Anda di halaman 1dari 29

MOTIF: LAMARAN

Pandangan klasik mengenai seni biasanya dilakukan dengan merujuk dikotomi antara bentuk
dan isi. Akan tetapi selalu ada daerah abu-abu ketika bentuk ikut menentukan isi, dan
demikian sebaliknya. Nyatanya, dalam proses kreatif yang berujung pada suatu wujud
tertentu, bentuk dan isi karya seni justru tampak sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan
secara tegas.

Dalam khasanah bahasa Indonesia ada istilah “motif” yang memperoleh arti mendua.
Ketaksaan makna motif mengingatkan kita pada ketegangan abadi antara bentuk dan isi.
Pertama, motif bisa berarti corak, gaya, pola, warna, komposisi, sehimpunan tanda, lambang
ataupun simbol. Pendeknya, ragam rupa yang hadir pada suatu bentuk tertentu dan dengan
segera dapat kita persepsi. Melalui persepsi atas motif tertentu—mengikuti maknanya yang
pertama—suatu bentuk hadir di hadapan kita.

Yang kedua, motif juga diartikan ide-ide, tema atau gagasan pokok, alasan utama bertindak,
dorongan, nalar atau motivasi seseorang melakukan sesuatu. Kalau dalam arti pertama motif
adalah kehadiran citra-citra visual, yang kedua lebih berhubungan dengan keadaan yang tidak
kasat mata.

ARTJOG 2023 menggunakan kata “motif” ini sebagai jalan untuk mengundang partisipasi para
seniman. Dengan istilah ini, motif membuka ruang seluasnya untuk mengamati karya-karya
seniman, baik bentuk maupun isinya. Apa saja yang tampak melalui “motif-motif” karya
seniman? Gagasan atau dorongan utama apa yang menjadi dasar seniman mewujudkan karya
seninya? Apakah motif-visualnya lebih menantang dan menghadirkan corak baru ketimbang
gagasan berkaryanya?

Motif, dengan demikian bukanlah tema ARTJOG 2023 untuk mengundang para seniman.
Karena bukan tema, motif menyediakan ruang yang longgar untuk menghadirkan karya-karya
melalui ARTJOG. Isi karya seni adalah seluas dunia, dan pekerjaan seniman adalah mencipta
bentuk-bentuk kreatif atau motif tanpa batas untuk mewujudkan isi dunia.

Melalui relasinya dengan dunia, tiap seniman tentu sudah menentukan motif dan
mengembangkan gagasan seninya. Dalam hal ini ARTJOG 2023 menggunakan kata “lamaran”
untuk mengunjungi studio-studio seniman, mendekatkan diri pada berbagai motif dan cara
kerja para seniman untuk partisipasi mereka pada ARTJOG 2023.

Perlu dicatat bahwa kata “lamaran” dalam bahasa Indonesia di sini diterjemahkan menjadi
„proposal‟ dalam bahasa Inggris. Namun, perkataan ini sarat dengan romantisme. Penafsiran
lamaran yang paling langsung dalam konteks Indonesia adalah lamaran dari seorang pria
kepada seorang wanita. Dalam konteks lain, ini menyiratkan lamaran untuk pekerjaan atau
tugas. Bukan maksud para kurator untuk memaksakan interpretasi heteronormatif semacam
itu ke dalam pendekatan kuratorial kami. Kami menafsirkan istilah lamaran tidak hanya untuk
merujuk pada jenis kelamin atau orientasi seksual apa pun, tetapi juga sebagai ungkapan
kehangatan dan pengertian dalam pendekatan kami kepada seniman yang diundang, dan
semoga tidak terlalu otokratis dan diktatorial.

Undangan kepada seniman pada ARTJOG 2023 adalah lamaran dan apresiasi kepada motif
kreatif yang mereka tempuh selama ini.

Hendro Wiyanto dan Nadiah Bamadhaj


LAUT, ABRAKADABRA, MISTERI

Pada 1967, Sanento Yuliman (1941-1992) menulis sebuah puisi panjang berjudul Laut.
Puisi ini terbit di majalah sastra Horison (Desember 1967), dan pada tahun itu juga
memperoleh Hadiah Sastra Horison untuk kategori Puisi Terbaik. Tidak seperti puisi
modern Indonesia pada umumnya, puisi Laut ini berhalaman-halaman, terdiri dari lima
bagian yang masing-masing berisi alinea panjang-panjang.

Di masa itu Sanento Yuliman sudah dikenal sebagai esais. Selain itu tentu saja sebagai
pelukis—dia lulusan Bagian Seni Rupa, Departemen Perencanaan dan Seni Rupa, ITB
(1968). Sejak 1971, setelah pameran bersama para perupa Bandung, Grup 18 di Taman
Ismail Marzuki, Jakarta, Sanento memutuskan untuk sepenuhnya mengabdikan diri pada
dunia tulis menulis dalam seni rupa. Kita mengenalnya sebagai kritikus seni rupa terbaik
di Indonesia.

Abrakadabra merupakan judul cerita pendek Danarto (1941-2018) yang ditulis pada 1974,
lalu terbit dalam kumpulan cerpennya yang terkenal, Godlob (1974). Danarto mula-mula
memang lebih dikenal sebagai pelukis, dan dia adalah anggota Sanggar Bambu di
Yogyakarta. Akan tetapi dalam perjalanan kariernya, orang kemudian mengenal Danarto
sebagai sastrawan garda depan, menulis sejumlah cerita pendek dan novel. Salah satu
cerita pendeknya yang menggabungkan gambar dan kata-kata, dengan plot yang sangat
tidak biasa, diberi judul berupa lambang notasi atau titi nada dengan kata-kata “cak”, dan
“ngung”. Karya luar biasa ini pernah terbit di majalah sastra Horison (1974), dan kemudian
muncul dalam kumpulan esai Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (1979).

Abrakadabra, seperti beberapa cerpen awal Danarto yang ditulis pada akhir 1960-an dan
awal 1970-an mencampur-adukkan hal-hal yang absurd, lucu, di luar nalar, protes,
sindiran sampai gagasan mistik. Ada yang menyebut cerpen-cerpen Danarto sebagai
realisme magis. Judul Abrakadabra, misalnya dibuat dengan cara menyusun pengulangan
aksara A-B-R-A-K-A-D-A-B-R-A yang membentuk piramida terbalik, dibuka dengan alinea
pertama seperti mantra. Batas antara yang nyata dan yang tidak nyata terasa baur dan
susup-menyusup dalam Abrakadabra. Seorang kritikus sastra yang lain mengatakan
bahwa karya-karya sastra Danarto sesungguhnya “menantang semua indera”.
Pada tahun 1983, seorang penyair, esais dan filsuf bernama Toeti Heraty Noerhadi (1933-
2021) menulis sebuah esai berjudul Misteri: Bagian dari Kekenesan Seniman. Artikel yang
terbit di koran Sinar Harapan (1983) ini sesungguhnya adalah renungan mengenai
tuntutan agar kritik seni menjadi sesuatu yang ilmiah. Padahal di sisi lain ada anggapan
kuat mengenai karya seni yang justru ditandai oleh subyektifitas dan misteri, sebagai
atribut-atribut-nya yang khas. Tiap profesi, tulis Toeti mempunyai atribut
kekeramatannya masing-masing. Tapi ia juga menyebut bahwa “misteri” ini
sesungguhnya adalah dari bagian dari perbendaharaan kekenesan seniman, di samping
“ilham” dan “kreasi”. Dengan bermisteri-misteri, misalnya seniman sebenarnya juga
berupaya menjadikan seninya punya batas-batas jelas dengan bidang lain, misalnya sains
yang rasional.

ARTJOG 2023 menawarkan tiga karya tersebut—dua buah karya fiksi dan satu esai kritis—
dalam program Open Call untuk perupa muda berusia di bawah 35 tahun. Salah satu
tujuannya adalah mendekatkan perupa muda pada khasanah teks dalam dunia seni dan
kebudayaan di Indonesia, yang agaknya kurang diakrabi oleh kalangan seniman pada
umumnya.

Pada puisi Laut ada lanskap bawah sadar manusiawi yang gelap, ada kegentaran sekaligus
harapan dan kekuatan untuk hidup, yang sambung menyambung, terus-menerus
berbenturan seperti gelombang di laut. Ada “laut di dalam diri kita/
Dan laut di sekitar kita, tak ada karang pemisah ataupun pantai / Keduanya saling
menembus, saling merangkum, keduanya membentang / Di atas dasar tak terukur, gelap
bersusun dengan gelap”, untuk mengutip sebagian larik puisi itu. Pada Abrakadabra ada
hubungan antara dunia-dunia nyata dan tidak nyata, imajinasi yang luar biasa mengenai
wujud-wujud karya seni, kecerdasan, humor sekaligus kedalaman wawasan. Pada esai
“Misteri” ada kritik, ironi sekaligus tantangan dalam paradigma seni rupa yang dipercaya
oleh banyak seniman modern di Indonesia, antara dorongan misteri dan tuntutan akan
keilmiahan dan penelitian yang bersungguh-sungguh, bagi seniman maupun para penulis
kritik.

