Anda di halaman 1dari 46

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberculosis paru (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Setiap detik ada 1 orang yang terinfeksi TB di
dunia, setiap tahun terdapat 8 juta penderita TB baru, 1% dari penduduk dunia
akan terinfeksi TB setiap tahunnya. Satu orang memiliki potensi menularkan 10
sampai 15 orang dalam 1 tahun. Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis. (Nugroho, 2011).

Pada tahun 2013 ditemukan jumlah pasien baru BTA positif (BTA+)
sebanyak 196.310 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru BTA+ yang
ditemukan tahun 2012 yang sebesar 202.301 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus baru BTA+ di 3 provinsi tersebut
hampir sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia. Menurut jenis
kelamin kasus BTA+ pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan yaitu hampir
1,5 kali disbanding kasus BTA+ pada perempuan. Pada masing-masing provinsi
diseluruh Indonesia kasus BTA+ lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandikan
perempuan. Menurut kelompok umur, kasus baru yang ditemukan paling banyak
pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 21,40% diikuti kelompok umur
35-44 tahun sebesar 19,41% dan pada kelompok umur 45-54 tahun sebesar
19,39%. (Profil Kesehatan Indonesia, 2013)

Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu penyumbang jumlah penemuan


penderita TB paru terbanyak kedua dibawah provinsi Jawa Barat. Angka
penemuan terbaru BTA+ (kase detection rate) merupakan proporsi penemuan
kasus TB BTA+ dibanding dengan perkiraan kasus dalam persen. Pada tahun
2012, angka CDR sebesar 63.03% dengan jumlah kasus baru (positif dan
negative) sebanyak 41.472 penderita dan BTA+ baru sebanyak 25.618 kasus.

1
2

Kondisi tersebut masih jauh dari target CDR yang ditetapkan yaitu 70%. (Profil
Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2012)

Pada tahun 1995, diperkirakan 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian
akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat

TB didunia, terjadi pada Negara-negara berkembang. Demikian juga,


kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan,
persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling
produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB
dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%.
Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15
tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk
lainnya secara social stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Penyebab utama
meniggatnya beban masalah TB antara lain adalah 1. Kemiskinan pada berbagai
kelompok masyarakat, seperti pada Negara yang sedang berkembang, 2.
Kegagalan program TB selama ini hal ini diakibatkan oleh: tidak memadainya
komitmen politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB
(kurang terakses oleh masyarakat,penemuan kasus /diagnosis yang tidak standard,
obat tidak terjamin penyediaannya tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standart, dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus
(diagnosis dan panduan obat yang tidak standart, gagal menyembuhkan kasus
yang telah didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG,
infrastruktur kesehatanb yang buruk pada Negara-negara yang mengalami krisis
ekonomi atau pergolakan masyarakat, 3. Perubahan demografi karena
meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan, 4.
Dampak pandemi HIV (Depkes RI, 2008).

Kepatuhan berobat adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil


suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat
dan kepatuhan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh
3

apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat


mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. Seseorang dikatakan patuh berobat bila
mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal
yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas.
Kegagalan penderita Tuberkulosis paru dalam pengobatan Tuberkulosis paru
dapat diakibatkan oleh banyak faktor, seperti obat, penyakit, dan penderitanya
sendiri. Faktor obat terdiri dari panduan obat yang tidak adekuat, dosis obat yang
tidak cukup, tidak teratur minum obat, jangka waktu pengobatan yang kurang dari
semestinya, dan terjadinya resistensi obat. Faktor penyakit biasanya disebabkan
oleh lesi yang terlalu luas, adanya penyakit lain yang mengikuti, adanya gangguan
imunologis. Faktor terakhir adalah masalah penderita sendiri, seperti kurangnya
pengetahuan mengenai Tuberkulosis paru, kekurangan biaya, malas berobat, dan
merasa sudah sembuh. Pengobatan penyakit Tuberkulosis sangat erat
hubungannya dengan kepatuhan pengobatan, kedua hal tersebut saling
berhubungan dan berkaitan, kepatuhan seorang penderita Tuberkulosis dapat
dilihat dari bagaimana ia rutin meminum obat secara teratur, memeriksakan dahak
sesuai aturan yang telah dianjurkan, dan mengambil obat serta memeriksakan
kesehatannya ke pelayanan kesehatan setiap bulannya. Strategi DOTS dapat
diartikan pengawas langsung menelan obat yang diawasi oleh PMO selama 6
bulan terhadap pasien TB untuk menjjamin kepatuhan penderita menelan obat
(WHO, 1997). PMO adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya untuk
mengawasi dan memantau penderita tuberculosis dalam meminum obat nya secara
teratur dan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga, tetangga, kader atau tokoh
masyarakat atau petugas kesehatan. PMO merupakan kegiatan yang dilakukan
untuk menjamin kepatuhan penderita untuk minum obat sesuai dosis dan jadwal
seperti yang telah ditetanpan (Depkes RI, 2008).

Tahun 1995, pemerintah Indonesia mulai mengadopsi strategi DOTS


(Directly Observed Tratment Short-Course) adalah strategi penyembuhan TBC
jangka pendek dengan pengawasan secara langsung untuk menanggulangi TBC.
Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TBC dapat
4

secara cepat. DOTS menekan pentingnya pengawasan terhadap penderita TBC


agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa sampai 95%.
Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global untuk menanggulangi
TBC. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu: 1. Adanya komitmen politis
dari pemerintah untuk bersungguh-sungguh menanggulangi TBC, 2. Diagnosis
penyakit TBC melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, 3. Pengobatan
TBC dengan panduan obat anti-TBC jangka pendek, diawasi secara langsung oleh
PMO (pengawas Menelan Obat), 4. Tersedianya panduan obat anti-TBC jangka
pendek secara konsisten, 5. Pencatatan dan pelaporan mengenai pendrita TBC
sesuai standart. Tahun 1996, obat TBC di Puskesmas diberikan dalam bentuk
kombipak. Tahun 1999 merupakan dimulainya era penting dalam penanggulangan
TBC di Indonesia, karena dibentuknya GERDUNAS-TBC (Gerakan Terpadu
Nasional Penanggulangan TBC) yang merupakan wujut nyata kemitraan dengan
berbagai sektor yang terkait dalam penanggulangan TBC di Indonesia (akhsin
zulkoni, 2010).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakng di atas, penulis membuat rumusan
masalah sebagai berikut: “Hubungan Peran PMO Dengan Kepatuhan Minum
Obat Terhadap Pasien TBC di Puskesmas Gantrung” Adakah hubungan peran
PMO dengan kepatuhan minum obat?
5

