Anda di halaman 1dari 7

MEMBACA PASURUAN DALAM GANDHENG RENTENG #11

Oleh : Yudha Prihantanto*

Pencapaian yang tak mudah dilakukan secara istiqomah bagi organisasi yang
dihuni lintas generasi oleh sebagian besar para guru seni dan seniman Pasuruan yang
diidentitaskan KGSP (Komunitas Guru Seni dan Seniman Pasuruan). Ditengah pandemi
covid pun KGSP tetap berproses kretif. Menyiapkan diri untuk menjaga tradisi dan
eksistensinya tetap berkesenian walau dengan segala keterbatasan dan persoalan.
Hingga kini telah hadir kembali dalam perhelatan GANDHENG RENTENG ke 11 dengan
mengambil tema “Pecut diseblakno”. GANDHENG RENTENG, yang merupakan nama
kegiatan tahunan KGSP yang sudah berjalan lebih dari satu dekade hingga saat ini.

Yang menarik setelah tema tersebut diikuti tag line atau jargon ‘membaca Pasuruan’.
Mengisyaratkan ada sesuatu yang penting untuk dibaca, dilihat, dipahami, diperhatikan,
diabaikan, dihayati, dibuang, dimaknai, dibiaskan, dikultuskan, direndahkan, dirajut,
diuraikan, direkatkan, dilepaskan, dibuka, ditutup tentang apa-apa; sosial, budaya,
Pendidikan, ekonomi, spiritual, infrastruktur, impian, doa, harapan, godaan, candaan,
kritikan di Pasuruan. Berbagai dinamika tersebut disajikan oleh 40 perupa anggota
KGSP dan 9 perupa FDI (Forum Drawing Indonesia) pada perhelatan GR#11 kali ini,
yang menjadi menu awal bagi masyarakat di Pasuruan setelah pandemi yang menimpa.
Pasuruan sebagai daerah bercampurnya berbagai suku yang menghasilkan entitas
baru atau dikenal dengan sebutan ‘pendalungan’. Merupakan suatu yang unik dengan
segala melimpahnya; sosial, budaya, Pendidikan, Kesehatan, spiritual, ekonomi,
infrastruktur, doa, harapan, kesenjangan, keakraban, keharmonisan, kesenjangan, dan
sebagal aspek kehidupan di pasuruan untuk dibaca dan direpresentasikan,
divisualisasikan menjadi suatu karya seni.
1 Afreshawenny (42 th) yang sangat ikonik dengan topeng-topeng dalam
perwujudan diberbagai karyanya. Masih mengkomposisikan topeng-topeng dengan
mengeksplorasi media dalam pembacaannya atas gejala lingkungan yang terjadi.
Repetisi dinamis membuat berlama-lama dalam mengamati setiap detail ekspresi yang
dibuat. Sebagai representasi atas keaadan semesta; pesta lara luka raya.
2 Aldy (15 th) menggunakan pensil diatas kertas dan gypsum dengan
menghadirkan ekspresi tiga sosok yang berbeda. Gelisah, bungkam dan menantang
disajikan dalam bentuk mistis, dramatis dalam kepekatan suasana yang digarap secara
halus. Tiga ekspresi tersebut sebagai simbol adanya penyalah gunaan atas keadaan
pandemic yang melanda.
3 Berbeda bagai Anang (33 th), menjadikan bambu sebagai identitas
eksistensinya. Melalui ketrampilannya ia slalu menghadirkan karya yang sangat ikonik;
media alam; bambu. Kejutannya dengan menghadirkan bambu beralih fungsi lain yang
tidak lazim, jauh diluar dugaan. Bambu tersebut menjadi alat musik yang dapat
mengeluarkan bunyi dengan karakteristik yang khas. Melalui bambu, Anang menjadikan
nada-nada yang dihasilkan sebagai pengantar untuk merenungkan kembali ribuan
ingatan yang terputus ketika dihadapkan pada kompleksitas norma yang palsu.
4 Asnawi (56 th), seorang guru seni di SMPN 7, ditengah kesibukannya,
merefleksikan keadaan melalui ketrampilannya diatas papan triplek dengan
menggunakan alat soder. Visual bayi dalam guratan spiral sebagai point of view
memegang harapan penting. Menjadi petanda gelombang kehidupan manusia.
