Anda di halaman 1dari 36

ISSN: 9772442302011

Yang mulia para hadirin sekalian,


THE
EQUA-
Melalui forum ini, saya ingin menyampaikan keyakinan saya
bahwa masa depan dunia ada di sekitar ekuator, di tangan kita,
bangsa-bangsa Asia Afrika yang ada di dua benua. Untuk itu,
dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, saya nyatakan

TOR
Konfrensi Asia Afrika Tahun 2015 dibuka.

Terimakasih,

AssalamualaikumWr. Wb
Volume 3
Pidato Presiden RI Nomor 2
Joko Widodo April - Juni 2015
Terbitan triwulan | GRATIS

NEWSLETTER
YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

TRAJECTORY
2

PENGANTAR REDAKSI
Pembaca yang budiman,
Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang dihelat pada tahun 1955, oleh Robert J. C. Young, disebut-sebut
sebagai momen awal berkumpulnya negara-negara pascakolonial dalam sebuah forum bersama.
Konferensi itu memang punya posisi yang sangat strategis di tengah berkecamuknya perang dingin
yang melibatkan dua kutub kekuatan adidaya. Negara-negara Asia dan Afrika yang baru lepas dari
kolonialisme Eropa menghimpun diri, membicarakan berbagai agenda strategis demi mengangkat
martabat mereka di mata dunia, menjalin kemitraan di bidang ekonomi, seni dan budaya,
berpartisipasi dalam menjaga ketertiban dunia serta menentang segala bentuk kolonialisme atau
neokolonialisme negara-negara imperialis (Amerika Serikat dan Uni Soviet khususnya).
Bulan April lalu, kita memperingati usianya yang ke-60 tahun. Tentu banyak hal menarik yang perlu
ditilik, mengingat peristiwa bersejarah itu bukan sekadar momen yang melulu membicarakan
agenda kerjasama ekonomi-politik, melainkan juga agenda di bidang kebudayaan. Tentu kita masih
perlu memeriksa, seberapa jauh agenda di bidang kebudayaan ini dilihat dan dijalankan. Terkait
dengan peringatan usianya yang ke-60, kita juga masih perlu bertanya, apa pentingnya momen itu
diperingati/dirayakan bagi Indonesa? Apa relevensinya untuk saat ini?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dielaborasi secara cermat nan kritis oleh beberapa penulis di edisi
The Equator kali ini. Topik-topik di edisi ini menjadi relevan karena salah satu bahan diskusi Yayasan
Biennale Yogyakarta tahun 2010 ketika menentukan Khatulistiwa sebagai wilayah kerja Biennale
Jogja adalah membahas KAA 1955. Untuk eidisi ini, kami membuka peluang pada penulis-penulis
yang berminat berbagai gagasan lewat newsletter ini. Awalnya, kami hanya akan memilih satu
tulisan. Namun, saat membaca tulisan-tulisan yang masuk, terlalu sayang bila tidak diterbitkan.
Akhirnya, kami memilih tiga tulisan yang boleh dikata tidak hanya sarat informasi penting, tetapi
juga kritis dan analitis. Ketiga tulisan itu masing-masing ditulis oleh; pertama, Hersri Setiawan,
seorang tokoh yang terlibat langsung dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika. Tulisannya memberi
beragam informasi yang kritis perihal KPAA. Kedua, Tia Pamungkas, mengulik secara cermat apa
yang absen dalam penyelenggaraan KAA. Ketiga, Alwi Atma Ardhana, menyoroti wacana ideologi
yang berkelindan di sekitar persiapan penyelenggaraan KAA tahun 2015. Ketiga tulisan tersebut
seolah “diikat” oleh penulis tamu yang sengaja kami undang untuk membicarakan topik KAA, Hairus
Salim.
Di edisi ini juga, kami menyuguhkan pembacaan kritis Mitha Budhyarto soal “gegap-gempita”
penyelenggaraan biennale di berbagai belahan dunia. Tulisan ini sekaligus menjadi bahan refleksi
bagi kita semua; menilik lagi apakah event biennale yang kita helat sekadar ikut trend atau punya
kekhasan sendiri–lebih dari sekadar 'perayaan'.
Pada akhirnya, seperti yang sudah-sudah, kami selalu berharap bahwa lewat newsletter ini akan
lahir banyak respon kritis. Perdebatan selalu kita butuhkan untuk mendapatkan terang gagasan
perihal sebuah persoalan. Semoga edisi kali ini akan memperkaya pengetahuan kita, khususnya soal
kawasan Afrika yang bakal menjadi mitra kerja YBY bulan November nanti. Selamat membaca!
Salam,
Redaksi

The Equator merupakan Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: konsep strategis perencanaan kota Telp: +62 274 587712
newsletter berkala setiap tiga the-equator@biennalejogja.org. yang berbasis seni-budaya, E-mail: the-
bulan diterbitkan Yayasan Biennale Tersedia kompensasi untuk tulisan penyempurnaan blue print kultural equator@biennalejogja.org.
Yogyakarta. Newsletter ini dapat yang diterbitkan. kota masa depan sebagai ruang
diakses secara online pada situs: hidup bersama yang adil dan Mei 2015, 1000 exp
www.biennalejogja.org. Tentang Yayasan Biennale demokratis. Berdiri pada 23
Yogyakarta Agustus 2010. Penanggung jawab: Direktur
Redaksi The Equator menerima Misi Yayasan Biennale Yogyakarta
kontribusi tulisan dari segala pihak Yayasan Biennale Yogyakarta
(YBY) adalah: Alamat: Redaktur Pelaksana: Arham
sepanjang 1500 - 2000 kata Taman Budaya Yogyakarta
dengan tema terkait isu Nusantara Menginisiasi dan memfasilitasi Rahman
Khatulistiwa. berbagai upaya mendapatkan Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta Kontributor: Hairus Salim, Alwi A
3

DAFTAR ISI
4| KAA:
SATU DEKADE TERBAKAR SEMANGAT,
LIMA DEKADE TERKURUNG KENANGAN
Hairus Salim HS (Peminat Kajian Budaya. Direktur Gading Publishing)

PERINGATAN KAA KE-60:


DEKOLONISASI ATAU REKOLONISASI? |10
Alwi A Ardhana (Mediasastra.com)

16| KPAA:
SEBAGAI PERSIMPANGAN SEJARAH
DALAM RELASI EQUATOR
Hersri Setiawan

PERLUKAH MENGHADIRKAN ‘SANG LIYAN’?


REKONTEKSTUALISASI KONFERENSI ASIA AFRIKA |21
DAN JOGJA BIENNALE EQUATOR #3
Arie Setyaningrum Pamungkas (staf pengajar di Departemen Sosiologi, UGM,
aktivis budaya dan pengamat seni rupa)

27| UNIK, SEPERTI YANG LAIN


Mitha Budhyarto (Dosen dan Kurator)

YUK IKUT! PROYEK SENI KOMUNITAS


PARALLEL EVENTS BIENNALE JOGJA XIII |32
Political Map of the World, 2005
Sumber pidato Presiden RI pada
Pembukaan Konferensi Asia Afrika 2015
di JCC Jakarta (setkab.go.id)

Ardhana, Hersri Setiawan, Arie Bandung: Selasar Sunaryo Art Cemeti Art House, LKiS, Ark Dukungan untuk Yayasan Biennale
Setyaningrum Pamungkas, Space, Galeri Soemardja, Tobucil Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Yogyakarta dikirim ke:
Mitha Budhyarto Jawa Barat: , Jl. RA. Natamanggala, Jogja Contemporary, PKKH UGM, Yayasan Biennale Yogyakarta
Fotografi: Arsip YBY, sumber- Perum Bukit Rantau Indah C27 Rumah Seni Sidoarum BNI 46 Yogyakarta
sumber internet Kademangan Pasir Halang Kec. Semarang: Kolektif Hysteria No.rek: 224 031 615
Desainer: Yohana T. Mande Kab. Cianjur Surabaya: C2O
Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Kediri: RUPAKATADATA Joko K Yayasan Biennale Yogyakarta
Outlet Penyebaran Jakarta Perpustakaan UIN Yogyakarta, Makasar: Rumata Artspace BCA Yogyakarta
Ruangrupa, Goethe Institut, Perpustakaan Pusat UGM, No.rek: 0373 0307 72
Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Perpustakaan Pascasarjana USD, NPWP: 03.041.255.5-541.000
Kedai Tjikini
4

KAA:
SATU DEKADE TERBAKAR SEMANGAT,
LIMA DEKADE TERKURUNG KENANGAN
Hairus Salim HS (Peminat Kajian Budaya. Direktur Gading Publishing)

Presiden Soekarno menyampaikan pidato pembukaan KAA 1955 (Antara)

Salah satu pendapat yang umum dikemukakan mengenai kesenian Indonesia di tahun 1950an dan
1960an adalah intensitas, dinamika sekaligus kompetisinya yang sangat tinggi serta kuatnya
kehadiran negara. Kehadiran negara ini pula yang mendorong derasnya pameran, pertunjukan, dan
keterlibatan para seniman Indonesia dalam panggung internasional di era tersebut.
Selain karena faktor Soekarno yang memang penyuka kesenian, dinamika ini juga didorong oleh apa
yang disebut sebagai “semangat Bandung” yang lahir dari rahim Konferensi Asia-Afrika (KAA) tahun
1955. Semangat ini pada intinya berisi suatu gagasan bahwa kolonialisme merupakan penyebab
keterbelakangan negara-negara Asia-Afrika. Meski sebagian negara-negara ini telah mencapai
kemerdekaan, bukan berarti kolonialisme begitu saja hilang. Ia ingin dan bisa kembali dengan
bentuknya yang baru, halus dan canggih. Itulah imperialisme. Karenanya penting kesadaran,
solidaritas dan kerjasama antarnegara-negara Asia-Afrika untuk melawan dan menghancurkan
kolonialisme/imperialisme.
Yang menarik, perlawanan terhadap kolonialisme/imperialisme itu bukan pertama-tama dilakukan
secara politik-militer, tetapi justru lebih banyak secara kultural. Gelanggang perangnya adalah
5

kebudayaan. Kebudayaan, karena itu, menjadi “pertukaran exhibit budaja untuk dipakai
pokok yang dianggap utama dan penting, dalam pameran dan musea (ethnologi,
bersanding sejajar dengan ekonomi. anthropologi dan barang2 seni)” dan
Kebudayaan merupakan politik, dan politik itu “menjelenggarakan festivals budaja tahunan.”
sendiri dipandang sebagai kebudayaan. Sementara dalam kertas kerja delegasi India,
Kebudayaan menjadi media sekaligus tujuan dikemukakan usulan di antaranya: “Exchange
itu sendiri.(Karena itu mungkin tak aneh, kalau of students, teachers, musicians, dancers,
dalam jejak teori pascakolonial, 'semangat artists, sporsmen, athletic teams and
Bandung' ini tak jarang dirujuk!) exhibitions” dan “Cultural festivals may be
held at frequent festivals in the different
Dalam komunike yang dikeluarkan seusai countries, at cultural delegation from as many
konferensi, “kerjasama kebudayaan” menjadi countries as possible be represented. This is
rekomendasi aksi, selain “kerjasama expected to promote cultural understanding
ekonomi.”Dengan percaya diri, bermartabat and knowledge between the participating
dan penuh optimisme, dikemukakan mengapa countries.”
kerjasama kebudayaan ini perlu. Sebagai
wilayah tempat lahir agama-agama dan Tak mengherankan, setelah KAA itu, kegiatan
peradaban besar dunia, kerjasama kebudayaan di negara-negara Asia-Afrika, tak
kebudayaan menjadi penting untuk terkecuali di Indonesia menjadi sangat dinamis
memperkaya peradaban dunia dan saling dan penuh gelora. Kebudayaan menjadi
memperkaya peradaban nasional. Kerjasama bahasa diplomasi, bahasa politik sekaligus
kebudayaan juga penting sebagai sarana untuk bahasa perlawanan. Dinamika ini menyentuh
saling mengerti dan memahami. Kerjasama juga yang sifatnya 'pertukaran' antarnegara.
kebudayaan dilakukan untuk memperbarui Penerjemahan karya sastra berlangsung
hubungan kebudayaan lama dan intensif. Para seniman Indonesia bolak-balik ke
mengembangkan hubungan baru dalam dunia luar negeri untuk menggelar pameran dan
modern. Akhirnya suatu pernyataan keras pertunjukan. Konferensi-konferensi dan
bahwa kolonialisme bukan saja dianggap telah festival-festival datang susul-menyusul.
menghalangi kerjasama kebudayaan, tetapi Tercatat misalnya Konferensi Sastrawan Asia-
juga menindas kebudayaan nasional. Afrika (KSAA) di Tasjkent, Uzbekistan (1958)
dan Kairo, Mesir (1962; Festival Film Asia
Dalam penjelasan, apa yang disebut sebagai Afrika (FFAA) di Tasjkent, Uzbeskistan (1958);
kerjasama kebudayaan itu meliputi: I). Kairo, Mesir (1960) dan Jakarta, Indonesia
Penambahan pengetahuan, II). Pertukaran di (1964), Konferensi Islam Asia-Afrika (KIAA) di
lapangan kebudayaan, dan III). Pertukaran Jakarta, Indonesia (1960). Ini untuk menyebut
penerangan. kegiatan budaya yang sifatnya multilateral,
Terlalu panjang untuk didedahkan satu belum termasuk yang sifatnya bilateral.
persatu, tetapi yang penting dalam poin Dalam hal kegiatan berkesenian yang bersifat
“Penambahan pengetahuan” dikemukakan internasional inilah, peran negara disebut-
salah satunya adalah perlunya “penerjemahan sebut sangat penting. Peran penting negara
kesusasteraan kuno dan sekarang...” dan bisa dipahami karena kebudayaan menjadi
dalam“Pertukaran di lapangan kebudayaan” bagian dari diplomasi politik negara yang kala
diusulkan, di antaranya “festival-festival itu, melalui KAA, mengklaim bersifat “netral,
kesenian... dan pameran-pameran kesenian dalam arti terhadap konflik dua adidaya, tetapi
berkeliling.” pada saat yang sama, merupakan
Indonesia dan India memiliki peran utama antikolonialis militan.” Secara khusus,
dalam usulan ini. Dalam kertas kerjanya, Indonesia saat itu memang sedang
delegasi Indonesia mengemukakan pentingnya berkampanye untuk memasukkan Irian
6

