Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN STASE JIWA TENTANG RESIKO

PERILAKU KEKERASAN (RPK)

RSJ DR ARIF ZAINUDIN SIRAKARTA

Oleh :
ANTHONY WIRANATA
NIM : 201906005

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES BHAKTI HUSADA MULIA MADIUN
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan tentang Resiko Perilaku Kekerasan (RPK) Rsj Dr Arif

Zainudin Sirakarta. Sebagai syarat pemenuhan tugas Profesi Ners Stase JIWA

STIKES Bhakti Husada Mulia Madiun tahun ajaran 2019/2020.

Telah disetujui dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Ruangan

Mengetahui,

Kepala Ruangan
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrem dari
marah atau ketakutan/panik. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
dipandang sebagai rentang dimana agresif verbal disuatu sisi dan perilaku
kekerasan (violence) di sisi yang lain. Suatu keadaan yang menimbulkan
emosi, perasaan frustasi, benci atau marah. Hal ini akan memengaruhi
perilaku seseorang. Berdasarkan keadaan emosi secara mendalam tersebut
terkadang perilaku menjadi agresif atau melukai karena penggunaan
koping yang kurang bagus. Perilaku kekerasan (PK) adalah suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara
fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk
dan gaduh gelisah yang tak terkontrol (Kusumawati, dkk. 2010 : 80).
Nasir & Muhith (2011) menyatakan Gangguan Jiwa merupakan
manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi
emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku, hal ini
terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan meliputi proses
berpikir, emosi, kemauan, dan perilaku psikomotorik termasuk bicara,
perasaan, motivasi, kemauan, keinginan, daya tilik diri dan persepsi
sehingga mengganggu dalam proses hidup di masyarakat. UU nomor 18
tahun 2014. mengatakan bahwa orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)
adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan
perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan
dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Gangguan jiwa pada mulanya dianggap suatu yang gaib, sehingga
penanganannya secara supranatural spiristik yaitu hal-hal yang
berhubungan dengan kekuatan gaib. Gangguan jiwa merupakan suatu
gangguan yang terjadi pada unsur jiwa yang manifestasinya pada
kesadaran, emosi, persepsi dan interjensi. Salah satu gangguan jiwa
tersebut adalah gangguan perilaku kekerasan. Marah adalah perasaan
jengkel yang timbul sebagai suatu responterhadap kecemasan yang
dirasakan sebagai ancaman individu. Pengungkapan kemarahan dengan
langsung dan konstruksif pada saat terjadi dapat melegakan individu dan
membantu orang lain untuk mengerti perasaan yang sebenarnya sehingga
individu tidak mengalami kecemasan, stress,dan merasa bersalah dan
bahkan merusa diri sendiri (Kusumawati, dkk. 2010 : 80).

1.2 Rumusan masalah


1. Apa definisi perilaku kekerasan ?

2. Apa penyebab perilaku kekerasan ?

3. Bagaimana proses terjadinya perilaku kekerasan?

4. Bagaimana tanda dan gejala perilaku kekerasan?

5. Apa akibat perilaku kekerasan?

6. Bagaimana penatalaksanaan perilaku kekerasan ?

1.3 Tujuan umum


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui definisi perilaku kekerasan

2. Untuk mengetahui penyebab perilaku kekerasan

3. Untuk mengetahui proses terjadinya perilaku kekerasan

4. Untuk mengetahui tanda dan gejala perilaku kekerasan

5. Untuk mengetahui akibat perilaku kekerasan

6. Untuk mengetahui penatalaksanaan perilaku kekerasan


1.4 Manfaat penulisan
Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan
kontribusi sebagai bahan pengembangan keilmuwan Keperawatan
Jiwa mengenai penerapan tindakan asertif pada pasien dengan risiko
perilaku kekerasan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit Jiwa
Hasil penelitian dapat memberikan kontribusi bagi rumah sakit jiwa
khususnya di bidang keperawatan jiwa dalam menerapkan tindakan
asertif pada pasien dengan risiko perilaku kekerasan.
b. Bagi Pasien Risiko Perilaku Kekerasan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran bagi
pasien untuk mengontrol marahnya.
c. Bagi Keluarga Pasien
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi
keluarga pasien dalam mendukung kesembuhan pasien.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Resiko Perilaku Kekerasan (RPK)

Perilaku kekerasan adalah salah satu respons marah yang


diespresikan dengan melakukan ancaman, mencederai orang lain, dan atau
merusak lingkungan. Respons tersebut biasanya muncul akibat adanya
stresor. Respons ini dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri,
orang lain, maupun lingkungan (Keliat,dkk, 2011:180). Perilaku kekerasan
(PK) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang
lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol
(Kusumawati,dkk.2010:81).

Stuart dan Laraia (2009), menyatakan bahwa perilaku kekerasan adalah


hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau ketakutan (panik) sebagai
respon terhadap perasaan terancam baik berupa ancaman serangan fisik
atau konsep diri.

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan


untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Keliat, 2011).
Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan :
1. Respon emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang
meningkat dan dirasakan sebagai ancaman.
2. Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan
(kecewa, keinginan tidak tercapai, tidak puas).
3. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan
Respon adaptif adalah respon individu dalam penyesuaian masalah yang
dapat diterima oleh norma-norma social dan kebudayaan, sedangkan
respon maladaptif, yaitu respon individu dalam penyelesaian masalah yang
menyimpang dari norma-norma social dan budaya lingkungannya.
Rentang kemarahan dapat berfluktasi dalam rentang adaptif sampai
maladaptif. Rentang respon kemarahan (Keliat, 2011) dapat digambarkan
sebagai berikut :

Respon adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Ngamuk


(kekerasan)