5 Pun Bambang Sunoko (58 th) perupa sekaligus seorang guru, yang dalam
karyanya tak jauh dengan aspek lingkungan. Dalam membaca pasuruan, Bambang
menelaah masyarakat dari beragam latar belakang yang berbeda, strata sosial yang
berbeda, juga kekayaan alam yang melimpah. Bentangan sosial masyarakat tersebut
terfokus pada masyarakat pesisir yang tergambar diatas media berukuran 90 X 110.
Semangat dan kekuatan gotong royong sebagai tatanan pola hidup bagi masyarakat
pinggiran masih terjalin di tengah kemajuan masyarakat.
6 Figur manusia menjadi kerap menjadi model dalam memvisualisasi ide gagasan.
Selain merupakan ojek yang mudah didapat bagi seorang seperti Brian (15 th), manusia
dengan segala estetika dari sudut pandangnya. Ke-eksotis-an tersebut mampu disajikan
dengan gaya drawing diatas kertas dengan menambahkan kesan draperi menjadi
kekuatan karya. Dua figur manusia dengan perspektif normal yang saling tidak normal
sedang mencari wajahnya sendiri ditempat ia lahir.
7 Berbeda dengan seorang fotografer seperti Ferantory (44 th), pembacaan
pasuruan melalui tangkapan lensa kamera. Dieksplorasi dalam media; menjadi
kontruksi, dekonstruksi. Ikonik Pasuruan sebagai tanda dan petanda visual penting
untuk membuka pengandaian, dalam premis kontradiksi.
8 Firdaus (41 th) juga seorang guru seni di SMPN 8 menampilkan gejolak pandemi
yang selama ini melanda semesta. Mendistorsi ikon wabah corona diatas kanvas dengan
menggunakan cat minyak menjadi figur manusia. Dimana ikon corona tidak lagi
menakutkan dan membosankan. Kali ini tampil dengan versi menawan. Sebagai
ungkapan duka terhadap korban penyintas covid-19.
9 Wak Asin-wak asin-wak asin. Kata yang tak asing bagi judul karya milik Garis
(37 th). Untuk kesekian kalinya putra daerah mengeksplorasikan kata iwak asin (ikan
asin) atau wak asin sebutan akrab bagi warga pesisir Pasuruan dengan visual dan media
yang berbeda dari karya sebelumnya. Kali ini, seniman muda asal kota Pasuruan yang
telah berpameran di Australia dan California ini menjadikan ikan asin sebagai mascot
yang dihadirkan secara beragam, bersamaan dengan coretan bolpoint diatas kepingan-
kepingan triplek. Sangat kusam yang detail.
10 Gatot japet (60 th) seniman nyentrik berjiwa muda, kali ini tidak menghadirkan
instalasi karyanya. Melalui pencil dan cat akrilik pada media kanvas 160cm X 120cm, Ia
mengolah figur andalannya yaitu bayi. Terbalut kain dengan taburan kupu-kupu imut
nan cantik. Berlatar belakang warna putih merah yang memudar dengan judul ‘Bukan
Salah Dia’.
11 Hafizh Ardiansyah (19) perupa penyandang tunarungu dan tunawicara. Ia
mengekspresikan kondisi yang dialaminya pada media kertas panel berukuran 150cm X
40cm dan 100cm X 80cm. Bergaya doodle yang rumit, detail, terstruktur, ekspresif
menjadi kekuatan pesona visualnya. Seakan seperti refleksi atas jiwanya.
12 Bagi Iron Supaley (29 th) pemilik sanggar petelot konte yang diperuntukkan
untuk anak-anak ini membaca Pasuruan melalui tehnik drawing dengan menggunakan
pensil diatas permukaan kayu. Melalui pengerjaan yang rumit, objek pensil menjulang
keatas, diraih dua tangan yang dikelilingi ornament bunga dan burung merak
merupakan kontradiksi bagi generasi millennial yang serba instan.
13 Kevin dan Tobibi (18 th) berkolaborasi dengan tehnik photography yang
menggunakan media konvensional. Melalui objek masjid jami’ kota Pasuruan sebagai
ikon untuk menyampaikan persoalan tentang sindrom dalam bersosmed pada
umumnya yakni sebagai konten tanpa menyesuaikan, mengenali, memahami terlebih
dahulu.