Dari ketiga teks yang disodorkan, perupa boleh memilih salah satu saja sebagai acuan
berkarya. Memperlakukan teks-teks ini sebagai acuan tidak berarti sekadar
memvisualkan teks atau menerjemahkannya begitu saja ke dalam bahasa atau wahana
visual tertentu. Tentu saja ada cuplikan atau unsur-unsur tertentu, baik dalam puisi, cerita
pendek maupun esai yang yang bisa mendorong perupa untuk menciptakan karya visual,
dengan medium apa saja yang dikuasai. Tapi memahami salah satu teks yang dipilih
sebagai acuan juga dimaksudkan untuk menajamkan pandangan perupa mengenai salah
satu unsur yang menonjol dari ketiga teks yang ditawarkan.

Beberapa petunjuk singkat bagi perupa:


- Baca ketiga teks tersebut, kemudian pilih salah satu yang paling menarik perhatian
- Setelah menetapkan pilihan, baca sekali lagi teks lebih teliti
- Pahami secara keseluruhan isi teks, baik puisi, cerita pendek maupun esai yang
dipilih
- Tentukan unsur-unsur yang dianggap paling menarik dari puisi dan cerita pendek,
atau pernyataan penulis di dalam esai
- Jadikan unsur-unsur yang dianggap menarik dari salah satu teks—setelah merasa
cukup dekat dengan tema atau pokok yang dibahas— untuk menajamkan visi dan
mendorong kreativitas dalam karya.

Tim Kurator
OPEN CALL - ARTJOG 2023
Sanento Yuliman
LAUT
1

Di tepi laut luas kita berdiri,


dan sambil menunjuk karang-karang
dan bangkai kapal
engkau mengeluh seperti ombak,
serta perlahan berkata:
Laut, seperti beribu tahun yang silam,
masih saja
menjadi lambang rahasia dan malapetaka.

Sesaat kita hening,


laut menderu di telinga kita,
lalu engkau berkata:
Perhatikan bunyinya yang riuh,
Seakan dua seteru pukul-memukul,
hantam-menghantam, dalam pertarungan abadi.
Laut, masih saja
menjadi lambang kegelapan jiwa kita.

Kemudian kita berjalan menyusur pantai


ketika matahari tenggelam
seperti kapal terbakar
meninggalkan pada asap dan mega
ombak dan kegaduhan cuaca.

Setelah keguncangan di mana-mana,


engkau berkata:
Setelah bentrok dengan kawan sendiri,
berebut kekuasaan dan kemudi,
setelah perkelahian di geladak,
dan di pantai,
dan setelah badan kita sakit dan lelah,
akan hapuskah jejak kita di masa lampau,
dan kita berjalan
dengan sepatu dan semangat baru?
Engkau bertanya kepada laut,
ketika sekawan camar di antara mega
melayang di lapangan warna
yang semakin redup dan tua

Warna kuning yang memekikkan jeritan,


perlahan berubah
jadi keluhan berat merah-padam
ungu
sudah itu kelabu.
Dan kita berjalan di antara deburan ombak,
menyusur pantai dan ganggang.
Kita turun ke dalam gelap,
dan kita mengendap-endap
berjalan di antara gelap dan gelap.

Cahaya yang berayun di pucuk-pucuk cemara,


cahaya yang bermain di buih dan mega
adalah juga cahaya
yang bersemayam di langit.
Dan mengikuti cahaya di langit,
semua cahaya di bumi
pergi meninggalkan kita,
dan meninggalkan di gang-gang kotor,

2
di jalan-jalan rusak,
jejak mereka yang gelap.

Setelah perkelahian di kapal,


setelah kehebohan dan pertengkaran,
ke manakah hendak kita cari tempat istirahat,
mengasoh dari kutuk-serapah dan dusta,
dan hasutan dan fitnah,
untuk sekadar membiarkan kuku dan rambut
tumbuh dengan damai,
dan luka-luka menyembuhkan dirinya?

Burung-burung mempunyai sarang,


serigala mempunyai gua,
tapi anak manusia
tak punya tempat untuk membaringkan hatinya.

Di bawah wajah yang tenang,


atau pelupuk mata yang pejam,
di bawah selimut yang hangat,
atau usapan dingin malam,
semua nafsu dan dendam,
semua pertarungan dan percekcokan,
bergalau seperti kaleng-kaleng kosong,
botol-botol minyak,
mengalun dan berderak.

Semua kericuhan, korupsi, perkosaan,


malapetaka dan kemiskinan,
semua letusan meriam dan bedil,
bahkan semua kecemasan kecil,
menyatu di sini sebagai gelombang besar,

3
menjadi kegelapan bersayap,
yang mengisap dan memukul kita.
Kita jatuh
di antara gelap dan gelap.

Demikianlah bila cahaya pergi


dari pantai dan lorong-lorong,
manusia dan debu, berjatuhan dalam gelap.
Kita mendengar
gelap bersabung dengan gelap.

Di waktu malam, laut tidaklah tidur,


dan mengempaskan ombaknya
pada karang dan pantai,
berdentam dan berderai.
Pukulannya tidak sekeras di siang hari,
namun dalam kesunyian malam,
kita mendengar bunyinya bergulung,
kian gemuruh dan mengembang.
Dan kita merasakan sekitar kita,
merasakan jalan-jalan dan rumah-rumah,
tumbuh menjadi laut,
dengan beribu suara dan gelombang.

Demikian pun jiwa kita


adalah laut yang tak pernah tidur.
Dan antara laut di dalam diri kita,
dan laut di sekitar kita,
tak ada karang pemisah ataupun pantai.
Keduanya saling menembus, saling merangkum, keduanya membentang

4
di atas dasar tak terukur,
gelap bersusun dengan gelap.

Dan malam ini tatkala kita jatuh


makin jauh ke dalam gelap,
ke bagian dalam dari yang terdalam,
kita mendengar
seperti pukulan berjuta sayap,
gelepur yang kacau dan hingar,
peperangan terpendam,
perbenturan berbagai arus tersembunyi
permusuhan di dasar,
dalam hakekat, dalam gelap,
yang menyeret dalam persambungan,
hantam-menghantam
pasir dan timbunan sampah,
lumpur dan kerang, ganggang dan ikan,
bangkai kapal, pedang dan meriam berlumut,
perkakas yang sudah lama tenggelam,
serta tulang-tulang mereka yang mati di laut,
tulang-tulang yang tidak berbentuk,
namun masih dialiri dendam.
Dan semuanya bergulung bertumbukan,
hantam-menghantam.

O, apakah makna hidup kita,


ataukah hanya taufan
yang bertiup di dasar jiwa,
lahir dari kegemparan saraf
yang mengibaskan beribu kotoran dan luka?
Kita tidak tahu, kita tidak tahu,
kita telah menanam kebencian

5
untuk memetik kasih sayang,
dan hanya menyemaikan
benih kebencian yang lain.

Kita hanya tahu


suara yang berseru
di antara tulang-tulang yang bersabung,
di antara pedang dan meriam,
suara yang mengembara di dasar laut,
di dalam gelap, menyerukan:
Engkau adalah garam dunia.
Jika garam menjadi tawar,
dengan apakah diasinkan pula?
Engkau adalah terang dunia.
Sebuah negeri di atas bukit
mustahil tersembunyi.
Bukankah orang menyalakan pelita
dan memasangnya di tempat tinggi?

Di tengah deru dan kemelut


suara itu tidak lebih keras
dari denyut jantung kita.
Selebihnya kita mendengar
gelap bersabung dengan gelap, di jiwa kita.

Siapakah, dengan jari-jari selembut bisikan


mengorakkan bunga demi bunga,
kuncup demi kuncup,
dan perlahan mengangkat kita
dari bawah dunia

6
untuk melihat cahaya pertama,
dan mendengar kokok ayam
barangkali memanggil kita dari atas bukit?

Pelan seperti kasih sayang


tumbuh di hati kanak-kanak,
pelan seperti mengoraknya
kelopak-kelopak bunga,
semua indra kita membuka,
dan kita menjumpai diri kita
dalam temaram dan dingin subuh
kita mendengar
ombak memecah dalam gelap.

Buih di atas pasir,


bunyinya yang sejuk dan gemerlap
bertaburan di hati kita.
Kemudian kita mendengar
azan yang panjang dan lantang,
menyerukan kebesaran Tuhan
azan yang berjalan dalam kabut,
menantang kegelapan.
Gemanya akan senantiasa tinggal
tersimpan dalam lokan dan daun,
dalam kelopak-kelopak bunga.

Berdoalah, saudaraku. Adakah sesuatu


yang telah mengganggu jiwamu?
Carilah, dan engkau akan mendapat.
Pintalah, dan kepadamu akan diberikan.
Ketuklah pintu, dan bagimu pintu akan dibukakan.