Asserif Mengungkapkan marah Karakter assertif sebagai berikut :


tanpa menyakiti,
1. Moto dan Kepercayaan : yakni
melukai perasaan orang
bahwa diri sendiri berharga
lain, tanpa merendahkan
demikian juga orang lain. Assertif
harga diri orang lain
bukan berarti selalu menang,
melainkan dapat menangani situasi
secara efektif. Aku punya hak,
demikian juga orang lain.
2. Pola komunikasi : efektif,
pendengar yang aktif. Menetapkan
batasan dan harapan. Mengatakan
pendapat sebagai hasil observasi
bukan penilaian. Mengungkapkan
diri secara langsung dan jujur.
Memperhatikan perasaan orang
lain.
3. Karakteristik : tidak menghakimi.
Mengamati sikap daripada
menilainya. Mempercayai diri
sendiri dan orang lain. Percaya diri,
memiliki kesadaran diri, terbuka,
fleksibel, dan akomodatif. Selera
humor yang baik, mantap, proaktif,
inisiatif. Berorientasi pada
tindakan. Realistis dengan cita-cita
mereka.
4. Isyarat bahasa tubuh (non-verbal
cues), terbuka, dan gerak-gerik
alami. Atentif , ekspresi wajah
yang menarik, kontak mata yang
langsung, percaya diri. Volume
suara yang sesuai. Kecepatan
bicara yang beragam.
5. Isyarat Bahasa (Verbal Cues)
a. “Aku memilih untuk...”
b. “Alternatif apa yang kita
miliki?”
6. Konfrontasi dan Pemecahan
Masalah
a. Bernegosiasi, menawar,
menukar, dan kompromi
b. Mengkonfrontir, masalah pada
saat terjadi
c. Tidak ada perasaan negatif
yang muncul.
7. Perasaan yang dimiliki, yaitu :
antusiame, mantap, percaya diri
dan harkat diri, terus termotivasi,
tahu dimana mereka berdiri
(Keliat, 2011)
Gaya komunikasi Pendekatan yang harus dilakukan
dengan orang assertif terhadap orang-orang dengan karakter
assertif ini adalah :

1. Hargai mereka dengan mengatakan


bahwa pandangan yang akan kita
sampaikan barangkali telah pernah
dimiliki oleh mereka sebelumnya.
2. Sampaikan topik dengan rinci dan
jelas karena mereka adalah
pendengar yang baik.
3. Jangan membicarakan sesuatu
yang bersifat penghakiman karena
mereka adalah orang yang sangat
menghargai setiap pendapat orang
lain.
4. Berikan mereka kesempatan untuk
meyampaikan pokok-pokok
pikiran dengan tenang dan runtun.
5. Gunakan intonasi suara variatif
karena mereka menyukai hal ini.
6. Berikan beberapa alternatif jika
menawarkan sesuatu karena
mereka tidak suka sesuatu yang
berifat kaku.
7. Berbicaralah dengan penuh
percaya diri agar dapat
mengimbangi mereka.
Frustasi Adalah respon yang Frustasi dapat dialami sebagai suatu
timbul akibat gagal ancaman dan kecemasan. Akibat dari
mencapai tujuan atau ancaman tersebut dapat menimbulkan
keinginan. kemarahan.

Pasif Sikap permisif / pasif Salah satu alasan orang melakukan


adalah respon dimana permisif / pasif adalah karena takut /
individu tidak mampu malas / tidak mau terjadi konflik.
mengungkapkan
perasaan yang dialami ,
sifat tidak berani
mengemukakan
keinginan dan pendapat
sendiri, tidak ingin
terjadi konflik karena
takut akan tidak disukai
atau menyakiti perasaan
orang lain.

Agresif Sikap agresif adalah Perilaku agresif sering bersifat


sikap membela diri menghukum, kasar, menyalahkan, atau
sendiri dengan menuntut. Hal ini termasuk
melanggar hak orang mengancam, melakukan kontak fisik,
lain berkata-kata kasar, komentar
menyakitkan dan juga menjelek -
jelekkan orang lain dibelakang. Sikap
agresif merupakan perilaku yang
menyertai marah namun masih dapat
dikontrol. Orang agresif biasanya tidak
mau mengetahui hak orang lain. Dia
berpendapat bahwa setiap orang harus
bertarung untuk mendapatkan
kepentingan sendiri. Agresif
memperlihatkan permusuhan, keras
dan menuntut, mendekati orang lain
dengan ancaman, memberi kata
ancaman tanpa niat melukai.Umumnya
klien masih dapat mengontrol perilaku
untuk tidak melukai orang lain.

Kekerasan Disebut sebagai gaduh Perilaku kekerasan ditandai dengan


gelisah atau amuk menyentuh orang lain secara
menakutkan, memberi kata-kata
ancaman melukai disertai melukai di
tingkat ringan dan yang paling berat
adalah melukai merusak secara serius.
Klien tidak mampu mengendalikan diri
. mengamuk adalah rasa marah dan
bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Pada keadaan
ini, individu dapat merusak dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain
(Keliat, 2011).