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui adanya hubungan peran PMO dengan kepatuhan minum obat
pada pasien TBC di puskesmas Gantrung.
1.3.2 Tujuan khusus
1.3.2.1 Untuk mengidentifikasi peran PMO dalam pengawasan
minum obat.
1.3.2.2 Untuk mengidentifikasi kepatuhan minum obat pada pasien
TBC.
1.3.2.3 Menganalisa hubungan peran PMO dengan kepatuhan minum
obat.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat umum
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi institusi
sebagai pengembangan ilmu dan teori keperawatan.
1.4.2 Manfaat praktisi
1. Bagi Tempat Penelitian
Dapat digunakan untuk meningkatkan wawasan pengetahuan
tentang pengobatan TBC di puskesmas Gantrung.
2. Bagi pelayanan
Dapat dijadikan sebagai wawasan untuk menambah mutu
pelayanan dan sebagai koreksi agar mutu pelayanan lebih
maksimal.
3. Bagi responden
Sebagai sarana penambahan tingkat pengetahuan tentang penyakit
yang sedang di derita dan dapat menambah tingkat kepatuhan
minum obat pada pasien.
6

4. Bagi peneliti selanjutnya


Dapat dijadikan sebagai bahan kajian pustaka, terutama karena
pertimbangan tertentu dan ingin melakukan penelitian lanjutan
dan penelitian yang sejenis dengan variabel yang berbeda.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengawas Minum Obat (PMO)


2.1.1 Definisi PMO
Menurut Depkes RI (1999) PMO adalah seseorang yang
ditunjuk dan dipercaya untuk mengawasi dan memantau penderita
tuberkolosis dalam meminum obat nya secara teratur dan tuntas.PMO
bisa berasal dari keluarga, tetangga, kader atau tokoh masyarakat atau
petugas kesehatan.PMO merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
menjamin kepatuhan penderita untuk minum obat sesuai dosis dan
jadwal seperti yang telah ditetapkan.
1. Peran seorang PMO
a. Mengawasi penderita TB paru agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan.
b. Memberikan dorongan kepada penderita agar mau berobat
teratur.
c. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada
waktu-waktu yang telah ditentukan.
d. Memberi penyuluhan kepada anggota keluarga penderita TB
paru yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB paru untuk
segera memeriksakan dirinya ke unit pelayanan kesehatan
(Depkes RI, 2008).
2. Persyaratan PMO
a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan
dihormati oleh pasien.
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama
dengan pasien (Depkes RI, 2008).
8

3. Siapa yang menjadi PMO


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di
desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain.
Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat
berasal dari kader kesehatan, guru, PKK atau tokoh masyarakat
lainnya, atau anggota keluarga (Depkes RI, 2011).
4. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya:
a. TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan.
b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur.
c. Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara
pencegahannya.
d. Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjut).
e. Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur.
f. Kemungkinan terjadi efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke UPK (Depkes RI, 2011).

Menurut Lawrence Green di Notoatmodjo (2010) Lawrence Green


mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,
yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku
(non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan
atau terbentuk dari 3 faktor :
1. Faktro-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan
sebagainya.
2. Faktro-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana, alat-alat kontrasepsi, jamban, dan
sebagainya.
9

3. Faktro-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam


sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:
B=f (PF, EF, RF )

Keterangan :

B = Behavior

PF = Predisposing Factors

EF = Enabling Factors

RF = Reinforcing Factors

F = Fungsi

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang


kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi,
dan sebagainya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan.
Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, yang bersangkutan.
Disamping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas
kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat
terbentuknya perilaku.

2.2 Konsep Kepatuhan


2.2.1 Pengertian
Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran
klinis dari dokter yang mengobatinya.Menurut Sacket (dalam Niven,
2000) kepatuhan adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan
ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan.

2.2.2 Variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan


10

Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan


menurut Suddart dan Brunner (2000) adalah :
1. Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status
social ekonomi dan pendidikan.
2. Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejalla
akibat terapi.
3. Variabel program terapeutik seperti komplikasi program dan efek
samping yang tidak menyenangkan.
4. Variabel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga
kesehatan, penerimaan,atau penyangkalan terhadap
penyakit,keyakinan agama atau budaya dan biaya financial dan
lainnya yang termasuk dalam mengikuti regimen hal tersebut diatas
ditemukan oleh Bart Smet dalam psikologi kesehatan.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan


1. Menurut Feuerstein et al (1986) dalam Niven (2000), faktor-faktor yang
mendukung kepatuhan pasien antara lain :
a) Pendidikan
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang
bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif,
seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara
mandiri.
b) Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri
kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan dalam
pengobatan.
c) Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan
teman-teman.Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk
untuk membantu kepatuhan program-program pengobatan.
d) Perubahan Model Terapi
11

Program-program pengobatan dapat dibuat sesederhana


mungkin, dan pasien terlibat aktif dalam pembuatan program
tersebut.
e) Meningkatkan Interaksi profesional kesehatan dengan pasien.
Adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik
pada pasien setelah me mperoleh informasi tentang diagnosis.
Pasien membutuhkan informasi tentang kondisinya saat ini, apa
penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi
seperti itu.
f) Sedangkan Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien
menurut Niven (2000) adalah sebagai berikut :
1) Keadaan penyakit
Pasien yang menderita penyakit kronis (tuberkulosis paru)
cenderung paling tidak patuh. Ini terutama karena harus
menggunakan obat dalam jangka waktu lama dimana gejala yang
terasa hanya dalam waktu singkat.
2) Keadaan pasien
Kepatuhan pasien menurun pada usia tinggi yang hidup
sendiri (tidak ada yang mendorong). Tingkat ekonomi lemah,
orang-orang dengan pengetahuan dan pendidikan rendah, dimana
faktor budaya atau bahasa menjadi penghalang komunikasi antara
petugas kesehatan dengan pesien.
3) Petugas kesehatan
Kepatuhan pasien akan dipengaruhi oleh sikap petugas
kesehatan dalam melayani pasiennya. Petugas yang bersifat
merendah, pasien kurang yakin terhadap terapi yang diputuskan,
ada hambatan dalam komunikasi karena faktor budaya, bahasa dan
waktu yang disediakan.

4) Pengobatan
12

Kepatuhan pasien akan berkurang apabila obat yang


diberikan dalam jangka waktu lama. Bentuk dan keberhasilan
kemasan yang terlalu sederhana dimana obat mudah pecah dan
terkontaminasi oleh kotoran juga dapat menurunkan kepatuhan
pasien untuk minum obat.
5) Struktur pelayanan
Semakin sulit tempat pelayanan kesehatan dicapai, semakin
berkurang kepatuhan pasien.