Poster FFA 1964 (sahabatmkaa.com, 2014, 05, mengingat-kembali-FFA III-1964)

menjadi bagian dari Indonesia dan konferensi, pameran, pertunjukan, dan


berkonfrontasi dengan Malaysia soal lainnya, dan semua ini karena budi baik negara
Kalimantan Utara. Kegiatan kesenian yang bersedia menyokong dan mendukung.
internasional dengan begitu merupakan Dikontraskan dengan era Orde Baru, di mana
program politik negara. kehadiran internasional para seniman dan
intelektual memang sangat minim dan
Dalam praktiknya di Indonesia, akses para kebudayaan memang juga sangat diabaikan,
seniman ke negara dimediasi oleh partai dan maka pendapat ini menjadi terasa kuat sekali.
lembaga kebudayaan yang menjadi
onderbouw partai. Ini memaksa sebagian Tetapi jika ditelusuri lebih teliti, tampaknya
besar seniman untuk bergabung secara diam- pandangan ini tidak seluruhnya meyakinkan.
diam maupun terbuka ke lembaga-lembaga Jauh sebelum tahun 1955, para seniman
kebudayaan, dan otomatis juga ke partai- Indonesia sudah memiliki tradisi tampil ke
partai, seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat dunia internasional secara partikelir, tanpa
(Lekra yang dekat dengan PKI), Lembaga dukungan negara. Sebagai contoh, Dardanella
Kebudayaan Nasional (LKN yang berafiliasi –sebuah kelompok opera dan tari dengan
dengan PNI), Lembaga Seni Budaya Muslim bintangnya Miss Dja— jauh sebelum
Indonesia (Lesbumi yang berafiliasi dengan kemerdekaan sudah melakukan pertunjukan
NU), dan Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI, keliling di berbagai negara Asia, bahkan sampai
yang dekat dengan Masjumi). Dalam kasus dua Eropa dan AS. Contoh lain lagi, tahun 1952,
konferensi kebudayaan antarnegara AA di atas, pelukis Affandi, Kusnadi dan Sholihin, telah
KSAA dan FFAA, para seniman Lekra mengikuti pameran di Sao Paolo, Brazil dan
mendominasi perwakilan delegasi Indonesia Venice. Affandi yang pulang membawa
dan menyingkirkan unsur-unsur seniman lain. penghargaan bahkan dengan bangga
Sementara KIAA total menjadi proyek mengklaim telah memperkenalkan teknik
NU.Perebutan akses di wilayah kesenian ini baru, yaitu langsung menorehkan tube ke
dan perbedaan konsepsi estetik dengan segera kanvas, tanpa terlebih dulu membuat sketsa
menjadi pertentangan politik. Demikian atau garis-garis pensil yang samar sebagai
sebaliknya, persengketaan politik dengan acuan.
begitu mudah menjalar ke wilayah kesenian.
Sebagai perbandingan, di sini akan saya
Apapun juga, kesimpulan yang bisa ditarik ringkaskan, satu keterlibatan para seniman
adalah pasca KAA, dengan “semangat Indonesia di panggung internasional, yang
Bandung” para seniman dan intelektual tidak didukung seluruhnya oleh negara, dalam
Indonesia kerap hadir di panggung arti pembiayaan. Selain mereka harus mencari
internasional untuk menghadiri festival, sendiri biaya, kehadiran para seniman ini juga
7

unik dan mungkin tak akan pernah terulang Meski ini adalah festival film, para seniman ini
lagi. Ini adalah keterlibatan para seniman film bukan saja membawa produk film untuk
Indonesia dalam Festival Film Asia VI di Malaya diikutkan dalam festival, tapi menggelar
(Malaysia) pada tahun 1959, yang dipimpin pertunjukan-pertunjukan musik, drama dan
oleh Usmar Ismail. Usmar Ismail waktu itu tari selama beberapa malam. Di antara yang
merupakan sutradara terkemuka, Direktur ditampilkan adalah pertunjukan “Mak
Perfini dan juga Ketua Persatuan Perusahaan Tjomblang” dan “Tari Tempurung.“ Selain
Film Indonesia. pertunjukan secara langsung, para seniman ini
juga menggelar pameran batik. Karena itu,
Dalam “Laporan dari Festival Film Asia” yang mereka menghabiskan waktu 11 hari di kedua
dimuat di Harian Pedoman, 25 Mei – 6 Juni negara tersebut, meski festival sebenarnya
1959, yang ditulis Usmar Ismail, bisa hanya berlangsung 4 hari.
ringkaskan bagaimana rupa dan pola
kehadiran para seniman Indonesia ini sebagai Sejauh laporan Usmar Ismail di atas, kehadiran
berikut: Delegasi Indonesia diwakili 18 orang, para seniman ini disambut sangat antusias.
di antaranya: Bing Slamet dan Saiful Bahri, Hotel tempat menginap mereka selalu dipadati
penyanyi yang sudah sangat terkenal di penggemar yang ingin minta tanda tangan,
Malaysia dan Singapura; Farida Ariani, Aminah berfoto atau sekadar melihat wajah-wajah
Tjendrakasih, A. Hamid Arif Chitra Dewi, para artis tersebut. Laporan dan resensi
Bambang Irawan, dan Rendra Karno, bintang- pertunjukan surat kabar setempat yang penuh
bintang yang sudah masyhur, terutama tiga puji dan simpati, seperti Utusan Melaju, Berita
nama terakhir karena sukses film “Tiga Dara” Zaman, Berdan ita Harian, dan Strait Times,
di kedua negara tersebut; Suparta Wijaya, menjadi neraca lain sukses ini.
seorang penari Bali; Raden Ismail dan Fifi
Young, dua “veteran” kelompok “Bolero” dan Dan ini yang penting, untuk biaya transportasi
“Dardanella”; Boes Bustami, wartawan dan akomodasi, mereka memungut bayaran
Bintang Timur; dan Elly Yunara, artis dan dari tiket penonton, yang sedari awal
pengusaha pakaian. disepakati hasilnya akan dibagi rata. Menurut

Pemimpin negara Asia-Afrika mengikuti historical walk di jalan Asia-Afrika, Bandung, April 2015
(okezone.com)
8

Orkestra Angklung yang dibawakan para guru menyambut delegasi negara-negara peserta KAA tahun 1955 (tempo.co)

Usmar, total pendapatan selama pertunjukan peralatan yang lebih maju. Karena itu kualitas
9 hari berjumlah $ 15.370,34, sebuah angka suara dan gambar film-film mereka juga jauh
yang cukup besar waktu itu. Kendati demikian, lebih baik. Kendati demikian, peralatan teknis
jumlah ini tetap tidak bisa menutupi biaya yang bagus saja tidak cukup. Diperlukan
akomodasi dan transportasi, ditambah harus kreativitas yang kuat, dan Usmar yakin bahwa
bayar pajak tontonan dan biaya publikasi yang para seniman Indonesia memiliki hal ini. Ia
dikerjakan agen-agen di Singapura dan kasih contoh Jepang yang membawa enam
Malaysia plus biaya seorang wartawan yang film berwarna, hanya dua yang beroleh
dibawa dari Indonesia. Artinya, mereka penghargaan, sementara Filipina yang
tombok dan ini harus ditutupi oleh Perfini. membawa enam film berwarna tak satu pun
memperoleh penghargaan.
Dalam festival sendiri, Indonesia tidak meraih
penghargaan apapun. Beberapa film olahan Lantaran dikecam sebagai kreasi SEATO, Usmar
dari Radial Film “Kunanti di Djogja” dan dari sebelumnya sempat kuatir mereka tidak
Anom Pictures “Serodja” yang hendak beroleh izin sama sekali. Untunglah Menlu
diikutsertakan dalam festival, ditarik Subandrio, Menpen Sudibjo dan Menteri PPK
keikutsertaannya karena larangan PFN. Prijono, yang ia temui semuanya memberi
Sebelumnya, Lembaga Film Indonesia yang lampu hijau. Bahkan Menteri Prijono
berada di bawah Lekra mengutuk menjanjikan sedikit bantuan uang, yang hingga
penyelenggaraan festival tersebut sebagai akhir festival belum juga turun, dan ketika
kreasi SEATO. Pada saat yang sama, tiga laporan itu dibuat masih diharapkan Usmar
perusahaan film Perfini, Persari dan untuk menutupi kekurangan biaya.
Tjenderawasih, tak bisa menyelesaikan
pembuatan film pada waktunya. Jadilah yang Terus terang, ketika membaca laporan
diajukan beberapa film yang sejak awal tersebut saya terperangah. Di luar bayangan
memang tidak dijagokan sebagai peserta saya, menghadiri festival saat itu ternyata
utama festival. bukanlah tamasya yang asyik dan sama sekali
bukan pesta yang menyenangkan. Karena itu,
Di luar itu semua, Usmar mengakui bahwa mereka yang berangkat dan mewakili benar-
dalam hal peralatan teknis, negeri-negeri benar harus seniman sejati, dengan
tetangga, lebih-lebih Jepang, memiliki kemampuan dan keahlian, serta terutama
9

dedikasi dan komitmen. Hal kedua yang bisa pengaruh KAA ini secara internasional ditandai
ditarik adalah meski tanpa dukungan negara, dengan kegagalan penyelenggaraan KAA II di
mereka bisa mengikuti festival tersebut Aljier tahun 1965. Sementara secara nasional,
dengan maksimal. Seperti festival-festival yang ditandai dengan tumbangnya Soekarno dan
disokong negara, festival-festival dan naiknya Soeharto. Orientasi ideologis berubah
pertukaran-pertukaran secara mandiri ini juga 180 derajat. Ekonomi dengan segala kosa
banyak dilakukan selama periode tersebut. katanya: investasi, utang luar negeri,
*** pertumbuhan dan lain-lain jauh dikedepankan,
Selama satu dekade, tulis David Kimche, KAA sementara kebudayaan diletakkan di bagian
memberi inspirasi dan aspirasi pada gerakan- belakang. Semangat Bandung berpuluh-puluh
gerakan perlawanan di wilayah Asia-Afrika, tahun kemudian hanya tinggal kenangan.
termasuk di antaranya dalam mendorong
dinamika dan intensitas berkebudayaan. Tetapi Namun itu bukan berarti “Semangat Bandung”
semangat ini meredup dan padam di tahun kehilangan pesonanya. Latar dan pengalaman
1965, ketika sejumlah besar negara-negara yang kurang lebih sama membuat saling
penyokongnya didera krisis ekonomi dalam pengertian, pertukaran dan solidaritas antara
negeri dan para pemimpin terkemukanya negara-negara Asia-Afrika tetap krusial dan
tumbang, digantikan para pemimpin yang relevan hingga kini. Warna kebudayaan juga
lebih lunak. harus lebih bernuansa dan beragam agar tidak
monolitik Barat saja. Pertunjukan, pameran,
Di luar itu, perbedaan orientasi ideologi penerjemahan, pertukaran di bidang ilmu
(komunis, sosialis, kapitalis) dan konflik pengetahuan dan kesenian, karena itu menjadi
internal mengenai kawasan dan perbatasan penting sebagai media dialog. Namun ini tak
antara negara-negara Asia-Afrika sendiri, akan bisa dipenuhi tanpa ada rasa percaya diri,
membuat sungguh tidak mudah martabat dan harga diri, serta tentu saja
mempertahankan 'kesatuan' dan solidaritas tanggung jawab. Barangkali bagian inilah yang
Asia-Afrika tersebut.Sebagai contoh, India dan raib dan tergerus selama Orde Baru, dan
Pakistan terus berseteru karena soal Kashmir. mungkin juga di antara bangsa-bangsa Asia-
Indonesia tak cocok dengan Malaysia karena Afrika. Jadi bukan terutama soal ada atau
soal Kalimantan Utara. Dalam ranah absennya negara.
kebudayaan, hal ini semakin ambigu, ketika
misalnya film-film India pun, mitra penting Sumber:
dalam KAA, turut diboikot sebagaimana film-
film Amerika. Bukan pertama-tama karena David Kimche. 1973.The Afro-Asian Movement: Ideology
monopoli atau isinya yang dianggap and Foreign Policy of the Third World. 1973. Israeal
mengandung nilai kolonialisme, tapi lebih University Press, Jerusalem.
Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (ed.). 2012. Heirs to
karena India cenderung mendukung Malaysia
World Culture: Being Indonesian 1950-1965. KITLV.
dalam soal Kalimantan Utara. Contoh lain,
Leiden.
penyelenggaraan Festival Film Asia VII yang Muhammad Yamin. 1955.Kebudajan Asia-Afrika, Naskah
sedianya di Indonesia,batal karena Indonesia dan Penjelasan Putusan Jang Disetudjui Konperensi
tidak bisa menerima kehadiran Taiwan yang Asia-Afrika. 1955. Perguruan Kementerian PP. Dan K.
dianggap pendukung SEATO. Jakarta.
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. 2008.
Seluruh permasalahan itu membuat apa yang Lekra Tak Membakar Buku. Merakesumba. Yogyakarta.
disebut sebagai “semangat Bandung” itu pelan Usmar Ismail. 1982. Menguapas Film (Kumpulan
tapi pasti meredup setelah satu dekade Tulisan). Sinar Harapan. Jakarta.
membakar jiwa rakyat di Asia-Afrika dalam Tony Day dan Maya HT Liem (ed.). 2010. Cultures at
proses dekolonisasi. Niat untuk membangun War: The Cold War and Cultural Expression in Southeast
'blok ketiga' sebagai penyeimbang dua blok Asia. Cornell Southeast Asia Program Publication.
adidaya tak penah terwujud. Merosotnya Ithaca-New York.
10