2.2 Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Psikologis
Psyschoanalytical Theory : Teori ini mendukung bahwa
perilaku agresif merupakan akibat dari instinctual drives. Freud
berpendapat bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting.
Pertama, insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas dan
kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-agression Theory : Teori yang dikembangkan
oleh pengikut Freud ini berawal dari asumsi bahwa bila usaha
seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan, maka
akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi
prilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang
menyebabkan frustasi. Jadi, hampir semua orang melakukan
tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif :
mendukung pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau
pengalaman hidup. Ini menggunakan pendekatan bahwa manusia
mampu memilih mekanisme koping yang sifatnya tidak merusak.
Beberapa contoh dari pengalaman tersebut :
a). Kerusakan otak organik dan retardasi mental sehingga tidak
mampu untuk menyelesaikan secara efektif
b). Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada
masa kanak-kanak atau seduction parental yang mungkin telah
merusak hubungan saling percaya dan harga diri
c). Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child
abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga
membentuk pola pertahanan atau koping.
b. Faktor Sosial Budaya
Sosial Learning Theory, teori ini mengemukakan bahwa
agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan, maka semakin besar kemungkinan untuk
terjadi. Jadi, seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan
emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau eksternal. Contoh
internal : orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena
menonton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka
yang tidak menonton, seorang anak yang marah karena tidak boleh
beli es krim kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti
marah. Anak tersebut akan belajar bahwa bila ia marah, maka ia
akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh eksternal : seorang
anak menunjukkan prilaku agresif setelah melihat seseorang dewasa
mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah
boneka. Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan.
Adanya norma membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana
yang dapat diterima atau tidak dapat diterima sehingga dapat
membantu individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang
asertif.
c. Faktor Biologis
Penelitian neurobiology mendapatkan bahwa adanya
pemberian stimulus elektris ringan pada hipotalamus binatang
ternyata menimbulkan prilaku agresif. Perangsangan yang diberikan
terutama pada impuls periforniks hipotalamus dapat menyebabkan
seekor kucing mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya,
mendesis, mengeram, dan hendak menerkam tikus atau objek yang
ada disekitarnya. Jadi, terjadi kerusakan fungsi sistim limbic (untuk
emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan
lobus temporal (untuk interprestasi indra penciuman dan memori).
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif:
serotonin, dolpamin, norepinefrin, asetilkoin, dan asam amino
GABA. Factor-factor yang mendukung adalah : 1) masa kanak-
kanak yang tidak menyenangkan, 2) sering mengalami kegagalan, 3)
kehidupan yang penuh tindakan agresif, dan 4) lingkungan yang
tidak kondusif (bising, padat).
d. Perilaku
Reinforcment yang terima pada saat melakukan kekerasan
dan sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah,
semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi perilaku
kekerasan (Keliat, 2011).
2. Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan mengeluarkan respon marah
apabila merasa dirinya terancam. Ketika seseorang merasa terancam,
mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber
kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus
bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal
ataupun eksternal. Contoh stressor eksternal : serangan secara fisik,
kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan
dari orang lain. Sedangkan contoh dari stressor eksternal : gagal dalam
bekerja, merasa kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap
penyakit yang diderita. Bila dilihat dari sudut perawat klien, maka
factor yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua,
yakni :
a. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang
percaya diri.
b. Lingkungan : ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga,
konflik interaksi sosial.
Faktor presipitasi bersumber dari klien, lingkungan, atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang
kurang dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula
dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah
pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan , dan
kekerasan merupakan factor penyebab lain. Interaksi social yang
provokatif dan konflik dapat pula pemicu perilaku kekerasan (Keliat,
2011).

2.3 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan
pasien dan didukung dengan hasil observasi.
1. Data Subjektif :
a. Ungkapan berupa ancaman
b. Ungkapan kata-kata kasar
c. Ungkapan ingin memukul / melukai
2. Data Objektif :
a. Wajah memerah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Otot tegang
d. Mengatup rahang dengan kuat
e. Mengepalkan tangan
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Berdebat
i. Mondar-mandir
j. Memaksakan kehendak
k. Memukul jika tidak senang
l. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan
terhadap penyakit
m. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua
pasien berada pada risiko tinggi
n. Memperlihatkan permusuhan
o. Melempar atau memukul benda atau orang lain.
Keliat (2011) mengemukakan bahwa tanda-tanda marah adalah
sebagai berikut :
a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam),
jengkel.
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, napas pendek, keringat, sakit
fisik, penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan / kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat
e. Social : menarik diri, pengasingan , penolakan, kekerasan, ejekan, dan
humor.

2.4 Pohon masalah

Resiko mencederai diri, orang lain Effect


dan lingkungan

Risiko Perilaku Kekerasan Core Problem

Gangguan Konsep Diri Causa

(Sumber : Keliat, B.A., 2011)


2.5 Penatalaksanaan Medis
1. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Menurut
Depkes RI (2011), jenis obat psikofarmaka adalah :
a. Clormromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa : agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham dan gejala-
gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita skizoprenia, mania
depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa
kecil.

b. Haloperidol (Haldol, Serenace)


Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma
gilles de la Tourette pada anak-anak dan dewasa maupun pada
gangguan perilaku berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa 1-
6 mg sehari yang terbagi 6-15 mg untuk keadaan berat.
Kontraindikasinya depresi system saraf pusat atau keadaan koma,
penyakit Parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek
sampingnya sering mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah.
c. Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanaanya manifestasi psikosa khususnya
gejala skioprenia.
d. ECT ( Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui electrode yang
dipasang satu atau dua temples. Terapi kejang listrik diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
2. Tindakan keperawatan
Keliat (2011) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan
keluarga dalam mengatasi marah klien, yaitu :
a. Latihan secara non verbal / perilaku
Arahkan klien untuk memukul barang yang tidak mudah rusak dan
tidak menyebabkan cedera pada klien itu sendiri seperti bantal,
kasur, dst.
b. Latihan secara social atau verbal
bantu klien relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga.
Latihan pernapasan 2 x / hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan
napas. Kemudian berteriak, menjerit untuk melepaskan perasaan
marah. Bisa juga mengatasi marah dengn dilakukan tiga cara, yaitu :
mengungkapkan, meminta, menolak dengan benar. Bantu melalui
humor. Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka
orang yang menjadi sasaran dan diskusi cara umum yang sesuai.
c. Metode TAK (Terapi Aktivitas Kelompok)
Penggunaan kelompok dalam praktik keperawatan jiwa memberikan
dampak positif dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi
serta pemulihan kesehatan jiwa. Selain itu, dinamika kelompok
tersebut membantu pasien meningkatkan perilaku adaptif dan
mengurangi perilaku maladaptif.
Secara umum fungsi kelompok adalah sebagai berikut.
1. Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman.
2. Berupaya memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota lain.
3. Merupakan proses menerima umpan balik.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi yang bertujuan
mengubah perilaku pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok.
Cara ini cukup efektif karena di dalam kelompok akan terjadi interaksi
satu dengan yang lain, saling memengaruhi, saling bergantung, dan terjalin
satu persetujuan norma yang diakui bersama, sehingga terbentuk suatu
sistem sosial yang khas yang di dalamnya terdapat interaksi, interelasi, dan
interdependensi.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) bertujuan memberikan fungsi
terapi bagi anggotanya, yang setiap anggota berkesempatan untuk
menerima dan memberikan umpan balik terhadap anggota yang lain,
mencoba cara baru untuk meningkatkan respons sosial, serta harga diri.
Keuntungan lain yang diperoleh anggota kelompok yaitu adanya dukungan
pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, dan
meningkatkan hubungan interpersonal.
Terapi aktivitas kelompok itu sendiri mempermudah psikoterapi
dengan sejumlah pasien dalam waktu yang sama. Manfaat terapi aktivitas
kelompok yaitu agar pasien dapat belajar kembali bagaimana cara
bersosialisasi dengan orang lain, sesuai dengan kebutuhannya
memperkenalkan dirinya. Menanyakan hal-hal yang sederhana dan
memberikan respon terhadap pertanyaan yang lain sehingga pasien dapat
berinteraksi dengan orang lain dan dapat merasakan arti berhubungan
dengan orang lain (Bayu, 2011).
Terapi aktivitas kelompok sering dipakai sebagai terapi tambahan.
Wilson dan Kneisl menyatakan bahwa terapi aktivitas kelompok adalah
manual, rekreasi, dan teknik kreatif untuk memfasilitasi pengalaman
seseorang serta meningkatkan repon social dan harga diri (Keliat, 2011).
Pada pasien dengan perilaku kekerasan selalu cenderung untuk
melakukan kerusakan atau mencederai diri, orang lain, atau lingkungan.
Perilaku kekerasan tidak jauh dari kemarahan. Kemarahan adalah perasaan
jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan
sebagai ancaman. Ekspresi marah yang segera karena suatu sebab adalah
wajar dan hal ini kadang menyulitkan karena secara kultural ekspresi
marah yang tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, marah sering
diekspresikan secara tidak langsung (Sumirta, 2013).
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan
mempersulit diri sendiri dan mengganggu hubungan interpersonal.
Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan tidak konstruktif pada
waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu mengetahui tentang
respon kemarahan seseorang dan fungsi positif marah (Yosep, 2010).
Atas dasar tersebut, maka dengan terapi aktivitas kelompok (TAK)
pasien dengan perilaku kekerasan dapat tertolong dalam hal sosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya. Tentu saja pasien yang mengikuti terapi ini
adalah pasien yang mampu mengontrol dirinya dari perilaku kekerasan
sehingga saat TAK pasien dapat bekerjasama dan tidak mengganggu
anggota kelompok lain.
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Tinjauan kasus


Pada bab ini akan disajikan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan
jiwa dengan masalah utama perilaku kekerasan yang dimulai dengan tahap
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
keperawatan yang dilaksanakan pada tanggal 4 -6 Juni 2018 di Ruang
Flamboyan Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya dengan data sebagai beri

3.2 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien
1. Inisial : Tn. S
2. Tanggal MRS : 17-08-2020
3. Umur : 45 tahun
4. Rekam Medis: 0008793
5. Informan : Pasien, keluarga, Rekam medis
3.1.2 Alasan Masuk
Klien dibawa ke RSJD untuk periksa dipoli karena klien mengeluh
kebingungan tidak jelas dan sering marah-marah
3.1.3 Faktor presipitasi
Pasien masuk dari IGD tanggal 17- 08 - 2020 pukul 14.30 dengan keluhan
dari keluarga yaitu pasien marah-marah, pasien juga membanting barang-
barang di rumah. Pada saat pengkajian tanggal 01-09-2020 pasien
mengatakan marah sama ibunya. pasien juga 42 mengatakan saat marah-
marah membating barang-barang dan sering mengancam ibunya
menggunakan pisau
3.1.4 Faktor Predesposis
1. Pasien pernah mengalami gangguan jiwa dimasa lalu
Rekam medis menuliskan bahwapasien pernah dirawat pada tahun 2018
karena pasien marah-marah membawa pisau, setelah suara-suara atau
bisikan untuk membunuh orang lain.
2. Pengobatan sebelumnya Kurang
berhasil karena keluarga pasien mengatakan pasien jarang kontrol ke
rumah sakit dan tidak rutin meminum obat sehingga pasien mengalami
hal seperti dulu lagi.
3. Pengalaman
Pasien mengatakan pernah menyakiti ibunya pada usia 35-45 tahun
4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa? tidak ada
Keluarga pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa.
5. Pengalaman masa lalu tidak menyenangkan
Pasien mengatakan tidak ada masa lalu yang tidak menyenangkan
Masalah keperawatan : tidak ada
3.1.5 Pemeriksaan Fisik
1. Tanda Vital :
TD : 120/90mmHg , N : 90x/menit, S: 36,7℃, P : 19x/ menit
2. Ukur :
TB : 158, BB: 70 kg
3. Keluhan Fisik :
pasien mengatakan tidak ada mempunyai keluhan fisik
3.1.6 Pengkajian Psikososi
1. Genogram