7
5

Dan pada jam enam pagi


kita bangkit dari tempat tidur,
dan takjub
mendengar seekor burung menyanyi
menyanyi di tengah keluhan ombak,
menyanyi di tengah pukulan kelam dan dingin
dan suaranya mengitari rumah, dan berseru:
Bukalah semua pintu dan jendela
bukalah bagi semua anugerah dan bencana
bukalah lengan-lenganmu
dan tegak dini hari
sebagai karang abadi.
Dan kita melihat pintu
membuka ke kaki langit
dan berjuta cahaya
bagai kilatan mata pedang
menebas kegelapan.
Dan kita mendengar dari balik pintu
dari kaki langit
besi beradu besi, baja beradu baja
berderum dan berderak
mesin-mesin, palu-palu, gergaji
deru pabrik dan kapal
dan pendek kata
kita menghadapi pekerjaan besar.
Dan kita mendengar burung itu menyanyi, megahlah
hiruplah udara segar dan menyanyi
megahlah di tengah ombak
dan di tengah padang
pagi hari.

8
Dan jam setengah tujuh kita berangkat ke pekerjaan
bergegas sepanjang jalan, diburu waktu dan kewajiban
ditiup angin pagi yang dingin, menggigil gemetaran.
Dan kita menyalakan rokok, untuk menghangatkan percakapan
untuk mengusir dingin dan kantuk,
dan mengusir sisa perasaan
dari semua mimpi buruk.

Setelah keguncangan di mana-mana, engkau berkata,


setelah kericuhan, korupsi, perkosaan,
malapetaka dan kemiskinan
akan sanggupkah kita melawan baja dan besi,
laut dan bumi
tangan-tangan kita menjadi subur,
sibuk mencipta dan memberi?
Engkau bertanya kepada kertas-kertas di trotoar
yang terbangun dikejutkan angin,
melompat-lompat dan menghambur
tiba di sudut-sudut yang hangat,
dan kembali tertidur.
Kita tidak tahu, kita tidak tahu, engkau berkata,
Kiat terus melingkar dan melingkar dan tidak tahu
di manakah pangkal penderitaan
dan di manakah ujungnya.
Kita hanya tahu setiap kali menghadapi pekerjaan
Kita merasa sayap-sayap yang berat
memburu dan menangkap tengkuk kita,
dan kita selalu hendak tenggelam
selalu hendak tenggelam
terhisap kembali ke dalam istirahat
ke dalam kelupaan

9
penuh lena dan tanpa tanggung jawab
seperti janin anak dalam kandungan.

Namun kita selalu mendengar dalam kenangan


besi beradu besi, baja beradu baja,
berderum dan berderak…

Dan di tengah hari laut mendentum


dan memukul-mukul
dan burung itu menyanyi.

Megahlah sebagai karang abadi


di tengah ombak dan di tengah padang
tengah hari.

Dan suara lain adalah suara


gelap bersabung dengan gelap,
di tempat-tempat tersembunyi.

(Puisi ini pertama kali dimuat di majalah sastra Horison, Desember 1967 dan memperoleh hadiah
Horison untuk kategori Puisi Terbaik 1967. Diterbitkan lagi dalam Eddy Soetriyono dan Ipong
Purnama Sidhi, Sanento Yuliman dan Kritik Seni (Denpasar, Bali: Darga Gallery, September 2000), hlm
68-82, dan Pasfoto Sang Iblis : Bunga Rampai Esai Kebudayaan, Puisi, Karikatur, dan lain-lain (1966-1990)
(Jakarta : Penerbit Gang Kabel, 2020)

Sumber: Dokumentasi pribadi Hendro Wiyanto dan hanya digunakan sebagai bagian dari materi Sosialisasi
ARTJOG 2023