PERINGATAN KAA KE-60:


DEKOLONISASI ATAU REKOLONISASI?
Alwi A Ardhana (Pengelola mediasastra.com)

Potret pengamanan peringatan 60 Tahun KAA (liputan6.com)

Pembuka
Salah satu hajatan besar negara ini di bawah kepemimpinan Jokowi – tentu di samping pernikahan
anak sulung sang presiden – adalah penyelenggaraan Peringatan Konferensi Asia-Afrika ke-60 di
Bandung. Tanpa perlu banyak googling, saya – dan mungkin sebagian besar masyarakat – akan
segera mendapatkan kesan bahwa hajatan ini sangat penting sehingga perlu dipersiapkan dengan
heboh oleh sang tuan rumah.
Salah satu bukti kehebohan yang saya tangkap dari membaca beberapa media ada pada sisi
pengamanan. Konon, ada pengerahan kekuatan besar-besaran gabungan TNI-Polri lengkap dengan
peralatannya. Dari pihak TNI kurang-lebih 13.000 personel dikerahkan dan jumlah tersebut
disokong dengan beberapa Sukhoi, F-16 dan kapal perang berpeluru kendali. Seakan tak mau kalah
dari saudara tuanya, Polri mengerahkan 10.000 personel – termasuk 3.000 Brimob di dalamnya.i Di
samping itu, kehebohan juga tampak dalam persiapan memberikan pelayanan dan kenyamanan
pada para delegasi asing. Itu terlihat dari pembangunan fasilitas baru seperti gazebo hingga
11

pengaturan menu makanan yang dianggap negara-negara berpenduduk mayoritas Islam


memunculkan ke-Indonesia-an. Di titik ini, lainnya–dituduh memiliki jaringan teroris yang
peran-serta masyarakat digalakkan, terutama kuat. Tuduhan yang disokong dengan
pada usaha mempercantik kota Bandung diberikannya bantuan dari beberapa negara
seperti pengecatan-ulang sejumlah bangunan Barat seperti Amerika Serikat dan Australia ke
di sekitar gedung Asia-Afrika. Dengan Indonesia ketika membentuk Detasemen 88
kehebohan ini tentu dana yang dikucurkan dari Anti-teror di masa Da'i Bachtiar. Selain itu,
pusat tak main-main. Kabarnya, total biaya sudah beberapa kali Indonesia mendapatkan
penyelenggaran hajatan nasional ini mencapai predikat travel warning.
200 M dan dana sebesar ini diambil dari APBN.
Jumlah yang tak sedikit ini jelas menunjukkan Kedua, Indonesia merupakan wilayah yang
bahwa Indonesia serius. nyaman dan penuh keramahan. Demi
terbangunnya wacana ini, banyak gedung-
Lantas, dengan segala kehebohan di sisi gedung di sekitar Gedung Asia-Afrika yang
persiapan ini, apa yang dilihat Indonesia dari dipugar. Banyak tenaga–baik dari aparat
peringatan ke-60 KAA? Bagaimana pemerintah maupun masyarakat umum–yang dikerahkan.
memposisikan diri di dalamnya dan apa Selain terkait dengan pemugaran, yang
ideologinya? Apakah posisinya sama antara menjadi fokus adalah penguraian kemacetan.
KAA di tahun ini dengan perhelatan serupa 60 Tujuan dikerahkannya begitu banyak personel
tahun yang lalu? Dan yang terpenting, apa Polri ini tidak lain untuk menghilangkan tradisi
semua persiapan ini menjamin warisan- macet di Bandung paling tidak selama acara
warisan terpenting KAA seperti semangat peringatan berlangsung (19-25 April). Satu hal
dekolonisasi dan anti-imperalisme tetap lagi, untuk memperkuat kesan ini, jalanan kota
hidup? Untuk menjawab pertanyaan- Bandung – terutama yang menjadi rute para
pertanyaan ini, saya akan memulai dengan delegasi – akan disterilkan. Sungguh nyaman.
mencari posisi KAA di mata Indonesia – dulu
dan sekarang – dengan membandingkan Ketiga, Indonesia merupakan negara dengan
wacana yang muncul selama masa persiapan bentuk-bentuk kebudayaan yang unik dan
ini. Setelah itu, saya ingin mengetahui apakah menarik. Wacana ini saya tangkap - salah
wacana-wacana di sekitar peringatan KAA ke- satunya - ketika mengetahui bahwa hidangan
60 ini selaras dengan semangat KAA tahun yang akan disajikan di beberapa makan siang
1955. adalah makanan tradisional (Sunda). Bahkan
untuk memastikan kualitasnya, Aher – sapaan
Peringatan KAA – taman wisata bertema kampanye Gubernur Jawa Barat – turun
politik langsung untuk menjadi food tester-nya. Tidak
hanya itu, beberapa hiburan untuk para
Saya akan memulai dari pembacaan wacana delegasi yang terdiri dari kesenian tradisional
dalam persiapan peringatan KAA ke-60. Dari juga telah dipersiapkan oleh Departemen
beberapa sumber yang saya baca, paling tidak Kebudayaan dan Pariwisata.
ada tiga wacana yang coba dibangun lewat
persiapan-persiapan yang telah disebutkan di Kemunculan ketiga wacana ini, menurut saya,
atas. Pertama, Indonesia sebagai daerah yang tidak lepas dari sebuah ideologi dominan di
aman untuk penyelenggaraan world-class Indonesia saat ini–pariwisata. Konsep ideologi
event. Meskipun saya bukan ekonom, secara di sini yang saya ikuti adalah konseptualisasi
kasar, pengerahan kekuatan dari TNI-Polri yang Slavoj Zizek bahwa ideologi adalah praktek dan
sebesar itu tentu paling tidak memakan sudut pandang keseharian yang kita kira
sepertiga dari total anggaran kegiatan (200 M) subjektif, karenanya kita terus-menerus secara
itu. Saya rasa ini wacana yang paling penting. massal lakukan. Dengan begitu, lubang-lubang
Alasannya sederhana; Indonesia adalah negara logika ideologi tak hadir dalam kesadaran kita
yang dapat dengan mudah–beserta dengan ketika mempraktekkannya. Nah, kenapa saya
12

Simulasi pengamanan menjelang KAA 2015 (tribunnews.com)

berpendapat bahwa ideologi penyelenggaraan menggunakan nalar kuliner masa kini. Sudah
peringatan KAA ini adalah pariwisata tidak lain tak ada yang tradisional di titik tersebut.
karena pemerintah sangat patuh pada ideologi Artinya, tak penting sesungguhnya rasa 'aman'
ini; sebuah kondisi yang terlihat dari tak atau 'kemajemukan kultural' ini. Yang penting
digubrisnya kontradiksi dan permasalahan adalah para tamu senang karena nalar utama
yang nyata adanya. pariwisata adalah menyenangkan orang lain –
memenuhi imajinasi orang lain atas diri kita.
Salah satu kontradiksi yang tak diambil pusing
terkait dengan rasa 'aman'. Rasa 'aman' di sini Peringatan KAA sebagai situs wisata di
ditonjolkan dengan pengerahan kekuatan hadapan Bandung Spirit
militer besar-besaran – sesuatu yang
sebenarnya lebih menunjukkan bagaimana tak Dalam konstelasi pemikiran pascakolonialisme,
amannya Indonesia. Alasannya pengerahan konsep pariwisata yang ada saat ini terutama
kekuatan sebesar itu di dalam ingatan di negara-negara Dunia Ketiga adalah sebuah
masyarakat Indonesia selalu terkait dengan konsep yang diletakkan dalam satu barisan
kondisi genting atau kacau seperti yang terjadi dengan praktek-praktek neo-kolonialisme
ketika Reformasi 1998 atau pembantaian lainnya seperti hegemoni multi-national
anggota PKI di tahun 1965-66. Artinya, corporation. Menurut C. Michael Hall dan
keamanan ini dimaksudkan bukan untuk rakyat Hazel Tucker, penulis sekaligus penyunting
Indonesia namun para tamu (orang asing) yang buku Tourism and Postcolonialism (2004) –
mungkin tak memiliki referensi semacam itu. pariwisata yang kita kenal adalah “echo of
Karenanya rasa aman ini adalah rasa aman colonial relationship”. Ketika menyatakan hal
semu. Hal yang serupa terjadi juga di wacana tersebut, salah satu alasan
ii yang digunakan
Indonesia sebagai negara yang majemuk adalah dijadikannya wilayah-wilayah di negara-
secara kultural. Bentuk-bentuk budaya yang negara bekas jajahan sebagai daerah wisata
akan ditonjolkan tentu merupakan bentuk- tak lepas dari penjajahan yang ada di masa
bentuk yang disetujui pemerintah plus bentuk lalu. Sebagai contoh, wilayah yang pertama
yang telah dimodifikasi. Saya tidak yakin kali menjadi
iii tujuan wisata di Indonesia adalah
bahwa makanan tradisional yang disajikan dan daerah-daerah di Pulau Jawa dan Bali. Hal
tarian yang disuguhkan masih dalam bentuk tersebut terjadi karena memang keduanya
telah lama diiklankan baik oleh Pemerintah
(nalar) aslinya. Mereka pasti telah disesuaikan.
Hindia-Belanda – lewat badan seperti Officiaal
Sebagai contoh, penyajiannya tentu telah
Vereeniging voor Touristen Verkeer yang
13