Gambar 3.1 Genogram Keluarga

2. Konsep Diri
a. Citra tubuh
Klien mengatakan menyukai semua anggota tubuhnya karena
merupakan pemberian dari alloh dan harus disyukuri.
b. Indentitas
Klien dapat menyebutkan namanya Tn. S, berumur 45 tahun, jenis
kelamin laiki-laki, klien berpendidikan SLTA, klien sudah menikah.
c. Peran
Pasien mengatakan dikeluarga klien berperan sebagai kepala
keluarga, mempunyai seorang istri, dan anak perempuan
d. Ideal diri
Klien mengatakan ingin sembuh dan ingin segera pulang ke rumah
berkumpul dengan kelurga.
e. Harga diri
Klien mengatakan keinginanya saat sudah pulang adalah rutin
control dan keluarga dapat menerimanya kembali.
Masalah keperawatan : Ganguan Konsep diri : HDR
3. Hubungan Sosial
a. Orang yang berarti
Klien mengatakan orang yang berarti adalah ibunya, akan tetapi
pasien merasa ibunya selalu membuatnya marah
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok / masyarakat
Klien mengatakan saat dirumah tisdak pernah mengikuti kegiatan
kelompok atau dilingkungannya, karena merasa malu dan mender
c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
Klien mengatakan selama dirumah jarang berkomunikasi dengan
tetangga dan masyarakat.
Masalah Keperawatan : Harga Diri Rendah (HDR)
d. Spiritual
a) Nilai dan keyakinan
Klien mengatakan agama islam dan pasien mengatakan bahwa
penyakitnya kaena kutukan ibunya disebabkan pasien sering
memarahin ibunya
Kegiatan ibadah Pasien mengatakan malas untuk sholat, saat di
rumah pasien jarang sholat dan mengaji sedangkan saat di rumah
sakit pasien mengatakan tidak pernah sholat tetapi selalu
mengikuti baca surat-surat di pagi hari jika tidak malas.
Masalah Keperawatan : Distres Spiritual
3.1.7 Status Mental
1. Penampilam Pakaian yang dikenakan pasien rapi tidak ada masalah
dalam berpenampilan
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
2. Pembicaraan Pasien mampu diajak berbicara dengan baik
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
3. Aktivitas Motorik/Psikomotor
Klien tampak sering tiduran ditempat tidur dan mondar-mandir
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
4. Mood dan Afek
Kesepian
Klien tampak kesepian
5. Afek
Tumpul/dangkal/datar
Dimana klien beraksi ketika ada stimulus yang kuat
6. Interaksi selama wawancara
Klien pada saat berbicara tentang ibunya klien menangis karena
merasa bersalah atas perbuatnnya.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
7. Presepsi Sensorik
Tidak ada keluhan
8. Proses Pikir
Koheren
Klien diajak berkomunikasi, klien berbicara/ menjawab pertanyaan
dengan tepat sesuai yang dibicarakan
9. Isi Pikir
Klien tidak megalami gangguan isi pikir
10. Tingkat Kesadaran
Tidak ada gangguan tingkat kesadaran Disorientasi Tidak terjadi
disorientasi waktu
11. Memori
Klien tidak mengalami gangguan memori
12. Tingkat Konsentrasi dan Berhitung
Mudah beralih Pasien saat ditanya jika diberi orang tua uang 5000
ribu lalu dibelikan jajan seharga 3000 uang kembaliannya ada berapa,
pasien tidak menjawab lalu pasien meminta pertanyaan lain
Masalah Keperawatan: Hambatan Interaksi Sosial
13. Kemampuan penilaian Gangguan ringan Saat pasien diberi pilihan jika
bangun tidur apa yang pertama kali pasien lakukan mandi atau makan
dulu, pasien menjawab makan dulu lalu saat dibenarkan bahwa
sebaiknya mandi terlebih dahulu daripada makan terlebih dahulu
pasien langsung menjawab berarti saya salah kalau makan dulu
Masalah keperawatan: Gangguan Proses Pikir
14. Daya Tilik Diri
Menyalahkan hal-hal diluar dirinya Pasien selalu menyalahkan ibunya
dengan kondisinya sekarang, dengan kondisi rambut yang dipotong
seperti laki-laki 50.
Masalah Keperawatan: Gangguan Proses Pikir
3.1.8 Kebutuhan Persiapan Pulang
1. Kemampuan klien memenuhi / menyediahkan kebutuhan Makanan :
ya Pakaian : ya Keamanan : ya Transpotasi : tidak Perawatan
kesehatan : ya Tempat tinggal : tidak
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
2. Kegiatan hidup sehari-hari Mandi : bantuan minimal BAB/BAK :
bantuan minimal Kebersihan : bantuan minimal Ganti pakaian :
bantuan minimal Makan : bantuan minimal
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
3. Nutrisi
a. Apakah anda puas dengan pola makan anda ? iya
b. Apakah anda makan memisahkan diri ? tidak
c. Frekuensi makan sehari 3 kali
d. Frekuensi udapan sehari 1-2 kali
e. Nafsu makan : meningkat BB tertinggi : 70 kg BB terendah : 65 kg
f. Diet khusus rendah lemak Jelaskan : pasien terlihat suka nyemil
jika dapat makanan atau diberi makanan sama temannya 51
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
4. Tidur
a. Apakah ada masalah ? tidak ada
b. Apakah anda merasa segar setelah bangun ? iya
c. Apakah anda bias tidur siang ? iya Lamanaya : 1 jam (09.00-10.00)
d. Apakah yang menolong anda untuk tidur ? setelah meminum obat
e. Waktu tidur malam : jam 21.00 waktu bangun jam 05.00
f. Pasien mengatakan tidak mengalami kesulitan tidur
g. Pasien mengatakan bangun sesuai dengan jamnya, tidak terlalu
pagi.
h. Perawat ruangan mengatakan pasien tidak mengalami tidur sambil
berjalan
i. Pasien mengatakan kadang-kadang terbangun saat tidur
j. Pasien mengatakan tidak mengalami gelisah saat tidur
k. Pasien tidak mengalami berbicara dalam tidur Jelaskan : pasien
mengatakan tidak ada gangguan saat tidur.
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawata
5. Kemampuan klien
a. Pasien terlihat mampu megantisipasi kebutahannya sendiri
b. Pasien mengatakan mampu membuat keputusan berdasarkan
keinginannya sendiri
c. Pasien terlihat mampu mengatur penggunaan obat
d. Pasien terlihat belum mampu melakukan pemeriksaan
kesehatannya.
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
6. Klien memiliki sistem pendukung
a. Keluarga : ya
b. Teman sejawat : iya
c. Profesional / trapis : iya
d. kelompok sosial : iya
Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan
7. Apakah klien menikmati saat bekerja kegiatan yang menghasilkan
hobi Tidak Klien mengatakan kalau di rumah tidak bekerja hanya
membantu ibunya
Masalah keperawatan : Koping tidak efektif
3.1.9 Mekanisme Koping Adaptif :
teknik relaksasiMaladatif : mencederai diri
Masalah Keperawatan: tidak ada masalah keperawatan
3.1.10 Masalah Psikososial Dan Lingkungan
1. Masalah dengan dukungan kelompok, spesifik Klien tampak menarik
diri dari kelompok
2. Masalah berhubungan dengan lingkungan, spesifik Klien mengatakan
jika di rumah dilarang ibunya keluar
3. Masalah dengan pendidikan, spesifik Klien mengatakan tidak ada
masalah saat di sekolah dulu
4. Masalah dengan perumahan, spesifik Klien mengatakan tidak ada
masalah dengan tempat tinggalnya
5. Masalah ekonomi,spesifik Klien mengatakan suka menghabiskan
uang saat dikasih uang jajan oleh ibunya
6. Masalah dalam pelayanan kesehatan, spesifik Klien mengatakan tidak
ada masalah dalam pelayanan keshatannya untuk saat ini
Masalah Keperawatan: Hambatan Interaksi Sosial
3.1.11 Pengetahuan Kurang Tentang
faktor presipitasi, koping
Masalah Keperawatan: Koping Tidak Efektif
3.1.15 Data Lainnya
Pemeriksaan lab foto thorax (8-5-2018) Hasil pemeriksaan Cor : tidak
membesar Pulmo : tidak tampak infiltrate,hili tebal kasar Kedua sinus
costoprenicus
Kesimpulan : tidak tampak tanda proses spesifik, cenderung
bronchitis kronis
3.1.13 Aspek Medik
Diagnosa Medik : F.20.1 ( Skrezofernia Hefrenik ) Terapi Medik :
Chlorpromazine: 2 x 100 mg (1-0-1) Trifluoperazine : 3 x 5 mg (1-1-1) 54
Trihexypnedin :2 x 2 mg (1-0-1)
3.1.14 Daftar Masalah Keperawatan
1. Respon pasca trauma
2. Gangguan integritas kulit
3. Ketidakmampuaan koping keluarga
4. Gangguan konsep diri : HDR
5. Hambatan interaksi sosial
6. Distres spiritual
7. Koping tidak efektif
8. Perubahan performa peran
9. Gangguan presepsi sensori
10. Gangguan proses piker
3.1.15 Diagnosis Keperawatan
1. Perilaku Kekerasan
2. Gangguan Konsep Diri :HDR
3. Resiko Mecederai Diri Sendiri, Orang Lain dan Lingkungan
BAB IV