10
ABRACADABRA
ABRACADABR
ABRACADAB
ABRACADA
ABRACAD
ABRACA
ABRAC
ABRA
ABR
AB
A

JIKA ITU SABDA TUHAN, suruhlah batu maupun kawan, tokoh-tokoh yang baik di dalam
menggoyangkannya. Jika itu kebenaran, suruhlah pohon kedudukannya masing-masing.
menyanyikannya. Jika itu kata bertuah, suruhlah binatang Air gemericik di Tawangmangu, begitu jernih, disana
menuliskannya. Jika itu Roh, suruhlah manusia tumbuh pohon pohon cengkeh, sekarang perkilonya
membikinnya. Biarlah tahta terhampar dan perdana empat ribu rupiah. Konon pemetikan pertama buah-buah
menteri bersujud, jika angin tidak berhembus, niscaya itu setelah pohon berumur lima tahun. Harga rokok kretek
udara di kamar pengap juga. Biarlah lari kuda menyibak di naik, bangga juga walaupun kantong sulit membelinya
antara obor dan anjing-anjing menyalak. Jika tak ada Akhirnya kita menunggu, sebab semuanya kita tidak
binatang buruan apa mau dikata Hujan pagi hari, enak bagi mampu membikinnya. Ketika lebaran tiba, seorang
pegawai. Hujan sore hari, enak bagi pengantin baru. Hujan presiden menyebarkan zakat fitrah dari sisa piring nasinya
malam hari, enak bagi maling. Soalnya, jika bahu bisa dan orang-orang. gelandangan dan orang-orang miskin
menggoyangkannya, jika pohon menyanyikannya, jika rakyatnya, yang belum semisal dibikin kaya menghambur
binatang menuliskannya, jika kita sanggup membikin saling berebutan. Hamlet diantaranya, terguling-guling.
segala-galanya, apa jadinya nanti. Semuanya bakal Horatio menarik lengannya dan membawanya
tersedia. Kita tidak bakal menunggu untuk hal-hal yang menghindar dari keributan itu. Kedua orang itu berteduh
kita mampu. di air mancur; air muncrat, yang kebanyakan mencakar ke
Hujan siang hari, tanaman jadi adem-panas. Hujan dini atas membentuk benda-benda yang bagus. “Ini tentulah
hari, tanaman jadi kedinginan. Rumput yang terhampar termasuk seni patung yang mutakhir, Horatio.“ kata
luas sekaligus bunga-bunganya mekar bersama-sama. Hamlet setelah beberapa lamanya memandangi
Hingga menjadi segan orang berjalan menginjaknya. Di pertunjukan itu dengan takjub.
Bazar Terheran. orang berdatangan menikmati permadani “Ya pangeran!” saudi Horatio lemah lembut.
yang bergantungan. "Pangeran ! Pangeran!” Hamlet bersungut-sungut.
“Horatio, bimbinglah aku dengan bijaksana Timurmu”, "Sudah aku peringatkan berkali-kali. Masih juga kau
keluh kesah Hamlet, yang terhuyung-buyung menebah panggil aku pangeran. Pangeran! Pangeran! Baiklah
dadanya oleh sobekan pedang Laertes. Mendadak begini saja. Mulai sekarang kasta-kasta saya perintahkan
balairung itu bersimbah darah: Claudius, Gertrude, dihapus.”
Polonius, Ophelia, Laertes, Hamlet, para prajurit lawan "Harus hitam diatas putih, Hamlet.” kata Horatio.
"Nih, saya kasih merah diatas putih.” jawab Hamlet "Tentu saja. Akan saya selidiki. Sebentar lagi saya akan
sambil menuliskan dengan darah dari lukanya : mati. Mungkin aku akan menggunakan bahasa halus
kepadamu. Siapa tahu.”
Di saat-saat menjelang kematianku, saya minta "Belum tentu juga.”
kasta-kasta dihapuskan. Jika warga kecil orang "Tapi jika dugaanku nanti benar, Horatio, kesulitan
rendahan masih nekat menggunakan bahasa pertama saya kira bagaimana menerangkan kepadamu,
halus, tuannya harus menggunakan bahasa lugas kenapa saya menggunakan bahasa halus. Sebab ucapanku
juga. Demikian juga sebaliknya. Ini berlaku juga kan harus berpacu dengan kecepatan nyawaku yang
kepada orang tua terhadap anak-anaknya. mungkin tergesa-gesa pergi.”
Hamlet, "Itulah sulitnya.”
Air mancur, 2 September 1974. Sebuah halaman yang luas sekali, penuh dengan kolam-
kolam air mancur, yang sebenarnya sebuah pameran
"Hamlet ! Jika kasta-kasta dihapus berarti tradisi akan patung air yang setiap saat berubah bentuknya, sebuah
punah!” Horatio kaget. pameran seni rupa yang kekal. Air mancur itu warna-
"Berat Mana bagi kamu, tradisi atau keadilan?” kata warni, juga muncul sebagai yang bagi juga muncul sebagai
Hamlet. yang terbentuk dari semuanya itu, hingga inilah sebuah
"Berat keadilan,” jawab Horatio. pameran yang sangat menarik, selalu ada saja sesuatu
"Ya sudah,” kata Hamlet sambil merebahkan dirinya, yang baru. Lebih-lebih tiap patung air ini diiringi musik
tiduran di antara patung-patung air itu. yang diperdengarkan secara lirih, hingga kelihatannya
"Tetapi apa mungkin, seorang ayah dan seorang ibu patung-patung ini tampak kental dibalut musik. Masing-
harus menggunakan bahasa halus kepada anak-anaknya?” masing patung musiknya berlain-lainan. Tidak saling
"Kau ingat’ kan Horatio ketika Gertrude ibuku menjelang ganggu-mengganggu, justru saling isi mengisi,
nafasnya yang terakhir di haribaanku, dia menggunakan kelihatannya seperti permainan pasar malam dari dunia
bahasa halus kepadaku.” lambang-lambang. Memang semuanya nampak sebagai
"Alah, aku tidak percaya.” lambang lambang, tetapi begitu ada pikiran tidak susah
"Masa aku membohongimu.” menguranginya, menjadi santapan yang nyaman di mata
"Aku tidak percaya.” telinga dan kalbu.
"Masa, aku bohong.” ..Tentu ini semua pekerjaan komputer Horatio.”
"Bagaimana, hayo coba bunyinya, bagaimana?” "Saya pikir juga demikian.”
"Masa kok nggak ingat sama sekali. "Betapa ajaibnya jarak yang telah kita tempuh. Horatio
Kau kan waktu itu disampingku.” dari masa di waktu aku membunuh ayah tiriku. kan cukup
"Aku lupa. Katakan Saja.” jelas apa yang kumaksud tentunya, sampai di waktu kita
"Begini : Hamlet, paduko puniku sinten to?”. berkenalan dengan komputer.”
"Waduh bohong betul kamu Hamlet.” "Rasanya kita telah menempuh perjalanan yang muskil,
"Terserah kau percaya apa tidak. Kau tahu itu artinya : namun kita tak pernah merasakan kesukaran.
‘Hamlet, paduka itu gerangan siapa to?’ Tapi Juga perjalanan ini kita tempuh dengan cepatnya.”
terjemahannya itu masih kurang halus.” "Masa tidak mampu mengikuti kecepatan perjalanan
"Harus kita selidiki dulu, apa sebabnya dia menggunakan Ini.”
bahasa halus. Mungkin hanya pengaruh situasi. Saat-saat "Horatio, jangan-jangan kita ini sudah mati.”
nyawa mau melepaskan diri dari raganya, situasi pikiran "Mana mungkin aku mati. Kau mungkin yang telah
menjadi berubah. hingga penglihatan menjadi lain. mati.”
"Saya kira uraianmu benar Horatio.” "Mana mungkin cuma aku seorang yang mati. Kita kan
"Belum tentu. Harus diselidiki dulu.” berdua berada di sini.”
"Tidak. Kita berdua belum mati. Orang yang sadar ..Cukuplah.”
bahwa dia telah mati berarti dia belum mati.” ..Baiklah, Horatio Saya berangkat mati sekarang.”
"Dari mana kamu tahu.” ..Selamat jalan Hamlet.”
"Barangkali saja.” Hamlet bersiap-siap lagi Matanya ditutupnya pelan-
"Baiklah. Baiklah. Kita belum mati. pelan. Kakinya bergerak-gerak sedikit melurus-luruskan
Tapi ngomong-ngomong bagaimana tentang tubuh. Horatio kembali bersimpuh dan menunduk.
kebijaksanaan Timurmu, Horatio, yang aku minta kamu Matanya tertutup juga.
suka menceritakan kepadaku.” "Waduh barangkali aku akan ketemu Ophelia. Saya kira
"Sudah tidak penting lagi.” aku cinta kepadanya.”
"Lho kenapa apa? Itu penting bagiku.” "Mak dirodog betul kamu, Mlet. Memangnya kamu mau
"Sudah tidak penting lagi bagimu.” pergi ke Jatinegara?”
"Dari mana kamu tahu itu sudah tidak penting lagi "Awas kalau bulu ketiaknya dicukur.
bagiku?” Aku paling suka mencium bulu ketiak Ophelia. Dia sampai
"Kau sebentar lagi mati. Yang terpenting usahakan menjerit- jerit kegelian.”
kamu mati dengan tentram.” ..Sudahlah. Sudahlah. Kamu tidak jadi mati sajalah itu
"Itulah. Ucapan itulah yang ku tunggu-tunggu.” lebih baik.”
"Kau sendiri sudah tahu. bahwa kau harus mati dengan ..O, jangan. Lihat. darahnya mengalir terus. Sebentar lagi
tentram. Dan itu bukan kebijaksanaan Timur atau Barat. akan habis. Juga serbuan racunnya cukup dahsyat.”
Setiap orang tahu.” Hamlet bersiap-siap lagi. Mata dipejamkan. Horatio
"Baiklah Horatio, sekarang saya akan berusaha sedapat demikian juga.
mungkin mati dengan tentram.” "Horatio, selamat tinggal. Sekarang saya sungguh-
Hamlet kemudian mengatur dirinya, membujur lurus- sungguh berangkat
lurus. Kedua tangannya saling berkatupan di dadanya, "Selamat jalan. Hamlet.”
yang kanan di atas yang kiri, kepalanya diusahakan
setegap mungkin. Matanya dipejamkan. Darah dari Demikianlah. Tapi yang menulis karangan ini akan
lukanya mengalir terus. Kelihatannya ia sudah mantap melanjutkan karangannya tentang perjalanan Hamlet di
betul. Ia berdoa matanya tertutup. alam baqa padahal ia belum pernah mengalami mati
"Horatio, selamat tinggal ; aku berangkat.” (e, sebentar, jangan jangan penulis ini pernah mati, tanpa
"Selamat jalan Hamlet.” disadarinya, siapa tahu)
"Eh ngomong-ngomong saya mau tanya sebentar Terus bagaimana caranya? Tentu tidak lebih kira-kira
Horatio, kenapa kau menyeretku dari orang-orang saja. Mungkin? Siapa tahu.” Begini kira-kira :
gelandangan yang saling berebutan zakat fitrah di istana Hamlet tidak menciptakan hidupnya sendiri. Jadi Roh itu
tadi? melepaskan tubuhnya pada saatnya yang sudah pasti
sebuah benda besar telur yang bergetar terus-menerus
"Alah kamu bawel amat sih.” dan bergerak terus-menerus bercahaya cahaya putih,
"Coba jawablah,” kata Hamlet sambil melirik sedikit. terang seperti lampu Aladin made in England dikalikan
"Kamu tidak akan bisa mati dengan tentram kalau kamu seribu, hangat tidak berubah-rubah, mantap, tegap,
ngomong terus.” kental, kelihatan juga kenyal melentur-lentur, empuk-
"Ayolah Horatio.” empuk, keras, transparan seperti terbang tetapi tidak
"Oke saya kira ke begini : kebijaksanaan harus diberikan terbang, berjalan tetapi tidak berjalan, seperti bersabda
dari seluruh hidup kita. bukan dari sisa-sisa piring nasi tetapi tidak berkata, wajahnya antara senyum dan diam,
kita.” gagah tetapi lembut, ramah tetapi tegas, senantiasa
"Sejak kapan kau bisa cemerlang seperti itu Horatio.” berpikir terus-menerus tetapi kocak, penuh sopan santun,
melihat hanya dari kejauhan, kelihatannya menghampiri, Begitu.”
tetapi hanya lewat, kekal kelihatannya tetapi sukar dilihat "Begitu?”
apalagi dipergoki, kedengarannya menyanyi terus, juga "Ya, begitu.”
main musik terus, tapi tak kedengaran oleh telinga, "Wah menarik betul. Lalu bagaimana hubunganmu