14 Bagi Febian (19 th) membaca pasuruan dengan menandai hari jadi kota
Pasuruan dengan adanya kirap pataka. Karya ini menggambarkan sosok seorang
prajurit wanita yang bisa disebut dengan wironini yaitu prajurit perempuan yang
sedang membawa pataka (surat perintah). Menggunakan cat air pada kertas yang
dikerjakan dengan berhati-hati, epic, pewarnaan yang selaras dengan konsep cerita
yang ingin disampaikan.
15 Mauludi Achmad (28) menggurat diatas papan Mdf berukuran 80cm X 80cm. Ia
mencukilkan refleksi manusia bagai seorang bayi yang menunjuk pada lingkaran tangan
mengepal. Keluar dari tong yang diatasnya terdapati seekor burung. Ditengah guratan
padang lapang. Rumput yang tak seberapa. Tampak tengkorak kepala manusia. Ikon
corona selalu tampak lagi. Bagai jargon atas keadaan yang menimpa semua elemen
kehidupan.
16 Bagi Felix (25 th) membaca Pasuruan dengan segala aspeknya; menuju
industrialisasi, melalui sudut pandang cinematografi. Menghadirkan media baru yang
tergolong dalam ‘video art’ berupa ‘expanded cinema’ atau film eksperimental.
Mengambil topik yang remeh namun disajikan dengan spektakuler dan terstruktur.
Melalui riset dalam perjalanan kreatifnya di 24 kecamatan selalu menjumpai sak karung
berwarna putih disejauh mata memandang. Ekspresi, bunyi-bunyian dihadirkan secara
detail, penghancuran abstraksi, impresionistik, sinematik, dinamis dalam bentangan
semiotik visual yang nyata melalui teknik intermedia. Memacu imajinasi untuk
menghadirkan proyeksi baru tentang isi dalam sak karung.
17 Mochammad Mischat (63 th) seorang pendidik masih tekun berkarya dengan
media alumunium. Dalam membaca Pasuruan kali ini mengangkat topik terbang ishari
diatas media alumunium dengan goresan cat akrilik. Corak visual dengan nuansa
religiusitas mengajak untuk merefleksikan kembali terbang ishari yang semakin punah
sebagai produk kesenian dan kebudayaan.
18 Mohammad Suyuti (28 th) merepresentasikan objek “sumber tetek” sebagai
artefak peninggalan sejarah dengan tehnik hardboard diatas kanvas berukuran 100cm
X 67cm. Warna monokrom menjadi korelasi kedalaman makna misteri yang
terkandung. Dua objek yang ditampilkan berfokus pada bagian dada yang
mengeluarkan air sebagai tanda dan petanda hermeneutika estetika alam.
19 Kemal Amiqul Fikri (21 th) mengeksplorasikan visual menggunakan cat
minyak pada media jendela yang terdapat 6 panel kaca. Kekuatan teks dan ilustrasi
figurative yang kocak menjadikan seperti komik bergenre komedi tersebut asik
dipandang.
20 Muhammad Fikri Haikal (20 th) pemuda dari sanggar seni cuciotak rahmat
alam (coral) defisi seni rupa yang mengatas namakan ‘paru rupa’ ini menghadirkan
instalasi karya sebagai representasi dari Pendidikan yang diberi judul ‘Dari Sabak
Sampai Millenial’. Kenakalan ide dan keliaran hadir secara nyata melalui kreativitasnya
dalam mengkomposisikan matrial.
21 Muhammad Maksum (25 th) menggarap drawing pensil pada kertas 90cm X
80cm secara hyperrealism. Menghadirkan model gadis tampak seperti berdarah asing
sedang meminum air dari pompa air tradisional khas Indonesia. Fokus yang sangat
detail membuat penglihat terkesima dengan suasana yang dibangun melalui warna
monokrom hitam putih.
22 Wildan Naufal (21 th) menyuguhkan karya berbasis tehnologi digital.
Photography dengan sentuhan editing bergaya pop art dengan perpaduan suasana retro
dari ke tiga objek panel dalam visualisasinya membuat karya berjudul ‘Kontemplasi’
tersebut bersahabat bagi genarasinya.
23 Yusuf Rizaldy (21 th) merangkup Pasuruan dalam visual phography secara
panel. Tempat tempat penting menjadi fokus sasaran dalam tiap frame dari delapan
frame sebagai representasi Pasuruan secara umum. Mulai dari pemandangan sunrise
bromo, alun-alun dan masjid Jami'.
24 Murdiono (20 th) menggarap dengan charcoal pada kertas 80cm X 110cm.
Baginya Pasuruan tak lepas dari figure yaitu Kh. Abdul Hamid. Tokoh ulama yang
dihadirkan tersebut membuat siapapun yang melihat tanpa berfikir akan secara pasti
mengenalnya sebagai figure panutan bagi masyarakat Pasuruan.
25 Secara kolektif, kelompok dengan label ‘paru rupa’ ini membaca Pasuruan
secara rinci. Mulai dari ikon bangunan yang terkelupas dari kulitnya pisang, tangan dan
kaki, tugu diatas punggung kura-kura, ekspresi generasi tersebut merupakan
ketrampilan yang tidak mudah bagi generasinya, yang dihadirkan sebagai eksistensi
dalam melangsungkan kesenian.
26 Reza Ahmad Fauzi (24 th) merepresentasikan gejolak monotonitas yang di
divisualkan dengan sangat ekspresif. Menggunakan repetisi symbol ikan koki dan kura-
kura. Warna-warna primer semakin membuat kesan kuatnya gejolak, semangat untuk
selalu berinovasi.
27 Rizki Arief Wahyudi (36 th) membaca Pasuruan terinspirasi lewat lagu
‘November Rain-nya Guns N Roses’. Tentang keprihatinan terhadap limbah sampah yang
masih melimpah. Merespon bahan bekas kardus TV dan sampah plastik diolah menjadi
karya yang luar biasa.
28 Bagi seorang guru dan aktivis seni seperti Saiful Ulum (34 th), membaca
kedalaman Pasuruan dengan memvisualisasikan bentuk kepala ikan memakan kepala
manusia, melalui coretan pensil warna secara ekspresif diatas kanvas sebagai penanda,
dan petanda bahwa realitas masyarakat nelayan Pasuruan yang hanya mengandalkan
tangkapan ikan menggunakan perahu kecil mengarungi luasnya laut untuk
kelangsungan hidupnya. Kondisi yang memprihatinkan tersebut sebagai kritik sosial
kurangnya perhatian pemerintah terhadap pelestarian laut.
29 Namun bagi sesama guru seperti Sapta Rizky Artdiansya (35 th) membaca
Pasuruan dengan memadukan olahan tradisional dan digital sebagai tanda
perkembangan zaman. Menghadirkan objek Hanoman sebagai ikon kuat dan perkasa
yang digandrungi berbabagai illustrator. Karakteristik, atribut, makin melekat dan
keren dengan sentuhan desain grafis yang disajikan dengan warna classic.
30 Sholihan (61 th) mengekspresikan keceriaan bagi manusia bahwa wabah
corona yang kini sedikit demi sedikit mulai lenyap. Melalui ekspresi goresan pencil
diatas kertas berukuran 110cm X 80cm. Figure manusia yang dipadukan dengan garis-
garis spontan membentuk komposisi yang harmonis.
31 Sihabudin (20 th) memvisualisasikan dramatic figurative bergaya realis
dengan media pensil diatas kanvas berukuran 149cm X 100cm. Tiga pose berbeda
dalam satu orang yang sama disajikan secara bersamaan secara artistic. Sebagai
representasi atas kata ‘Jadab’ sebuah istilah dalam religiusitas tentang perilaku yang
tidak lazim. Memiliki kedalam makna, kontradiksi, kontroversi, multitafsir,
hermeneutika, post-spiritualitas.
32 Sjafril (26 th) penggarapan drawing dengan grafit diatas kertas ukuran
120cm X 120cm. Dengan menampilkan potret enam tokoh dunia dari latar belakang
yang berbeda. Media yang kusam dapat disajikan karya secara jelas.
33 Soeryadi (61 th) sebagai perupa senior di kota Pasuruan, Ia masih aktif
berkarya dengan menggunakan cat minyak dan sapuan pisau pallete pada kanvas.
Human Interest selalu jadi dambaan dalam pemilihan objek visual. Ekpressionis,
ekspresif, menjadikan lukisan orang-orang pasar yang bermasker sedap dipandang, dan
mendapat kesan setelah melihatnya.
34 Bagi Sri Farimah (54 th) perupa sekaligus guru seni ini, merajut mimpi
melalui benang pada ruang holahop dengan teknik makrame merupakan harapan besar.
Menggantungkan keinginan banyak hal dalam bentuk dream capture, diantaranya untuk
dapat memiliki Gedung kesenian sebagai tempat bersama.
35 Tenry Latanre (20 th) seniman muda ini pun menghadirkan dramatic
figurative dengan tehnik drawing pada media kanvas berukuran 115cm X 90cm.
Pangilon dalam Bahasa jawa merupakan diksi persamaan dari kata instropeksi. Lima
figur dirinya sendiri dihadirkan secara bersamaan dengan pose yang berbeda. Adalah
refleksi diri untuk tetap terjaga dalam segala hal. Tiap detail dan pengolahan dari
perspektif ruang digarap dengan penuh pertimbangan. Menjadikan yang memandang
ikut larut dalam pembangunan suasana pada karya tersebut.
36 Triano Nanda (34 th) seorang pengajar yang dalam pembacaannya terhadap
kehidupan diekspresikan melalui cipratan dan sapuan spontan cat akrilik diatas kanvas.
Dinamika, lika-liku, jatuh-bangun, maju-mundur dan segala aspek kehidupan tersirat
dalam percikan warna-warna kontas. Symbol-simbol perjalanan manusia memasuki
tiap sudut ruang.
37 Wahyu Nugroho, tak asing dengan karya-karyanya yang ikonik tentang teknik
drawingnya yang khas. Mengedepankan intuisi dalam ide penciptaan karya. Pada
pembacaan pasuruan kali ini, ia memvisualisasikan intuisinya dengan menggarap
empat panel (70 X 60cm) menggunakan media cat akrilik pada kanvas berukuran 120 X
140cm. Merepresentasikan ‘imajinya’ melalui komposisi garis-garis, warna, menjadi
bentuk-bentuk tak beraturan, berulang, tumpang tindih. Terdapat bentuk ‘mata’ sebagai
poin of view pada tiap bentuk-bentuk yang dihadirkan. Merupakan interpretasi dari
pengalaman; pengetahuan, kepribadian, renungan, suasana batin, spiritualitas atas
perjalanan hidupnya di segala aspek. Bergaya abstrak–ekspresionis menjadikan estetika
karya tersebut semakin menawan.
38 Wans (34 th) mengeksplorasi garis-garis dengan media campuran diatas
kanvas berukuran 100 X 100cm dalam pembacaannya tentang keadaan yang terjadi di
Pasuruan. Ia memvisualkan garis-garis lurus bergelombang tanpa putus, berulang,
menjadi penanda gejolak batin yang ditemuinya diberbagai tempat dari berbagai
khalayak.
39 Yoes Wibowo (47 th) dalam karyanya merepresentasikan tentang kekayaan
Pasuruan dari segi peningglan sejarahnya sebagai kota ‘pusaka’. Kinara-kinari
merupakan visualisasi bentuk kepala manusia berbadan dan berkaki burung.
Penggabungan lukisan dan kolase ukir dengan sebagian tehnik glazing dengan cat
akrilik pada media berukuran 100 X 120cm. Menjadikan karya tersebut sebagai
gambaran kisah Nyi Sri Gati yang mengenalkan padi dan pembawa kemakmuran di
wilayah gunung gangsir.
40. Edy Santoso (59 th) seorang guru, musisi sekaligus perupa
menginterpretasikan atas pembacaannya terhadap Pasuruan melalui pensil warna
diatas kertas berukuran 100x100. Objek visual tiga mata yang masing-masing dalam
ruang lingkaran dan segitiga, serta fokus pada sosok anak kecil yang memandang pada
objek bangunan, menyiratkan tentang polemic Gedung Kesenian di Kota Pasuruan.
Dimana keberadaan Gedung tersebut merupakan harapan besar masyarakat, terutama
para seniman untuk menjadi ruang ekspresi. Namun kenyataan sampai sekarang tak
lebih hanya artefak sebagai mimpi belaka.
Dengan demikian perayaan visual dalam bentangan makna sebagai penanda dan
petanda tentang Pasuruan telah disajikan pada perhelatan Gandheng Renteng #11 oleh
Komunitas Guru Seni dan Seniman Pasuruan (KGSP). Dimana pengaruh kesenian yang
digarap KGSP telah berhasil memberi pengaruh positif merambah kesegala aspek
kehidupan: agama, sosial, budaya, ekonomi, Pendidikan. Sebagai sumber kekayaan
untuk lebih berkembang, dewasa, waspada bagi kelangsungan ekosistem kehidupan
dalam era post-realitas seperti saat ini.

*Penulis dan penggiat teater Pasuruan

Anda mungkin juga menyukai