PEMBAHASAN

Dalam pembahasan ini ditulis akan menguraikan tentang


kesenjangan yang terjadi antara tinjauan pustaka dan tinjauan kasus dalam
asuhan keperawatan pada pasien Tn. S dengan masalah utama Perilaku
kekerasan di ruang Abimanyu Rumag Sakit Jiwa Daerah dr. ARIF
ZAINUDIN SURAKARTA yang meliputi pengkajian, perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.

4.1 Pengkajian
Pada tahap pengumpulan data, penulis sudah mengadakan
perkenalan dan menjelaskan maksud penulis yaitu untuk melaksanakan
asuhan keperawatan kepada klien, klien kooperatif dan klien mengatakan
keluarga sering menjenguk klien ke rumah sakit satu sampai dua minggu
sekali, sebagian data di peroleh dari rekam medik klien, klien sediri dan
keluarga. Maka upaya penulis dalam melakukan pengkajian yaitu :
1. Melakukan pendekatan dan membina hubungan saling percaya pada
klien dan keluarga agar lebih dekat dan lebih percaya dengan
menggunakan perasaannya.
2. Mengadakan pengkajian kepada klien dan keluarga dengan wawancara.
Mengadakan pengkajian dengan cara membaca status klien,melihat
buku rawatan.
Menurut data yang di dapat klien pernah mengalami ganggun jiwa
pada tahun 2019 di Rumah Sakit Jiwa Pacitan, dengan masalah utama
perilaku kekerasan dengan diagnosa medis skizofrenia hebefrenik. Saat
diruangan klien didapatkan klien tampak memasang muka marah saat
diwawancara dan nada bicara pasien tinggi.
Pada dasarnya antara tinjauan pustaka dan tinjauan kasus tidak ada
kesenjangan yaitu dibuktikan pada tinjauan pustaka pada tanda dan gejala
menurut (Keliat,2010) menjelaskan tanda dan gejala perilaku kekerasan
yaitu ada ide melukai, merencanakan tindakan kekerasan, mengancam,
penyalahgunaan obat, depresi berat, marah, sikap bermusuhan/panik,
bicara ketus, mengungkapakan kata-kata kotor, serta adanya riwayat
perilaku kekerasan. Sedangkan di tinjauan kasus telah di dapatkan data
secara objektif maupun subjektif yaitu, pasien suka marah-marah,
membanting barang-barang sehingga membuat ibunya ketakutan dan saat
di lakukan wawancara pasien tampak memasang muka marah saat ditanya
alasan klien marah, dan juga nada bicara klien agak tinggi.

Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan. Tahap


pengkajian terdiri dari pengkumpulan data perumusan kebutuhan atau
masalah klien. Data yang dikumpulkan melalui data biologis, psikologis,
sosial dan spiritual (Keliat, Budi Ana 1998:3) Kutipan Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa (Azizzah, Lilik dkk 2006).