2.2.4 Strategi untuk meningkatkan kepatuhan


Menurut niven (2002) berbagai strategi telah dicoba untuk
meningkatkan kepatuhan adalah :
1. Dukungan Profesional Kesehatan
Dukungan professional kesehatan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal
dukunga tersebut adalah dengan adanya teknik
komunikasi.Komukasi memegang perana penting karena
komunikasi yang baik diberikan oleh tenaga kesehatan baik
Dokter/ perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
2. Dukungan Sosial
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga.Para
professional kesehatan yang dapat menyakini keluarga pasien
untuk menunjang peningkatan kesehatn pasien maka
ketidakpatuhan dapat diurangi.
3. Perilaku Sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien
dengan hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk
menghindari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita
hipertensi. Modifikasi gaya hidup dan control secara teratur atau

4. Pemberian Informasi
13

Pemberian informasin yang jelas pada pasien dan keluarga


mengenai penyakit yang diderita serta cara pengobatannya.

2.3 Konsep TBC


2.3.1 Pengertian TBC
Suatu inveksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis,
ysng terutama menyerang paru-paru (80%). Infeksi dapat bersifat silent,
latent atau aktif. Kuman Mycobacterium Tuberculosis berpindah dari
satu orang ke orang yang lain melalui batuk dan bersin (Priyanto, 2008).
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kiman TB (Mycobacterium Tuberculosis).sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
(Depkes RI, 2011)
Tuberkulosis adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium Tuberculosis, suatu basil aerobik tahan asam, yang
ditularkan melalui udara. (Niluh Gede Yasmin, Christantie E, 2004)
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan pengertian dari
Tuberkulosis penyakit dikarenakan akibat adanya bakteri yang masuk ke
dalam penderitanya melalui udara, Tuberkulosis ini merupakan suatu
infeksi menular yang mana infeksi ini bisa berakibat fatal  bagi
penderitanya.

2.3.2 Patofisiologi
Sumber infeksi yang paling penting adalah manusia yang
mengekskresi baksil tuberkel dalam jhumlahn besar dari saluran
pernapasan pada saat bersin atau batuk. Kontak yang intensif (dalam
keluarga) dan kontak secara massif (missal diantara tenaga kesehatan)
menyebabkan banyak kemungkinan terjadi penularan melalui percikan
inti droplet. Berkembang atau tidaknya penyakit secara klinik setelah
infeksi mungkin dipengaruhi oleh factor genetik. Juga dipengaruhi oleh
umur, kekurangan gizi, status imunologi, penyakit yang menyertai
14

(misalnya diabetes) dan faktor-faktor resistensi individual dari inang


(priyanto, 2008).

2.3.3 Manifestasi Klinis


Pada banyak individu yang terinfeksi tuberkulosis adalah
asimptomatis. Pada individu lainnya, gejala berkembang secara bertahap
sehingga gejala tersebut tidak dikenali sampai penyakit masuk tahap
lanjut. Bagaimanapun, gejala dapat timbul pada individu yang
mengalami imunosupresif dalam beberapa minggu setelah terpajan oleh
basil. Manifestasi klinis yang umum termasuk keletihan, penurunan
berat badan, letargi, anoreksia (kehilangan nafsu makan) , dan demam
ringan yang biasanya terjadi pada siang hari. “Berkeringat malam” dan
ansietas umum sering tampak. Dyspnea, nyeri dada, dan hemoptysis
adalah juga temuan yang umum (niluh dan christantie, 2004).

2.3.4 Cara Penularan


1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atay bersin, pasien menyebarakan kuman ke
udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk
dapat menghasilkan 3000 percikan dahak.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan
dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung
dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
4. Daya penularan seseorang pasien ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
15

5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB


ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut. (Depkes RI, 2011)

2.3.5 Risiko Penularan


1. Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan
percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru
dengan BTA negative.
2. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan annual
Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk
yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%,
berarti 10 orang diantara 1000 penduduk terinfeksi tiap tahun.
3. ARTI di Indonesia bervariasi 1-3%.
4. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculin
negative menjadi positif (Depkes RI, 2011).

2.3.6 Langkah-langkah Pencegahan


1. Minum obat secara teratur sampai selesai bagi penderita.
2. Menutup mulut saat bersin atau batuk.
3. Tidak meludah di sembarang tempat.
4. Meludah yang terkena sinar matahari atau tempat yang diisi sabun
atau karbol/lisol.
5. Jemur tempat tidur penderita secara rutin.
6. Buka candela lebar-lebar agar udara segar dan sinar matahari
dapat masuk.
7. Imunisasi pada bayi.
8. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makanan bergizi.
9. Hindari tinggal di kawasan terlau padat karena bakteri
tuberculosis mudah merebak di tempat yang kurang mendapatkan
sirkulasi udara.
16

10. Jaga kesehatab badan supaya sitem imun senantiasa kuat.


11. Hindari melakukan hal-hal yang dapat melemahkan system imun.
12. Pastikan anda tidak terlalu berdekatan dengan penderita TBC.
13. Berikan nasehat kepada penderita TBC supaya menjali
perawatan.
14. Olahraga teratur (Rafelina, 2009).

2.4 Pengobatan TB
Pengobatan Tuberkulosis Paru menggunakan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) dengan metode Directy Observed Treatment (DOTS).

2.4.1 Tujuan Pengobatan


Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI,
2008).

2.4.2 Jenis, sifat dan Dosis OAT


Menurut Priyanto (2008) jenis obat yang efektif untuk penderita
TBC adalah sebagai berikut:
1. Isoniazid
a. Struktur kimia mirip dengan piridoksin (Vitamin B6)
b. Menghambat sintesis asam mikolat, komponen esensial dari
dinding sel mikobakteria.
c. Penetrasi kehampir semua cairan tubuh dan terakumulasi dalam
lesi.
d. Dapat menembus intraselluler sel penyebab inveksi.
e. Paling aktif melawan Mycobacterium Tuberculosis
f. Tidak crossesisten dengan obat fist-line
17

1
g. T 80 menit pada asetilator cepat dan 180 menit pada
2
asetilator lambat

Penggunaan INH dalam Terapi

a. Selalu dikombinasikan dengan obat lain


b. Digunakan pada pengobatan intensif atau intermiten
c. Dulu, digunakan sebagai propilaksis

Efek samping INH

a. Neuritis perifer, karena difesiensi piridoksin (asetilator lambat


lebih mungkin terjadi)
b. Metabolit bersifat hepatotoksik (monoasetil hidrasin, asetilator
cepat lebih mungkin, dan kejadian lebih sering pada penderita
usia > 35 tahun)
2. Rifampisin
a. Bekerja dengan menghambat sintesis RNA-DNA.
b. Distribusi obat sangat luas.
c. Potensial menginduksi enzim sitokrom P-450
d. Aktif melawan kebanyakan gram +, Niesseria dan
mikobakteria.
e. Resistensi kuman berkembang secara cepat jika dipakai
sendirian.
f. Dapat menyebabkan : keringat, air mata, feses, dan saliva
berwarna kemerah-merahan.
3. Pirazinamid
a. Mekanisme kerja belum diketahui secara pasti, mungkin
pirazinamid setelah dimetabolisme oleh kuman berubah
menjadi toksik terhadap kuman yang bersangkutan (pyrazinoic
acid).
18

b. Dapat menembus sawar otak.


c. Dapat mengingkatkan kadar urat dalam plasma.