perpaduan rasa untuk sembilan lubang, gerakan cepat dengan Horatio?”
kadang-kadang seperti kilat, cerdas, cekatan dalam "Horatio? Lha itu dia masih duduk bersimpuh. Lalu ia
berpikir, disiplin tahu waktunya untuk berdoa dan tahu bangkit menutupi jasad ku dengan kain putih.”
waktunya untuk bersenang-senang, pandai diam. Dia "Maksud kami, apakah kamu masih bisa berhubungan
mempunyai pepatah : Diam itu emas ; tapi dia juga berkata dengan Horatio?”
: berbicara itu emas plus platina, hujan tidak kehujanan, "Saya panggil-panggil dia diam saja.
panas tidak kepanasan, bebas dari ruang dan waktu, Aneh sekali, saya goyang-goyang pundaknya juga dia diam
berdiri diatas hukum, tegak antara kebenaran dan bukan saja. Apa mungkin ia tidak merasa. Nah, nah aku lewat di
kebenaran, suka memberi, juga suka mengambil begitu depan matanya, tapi ia tak melihat aku. Wow, malah
saja tanpa minta izin, yang memberi izin dan yang menangis dia. Bagaimana mungkin sampai ia begitu tega
melarang, seluruh hidupnya seperti berolahraga, antara menangis, padahal aku di dalam keadaan yang jauh lebih
sepakbola dan billiard, panas seperti api, dingin seperti bahagia.”
udara, mengalir seperti air, keras seperti tanah, ada di "Hamlet! Coba panggillah sekali lagi Horatio.”
mana-mana tapi tidak di mana-mana, pintar main cinta, "Baiklah. Aku coba berteriak di depan hidungnya.
cemburu, setia, merdeka, terjunnya melayang ke atas, Horatio! Horatio! Jangan seperti patung kamu, Horatio!”
mencuat ke atas tapi ke bawah, berkembang terus- "Bagaimana dia?”
menerus, bernafas, desuannya kadang-kadang terasa "Wow, dia tetap tuli.”
keras, berdegud-degup, suka memancing dan dipancing, "Menarik sekali.”
suka di keramaian dan tempat sepi, rajin, menguasai "Ya, menarik sekali. Tapi ngomong-ngomong kamu ini
segala macam bahasa, artinya tak memiliki bahasa, tiba- siapa?”
tiba datang dan tiba-tiba lenyap, perpaduan antara seni "Saya penulis karangan ini.”
rupa, seni sastra dan seni musik. "Lho, lantas bagaimana kamu bisa berhubungan
Karena Roh itu bertempat tinggal di tubuh Hamlet, kita denganku. Sebab, aku kira letak kita amat berjauhan dan
sebut saja jiwa Hamlet. Apakah saudara pembaca setuju? di alam yang sangat berlainan.”
Tidak setuju? Hamlet saja? Begitu? Baiklah kita sebut "Saya tidak tahu. Tapi kau jelas nampak dan kata-katamu
Hamlet saja. jelas kedengaran di telingaku.”
Dan Hamlet pun termangu-mangu. Ia memandangi "Lho, menarik sekali. Kenapa kamu bisa, sedang Horatio
dirinya sendiri yang bercahaya-cahaya. Tentu saja ia tidak.”
heran. Ia bisa melihat dirinya sendiri, sebesar telur, tanpa "Saya tidak tahu. Tapi mungkin karena saya penulis
bantuan cermin. Jelas di sini ia telah mati, menurut istilah karangan ini.”
orang-orang dunia. Tetapi apakah ia sendiri merasa mati? "Mungkin begitu.”
Saudara pembaca, coba saya tanyakan kepadanya. "Begini Hamlet. Saya punya usul kepadamu. Bagaimana
"Hamlet apakah kamu telah mati?” kalau kau saja yang langsung menceritakan kepada para
"Waduh aku malah merasa lebih hidup.” pembaca segala pengalamanmu. Jadi tidak usah memakai
"Lho, bagaimana mungkin. Coba ceritakan.” saya sebagai perantara. Maksudnya langsung dari tangan
"Ketika rohku melesat dari jasadku, pertama. Apakah kamu setuju?”
aku rupanya masih di dalamnya juga. Mungkin karena roh "Saya sih setuju setuju saja.”
Itu milikku. Mungkin karena begitu. Rasa melesat itu "Wah terima kasih banyak.. Sebentar saya pamit kepada
seperti rasa ketika kita main ayunan. para pembaca.”
"Para pembaca sekalian saya penulis karangan ini Kabut? Yang terang udara di sana nyaman. Sebentar para
menghentikan karangan saya sampai di sini saja. Saudara pembaca, di sebelah situ saya lihat satu kebun yang lebat,
Hamlet yang mengalami peristiwanya langsung akan pohon-pohonnya seperti kristal, jadi transparan, itu
menceritakan seluruh pengalamannya langsung kepada pohon-pohon yang hidup, artinya anda jangan mengira
saudara-saudara. Jadi saudara-saudara mendapatkan dari seperti benda-benda mainan. Di situ banyak telur telur
tangan pertama. Kepada saudara Hamlet waktu kami yang bergerombol, ada juga yang berduaan, tentu saja
serahkan dan kepada saudara-saudara pembaca Saya telur jantan dan betina dan tentu saja saya tahu apakah
ucapkan selamat mengikuti. sementara itu Saya juga sebuah telur itu jantan atau betina. Jadi pacaran masih
mengikuti terus.” tetap ada di sana. Bahasa sebagai alat berhubungan
antara telur-telur, juga lain sekali rupanya dan artinya.
…………………………………………………………………………………….. Kami begitu saja saling mengerti. Hampir-hampir sebuah
…………………………………………………………………………………….. bahasa yang diam. Ya, tentu saja ada telur-telur yang
senyum, tertawa, menangis dan sebagainya, toh kami
"Saudara-saudara pembaca yang budiman. Terima kasih tetap memiliki semua alat-alatnya. Saya tidak tahu, tapi
atas perhatian saudara-saudara. Di sini Hamlet bicara. saya bergetar terus dan bergerak terus. Jalan saya
Mudah-mudahan kita senantiasa bisa berhubungan. melentur-lentur, memiliki kecepatan yang tinggi.
Saudara tahu keadaan saya kan. Dan benda sebesar telur Menembus apa saja, juga dinding-dinding yang saudara
yang percaya percaya itu. O hiya, saya lupa, saya juga kenal dengan tembok, saya tembus dengan mudahnya,
melihat orang-orang di dunia, di tubuhnya benda sebesar tanpa melukai diri saya atau tanpa merusak dinding
telur itu bercahaya-cahaya. Ada yang tubuhnya lebih jelas tersebut. Ruang dan waktu tidak menjadi persoalan.
nampak dari telurnya. Bayi-bayi dan orang-orang tua lebih Artinya saya bisa kembali ke dalam waktu yang saya
jelas nampak telurnya. tempuh atau satu jam yang lalu, misalnya. Yang saya
Saudara pembaca, saya tadi sampai di mana? O hiya, belum tahu, apakah disana telur-telur juga bakal
sampai pada diri saya sendiri. Tetap bagi saya aneh sekali mengalami mati lagi, dan telur yang lebih kecilan akan
bentuk ini, seperti telur tetapi rasanya saya punya dua meninggalkan telurnya yang besaran. Sebentar, akan saya
kaki duapuluh jari untuk berjalan dan dua tangan ya tanyakan kepada sebutir telur di sebelah itu.
duapuluh jari untuk memegang. Juga kepala, juga dua
mata dan telinga, satu hidung dua lubang, mulut, ……………………………………………………………………………………..
kemaluan laki-laki dan lubang dubur. Tapi tiap saya tengok ……………………………………………………………………………………..
diri saya sendiri, tanpa cermin, tiap kali yang nampak telur
juga. Mula-mula saya mendapatkan diri saya sendirian. Waduh, di sana rupanya tetap ada kematian. Jadi satu
Kemudian saya berjumpa dengan telur-telur yang lain, saat saya akan mati lagi. Dan benar seperti yang sudah
banyak sekali, seperti keramaian di dunia saja. Juga di saya ya katakan, telur yang kecilan akan meninggalkan
sana, tidak saling kenal, sebab memang belum kenal telur yang besaran. Waduh, baiklah saya melanjutkan
sebelumnya. Saya tentu saja tidak tahu dimana adanya perjalanan saya. Mengingat itu semua, berarti apa-apa
Ophelia, yang aku harap bisa berjumpa juga Claudius, yang ada di dunia, tetap ada pula di alam baqa ini, cuma
Gertrude, Laertes, Polonius. Cuma di sana kesadaranku bentuknya lain ragam dan jenisnya lain nilainya lain, juga
menjadi lain. Saya tidak tahu perasaan macam apa ini. …………….. menjadi lain. Itu semua yang menjadikan saya
Bernafas, o hiya, namanya juga saya punya paru-paru, bisa melihat keadaan di dunia saudara sedang saudara
bernafas di sana saya merasa lebih enak, lebih lega, tidak bisa melihat keadaan saya. Kira-kira begitu.
mungkin karena udaranya sejuk segar. Matahari tetap Kelihatannya saudara pembaca mengikutinya terus.
kami lihat, tapi tempat tinggal kami rasanya dibalut oleh Jangan ngantuk, nanti saudara bisa ketinggalan. Saya akan
apa yang tidak tahu oleh apa saya tidak tahu. Selaput? berputar-putar, melentur-lentur mengelilingi saudara,
supaya saudara lebih jelas menyimaknya. Jika di dunia menyemburkan api, tentu saja tidak selalu, berseliweran
saudara mengenal banyak air mancur, yang belum merata kesana-kemari, memotong ataupun membelit sinar
dikenal sebagai patung air, sedang di sana, eh, lama-lama lainnya yang lebih besar yang dipancarkan dari binatang-
perkataan di sana saya pikir sebenarnya tidak tepat, sebab binatang yang melata yang juga selalu mondar-mandir,
sesungguhnya saya tidak jauh dari sini saudara, nah ini, biarpun lebih lambat juga sinar-sinar dari tumbuhan-
saya bisa menyentuh anda. Tapi baiklah, untuk tumbuhan yang diam. Ada sejenis tumbuhan yang bisa
membedakan dua dunia yang berbeda, tetap kita gunakan meletupkan sinar dan segumpal sinar yang seperti bola
di sini dan di sana. Oke, kita lanjutkan. Sampai di mana atau bata ini melayang diam saja tak bergerak-gerak. Kena
tadi. Patung air. Ya, sedang disana patung air sudah angin atau dipegang ia tak mau bergerak juga. Lama-lama
meningkat kepada patung cahaya dan patung suara. sinar ini lenyap dengan sendirinya. Jika anda pernah ke
Baiklah anda pertama saya ajak kepada apa yang saya Jakarta Fair, di situ ada lampu besar sekali, sejenis follow
namakan patung cahaya. Masyarakat di sana sendiri tidak spot, nah anda bayangkan anda bisa memotong sinar itu
begitu hirau adanya nilai yang lebih tinggi dari cahaya yang semua anda, dibentuk semua anda, dilempar-lemparkan
berseliweran, yang tidak lebih dari main-main dan suatu semau anda, seperti anda melempar-lemparkan salju,
sinar yang dibuat tidak lebih dari begitu saja, kelihatan ambyar dan lenyap. Saya tidak ada rasa khawatir jika
menarik dan lalu ditempatkan di tempat umum untuk saudara-saudara tidak percaya kepada cerita saya ini.
sekedar tontonan perintang waktu. Sebuah hiburan yang Kesukaran saya yang pertama adalah, bahwa saya harus
menarik. Saya harap saudara tidak keberatan Itu semua menerjemahkan dunia pengalaman saya ke dalam bahasa
saya sebut sebagai patung air, cahaya dan suara, seperti saudara. Itu rumit dan terasa mokal. Namun demikian saya
saya juga tidak keberatan anda menyebutnya sebagai toh sudah mencoba sebisa-bisa saya. Sekarang kita
main-main dan itu sudah cukup. Patung ini disusun dari meningkat kepada patung suara. Keistimewaannya, sekali