4.2 Diagnosa Keperawatan


Dalam pengambilan diagnosa keperawatan ada kesenjangan tinjauan
teori dan tinjauan kasus, diagnosa yang ada pada tinjauan teori adalah
gangguan konsep diri : Harga diri rendah sebagai penyebabnya, perilaku
kekerasan sebagai masalah utama dan resiko mencederai diri sendiri, orang
lain, dan lingkungan sebagai efek dari masalah utama.
Dari tinjauan teori dan tinjauan kasus tersebut tidak terdapat
kesenjangan pada pohon masalah yang terletak pada penyebab perilaku
kekerasan pada pasien. Pada tinjauan teori berdasarkan kasus semu,
sedangkan pada tinjauan kasus berdasarkan kasus nyata yang sesuai
dengan pengkajian keadaan pasien saat itu. Tidak ada kesenjangan pada
pohon masalah pada tinjauan teori didapatkan penyebab harga diri rendah
yaitu dikarenakan berduka koping individu tidak efektif dan koping
keluarga tidak efektif sedangkan di tinjauan kasus di dapatkan penyebab
koping individu dikarenakan perilaku kekerasan. Dikarenakan pasien tidak
dapat dengan mudah memecahkan masalah yang terjadi pada pasien,
ekspresi pasien yang langsung marah/ingin memukul orang, pasien tidak
dapat mengambil keputusannya untuk masalahnya sendiri. Sedangkan
pada tinjauan teori menurut Yusuf A, Fitriyasari, dan Nihayati penyebab
dari Perilaku Kekerasan biasa terjadi karena Gangguan konsep diri : HDR.
Dan diagnosa yang berlaku pada gangguan ini adalah Resiko perilaku
kekerasan.

4.3 Rencana Keperawatan


Pada perencanaan yang diberikan hanya berfokus pada masalah
utama, yaitu Perilaku kekerasan yang mengacu pada strategi pelaksanaan
tindakan keperawatan (SPTK). Pada tinjauan teori terdapat enam strategi
pelaksanaan.
Menurut (Yusuf.A, Fitryasari, Nihayati 2015.
1. SP pada Pasien
1. Pasien dapat membina hubungan saling percaya
2. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
3. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
4. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah
dilakukannya
5. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang
dilakukannya
6. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku
kekerasannya
Tindakan :
1) Bina hubungan saling percaya
a) mengucapkan salam terapeutik
b) berjabat tangan
c) menjelaskan tujuan interaksi
d) membuat kontrak topic, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
pasien
2) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan masa lalu
3) Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan
a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis
c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual
4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara :
a) Verbal
b) Terhadap orang lain
c) Terhadap diri sendiri
d) Terhadap lingkungan
5) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
6) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
secara:
a) Fisik, misalnya pukul kasur dan bantal, tarik nafas dalam
b) Obat
c) Spiritual, misalnya sholat dan berdoa sesuai keyakinan pasien
2. SP Keluarga
1. Tujuan Keperawatan
Keluarga dapat merawat pasien di rumah
2. Tindakan keperawatan
a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat
pasien
b. Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan
(penyebab, tanda dan gejala, perilaku yang muncul, dan akibat
dari perilaku tersebut)
c. Diskusikan bersama keluarga tentang kondisi pasien yang perlu
segera dilaporkan kepada perawat, seperti melempar atau
memukul benda/orang lain
d. Bantu latihan keluarga dalam merawat pasien perilaku kekerasan
a) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan
tindakan yang telah diajarkan oleh perawat.
b) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien jika
pasien dapat melakukan kegiatan tersebut dengan tepat
c) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan
jika pasien menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan
e. Buat perencanaan pulang bersama keluarga.

4.4 Pelaksanaan
Pada tinjauan kasus SP keluarga dapat direncanakan dan
dilaksanakan karena selama pengkajian keluarga pernah mengunjungi
pasien.
Sedangkan pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien telah
disesuaikan dengan rencana keperawatan yang telah disusun sebelumnya,
pada tinjauan kasus perencanaan pelaksanaan tindakan keperawatan pasien
disebutkan terdapat dua strategi pelaksanaan tindakan keperawatan
(SPTK) menurut teori yang akan dilaksanakan, diantaranya Menurut (Ah.
Yusuf, Ftryasari, Nihayati 2015) yaitu :
1. SP untuk pasien
1) Tindakan (SP 1):
a. Bina hubungan saling percaya
a) Mengucapkan salam terapeutik
b) berjabat tangan
c) menjelaskan tujuan interaksi
d) membuat kontrak topic, waktu, dan tempat setiap kali bertemu
pasien
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat
ini dan masa lalu
c. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku
kekerasan
a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
psikologis
c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara social
d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara
intelektual
d. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara:
a) Verbal
b) Terhadap orang lain
c) Terhadap diri sendiri
d) Terhadap lingkungan
e. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
f. Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan
secara :
a) Fisik, misalnya pukul kasur dan bantal, tarik nafas dalam
b) Obat
c) Spiritual, misalnya sholat dan berdoa sesuai keyakinan pasien