didirikan tahun 1908 – maupun oleh para dimulai dari forum KAA. Kedua kerjasama
pelancong (Basil Worsfold), pelukis (Fredericus tersebut dilakukan agar masing-masing negara
Du Chattel) maupun penulis (Hofhout). dapat bertahan dari godaan untuk bergabung
Dengan kondisi ini, di mana tepatnya dengan salah satu blok terutama Barat. Hal
pascakolonialitas semangat pariwisata tersebut diungkapkan oleh Gamal Abdul
peringatan KAA ini? Nasser yang tak ingin diintervensi pihak Barat.
Dengan kata lain, ada niatan untuk lepas dari
Untuk lebih jelasnya, saya akan melihat posisi cengkeraman Barat (dekolonisasi) dan bukan v
pariwisata ini dalam tiga ranah dalam studi rekolonisasi seperti yang hadir di semangat
pascakolonialisme: kontrol ekonomi-politik, pariwisata.
representasi dan aparatus ideologis negara.
Di sisi kontrol ekonomi, kemandirian ekonomi-iv Di sisi representasi, dengan semangat
politik adalah salah satu pembahasan utama pariwisata yang bertujuan menyenangkan
dalam studi pascakolonialisme. Tanpa orang lain, kita dipaksa terus menjadi liyan-
kemandirian ini sebuah negara tak akan nya. Wacana 'aman', 'nyaman' dan kaya akan
pernah lepas dari penjajahnya. Masalahnya, budaya ini tidak ubahnya bentuk lain dari
dengan pariwisata sebagai ujung tombak iklan-iklan wisata kolonial. Sejak masa kolonial,
pengais devisa, hal tersebut tidak akan pernah Indonesia seringkali digambarkan sebagai
terjadi. Pariwisata adalah sebuah jaringan surga dengan keindahan alam yang luar biasa.
global dimana suatu negara akan sangat Tengok saja komentar Comte de Beauvoir,
bergantung pada negara yang lebih kuat. bangsawan Perancis yang berlibur ke Jawa,
Contohnya, satu travel warning saja dari "jika ada orang-orang yang peka akan
sebuah negara besar, katakanlah Amerika keindahan alam, datanglah ke sini. Mereka
Serikat, dapat mengurangi jumlah turis yang akan menjadi bisu karena terpesona". Kini
tentu berdampak ke pemasukan negara. Itulah dengan segala daya dan upaya, kita terus
yang terjadi di masa-masa setelah Bom Bali I menjadi penghuni surga itu dan mewujudkan
vi
dan II. Pada kasus yang sedang saya bahas di imajinasi para pelancong.
tulisan ini, ketergantungan Indonesia terlihat
dari tamu undangan dan side forum Di KAA 1955, tidak ada semangat semacam itu.
peringatan KAA tahun ini. Di dalam forum KAA Memang di satu sisi penciptaan identitas
tahun ini, banyak CEO perusahaan-perusahaan Dunia Ketiga di KAA masih bermasalah karena
besar yang diundang. Mereka sedianya diberi dianggap melanggengkan pemetaan
forum tersendiri setelah peringatan KAA – kolonial–karena memang para penjajahlah
Asia-Africa Business Forum. Jadi, peringatan yang membagi-bagi wilayah Asia dan Afrika ke
KAA yang sangat heboh ini pada dasarnya dalam negara-negara–tapi identitas bentukan
bukan nostalgia semata, tapi salah satu cara ini digunakan untuk melawan penciptanya dan
bertahan Indonesia secara ekonomis dengan bukan memanjakan imajinasinya. Menariknya,
menonjolkan sisi pariwisatanya. Tanpa acara- position-taking semacam itu benar-benar
acara semacam ini, Indonesia terpaksa membuat negara-negara Barat kelimpungan.
menciptakan media sendiri sebagai ajang Sebagai contoh – kali ini saya ambil dari tulisan
promosi. Jason Parker di jurnal Diplomatic History –
Amerika Serikat sangat sulit mengambil posisi
Kembali ke KAA tahun 1955, bukannya tidak terhadap KAA. Pasalnya, di satu sisi, Amerika
ada motif pragmatis ekonomis seperti saat ini. Serikat memiliki kebutuhan untuk
Perjanjian ekonomi antar-negara tetap ada, membendung viipengaruh komunisme (Blok
tapi dengan praktek dan semangat yang Timur) di negara-negara Asia-Afrika. Namun, di
berbeda. Saya akan ambil contoh perjanjian sisi yang lain, jika Amerika Serikat terlibat,
jual beli senjata antara Mesir dan RRT serta apalagi sampai menyetujui KAA tersebut, ia
kerjasama pembangunan rel TAZARA antara akan kehilangan dukungan dari negara-negara
RRT, Tanzania dan Zambia yang memang Eropa bekas pemilik negara-negara Asia-Afrika
14

Simulasi pengamanan menjelang KAA 2015 Bandung oleh PASPAMPRES (beritadaerah.co.id)

ini. Karenanya, yang dapat dilakukan Amerika Sastrawan Asia-Afrika yang berjalan sampai
Serikat saat itu untuk membendung pengaruh dua kali (Uzbekistan 1958 dan Kairo 1962) dan
Blok Timur adalah dengan membuat ANZUS Festival Film Asia Afrika yang berjalan sampai
dan SEATO yang beranggotakan negara-negara tiga kali (Uzbekistan 1958, Kairo 1962 dan
di wilayah Asia. Indonesia 1964).
Di sisi yang ketiga – aparatus ideologis – saya
akan berfokus pada kebudayaan. Dalam Penutup
semangat pariwisatanya, bentuk-bentuk
budaya yang diangkat pemerintah adalah Dengan penelusuran ini, jelas bahwa KAA dan
bentuk-bentuk budaya yang dianggap peringatan ke-60-nya merupakan dua hal yang
tradisional seperti tarian dan makanan. Bagi berbeda. Visi dan misinya berjarak sangat jauh.
saya, kondisi ini mengingatkan pada kebiasaan Bahkan, kalau saya diperkenankan menggubah
raja-raja di Jawa yang menyambut tamu omongan Pramoedya, saya akan menyebut
gubermen-nya dengan tari-tarian. Di beberapa dua acara ini “berbeda sejak dalam pikiran”.
kartu pos dan iklan dari masa kolonial, figur Pada peringatan KAA ke-60 ini, semangat
penari Jawa dengan kostum lengkapnya adalah dekolonisasi yang menggebu-gebu yang lahir
hal yang lazim ditemui. Kondisinya berbeda di tahun 1955 hilang hampir tanpa bekas.
dengan yang ada di tahun 1955, bentuk- Bahkan yang terjadi, bagi saya, tepat
bentuk budaya yang diangkat memiliki standar sebaliknya – rekolonisasi. Wacana-wacana
yaitu anti-kolonialisme, anti-imperialisme dan yang coba dibangun di masa persiapan malah
anti-rasialisme. Acara-acara seni yang seperti berusaha mengembalikan wacana-
dijadwalkan di peringatan ke-60 ini tidak wacana kolonial dan mengamininya kembali.
memiliki standar semacam itu. Tidak ada Tampaknya Indonesia selalu siap kembali
penjelasan apa yang tradisional dan kenapa menjadi 'mooi' seperti di masa Hindia-
viii
pantas dipentaskan. Bukti keseriusan Belanda.
dekolonisasi KAA 1955 adalah dengan
membentuk konferensi-konferensi budaya
antar-negara Asia-Afrika seperti Konferensi
15

Sumber:
i
http://www.merdeka.com/foto/peristiwa/tni-kerahkan-16631-personel-untuk-amankan-
konferensi-asia-afrika.html, http://www.merdeka.com/peristiwa/jaga-kaa-tni-al-kerahkan-kapal-
perang-berpeluru-kendali.html, dan http://www.merdeka.com/peristiwa/f-16-dan-sukhoi-
dikerahkan-amankan-konferensi-asia-afrika.html
ii
Lih. (C. Michael Hall, 2004)
iii Ibid., hal. 2
iv Tiga ranah ini saya ambil dari diagram rumusan Stephen Selmon. Lih. (Bill Ashcroft, 1995, hal. 46)
v
(Wood, 2012)
vi
http://female.kompas.com/read/2009/10/01/14014935/catatan.pelancong.dan.pariwisata.
hindia.Belanda
vii Untuk informasi lebih jauh mengenai kegamangan politik luar negeri Amerika Serikat di masa

Perang Dingin terutama terkait dengan KAA lih. (Parker, 2006)


viii Untuk infromasi lebih lanjut tentang forum-forum dan bentuk-bentuk seni dan budaya yang

digalakkan semasa KAA lih. (Muhidin Dahlan, 2008)


16

KPAA:
SEBAGAI PERSIMPANGAN SEJARAH
DALAM RELASI EQUATOR
Hersri Setiawan

KPAA 12-13 Juli 1963, Sekjen Senanayake, rapat di Jakarta. Tampak pula dalam gambar Sitor
Situmorang. foto, Oey Hay Djoen-ISSI (arusbawah20.wordpress)

[Ketika pertama kali disebarkan pada tahun 2003, tulisan ini bertujuan untuk menanggapi
sebuah tulisan lain berjudul “Obrolan Malam KPAA” yang dibuat Sobron Aidit dan Z. Afif. Setelah
disebarkan melalui berbagai jaringan situs, tulisan ini ditulis ulang untuk dibagikan melalui
Facebook pada tahun 2012.]
(Tim editor newsletter Biennale Jogja XII memilih untuk menyunting dan memuat kembali tulisan
Hersri Setiawan ini karena pemaparan informasi yang sangat kaya mengenai tegangan yang
berlangsung dalam relasi geopolitis di antara negara Asia Afrika (termasuk negara yang dilalui
garis equator) setelah penyelenggraaan Konferensi Asia Afrika. Dan yang tidak kalah penting juga
soal Konferensi Pengarang Asia Afrika yang tidak pernah disebutkan dalam narasi sejarah
Indonesia.)
17

Mengutuk kolonialisme dalam segala dengan diterjemahkan ke berbagai bidang


pernyataannya! yang dipandang perlu dan bisa dilaksanakan.
Maka lantas lahir berbagai gerakan Asia-Afrika
Ini adalah konsensus yang dicapai oleh yang menetapkan tempat dan kedudukannya
Konferensi Bandung, atau yang lebih dikenal masing-masing, yaitu biro solidaritas rakyat di
sebagai Konferensi Asia Afrika yang Kairo, Republik Persatuan Arab (United Arab
diselenggarakan di Bandung pada tanggal 18 Republic, nama Mesir saat itu), wakil Indonesia
hingga 24 April 1955. Konferensi Bandung di sini Ibrahim Isa; biro pengarang di Kolombo,
ialah konferensinya negara-negara Asia dan Srilangka, wakil Indonesia Rivai Apin /
Afrika yang diprakarsai bersama oleh lima Setiawan Hs; biro wartawan di Jakarta,
negara: Indonesia (Ali Sastroamidjojo), Burma Indonesia, wakil Indonesia Joesoef Isak; biro
(sekarang Myanmar: U Nu), India (Pandit ahli hukum di Konakri, Guinea, wakil Indonesia
Jawaharlal Nehru), Pakistan (Mohamad Ali) Wiyanto SH; biro ekonomi, juga di Kolombo,
dan Srilangka (Sir John Kotelawala). Dihadiri wakil Indonesia Ridwan Basyar. Masih ada satu
oleh utusan dari 29 negara-negara Asia Afrika, biro lagi yang masih dalam proses penjajakan
yang ketika itu mewakili separuh lebih dari tapi urung berdiri, yaitu biro buruh yang
jumlah seluruh penduduk dunia. agaknya direncanakan juga di Kolombo,
Adapun suara dominan konferensi mengingat besarnya pengaruh organisasi
mencerminkan ketidakpuasan lima negara buruh perkebunan (yang bersemangat tinggi
pemrakarsa terhadap keengganan negara- “anti-remo”) di bawah pimpinan N.
negara Barat untuk memandang negara- Sanmugathasan. Pada sidang-sidang
negara Asia Afrika sebagai mitra berunding, pendahuluan biro buruh ini, Indonesia diwakili
tentang langkah dan kebijakan mereka yang oleh Achadiat dari Denas Sobsi (Dewan
berdampak pada bangsa-bangsa yang baru Nasional Serikat Organisasi Buruh Seluruh
merdeka, dan yang sedang berjuang untuk Indonesia). [Bahwasanya biro buruh Asia
merdeka di dua benua itu. KAA menyatakan Afrika ini urung berdiri mungkin karena faktor
keprihatinannya melihat ketegangan hubungan adanya WFTU (World Federation of Trade
antara RRT (Republik Rakyat Tiongkok, yang di Unions; Federasi Serikat-Serikat Buruh se-
Indonesia sekarang lebih dikenal dengan Dunia), di samping gerakan buruh yang
sebutan China) dengan Amerika Serikat. KAA terorganisasi di banyak negeri Asia dan apa
menentang keras kolonialisme, terutama lagi Afrika yang masih terlalu lemah pada saat
pengaruh Perancis di Afrika Utara; dan itu.]
Indonesia memperingatkan dunia tentang Konferensi Bandung telah menunjukkan
pertikaiannya dengan Belanda karena masalah kelahiran kekuatan baru (new emerging forces)
Irian Barat. yang digalang oleh negara-negara Asia Afrika.
Perdebatan sengit sidang umum konferensi Kekuatan baru ini telah mengancam posisi
juga berkisar pada masalah, apakah politik Uni kekuatan-kekuatan lama, termasuk negara
Soviet di Eropa Timur dan Asia Tengah harus Barat dan Uni Soviet. Bagi Uni Soviet, cara
dikecam sebagai sesuatu yang sejalan dengan untuk menghadapi kekuatan baru ini adalah
kolonialisme Barat? Konsensus sidang tercapai, dengan merebut kembali inisiatif. Maka
dirangkum dalam rumusan kalimat yang Konferensi Pengarang Asia-Afrika yang
menyatakan: bahwa "kolonialisme dalam pertama pun akhirnya diselenggarakan pada
segala pernyataannya" (colonialism in all of its bulan Oktober 1958 dan justru dipilih kota
manifestations) harus dikutuk. Sepatah Tashkent, di Uni Soviet (sekarang menjadi ibu
rumusan yang secara implisit mengecam, baik kota Uzbekistan)! Mengapa justru Tashkent?
Uni Soviet maupun negara-negara Barat. Ini tentu saja sambil membuat suatu gebrakan
Usai Konferensi Asia Afrika, semangat dan inisiatif, sekaligus sambil [–istilah orang
konsensus yang tercipta segera ditindaklanjuti Betawi–'meng-kik-balik' atau] menendang
18