tanaman-tanaman dan binatang-binatang melata dan lagi ini tidak berlebihan, artinya memang istimewa,
binatang-binatang yang bisa terbang. Ini semua sudah patung-patung suara itu keluar dari batu-batuan yang
anda kenal di tempat anda, walaupun diantara saudara rupanya mirip mesin, kadang-kadang mengingatkan
ada yang belum melihat bendanya, tetapi setidak- komputer, yang dipasang saling berhadapan, di samping
tidaknya anda pernah membacanya atau mendengarnya. telinga bisa mendengarkan suara-suara tersebut, bahkan
Di sana ada semacam binatang yang bisa terbang yang tangan bisa merabanya. Cuma kita belum mampu
mampu mengeluarkan sinar, kira-kira sebesar lidi, bisa membentuknya. Suara ternyata berwarna, selengkap
panjang sekali, sepanjang yang saudara mau. Anehnya warna pelangi, tidak berbau dan gerakannya bisa
sinar ini bisa dipegang, dipotong, bisa dibentuk menurut dihentikan memenuhi satu ruangan. Mengepul seperti
kesukaan kita. asap, tadi diam. Mengapa diam? Rupanya karakter suara
Sekarang saya memegang sepotong sinar sepanjang memang pendiam. Kelihatannya saling bertentangan
satu meter, sinar itu kemudian saya tekuk ke sana, saya terhadap dirinya sendiri, tapi memang begitulah
bekuk ke sini, saya bentuk seperti saudara membentuk keadaannya. Di sana suara itu masih bersih, hingga murni,
kawat. Sinar itu kemudian saya lipat-lipat menjadi kecil tidak seperti di dunia yang sudah bercampur dengan zat-
dan sekarang saya taruh di kedua telapak tangan saya. zat lain, hingga suara bisa menjadi lain dari bunyi aslinya.
Lalu saya remas-remas dan lenyaplah sinar itu entah Ketika suara-suara itu saling berbenturan, lalu akibatnya
kemana. Semua orang, eh telur-telur, belum tahu entah melesat jauh dan tahu-tahu disana, jauh sekali, baru
kemana sinar itu lenyap. Sarjana-sarjana sedang kedengaran seperti benda jatuh tetapi nyaring,
menyelidiki sampai sekarang, katanya. Patung-patung lintasan suara-suara tersebut itulah yang saya sebut
cahaya yang dibentuk dari pengumpulan tanaman dan patung. Apa bedanya dengan patung cahaya? Bedanya
binatang-binatang, menarik sekali, sebab selalu berubah- jelas kali. Patung cahaya lebih cemerlang, sedang patung
ubah bentuknya, binatang-binatang yang terbang seperti suara kelihatan seperti kalau penglihatan kita terhalang
kelambu. Mengapa saya tidak menyukai patung musik? ............ z ................... x .............. B .................A...............
Begitu mungkin diantara pembaca ada yang bertanya. Ya
memang, saya menamainya patung suara, karena saya (Hallo Hamlet! Anda mendengar saya? Hallo Hamlet!
pikir perkataan suara lebih asli. Jika saudara menamainya, Hamlet! Hamlet!)
patung musik, ya bolehlah. ................................... z. ..................................A……………
Makanan saya? Saya tidak tahu namanya. Atau saya ................................................ ZA…………………………………..
belum tahu. Sebenarnya tangan saya jelas memegangnya,
tetapi tak tahulah, kelihatannya seperti asap. (Hallo Hamlet! Anda mendengar saya? Hamlet!)
Bagaimanapun juga, makanan disana lebih bersifat rohani
to. Perjalanan saya sudah sampai dimana? Kelihatannya Astaga, layar putih seperti layar televisi. Saudara
saya termangu-mangu, seperti bayi yang baru dilahirkan, pembaca, apakah di Hadapan saudara juga terbeber layar
semuanya tampak asing dan sukar dimengerti. putih seperti layar televisi?! Di sini, di tempat saya, di
Sebenarnya pembicara saya tidak saya tadi tidak ada depan saya, ada layar televisi. Hallo Hamlet! Anda
gunanya bagi saudara, sebab hal-hal lain ada yang lebih mendengar saya? Halle Hamlet! Hallo!
penting. Tapi pertama, itulah yang menarik saya. Kedua Saudara pembaca, agaknya layar ini berusaha keras
hal-hal lain belum saya ketahui. untuk menyuguhkan gambar. Garis-garis gambar cepat
Saudara-saudara, sekarang saya sampai pada sebuah berubah-ubah, belum jelas benar. Nah! Ini dia, jelas
gedung, oh bukan, kelihatannya seperti cuma langit- seperti laporan televisi. Baiklah kalau begitu saya kasih
langit, atau ruangan. Katakanlah gabungan dari semua itu. anda laporan pandangan mata. Saya khawatir adegan-
Tapi seperti tenda juga. Oh sebentar saya lihatnya dengan adegan akan berubah cepat. Maka itu saya tak akan
sungguh-sungguh. Nah, lho seperti tenda juga, oh seperti banyak omong. Nah, pembaca sekalian ini dia! Hamlet
lambung perut. Saya melangkah masuk. Saya sekarang kelihatan terkapar dalam lambung perut itu. Warna
berada di dalam ruangan itu. Oh, dada saya berdegup- lambung itu berubah-ubah biru, menjadi hijau, lantas
degup. Ada apa? Waduh. Dada saya kepingin ngomong ungu, ungu sekali, oranye, merah, merah jambu, kuning,
sama saya. Apa? Tidak kedengaran. ...Semesta dicipta di abu-abu, hitam, coklat, putih, berubah terus dengan
dalam perut wanita.” Benar? Demikian? Ini? Di sini? Jadi cepat, putih, abu-abu, hitam, biru, coklat, kuning, oranye,
saya ini terlontar kembali ke masa embrio saja? merah jambu, merah, merah membara, ungu sekali
………….
Z Hamlet tampak bergerak-gerak, dua buah benda
X Y sebesar telur, bergerak cekatan sekali, saling hampir
U V W menghampiri, putih cemerlang bercahaya-cahaya, saling
Q R S T
menjahui, kemudian saling menghampiri lagi dengan
L M N O P
F G H I J K kecepatan penuh kedua benda itu membentur tubuh
A B C D E Hamlet. Astaga, di depannya berdiri empat orang yang
wajahnya persis tampang Hamlet.
(Saudara pembaca, hubungan dengan Hamlet terputus! Mereka berdiri tegak diam. Masing-masing di empat
Apakah saudara juga? Kawat rusak) penjuru. Hamlet di tengahnya dikelilingi. Hamlet
(Coba saya berusaha. Hallo Hamlet! Hallo Hamlet! Anda berusaha berdiri. Tapi susah. Kepalanya menoleh. Ia
mendengar saya? Hamlet! Hamlet! Anda mendengar terheran-heran, Hamlet tertegun. Ia merangkak mundur.
saya? Mundur terus. Mundur Hamlet menatap terus, tampak
Hallo! Hallo! Hallo! Hamlet!) tidak tahan. Ia kembali menunduk. Empat orang yang
mengelilingi itu tetap diam. Tegak berdiri. Hamlet
merangkak terus. Empat orang itu mengikutinya terus,
sambil Hamlet tetap di dalam lingkaran mereka. Hamlet "Pilih aku dan aku sebut kamu Hamlet Kejahatan.”
menengadah lagi. Ditatapnya satu-persatu wajah "Bergabunglah denganku dan kesebut kamu Hamlet
keempat orang itu. Manasuka.”
"Siapakah kalian?” tanya Hamlet. Sementara lambung Rupanya keempat orang itu merayu terus, saling
perut itu terus berubah-ubah warnanya. Ungu, biru, berebut, mempopulerkan dirinya sendiri.
merah, coklat, putih hitam. "Tidak.” sahut Hamlet kita lirik.
"Akulah Hamlet Kekekalan,” jawab salah seorang "Apakah kurangnya aku, Hamlet Kekekalan, berdiri
diantara mereka. O, namanya Hamlet juga rupanya. tegak sepanjang masa di atas hidup dan mati di antara
"Akulah Hamlet Kebaikan,” jawab yang satu. kesyahidan dan dosa yang berselimutkan Hukum.”
"Akulah Hamlet Kejahatan,” jawab seorang lagi. "Hamlet Kebaikan adalah cukup pantas bagimu. Ia tidak
"Akulah Hamlet Manasuka,” jawab seorang yang di atas juga tidak di bawah. Ia hanya menyebarkan
terakhir. kebaikan.”
Jadi keempat orang itu namanya Hamlet. "Kutawarkan engkau Hamlet Kejahatan. Merajuk,
Hamlet masih merangkak-rangkak dan wajahnya menghianati, tidak setia, membasuh, pembual, dengki,
menuliskan kebenaran. Mungkin ia takjub, seperti cemburu, tidak disiplin, pemalas, pengganggu, perayu,
menatap cermin saja, di mana wajah keempat orang itu pemerkosa, pemeras, tukang sita, pembohong adalah
persis wajahnya. pekerjaan-pekerjaan yang mengasyikan. Kepuasannya
"Lalu aku ini Hamlet apaan?” tanya Hamlet kita. sampai tulang sumsum.”
"Kamu Hamlet Kokot-Bolot.” jawab mereka bersama- "Pilihlah Hamlet Manasuka saja. Kita pilih kesukaan
sama. sesuka hati kita. Mau pilih ini boleh, mau pilih itu tak
Hamlet kelihatan menganga. Ia undur dan kembali apalah. Tidak memilih apa-apa, juga kagak apa-apa.”
merangkak. Dia berusaha menghindari keempat orang itu, "Jika kau telah memilih satu diantara kami, engkau akan
tapi mereka tetap mengapungnya. berpikir dan punya tingkah laku menurut bentuk
"Horatio!” teriak Hamlet keras-keras menyebut nama pilihanmu tadi. Daripada sekarang kamu tak lebih dari
sahabatnya yang ditinggalkannya di mayapada. Hamlet kotoran peluh.”
"Horatio! Dengarkanlah! Aku hanyalah Hamlet Kokot- Tiba-tiba Hamlet kita, yang disebut mereka sebagai
Bolot.” Hamlet Kokot-Bolot itu, lenyap seperti kebuncang angin
"Tidak lebih dan tidak kurang.” tambah keempat orang keras. Ke empat orang itu kaget dan terheran-heran
itu. mencari kesana kemari.
"Tidak lebih dan tidak kurang, Horatio !” teriak Hamlet Akhirnya saya temui Hamlet meronta-ronta di atas
melanjutkan. tempat tidur rumah sakit umum pusat dan Horatio yang
Dan Hamlet merangkak mundur terus. menunggui selama ini tampak senang, sambil mencoba
Ah, matanya tampak berkaca-kaca. Ia menangis. menentramkan Hamlet sebisa-bisanya.
"Ikutlah aku, Hamlet Kokot-Bolot, kata yang seorang. "Horatio! Kamu gombal!” bentak Hamlet marah-marah.
"Ikut aku saja.” "Baiklah! Baiklah!” jawab Horatio tampak senang.
"Pilih aku.” "Apa? Baik? Kau pikir aku sedang apa? Seenaknya saja
"Bergabunglah denganku.” membangunkan Aku bangga aku harus lari tergopoh-
Tampak angkar keempat orang itu melingkari Hamlet gopoh sejauh jutaan kilometer dari masa kelamku. Hanya
kita terus. untuk melihatmu merasa senang karena aku bisa hidup
"Tidak ! ! !” bentak Hamlet kita. kembali.”
Ia membentak tapi juga menangis. Juga ketakutan ia. "Tidak saja senang. Tapi aku merasa lebih bahagia.”
"Ikutlah aku dan kusebut kamu Hamlet Kekekalan.” jawab Horatio.
"Ikutlah aku dan kusebut kamu Hamlet Kebaikan.”
"Lebih bahagia? Kau ini ngomong apaan sih? Kau pikir
aku tidak bahagia disana? Aku tegaskan di sini, bahwa aku
jauh lebih bahagia disana dan aku merasa kasihan
melihatmu.”
"Darahmu yang beracun sudah disedot dan dibuang. Kau
sekarang dapat darah baru yang bersih dan segar.”
"Horatio. Horatio,” desis Hamlet bersunggut-sunggut.
"Kau juga belum mengerti.”
Tapi Horatio cuma tersenyum saja.
Saudara pembaca, saya kira saya akhiri saja sampai disini
laporan pandangan mata saya. Sampai jumpa dilain
kesempatan.