4.5 Evaluasi
Pada tinjauan teori evaluasi belum dapat dilaksanakan karena
merupakan kasus semu. Sedangkan pada tinjauan kasus evaluasi dapat
dilakukan karena dapat diketahui keadaan pasien dan masalahnya secara
langsung.
Evaluasi pada tinjauan teori berdasarkan observasi perubahan
tingkah laku dan respon pasien. Sedangkan pada tinjauan kasus evaluasi
dilakukan setiap hari selama pasien dirawat dirumah sakit. Evaluasi
tersebut menggunakan SOAP sehingga terpantau respon pasien terhadap
intervensi keperawatan yang telah dilakukan.
Pada waktu dilakukan evaluasi, penulis melakukan SP 1 pada
tanggal 01 September 2020 dan pasien tidak mampu melakukan SP 1
yaitu: Membina hubungan saling percaya, menyebutkan penyebab perilaku
kekerasan, dan mempraktikkan latihan cara mengendalikan fisik. Pada hari
berikutnya tanggal 02 September 2020 masih tetap mengulangi SP 1
yaitu : menyebutkan tanda dan gejala, menyebutkan perilaku kekerasan
yang dilakukan, dan menyebutkan akibat perilaku kekerasan pasien sudah
mampu menyebutkan dan mengevaluasi tindakan di SP 1 meskipun pasien
mengatakan tidak mood. Selanjutnya pada hari akhir tanggal 03 September
2020 pasien mampu melakukan SP 2 yaitu mengevaluasi jadwal kegiatan
harian, mengontrol perilaku kekerasan dengan cara latihan nafas dalam
apabila marah dan memukul guling untuk mengendalikan perilaku
kekerasan. karena kerjasama dengan perawat sudah baik pasien mampu
melakukan tindakan SP berikutnya, hasil dari evaluasi pasien Tn. S di
ruang Abimanyu pada tanggal 01-05 September 2020 sudah tercapai
sampai SP 2.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dari hasil uraian yang telah menguraikan tentang asuhan
keperawatan pada pasien perilaku kekerasan, maka penulis dapat
mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada pengkajian keperawatan jiwa masalah utama perilaku kekerasan
pada Tn. S dengan diagnosa medis f 20.3 RPK di dapatkan bahwa
pasien dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin.
2. Pada penegakan diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan jiwa
dengan masalah utama perilaku kekerasan pada pasien Tn. S dengan
diagnosa medis f 20.3 RPK di dapatkan tiga permasalahan aktual (1)
gangguan konsep diri : harga diri rendah, (2) perilaku kekerasan dan
(3) Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
3. Terapi dan pengobatan secara farmakoterapi sangatlah penting, namun
untuk mengatasi permasalahan utama yang menjadi penyebab
permasalahan hanya dapat dilakukan oleh profesi keperawatan dengan
pendekatan asuhan keperawatan komprehensif dengan pendekatan
strategi pelaksanaan bertingkat dan berlanjut.
4. Pada akhir evaluasi pada tanggal 05 September 2020 semua tujuan
tercapai sebagian karena kondisi klien yang terkadang mengalami
gangguan suasana hati.
5. Dilakukan pendokumentasian dengan SP yang telah dibuat dan
direncanakan untuk mengatasi masalah resiko perilaku kekerasan pada
klien Tn. S, yang dilaksanakan mulai tanggal 31 Agustus sampai
dengan 05 September 2020.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka saran
yang dapat diberikan penulis sebagai berikut :
1. Bagi Institusi Pendidikan
Untuk menambah pengetahuan dan keterampilan bagi mahasiswa
khususnya tentang pemberian asuhan keperawatan pada pasien jiwa,
sehingga mahasiswa lebih profesional dan lebih kreatif dalam
mengaplikasikan pada kasus secara nyata.
2. Bagi Rumah Sakit
Untuk meningkatkan pengetahuan dengan mempelajari konsep perilaku
kekerasan dan meningkatkan keterampilan dengan mengikuti seminar
serta pemahaman perawat tentang perawatan pada pasien jiwa
khususnya.
DAFTAR PUSTAKA

Akemat. (2010). Keperawatan Profesional Jiwa . Jakarta : EGC. Azizzah, L. M.


(2011). Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: GRAHA ILMU.

Ah.Yusuf, R. F. (2015). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Amin Huda, H. K. (2015). NANDA NIC-NOC JILID 3. Jogjakarta: Media


Action.

Azizah Lilik, dkk. (2016). Buku Ajar Kesehatan Jiwa . Yogjakarta: Indomedia
Pustaka

Erwina, I. (2012, Juni 1). Aplikasi Model Adaptasi Roy Pada Klien Resiko
Perilaku Kekerasan Dengan Penerapan AsertivenessTraining. Ners Jurnal
Keperawatan Vol 8, 65-73.

Fajar Rinawati, M. A. (2016, November 1). Analisa Faktor-Faktor Penyebab


Gangguan Jiwa Menggunakan Pedekatan Model Adptasi Stress Struart.
Jurnal Ilmu Keperawatan Vol 5, 34-36

Hartono, Y. (2010). Keperawatan Jiwa . Jakarta: Salemba Medika.

Iyus Yosep, T. S. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika


Aditama.

Keliat. (2011). Kperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: ECG.

Kusumawati. (2010). Keperawatan Jiwa . Jakarta: Salemba Medika.

Mohammad Ali, T. A. (2015, November 2). Pengaruh Pelatihan Asertif Dalam


Memperpendek Fase Intensif Dan Menurunkan Gejala Perilaku Kekerasan
Di Ruang Intensive Psychiatric. Jurnal Ilmu Keperawatan Volume 3, no 2,
168-182.

Mukhripah Damaiyanti, I. (2012). Asuhan Keperawatan JIwa . Bandung: Refika


Aditama.
Prabowo, E. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa . Yogyakarta : Medikal Book

Rinawati, F. (2015, November 1). Penerapan Terapi Perilaku Spesialis


Keperawatan Jiwa Pada Klien Dengan Risiko Perilaku Kekerasan
Menggunakan Pendekatan Teori Johson Dan Teori Lewin. Jurnal
Keperawatan Vol 4, 67-72.

Sari, N. P. (2015, Januari 01). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Resiko


Perilaku zKekerasan (RPK) Terhadap Pengetahuan Keluarga. Jurnal
Kesehatan '' Samodra Ilmu'' Vol 6, 25-34.

Saswati, N. (2016, Juli 2). Pengaruh Penerapan Standart Asuhan Keperawatan


Perilaku Keperawatan. Jurnal Keperawatan Sriwijaya Volume -Nomer 2, 1-
7.

Surya, A. H. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha


Arteam.

Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai