atau,
sejauh mana penyimpangan yang dilakukan oleh pengarang karya
transformartif dari karya hepigramnya. Hal yang bersifat spekulatif itu harus
menjadi pegangan dasar dari para peneliti yang menggunakan teori
intertekstual. Sifat fait accompli seperti itu tentulah tidak adil. Kecuali apabila
pengarangnya mengakui bahwa karyanya merupakan transformasi dari karya
sebelumnya yang sejenis.

Interstektual bukanlah plagiatisme tetapi itu sebuah karya yang sudah


di edit atau diperbaharui dengan beberapa perbedaan sesuai dengan keinginan
pengarang.
DAFTAR PUSTAKA
Karibo, olien. 2012. http://olien-kribo.blogspot.com/2012/05/sejarah-teori-
intertekstual-dan-tokoh.html#!/tcmbck. 17 September 2018. Pukul 14.30
WIB.

Sugiarto, Sri. 2011. http://ssgpelajarbahasa.blogspot.com/2011/11/pendekatan-


intertekstual.html. 17 September 2018. Pukul 14.55 WIB.

Anda mungkin juga menyukai