Salam saya

Danarto
Jakarta 3 September 1974

Keluarga Horison dan Yayasan Indonesia mengucapkan


SELAMAT HARI NATAL dan TAHUN BARU 1975

Sumber: Dokumentasi pribadi Hendro Wiyanto dan hanya


digunakan sebagai bagian dari materi Sosialisasi ARTJOG 2023
SINAR HARAPAN
Selasa, 1 Maret 1983
Misteri: Bagian Dari Kekenesan Seniman
Oleh: Toeti Heraty Noerhadi

SETELAH hadir pada diskusi panel Seni Rupa di TIM baru-baru ini, setiap peminat dapat
mengambil kesimpulan masing-masing, suatu kesimpulan yang ini kali memang lebih terbatas
pada materi khusus ialah penulisan kritik seni rupa.
Sehubungan dengan ini segera dapat kami catat tiga kata kunci yang gemanya masih
terbawa untuk direnungkan: itulah misteri dan subjektivitas.
Kiranya kita dapat melihat dan setiap disebut-sebut tuntutan bahwa kita harus “ilmiah”, bahwa
perlu “penelitian”. Tentu dianggap sikap ini akan meningkatkan mutu penulisan kritik seni rupa
pula. Keyakinan itu begitu menyentuh tapi juga menggelitik sekaligus. Jujurkah tuntutan ini?
Apakah predikat “ilmiah” yang pasti akan berteori-teori tidak akan menimbulkan
kegeraman para pelukis yang konon kabarnya ada alergi terhadap teori pula? Terutama para
“pelukis lapangan” akan berpendapat demikian meskipun mereka sempat menggerutu pada
“kritikus honorarium”, sebutan Kusnadi bahkan “kritikus restan” sebutan Tjok Hendro.
Jadi kalau ternyata benar dituntut sikap ilmiah, siapa yang harus ilmiah? Bila dituntut
kritikus harus ilmiah dengan “kritik jurnalistik” yang biasanya kita jumpai agaknya yang akan
menulis tentang seni rupa di media massa sudah akan mundur teratur. Terlalu muluk
tuntutannya. Lagi pula menurut Marakarma, kritikus punya majikan sendiri yang punya
kepentingan lain media massa itu sendiri.
Lalu ada usul supaya ada penataran untuk wartawan seni-budaya supaya lebih ilmiah.
Penataran itu, atau lebih simpati disebut “workshop” memerlukan
tenaga-tenaga ilmiah dalam arti biasa berkecimpung dalam teori seni rupa, tapi juga tidak
sungkan ke studio seperti Suzanne Langer misalnya. Filsuf wanita ini dikenal karena teori dan
khusus teori simbol dalam seni. Nanti akan kami singgung lagi teorinya.
Sekali lagi kita bisa bergembira dengan tuntutan ilmiah dan kriterium tinggi itu, tapi ada
kekhawatiran juga bahwa “ilmu” dipakai untuk menakut-nakuti pelukis yang alergi atau kagum
teori. Terjadi semacam penyalahgunaan ialah “use and abuse of scientific terminology” yang
tampil keren serem, tapi relevansi pada kritik seni belum nyata. Jadi, tidak saja harus ilmiah tapi
ilmiahnya ini ditopang “penelitian” dalam arti terjadi usaha-usaha seksama untuk menguji dan
meneruskan slogan-slogan ilmiah yang terlanjur menjadi populer.
Suatu studi mengumpulkan resensi serta menganalisisnya, mutlak diperlukan. Syukur bila
segera diwakili.
Tiga Bahasa
Bila kritik seni rupa harus meningkatkan apresiasi masyarakat, di satu pihak ia harus
menarik minat di lain pihak sekaligus jadi usaha edukatif. Dari segi itu pula bahasa kritik seni rupa
jadi perlu disimak menurut fungsinya.
Di satu pihak bahasa itu harus informatif, menyebutkan misalnya referensi ke seni lukis
internasional dan sejarahnya menyebut Picasso atau aliran Impresionis atau ke seni lukis
Indonesia. Bila referensinya ke sejarah seni rupa Indonesia menyebutkan Indonesia Molek,
Persagi atau Gerakan Senirupa Baru. Bisa juga menyebutkan sejarah hidup pelukis, biasanya
lewat wawancara tentang motivasi pengaruh dari tokoh-tokoh dan lain-lain.
Kemudian bahasa evaluatif dimana tersirat penilaian, dengan kriterium yang implisit atau
mungkin malah eksplisit. Syukurlah bila demikian. Dan kemudian ada bahasa persuasif
menganjurkan, menghimbau dan menaklukkan pembaca untuk menggiringnya ke selera yang
lebih baik lebih terdidik.