kembali kecaman dan tuduhan 'Bandung', Melihat kiprah Indonesia yang semakin
yaitu bahwasanya Uni Soviet memainkan 'bermanis-manis' dengan Beijing, Uni Soviet
politik kolonialisme atas Eropa Timur dan Asia lalu mengeluarkan 'jurus belut putih' untuk
Tengah! berkelit! Ia menyelenggarakan Konferensi
Seniman Asia-Afrika di Kairo, Februari 1962
Pada sidang Tashkent ini delegasi Indonesia (Afro-Asian Artists' Conference, bukan
[kalau aku tidak salah ingat) dipimpin oleh Writers'). Yang lebih menarik lagi dari
Pramoedya Ananta Toer dan Sitor Situmorang. Indonesia, Soviet selain mengundang seniman-
Pada konferensi yang pertama ini belum seniman Lekra (dalam hal ini diwakili oleh
ditetapkan di mana tempat kedudukan Biro Joebaar dan Pramoedya), juga mengundang
Pengarang Asia-Afrika. Namun sejak itu tokoh-tokoh seniman yang non- dan bahkan
Indonesia (baca: terutama Lekra) tampaknya yang anti-Lekra!
tidak ingin kecolongan. Aksi-kontra-aksi lalu
terjadi dalam hubungan antara Indonesia-Uni Entah bagaimana jalannya persidangan
Soviet dan Indonesia-RRT] Joebaar Ajoeb dan berlangsung [tentang ini tentu masih bisa
S. Anantaguna menghadiri konferensi dibaca kembali di "HR Kebudayaan" edisi
pengarang Uni Soviet di Moskow pada Juli sesudah konferensi tersebut (saya percaya bisa
1959. Sedangkan Uni Soviet mengirim delegasi kita temukan, antara lain, di Perpustakaan
pengarangnya menghadiri Sidang Pleno Universitas Monash Melbourne, IISG
Pimpinan Pusat Lekra di Jakarta, bulan Juli Amsterdam, dan perpustakaan Cornell
1961. Lekra menerima delegasi kebudayaan University, New York).T] tapi jelas, bahwa
RRT di Indonesia pada Mei 1961, sebaliknya Indonesia dan sekutu-sekutunya berhasil
RRT di tahun yang sama menerima delegasi membawa konferensi ke relnya semula.
pelukis Lekra yang datang untuk menghadiri 'Konferensi Kairo' lalu menjadi konferensi
festival kesenian di sana. kedua sesudah 'Konferensi Tashkent' sebagai
konferensi pertama.

KPAA 1963, Hersri Setiawan ketiga dari kiri. foto, Oey Hay Djoen-ISSI (arusbawah20.wordpress)
19

Barangkali, untuk mencegah kemungkinan sudah ditapolkan. Di RRT, Revolusi Kebudayaan


akan digunakannya kembali 'jurus belut putih' sudah dimaklumkan (Februari 1966).
di kemudian hari, maka 'Konferensi Kairo' lalu Walaupun begitu aku tidak hendak
diikat oleh beberapa ketentuan berikut. Di mengatakan, apakah 'Sidang Beijing' itu sukses
antaranya yang terpenting yaitu, pertama: besar, sekedar mencapai tuntutan minimum,
ditetapkan adanya Komite Eksekutif untuk setengah gagal, ataukah malah gagal total.
Konferensi Pengarang Asia Afrika yang terdiri Karena untuk itu perlu ditetapkan terlebih
dari tiga belas negeri (dari Asia antara lain: dulu, batu-timbang apa yang hendak dipakai
Indonesia, Tiongkok, Srilanka dan India; dan sebagai standar pengukur.
dari Afrika antara lain: UAR (United Arab
Republic, nama Mesir ketika itu), Sudan, Tapi kalau kita bertolak dari atribut 'AA'
Ghana, dan Aljazair); dan kedua: ditetapkan sebagaimana mula-jadinya, tentu saja hasil
adanya Biro Tetap untuk Konferensi Pengarang terakhir takaran kita akan menunjukkan:
A-A (Permanent Bureau of the Afro-Asian Sidang Beijing itu sudah gagal sebelum dimulai.
Writers' Conference), yang berkedudukan di Mengapa? Hakikat 'AA' itu Semangat Bandung.
Kolombo, Srilanka. Dengan demikian, gagallah Dan Semangat Bandung ialah semangat 'bebas
rencana Uni Soviet untuk menetapkan Kairo aktif'. Dipilihnya Beijing sebagai tempat Sidang
sebagai pusat gerakan pengarang Asia Darurat itu sendiri, sudah menjadi petunjuk
Afrika–seperti diketahui, pada masa itu politik tidak adanya semangat 'bebas aktif'. Aku tidak
luar negeri UAR cenderung memihak blok tahu, tapi aku bisa pastikan, pada sidang ini
Timur ketimbang Nonblok atau Bebas-Aktif tidak mungkin hadir delegasi pengarang Uni
seperti Indonesia. Soviet bersama dengan pengarang-pengarang
berbagai negeri Asia-Afrika yang dipandang
Kembali dari 'Konferensi Kairo' Joebaar Ajoeb 'satelit' Soviet. 'Satelit besar' Uni Soviet untuk
lalu segera berbenah diri. Tentu saja agar tidak Asia Selatan ialah India, untuk Asia Tenggara
terjadi lagi pengalaman seperti dalam Vietnam, untuk Afrika 'Putih' UAR, untuk Afrika
'Konferensi Kairo', di mana utusan Lekra harus 'Hitam' Angola.
duduk dalam satu delegasi dengan wakil-wakil
utusan yang anti-Lekra. Maka dibentuklah Sidang KPAA Beijing dengan begitu hanya
sebuah badan di Jakarta yang bernama 'Komite menambah siraman minyak pada api 'varian
Nasional Indonesia Untuk Konferensi Perang Dingin', yaitu perang baru antara Uni
Pengarang Asia-Afrika' (Komite Nasional Soviet dan RRT. Di dalamnya RRT sudah
Indonesia untuk KPAA) dan berkantor di Jalan menuliskan musuh pertama dunia bukan lagi
Cidurian 19, Jakarta. AS tapi US. Bukan Amerika Serikat, tapi Uni
Soviet! Kita, gerakan 'A-A', diminta berdiri di
Peristiwa September 1965 terjadi dan disusul belakang barisan “Revolusi Dunia” RRT.
dengan penangkapan terhadap orang-orang Barangsiapa tidak mau, tidak ada kata ampun.
yang dituduh simpatisan PKI dan komunis. Para
anggota Komite Nasional Indonesia untuk Apakah itu gagal total? Sekali lagi aku katakan:
KPAA bersama dengan ratusan ribu orang bergantung pada batu timbang apa hendak
lainnya turut menjadi korban dalam tragedi dipakai sebagai standar pengukur. Standar
kemanusiaan ini. Pada akhir September 1965 pengukur Semangat Bandung jelas sudah
atau definitif pada 11 Maret 1966, Semangat padam. Maka karenanya, barangkali, para
Bandung telah dibikin padam dari jantungnya pengarang RRT, Indonesia dan Srilangka sedang
Asia-Afrika itu sendiri. Dalam suasana dalam niat mencari format baru standar itu?
demikian itulah 'Sidang Darurat KPAA' Satu format yang sama sekali terlepas dari
diselenggarakan di Beijing tahun 1966. Apakah format masa lalu. Aku tidak tahu. Kawan-
itu bulan Juli? Entah bulan apa, tapi aku yakin kawan peserta 'Konferensi KPAA Beijing' itulah
pasti sesudah Supersemar. Itu berarti di yang tahu: apa yang menjadi diskusi di
Indonesia, Kampiun Afro-Asia, Bung Karno belakang layar ketika itu.
20

Namun begitu, apa pun dulu yang pernah direncanakan, sejarah kemudian telah menunjukkan,
bahwa semuanya berakhir pada kegagalan total! Kalau ada yang keberatan istilah 'total', paling
tidak 'amat sangat parah', sehingga seperti tidak teramalkan, kapan kiranya kehancuran itu bisa
dibangun kembali!
Jadi sesungguhnya Surat Budaya ini kutulis tidak dengan maksud mencari mana benar mana salah.
Melainkan sekadar catatan peristiwa sejarah yang sudah terjadi. Peristiwa-peristiwa itu ibarat
bentangan panorama di lembah bawah sana. Sementara kita mendaki lereng gunung-gunung
sejarah yang semakin tinggi dan semakin tinggi. Berhenti kita terkadang sejurus. Berpaling ke
panorama lembah yang indah. Percik-percik keringat, airmata, dan bahkan darah yang telah
menjadi pupuk kesuburan dan keindahan panorama sejarah itu tidak menampak oleh mata, tapi
tidak terlupakan bagi siapapun yang pernah mengalaminya.***
21

PERLUKAH MENGHADIRKAN
‘SANG LIYAN’?
REKONTEKSTUALISASI KONFERENSI ASIA AFRIKA
DAN JOGJA BIENNALE EQUATOR #3
Arie Setyaningrum Pamungkas (staf pengajar di Departemen Sosiologi, UGM,
aktivis budaya dan pengamat seni rupa)

Para pemimpin dan perwakilan negara peserta KAA 2015 berfoto bersama (liputan6.com)

Saya memilih judul pembuka 'Perlukah Menghadirkan Sang Liyan?' sebagai sebuah pertanyaan
retoris yang akan saya jabarkan dengan mengaitkan dua momentum yang berlangsung pada 2015.
Pertama adalah peringatan ke 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) pada pertengahan April 2015
dan kedua, penyelenggaraan Jogja Biennale Equator#3 pada akhir tahun 2015. Kedua momentum
ini menempatkan konteks singgungan (tangible context) khususnya antara Indonesia dan Afrika.
Lantas apa pentingnya mengaitkan peringatan KAA ke 60 dengan penyelenggaraan Jogja Biennale
Equator#3? Apakah semangat KAA masih cukup relevan untuk menempatkan konteks kesejarahan
negara-negara pascakolonial ini secara tematik ke dalam kegiatan atau aktivitas Jogja Biennale
Equator? Mari kita telaah konteks singgungan ini dengan menempatkan gagasan keberadaan 'Sang
Liyan' (Otherness) yang secara esensial merupakan spirit (ruh penyemangat) dalam
penyelenggaraan keduanya.
22

Penyambutan delegasi negara-negara peserta KAA 1955 Bandung (berdikarionline.com)

Rekontekstualiasasi KAA: Redefinisi Konteks nampaknya masih dibayang-bayangi logika


Pascakolonial di Era Pasar Bebas melawan dominasi kolonialisme 'Barat', tetapi
sesungguhnya menyembunyikan potensi yang
Dalam edisi Newsletter The Equator edisi 5 Mei rapuh, khususnya ketika eksplorasi pada
2014, Sayfa Auliya Achidsti secara kritis sumber daya manusia dan alam diarahkan
mencermati penyelenggaraan KAA yang hanya semata-mata untuk kepentingan 'market-
merupakan nostalgia masa lalu dan driven', yakni tetap mengapropriasi logika neo-
menyisakan beban tugas diplomasi dan kapitalisme yang dijalankan di era pasar bebas.
kerjasama yang masih belum strategis di Dalam konteks ini, penyelenggaraan KAA lebih
antara negara-negara Asia-Afrika khususnya diutamakan pada bagaimana mengoptimalkan
dalam menghadapi kompetisi di dalam sistem peran masing-masing pemerintah untuk
pasar bebas. Meskipun dalam memenuhi tuntutan kompetisi pasar bebas
penyelenggaraan peringatan ke 60 tahun KAA dunia. Padahal dalam kenyataannya, 60 tahun
pada bulan April 2015 ini pemerintah setelah deklarasi Bandung itu banyak terjadi
Indonesia menawarkan suatu skema perubahan pada peta geopolitik, geososial,
kemitraan, khususnya dalam peningkatan geoekonomi dan lanskap kultural pada setiap
strategi pembangunan ekonomi antarnegara- negara bangsa peserta KAA.
negara peserta KAA (NAASP –New Asian-
African Strategic Partnership), sesungguhnya Pertama, rekontesktualisasi penyelenggaraan
nuansa romantisme masa lalu sebagai ikatan KAA belum mengkritisi peranan aktor dan
simbolis masih terasa kental. Hal ini nampak agensi yang selama 60 tahun hampir luput dari
pada upaya untuk meletakkan posisi sejarah pembahasan politik dan pemberdayaan sosial
politik dekolonisasi negara-negara peserta KAA di negara-negara berkembang, yakni para aktor
sebagai landasan moral etis bagi eksplorasi dan agensi korporasi khususnya korporasi
sumber daya ekonomi baru antar-negara global. Dalam konteks ini, pemerintah di
peserta KAA dalam menghadapi kekuatan negara-negara peserta KAA masih berposisi
pasar dunia. Suatu landasan moral etis yang sebagai agen yang pasif dan hanya
23

menempatkan agenda pertumbuhan ekonomi Selatan) seakan-akan masih nampak sebagai


ketimbang implikasi sosial, kultural dan agen yang pasif–karakter FDI selain pada
ekologis dari eksploitasi sumber daya alam eksploitasi sumber daya alam juga ditujukan
secara massif yang ditujukan untuk mengejar untuk menjadikan kawasan Afrika sebagai
angka pertumbuhan ekonomi. Pemerintah di target pasar baru. Dengan kata lain, investasi
masing-masing negara peserta KAA belum itu dijalankan dengan mempertimbangkan
memiliki komitmen untuk melihat sejauh mana pertumbuhan demografi di Afrika sebagai
tanggung jawab korporasi global terkait pasar yang besar, prospek konsumen baru bagi
keterlibatan mereka di dalam penanaman berbagai produk di pasar bebas.
modal yang berimplikasi pada lingkungan
ekologis, sosial, dan budaya. Hal ini nyaris Berbeda dengan sejarah penanaman modal
luput dari agenda pembahasan Barat di Afrika yang erat kaitannya dengan
penyelengaraan ke 60 tahun KAA, padahal peta sejarah kolonialisme dimana eksploitasi alam
geopolitik dunia saat ini sudah tidak lagi dan manusia dijalankan secara represif,
dibayangi oleh kekuatan blok-blok ideologi investasi Cina di Afrika justru dilatarbelakangi
nation-state (blok sekutu-blok oleh semangat Gerakan Non-Blok. Pemerintah
sosialisme/komunisme) sebagaimana 60 tahun Cina hanya memfasilitasi investor-investor Cina
yang lalu. Dalam konteks ini, redefinisi yang ingin menanamkan modal di Afrika tanpa
semangat KAA yang menekankan pada aspek membebani pemerintahan di negara-negara
dekolonialisasi sudah seharusnya Afrika dengan persyaratan ideologis di dalam
menempatkan aspek kebudayaan bangsa- proses diplomasinya–sesuatu yang coba ditiru
bangsa pascakolonial, bukan semata pada oleh pemerintah Indonesia melalui penjajakan
tuntutan mengejar keuntungan kompetisi NAASP. Ironisnya, dalam penjajakan kerjasama
pasar bebas dalam ukuran investasi ekonomi dengan negara-negara Afrika,
penanaman modal asing dan pendapatan pemerintah Indonesia justru menggunakan
domestik suatu negara yang semu, sebab platform yang hampir sama dengan model FDI
kerangka politik developmentalisme ini tidak ala negara-negara Barat, yakni investasi pada
sepenuhnya menjangkau partisipasi lokal dan eksplorasi pada sumber daya mineral, bukan
kreativitas yang berbasis pada keseimbangan pada alternatif pembangunan berkelanjutan
sumber daya dan lingkungan ekologis. Laporan (sustainable development).
Bank Dunia mengenai FDI (Foreign Direct
Investasi Cina, khususnya pada pengembangan
Investment) pada awal tahun 2000
industri agribisnis di Afrika sepertinya menjadi
menunjukkan bahwa penanaman modal asing
semacam model bagi banyak negara-negara
di negara-negara Afrika lebih didasari atas
pascakolonial lainnya selain tetap berfokus
seleksi kekayaan sumber daya alam (industri
pada eksplorasi sumber daya alam dan
minyak dan mineral misalnya), seperti
mineral. Kemitraan negara-negara Afrika dalam
contohnya yang berkembang di Nigeria, Afrika
investasi dengan Cina juga dibarengi oleh
Selatan, dan Ghana ketimbang pengembangan
pembangunan infrastruktur melalui
industri berbasis padat karya seperti pertanian
peningkatan pinjaman luar negeri, contohnya
dan industri kreatif berbasis rumah tangga.
pada 2005 bantuan lunak pemerintah Cina
Sementara itu, dalam dua dekade terakhir ini,
berjumlah 800 juta USD dan pada tahun 2012
peranan FDI di beberapa negara Afrika mulai
meningkat menjadi 10 milyar USD (Ayodele
memasuki babak baru ketika investor dari
dan Sotola, 2014:5). Meski demikian, tidak bisa
negara-negara pascakolonial yang mulai
dipungkiri bahwa kepentingan strategis Cina
menjadi pemain dalam kekuatan ekonomi
melalui investasi di negara-negara Afrika
dunia, seperti Cina, Malaysia, dan Uni Emirat
memang lebih banyak dilatarbelakangi oleh
Arab yang juga ikut melirik potensi investasi di
motif serupa, yakni memperoleh sumber daya
beberapa wilayah Afrika. Meski demikian, lagi-
alam dalam bentuk raw material (terutama
lagi banyak negara di Afrika (kecuali Afrika
24

Ketua KADIN Indonesia Suryo Bambang


memberikan sambutan dalam Asian African
Business Summit 2015 (beritadaerah.co.id)

minyak bumi) dengan harga yang murah peserta KAA. Dalam konteks ini, kebudayaan
(ibid:6). yang bersifat komplementer lebih menjadi
atribut pelengkap tujuan atau motivasi
Dalam dua dasawarsa terakhir, implikasi kerjasama ekonomi yang bias 'market-driven'
penanaman modal asing oleh negara-negara tadi. Di titik ini, pergeseran ideologi nation-
pascakolonial (non-Western) di Afrika bukan state seperti nasionalisme sudah mulai usang
hanya mempengaruhi bagaimana relasi politik dan mendapat tantangan baru dari tumbuhnya
pemerintah di negara-negara tersebut, berbagai bentuk ideologi yang bersifat
melainkan juga mengubah reproduksi sosial transnasional, seperti misalnya paham-paham
dan lanskap kultural di Afrika seperti pola-pola radikalisme berbasis keagamaan.
konsumsi mereka. Pembahasan mengenai
strategi ketahanan pangan yang berbasis pada Tragedi dan konflik berdarah yang akhir-akhir
tradisi lokal misalnya, justru luput dari agenda ini berlangsung di beberapa negara Afrika
kemitraan negara-negara peserta peringatan sepertinya masih belum menjadi perhatian
KAA ke 60 di tahun 2015 ini. diplomasi pemerintah Indonesia. Padahal,
dalam era globalisasi, pertarungan ideologis
Kedua, strategi kebudayaan dan upaya untuk kini justru dimotivasi oleh isu-isu ketimpangan
mengembangkan kerjasama budaya dalam sosial dan upaya segelintir elit untuk terus
peringatan KAA ke 60 lebih dimaknai sebagai berkuasa dengan menggunakan wacana
pelengkap (komplementer) saja, bukan sebagai perlawanan yang berbasis pada ketidakadilan
sesuatu yang secara esensial menjadi sosial. Dalam konteks inilah seakan-akan ada
eksplorasi 'baru' bagi reproduksi sosial yang benang yang terputus di antara negara-negara
bersifat mutual di antara negara-negara Asia-Afrika, dimana dalam imaji kita masih
25

Delegasi dari Cina tampil di acara Parade Asia Afrika


(tribunnews.com) Pernak-pernik peringatan KAA ke 60 (tribunnews.com)

didominasi oleh wacana yang justru bersumber Indonesia nyaris buta dengan perkembangan
dari sejarah kolonialisme. Dengan kata lain, budaya dan reproduksi sosial di Afrika. Berita
kita di Indonesia hampir buta atau kurang dan wacana mengenai Afrika yang kita
mengenal sejarah budaya dan perkembangan konsumsi melalui media hanya merupakan
sosial masyarakat di Afrika yang juga majemuk. reproduksi dari apa yang menjadi kepentingan
Semangat KAA pada masa kini sudah media arus utama di dunia. Dengan kata lain,
seharusnya ditempatkan pada esensi awalnya, kita memandang Afrika dengan stigma
yakni mengupayakan kemandirian bangsa- tertentu. Baik mengenai eksotisme Afrika,
bangsa di 'Dunia Ketiga', bukan sekadar maupun posisi mereka yang minor di dalam
'survive' di dalam era kompetisi pasar bebas, peta ekonomi dan politik global. Padahal,
melainkan juga pada upaya untuk berbagi persoalan kemanusian dan keseharian yang
pengetahuan mengenai resiko sosial, politik dijalani di seluruh dunia ini terpengaruh oleh
dan ekologis yang harus dihadapi bangsa- modernitas. Suku-suku di pedalaman Afrika
bangsa di Asia dan Afrika dalam menjalani pun ikut terpengaruh pada perubahan
perubahan pola relasi dominasi kekuasaan di reproduksi sosial secara global. Apa yang
dunia dan cara-cara mengatasinya. mereka makan bisa jadi sama atau hampir
serupa dengan yang kita makan sehari-hari.
Menengok Afrika: Sang Liyan yang Tercecer Begitu pula hal-hal lain semisal dalam
dan Penyelenggaraan Jogja Biennale pencapaian cita-cita setiap individunya.
Equator#3
Upaya dekolonialisasi melalui kemandirian
Sebagaimana yang telah saya kemukakan bangsa-bangsa Asia dan Afrika sebagaimana
sebelumnya, fokus pada strategi kebudayaan yang menjadi landasan moralitas etis KAA di
merupakan hal yang tercecer dalam Bandung, enampuluh tahun yang silam,
penyelenggaraan peringatan KAA ke 60 di merupakan upaya untuk menghadirkan
Bandung pada bulan April 2015 ini. Jika oleh keberadaan 'Sang Liyan' sebagai tali pengikat
beberapa pihak terkait peringatan itu dianggap atas dasar kesamaan nasib dan kini
bukan sekadar momentum nostalgia, membutuhkan rekontekstualisasi. Meski
melainkan juga menawarkan agenda kerjasama demikian, kita tidak lagi bisa semata-mata
politik dan ekonomi melalui platform baru, memandang 'Barat' sepenuhnya sebagai agen
sesungguhnya tak ada yang benar-benar baru penerus bentuk-bentuk kolonialisme baru,
di sana. Relasi dominasi pengetahuan sebab aktor atau agen yang terlibat di dalam
sebagaimana yang menjadi 'mode of peta ekonomi dan politik dunia tidak lagi
production' (cara-cara berproduksi) dari masa mengenal batasan geopolitik, entah teritori
kolonial nampak tetap berlanjut. Kita di ataupun ideologi nasionalisme.
26

Di sisi lain, keberadaan 'sang liyan' sebagai Afrika serta kesamaan-kesamaan apa yang juga
suatu citra pembeda tetap dibutuhkan di dialami di dalam konteks Indonesia. Hal ini
dalam memformulasikan strategi kebudayaan, menjadi penting dikarenakan seni rupa
karena itulah yang menghadirkan konteks merupakan medium berkesenian yang sangat
sejarah yang mengacu pada penanda tertentu dekat dengan pelembagaan sosial, ekonomi,
yang bersifat monumental dan narasi yang dan politik suatu negara-bangsa. Kedua,
mewakili ekspresi kemanusiaan dan perubahan mengenai tema gerakan sosial dan politik yang
lingkungannya. Tetapi, apakah kita cukup mempengaruhi ekspresi berkesenian sehingga
memiliki pengetahuan tentang Afrika? Sebagai memberi corak pada berbagai 'genre dan style'
modal awal kita perlu menjelajahi seni rupa Afrika modern kini dan relasinya
kebudayaannya. dengan sejarah globalisasi di Afrika dan Asia
khususnya. Ketiga, tema mengenai pertemuan
Seburuk apapun sejarah kolonialisme yang yang melintasi batas teritori dan nasionalisme,
pernah berlangsung di benua Asia dan Afrika, semisal bagaimana pengaruh kolonialisme di
setidaknya jejak pengetahuan yang dalam perkembangan wacana atau praktek
ditinggalkannya memberi kita peta awal seni rupa termasuk yang dijalankan oleh
perihal bagaimana kita mulai untuk saling komunitas diaspora dan bagaimana praktek
'mengenal' satu sama lain. Hampir tak atau wacana seni rupa modern menjadi ruang
terbantahkan bahwa pengetahuan, termasuk alternatif baru dan bahkan medium aktivisme
mengenai keragaman budaya dan ekspresi seni dalam mengekspresikan komplesitas
di negara-negara koloni juga menjadi kekayaan kemanusiaan, khususnya di wilayah yang kini
yang hingga kini masih terdokumentasikan masih berjuang untuk mandiri dari dominasi
dengan baik di negara-negara bekas penjajah, kekuatan ekonomi dan politik dunia.
khususnya di Eropa. Meskipun tentu saja, ***
catatan dan dokumentasi itu juga memiliki bias
kepentingan kolonial yang berlangsung pada
konteks di masa itu. Meski demikian, Sumber Bacaan
setidaknya kita bisa berangkat dari konteks
Achidsti, Sayfa Aulia, 2014. Indonesia-Afrika
serupa, yakni bagaimana bangsa kita pernah
Bukan Hanya Romantisme Sejarah, dalam 'The
mengalami kolonialisme dan bagaimana
Equator Edisi 5 Mei 2014'. Newsletter Jogja
sejarah kolonialisme itu kini mempengaruhi
Biennale Equator: Yogyakarta.
berbagai bentuk ekspresi kemanusiaan kita.
Ayodele, Thompson dan Sotola, Olusegun,
Berangkat dari konteks ini pula, saya melihat
2014. 'China in Afrika: An Evaluation of Chinese
penyelenggaraan Jogja Biennale Equator#3
Investment', IPPA (Innitiative for Public Policy
perlu untuk mengidentifikasi tema-tema dan
Analysis) – Working paper: Laghos, Nigeria
mendesiminasi pengetahuan mengenai sejarah
budaya serta keberadaan Afrika bagi Bogaerts, Els dan Raben, Remco, 2012.
masyarakat Indonesia di dalam 'Beyond Empire and Nation: The
penyelenggaraannya nanti. Berikut ini Decolonization of Asian and African Societies
setidaknya ada tiga tema besar berkenaan 1920s-1960s'. KITLV Press: Leiden.
dengan rekontekstualisasi semangat KAA Kemetrian Luar Negeri Indonesia, 2012. New
dalam penyelenggaraan Jogja Biennale Equator Asian-African Strategic Partnership: Senior
#3 yang bisa saya tawarkan sebagai bagian dari Official Meeting. Diakses secara online melalui
kurikulum kegiatannya. Pertama, mengenai alamat
tema keragaman tradisi dan bagaimana tradisi http://www.kemlu.go.id/Documents/NAASP/H
memiliki arti (nilai) penting bagi masyarakatnya yperlink%202.pdf. Diakses pada 8 April 2015.
kini serta bagaimana pelembagaan tradisi
berlangsung, khususnya yang berpengaruh
pada sejarah dan praktek seni rupa modern di
27

view (world
wor l d bie
m ap , nn
ia l ia l

UNIK,
fo
nn r

um
Bi

.o
rg)
SEPERTI
YANG
LAIN
Mitha Budhyarto (Dosen dan Kurator)

Saat ini, ratusan biennale yang tersebar di turisme. Menimbang perspektif ini, tak heran
seluruh dunia menunjukkan bahwa format jika pertanyaan tentang harus-tidaknya kita
berpameran ini telah menjadi suatu aspirasi 'berbiennale' sekarang ini menjadi sumber
global, melampaui imajinasi serta pemahaman perdebatan yang hangat.
awal mengenai potensi dan jangkauannya. Di
bawah tekanan globalisasi, biennale saat ini Di sisi lain, para pembela biennale
menghadapi suatu paradoks klasik: ketika ada berpendapat bahwa format ini tetap relevan
dalam jumlah yang begitu banyak, bagaimana jika dianggap sebagai sebuah situs
suatu biennale membedakan dirinya dari eksperimentasi yang berpotensi melampaui
kebanyakan biennale yang lain? Bagaimana ia kekakuan tradisi dan kaidah berpameran yang
mengelak dari resiko keserba-samaan, dengan dimiliki oleh museum atau galeri. Pendapat
menawarkan sesuatu yang tak terduga meski optimis seperti ini, tentunya, datang dari latar
masih tetap menggunakan format yang sama? belakang Eurosentris dan tidak sepenuhnya
Bagaimana ia tidak menjadi 'unik, seperti yang tepat untuk kenyataan dunia kesenian di
lain'? Indonesia, dimana kita tidak memiliki tradisi
atau peraturan baku dalam praktik
Bagi para pesimis, ancaman penyeragaman berpameran baik di museum maupun di galeri.
yang dibawa oleh globalisasi adalah alasan Meski demikian, semangat biennale yang
utama untuk berpendapat bahwa format dilandasi spekulasi dalam merespon konteks
biennale telah menjadi kuno dan tidak relevan. sosio-politik dan kultural yang terus bergeser
Terlebih lagi, saat ini visi dan ambisi yang dan penjalinan jaringan dalam skala mikro dan
melatar-belakangi penyelenggaraan sebuah makro, tetap menjadi daya tarik untuk
biennale bisa dibilang tidak terlalu jauh biennale-biennale yang datang dari wilayah
berbeda dari aktifitas kultural lain, seperti yang tadinya dianggap sebagai 'pinggir' pusat
kompetisi olahraga misalnya, atau pertukaran kesenian dunia. Jika idealisme kesenian ini
diplomatik: sebagai contoh, adanya terdengar utopis, contoh konkrit atas
keterlibatan dari partisipan internasional demi bagaimana suatu festival seni dapat
penyeimbangan status geopolitik, atau mempengaruhi kehidupan masyarakat luas
penggabungan sentimen 'kebanggaan lokal' terlihat pada perubahan infrastruktur lokal
dengan taktik branding negara untuk yang dapat disebabkan oleh penyelenggaraan
menggaet perhatian investor demi pameran berulang, seperti, misalnya, yang
mengembangkan perekonomian berbasis
28

terjadi dengan kasus Manifesta, Trienal Echigo- mengingat betapa seringnya praktik biennale
Tsumari, dan Trienal Setouchi. kontemporer menyuarakan perbedaan mereka
dari ideologi 'white cube' museum yang
Terlepas dari kritik tajam dan skeptisisme dianggap tidak lagi cocok untuk
populer terhadapnya, biennale sebagai suatu mengartikulasikan ide-ide mendesak tentang
format berpameran terus berkembang secara kekinian. 'Kubus putih' itu dianggap sebagai
luas dan membuat pertanyaan 'apakah kita perwakilan sempurna atas modernisme Barat:
harus menyelenggarakan biennale' tampak tidak adanya jendela sehingga kehidupan yang
seakan tak berdaya. Jika – untuk bermacam sedang berlangsung di luar tidak masuk–dan
alasan – format biennale tetap menjadi pilihan mengganggu–suasana di dalam ruangan;
populer untuk kebanyakan masyarakat seni cahaya buatan yang dapat diatur sedemikan
dunia, maka pertanyaan yang lebih tepat untuk rupa sehingga selalu terlihat seperti siang hari;
diajukan sebenarnya tidak lagi menyangkut suara yang diredam untuk mengamplifikasi
harus atau tidaknya format biennale tetap suasana kontemplatif. Di dalam museum,
digunakan, tapi 'bagaimana' kita pengunjung ditempatkan dalam dunia yang
menggunakannya untuk mengajukan suatu berbeda dari dunia 'sebenarnya' di luar sana,
hipotesa tentang realita kontemporer tanpa dimana mereka dapat melambung ke keadaan
mengulang-ulang 'rumus' penyelenggaraan transendental yang berjarak dari lingkungan
biennale, dan menjadikan acara kesenian ini keseharian yang konon banal, tidak inspiratif,
suatu hal yang homogen. tidak artistik. Dalam ruang ini, semua fitur dan
Elena Filipovic membaca gejala keseragaman elemen dari karya menjadi menonjol, tanpa
biennale sebagai suatu 'global white cube', harus berlomba dengan kebisingan dunia luar
dimana biennale-biennale yang ada terus untuk menarik perhatian pengunjung.
mereplika strategi permuseuman modern di Hari ini, 'white cube' telah menjadi metafora
Barat dalam hal berpameran.1 Ini bermasalah, untuk suatu pendekatan yang khas terhadap

Edisi ke 10 Havana Biennale (globalartmuseum.de)


29

“Pocung” Instalasi karya Samuel Indratma BJ XII Pavilion Indonesia di Venice Biennale 2013
Foto Dokumentasi YBY (universesinuniverse.org)

kesenian dan bagaimana ia harus 21 terlihat pada ambisi geopolitik,


dipresentasikan. Dibangun agar netral, tidak kedekatannya dengan turisme, serta pengaruh
bersuara dan tidak terlihat, ruang ini justru acara-acara kesenian ini pada infrastruktur
menjadi semakin dominan. Seperti banyak lokal dan rute perdagangan seni internasional.
komentator lain, Filipovic menulis bahwa Meski demikian, Jones tetap mengakui adanya
praktik biennale yang ada sekarang berangkat pergeseran penting yang dibuat oleh biennale
dari hasrat yang sama untuk melawan tradisi kontemporer dari model yang disahihkan oleh
'white cube'. Namun, menurut observasi eksposisi internasional dan festival dunia Eropa
Filipovic, kebanyakan biennale yang ada justru yang terdahulu.
mengulang hal-hal yang ingin mereka tentang,
baik dari segi penggunaan ruang yang Bagaimanapun juga, 'festival dunia' berakar
terbelenggu oleh kisi-kisi kaku, hingga pada superioritas bangsa penjajah: adanya
hilangnya kekhasan pada judul dan tema yang kelompok bangsa yang mampu melakukan
diberikan, yang hanya memberi gambaran ekspedisi ke daerah eksotis dan melihat artefak
universal dan generik tentang dunia saat ini. dari budaya 'lain' ini menurut kacamata
Mencari jalan keluar dari problema ini menjadi mereka, dan memindahkan artefak tersebut
semakin sulit karena biennale telah menjadi dari konteks asli ke konteks artifisial untuk
institusi kesenian dengan budayanya sendiri, menghadirkan semacam tontonan yang alih-
membentuk anggapan umum tentang alih merayakan ragam kebudayaan di dunia.
bagaimana suatu biennale harus terlihat: Praktik ini membuat bangsa yang bersangkutan
kumpulan karya-karya spektakuler yang terlihat unggul, dan kota dimana festival ini
dipadatkan di satu ruang, dengan partisi-partisi diselenggarakan semakin sarat gengsi karena
putih di antara karya-karya itu.2 terkesan 'mendunia'. Karena perspektif
kolonialisme ini, biennale yang didirikan oleh
Jika Filipovic meletakkan praktik biennale tempat-tempat di luar wilayah yang disebut
sekarang sebagai suatu hasrat untuk melawan 'Barat' terbilang tidak memiliki banyak
ideologi 'modernist white cube', Caroline A. persamaan dengan tradisi Biennale Venesia
Jones berpendapat bahwa biennale yang kita (BV) maupun 'festival dunia' tadi.
miliki sekarang sebenarnya terlahir dari nafas
yang diberikan oleh eksposisi internasional dan Ini menandakan bahwa secara historis, praktik
'festival dunia' dari Eropa di abad 19 (contoh: biennale 'pinggiran' tidak sepenuhnya
pameran Crystal Palace di London di tahun terjelaskan oleh tradisi tersebut. Mengikuti
1851 dan terbentuknya Biennale Venesia di Ranjit Hoskote, Oliver Marchart menulis
tahun 1895).3 Persamaan antara model-model tentang 'Biennials of Resistance' – biennale
pameran ini dengan biennale di abad 20 dan atau festival seni besar yang menantang
30

legitimasi tradisi Biennale Venesia mengenai mengupas modernisme sebagai suatu hal yang
status kesenian baik yang berasal dari Barat bersifat plural, dan menolak stereotip tentang
maupun Non-Barat – dimana Biennale Sao kesenian dari wilayah ini yang berputar pada
Paulo, Trienal India, Biennale Havana, Biennale “kekaryaan tradisional dan estetik simbolik-
5
Asia-Pacific, Biennale Gwangju dan Biennale relijius”. Selain itu, BH3 juga berpengaruh
Johannesburg (ketika masih ada) disebut besar karena membuka potensi-potensi baru
sebagai contoh. Hoskote membayangkan tentang partisipasi, dimana acara tersebut
kemunculan suatu tipe biennale yang baru, adalah sebuah “organisme yang terdiri dari
yang mencerminkan keresahan yang dimiliki bermacam pameran, kegiatan, pertemuan,
daerah-daerah Selatan dunia (the global publikasi, program outreach”.6 Langkah untuk
South), dan menunjukkan sebuah sejarah mendematerialisasi pameran – dimana
tentang biennale yang bertolak belakang dari biennale tersebut tidak lagi berfungsi sebagai
tradisi dan tolok ukur yang ditetapkan oleh BV. sebuah tontonan akbar, tapi sebuah upaya
Marchart menambahkan bahwa yang untuk menyelidiki suatu masalah khusus
menjadikan kelompok biennale ini penting tentang kekinian dan mengajukan hipotesa
adalah bagaimana mereka melebur pusat mengenainya – menjadi model yang sering
kuasa BV untuk melegitimasi strategi yang digunakan oleh biennale-biennale hingga saat
digunakan oleh sebuah biennale sebagai suatu ini. Dengan ini, Marchart menyimpulkan
medium kesenian.4 bahwa sejarah biennale yang menolak tradisi
BV harus ditelusuri ke model yang ditawarkan
Dari kelompok ini, Marchart meletakkan oleh, antara lain, Bh3.
Biennale Havana yang ketiga di tahun 1989
(BH3) pada posisi tersendiri, terutama untuk Silsilah biennale yang kita kenal saat ini, yang
terobosan model kuratorial biennale yang penuh dengan cabang dan tidak bisa secara
kemudian banyak ditiru oleh biennale-biennale langsung dihubungkan kembali kepada tradisi
selanjutnya. Ia berpendapat bahwa BH3 pameran berulang di Eropa menjelang akhir
adalah biennale pertama yang meski dibuat abad 19, menunjukkan biennale sebagai suatu
oleh negara non-Barat dan melibatkan produk kultural yang terbentuk dari perubahan
kesenian dari 'Dunia Ketiga', tidak membatasi bermacam kondisi geo-politik dan sosio-
kerangka kuratorialnya pada persoalan represi ekonomik. Biennale, sebagai suatu produk
penjajahan. Ini menandakan bahwa selain kultural, sudah seharusnya menjadi
bertolak belakang dari tradisi BV, biennale ini kesempatan untuk mengidentifikasi persoalan
juga berbeda dari Biennale Sao Paulo yang terselubung yang sedang dihadapi masyarakat
menekankan ideologi pasca-kolonialsme. sebagai suatu kelompok: ia harus lihai dalam
Strategi kuratorial penting lainnya adalah membaca realita masa kini, sehingga dapat
bagaimana Gerardo Mosquera, kurator menyusup lebih dalam dari perspektif arus
biennale tersebut, tidak hanya mengundang utama untuk mengenali apa yang sebelumnya
seniman dari wilayah yang disebut 'pinggir', tidak terlihat. Meski memiliki relevansi secara
tapi juga seniman dari komunitas diaspora global, sebuah biennale tetap
yang tinggal di daerah-daerah pusat dunia. Di mengartikulasikan permasalahan yang secara
sini, ada perluasan konsep mengenai 'Dunia khusus dialami suatu tempat di tingkat lokal,
Ketiga', dimana istilah ini memberikan dan maka dari itu tidak bisa sekadar mengikuti
gambaran yang lebih kompleks tentang sebuah angan-angan tentang suatu standar universal
dunia yang sedang dibentuk oleh proses yang dianggap dapat melintasi ruang dan
migrasi dan mobilisasi global. waktu.
Kecerdasan politik dan sosio-kultural ini Bagaimana menegosiasi ilusi tentang 'standar
adalah, catat Marchart, hal yang tidak dimiliki universal' tersebut? Tentunya tidak ada
oleh pameran lain pada masanya. BH3 jawaban tunggal atas teka-teki ini, tapi semata
31