4. Etambutol
a. Dapat menembus sawar otak.
b. Mengganggu ekskresi asam urat, sehingga dapat meningkatkan
kadarnya dalam plasma darah.
c. Dapat menyebabkan nueritis optik penyebab menurunnya
ketajaman penglihantan dan buta warna merah/hijau, sehingga
dianjurkan untuk tidak diberikan pada anak-anak. Pada dosis
15 mg/kg BB/hari dapat terjadi : penurunan ketajaman
penglihatan pada pasien sebanyak 0,8 %, rash 0,5 %, dan
demam 0,3 %.
d. Etambutol tidak dianjurkan diberikan pada anak usia < 6 tahun.
5. Streptomisin
a. Hipersensitif, merupakan efek samping yang sering terjadi.
b. Golongan aminoglikosida, tidak diabsorpsi dalam saluran
pencernaan, indek terapi sempit.
c. Bekerja mengambat sintesis sempit.
d. Ototoksik atau toksik pada saraf otak ke 8 dapat menimbulkan
vertigo, sempoyongan dan tuli, neprotoksik yang dapat
menurunkan fungsi ginjal.
e. Bila ada keluhan baal dimuka terutama sekitar mulut segera
setelah pengobatan, dosis perlu dikurangi.
19

Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis Obat

Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan


(mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15
(12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostati 15 30
k (15-20) (20-30)
Tabel 2.1 depkes RI, 2008 :20

2.4.3 Prinsip Pengobatan

Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai


berikut:

1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis


obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan.
2. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
3. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Teratment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
4. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal
(intensif) dan lanjutan (Depkes RI, 2008 : 20).

Tahap awal (intensif)


20

1. Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tapat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan (Depkes RI, 2008 :20).

Tahap Lanjutan

1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,


namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Depkes RI, 2008 :
21).

2.4.4 Panduan OAT yang dilakukan di Indonesia


WHO dan IUATLD (international Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) merekomendasikan panduan OAT standar,
yaitu:
Kategori 1:
a. 2HRZE/ 4H3R3
b. 2HRZE/ 4HR
c. 2HRZE/ 6HE

Kategori 2:

a. 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3


b. 2HRZES/ HRZE/ 5HRE

Kategori 3:

a. 2HRZ/ 4H3R3
21

b. 2HRZ/ 4HR
c. 2HRZ/ 6HE (Depkes RI, 2008)
1. Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional
Penanggulangan Tuberculosis di Indonesia:
a. Kategori 1: 2HRZE/ 4(HR)3.
b. Kategori 2: 2HRZES/ (HRZE)/ 5(HR)3E3
c. Disamping kedua kategori ini, disediakan panduan OAT
sisipan:HRZE.
d. Anak: 2HRZ/ 4HR
2. Panduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam
bentuk paket obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT),
sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk
OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3
atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Panduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
3. Paket Kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.

Panduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam


pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk


paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.
(Depkes RI, 2008 : 21)

4. KDT mempunyai bebrapa keuntungan dalam pengobatan TBC :


22

1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan


sehingga menjamin efektivitas obat dan mengurangi efek
samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga
menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan
mengurangi kesalahan penulisan resep.
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga
pemberian obt menjadi sederhana dan meningkatkan
kepatuhan pasien. (priyanto, 2008)

2.4.5 Panduan OAT dan peruntukannya.


1. Kategori-1
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.
c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.2 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 1: 2 (HRZE)/


4(HR)3

Berat Badan Tahap intensif Tahap Lanjutan


tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/ 75/ 400/ 275 RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 2.2 Depkes RI, 2011 : 24

Tabel 2.3 dosis panduan OAT Kombipak kategori 1: 2HRZE/


4H3R3

Tahap Lama Dosis per hari/ kali Jumlah


Pengoba Pengoba Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kal
tan tan Isoniasid Rifampisin Pirazinami Etambutol i
@300 mgr @450 mgr d @500 @250 mgr menela
mgr n obat
23

Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Tabel 2.3 Depkes RI, 2011 :24

2. Kategori -2
Panduan OAT menurut Depkes RI (2011) diberikan untuk
pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatab setelah putus berobat (default)

Tabel 2.4 Dosis Panduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/


(HRZE)/ 5(HR)3E3.

Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan


badan Tiap hari 3kali seminggu
RHZE (150/75/400/275) +S RH (150/150) +
E(400)
Selama 56 hari Selama 28 Hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38.54 g 3 tab 4KDT + 750 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT + 1000 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol
Tabel 2.4 Depkes RI, 2011 : 25

Tabel 2.5 Dosis Panduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/


HRZE/ 5H3R3E3

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Strepto Jumlah


Pengobat pengobat Isoniasid Rifamp Pirazina tablet Tablet misin hari/kali
an an @300 mgr isin mid @250 @400 injeksi menelan
@450 @500 mgr mgr obat
mgr mgr
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
intensif 1 bulan 1 1 3 3 - - 28
(dosis
harian)
24

Tahap 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Lanjutan
(dosis 3x
seminggu
)
Tabel 2.5 Depkes RI, 2011 :25

Catatan:

a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal


untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat
badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan
khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.
(1ml = 250mg). (Depkes RI, 2011 : 25)

3. OAT Sisipan (HRZE)


Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang
pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket
sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif
kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari) (Depkes RI,
2011 : 25).

Tabel 2.6 Dosis KDT Sisipan : (HRZE)

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28hari


RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 2.6 Depkes RI, 2011 : 25
25

Tabel 2.7 Dosis OAT Kombipak Sisipan : HRZE

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet umlah


pengobat
an pengobat Isoniasi Rifampisi Pirazinami Etambuto hari/kal
an d @300 n @450 d @500 l @250 i
mgr mgr mgr mgr menelan
obat
Tahap 1 bulan 1 1 3 3 28
intensif
(dosis
harian)
Tabel 2.7 Depkes RI, 2011 : 26

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan


aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak
dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas
karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis
pertama.Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya resiko
resistensi pada OAT lapis kedua (Depkes RI, 2011 : 26).

2.4.6 Hasil pengobatan pasien TB BTA positif


1. Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemerikasaan ulang dahak (follow up) hasilnya negatif pada Akhir
Pengobatan (AP) dan minimal satu pemeriksaan follow up
sebelumnya negatif.
2. Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
3. Meninggal
26

Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena


sebab apapun.

4. Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03
yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
5. Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatan selesai.
6. Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
(Depkes RI, 2008 : 33).

1.4.4 Directly Observed Treatment Shortcourse ( DOTS )


DOTS adalah nama untuk suatu strategi yang dilaksanakan
dipelayanan kesehatandasar di dunia untuk mendeteksi dan
menyembuhkan pasien TB.
Strategi ini terdiri dari 5 komponen, yaitu :
1. Dukungan politik para pemimpin di wilayah setiap jenjang sehingga
program inimenjadi salah satu prioritas dan pendanaan pun akan
tersedia.
2. Mikroskop sebagai komponen utama untuk mendiagnosa TB
melaluipemeriksaan sputum langsung pasien tersangka dengan
penemuan secara pasir.
3. Pengawas Minum Obat ( PMO ) yaitu orang yang dikenal dan
dipercaya baikoleh pasien maupun petugas kesehatan yang akan ikut
mengawasi pasien minumseluruh obatnya sehingga dapat dipastikan
bahwa pasien betul minum obatnyadan diharapkan sembuh pada akhir
masa pengobatannya.
27

4. Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sebagai bagian dari
sistem survei penyakit ini sehingga pemantauan pasien dapat berjalan.

Paduan obat anti TB jangka pendek yang benar, termasuk dosis dan
jangkawaktu yang tepat, sangat penting untuk keberhasilan pengobatan
(priyanto, 2008).
28

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESA PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Yang dimaksud kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian atau


visualisai hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang
lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari masalah
yang ingi diteliti.

Konsep adalah suatu abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan


suatu pengertian. Oleh sebab itu, konsep tidak dapat diukur dan diamati secara
langsung. Agar dapat diamati dan dapat diukur, maka konsep tersebut harus
dijabarkan ke dalam variabel-variabel. Dari variabel itulah konsep dapat
diamati dan diukur. (Notoatmodjo, 2010)

Faktor Predisposisi

1. Sosiodemografi
2. Pengetahuan
3. Efek samping obat
4. Riwayat penyakit

Faktor Pendukung

1. Ketersediaan obat
2. Jarak tempuh tempat Kepatuhan Minum Obat
pelayanan
3. Ketersediaan transportasi
29

Faktor Penguat

Peran PMO

Keterangan :

: Diteliti : Berpengaruh

: Tidak diteliti : Berhubungan

Dapat dijelaskan mekanisme hubungan peran PMO dengan kepatuhan minum


obat pada pasien TBC. Pada klien yang mengalami pengobatan TBC
berhubungan dengan factor predisposisi, factor pemungkin dan factor penguat.
Tingkat kepatuhan minum obat yaitu patuh dan tidak patuh. Agar penderita
TBC patuh minum obat maka diperlukan seorang pengawas menelan obat agar
pengobatan tidak gagal dan putus di tengah pengobatan karena waktu
pengobatan yang lama.

3.2 Hipotesa

Hipotesa adalah jawaban sementara dari pertanyaan penelitian. Biasanya


hipotesis ini dirumuskan dalam bentuk hubungan dua variabel, variabel bebas
dan variabel terikat. Hipotesis berfungsi untuk menentukan kea arah
pembuktian, artinya hipotesis ini merupakan pernyataan yang harus
dibuktikan. Kalau hipotesis tersebut terbukti maka menjadi thesis. Lebih dari
itu rumusan hipotesis itu sudah akan tercermin variabel-variabel yang akan
diamati atau diukur, dan bentuk hubungan antara variabel-variabel yang akan
30

dihipotesakan. Oleh sebab itu, hipotesis seyogyanya: spesifik, konkret, dan


observable (dapat diamati/diukur). (Notoatmodjo, 2010)

HA : Ada hubungan antara peran PMO dengan kepatuhan minum obat pada
pasien TBC di kecamatan gantrung kabupaten madiun.

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Menurut Notoatmodjo (2010) jenis penelitian yaitu menjelaskan tentang
penelitian yang diusulkan termasuk ke dalam jenis atau metode yang mana
tentang penelitian yang tersebut. Pada penelitian ini menggunakan analitik
yang bersifat menjelaskan hubungan antar variabel melalui hipotesa. Metode
penelitian yang digunakan adalah observasional. Desain penelitian ini
menggunakan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian untuk
mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-faktor resiko dengan efek,
dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada
suatu saat ( point time approach) atau penelitian untuk mempelajari dinamika
korelasi antara faktor resiko dengan efek dengan cara pendekatan, observasi,
atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat / bersamaan ( Sugiyono,
2011).
Penelitian ini menganalisa tentang hubungan peran PMO dengan kepatuhan
minum obat pada pasien TBC.

4.2 Populasi dan Sampel


4.2.1 Populasi
Populasi dijelaskan secara spesifik tentang siapa atau
golongan mana yang menjadi sasaran penelitian tersebut
(Notoatmodjo, 2012). Populasi dalam penelitian ini adalah 42
31

penderita TBC di Puskesmas Gantrung kabupaten Madiun. Adapun


kriteria populasi adalah sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu
dipenuhi oleh saetiap anggota populasi yang dapat diambil
sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012).

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah :


1. Penderita TBC yang masih dalam program pengobatan
di Puskesmass Gantrung
2. Bersedia menjadi responden

4.2.2 Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang dipilih dengan
menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili kriteria
populasi ( Nursalam, 2008). Sampel yang digunakan disini adalah
total sampel.

4.3 Tehnik Sampling


Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian dari populasi yang ada ( Sugiyono, 2011). Teknik
sampling yang digunakan ddalam penelitian ini adalah purposive sampling.
Purposive disebut juga judgement sampling. Adalah suatu teknik penetapan
sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan yang
dikehendaki peneliti (tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya
(Nursalam, 2011:94).
32

4.4 Kerangka Kerja Penelitian


Kerangka kerja merupakan bagan kerja terhadap rancangan kegiatan
penelitian yang akan dilakukan, meliputi siapa yang akan diteliti ( subyek
penelitian ), variabel yang akan diteliti, dan variabel yang mempengaruhi
dalam penelitian ( Hidayat, 2007).

Populasi
penderita TBC di Puskesmas Gantrung

Sampel
penderita TBC di Puskesmas Gantrung

Sampling : total sampling

Desain Penelitian
Analitik dengan pendekatan cross sectional

Pengumpulan data
Menggunakan Kuesioner
Variabel terikat :
Kepatuhan
Variabel bebas : penderita TBC
Peran PMO dalam menjalani
Pengolahan data pengobatan
Editing, coding, tabulating scoring,
tabulating

Analisis : chi square

Hasil dan kesimpulan


33

4.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel


4.5.1 Identifikasi Variabel
Variabel dalam penelitian adalah segala sesuatu yang akan
menjadi objek pengamatan penelitian. Sugiyono (2011)
menyatakan bahwa variabel penelitian pada dasarnya adalah segala
sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut,
kemudian ditarik kesimpulannya. Penjelasan variabel-varibel
tersebut adalah:
a. Variabel Independent (bebas)
Variabel independent adalah variabel yang nilainya
menentukan variabel lain (Nursalam, 2011). Variabel
independent dalam penelitian ini adalah peran PMO.
Disini yang menjadi PMO adalah orang terdekat dari pasien
yaitu keluarganya.
b. Variabel dependent (terikat)
Variabel dependent adalah variabel yang nilainya
ditentukan oleh variabel lain (Nursalam, 2011). Variabel
dependent dalam penelitian ini adalah kepatuhan minum
obat pada pasien TBC.

4.5.2 Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional adalah definisi berdasarkan
karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut,
34

sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau


pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena.
Pada definisi operasional dirumuskan untuk kepentingan akurasi,
komunikasi, dan replikasi (Nursalam, 2011).
35

Variabel Definisi Parameter Instrumen Skala Kriteria Skor


Operasial
Variabel Dukungan Dukungan dalam hal Kuesioner Nomina Peran Pernyataan
Bebas : yang pemberian motivasi l PMO positif(+)
Peran menjadi pengobatan. positif SS= 4
PMO pendorong - Mengawasi jika T ≥ S = 3
penderita penderita TB Paru Mean T TS= 2
TBC untuk agar menelan obat Peran STS =1
patuh secara teratur. PMO
menjalani - Memberikan negative Pernyataan
pengobatan dorongan kepada jika T < negatif(-)
penderita agar Mean T SS= 1
mau berobat S= 2
teratur. TS=3
- Mengingatkan STS=4
penderita untuk
periksa ulang
dahak pada
waktu-waktu
yang telah
ditentukan.
- Memberi
penyuluhan
kepada anggota
keluarga
penderita TB paru
yang mempunyai
gejal-gejala
tersangka TB paru
untuk segera
memeriksakan
dirinya ke unit
pelayanan
kesehatan.
36

Variabel Definisi Kepatuhan penderita TBC Observasi Nomina Patuh = Patuh = 1


terikat : kepatuhan menjalani program dengan l jika obat Tidak
Kepatuhan penderita pengobatan menggunaka habis Patuh = 0
penderita TBC dalam Tahap intensif 2 bulan n Observer sesuai
TBC dalam menjalani dosis perhari tablet yang di jadwal
menjalani pengobatan Isoniasid 300mg: 1, kaplet perankan Tidak
pengobatan : sejauh Rifampisin 450mg: 1, oleh anggota patuh =
mana tablet Pirazinamid 500mg: keluarga jika obat
penderita 3, tablet Etambutol yang menjadi tersisa
TBC 250mg: 3,diminum 1x per PMO tidak
disiplin hari, jumlah hari/ kali tepat
dan taat menelan obat 56. waktu
dengan Pengobatan tahap lanjutan
ketentuan 4 bulan dosis perhari
pengobatan tablet isonianid 300 mg:
yang 2, kaplet rifampisin 450
diberikan mg: 1 diminum 3x
oleh seminggu selama 16
petugas minggu, jumlah hari/ kali
kesehatan. menelan obat 48.
Pengukuran tingakt
kepatuhan berpacu pada
3T (tepat obat, tepat dosis,
dan tepat waktu)

4.6 Instrumen Penelitian


37

Instrumen penelitian adalah alat pada waktu penelitian menggunakan


metode (Arikunto, 2011). Dalam penelitian ini variabel peran PMO
pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner
( daftar pertanyaan). Pertanyaan yang digunakan adalah angket tertutup atau
berstruktur dimana angket tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga
responden hanya tinggal memilih atau menjawab yang sudah ada ( responden
hanya memberikan tanda () pada jawaban yang telah disediakan ). Dalam
penelitian ini variabel kepatuhan minum obat pengumpulan data
menggunakan cara observasi obat. Secara langsung mendatangi pasien dan
menanyakan sisa obat pada saat observasi dan dari situ bisa dilihat pasien
tersebut patuh atau tidak.
A. Uji validitas
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil kuesioner yang diberika
kepada responden, kemudian dilakukan pengujian terhadap kuesioner untuk
mengukur tingkat kebaikan kuesioner, maka dapat dilakukan analisis validitas
dan reabilitas. Validitass menunjukan sejauh mana relevansi pertanyaan
terhadap apa yang ditanyakan atau apa yang ingin diukur dalam penelitian.
Validitas suatu indeks yang menunjukkan alat ukur benar-benar mengukur apa
yang diukur (Nursalam, 2011). Untuk mengukur r atau koefisien korelasi dan
tingkat signifikannya dapat digunakan bantuan program computer. Menurut
Arikunto 2011, rumus korelasi yang dapat digunakan adalah yang
dikemukakan oleh Person, yang dikenal dengan rumus korelasi product
moment pearson. Adapun ≤ 0,05 maka item pertanyaan dinyatakan valid,
begitupun sebaliknya jika signifikannya > 0,05 maka item pertanyaan
dinyatakan tidak valid. Atau didasarkan pada nila r, dimana pertanyaan
dinyatakan valid apabila r hitung > r tabel pada taraf signifikan 5%, sehingga
pertanyaan dapat digunakan untuk mengumpulkan data penelitian.
Untuk hasil uji validitas kuesioner peran PMO diperoleh r hitung antara
0,889 – 0,576 item pertanyaan dinyatakan valid jika r hitung lebih besar dari r
tabel (0,632) pada taraf signifikan 5% yaitu r hitung > r tabel.
Tabel hasil uji validasi variabel peran PMO
38

No r hitung Syarat Keterangan


1 0,658 >0,632 Item soal valid
2 0,837 >0,632 Item soal valid
3 0,766 >0,632 Item soal valid
4 0,889 >0,632 Item soal valid
5 0,576 >0,632 Item soal tidak valid
6 0,827 >0,632 Item soal valid
7 0,576 >0,632 Item soal tidak valid
8 0,889 >0,632 Item soal valid
9 0,766 >0,632 Item soal valid
10 0,837 >0,632 Item soal valid
11 0,658 >0,632 Item soal valid
12 0,827 >0,632 Item soal valid
13 0,889 >0,632 Item soal valid
14 0,766 >0,632 Item soal valid
15 0,837 >0,632 Item soal valid
16 0,658 >0,632 Item soal valid
17 0,827 >0,632 Item soal valid
18 0,576 >0,632 Item soal tidak valid
19 0,766 >0,632 Item soal valid
20 0,837 >0,632 Item soal valid
21 0,658 >0,632 Item soal valid
22 0,889 >0,632 Item soal valid
23 0,576 >0,632 Item soal tidak valid
24 0,827 >0,632 Item soal valid
25 0,837 >0,632 Item soal valid
26 0,658 >0,632 Item soal valid
27 0,766 >0,632 Item soal valid
28 0,889 >0,632 Item soal valid
29 0,576 >0,632 Item soal tidak valid
30 0,827 >0,632 Item soal valid

B. Uji Reabilitas
Reabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilakukan
oleh orang yang berbeda (Nursalam, 2011). Untuk melihat reabilitas dalam
pengumpulan data dibidang kedokteran harus berprinsip pada stabilitas yaitu
mempunyai kesamaan bila dilakukan pengukuran berulang-ulang dalam waktu
yang berbeda. Ekuivalen yaitu pengukuran memberikan hasiil yang sama pada
kejadian yang sama. Dan homogenitas yaitu instrument yang diperlukan harus
mempunyai isi yang sama.
39

Uji reabilitas pada penelitian ini menggunkan komputerisasi dengan


menggunakan tingkat signifikansi 5%. Nilai reabilitas dilihat dari nilai
cronbach alpha. Dalam uji reabilitas sebagai nilai r hasil adalah alpha (terletak
di akhir output). Dengan ketentuannya: bila r alpha > 0,6, maka pertanyaan
tersebut reliable (Priyo Sutanto, 2006). Dan hasil dari reabilitas untuk hasil
kuesioner yang sudah valid menunjuk nilai alpha 0,753, dan untuk kuesioner
variabel peran PMO disini sudah reabel karena nilai sudah memenuhi syarat
yaitu 0,753 > 0,6.

4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian


4.7.1 Lokasi
Lokasi penelitian akan dilakukan di Puskesmas Gantrung
kabupaten Madiun.
4.7.2 Waktu
Waktu penelitian akan dilakukan pada bulan juni 2015.

4.8 Prosedur Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan
proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu
penelitian (Nursalam, 2011).

Dalam melakukan penelitian prosedur yang ditetapkan adalah


sebagai berikut:
1. Mengurus ijin penelitian dengan membawa surat dari Stikes Bhakti
Husada Mulia Madiun kepada Dinas Kesehatan Madiun.
2. Mengurus ijin kepada Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan
Masyarakat Kabupaten Madiun.
3. Mengurus ijin kepada Puskesmas wilayah.
40

4. Memberi penjelasan kepada calon responden dan bila bersedia menjadi


responden dipersilahkan untuk menandatangani inform consent.
5. Memberi kuisioner kepada responden untuk diisi dan data demografi,
kemudian diserahkan kepada peneliti.
6. Peneliti melakukan pengumpulan, pengolahan, dan analisa data.

4.9 Analisa Data


Setelah data terkumpul dari hasil pengumpulan data perlu diproses
dan dianalisa secara sistematis supaya bisa terdeteksi. Data tersebut di
tabulasi dan dikelompokkan sesuai dengan variabel yang diteliti.
Langkah-langkah analisa :
1. Editing
Mengedit adalah memeriksa validitas dan reabilitas data yang masuk.
Kegiatan ini meliputi pemeriksaan atau kelengkapan pengisian
kuesioner, kejelasan makna jawaban, konsistensi antar jawaban-
jawaban, relevansi jawaban dan keseragaman jawaban.
2. Coding.
Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik (angka) terhadap
item-item yang tidak diberi skor (Arikunto, 2010).
Untuk variabel peran PMO menggunakan rumus standart skala
likert untuk menentukan skor peran PMO skala responden secara
keseluruhan digunakan pedoman sebagai berikut :
a. Positif (Favorable) : jika hasil skor T ≥ Mean T
b. Negative (Unfavorable) : jika hasil skor T < Mean T

Untuk variabel kepatuhan minum obat disini menggunakan alat


ukur observasi sisa obat dengan kode :

a. Patuh =1
b. Tidak Patuh =0
3. Scoring.
41

Scoring adalah memberi skor terhadap item-item yang perlu diberi


skor (Arikunto, 2010).

Untuk kuesioner peran PMO :

1. pernyataan positif
SS =4
S =3
TS =2
STS =1
2. pernyataan negative
STS =4
TS =3
S =2
SS =1
Sedangkan untuk kepatuhan minum obat :
1. jika obat habis sesuai jadwal berarti patuh
2. jika obat tertinggal atau lupa meminum walaupun 1x saja
berarti tidak patuh

4. Tabulating.
Kegiatan untuk meringkas data yang termasuk dalam tabel-tabel yang
telah dipersiapkan. Proses tabulasi meliputi: mempersiapkan tabel
dengan kolom dan baris yang disusun dengan cermat sesuai dengan
kebutuhan, kemudian menghitung banyaknya frekuensi untuk tiap
kategori jawaban, dan menyusun distribusi frekuensi dengan tujuan agar
data yang telah tersusun rapi mudah dibaca dan dianalisa.

4.9.1 Data Umum (data demografi)


42

Data umum berisi perilaku responden yang digunakan untuk


pertimbangan peneliti dalam menilai karakteristik responden. Data akan
dianalisa dengan rumus prosentase sebagai berikut :

P=
∑ f x 100 %
N
Keterangan :
P : Prosentase
N : Jumlah populasi
∑F : Frekuensi jawaban

4.9.2 Data Khusus


4.9.2.1 Univariat
Analisa data univariat adalah analisa yang dilakukan
menganalisis tiap variabel dari hasil penelitian. Variabel penelitian
memiliki data berskala Nominal (kategori), maka analisis univariat
yang digunakan adalah distribusi frekuensi dan prosentase.Untuk
variabel peran PMO sebanyak 20 pertanyaan dengan memiliki
jawaban, Variabel peran PMO dari keseluruhan jawaban responden
dihitung menggunakan rumus standart skala likert t-test.rumusnya
adalah:

X − X̄
T = 50+10
[ ]S

Keterangan :
X : Skor responden pada skala sikap yang hendak diubah
menjadi T
X̄ : Mean skor kelompok
S : Deviasi standar kelompok
T : Nilai dari T- skor
MT : Mean dari T skor
43

∑T
MT = n

Keterangan :

MT : Mean T

∑T : rerata T

Dimana untuk standar deviasi menggunakan rumus:

2
S=
√ ∑ ( X − X̄ )
n

Persepsi positif jika T > MT


Persepsi negatif jika T≤ MT.

Menurut Sugiyono 2011, skala pengukuran tentang sikap pada


variabel peran PMO yang digunakan dalam penelitian ini adalah
skala likert yang setiap item jawabannya memiliki 4 pilihan
jawaban yaitu : Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS),
Sangat Tidak Setuju (STS).
Hasil kuesioner dari sikap dibagi menjadi dua yaitu sikap positif
dan sikap negative, pengolahan data menggunakan skor dengan
pemberian nilai pada setiap kategori jawaban antara lain : Sangat
Setuju = 4, Setuju = 3, Tidak Setuju = 2, Sangat Tidak Setuju = 1,
sedangkan bobot nilai item pertanyaan yang tidak mendukung atau
negative (unfavourable) pertanyaan dimulai dari angka Sangat
Setuju = 1, Setuju =2, Tidak Setuju = 3, Sangat Tidak Setuju = 4.
Sedangkan untuk pengukuran terhadap kepatuhan penderita
TBC menjalani pengobatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah dengan tanya kepada pasien tentang pengobatannya berapa
tablet setiap minumnya dan setiap hari apa pengambilan obatnya,
44

dari situ kita dapat melihat cara pengobatan dan jadwal minum
obatnya, kemudian pasien ditanya sisa berapa obatnya pada hari kita
melakukan wawancara. Jika patuh obat habis sesuai dengan jadwal
yang ditentukan oleh dokter, jika tidak patuh obat tertinggal atau
lupa meminumnya walaupun 1x, karena jika obat lupa 1 hari saja
berarti pasien tersebut harus mengulang pengobatan dari awal.
4.9.2.2 Bivariat
Analisa bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga
berkorelasi atau berhubungan (Notoadmodjo, 2012). Dalam
penelitian ini analisa bivariate dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara peran PMO dengan kepatuhan minum obat.
Pengolahan analisa data bivariate ini dengan menggunakan bantuan
komputerisasi. Uji statistik yang digunakan adalah uji chi square.
Uji chi square digunakan untuk mengetahui hubungan variabel yang
mempunyai data kategorik. Data atau variabel kategorik pada
umumnya berisi variabel yang berskala nominal dan ordinal
(Notoatmodjo, 2012). Pendapat lain menurut (Supiyudin, 2009)
mengatakan: semua hipotesis untuk kategorik yang berskala
nominal dan ordinal tidak berpasangan menggunakan analisa data
uji chi square, apabila memenuhi syarat uji chi square. Syarat yang
berlaku pada uji chi square yaitu:
a. Tidak ada sel yang mempunyai nilai expected kurang dari
5, maksimal 20% dari jumlah sel.
b. Jika syarrat uji chi square tidak terpenuhi, maka dipakai
uji alternatifnya:
1) Bila tabel 2 x 2, da nada nila E < 5 namun tidak
lebih dari 20 % jumlah sel, maka uji yang dipakai
adalah “fisher’s exact test.
2) Bila tabelnya lebih dari 2 x 2, maka digunakan uji
“pearson chi square” atau menggunakan sel yang
baru.
45

Dari penjelasan diatas maka untuk menjawab kasusu


penelitian ini digunakan uji statistik pearson chi square bila tabel
variabel lebih dari 2x2, untuk mengetahui hubungan antar variabel,
tingkat kesalahan 5% atau taraf signifikan yaitu α (0,05):
1) Apabila p ≤ 0,05 = H 0 ditolak, Ha diterima, berarti ada
hubungan peran PMO dengan kepatuhan minum obat pada
pasien TBC.
2) Apabila p > 0,05 = Ha diterima, Ha ditolak, berarti tidak ada
hubungan peran PMO dengan kepatuhan minum obat pada
pasien TBC.

Koefisien kontigensi (C) adalah untuk mengukur derajat


asosiasi atau dependensi dari data yang diklasifikasi dalam tabel
kontingensi. Koefisien kontingensi digunakan jika data yang
diklasifikasikan menurut kriteria (golongan) tertentu mempunyai
kecenderungan berjenis nominal maupu ordinal (Sunyoto, 2012).
Pendapat lain mengatakan jika koefisien kontingensi sangat erat
hubungannya dengan chi square yang digunakan untuk menguji
hipotesis komparatif sampel independent (Sugiyono, 2011).
Dari hasil perhitungan dengan bantuan komputerisasi untuk
mengintepretasikan seberapa kuat hubungan antar variable, menurut
pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien kontingensi jika
C yang keluar diintepretasikan sebagai berikut (Sugiyono,2011)
0,00 - 0,199 = sangat rendah
0,20 - 0,399 = rendah
0,40 - 0,599 = sedang
0,60 - 0,799 = kuat
0,80 - 1,000 = sangat kuat

4.9.3 Etika Penelitian


46

Dalam melaksanakan penelitian khususnya jika yang menjadi subyek


penelitian adalah manusia, maka peneliti harus memahami hak dasar manusia.
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, sehingga penelitian
yang akan dilaksanakan benar-benar menjunjung tinggi kebebasan manusia
(Hidayat, 2012). Beberapa prinsip etika penelitian antara lain:
1. Prinsip Manfaat
Dengan berprinsip pada aspek manfaat, maka segala bentuk
penelitian yang dilakukan memiliki harapan dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan manusia. Prinsip ini dapat ditegakkan dengan membebaskan,
tidak memberikan atau menimbulkan kekerasan pada manusia, tidak
menjadikan manusia untuk dieksploitasi. Penelitian yang dihasilkan dapat
memberikan manfaat dan mempertimbangkan antara aspek risiko dengan
aspek manfaat, bila penelitian yang dilakukan dapat mengalami dilema
dalam etik (Hidayat, 2012).
2. Prinsip Menghargai Hak Azasi Manusia (Recpect Human dignity)
Manusia memiliki hak dan makhluk yang mulia yang harus
dihormati, karena manusia memiliki hak dalam menentukan pilihan antara
mau dan tidak untuk diikutsertakan menjadi subyek penelitian (Hidayat,
2012).

3. Prinsip Keadilan (Right To Justice)


Prinsip ini dilakukan untuk menjunjung tinggi keadilan manusia
dengan menghargai hak atau memberikan pengobatan secara adil, hak
menjaga privasi manusia, dan tidak berpihak dalam perlakuan terhadap
manusia (Hidayat, 2012).

Anda mungkin juga menyukai