Nah, ketiga macam penggunaan bahasa ini pasti ditemui dengan kadar yang berbeda-
beda pada setiap kritikus. Akhirnya saya dan corak khas pendekatan masing-masing dapat
dikenal dan dinilai menjadikannya kritik “bermutu atau kurang. bermutu”.
Ingin kami peroleh profil-profil para kritikus menurut penggunaan bahasa mereka, khusus
keterampilan mereka mempermainkan fungsi fungsi informatif, evaluatif dan persuasif bahasa.
Bukankah Susan Stebbing, C.I. Stevenson dan S.I. Hayakwa banyak teori tentang hal ini?

Tentang Misteri
Kata kunci kedua ialah soal “misteri”, ialah bagian dari perbendaharaan kekenesan
seniman di samping istilah “Ilham” dan “kreasi’. Selain dianggap perbendaharaan kekenesan
dapat juga dianggap sebagai takhayul yang maksudnya supaya kehormatan seni tidak
digoyangkan oleh ilmu.
Memang setiap potensi mempunyai atribut kehormatan, demi harga diri profesi, demi
menjaga batas-batas dengan lingkungan dan sekaligus untuk meyakinkannya. Tapi bila di satu
pihak menuntut sikap “Ilmiah” sebenarnya nonsense juga bicara soal misteri, yang mestinya
lebur dalam pendekatan ilmu.
Misteri ini merujuk pada kata kunci ketiga ialah subjektivitas. Bila kritikus mengakrabi
pelukis untuk menyelami “misterinya” yang hendak ditelusuri kebenarannya biografi pelukis
serta realita objektif yang dinilai olehnya. Realitas subjektif di satu pihak digabung dengan segi
universal di lain pihak dapat dianggap jadi paradoks pertama dalam soal seni. Paradoks kedua,
yang juga disebut Suzanne Langer ialah bahwa “feeling” diletakkan menjadi “livingform”, sesuatu
yang spontan dan momentan memperoleh struktur dan menjadi permanent sebagai “bentuk”
meskipun bentuk yang hidup. Inilah paradoks kedua dalam seni.
Bukankah misteri atau yang kini disebut “realita subjektif” itu harus ditantang untuk
dipahami.
Realita subjektif ini lewat proses kreasi atau proses simbolisasi menciptakan ilusi primer
maupun sekunder. Ilusi sekunder seperti suasana latar belakang yang memperlihatkan
pengentalan bentuk-bentuk sebagai ilustrasi sekunder. Tentu saja ilusi primer itu berbeda untuk
seni rupa, seni tari, musik dan sastra. Ilusi itu masing-masing adalah ilusi yang menyangkut ruang
(virtual space) pada seni rupa dan menyangkut daya ingat (virtual memory) dalam sastra. Sayang
dalam karangan tentang Suzanne Langer dalam buku “Manusia Multi Dimensional” oleh A.
Sudiardja, “virtual space” dan “virtual memory” diterjemahkan dengan “ruang yang sungguh”
dan “ingatan yang sungguh” agak menyimpang dari sifat ilustrasi.

Penelitian
Mau tidak mau dengan tuntutan “Ilmiah”, kita harus berteori tentang seni rupa. Pula
harus menggunakan peneliti.
Bila memang demikian keinginan para pelukis dan pemahat seni rupa dengan dalih kita
membawa serta teori simbol Suzanne Langer diatas misalnya. Lalu misteri pelukis dibaptis jadi
“realita subjektif” yang malah harus dipahami.
Kemudian realitas subjektif ini lewat proses simbolisasi memberi wujud pada ilusi primer
dan ilusi sekunder, sehingga bentuk-bentuk ekspresi yang disebutnya “livingform”. Bahwa format
hidup ini membawakan idea universal sebagai simbol dan bukan pengumpulan emosi yang
disebut olehnya simptom. Dengan demikian ekspresi dan ide universal berlangsung lewat simbol
ekspresi diri emosi lewat simptom.
Pada diskusi panel yang lalu Sudarmaji menunjuk pada sejarah kritik seni rupa. Rudi
Isbandi menyebutkan subjektivitas kritikus: Marakarma menunjuk pada “kritikus medis media
massa”. Dan Suwardjono menuntut kritik ilmiah yang didahului oleh “bismillah”. Kemudian
Pirous menyebut Suzanne Langer dan Kusnadi menghimbau pada integritas dan misi kritikus.
Semua ini menunjuk pada fakta urgen kritik dan kritikus seni rupa, syarat-syarat integritas
dan fungsinya.
Dan bila diharapkan ada penataran atau workshop bagi kritikus atau pelukis seni, pasti
penyelenggaraannya akan memenuhi suatu kebutuhan dan keinginan sudah barang tentu juga
pihak harus hadir ialah pelukis, kritikus dan teoritikus seni.
Sementara itu tentu tidak adil hanya Suzanne Langer disebutkan seakan-akan tak ada
alternatif teori. Di dalam teori tentang kritik seni berbagai topik menarik akan nyata
relevansinya. Misalnya bila seorang kritikus akan bertolak dari amanat seniman dan sejauh mana
seniman berhasil mewujudkan itu. Ini adalah posisi kritikus yang “internasionalis” dan ia akan
bicara sesuai dengan “intentional fallacy”, ialah kekeliruan untuk bicara tidak tentang karya seni
tetapi tentang amanat senimannya. Di sini nama Monroe Beardsley dan John Kemp perlu
disebut.
Dapat pula kita mengambil kedudukan anti internasionalis Luscious Goldman. Ia
menuntut lebih dari “internal coherence” yang biasanya menjadi kriteria para formalis yang
membatasi diri pada bentuk karya seni. Masih dituntut oleh nya lagi kriterium yang sifatnya
kontekstual, ialah kriterium yang disebut olehnya kadar realisme realisme (degree of realism).
Kriterium terakhir menunjuk pada kekayaan dan kompleksitas hubungan sosial yang tercermin
dalam dunia imajiner ciptaan seniman. Sudah jelas ia terpengaruh oleh gagasan Matriks dalam
teorinya yang menekankan konteks sosial ekonomis dalam pandangan dunia (world vision)
seseorang.

Orientasi Total
Untung masih ada George Boas yang bertolak dari pluralisme budaya dan juga sampai
pada pluralisme interpretasi seni. Ia membela kehadiran sesuatu yang tak terpahami atau
“unintelligible”, pada seni kontemporer khususnya. Dengan pendekatan demikian kritik dapat
dibebaskan dari kekuasaan dogmatisme dan stereotip.
Di lain pihak perlu dipertanyakan standar penilaian estetis yang umum dan permanen
apalagi menghadapi berbagai gerakan baru avant garde. Oleh Clement Greenberg, ditolaklah
retrorika avant garde dengan tuntutan liberasi total dan kebaruan mutlak, untuk menekankan
kontinuitas dan ekspektasi yang selalu terdapat pada tradisi dan selera. Ini diperjelas lagi oleh
Monroe C. Beardsley dengan “the General Criterion Theory”, suatu teori tentang prinsip-prinsip
umum estetika.
Akhirnya oleh Stephen Cobura Pepper disebut bahwa seorang kritikus atau teoritikus
perlu paham kedudukannya menurut orientasi menyeluruh suatu hipotesa dunia (world
hipotesis) yang dibedakannya menurut empat kemungkinan ialah mekanistis, kontekstualisasi,
organisme, atau formisme.
Seorang kritikus mekanistik akan menanyakan seni dalam kadar menyenangkan suatu
karya seni, seorang kritikus kontekstual akan mencari kwalitas hayati (vivid quality) kritikus
organismik menilai kesatuan terpadu dengan misalnya istilah “Gestalt” atau “Ganzheit”,
sedangkan kritikus penganut formanisme mencari patokan normal dan universal. Inilah suatu
tolok ukur menilai kritikus, tidak saja menurut fungsi bahasa informatif, evaluatif atau persuasif
di atas tapi pula menurut orientasi menyeluruh, “world-vision” atau “Weltanschauung” mereka.
Memang tampaknya cukup tersedia tolok ukur untuk menilai kritikus.
Akhirnya dengan tuntutan ilmiah dan akibat berteori tentu pertanyaan tentang istilah
asing perlu dijawab.
Menterjemahkan istilah teknis dalam bahasa Indonesia adalah usaha terpuji dan benar.
Tetapi risiko menyelewengkan arti, perlu dikurangi. Terutama mengingat bahwa istilah kerap kali
tidak berdiri sendiri, menjadi unsur yang mempunyai tempat tertentu dalam suatu teori, dan
berkaitan khusus dengan istilah-istilah lain dalam teori tersebut.
Demikian pula bicara tentang metodologi pada kritik seni nyatanya seperti mencari
sesuatu yang logis pada materi yang tidak logis karena Metodologi ialah metoda penelusuran
langkah-langkah logis dalam ilmu pengetahuan. Nah, kita sekarang berurusan dengan metoda
menilai kritik seni.***

*Penulis adalah seorang Dokter Filsafat, penyair, dosen UI dan sekarang menjabat Ketua
Dewan Kesenian Jakarta.

Sumber: Dokumentasi pribadi Hendro Wiyanto dan hanya digunakan sebagai bagian dari materi Sosialisasi ARTJOG 2023

Anda mungkin juga menyukai