Performance “Sweet Dreams Sweet”, karya Melati Suryodarmo Jakarta Biennale 2013 (viva.id)

menjelma lokasi-lokasi yang tidak umum digunakan sebagai ruang pamer, atau melibatkan karya-
karya yang lebih bombastis dari biasanya, juga bukan cara yang sesungguhnya tepat. Melainkan,
jika sebuah biennale tidak ingin hanya mengulang rumus 'berbiennale' yang telah sudah ada, yang
dibutuhkan adalah ketulusan dalam mengusut hubungan yang rumit dan berbelit antara karya,
audiens, dan situs, serta menyusun komposit ini menjadi suatu proposisi intelektual yang dapat
disampaikan melalui kerangka kuratorial. Ini tidak hanya memaksa adanya kemitraan yang lebih
intens antara kumpulan agen dalam dunia kesenian dengan agen-agen dalam praktik kebudayaan
yang lebih luas. Terlebih dari itu, – dan terkait dengan paradigma 'outcome-based' yang sering
digembar-gemborkan saat ini – ini menuntut adanya keberanian dalam mengambil resiko untuk
membuahkan hasil yang tidak sepenuhnya pasti maupun komplit: sesuai dengan sifat proposisi
yang ia ajukan mengenai realita yang dihadapinya. Pada akhirnya, meski ini tidak menjamin
popularitas sebuah pameran, tapi setidaknya ada sebuah celah yang terbuka untuk memposisikan
sebuah biennale sebagai kesempatan untuk berspekulasi dan tidak hanya mereplika 'standar'
tertentu, sebagaimana yang dijanjikan oleh semangatnya.
Sumber:
1
Elena Filipovic, “The Global White Cube”, The Biennial Reader, Irina Filipovic et al (eds.), Bergen: Bergen
Kunsthalle, 2010, hal. 322-345.
2
Ibid.
3 Caroline A. Jones, “Biennial Culture: A Longer History”, Filipovic, I., ibid, hal. 66-87.
4 Oliver Marchart, “The Globalization of Art and the “Biennials of Resistance”: A History of Biennials from the
Periphery”, CuMMA – Studies in Curating, Managing and Mediating Art, CuMMA Papers #7,
https://cummastudies.files.wordpress.com/2013/08/cumma-papers-7.pdf (diakses 16 April 2015).
5 Mosquera dikutip di Marchart, ibid.
6
Ibid.
32

PARALLEL EVENTS BIENNALE JOGJA XIII


'PROYEK SENI KOMUNITAS'
Tema utama BJ XIII Equator #3 kali ini yang bekerjasama dengan Nigeria adalah “MEMINANG KONFLIK,
MERETAS HARMONI”. Hal ini jugalah yang dijadikan sebagai landasan penciptaan proses kreatif di
kampung-kampung di wilayah DIY sebagai bagian dari Parallel Events dan Festival Equator.
Sebagaimana yang diketahui, Indonesia dan Nigeria merupakan negara bekas jajahan sehingga
terdapat konteks sosial politik yang hampir serupa berkait dengan situasi pasca-kolonial di kedua
wilayah tersebut. Indonesia merdeka pada 1945 dan Nigeria meraih kemerdekaan pada 1960.
Meskipun demikian, keduanya baru benar-benar lepas dari rezim otoriter di akhir tahun 90-an. Pasca-
keruntuhan otoriterisme tersebut, negara dan rakyat sama-sama melakukan spekulasi dan
eksperimen atas sistem demokrasi yang paling ideal dan otonom menurut pemahaman dan keinginan
masing-masing.
Dalam praktiknya, kebebasan individu untuk menyatakan pendapat bagi sebuah bangsa dengan
beragam suku dan bahasa seperti di Indonesia dan Nigeria merupakan ladang subur bagi terciptanya
oposisi dan konflik. Untuk itu, konflik harus selalu dilihat secara positif. Ia perlu 'dipinang' dan dipahami
sebagai hal yang penting untuk dikelola dalam rangka menciptakan keharmonisan. Untuk itulah
dibutuhkan strategi yang taktis namun spekulatif untuk meretas konflik menjadi pola asimetris yang
simetrik.Hal ini patut dicoba dengan cara membedah dan menghadirkan 'biji-biji pahit' konflik melalui
kerja seni-budaya yang imajinatif, terbuka dan dinamis untuk kemudian dinikmati, dipikirkan dan
dilaksanakan bersama-sama.

TENTANG PROYEK SENI KOMUNITAS


Proyek Seni Komunitas adalah salah satu program pada Biennale Jogja XIII Equator #3 (BJ) sebagai
pengembangan Parallel Event pada BJ sebelumnya. Proyek ini meneruskan pola 'Penciptaan Peristiwa
Seni Rupa' sebagai landasan bagi komunitas atau kelompok seni untuk berpartisipasi dalam BJ. Tujuan
utamanya adalah untuk memperkaya pengetahuan tentang kerumitan persoalan di wilayah ekuator
melalui kerjasama antar komunitas dalam lingkup pengetahuan yang berbeda serta untuk
memaksimalkan jejaring kerja dengan cara menjalin potensi kesaling-terhubungan antar-elemen
pemikir dan praktisi pengetahuan tersebut.
Proyek seni komunitas terbuka pada berbagai bentuk kemungkinan proyek kreatif berbasis seni rupa di
kampung sebagai salah satu elemen penting untuk membincang persoalan yang dihadapi bersama
antara Nigeria dan Indonesia.Proyek ini akan dibuka untuk komunitas seni dan budaya secara umum di
Yogyakarta dan diutamakan di kampung-kampung di wilayah provinsi DIY. Melalui basis seni rupa, akan
dipilih beberapa komunitas/kelompok yang akan bekerja secara kolaboratif dan lintas disiplin dengan
33

penekanan pada bagaimana warga beradaptasi secara visual dan spasial untuk menyikapi perubahan
realitas di sekitarnya.
Proyek ini akan meneruskan tema yang digagas oleh kurator. Dalam hal ini, terbuka kemungkinan bagi
para pelaku seni untuk merespon peristiwa seni BJ XIII ini melalui beberapa cara:
a. Komunitas seni melakukan pembacaan atas konflik yang terjadi di wilayah perkampungan.
b. Komunitas seni berkomunikasi dengan masyarakat setempat untuk melakukan intervensi
kreatif terhadap konflik yang bersifat lokal dan kontekstual di wilayah perkampungan.
c. Kerja kreatif tersebut akan dipresentasikan dalam pameran di beberapa ruang seni di
Yogyakarta sebagai bagian dari perayaan seni rupa yang bisa dinikmati bersama dengan
komunitas seni serta masyarakat.

KETENTUAN PESERTA PROYEK SENI KOMUNITAS


Proyek ini terbuka terhadap semua bentuk pengajuan proyek seni oleh seniman, kelompok seniman,
lembaga formal dan nonformal, komunitas, dan atau inisiasi perseorangan yang dilakukan dalam
bentuk karya kreatif berbasis kerja kolektif.

PENDAFTARAN DAN PENGAJUAN PROPOSAL


PROYEK SENI KOMUNITAS PE BJ XIII
Ketentuan Pendaftaran Peserta Parallel Events 'Proyek Seni Komunitas' BJ XIII
Pendaftaran dengan melampirkan:
1. Proposal singkat (maksimal 500 kata, format font Times New Roman 11 spasi 1,5) berisi
landasan pemikiran penyelenggaraan kegiatan.
2. Rencana bentuk/format kegiatan.
3. Profil komunitas.
4. Lokasi penyelenggaraan acara.
5. Susunan panitia pelaksana proyek.
6. Pihak-pihak yang akan dijadikan mitra kerja sama.
Ketentuan dan formulir pendaftaran dapat diunduh melalui: www.biennalejogja.org
Proposal rencana kegiatan harap dikirimkan via email ke: parallelevents@biennalejogja.org
Proposal Proyek Seni Komunitas yang lolos Seleksi, akan diumumkan pada : 5 Juni 2015 melalui
website, dan dihubungi secara langsung oleh pihak panitia.
Setiap peserta yang proposalnya lolos dalam program ini akan diundang untuk mengikuti
serangkaian workshop seni komunitas yang diselenggarakan oleh panitia. Dalam proses
pelaksanaan kerja seni komunitas, setiap peserta yang terpilih akan mendapat pendampingan dari
Tim PE dan panitia BJ XIII.
· 10 kelompok peserta terpilih akan mendapatkan subsidi berkarya sebesar
@Rp.5.000.000,-
· Panitia BJ XII akan memfasilitasi ruang presentasi di akhir project email:
proyeksenikomunitas@gmail.com
Batas akhir pendaftaran dan pengajuan proposal : 31 Mei 2015
34

BIENNALE JOGJA
Selama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar
Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah
penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan
Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan
menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan
potensi kreativitas budaya dalam bidang seni Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale
rupa Indonesia, Asia maupun dunia. Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010
memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan
Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 Biennale Jogja XI pada tahun 2011.
Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar
merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja
rangkaian pameran dengan agenda jangka sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021
panjang yang akan berlangsung sampai dengan adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negara-
tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan negara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negara-
Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas
negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015),
sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam
Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja
konstelasi seni rupa internasional. Di tengah
dinamika medan seni rupa global yang sangat XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik
dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — dan Australia, termasuk Indonesia sebagai
hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena
masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat
kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean
intervensi menjadi sangat mendesak. Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara
(Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan
YBY mengangankan suatu sarana (platform) KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.
bersama yang mampu menyanggah, menyela
atau sekurang-kurangnya memprovokasi Mengapa 'Khatulistiwa'?
dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif
melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk
dari perspektif Indonesia. menjadi semacam bingkai yang mewadahi
kesamaan, tapi juga sebagai titik
Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai berangkat untuk mengejawantahkan berbagai
pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ keragaman budaya masyarakat global dewasa ini.
sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk
satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). 'membaca kembali' dunia.
Rangkaian biennale ini akan mematok batasan
geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ
kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan
23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap semangat membangun jejaring yang
penyelenggaraannya BJ akan bekerja dengan satu, berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan
atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama
'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para
dari negara-negara yang berada di wilayah ini praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan
untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada
bertemu, dan berdialog dengan seniman- terbentuknya topografi medan seni rupa global
seniman, kelompok-kelompok, organisasi- yang dirumuskan secara baru.
organisasi seni dan budaya Indonesia di
Yogyakarta.
"Kerja seni memungkinkan terbukanya pilihan-pilihan baru dalam
individu dan masyarakat sipil, di mana kita mampu melihat kembali cara
kita menggunakan waktu, membangun konsepsi keluarga, pelayanan
publik yang kita hadapi, dan kualitas demokrasi yang kita alami. Kerja seni
komunitas memposisikan warga dan 'seniman' sebagai pihak-pihak yang
memungkinkan terjadinya dialog kreatif dalam mempraktikan politik
keseharian".
- Rain Rosidi (Direktur Artistik BJ Equator #3) -

1 November - 10 Desember 2015

YAYASAN

YOGYAKARTA

Pemerintah
Daerah Istimewa Yogyakarta
Dinas Kebudayaan

Anda mungkin juga menyukai